Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah
FIQHIYYAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Qawaid Fiqhiyyah
Dosen Pengajar : Safitri, M.H.
Disusun oleh :
Eka Adi Prayuda 2223.02.002
Ira Susilawati 2223.02.005
Muhammad Diva 2223.02.010
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan saya nikmat, yaitu nikmat iman
dan islam, nikmat sehat dan afiat sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul pengertian dan ruang lingkup qawaid fiqhiyyah ini tepat pada waktunya.
Saya Mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Safitri, M.H. selaku dosen mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga berterimakasih kepada semua pihak yang ikut membantu saya dalam
mengerjakan makalah ini, termasuk kepada pihak yang membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Mohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya apabila banyak salah kata atau
kalimat yang kurang berkenan di hati pembaca.
Saya sangat menyadari bahwasanya makalah saya ini jauh dari kata sempurna, tetapi
insyaAllah makalah ini sudah saya buat dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan untuk kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Pembahasan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Kesimpulan 17
DAFTAR PUSTAKA 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang qowaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah hal yang paling
utama dalam melakukan pembahasan hukum Islam, hal ini dikarenakan penguasaan terhadap
kaidah fiqh akan menjadi benang merah terhadap masalahmasalah fiqh yang disesuaikan
dengan tempat, waktu dan kebiasaan yang berlainan dalam pengaplikasian hukum Islam,
sehingga hal tersebut akan menjadikan hukum Islam selalu fleksibel dalam menanggapi isu-isu
sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum.1
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam
untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas bolehmtidaknya sesuatu itu dilakukan,
mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih
utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu
dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.
Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-
petunjuk AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya,
tidak boleh
berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat
Ali Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan
Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai
umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua
sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian Kaidah-kaidah
Fiqih berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah
hukum.
1
Thalib, P. (2016). Pengaplikasian Qowaid Fiqhiyyah Dalam Hukum Islam Kontemporer. Jurnal-Yuridika, 31(1)
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata
qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi,
berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi,
atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi
dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).
Qawa’id Al-Fiqhiyah merupakan sebuah kata-kata terdiri dua rangkai lafadz Qawa’id dan
lafaz al-Fiqhiyah (bisa dibaca fiqhiyah). Hubungan dari kedua lafaz ini, apabila dalam
ilmu nahu disebut hubungan na’at, Qawa’id Fikhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara
etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih. Bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya
dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
b. Al Dhawabith diambil dari kata dasar al-Dhabith artinya menurut etimilogi yaitu
"Memelihara, mengikat, kekuatan, dan penguatan". Secara terminologi dhawabith
fiqhiyyah yaitu; Qadhiyyah kullyyah (proposisi universal) atau ashl kullyyah (dasar
universal) atau mabda kully (prinsip universal) yang menghimpun furu' dari satu bab (satu
tema). Dengan demikian, dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz'iyyah fiqhiyyah yang
terdapat dalam satu bab fiqh. Atau prinsip fiqh yang universal, yang bagian- bagiannya
terdapat dalam satu bab fiqh. Pengertian al-dhawâbith secara bahasa adalah bentuk jamak
dari dhâbith yang berakar kata dh-b-th. Kata ini merujuk pada pengertian luzûm al-syai
wa habsuhu, tetap dan tertahannya sesuatu.
c. Pengertian nazhariyah fiqhiyah yaitu berasal dari nazhir yang berarti mengangan-angan
sesuatu dengan mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan nazhari adalah hasil dari apa
yang diangan-angankan tersebut, seprti halnya mengangan-angankannya akal yang
mengatakan bahwa alam adala sesuatu yang baru. Akan tetapi sebagian ulama fuqaha
kontemporer mengatakan : bahwa nazhariyah sinonim dengan qwa’id fiqhiyah, yang
termasuk dalam golongan ini adalah Syekh Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang di
jelaskan dalam ushul fiqh. Atau Nadhariyah fiqhiyah juga bisa didefinisikan dengan
3
“Maudhu-maudhu fiqih atau maudhu yang memuat masalahmasalah fiqhiyah atau
qadhiyah fiqhiyah. Hakikatnya adalah rukun, syarat, dan hukum yang menghubungkan
fiqh, yang menghimpun satu maudhu’ yang bisa digunakan sebagai hukum untuk semua
unsur yang ada.2
4
Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq,
sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid „alim dan bukan hujjah bagi selainnya,
sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
Kaidah-kaidah ushuliyah lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
3
Rafiqi, Y. (2016).
5
demikian banyak dapat dipisahkan dalam kaidah fiqh tertentu. Apabila tidak ada al-
qawaid al-fiqhiyyah, tentu persoalan hukum yang demikian banyak tetap berserakan
di berbagai kitab fiqh sehingga sulit untuk dipelajari ahli fiqh dengan mudah dan
baik.
Mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah dapat membantu untuk menguasai fiqh
dengan masalah-masalahnya yang demikian banyak. Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah
sebagai jembatan dan sarana melahirkan hukum-hukum.
Membantu kalangan yang melakukan studi fiqh untuk membahas bagian
hukum dan mengeluarkan hukum dari topik-topik yang berbeda dan
meletakkannya pada satu topik dengan tetap memelihara pengecualian (istisna’i)
dari setiap kaidah. Hal ini akan menghindarkan terjadi pertentangan hukum yang
kelihatan sama.
Dengan mengikatkan hukum-hukum yang berserakan pada satu ikatan
menunjukkan bahwa hukum-hukum fiqh membawa misi untuk mewujudkan
kemaslahatan yang sejalan dengannya atau mewujudkan kemaslahatan yang lebih
besar.
Mengetahui al-qawaid al-fiqhiyyah penting untuk memperkuat jalan mengetahui
furû’ fiqh yang demikian banyak.4
1. Mazhab Hanafi
4
Sonafist, Y. (2023). Qawaid Fiqhiyyah: (Korelasi, Urgensi Dalam Istinbath Hukum). Journal Of Law And
Nation, 2(3), 135-143.
6
ini mengetahui khilafiyyah antar ulama serta latar belakang yang menggiring terjadinya
perdebatan pendapat itu sendiri.
Perbedaan yang kemudian disertakan di dalamnya argumen para ulama dalam
kitab beliau (ta’sisun Nazhor) merupakan bukti bahwa para ulama menggunakan
qawaid fiqhiyyah untuk memperkuat kesimpulan yang mereka raih.
Sebagai contoh:
“Hukum asalnya, sesuatu yang apabila ada di awal merubah keabsahan fardhu, maka
dapat merubah keabsahannya juga bila di akhir.”
Misalnya, orang shalat dengan tayammum karenan tidak menemukan air, lalu di
pertengahan sholat ternyata turun hujan, maka menurut abu Hanifah hal tersebut
membatalkan shalat, tapi tidak menurut Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Abu
Yusuf. Lalu dalam kaidah lain:
Hukum asalnya, shalat makmum berkaitan dengan shalat imam.
Hal ini berbeda dengan pandangan imam Syafii, menurut beliau shalat makmum tidak
berkaitan dengan shalat imam.
Sebagai contoh menurut Abu Hanifah, tidak boleh orang suci bermakmum
kepada imam yang berhadast meskipun ia tidak tahu hal tersebut. Tapi menurut imam
syafi’I tidak batal, yang batal hanyalah shalat imam.
Kaidah lain:
Maksud/keinginan atas segala sesuatu tidak berarti menempati posisi
melakukan sesuatu tersebut.
Kaidah ini bertentangan dengan kaidah imam Malik yang mengatakan:
Keinginan atas sesuatu ibarat melakukan sesuatu tersebut.
Sebagai contoh, dalam pandangan imam Malik, sekedar ber-azam untuk mentalak istri
maka sudah dianggap jatuh talaknya, sementara menurut ulama hanafiyyah azam
tersebut tidak membuat talak menjadi sah kecuali dengan ucapan.Dari kitab ini seolah
ingin disampaikan bahwa perbedaan pendapat para ulama yang ada, kerap iidentifikasi
dengan perbedaan mereka dalam memunculkan qawaid sebagai hujjahnya.
7
b. Abu Al-Hasan Al-Karkhi (w. 340 H/951 M)
Addabusi menyatakan dengan jelas tentang keutamaan qawaid fiqhiyyah yang
bisa dijadikan hujjah. Hal ini didukung oleh sikapnya yang menjadikan qawaid itu
sendiri sebagai penyebab perbedaan di tubuh ulama hanafiyyah bahkan antar mazhab.
Menurutnya, qawaid fiqhiyyah menghadirkan kemudahan bagi mereka yang ini
mengetahui khilafiyyah antar ulama serta latar belakang yang menggiring terjadinya
perdebatan pendapat itu sendiri. Abu Al-Hasan Al-Karkhi, sebagai pencetus perdana
kodifikasi ilmu qawaid fiqhiyyah menegaskan sebuah kaidah yang kemudian hari
menjadi popular di kalangan hanafiyyah dan kerap menjadi hujjah mereka dalam
istinbath hukum. Kaidah tersebut adalah:
Setiap ayat yang kesannya kontradiktif dengan pendapat sahabat
sahabat kami, maka dilihat apakah mungkin di nasakh, atau ditarjih, dan yang lebih
utama dita’wil sebagai bentuk kompromi.
2. Mazhab Maliki
A. Ibrahim ibn Musa Asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M)
Asy-Syathibi dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwafaqat beliau mengemukakan kaidah:
Menghilangkan kesempitan dan kesulitan adalah prinsip asalnya, dan sesungguhnya
kesempitan itu harus dihilangkan. Lalu dalam kitabnya beliau pernah ditanya: Bagaimana
hukumnya bila memaksa orang yang mempunyai makanan untuk memberikan
makanannya kepada orang yang kelaparan, karena kalua disimpan akan menghadirkan
bahaya bagi orang lain?, lalu beliau menjawab dengan kaidah:
Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.
Dengan demikian tampak jelas bagi kita bahwa mazhab maliki menjadikan qawaid
fiqhiyyah sebagai hujjah sepanjang kaidah tersebut disepakati oleh ulama dan didukung
kuat oleh nash.
3. Mazhab Syafi’i
a. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H/1505 M).
Diriwayatkan dari perkataan beliau di mukadimah kitabnya (Al Asybah wa An-
Nazhair), yang mana ia menggambarkan bidang keilmuan Al-Asybah wa An-Nazhair.
8
Beliau menyebutkan bahwa kaidah yang disepakati ulama ada 40, dan di antaranya
adalah kaidah pokok, sedangkan yang diperselisihkan ada dua puluh kaidah lain.
As-Suyuthi menjadikan qawaid sebagai pedoman mengidentifikasi
hukum dengan cara ilhaq karena baginya berijtihad sudah tidak mungkin
beliau lakukan.
9
4. Mazhab Hanbali
a. Ibn Qayyim Al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M)
Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in, ada sebuah
kaidah yang dijadikan pijakan beliau dalam berfatwa, yaitu:
Fatwa dapat berubah dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat,
dan kebiasaan setempat.
Menurut beliau, penguasaan dalam kaidah ini sangat penting dalam
perkembangan hukum fikih yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam nash.5
Artinya beliau menjadikan qawaid fiqhiyyah sebagai salah satu landasan dalam
berfatwa.
b. Ibn An-Najjar Al-Hanbali (w. 972 H/1564 M)
Diriwayatkan bahwa Ibn An-Najjar mengatakan bahwa qawaid fiqhiyyah
bukanlah dalil, tapi posisinya sejajar dengan dalil untuk masalah parsial yang
butuh ketentuan hukum tanpa dukungan secara eksplisit dari nash. 6
Pendapat Kedua: Qawaid Fiqhiyyah dapat dijadikan hujjah, dan dapat dijadikan dalil yang
benar untuk mentarjih dan mengambil kesimpulan hokum atas suatu masalah. Pendapat ini
dipahami dari perkataan-perkataan para ulama, di antaranya:
1. Shihab al-Din Al-Qarafi (w. 684 H/1285 M). Diriwayatkan bahwa Al-Qarafi
mensejajarkan ilmu qawaid fiqhiyyah dengan ushul fikih. Menurutnya, kaidahkaidah yang
dapat memperjelas metodologi berfatwa dapat dikategorikan sebagai syariat, terlebih
dengan pernyataannya bahwa mempelajari qawaid fiqhiyyah sama dengan mempelajari
ushul syariat.7
Al-Qarafi berpendapat bahwa keputusan seorang hakim dapat batal apabila menyelisihi
salah satu kaidah dari qawaid yang terbebas dari pertentangan. Sebagai contoh adalah
kasus Suraijiyah yang konon masyhur di kalangan ulama.
5
Dr. Ade, hlm. 276
6
Ali Ahmad An-Nadawi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, hlm. 330
7
Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 255
10
Kasus Suraijiyah adalah kasus yang dinisbatkan kepada Abu Al-Abbas bin Umar bin
Suraij (w. 306 H), yakni apabila seorang suami mengatakan kepada istrinya “Apabila saya
menjatuhkan talak kepadamu maka sebelumnya engkau
telah tertalak tiga”. Menurut Abu Al-Abbas bin Umar bin Suraij, hal ini tidak menjatuhkan
talaknya. Maka menurut Al-Qarafi, jika ada hakim yang mengikuti pendapat Suraij ini, maka
keputusannya adalah batil. dan hal ini menunjukkan bahwa Al-Qarafi meyakini akan
kehujjahan qawaid fiqhiyyah, dan qawaid fiqhiyyah tersebut merupakan dalil kuat yang dapat
membatalkan keputusan seorang hakim apabila ia memutuskan sebaliknya. Dan ia berpendapat
bahwa qawaid fiqhiyyah setara dengan nash, ijma, dan qiyas.8
8
Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, hlm. 256
9
Nuruddin Mukhtar al-Khadimah, Kaidah Fikih, (Tunisia : Ma’had al-Zaitunah, 2007), hlm.47
11
E. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah
Ali Ahmad al-Nadawi membagi kaidah fiqih menjadi dua macam jika dilihat dari segi
hubungannya dengan sumber tasyri, yaitu :
12
1. Kaidah-kaidah fiqih yang cakupannya sangat luas sekali bahkan tak terhingga,
sehingga menempati kedudukan rukun fiqih islam; kaidah-kaidah fiqih yang masuk
kategori ini adalah lima kaidah pokok yang sudah populer (al-Qawa'id al-Khams).
3. Kaidah-kaidah fiqih yang disepakati oleh satu mazhab tertentu saja, sedangkan,
mazhab yang lain tidak menyepakati.
4. Kaidah-kaidah fiqih yang tidak disepakati sekalipun dalam satu mazhab yang sama;
mayoritas kaidah fiqih yang seperti ini menggunkan redaksi kalimat istifham (tanya).
'Abd al-Aziz Muhammad 'Azam membagi kaidah fiqih menjadi empat macam yaitu :
1) Qawa'id kulliyyah Kubra. Kaidah-kaidah fiqih ini disepakati semua mazhab fiqih
meskipun dalam memasukkan beberapa masalah fiqih padanya terjadi perbedaan
pendapat. Kaidah-kaidah fiqih tersebut adalah lima kaidah fiqih yang pokok,
yaitu : al-umur bimaqasidiha, al-yaqin la yazul bi al-syakk, al-darar yuzal, al-
masyaqqat tajlib al-tasyir, dan al-'adah myhakkamah.
2) Qawa'id Kubra. cakupan kaidah-kaidah fiqih ini terhadap persoalan furu' tidak
sebanyak qawa'id kulliyyah kubra di atas. Qawa'id kubra ini disepakati oleh berbagai
mazhab fiqih. Diantara qawa'id kubra ada yang menjadi cabang kaidah-kaidah fiqih
yang lima di atas (al-qawa'id al-khams), dan ada juga yang tidak menjadi cabang
kaidah-kaidah fiqih yang lima di atas tetapi mencakup persoalan furu' yang banyak
disebut qawa'id far'iyyah atau qawa'id juz'iyyah, seprti kaidah fiqih (mengamalkan
suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya).
3) Qawa'id 'ammah. kaidah-kaidah fiqih ini diperselisihkan eksistensi dan cakupannya
terhadap persoalan furu'. Redaksi dari kaidah kaidah fiqih ini menggunakan istifham
(pertanyaan), seperti kaidah fiqih (apakah dugaan kuat dapat batal oleh dugaan kuat?).
Kaidah-kaidah seperti ini banyak beredar di kalangan ahli fiqih, yaitu ketika mereka
mengemukakan sebab perbedaan pendapat dalam satu permasalahan, seperti Ibnu
13
Rusyd kitabnya Ta'sis al'Nazar, begitu juga para imam mujtahid seperti Abu Hanifah,
Malik, al-Syafi'i, Ahmad Ibn Hanbal, dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah fiqih yang
cakupannya sempit terhadap persoalan furu'.
4) Qawa'id Khassah, yaitu kaidah yang secara umum cakupannya khusus untuk satu
bab fiqih tertentu. Kaidah-kaidah fiqih ini merupakan hukum-hukum yang saling
menyerupai dari satu bab fiqih tertentu. Di antara kaidah fiqih ini ada yang disepakati
oleh para ahli fiqih, seperti kaidah (setiap kifarat yang penyebabnya maksiat harus
dilaksanakan dengan segera) dan kaidah: (setiap air yang tidak berubah salah satu
sifatnya adalah suci). Secara umum, kaidah seperti ini disebut dabit.10
Barang siapa memelihara ushul maka ia akan sampai pada maksud. Dan barang siapa
memelihara qawaid maka ia selayaknya mengetahui maksud
dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak
demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil
yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan
mudah menguasai furu’-furu’nya .
10
Prof. Dr. Abdul Aziz, Muhmmad Azzam. Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah
14
ditemukan nushus yang spesifik menjelaskan teknisnya. Maka para faqih mengambil
kaidah:
dari situ ulama sepakat bahwa kredit yang diharamkan adalah apabila terjadi
pengambilan manfaat berlebih dari akad jual beli normal, dan apabila ada
ketidakjelasan terhadap total harga dalam pembayaran angsuran serta persyaratan-
persyaratan yang menimbulkan ghoror seperti konsekuensi bunga sekian persen bila
jatuh tempo masa pembayaran.
Contoh lain Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah muamalah
syar’iyah adalah:
“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal
kecuali jelas ada alasan yang melarangnya.
Maka Jika dua orang pelaku muamalah atau lebih, berselisih tentang suatu hal berkaitan
dengan akad muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, akad di bank atau lain-
lain, maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat alasannya sesuai prinsip dalil.
11
Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983.
15
muamalah.Di antara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-
mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa. Segala bentuk muamalah
pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini
menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal
kecuali jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini
dalam al-majallah.12
12
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin Mukhtar al-Khadimah, Kaidah Fikih, (Tunisia : Ma’had al-Zaitunah, 2007), hlm.47
18