Anda di halaman 1dari 21

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP QAWAID

FIQHIYYAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Qawaid Fiqhiyyah
Dosen Pengajar : Safitri, M.H.

Disusun oleh :
Eka Adi Prayuda 2223.02.002
Ira Susilawati 2223.02.005
Muhammad Diva 2223.02.010

Program Studi HES


Sekolah Tinggi Agama Islam Binamadani
Jl. K.H Hasyim Ashari Kav. DPR Nerogtog No. 236
Pinang/ Cipondoh – Tangerang
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan saya nikmat, yaitu nikmat iman
dan islam, nikmat sehat dan afiat sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul pengertian dan ruang lingkup qawaid fiqhiyyah ini tepat pada waktunya.
Saya Mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Safitri, M.H. selaku dosen mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga berterimakasih kepada semua pihak yang ikut membantu saya dalam
mengerjakan makalah ini, termasuk kepada pihak yang membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Mohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya apabila banyak salah kata atau
kalimat yang kurang berkenan di hati pembaca.
Saya sangat menyadari bahwasanya makalah saya ini jauh dari kata sempurna, tetapi
insyaAllah makalah ini sudah saya buat dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan untuk kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Pembahasan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dhawabit, Nadhariyah Fiqhiyyah 3


B. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyah, Dhawabit Fiqhiyyah
dan Nadhariyah Fiqhiyyah 4
C. Urgensi dan Kegunaan Qawaid Fiqhiyyah 5
D. Kehujjahan Qawaid Fiqhiyyah 6
E. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah 12
F. Qawaid Fiqhiyyah dalam fiqih ekonomi islam 14
G. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah Muamalah 15

BAB III PENUTUP 17

A. Kesimpulan 17

DAFTAR PUSTAKA 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan tentang qowaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah hal yang paling
utama dalam melakukan pembahasan hukum Islam, hal ini dikarenakan penguasaan terhadap
kaidah fiqh akan menjadi benang merah terhadap masalahmasalah fiqh yang disesuaikan
dengan tempat, waktu dan kebiasaan yang berlainan dalam pengaplikasian hukum Islam,
sehingga hal tersebut akan menjadikan hukum Islam selalu fleksibel dalam menanggapi isu-isu
sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum.1

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam
untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas bolehmtidaknya sesuatu itu dilakukan,
mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih
utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu
dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.
Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-
petunjuk AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya,
tidak boleh
berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat
Ali Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan
Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai
umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua
sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian Kaidah-kaidah
Fiqih berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah
hukum.

1
Thalib, P. (2016). Pengaplikasian Qowaid Fiqhiyyah Dalam Hukum Islam Kontemporer. Jurnal-Yuridika, 31(1)

1
B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dhawabit, Nadhariyah Fiqhiyyah


2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyah, Dhawabit Fiqhiyyah
dan Nadhariyah Fiqhiyyah
3. Urgensi dan Kegunaan Qawaid Fiqhiyyah
4. Kehujjahan Qawaid Fiqhiyyah
5. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah
6. Qawaid Fiqhiyyah dalam fiqih ekonomi islam
7. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah Muamalah

C. Tujuan Pembahasan

1. Mendeskripsikan Qawaid Fiqhiyyah dhawabit, Nadhariyah Fiqhiyyah


2. Mengetahui Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyah, Dhawabit
Fiqhiyyah dan Nadhariyah Fiqhiyyah
3. Memahami Kehujjan dan klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Fiqhiyyah ekonomi
islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian qawaid, dhawabith, nadhariyah fiqhiyyah

a. Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata
qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi,
berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi,
atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi
dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).
Qawa’id Al-Fiqhiyah merupakan sebuah kata-kata terdiri dua rangkai lafadz Qawa’id dan
lafaz al-Fiqhiyah (bisa dibaca fiqhiyah). Hubungan dari kedua lafaz ini, apabila dalam
ilmu nahu disebut hubungan na’at, Qawa’id Fikhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara
etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih. Bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya
dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
b. Al Dhawabith diambil dari kata dasar al-Dhabith artinya menurut etimilogi yaitu
"Memelihara, mengikat, kekuatan, dan penguatan". Secara terminologi dhawabith
fiqhiyyah yaitu; Qadhiyyah kullyyah (proposisi universal) atau ashl kullyyah (dasar
universal) atau mabda kully (prinsip universal) yang menghimpun furu' dari satu bab (satu
tema). Dengan demikian, dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz'iyyah fiqhiyyah yang
terdapat dalam satu bab fiqh. Atau prinsip fiqh yang universal, yang bagian- bagiannya
terdapat dalam satu bab fiqh. Pengertian al-dhawâbith secara bahasa adalah bentuk jamak
dari dhâbith yang berakar kata dh-b-th. Kata ini merujuk pada pengertian luzûm al-syai
wa habsuhu, tetap dan tertahannya sesuatu.
c. Pengertian nazhariyah fiqhiyah yaitu berasal dari nazhir yang berarti mengangan-angan
sesuatu dengan mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan nazhari adalah hasil dari apa
yang diangan-angankan tersebut, seprti halnya mengangan-angankannya akal yang
mengatakan bahwa alam adala sesuatu yang baru. Akan tetapi sebagian ulama fuqaha
kontemporer mengatakan : bahwa nazhariyah sinonim dengan qwa’id fiqhiyah, yang
termasuk dalam golongan ini adalah Syekh Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang di
jelaskan dalam ushul fiqh. Atau Nadhariyah fiqhiyah juga bisa didefinisikan dengan

3
“Maudhu-maudhu fiqih atau maudhu yang memuat masalahmasalah fiqhiyah atau
qadhiyah fiqhiyah. Hakikatnya adalah rukun, syarat, dan hukum yang menghubungkan
fiqh, yang menghimpun satu maudhu’ yang bisa digunakan sebagai hukum untuk semua
unsur yang ada.2

B. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyah, Dhawabit Fiqhiyyah


dan Nadhariyah Fiqhiyyah

Qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyah


 Qawa’id fiqhiyyah lebih umum dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawa’id fiqhiyyah
tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fikih, tetapi kesemua masalah yang
terdapat pada semua bab fikih. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya
terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Karena itu qaidah fiqhiyyah disebut
qa’idah ‘ammah, atau kulliyah dan dhabith fiqh disebut qa’idah khashshah.
 Kaidah ushuliyah dalam teksnya tidak mengandung rahasia-rahasia syar‟i tidak pula
mengandung hikmah syar‟i. Sedangkan kaidah fiqhiyyah dari teksnya terkandung
kedua hal tersebut, maka tepat bila dikatakan bahwa kaidah fiqhiyah menjadi
interpretasi dari dalil dng konotasi umum.
 Kaidah ushuliyah merupakan kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan
mencakup seluruh furu‟ di bawahnya. Sehingga istitsna‟iyyah (pengecualian) hanya
ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah
fiqhiyyah yang banyak terdapat istitsna‟iyyah, karena itu kaidahnya kaidah
aghlabiyyah (kaidah umum).
 Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyyah pun bisa dilihat dari
maudhu‟nya (objek). Jika Kaidah ushuliyah maudhu‟nya dalil-dalil sam‟iyyah.
Sedangkan kaidah fiqhiyyah maudhu‟nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan
atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
 Kaidah-kaidah ushuliyah lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqhiyyah. Seluruh ulama
sepakat bahwa kaidah-kaidah ushuliyah adalah hujjah dan mayoritas dibangun
diatas dalil yang qot‟i. Adapun kaidah-kaidah fiqhiyyah ulama berbeda pendapat.
2
Mufti Rambe, K. (2022). Beberapa Istilah Penting; Membandingkan Qawaid Fiqhiyah Dengan Dhabit Fiqh, Nazhariyah
Fiqhiyah, Dan Kaidah Ushuliyah. Jurnal Landraad, 1(2), 101-112.

4
Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq,
sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid „alim dan bukan hujjah bagi selainnya,
sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
 Kaidah-kaidah ushuliyah lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.

Perbedaan dhawabith fiqhiyyah dan nadhariyah fiqhiyyah


 Dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada satu masalah dalam satu bab
fikih. Karena itu qaidah fiqhiyyah disebut qa’idah ‘ammah, atau kulliyah dan
dhabith fiqh disebut qa’idah khashshah.
 Dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut
dengan ashal. Menurut As-Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa
qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang
berbeda, sedangkan dhawabith fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh
saja
 An-nazariyyat al-fiqhiyyah lebih umum dan lebih luas cakupannya dari kaidah fikih.
An-nazariyyat al-fiqhiyyah merupakan konsep-konsep fikih (hukum Islam) yang
memiliki rukun dan syarat dan yang disatukan oleh jaringan-jaringan konseptual
fikih di bawah satu kesatuan tematik yang sistematis. An-nazariyyat al- fiqhiyyah di
bawahnya tercakup kaidah-kaidah fikih. Hubungan antara keduanya adalah
hubungan bagian dengan keseluruhan di mana bagian adalah kaidah-kaidah hukum
Islam dan keseluruhan adalah an-nazariyyat al-fiqhiyyah. Misalnya nazariyyat
addarurah (teori darurat) mencakup sejumlah kaidah yang banyak.
 An-nazariyyat alfiqhiyyah dalam arti pertama, yaitu teori hukum Islam, menjadikan
an- nazariyyat al-fiqhiyyah dalam pengertian kedua, yaitu doktrin-doktrin yang
meliputi asas-asas dan prinsip-prinsip hukum Islam, sebagai obyek kajiannya.3

C. Urgensi dan Kegunaan Qawaid Fiqhiyyah

 Al-qawaid al-fiqhiyyah mempunyai kedudukan penting untuk


mempermudah dalam mempelajari fiqh. Melaluinya furû’(cabang) fiqh yang

3
Rafiqi, Y. (2016).

5
demikian banyak dapat dipisahkan dalam kaidah fiqh tertentu. Apabila tidak ada al-
qawaid al-fiqhiyyah, tentu persoalan hukum yang demikian banyak tetap berserakan
di berbagai kitab fiqh sehingga sulit untuk dipelajari ahli fiqh dengan mudah dan
baik.
 Mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah dapat membantu untuk menguasai fiqh
dengan masalah-masalahnya yang demikian banyak. Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah
sebagai jembatan dan sarana melahirkan hukum-hukum.
 Membantu kalangan yang melakukan studi fiqh untuk membahas bagian
hukum dan mengeluarkan hukum dari topik-topik yang berbeda dan
meletakkannya pada satu topik dengan tetap memelihara pengecualian (istisna’i)
dari setiap kaidah. Hal ini akan menghindarkan terjadi pertentangan hukum yang
kelihatan sama.
 Dengan mengikatkan hukum-hukum yang berserakan pada satu ikatan
menunjukkan bahwa hukum-hukum fiqh membawa misi untuk mewujudkan
kemaslahatan yang sejalan dengannya atau mewujudkan kemaslahatan yang lebih
besar.
 Mengetahui al-qawaid al-fiqhiyyah penting untuk memperkuat jalan mengetahui
furû’ fiqh yang demikian banyak.4

D. Kehujjahan Qawaid Fiqhiyyah Menurut 4 Mazhab

1. Mazhab Hanafi

a. Abu Zaid Addabusi (w. 430 H/1038 M)


Abu Zaid Addabusi menyatakan dengan jelas tentang keutamaan qawaid fiqhiyyah
yang bisa dijadikan hujjah. Hal ini didukung oleh sikapnya yang menjadikan qawaid
itu sendiri sebagai penyebab perbedaan di tubuh ulama hanafiyyah bahkan antar
mazhab. Menurutnya, qawaid fiqhiyyah menghadirkan kemudahan bagi mereka yang

4
Sonafist, Y. (2023). Qawaid Fiqhiyyah: (Korelasi, Urgensi Dalam Istinbath Hukum). Journal Of Law And
Nation, 2(3), 135-143.

6
ini mengetahui khilafiyyah antar ulama serta latar belakang yang menggiring terjadinya
perdebatan pendapat itu sendiri.
Perbedaan yang kemudian disertakan di dalamnya argumen para ulama dalam
kitab beliau (ta’sisun Nazhor) merupakan bukti bahwa para ulama menggunakan
qawaid fiqhiyyah untuk memperkuat kesimpulan yang mereka raih.
Sebagai contoh:
“Hukum asalnya, sesuatu yang apabila ada di awal merubah keabsahan fardhu, maka
dapat merubah keabsahannya juga bila di akhir.”
Misalnya, orang shalat dengan tayammum karenan tidak menemukan air, lalu di
pertengahan sholat ternyata turun hujan, maka menurut abu Hanifah hal tersebut
membatalkan shalat, tapi tidak menurut Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Abu
Yusuf. Lalu dalam kaidah lain:
Hukum asalnya, shalat makmum berkaitan dengan shalat imam.
Hal ini berbeda dengan pandangan imam Syafii, menurut beliau shalat makmum tidak
berkaitan dengan shalat imam.
Sebagai contoh menurut Abu Hanifah, tidak boleh orang suci bermakmum
kepada imam yang berhadast meskipun ia tidak tahu hal tersebut. Tapi menurut imam
syafi’I tidak batal, yang batal hanyalah shalat imam.
Kaidah lain:
Maksud/keinginan atas segala sesuatu tidak berarti menempati posisi
melakukan sesuatu tersebut.
Kaidah ini bertentangan dengan kaidah imam Malik yang mengatakan:
Keinginan atas sesuatu ibarat melakukan sesuatu tersebut.
Sebagai contoh, dalam pandangan imam Malik, sekedar ber-azam untuk mentalak istri
maka sudah dianggap jatuh talaknya, sementara menurut ulama hanafiyyah azam
tersebut tidak membuat talak menjadi sah kecuali dengan ucapan.Dari kitab ini seolah
ingin disampaikan bahwa perbedaan pendapat para ulama yang ada, kerap iidentifikasi
dengan perbedaan mereka dalam memunculkan qawaid sebagai hujjahnya.

7
b. Abu Al-Hasan Al-Karkhi (w. 340 H/951 M)
Addabusi menyatakan dengan jelas tentang keutamaan qawaid fiqhiyyah yang
bisa dijadikan hujjah. Hal ini didukung oleh sikapnya yang menjadikan qawaid itu
sendiri sebagai penyebab perbedaan di tubuh ulama hanafiyyah bahkan antar mazhab.
Menurutnya, qawaid fiqhiyyah menghadirkan kemudahan bagi mereka yang ini
mengetahui khilafiyyah antar ulama serta latar belakang yang menggiring terjadinya
perdebatan pendapat itu sendiri. Abu Al-Hasan Al-Karkhi, sebagai pencetus perdana
kodifikasi ilmu qawaid fiqhiyyah menegaskan sebuah kaidah yang kemudian hari
menjadi popular di kalangan hanafiyyah dan kerap menjadi hujjah mereka dalam
istinbath hukum. Kaidah tersebut adalah:
Setiap ayat yang kesannya kontradiktif dengan pendapat sahabat
sahabat kami, maka dilihat apakah mungkin di nasakh, atau ditarjih, dan yang lebih
utama dita’wil sebagai bentuk kompromi.

2. Mazhab Maliki
A. Ibrahim ibn Musa Asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M)
Asy-Syathibi dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwafaqat beliau mengemukakan kaidah:
Menghilangkan kesempitan dan kesulitan adalah prinsip asalnya, dan sesungguhnya
kesempitan itu harus dihilangkan. Lalu dalam kitabnya beliau pernah ditanya: Bagaimana
hukumnya bila memaksa orang yang mempunyai makanan untuk memberikan
makanannya kepada orang yang kelaparan, karena kalua disimpan akan menghadirkan
bahaya bagi orang lain?, lalu beliau menjawab dengan kaidah:
Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.
Dengan demikian tampak jelas bagi kita bahwa mazhab maliki menjadikan qawaid
fiqhiyyah sebagai hujjah sepanjang kaidah tersebut disepakati oleh ulama dan didukung
kuat oleh nash.

3. Mazhab Syafi’i
a. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H/1505 M).
Diriwayatkan dari perkataan beliau di mukadimah kitabnya (Al Asybah wa An-
Nazhair), yang mana ia menggambarkan bidang keilmuan Al-Asybah wa An-Nazhair.

8
Beliau menyebutkan bahwa kaidah yang disepakati ulama ada 40, dan di antaranya
adalah kaidah pokok, sedangkan yang diperselisihkan ada dua puluh kaidah lain.
As-Suyuthi menjadikan qawaid sebagai pedoman mengidentifikasi
hukum dengan cara ilhaq karena baginya berijtihad sudah tidak mungkin
beliau lakukan.

b. Taqi Ad-Din As-Subki (w. 756 H/1355 M).


Diriwayatkan dari kitabnya (Al-Asybah wa An-Nazhair), yang mana beliau
mengatakan bahwa barang siapa yang ingin mempertajam tashawwur dan Analisa
maka harus paham qawaid fiqhiyyah.

c. Badr Ad-Din Az-Zarkasyi (w. 794 H/1391 M).


Az-Zarkasyi mengatakan bahwaqawaid fiqhiyyah adalah bagian dari ilmu alat untuk
bisa mengidentifikasi hukum fikih dan ini menjadi bagian dari ushul mazhab syafi’i
menurutnya.

d. Dhia' ul-Din Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M).


Al-Juwayni atau yang biasa disebut Imamul Haramain, beliau berpendapat bahwa
qawaid fiqhiyyah hanya isyarat bahwa dalil yang terperinci sudah digali lalu
dijadikan kesimpulan dalam redaksi singkat yang mencakup perkara-perkara global.
Imam Syafi’i sendiri ketika menjawab pertanyaan kerap menjawab dengan kaidah
fikih juga, sebagai contoh ketika ditanya tentang wanita yang hendak melakukan
safar yang jauh tapi tidak punya mahram, bolehkan mengangkat seseorang menjadi
walinya? Maka beliau menjawab boleh dengan hujjah:
Jika perkara menjadi sempit, maka ia menjadi luas.
Kesimpulannya adalah bahwa mayoritas ulama syafi’iyyah dengan tegas
menempatkan qawaid fiqhiyyah sebagai hujjah. Kehujjahan qawaid fiqhiyyah ini
terutama saat mereka dihadapkan dengan perkara fikih yang tidak secara tegas
ditetapkan hukumnya dalam nash Al-Qur’an dan Hadis.

9
4. Mazhab Hanbali
a. Ibn Qayyim Al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M)
Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in, ada sebuah
kaidah yang dijadikan pijakan beliau dalam berfatwa, yaitu:
Fatwa dapat berubah dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat,
dan kebiasaan setempat.
Menurut beliau, penguasaan dalam kaidah ini sangat penting dalam
perkembangan hukum fikih yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam nash.5
Artinya beliau menjadikan qawaid fiqhiyyah sebagai salah satu landasan dalam
berfatwa.
b. Ibn An-Najjar Al-Hanbali (w. 972 H/1564 M)
Diriwayatkan bahwa Ibn An-Najjar mengatakan bahwa qawaid fiqhiyyah
bukanlah dalil, tapi posisinya sejajar dengan dalil untuk masalah parsial yang
butuh ketentuan hukum tanpa dukungan secara eksplisit dari nash. 6

Pendapat Kedua: Qawaid Fiqhiyyah dapat dijadikan hujjah, dan dapat dijadikan dalil yang
benar untuk mentarjih dan mengambil kesimpulan hokum atas suatu masalah. Pendapat ini
dipahami dari perkataan-perkataan para ulama, di antaranya:
1. Shihab al-Din Al-Qarafi (w. 684 H/1285 M). Diriwayatkan bahwa Al-Qarafi
mensejajarkan ilmu qawaid fiqhiyyah dengan ushul fikih. Menurutnya, kaidahkaidah yang
dapat memperjelas metodologi berfatwa dapat dikategorikan sebagai syariat, terlebih
dengan pernyataannya bahwa mempelajari qawaid fiqhiyyah sama dengan mempelajari
ushul syariat.7
Al-Qarafi berpendapat bahwa keputusan seorang hakim dapat batal apabila menyelisihi
salah satu kaidah dari qawaid yang terbebas dari pertentangan. Sebagai contoh adalah
kasus Suraijiyah yang konon masyhur di kalangan ulama.

5
Dr. Ade, hlm. 276
6
Ali Ahmad An-Nadawi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, hlm. 330
7
Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 255

10
Kasus Suraijiyah adalah kasus yang dinisbatkan kepada Abu Al-Abbas bin Umar bin
Suraij (w. 306 H), yakni apabila seorang suami mengatakan kepada istrinya “Apabila saya
menjatuhkan talak kepadamu maka sebelumnya engkau
telah tertalak tiga”. Menurut Abu Al-Abbas bin Umar bin Suraij, hal ini tidak menjatuhkan
talaknya. Maka menurut Al-Qarafi, jika ada hakim yang mengikuti pendapat Suraij ini, maka
keputusannya adalah batil. dan hal ini menunjukkan bahwa Al-Qarafi meyakini akan
kehujjahan qawaid fiqhiyyah, dan qawaid fiqhiyyah tersebut merupakan dalil kuat yang dapat
membatalkan keputusan seorang hakim apabila ia memutuskan sebaliknya. Dan ia berpendapat
bahwa qawaid fiqhiyyah setara dengan nash, ijma, dan qiyas.8

Syarat Kaidah Fikih Menjadi Hujjah:


1. Kaidah Fikih dapat menjadi sandaran hukum, jika kaeidah tersebut berasal dari nash al-
Qur’an al-Karim atau dari al-sunnah al-syarifah.
2. Kaidah fikih dapat menjadi sandaran hukum, jika kandungannya sesuai dengan kandungan
beberapa nash syar’i, dan disini tidak dilihat dari perbedaan kalimat dan lafadznya, karena
yang dianggap itu adalah maksudnya bukan dari lafadz dan kata-katanya.
3. Kaidah fikih dapat dijadikan sandaran hukum apabila dilakukan melalui cara ijtihad yang
benar, atau dengan cara istiqra yang mampu menghilangkan keraguan.
4. Tidak adanya dalil yang lebih kuat daripadanya, atau dalil yang menyelisihinya, maka
kaidah tersebut tidak digunakan kecuali tidak ada dalil dari dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
5. Bahwa yang menggunakan kaidah tersebut adalah seorang mujtahid dan yang memiliki
pemahaman syar’i.9

8
Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 256
9
Nuruddin Mukhtar al-Khadimah, Kaidah Fikih, (Tunisia : Ma’had al-Zaitunah, 2007), hlm.47

11
E. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah

Pada umumnya pembahasan qawa'id fiqhiyyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah


Assasiyyah dan kaidah-kaidah Ghayr Assasiyyah. Kaidah Assasiyyah adalah kaidah
yang disepakati oleh imam-imam mazhab tanpa diperselisihkan kekuatannya disebut
juga sebagai kaidah-kaidah induk karena hampir setiap bab dalam fiqih masuk dalam
kelompok kaidah induk ini, yaitu :

1. Segala sesuatu tergantung kepada tujuannya


2. Kemadaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu harus dijaikan hukum
4. yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. kesulitan itu dapat menarik kemudahan
Kelima kaidah itu diringkan oleh izuddin Ibn Abd Salam dengan kaidah "Menolah
kerusakan dan menarik kemaslahatan". Yang ide moderat ini beliau tuangkan dalam
kitabnya yang berjudul "Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam.

Sedang kaidah Ghayr Assasiyyah adalah kaidah yang merupakan pelengkap


dari kaidah assasiyyah dan keabsahannya masih diakui. Kaidah ini berjumlah 19 buah
menurut Hasbi Ash Shiddiqi, ada yang mengatakan 40 kaidah yang tidak
diperselisishkan dan 20 kaidah yang diperselisishkan menurut Abdul Mujid.

Ali Ahmad al-Nadawi membagi kaidah fiqih menjadi dua macam jika dilihat dari segi
hubungannya dengan sumber tasyri, yaitu :

 Kaidah-kaidah fiqih yang semula merupakan hadits-hadits Nabi saw kemudian


dijadikan sebagai kaidah fiqih oleh para ahli fiqih.
 Kiadah-kaidah fiqih yang dibentuk dari petunjuk-petunjuk nas tashri' umum yang
mengandung 'illat.
Jika dilihat dari urgensi dan cakupannya terhadap fiqih, Ali Ahmad al-Nadawi
membagi kaidah fiqih atas empat macam yaitu :

12
1. Kaidah-kaidah fiqih yang cakupannya sangat luas sekali bahkan tak terhingga,
sehingga menempati kedudukan rukun fiqih islam; kaidah-kaidah fiqih yang masuk
kategori ini adalah lima kaidah pokok yang sudah populer (al-Qawa'id al-Khams).

2. Kaidah-kaidah fiqih yang disepakati mazhab-mazhab fiqih tetapi cakupannya tidak


seluas kaidah-kaidah fiqih yang di atas; kaidah-kaidah fiqih yang masuk kategori ini
adalah mayoritas kaidah fiqih yang terdapat dalam kitab majallat al-Ahkam al-
Adliyyah.

3. Kaidah-kaidah fiqih yang disepakati oleh satu mazhab tertentu saja, sedangkan,
mazhab yang lain tidak menyepakati.

4. Kaidah-kaidah fiqih yang tidak disepakati sekalipun dalam satu mazhab yang sama;
mayoritas kaidah fiqih yang seperti ini menggunkan redaksi kalimat istifham (tanya).

'Abd al-Aziz Muhammad 'Azam membagi kaidah fiqih menjadi empat macam yaitu :

1) Qawa'id kulliyyah Kubra. Kaidah-kaidah fiqih ini disepakati semua mazhab fiqih
meskipun dalam memasukkan beberapa masalah fiqih padanya terjadi perbedaan
pendapat. Kaidah-kaidah fiqih tersebut adalah lima kaidah fiqih yang pokok,
yaitu : al-umur bimaqasidiha, al-yaqin la yazul bi al-syakk, al-darar yuzal, al-
masyaqqat tajlib al-tasyir, dan al-'adah myhakkamah.
2) Qawa'id Kubra. cakupan kaidah-kaidah fiqih ini terhadap persoalan furu' tidak
sebanyak qawa'id kulliyyah kubra di atas. Qawa'id kubra ini disepakati oleh berbagai
mazhab fiqih. Diantara qawa'id kubra ada yang menjadi cabang kaidah-kaidah fiqih
yang lima di atas (al-qawa'id al-khams), dan ada juga yang tidak menjadi cabang
kaidah-kaidah fiqih yang lima di atas tetapi mencakup persoalan furu' yang banyak
disebut qawa'id far'iyyah atau qawa'id juz'iyyah, seprti kaidah fiqih (mengamalkan
suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya).
3) Qawa'id 'ammah. kaidah-kaidah fiqih ini diperselisihkan eksistensi dan cakupannya
terhadap persoalan furu'. Redaksi dari kaidah kaidah fiqih ini menggunakan istifham
(pertanyaan), seperti kaidah fiqih (apakah dugaan kuat dapat batal oleh dugaan kuat?).
Kaidah-kaidah seperti ini banyak beredar di kalangan ahli fiqih, yaitu ketika mereka
mengemukakan sebab perbedaan pendapat dalam satu permasalahan, seperti Ibnu

13
Rusyd kitabnya Ta'sis al'Nazar, begitu juga para imam mujtahid seperti Abu Hanifah,
Malik, al-Syafi'i, Ahmad Ibn Hanbal, dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah fiqih yang
cakupannya sempit terhadap persoalan furu'.
4) Qawa'id Khassah, yaitu kaidah yang secara umum cakupannya khusus untuk satu
bab fiqih tertentu. Kaidah-kaidah fiqih ini merupakan hukum-hukum yang saling
menyerupai dari satu bab fiqih tertentu. Di antara kaidah fiqih ini ada yang disepakati
oleh para ahli fiqih, seperti kaidah (setiap kifarat yang penyebabnya maksiat harus
dilaksanakan dengan segera) dan kaidah: (setiap air yang tidak berubah salah satu
sifatnya adalah suci). Secara umum, kaidah seperti ini disebut dabit.10

F. Qawaid Fiqhiyyah dalam fiqih ekonomi islam

Qawaid al fiqhiyyah telah disepakati menduduki kedudukan ke dua dalam


disiplin ilmu syariah setelah ushul fiqh. Dengan berpegang kepada rambu-rambu yang
tertata di dalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil kesimpulan
hukum atas suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah pada lingkup satu
kaidah besar yang nanti dicabangkan pada kaidah-kaidah lainnya. banyak fuqoha
berkata :

Barang siapa memelihara ushul maka ia akan sampai pada maksud. Dan barang siapa
memelihara qawaid maka ia selayaknya mengetahui maksud

dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak
demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil
yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan
mudah menguasai furu’-furu’nya .

Terlebih di era modern ini, kita banyak dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan


kontemporer yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan ranah fiqih. Tak jarang
dari sejumlah perkara baru tersebut belum ditemukan hukumnya karena dalil spesifik
dari nushus tidak ditemukan. Sebagai contoh, jenis kredit yang diharamkan, tidak

10
Prof. Dr. Abdul Aziz, Muhmmad Azzam. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah

14
ditemukan nushus yang spesifik menjelaskan teknisnya. Maka para faqih mengambil
kaidah:

setiap pinjaman dengan menarik manfaat adalah sama dengan riba

dari situ ulama sepakat bahwa kredit yang diharamkan adalah apabila terjadi
pengambilan manfaat berlebih dari akad jual beli normal, dan apabila ada
ketidakjelasan terhadap total harga dalam pembayaran angsuran serta persyaratan-
persyaratan yang menimbulkan ghoror seperti konsekuensi bunga sekian persen bila
jatuh tempo masa pembayaran.

Contoh lain Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah muamalah
syar’iyah adalah:

“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”

Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal
kecuali jelas ada alasan yang melarangnya.

Maka Jika dua orang pelaku muamalah atau lebih, berselisih tentang suatu hal berkaitan
dengan akad muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, akad di bank atau lain-
lain, maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat alasannya sesuai prinsip dalil.

Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa qawaid al fiqhiyyah merupakan komponen


penunjang terpenting bagi mujtahid, mufti, dan faqih dalam melakukan metode
istinbath ahkam atau interpretasi hukum syariat. Bahkan tak dapat diragukan lagi,
penguasaan terhadap ilmu ini merupakan tolak ukur kematangan ilmu sang mujtahid.11

G. Klasifikasi Qawa’id Fiqhiyyah Muamalah

Beberapa qa’idah fiqhiyyah memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-praktek


ekonomi, sebagaimana yang juga diklasifikasi- kan oleh Jazuli (2006). Dalam karyanya,
al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi at-Tajdid, terbitan tahun 1963, Muhammad Mustafa az-Zarqa,
sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006), menyebutkan setidaknya 25 qawa’id yang terkait
dengan transaksi mu’amalah. Seiring perkembangan jaman, keperluan adanya kaidah
yang lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Jazuli sendiri
menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada transaksi ekonomi dan

11
Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983.

15
muamalah.Di antara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-
mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa. Segala bentuk muamalah
pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini
menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal
kecuali jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini
dalam al-majallah.12

12
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan


perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi
dengan sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkut beberapa aspek
kehidupan seperti hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan
sebagainya sampai pada masalah pernikahan.
Penelitian ini memfokuskan pada qawa’id dalam karya-karya para
ulama/fuqaha dari kalangan empat madzhab fiqh, dan implikasinya dalam
pemikiran dan perilaku ekonomi dalam masyarakat.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para
ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu
peletakan qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih
terlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern,
termasuk ekonomi.
Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqh tersebut menyusun qawa’id
dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah
untuk diketahui jumlahnya secara pasti.

17
DAFTAR PUSTAKA

Sugianto, E. (2020). Deskripsi Pengertian dan Penerapan Qawaid Al-


Fiqhiyah. Tawshiyah: Jurnal Sosial Keagaman dan Pendidikan Islam, 15(2), 73-85.

Rafiqi, Y. (2016). Al-Dhawäbith Al-Fiqhiyyah Yang Berkaitan Dengan Jual Beli


(Tinjauan Ringkas dalam Himpunan Undang-Undang Hukum Perdata Daulah Utsmaniyah: al-
Majallah al-Ahkâm al-‘Adliyyah). Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata
Sosial, 4(07).

Komarudin, P., & Hidayat, M. R. (2019). Konsekuensi Perbedaan Fikih Terhadap


Kaidah Fikih. Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman Dan Kemasyarakatan, 19(1), 124-139.

Mufti Rambe, K. (2022). Beberapa Istilah Penting; Membandingkan Qawaid Fiqhiyah


Dengan Dhabit Fiqh, Nazhariyah Fiqhiyah, Dan Kaidah Ushuliyah. Jurnal Landraad, 1(2),
101-112.

Sonafist, Y. (2023). Qawaid Fiqhiyyah: (Korelasi, Urgensi Dalam Istinbath


Hukum). Journal Of Law And Nation, 2(3), 135-143.

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat


(LPKU).
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983.

Nuruddin Mukhtar al-Khadimah, Kaidah Fikih, (Tunisia : Ma’had al-Zaitunah, 2007), hlm.47

Ali Ahmad An-Nadawi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, hlm. 330

Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 255

18

Anda mungkin juga menyukai