Anda di halaman 1dari 244

Saidmuniruddin.

com – “The Suficademic”

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 01 | Januari 2022


INSPIRING PEOPLE
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Ada jenis orang, kalau bertemu mereka, kita menjadi loyo. Suntuk dan lemas. Energi kita
kempis. Bocor. Tok gara-gara melihat sikap dan isi bicara mereka yang sangat negatif. Ini jenis
orang-orang berpenyakit, dan sifatnya menular.
Sering kita temukan, orang-orang seperti ini suka berbicara, apalagi tentang dirinya. Susah
mendengarkan. Kalaupun mendengar, itupun untuk dibantah. Dunia dan kebenaran seolah-
olah bertumpu pada dirinya.
Orang-orang seperti ini juga suka menjelek-jelekkan orang lain. Dengan menjelekkan orang
lain, seolah-olah dirinya langsung menjadi baik. Karakternya pesimis. Suka mengeluh. Yang
dibahas selalu masalah. Yang dipostingnya selalu aib. Keburukan-keburukan. Sebab, segala
yang dilihat olehnya hanya keburukan. Lalu keburukan-keburukan ini ditularkan kepada kita.
Orangnya kritis memang, tapi kritis “negatif”. Membodohi. Suka menyerang, mengejek,
memfitnah, menjelekkan, dan menertawakan. Ini tipe pertama, tipe orang yang bersetan.
Lalu ada juga orang-orang yang jika anda menatap wajahnya, melihat sikapnya, mendengar dia
berbicara; hidup anda menjadi lebih berwarna. Lebih bersemangat. Tambah sehat. Makin

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 1


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

senang dan bahagia. Ini jenis orang yang level energinya sudah mampu memberi “syafaat”.
Mampu menebar rahmat. Ini tipe nabi, tipe malaikat.
Orang-orang seperti ini bicaranya menyenangkan. Menyemangati. Menularkan ilmu. Tidak
menggurui. Konten dakwahnya membesarkan jiwa. Berfokus pada kelebihan dan kebaikan-
kebaikan orang. Perspektifnya selalu positif. Terkadang bicaranya tajam. Tapi penuh ilmu,
tidak tendensius. Kritis, tapi “positif”. Bukan menyerang orang. Tapi membangun ide. Alih-alih
menertawakan orang, tipe orang ini justru lebih banyak menertawakan diri sendiri. Bahasanya
tidak menyakitkan. Humoris, kaya jiwa.
Inilah tipe yang disebut Alquran sebagai “pembawa berita gembira”. Tipe nabi. Energik dan
mencerahkan. Mereka punya cara penyampaian yang membuat audien bahagia. Berita buruk
sekalipun dapat disampaikan dengan cara yang arif. Bukan dengan cara menakuti,
mengkafirkan atau membidahkan. Orang-orang seperti ini tidak melihat segala yang ada, selain
sebagai refleksi dari keindahan, kebaikan, kelebihan, peluang dan kesempurnaan Tuhannya.
Sehingga, energi bahagia ini selalu dibawanya kemana-mana. Mereka tularkan kepada siapapun
juga.
Untuk menjadi “inspiring people”, kita harus belajar menjadi tipe nabi, tipe malaikat. Yang
dalam setiap gerak dan ucap (akhlak), tidak memancarkan apapun, selain kebaikan dan
keindahan (ihsan). Dan ini tidak bisa kita miliki, jika isi terdalam dari diri kita belum dipenuhi
oleh Cahaya Tuhan. Sebab, apapun yang memancar keluar dari diri kita, adalah isi terdalam
dari jiwa. Kalau dalamnya setan, setanlah kita. Kalau dalamnya malaikat, malaikatlah kita.
Menjadi ulama dan habib sekalipun, tidak menjamin kita menjadi malaikat. Karena kita
menemukan, ada satu atau dua orang, ketika semakin di-ulama-kan, semakin kotor bicaranya.
Semakin provokatif. Alih-alih membangun ukhuwah; ia justru semakin suka menghujat,
mencaci, memaki, membenci dan mengkafirkan. Perilaku ini sering mencuat setiap ada
momentum politik. Terkadang dilakoni hanya untuk memenuhi nafsu kuasa beberapa orang
lainnya. Bangsa ini bisa terbelah gara-gara satu dua orang seperti ini.
“Fa-alhamaha fujuraha wataqwaha” (QS. As-Syam: 8). Manusia bisa menjadi setan
yang infectious. Bisa juga menjadi malaikat yang inspiring. You choose!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 02 | Januari 2022


MURAQABAH DAN MAHABBAH
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 2


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Manusia itu ‘mati’. Sampai ia mampu merasakan “kehadiran” Allah dan menunjukkan bentuk-
bentuk “cinta” terbaiknya kepada Allah. Dalam dunia irfan atau tasawuf, dua hal ini disebut
“muraqabah” dan kemudian “mahabbah”. Itulah dua makam perjalanan spiritual yang umum
ditemukan dalam kehidupan seorang nabi. Kedua hal ini bisa direplika (tauladani) oleh para
pengikutnya.
Muraqabah
Semua orang pasti beriman (percaya) kepada adanya Tuhan. Itu alamiah, fitrah. Akal punya
kemampuan untuk menalar bukti-bukti keberadaan Tuhan. Ateis sekalipun sering
mengucapkan “Oh my God”. Alam bawah sadarnya percaya, Tuhan itu ada. Apalagi orang
beragama, semua sudah terdoktrin untuk yakin kepada adanya Tuhan.
Tapi, pada tahap percaya seperti ini, kita masih disebut “mati”, secara ruhiyah. Karena hanya
otak (akal) kita yang sadar. Artinya, Dia secara teoritis kita yakini ada. Tapi belum pada tahap
mampu diverifikasi substansi-Nya. Kehadirannya belum dapat dirasakan. Wajah-Nya belum
mampu dilihat. Wujud-Nya tidak bisa ditemukan. Belum bisa dijumpai, diajak bicara, dan
didengar kalam-Nya.
Disatu sisi, kita manusia disebut “insan”; manakala intelek sudah mampu membangun persepsi
tentang Tuhan (dalam pemikiran David Hawkins Power vs Force, disebut sebagai orang-orang
yang bernilai 500 ke bawah). Namun belum masuk ke dimensi “kamil” (nilai kum kreditnya
500 ke atas; dan para nabi mampu mencapai angka maksimal 1000). Kita mampu
menjadi insan manakala akal kita sudah hidup. Namun untuk menjadi kamil, qalbu harus
aktif. Sejauh ini kita percaya Dia ada. Tapi belum akrab, belum tembus untuk menjadi sahabat
dan kekasih-Nya. Belum komunikatif dan interaktif dengan-Nya. Karena qalbu yang
merupakan perangkat paling ruhaniah yang dapat menyambungkan kita dengan Tuhan, masih
mati.
Alquran hampir selalu berbicara kematian manusia dalam konteks matinya qalbu. Kalau belum
“rujuk” (kembali) kepada Allah, belum tersambung, atau belum terhubung dengan Allah; kita
dilabeli sebagai “mati”. Persis seperti HP; qalbu orang beriman baru dikatakan hidup jika
sudah “bergetar”, sudah masuk sinyal dan pesan dari alam arwah, alam ruh, alam malaikat atau
alam rabbani (QS. Al-Anfal: 2).
Awal hidupnya qalbu, dalam terminologi para sufi disebut “muraqabah”. Dalam terminologi
lainnya disebut yaqazah (keterjagaan, keterhubungan, atau perjumpaan ruhani kita dengan
Ruhani Rasulullah; yang terjadi secara sadar dan bahkan secara visual). Muraqabah adalah awal
makrifat, awal dari perjalanan spiritual. Para sufi yang sudah memiliki muraqabah punya
kemampuan untuk membangun komunikasi dengan Ruhul Muqaddasah Rasululullah, dengan
Allah. Sebab, Allah itu Maha Hidup. Kita juga dikatakan “hidup”, jika sudah terkoneksi
dengan yang Maha Hidup. Semua nabi memulai perjalanan spiritual mereka

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 3


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dengan muraqabah ini. Secara perlahan mereka membangun kemampuan berinteraksi


dengan Nur Muhammadi. Sampai kemudian benar-benar hidup dalam dimensi yang Maha
Tinggi; mampu terus membangun dialog, bergerak, fana dan baqa bersama-Nya.
Muraqabah adalah kehadiran unsur-unsur malakut dalam diri manusia. Sebab, hanya
dimensi malakut (malaikat) yang mampu menembusi “alam Tuhan”. Manusia yang tidak
terhubung dengan alam malakut mustahil mengenal Allah. Sebab, mengenal malaikat adalah
pra-syarat mengenal Allah. Artinya, Allah hanya bisa dijumpai (dimakrifati) jika sudah
pernah bertemu malaikat.
Pertanyaan provokatifnya adalah, apakah anda sudah pernah berjumpa malaikat? Jika belum,
mustahil bisa sampai kepada Allah. Karena itu memang maqam (station) yang harus dicapai
dalam perjalanan spiritual. Semua nabi bertemu malaikat, sebelum sampai kepada Allah. Anda
jangan menghayal bisa lebih hebat dari nabi, langsung lompat ke Allah. Temui malaikat dulu.
Jadilah makhluk malakut terlebih dahulu, menjadi ahli dzikir, yang tidak pernah berhenti
bertasbih kepada-Nya; jika berharap ingin bertemu Tuhan.
Itulah muraqabah, kehadiran para malaikat dalam diri. Kehadiran “bala tentara” Allah.
Kehadiran para penolong yang akan selalu memenangkan kita. Kehadiran sinyal-sinyal dari sisi
Allah. Kehadiran elemen-elemen laduniah, hidayah atau petunjuk langsung dari Allah. Ilham,
wahyu atau kalam Tuhan. Pengetahuan-pengetahuan yang disalurkan secara langsung dari sisi-
Nya.
Manusia-manusia malakut mampu berdialog dengan Allah. Kalau berbicara akan diijabah,
dijawab oleh Allah. Mereka punya kemampuan “mendownload” rahasia-rahasia semesta.
Mengetahui benar salah secara hak (langsung menurut Allah). Tau mana yang “kanan”
(boleh), mana yang “kiri” (tidak boleh). Karena dalam diri mereka telah aktual kehadiran
“raqib-atid” yang senantiasa mengawasi, yang selalu membisiki tentang baik-buruk atau benar-
salah sesuatu. Karena faktor inilah para nabi menjadi maksum. Terjaga dari dosa. Para walinya
juga begitu, senantiasa terawasi, terjaga dan terlindungi dari keburukan-keburukan.
Muraqabah merupakan warisan elementer dari para nabi. Kemampuan ini juga dimiliki
(diwariskan) kepada para imam dan wali-walinya. Maka tidak heran, dalam mazhab tertentu
(tariqah); kata-kata para imam, wali atau mursyid disetarakan dengan “hadis”. Sebab, kalau
seseorang sudah berbicara dan bertindak dalam dimensi muraqabah, itu dimensi ilahiahnya
sangat tinggi, bernilai sunnah.
Karena itulah, orang-orang yang memiliki muraqabah disebut sebagai “waris” nabi. Corongnya
Allah. Sebab, mereka memiliki metodologi yang sama dengan para nabi dalam berdialog dan
berinteraksi dengan Allah. Sampai kiamat Allah itu masih Maha Berkata-Kata. Anda masih
dapat mengajak Dia berbicara, tanpa harus terlebih dahulu menjadi nabi. Cukup jadi orang

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 4


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

bodoh saja, namun punya metodologi beragama yang sama dengan para nabi, anda pasti bisa
berkomunikasi dengan-Nya. Hanya qalbu yang mati yang kehilangan kontak dengan Allah.
Ingat, muraqabah ini adalah “vibrasi” ketuhanan. Sinyal-sinyal yang masuk dari alam
Tuhan. Muraqabah adalah pengamatan Allah. Pengawasan Allah. Penjagaan Allah. Penglihatan
Allah. Peringatan Allah. Teguran Allah. Sapaan Allah. Cubitan Allah. Kode-kode dan bisikan
dari Allah. Semuanya bentuk gelombang “ayat”, atau tanda-tanda yang turun dari langit.
Namun banyak orang yang pesimis, ini hanya perbendaharaan ilmu para nabi. Mereka keliru.
Mereka lupa, bahwa kita manusia adalah makhluk sempurna. Dengan pelatihan (riyadhah)
tertentu; seluruh jaringan sel dan syaraf kita bisa aktif dan dapat berinteraksi secara online dan
langsung dengan Allah SWT. Tentu harus ada jibril, rasul, wali, mursyid, guru atau supervisor
yang membimbing pelatihan ini. Sebab, ini dunia “gaib”. Dunia ketuhanan. Dunia spiritual
yang sangat halus. Dunia dimana setan juga ikut bermain di dalamnya. Maka para nabi serta
warisnya harus dijadikan “wasilah”, tempat kita mengambil ijazah. Karena mereka adalah
pemegang otoritas untuk urusan aktivasi ruh. Melalui bimbingan para buraq inilah kita dapat
‘terbang’, guna “diperjumpakan” dengan yang Maha Suci.
Para ahli tasawuf, termasuk Al-Ghazali, ikut menguraikan tentang muraqabah ini. Begitupun
Abuya Sayyidi Syeikh Ahmad Sufimuda senantiasa memperkenalkan “barang” ini kepada
murid-muridnya di Dayah Sufimuda. Muraqabah adalah sesuatu yang paling dicari oleh kaum
hanif. Muraqabah adalah awal penapakan seseorang di alam ruhani, sebelum masuk ke
makam-makam yang lebih tinggi; makam dimana Allah yang Maha Batiniah semakin men-
dhahir-kan diri; dalam rupa dan makna-makna yang dapat dipahami manusia.
Muraqabah ini tidak bisa dituntut. Karena ia murni pemberian ilahi. Milik para wali. Anda
boleh saja sholat siang malam, berdzikir pagi petang. Ada titik dimana Dia sendiri yang akan
hadir dan bersedia memperkenalkan Diri. Terkadang vibrasi kehadiran-Nya sangat kuat. Bisa
membuat anda menjerit, menangis. Bahkan dapat membuat anda pingsan seketika, seperti yang
dialami Musa (QS. Al-Araf: 143).
Mahabbah
Jika muraqabah itu berbentuk sinyal-sinyal, gelombang, bisikan, pengawasan dan aneka rasa
dan penyaksian akan kehadiran Tuhan; maka mahabbah lebih tinggi lagi. Mahabbah sudah
berbentuk aktualisasi cinta terhadap Allah. Bukan lagi sekedar mampu berkomunikasi dengan-
Nya; tapi sudah pada tahap berbuat, berkorban, beramal, atau melakukan sesuatu bagi Dia.
Sehingga mahabbah disebut sebagai puncak dari agama. Pada tahap awal, kita (sebagimana
para nabi) memang harus terkoneksi dengan Dia (muraqabah). Selanjutnya bertindak sesuai
apa maunya (mahabbah).
Bentuk “amal baik” itu ada dua. Pertama, baik menurut kita. Kedua, baik menurut Allah. Kita
bisa saja banyak membaca. Apakah membaca Quran, buku/kitab dan sebagainya. Lalu dengan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 5


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

menggunkaan akal fikiran bisa kita tafsirkan baik-buruk atau benar-salah tentang sesuatu. Itu
namanya kebenaran “interpretatif”, atau “kebenaran “argumentatif” (ilmu yakin). Bisa benar,
bisa salah. Bahkan seringkali sesuatu yang benar dan baik menurut kita, belum tentu benar dan
baik menurut Allah. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Ada yang lebih tinggi dari kebenaran tafsiran. Yaitu kebenaran hakiki, alias benar dan baik
menurut Allah (hakkul yakin). Seringkali kebenaran itu bersifat “subjektif”. Artinya; mesti
dikaitkan dengan konteks kasus, tempat dan waktu. Sehingga manusia sering menerjemahkan
kebenaran sesuai kondisi. Itu sudah main akal. Sementara bagi yang sudah
hidup muraqabahnya, Allah sendiri yang akan “turun” pada konteks ruang dan waktu tersebut;
untuk membisiki apakah sebuah tindakan yang kita ambil sudah benar/baik atau tidak untuk
konteks itu.
Jadi ada “akal Tuhan” (wahyu/ilham) yang hadir, untuk mengarahkan kita pada setiap tempat
dan waktu. Muraqabah inilah yang membuat Islam selalu relevan disetiap zaman dan waktu.
Karena Tuhan hadir disepanjang zaman untuk membimbing hambanya, secara
aktual. Muraqabah adalah God’s decision, keputusan-keputusan Tuhan yang senantiasa dibisiki
kepada hamba-Nya. Jadi bukan seorang hamba yang memutuskan, tapi Tuhan. Disini berlaku
dalil: la haula wala quwwata illa billah. (Wahyu) Allah akan hadir, manakala ego (akal dan
nafsu) kita sudah tidak berdaya. Ada metodologi dalam tasaawuf untuk naik ke alam
suprarasional (alam wahyu/ilham).
Jadi, mahabbah itu (pada level hakikinya) adalah bertindak sesuai maunya Tuhan. Tuhan yang
mendikte kita harus membangun apa dan melakukan apa. Akal universal kita memang selalu
hidup untuk memikirkan yang terbaik. Tapi dicelah-celah itu Tuhan akan selalu hadir untuk
memberi keputusan dan arahan-arahan terbaik. Itulah yang kita temukan dalam kehidupan
para nabi. Mereka mampu merasakan kehadiran Tuhan. Lalu melakukan berbagai gerakan atas
maunya Tuhan. Muhammad SAW misalnya, umur 40 sudah sempurna muraqabah-nya.
Sudah baqa dalam dimensi ilahi. Pada puncak usia mudanya itu, ia sudah mampu berdialog
dan berinteraski secara maksimal dengan Tuhannya. Lalu apa yang terjadi kemudian adalah
bagaimana dia membangun gerakan ekonomi, sosial dan politik diatas bisikan dan proses-
proses dialogis dengan Tuhannya. Jadi, ia tidak melakukan amal baik menurut akalnya saja.
Melainkan atas petunjuk-petunjuk yang turun secara langsung dari sisi Tuhannya (laduni).
Itu mahabbah. Berkorban habis-habisan untuk Tuhan. Tidak harta dan benda; nyawa sekalipun
disediakan untuk berjihad di jalan Tuhan-Nya. Mahabbah ini sudah mirip “orang gila”. Hilang
akal. Sudah mabuk bertuhan. Sudah “mati” kemanusiaannya. Sudah tak ada lagi dirinya.
Semua tentang Tuhannya. Semua terserah apa maunya Dia. Terserah Allah dan Rasul-Nya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 6


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Pada level syariat kita memang masih suka berdoa minta ini, minta itu. Banyak kali permintaan
kita. Bahkan mirip-mirip memaksa Tuhan untuk memenuhi semua nafsu dan selera kita. Pada
level mahabbah, kita sudah mulai bermunajat, malu meminta, semuanya terserah Allah saja.
Puncak ideologi adalah mahabbah. Menjadi pekerja, menjadi kesatria. Mahabbah adalah
mencintai alam dan umat manusia sebagai bentuk refleksi cinta kepada Tuhan, yang Wajah-
Nya ada dimana-mana. Mahabbah adalah berbakti kepada agama dan bangsa, yang diniatkan
untuk-Nya. Mahabbah adalah mengabdi kepada para ulil amri yang menunjukkan mereka,
baik jalan menuju ke langit, maupun jalan-jalan untuk menuju kesejahteraan di dunia.
Islam tidak akan tegak secara cepat di tengah dunia Arab yang jahiliah, jika Muhammad tidak
mampu membangun pasukan yang penuh mahabbah. Generasi awal Islam adalah orang-orang
yang kuat muraqabah, dan full mahabbah. Inilah rahasia yang membuat Islam menjadi
kekuatan yang mengerikan, yang dalam tempo 20 tahun sudah mampu merubah peta ideologi
dan kekuasaan di tengah jazirah.
Pasukan Wali Qutub, Imam Zaman atau Al-Mahdi di akhir zaman juga seperti itu.
Kuat muraqabahnya, tinggi mahabbahnya. Mampu merasakan kehadiran Tuhan, dan tidak
pernah lelah berjuang di jalan-Nya. Itulah generasi Islam terbaik, di awal dan di akhir zaman.
Selebihnya adalah orang-orang awam seperti kita; yang persis buih di lautan, terombang kesana
kemari. Jauh dengan Tuhan, cinta dunia, kikir, dan takut mati. Malas, dan mood-nya juga tak
jelas. Ampun Tuhan!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 03 | Januari 2022


“METAVERSE”, DUNIA PERMAINAN DAN SENDA GURAU
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Manusia hidup dalam berbagai dimensi. Ada dimensi “murni asli” (objective reality, wujud
kekal atau baqa), ada dimensi “asli tapi palsu” (virtual reality, fana atau yang baru-baru ini
diperkenalkan oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg sebagai metaverse).
Misalnya begini. Kalau anda main film, di film itu adalah wujud anda dalam dimensi akting,
atau drama. Bukan anda dalam wujud kehidupan asli. Yang di film itu sebenarnya juga anda,
tapi “palsu”. Virtual. Permainan. Senda gurau saja.
Itulah kita di dunia ini. Semua sedang berakting disebuah alam digital karya Tuhan, dengan
algoritma kehidupan yang begitu dahsyat. Padahal, semuanya hanya permainan dan senda
gurau (la’ibuw wa lahwun):

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 7


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

‫ان َما الْ َح َيا ُة ا نْ َيا لَ ِع ٌب َولَه ٌْو ۚ َوا ْن ت ُْؤ ِم ُوا َوتَت ُقوا يُ ْؤ ِ ُ ْﲂ ُج َور ُ ْﰼ َو َﻻ َ ْس لْ ُ ْﲂ ْم َوالَ ُ ْﲂ‬
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah alam permainan dan senda gurau (metaverse). Dan
jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak
akan meminta harta-hartamu” (QS. Muhammad: 36).
Kita sedang main film semua. Kita sedang berada di lapik layar bioskop. Kita memang hidup,
bergerak dan bersuara. Tapi semuanya tidak lebih dari pancaran teknologi Cahaya dari alam
sana (Allah adalah Cahaya yang telah membuat langit dan bumi menjadi sebuah virtual reality,
sebuah lukisan dan film yang hidup dan terasa begitu nyata, QS. An-Nur: 35).
Kita ini film yang lagi diputar, film yang sedang diproyeksikan ke atas layar yang sangat lebar.
Layar dunia. Layar alam semesta. Kita yang asli, saat ini, sebenarnya sedang berada di
“kampung akhirat” (daral akhirah), kampung kehidupan yang sesungguhnya:
َ ‫َو َما هَـ ِذ ِه الْ َح َيا ُة ا نْ َيا اﻻ لَه ٌْو َول َ ِع ٌب ۚ َوان ا َار ا ْ ٓ ِخ َر َة لَهِ َي الْ َح َي َو ُان ۚ لَ ْو َﰷنُوا ي َ ْعل َ ُم‬
‫ون‬
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya kampung akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui” (QS. Al-Ankabut: 64)
Manusia adalah makhluk multi dimensi, multi alam. Kita dapat berada di dua tempat berbeda,
pada waktu yang sama. Berada di dunia (dalam wujud mainan/ujian), sekaligus di akhirat
(dalam wujud sebenarnya). Fisik kita makhluk bumi. Ruh kita adalah nafas ilahi, berdimensi
akhirat.
Kita pada dimensi maya (metaverse) adalah makhluk bumi yang sedang berakting, memainkan
peran-peran kekhalifahan yang ditugaskan Sang Sutradara. Ada yang gagal memainkan peran,
ada yang berhasil. Berbeda dengan akhirat yang sifatnya objective reality, “lebih baik dan
kekal” (wal akhiratu khairuw wa abqa, QS. Al-‘Ala: 17); dunia ini kesenangan yang bisa
memperdaya:
‫ِا ْل َ ُم ْوا َان َما الْ َح ٰيو ُة ا نْ َيا ل َ ِع ٌب ولَه ٌْو و ِزيْ َن ٌة وتَفَاخُر ب َ ْ َ ُ ْﲂ َو َ َﲀ ٌُر ِﰱ ْ َاﻻ ْم َوالِ َو ْ َاﻻ ْو َﻻ ِ ۗد َﳈَﺜ َِﻞ‬
‫اب‬ٌ ‫غَ ْي ٍث َا ْ َﲺ َب الْ ُكف َار ن َ َباتُ ٗه ُﰒ َ ِﳞ ْي ُج فَ َ ٰ ىﱰ ُه ُم ْصفَرا ُﰒ َ ُك ْو ُن ُح َطا ًما ۗ َو ِﰱ ْ ٰاﻻ ِخ َر ِة َ َذ‬
‫َش ِديْ ٌۙد و َم ْغ ِف َر ٌة ِ ّم َن ا ٰ ّ ِ َو ِرضْ َو ٌان َۗو َما الْ َح ٰيو ُة ا نْ َيا ٓ ِاﻻ َم َا ُع الْغ ُُر ْو ِر‬
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling
bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak
keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para
petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang
keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang
lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya”
(QS. Al-Hadid: 20)
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 8
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Agar kita memiliki tabiat yang dapat meluruskan pandangan kita selama di bumi, maka wujud
Ruhani (wujud asli kita yang di langit) harus diperbaki. Karena manusia adalah sebuah wujud,
yang baik buruk dimensi lahiriahnya (wujud duniawinya) sangat ditentukan oleh dimensi
batiniah (wujud akhiratnya). Artinya, kita harus mampu kembali (mengembalikan diri kita)
kepada Tuhan, balik ke dimensi akhirat, untuk memperbaiki segala yang rusak. Kita menjadi
kacau selama di dunia hanya karena wujud ukhrawi kita sudah berpenyakit. Wujud langit,
wujud ketuhanan (ruh) kita sudah rusak.
Itulah mengapa tasawuf sering menggambarkan manusia secara bertingkat. Makhluk bumi,
sekaligus makhluk langit. Manusia adalah makhluk multi dimensi, yang hidup di berbagai
tingkatan alam. Secara umum, Alquran menjelaskan bahwa kita pada tingkatan tertinggi
“berasal” dari Allah (dari alam Ahadiyah), dari alam lain yang maha gaib (menurut mata
dunia). Itu aslinya kita.
Lalu secara bertahap kita memiliki wujud di alam-alam (dimensi) berikutnya: alam wahdah,
alam wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam jism dan seterusnya. Semua alam ini adalah
perjalanan kejadian, atau “pancaran” kita dari yang asli disana untuk menjadi makhluk bumi.
Ruh kita adalah Cahaya-Nya. Yang dipancar, ditiup, atau beremanasi dari alam sana; lalu
menempati wadah cangkang manusia. Untuk kembali ke sana, untuk memperbaiki wujud
tabiat duniawi agar selaras dengan sisi ketuhanan, alam-alam tersebut harus di tempuh, didaki
kembali. Itulah yang ingin disampaikan Ibnu Arabi dan para sufi lainnya dalam “Martabat
Tujuh”.
Jadi sebenarnya; kita sebagai Ruh yang maha batiniah, ada di sana. Di langit. Tapi kemudian
lewat proses yang unik, lewat sebuah perjanjian primordial, ikut memiliki substansi di alam ini.
Ada berbagai dimensi dari sosok manusia; dari wujud ukhrawi yang absolut atau baqa, sampai
ke bentuk-bentuk duniawi yang bersifat mumkin atau fana. Manusia terpancar untuk memiliki
wujud dalam dimensi dunia yang fana, dan juga dapat bermujahadah untuk kembali ke Wujud
yang baqa:
‫ُﰻ َم ْن َلَ ْﳱَا فَ ٍ ۖان وي َ ْب ٰقى َو ْ ُه َرب ّ َِك ُذو الْ َ ٰل ِﻞ َو ْ ِاﻻ ْك َرا ِۚم‬
“Semua yang ada di atasnya (bumi) itu sifatnya metaverse (fana/akan binasa). (Hanya) Wajah
(zat) Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap baqa, kekal (QS. Ar-Rahman:
26-27).
Kita yang absolut dan asli, itu ada di dimensi akhirat. Kita yang di dunia hanya dimensi virtual
atau metaverse. Dalam bahasa berbeda, imam Ali as menyebut wujud kehidupan dunia sebagai
“mimpi”, yang kalau mati (masuk ke dimensi ukhrawi), baru kita semua akan tersadarkan. Kita
di dunia persis seperti orang sedang main game online. Kalau listriknya mati, baru kita sadar
dan kembali ke rumah, ke kehidupan yang asli, ke kampung yang sebenarnya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 9


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dunia ini game online dalam dimensi yang tinggi. Algoritmanya begitu sempurna. Saling
terkoneksi. Interaksinya live. Seperti nyata sekali. Ada unsur “rasa” dalam semua
permainannya. Kita mampu merasa susah, sedih, marah, senang dan sebagainya. Sehingga
sebagian orang percaya, khususnya kaum materialis, dunia inilah kehidupan yang
sesungguhnya. Selebihnya tidak ada.
Dunia virtual metaverse ini dapat membuat kita larut. Seperti anak-anak yang adiktif dengan
berbagai game simulatif. Sampai lupa segalanya. Sampai sakit jiwa. Sampai binasa. Karena
Tuhan memang telah menciptakan dunia ini sebagai film yang “indah”. Telah dibuatnya
menarik untuk dipandang mata. Tapi bagi kita orang awam, bisa terjebak dan tersesat di
dalamnya.
Ibarat orang yang larut dengan teknologi virtual internet dan aneka interaksi onlinenya. Itu
semua metaverse. Permainan belaka. Pada kadar tertentu, itu membuat kita bahagia. Pada
tingkatan berlebih, rusak kita. Terkadang begitu larut kita dengan game tersebut. Saat pulang
ke kehidupan nyata, kita ribut dengan anak dan istri. Anak tak ada susu, istri tak ada lipstik.
Rusuh.
Coba perhatikan kehidupan para selebriti, ujungnya kacau balau. Karena larut dalam dunia
film, sinetron, permainan, gaya dan citra media. Sebagian besar tidak mampu menghadapi
kehidupan nyata. Rumah tangganya berantakan. Akhirnya terlempar dalam narkotika dan
sabu-sabu, agar terus berada di alam khayali. Masyarakat juga banyak yang meniru artis.
Waktunya habis dalam dunia tik tok, jadi selebgram dan sibuk up-date status di Meta
Facebook. Sebagian justru melakukan itu untuk lari dari kenyataan, tanpa misi suci yang jelas.
Jangan lalai dengan alam virtual, alias “dunia” (bahasa Aceh: Donya). “Donya” adalah sesuatu
yang tidak ada dimensi akhiratnya. Pasti rusak, hancur dan binasa kita. Pastikan kehidupan
duniawi kita paralel dengan kehidupan ukhrawi. Maknanya, “Sesekali harus diperiksa wujud
ukhrawi kita, sudah seperti apa. Harus diperbaiki jika ada yang rusak gara-gara terlalu
tenggelam dalam tipuan metaverse”, sebut Sufimuda ketika pertama sekali membuka terma
metaverse yang digunakan untuk menjelaskan ontologi sufisme. Beliau menuliskan itu
dalam “Metaverse, Hakikatnya Kehidupan di Dunia ini Tidak Nyata”.
Sebenarnya dunia dan akhirat itu satu. Semua alam ini bagian dari Dia yang Ahad. Tunggal.
Tak terpisah. Hanya beda dimensi. Semuanya satu, tapi dalam gradasi warna yang berbeda.
Kalau anda sudah ahli, mudah sekali bagi untuk pindah-pindah alam. Karena semuanya satu.
Saat sedang berada di dunia, anda bisa ‘terbang’ (pindah) ke akhirat. Secepat kilat (buraq).
Begitu berada di akhirat, anda bisa melihat bagaimana sia-sianya sebagian besar kehidupan
dunia. Kan itu yang dilihat Nabi SAW dalam perjalanan mikraj?
Suluk, dzikir, sholat dan aneka latihan ruhani lainnya, jika dilakukan dengan benar akan
menjadi metode mikraj. Cara untuk kembali ke kampung kita yang asli. Ke akhirat. Ke surga.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 10


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ke Tuhan. Sehingga kita menjadi sadar akan hidup yang sesungguhnya, dan tidak terjebak di
kehidupan “metaverse”. Agama punya punya metodologi untuk kembali ke Tuhan, agar kita
dekat dengan Dia dan dapat memperbaiki nasib di alam sana, sehingga kehidupan dunia
menjadi lebih bermakna.
Ketika tau bahwa dunia ini hanyalah metaverse, sejatinya kita menjadi bijak. Cicipi seperlunya.
Jangan mabuk dengannya. Jangan diseriusi kali, sampai bersedia menghabisi dan mengkafirkan
orang. Kalau mau ikut bermain dalam dunia metaverse ini, mainlah dengan bijak. Kalau
menang bersyukur, kalau kalah pun santai saja. Janganlah terlalu dalam kalau membenci
seseorang. It’s just a game. Jangan sampai merusak wujud asli anda di alam sana.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 04 | Januari 2022


“THE SMILING HABIB”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Terasa seperti ada yang membisiki: “Borobudur dan Prambanan kau kunjungi, tapi rumah aku
yang terletak di ujung jalan ini tidak kau datangi”. Akhirnya pagi ini kami berjalan kaki sekitar
100 meter dari rumah paman istri, tempat kami menginap di samping alun-alun kidul selatan,
menuju persimpangan jalan Ibu Pertiwi, Pasar Kliwon, Solo.
Disana ada makam Habib Muhammad Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi. Populer dengan Habib
Anis (5 Mai 1928 – 6 November 2006). Karena murah senyum, dinamai “The Smiling Habib”.
Beliau kebetulan juga sosok yang pernah menikahkan kedua orang tua dari istri kami.
Namanya tempatnya “Riyadh”, berupa masjid dan komplek makam. Tidak besar memang. Tapi
cukup bersih dan rapi.
Kami mengamati, satu persatu orang datang. Lalu pergi. Ada yang bersarung dan berpeci. Ada
yang apa adanya. Ada yang pagi-pagi lengkap dengan baju dinas, sebelum ke kantor mampir ke
makam ini, sekedar sholat dua rakaat di serambi masjid di sampingnya, berdoa lalu pergi. Ada
juga tukang parkir, di sela istirahatnya mampir ke makam; masih dengan celana puntung dan
peluit di lehernya, ia terlihat khusyuk berdoa; lalu kerja lagi. Spiritualitas warga. Sederhana,
tapi penuh makna.
Kiblat syariat, itu bangunan batu yang suci, bernama Kakbah. Kiblat para salikin, itu juga ada
dalam bentuk tempat-tempat suci lainnya, khususnya makam yang di dalamnya terbaring jasad
para nabi dan awliya. Seperti halnya Kakbah, makam mereka tak pernah sepi dari para
peziarah. Alquran menyebut mereka ini sebagai orang-orang yang semakin hidup. Tidak

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 11


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

pernah mati. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat rizki dari sisi Tuhan, dan
mampu memberi (mensyafa’ati).
Sebenarnya Tuhan itu “impersonal”. Tanpa Kakbah pun, Dia bisa disembah. Tapi terasa tak
ada Wujud. Tak ada arah. Maka, Tuhan juga sangat “personal”. Wujud-Nya, Cahaya-Nya hadir
pada diri para kekasih-Nya. Mencari Tuhan yang maha batiniah selalu diawali dengan mencari
sosok lahiriah adam, sosok muhammad; para utusan, para ulama dan awliya yang selalu hadir
disepanjang zaman.
“Ini tahun silaturahmi”, kami teringat pesan Sufimuda. Ya sudah. Setelah lima hari di
Surakarta, kami mampir ke makam ini. Sejenak beriktikaf, dan memohon kepada Allah agar
semua kita selalu dalam tilik kasih-Nya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 05 | Januari 2022


JIKA DUNIA INI HANYA PERMAINAN DAN SENDA GURAU, NILAI IBADAHNYA
DIMANA?
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Liburan selama 12 hari. Ide awal hanya ke Solo, kampung istri, setelah 15 tahun ia tidak
pernah kembali. Lalu sedikit melebar. Rutenya dimulai dari Banda Aceh, Medan, Solo, Jogya,
Jakarta, Bogor; lalu kembali ke Aceh. Kami berjumlah 7 orang. Saya, istri, ibu mertua, dan
empat orang anak yang semuanya masih dibawah 7 tahun.
Apakah kami bahagia?
Anda yang sudah punya keluarga, punya anak yang masih kecil-kecil; tentu bisa menjawabnya.
Bagaimana rasanya liburan sambil mengelola mereka. Kalau dijawab bahagia, iya. Dijawab
susah, juga iya. That’s life!
Yang pertama Ahmad, “the scientist”. Tepat diperjalanan ini usianya 6 tahun. Cerdas; dan juga
cepat (mungkin akibat kebanyakan nonton Sonic). Termasuk “cepat menghilang”, khususnya
kalau lagi di pasar, lalu kembali sambil menenteng beragam barang minta dibayarkan. Kalau
tidak kita belikan, mulai buat rusuh dia. Kalau sudah ngambek, ngomongnya tidak dengan
mulut lagi. Sudah pakek suara hidung, “eng.. eng.. eng.. eng”. Di pasar Borobudur ia sempat
menghilang lebih dari satu jam dan membuat neneknya menangis kesusahan. Anaknya
memang suka jalan dan menghilang sendiri, persis seperti walednya waktu kecil.
Yang kedua Fathimah, “the princess”. Usianya 4 tahun. Tiap hari masalahnya hanya baju.
Kalau bajunya tidak ngembang, ataupun tidak seksi dan cantik bak seorang putri; ia tidak mau
jalan-jalan. Hafalannya pun selalu minta dibelikan mainan rumah-rumahan. Belakangan ini
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 12
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

memang hobinya akting sedih dan menangis. Selera makannya juga lagi menurun. Tapi sifat
penyayangnya sangat tinggi.
Yang ketiga Halimah, “the gangster”. Usianya 3 tahun. Bawaannya ingin ribut terus. Kalau
tidak mengganggu, merebut mainan, memukul abang dan kakaknya, gak enak badan dia. Si
Halimah ini baterainya “lithium”, dan “fast charging”. Energinya lama sekali habis. Kalaupun
habis, cepat sekali terisi lagi. Sampai tengah malam pun masih lari-lari. Tak pernah diam
sedetikpun. Beberapa gelas restoran berhasil ia pecahkan, sambil tersenyum senang.
Bayangkan, betapa capeknya memantau gerakannya. Silap sedikit, habis kita.
Yang terakhir sangat patuh. Suka senyum dan baik hati. Karena memang masih bayi. Karena
belum bisa jalan, ya harus sering di gendong. Capek juga. Untung ada stroller. Namanya
Ali, “the smiling boy”. Usianya belum setahun. Logistik untuk dia tentu harus banyak. Susu,
makanan, pampers, dan sebagainya.
***
Liburan itu tentu enak sekali. Sangat enak. Apalagi kalau hanya berdua dengan istri. Itu “bulan
madu” namanya. Mirip-mirip lagi di syurga.
Tapi kalau sudah punya anak, masih bayi, kecil-kecil dan banyak pula; itu mirip-mirip bukan
wisata. Tapi pindah rumah ke pesawat, ke kereta api, ke hotel, ke bis dan taksi. Dari mengelola
mereka di rumah, kini anda harus merawat mereka di jalanan. Terkadang nakalnya minta
ampun. Rewel di keramaian. Bisa haus, lapar dan ngantuk seketika. Belum lagi harus ganti
pempers saat anda lagi asik menikmati sesuatu. Anda tau sendiri bagaimana rasanya. Apalagi
harus menghadapi hal-hal seperti itu saat anda sedang dalam kondisi sangat lelah. Tensi bisa
naik turun secara mendadak!
Dari awal anda sudah merancang liburan ke tempat-tempat yang indah dan nyaman. Ke
gunung, pantai, candi, masjid, bioskop, pusat jajanan dan sebagainya. Apakah itu indah?
Ya, tempat-tempat itu indah bagi orang tuanya. Borobudur, Prambanan dan lainnya; itu
merupakan “world heritage”. Semua orang ingin melihatnya. Tapi tidak untuk anak-anak anda.
Hanya dua detik saja mereka terpana pada bangunan megah itu. Selebihnya lari-lari lagi dan
minta permainan baru. Mereka baru senang kalau dibawa ke game zone maupun taman
permainan anak-anak. Dan ini sudah barang tentu tidak begitu menyenangkan bagi orang
tuanya. Akhirnya terpaksa (pura-pura) senang melihat mereka bermain. Sabar!
Sejak awal, anda sudah merancang tujuan wisata untuk menyenangkan anak-anak. Untuk
memberi ingatan indah bagi mereka. Membuat mereka bahagia. Tapi, karena mereka terlalu
kecil, mereka bahkan tidak tau sedang dimana. Pulangnya pun mungkin mereka sudah lupa
pernah kemana. Tidak sadar pun kalau pernah dibawa kemana-mana.
Untung ada sisa foto sebagai bukti jalan-jalan. Simpan baik-baik. Karena itu menjadi alat bukti
bahwa dulu orang tuanya pernah baik sama mereka. Makanya kalau sedang liburan, dimana-

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 13


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

mana selalu foto. Saat sesi foto semua “wajib” senyum. Lalu di update ke medsos. Biar dipikir
oleh orang-orang yang lihat, kita yang sedang wisata bahagia sekali. Padahal, ada sesi pedih,
perih, marah dan ribut-ribut di “behind the scene”-nya.
Saudara-saudara sekalian, wisata dengan membawa anak-anak adalah latihan emosi tingkat
tinggi. Kalau sukses anda lewati, sukses anda. Karena bahagia itu ada dibalik “sacrifice”
(pengorbanan). Anda bisa saja jalan kemana-mana sendiri, lalu bahagia sendiri. Tapi ketika
anda memiliki orang-orang yang anda cintai, lalu mengorbankan diri anda untuk membuat
orang-orang yang anda cintai menjadi bahagia, you will feel something different. Your life will
be meaningful.
Life is all about love. And happiness is all about making the one you love happy. Hidup
menjadi bermakna manakala anda berada di tengah keluarga, atau di tengah komunitas
masyarakat, dan anda bergerak bersama mereka untuk membuat mereka bahagia. Itu wujud
“keshalehan sosial” manusia.
Hidup ini seperti liburan. Seperti wisata. Semua ini hanya permainan. Senda gurau belaka.
Secara personal, apapun yang kita lakukan adalah usaha untuk mencari bahagia. Tapi
permainan terbaik adalah yang ketika anda berusaha mencari kebahagiaan, pada saat yang
sama juga membahagiakan orang lain. Malah, kunci bahagia ada pada saat anda ikhlas
menjalani hidup untuk memberikan yang terbaik bagi yang lain.
Itulah kehidupan para nabi, para wali, para utusan Tuhan. Seperti Ibrahim as, mereka adalah
ayah bagi semua (father of all nation). Manusia di bumi adalah anak-anak mereka. Anak-anak
yang harus diayomi, digendong, diberi petunjuk dan arahan. Bayangkan betapa lelahnya para
nabi dan rasul saat mengelola umat ini. Mereka menghadapi anak-anak yang nakal, rewel,
marah, suka membantah dan sebagainya. Tanpa kearifan sang ayah, hancur semua.
Para nabi telah merancang perjalanan bagi “anak-anaknya” ke tempat yang indah. Mereka
menemani, merawat dan memberi guidance sepanjang jalan, agar anak-anaknya bisa menikmati
perjalanan dan sampai ke tujuan. Tapi lihat, bagaimana Musa as dibuat susah oleh
rombongannya. Di protes dan dicerca; sepanjang jalan menuju ke “Tanah yang dijanjikan”.
Karena mereka semua memang “anak-anak” yang tidak tau apa-apa.
Kita semua “anak-anak”, yang tidak mampu melihat keindahan-keindahan yang ditunjukkan
oleh Nabi. Terkadang spirit kita telah dibawa kemana-mana oleh Sang Guru Spiritual. Tapi
karena masih terlalu bayi, mata spiritual kita belum melek. Kita tidak mampu “mengalami”.
Tanpa pertumbuhan emosi dan spiritual, kita tidak akan pernah sadar, tidak akan mampu
“melihat” (mengalami makrifat) dan bahagia.
Jika elemen spiritual masik kanak-kanak, ke syurga pun dibawa, kita tetap akan rusuh dan
menderita. Anak-anak, itu hanya bahagia dengan permainan kelas bawah. Main lumpur dan
tanah. Permainan-permainan dan senda gurau yang sudah pernah kita lewati dimasa kecil dulu.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 14


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Tapi, sebagai orang tua (sebagai nabi dan wali); anda harus sabar membesarkan jiwa mereka.
Harus punya passion yang tinggi dalam menuntun mereka menuju makam-makam wisata lebih
lanjut, makam-makam ketuhanan yang lebih tinggi.
Bagi para nabi, dunia ini juga sebuah permainan. Sebuah “game virtual” (metaverse) yang
harus dijalani, tapi dengan tanggungjawab besar. Yaitu, membawa umat menuju kesadaran
tertinggi, untuk menikmati keindahan Wajah Allah SWT. Dunia ini sebuah alam senda gurau
dan permainan, sebuah dunia wisata, sebelum anda kembali ke kampung yang asli (akhirat).
Tapi, dengan sebuah misi suci (salik ilallah), gerak wisata duniawi anda akan bernilai ibadah.
Anda harus tau, orang paling menderita di dunia ini adalah para nabi. Karena memikul
tanggungjawab untuk menjadi “ayah”, menjadi pemandu wisata bagi “anak-anaknya” yang
memiliki kesadaran sangat rendah, menjadi penggembala untuk domba-domba kecil lagi sesat.
Mereka telah memikul amanah yang langit dan gunung-gunung tidak sanggup
mengembannya.
Tapi, mereka juga orang paling bahagia. Karena paling tinggi pengorbanannya selama
perjalanan. Paling tinggi rasa cintanya kepada kita. Paling tinggi kepasrahannya kepada Allah.
Dalam konteks cinta seperti inilah, semua yang dikeluarkan; baik itu uang, keringat, darah dan
bahkan nyawa sekalipun; adalah ekspresi dari bahagia.
Kita harus belajar dari para nabi yang membawa “agama cinta”. Agama pengorbanan, agama
kepasrahan kepada Tuhan, agama pengabdian. Kalau penapakan kehidupan tidak dilakukan
dengan menyerap energi ilahi, kita akan sengsara. Sebab, dunia ini memang permainan yang
melelahkan. Coba amati, betapa banyak pasangan suami istri yang ribut justru terjadi saat
berwisata. Bahkan bercerai sepulangnya. Alih-alih bahagia, liburan menjadi duka. Karena yang
diperoleh selama perjalanan bukan “rasa ketuhanan”. Melainkan aura setan. Marah-marah
terus sepanjang jalan.
Rihlah, wisata, atau liburan; itu sejak awal memang harus diniatkan untuk menyerap kebesaran
Tuhan. Harus ada dimensi ziarahnya. Wisata itu adalah usaha untuk mengunjungi dan
menemukan sesuatu yang bernilai suci, melampaui sekedar pemenuhan nafsu keartisan dan
hedonisme belaka.
Ingat. Hidup ini permainan dan senda gurau, hanya sebatas jalan-jalan atau wisata di kampung
dunia. Temukan rasa bahagia. Dalam konteks sosial, agar hidup bernilai ibadah, anda harus
punya visi untuk berinteraksi dengan sesama, berani berkorban untuk membawa, melayani dan
membahagiakan masyarakat dan keluarga anda.
Disisi lain ada kehidupan berbeda. Kita juga “makhluk individu”. Ada saatnya kita menarik diri
dari keramaian, dari masyarakat dan keluarga, dari anak dan istri. Lalu menyepi ke gunung, ke
gua, ke kelambu, ke mihrab-mihrab pribadi, ke ruang-ruang sepi, ke kamar-kamar yang sunyi;

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 15


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

guna membangun “keshalehan pribadi” (membangun relasi personal hanya dengan Tuhan
saja).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 06 | Januari 2022


MURSYID ITU APA?
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Mursyid” (QS. Al-Kahfi: 17) adalah orang yang bisa melihat dan menyembuhkan. Seorang
dokter ahli, spesialis jiwa. Orang yang bisa melihat ke dalam diri sang murid.
Mursyid tau noda-noda apa yang melekat dalam diri murid, tanpa si murid perlu berbicara. Ia
tau isi hati sang murid, tanpa si murid perlu mengatakannya. Ia tau apa saja yang baru
dikerjakan si murid, tanpa ada yang melaporkannya. Itu mursyid. Orang yang
sudah fana dan baqa bersama Allah. Orang yang Allah telah mendengar melalui telinga-Nya,
melihat melalui mata-Nya, serta berbuat melalui tangan dan kaki-Nya (Hadis Qudsi).
Kalau ada orang yang disebut sebagai mursyid tetapi tidak punya kemampuan seperti itu,
secara adab itu sebenarnya belum menjadi mursyid. Itu hanya sebatas guru, yang mungkin
secara adat telah dimursyidkan.
Ada perbedaan antara guru dengan mursyid. Guru itu kecerdasan alami manusia. Bisa jadi
otaknya cerdas, karena rajin belajar dan membaca. Sedangkan mursyid; itu kecerdasan laduni.
Ia membawa Ruhani Rasulullah. Hakikat ruhaninya adalah Cahaya Allah (entitas wahyu),
bukan lagi sekedar manusia biasa (basyar).
Mursyid merupakan personalitas dari yang Maha Kuasa, manifestasi dari Asma, mukjizat yang
melekat dalam diri seorang kekasih-Nya. Yang dengan itu ia mampu memberi syafaat (QS. Al-
Baqarah: 255), mampu memohon ampun atas sekalian dosa dan kezaliman kita (QS. An-Nisa:
64), mampu menyucikan jiwa; membenam kalimah, kitab dan hikmah dalam diri kita (QS.
Aali Imran: 164).
Guru banyak sekali. Tapi mursyid, itu sangat langka. Sebab, mursyid adalah seorang wali,
seorang pembantu/penolong Allah; entitas sanad kerasulan yang terus terwarisi, dan hadir pada
setiap bangsa (QS. At-Taubah: 128).
Beragama dengan guru, anda akan ditunjukkan dalil-dalilnya. Beragama dengan mursyid, anda
akan diperjumpakan dengan berbagai mukjizat dan kebesaran Allah Ta’ala. Jika ingin
sempurna; carilah guru, yang mursyid. Karena mereka adalah tangan-tangan al-mahdi, para
pemberi petunjuk di sepanjang masa. Berguru dengan mereka, seolah-olah Allah langsung yang
mengajari anda.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 16
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 07 | Februari 2022


SYARIAT ISLAM, SYARIAT CINA
Oleh Said Muniruddin
“Aceh masih sama miskinnya” (BPS, 2022)

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Agama yang kita anut hari ini, dicurigai, bukanlah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Kebetulan namanya sama. Sama-sama “Islam”. Tapi Islam kita dengan Islam yang
dipraktikkan Muhammad, jauh sekali beda. Rukuk sujudnya terlihat serupa. Juga menyebut-
nyebut nama Tuhan yang sama. Tapi isi dalamnya beda. Beda sekali. Seperti langit dan bumi.
Islam yang diperkenalkan Muhammad adalah Islam yang dalam periode 20 tahun masa
implementasi, telah merubah Arab yang jahil menjadi civilized. Taat pada hukum. Berakhlak.
Menghasilkan orang-orang yang berpower dan karamah karakternya.
Islam yang kita usung dan praktekkan adalah jenis Islam yang kita tidak tau dari mana asalnya.
Yaitu, Islam yang setelah 20 tahun pendeklarasian syariatnya (4 kali ganti pemimpin), Aceh
masih lebih kurang sama miskinnya. Masyarakatnya masih sama “bakai” dengan dulunya. Suka
melanggar aturan, korup dan mungkin makin rasis (masih kuat bertikai dalam urusan aliran,
suka mengkafirkan, membid’ahkan dan mensyirikkan saudaranya).
Islam yang tidak mengubah masyarakat, itu bukan Islam. Walau bahasanya Arab, dan
rujukannya Quran dan hadis juga. Ini bukan tentang bahasa dan rujukan. Ini bukan tentang
teori yang dibuat terkesan islami. Ini bukan tentang ceramah yang berapi-api. Ini bukan
tentang nama bank yang dilabeli Islam. Ini bukan tentang janggut yang panjang. Ini bukan
tentang hafalan Quran. Ini tentang “power that changes”. Ini tentang metodologi yang
mengubah sistem.
Cina, 25 tahun dibawah sistem baru, telah mengubah segalanya. Ekonominya pesat luar biasa.
Telah melampaui Amerika. Telah menguasai semua lini. Teknologinya pesat. Produknya
membanjiri dunia. Syariat Cina telah mengeluarkan mereka dari kemiskinan yang begitu
kentara. Membuat mereka keluar sebagai juara. Masyarakatnya 1,3 milyar; relatif tenang.
Politiknya stabil. Syariat Islam kita bagaimana?
Pusat Islam, di Timur Tengah, populasinya hanya 436 juta. Tapi rusuh terus. Sudah 12 tahun
perang dikawasan tak berujung. Raja-rajanya semakin terjajah dengan agenda normalisasi
adidaya. Seperti kerbau dan lembu yang dicocok hidung, “samikna wa athakna” dengan
keinginan zionisme.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 17


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Timur tengah sudah bukan Islam lagi. Yang tersisa hanya bacaan imam di Masjidil Haram.
Itupun masih kalah besar dengan suara bom serta jeritan anak dan perempuan yang menjadi
korban dari alat-alat perang yang dibeli Ben Salman. Khutbah tentang kedamaian Islam
berbanding terbalik dengan serangan-serangan brutal yang mereka tujukan ke negara muslim
tetangganya, Yaman.
Kalau Cina makin intensif mengekspor barang ke penjuru dunia, Arab makin aktif
mengekspor ideologinya. Mengekspor para ustadz; yang lewat mimbar, TV dan Radio tak
pernah berhenti menjual surga dan neraka melalui dalil hadis tentang kesesatan muslim
lainnya. Agenda siapa yang ingin membuat internal kita terus rusuh? Agenda para penguasa
sumur minyak dunia kah?
Negara-negara kafir (Eropa, Amerika, Australia dan Asia Timur) begitu maju dan damai.
Timur Tengah masih berdarah-darah dengan sesama agama. Agama menjadi alat justifikasi
pengkafiran dan pembunuhan sesama. Lalu masyarakatnya jadi pengungsi, miskin dan
kelaparan. Jadi pengemis dimana-mana. Lihat negara muslim Suriah. Bukan diserang oleh
Israel. Tapi dihabisi oleh para penghafal Quran lainnya, termasuk yang datang dari Indonesia.
Oleh Islam palsu. Oleh Islam yang tersisa hanya jenggot, jubah dan takbir. Oleh Islam yang
“Lailaha illallah” hanya ada di benderanya saja.
Cepatlah sadar. Islam kita hari ini adalah Islam yang cenderung palsu, dalam aneka cabangan
nama: Ahlussunnah, Syiah, Salafiah, dan sebagainya. Islam yang 360 derajat beda dengan yang
dipraktikkan Nabi. Islam Nabi adalah Islam yang telah membuat rakyatnya makmur dan
menyatukan semua suku dan keyakinan hanya dalam sekejap. Islam kita adalah Islam yang kita
sendiri sudah lama miskin dan tersekat dalam aneka mazhab.
Kita semua telah tersesat dalam nama “Islam”. Dalam jargon agama. Dalam jenis Islam yang
tidak memiliki etos. Dalam Islam yang hanya tau nama-nama kitabnya saja. Tapi menganggur
dan kehabisan ide, tidak tau harus melakukan apa untuk menguatkan ekonomi bangsa. Kita
semua sedang mengidap “penyakit Islam”, overdosis dengan opium mazhab. Rajin berperang.
Mudah diprovokasi. Gampang diadu domba.
Tugas terberat kita adalah menemukan Islam yang otentik. Islam yang mampu membentuk
budaya progresif. Yang rasional. Yang berakhlak. Yang rajin. Yang disiplin. Yang toleran. Yang
cerdas. Yang berani. Yang pernah mengubah dan menjadi contoh bagi dunia. Yang ini semua
mirip-mirip tidak ada ditengah 250 juta rakyat Indonesia. Apalagi di Aceh, yang rakyatnya
miskin dan mabuk agama.
Begini. Kalau Syariat Islam sudah gagal memajukan masyarakatnya, coba intip-intip,
bagaimana Syariat Cina hari ini mampu menguasai dunia. Mungkin akan terjawab mengapa
ada hadis, atau mungkin saran orang bijak untuk “menuntut ilmu ke negeri Cina”. Mungkin

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 18


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

mereka punya metodologi yang lebih Islami, lebih efektif dalam memajukan ekonomi
rakyatnya.
Setidaknya ini respon kami atas tulisan Budiman Sudjatmiko, yang mengurai poin-poin
kemajuan Cina, dibandingkan dengan masyarakat Indonesia yang sakau beragama. Kita tidak
perlu setuju dengan semua yang ada di Cina. Tapi apa yang dia sampaikan ada benarnya. Kita
sangat ‘religius’, tapi kehilangan vitalitas dalam memajukan ekonomi umat dan kemadanian
bangsa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 08 | Februari 2022


DHAHIR, SEKALIGUS BATIN
Oleh Said Muniruddin

Allah itu punya wujud. Nyata (lahiriah), sekaligus batin (gaib).


Bagi orang yang matanya terbuka, Allah itu teman duduk yang terlihat, dapat dirasa, bisa
diajak bicara dan dapat di dengar kalam-Nya. Sementara, Allah itu menjadi gaib; bagi orang-
orang yang belum mampu membuka mata. Untuk mereka, ya sekedar disuruh percaya.
Allah itu dhahir (nyata), sekaligus batin (gaib). Tergantung di dimensi mana kita berada. Jika
berada di dimensi “dunia”, Dia memang gaib. Kalau kita sudah berdimensi “ukhrawi”, Dia
sangat nyata.
Kalau kita menyadari bahwa kita adalah (berasal dari) Dia, maka tentu tidak sulit untuk berada
pada dimensi yang sama dengan-Nya. Untuk melihat ke-Nyata-an Dia.
Untuk menuju Tuhan yang maha nyata, Tuhannya para Nabi dan syuhada, ada metodologinya.
Yaitu, metode “matikan dirimu sebelum kamu mati”, agar dapat masuk ke dimensi ukhrawi.
Metode untuk menyamakan frekuensi kita dengan frekuensi Dia. Sehingga, Dia menjadi
terjangkau, nyata. Tidak gaib lagi.
Tuhan anda; sudah nyata, atau masih gaib?
Jika masih gaib, berarti anda masih berada di dimensi syariat. Masih menggunakan Nokia tet
tot. Segera ganti metode beragama. Upgrade hp anda ke android, yang dapat memunculkan
wujud-Nya. “Cahaya”-Nya. Dalam Wajah yang Dia suka.
Lebih unik lagi, bagi yang sudah ahli, Dia selalu tersaksikan. Saat membuka mata, anda bisa
melihat Dia yang nyata. Saat menutupnya, tersyahadahi Dia dalam wujud batiniahnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 09 | Februari 2022

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 19


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“RAJI-UN”: RUJUK, KONEK, TERSAMBUNG TERSAMBUNG KEMBALI DENGAN “ASAL”


KITA
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Baqarah 156: “inna lillahi wainna ilaihi raji-un”. Secara
umum dipahami dalam konteks musibah. Musibah pun, kalau tau cara “mengembalikan”
kepada Allah, tidak menjadi musibah lagi. Makna ayat ini lebih dari itu. Ini tentang kita yang
“asli” (fitri). Tentang asal usul, tentang puncak silsilah dan wujud ruhani kita.
Asal rahaniah kita adalah Allah. Kita bisa balik ke asal, untuk terhubung, untuk kembali
terkoneksi dengan Allah. Caranya tentu dengan “kematian”. Tidak harus dengan menunggu
“kematian biologis”. Tapi juga dengan “mati sebelum mati” (kematian yang ditempuh melalui
jalan spiritual kenabian). Para nabi mampu berjumpa, mampu kembali ke asal (kepada Allah)
justru sebelum mati beneran. Itulah yang menjamin mereka ke syurga. Karena sudah “mati”
sejak awal. Sudah bersama Allah sejak di dunia.
Allah adalah fitrah, asal kita. ‘Asli’-nya kita. Azalinya kita. Asal adalah sumber. Kalau kita
terhubung ke sumber asal ini, maka segala yang lahir dari diri kita, baik gerak maupun ucapan
kita, semuanya adalah bentuk “mandat suci” atau qudrah iradah dari yang asal itu (Allah).
Karena telah memiliki kemampuan itulah, maka Muhammad dan para pendaki di jalan Tuhan
lainnya disebut sebagai “manisfestasi”, tajalli Tuhan. Mereka adalah wujud “hologram” dari
yang di Atas sana. Karena telah tersambung dengan sumbernya, mereka menjadi “Wajah”,
wujud suci pancaran gerak dan narasi dari Alam Rabbani.
Allah dengan Muhamad tidak terpisah. Mereka dua entitas yang wajib disyahadahi. Ada unsur
divinitas yang saling terkait pada keduanya. Saling bersalawat. Saling terhubung. Karena
mereka adalah “Awal” dan “Akhir” dari gradasi Sang Wujud. Dua kekasih yang tidak pernah
bercerai. Wujud langit dan wujud bumi dari Yang Maha Sakral. Dimensi Ahad dan Wahid dari
diri-Nya.
Allah itu sendiri, dalam Wujud rahasianya, sebenarnya tidaklah berbentuk. Karena Dia bukan
materi yang berdimensi. Dia yang asli melampaui semua imajinasi. Dia Maha Suci dari semua
yang kita sifatkan: “Subhanallahi ‘amma yashifun” (QS. As-Shaffat: 159).
Artinya, Allah pada martabat “Ahadiyah” (wujud ke-Esa-an), sejatinya tidak menyerupai dan
tidak butuh apapun (i.e., tidak bergantung pada makhluk, tidak beranak/diperanakkan, tidak
serupa dengan apapun -QS. Al-Ikhlas: 1-4).
Tapi pada martabat “Wahdah Wahidiyah”; Dia mulai berkarakter, bekerja, punya ciri dan sifat.
Allah bahkan telah mengutus diri-Nya dalam sosok yang Dia percaya. Dia mulai berbicara

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 20


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

melalui lisan manusia. Dia mulai memimpin melalui kepemimpinan para rasul/ulil amri pada
masing masa: “Athiullah, athiurrasul, wa ulil amri minkum” (QS. An-Nisa: 59).
Jika Allah adalah sosok “Creator”, maka ada manusia yang dipilih sebagai “co-Creator”; sebagai
penolong atau wali-Nya. Pelaksana tugas-Nya. Sebagai khalifah. Sebagai pemegang stempel,
pemilik mukjizat dan karamah-Nya. Sehingga; “Kun” kata Allah, “Fayakun” kata Muhammad.
“Ahmad” merupakan personalitas, ujung tali dari Ahad yang impersonal. Mereka satu kesatuan
yang tidak terpisah. Ahmad bin Abdullah adalah corong dari yang tak berhuruf dan bersuara,
sang Ahad.
Artinya, Muhammad SAW adalah “resonansi” (gelombang) dari yang Ahad. Segala yang
diucapkannya adalah ucapan Allah. Geraknya gerak Allah: “Bukan engkau yang
membunuh/melempar hai Muhammad, tapi Aku” (QS. Al-Anfal: 17).
Jadi, setiap ucapan orang yang Allah ada dalam diri mereka, adalah Quran. Kalam “orang-
orang suci” (orang-orang yang Allah telah hadir dalam diri mereka) adalah Kalam Allah.
Sebab, mereka telah menempuh proses “kematian ego” (tazkiyatun nafs melalui bimbingan ruh
suci para guru spiritual). Mereka telah menemukan frekuensi ketuhanan, telah berhasil
mengembalikan dirinya kepada Allah. Sehingga telah mati keinginan rendahnya, dan tidak lagi
berbicara menurut hawa nafsu. Sehingga semua bunyi yang keluar dari mulutnya secara
otomatis telah sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan: “Wa ma yantiqu anil hawa, in
huwa illa wahyuy yuha” (QS. An-Najm: 3-4).
Mereka adalah Asma Tuhan. ‘Tuhan’ yang berbicara. Mereka bukan Tuhan (disini kelirunya
Kristen, menganggap Isa as sebagai Tuhan dalam arti sesungguhnya). Melainkan logos, firman,
“utusan”, gelombang dan cahaya yang dihadirkan dari Alam Tuhan. Karena itu pula,
hadis/sunnah juga bernilai suci. Menjadi hukum mutlak setelah Quran. Sebab, hadis/sunnah
juga kalam atau gerak Tuhan. Sesuatu yang terproyeksi dari alam wahyu yang suci, alias bukan
sekedar tindak prilaku manusia biasa.
Bedanya, kalau Alquran itu disampaikan dalam bahasa yang indah, dengan struktur yang
sempurna dan syair kelas tinggi. Ada panitia yang di bentuk pada masa Usman bin Affan
untuk mengumpulkan dan mensortir kalimat-kalimat indah ini untuk di bukukan sebagai
mushaf. Sebab, Islam tanpa buku teks yang lengkap, lama-lama bisa kalah bersaing dengan
agama-agama lain yang sudah duluan set-up dan punya bundelan kitab suci. Khususnya
Kristen dan Yahudi (meskipun konten kitabnya telah diragukan karena mengalami banyak
deviasi).
Sementara hadis, itu juga tauladan (referen) suci. Tapi diutarakan dalam bahasa tutur sehari-
hari. Tapi tidak dibukukan. Baru dua ratus tahun lebih, muncul imam Bukhari dan Muslim
misalnya, yang coba merakitnya dalam sebuah kompilasi. Sebenarnya ada tradisi spritual Islam
yang menyebut kata-kata yang keluar dari lisan orang-orang yang dianggap suci paska Nabi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 21


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

(imam/wali/mursyid), juga sebagai “hadis”. Prinsipnya sama, karena yang diucapkan itu juga
berasal dari jiwanya yang fitrah (yang secara ilhami/laduni juga bersumber dari Tuhan).
Artinya, Islam adalah agama yang “terjaga”. Selain kitab tertulisnya terpelihara, juga masih ada
wujud-wujud penuh mukjizat (paripurna/kamil) yang menjadi “tajalli nafsani” dari Quran.
Jadi, Dzatnya Allah tidak terjangkau. Tidak berbentuk. Tapi Allah punya teknologi yang
mampu menghadirkan dirinya dalam wajah-wajah penuh karamah dari orang-orang yang telah
mampu menghubungkan diri mereka dengan-Nya. Wajah orang-orang ini merupakan Cahaya
Allah, Nurun ‘ala Nurin (QS. An-Nur: 35), sesuatu yang tidak bisa ditiru dan juga sangat
ditakuti setan. Karena merupakan wujud Dhahir (terang) dari yang Maha Gaib.
Kunci dari semua rahasia spiritual adalah, mengetahui metode untuk “kembali ke asal”. Tau
cara terhubung lagi dengan Allah, asal kita. Kalau sudah terhubung kembali, apalagi dalam
kecepatan dan kekuatan yang tinggi, maka anda bisa terpilih sebagai pembawa petunjuk-Nya.
Menjadi penyalur rahmat dan kalam-Nya.
Hp dan komputer saja butuh kapasitas yang tinggi untuk mampu menangkap dan men-decode
gelombang-gelombang pesan. Apalagi jika anda bekerja untuk menjangkau, menampung dan
membawa Kalimah dari Tuhan. Tentu harus sangat bersih gelombang dan frekuensinya. “La
yamassahu illal muthahharun” (QS. Al-Waqiah: 79). Tidak ada yang dapat mendownload
Quran yang qadim, kecuali yang jiwanya sudah “terhubung” (kembali rujuk/wushul/konek)
dengan Allah; yang spiritualnya tinggi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 10 | Februari 2022


PERUBAHAN WUJUD
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRAHMANIRRAHIEM.
Ada proses di alam yang membuat benda/zat (padat, cair, dan gas) berubah wujud. Misalnya,
dari cair menjadi padat (membeku). Dari padat menjadi cair (mencair). Dari cair menjadi gas
(menguap). Dari gas menjadi cair (mengembun). Dari padat menjadi gas (menyublim). Dari
gas menjadi padat (mengkristal). Semua ada mekanisme alamiah. Ada proses yang dapat
disimulasikan untuk membuat perubahan pada sebuah wujud.
Manusia juga begitu. Jika diketahui caranya, wujud kita bisa diubah. Dari satu bentuk
(martabat) ke bentuk (martabat) lainnya. Manusia bisa menghilang, melakukan transmutasi,
teleportasi, mikraj, dan sebagainya. Karena wujud duniawi kita adalah bagian dari alam, yang
bisa berubah/diubah. Konon lagi ada wujud ukhrawi (ruh) yang lebih halus dan punya
kemampuan berubah lebih cepat dengan kecepatan yang lebih dahsyat.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 22
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Pertama; secara fisik material, manusia itu benda alam. Struktur unsurnya “lat batat kayee
bateei”. Terdiri dari air, api, angin dan tanah. Sesuatu yang dapat diubah dan berubah-ubah.
Konon lagi, ada struktur ruhaniah (eter/void/gelombang/cahaya/kesadaran/ruh) dalam dirinya;
yang mampu mensimulasikan wujudnya secara sangat radikal dari satu dimensi ke dimensi
lainnya. Karena struktur material dan immaterial inilah, sebagai binatang, kita kemudian
menjadi manusia dengan aneka kekuatan psikokinesis. Bahkan dapat menjadi iblis, jika unsur
“api”-nya menguat. Juga dapat menjadi malaikat, jika terjadi transformasi pada elemen-
elemen quark (cahaya). Bahkan dengan fusi lebih lanjut, melalui elemen cahaya di atas
cahaya ini, kita bisa memiliki power dan melakukan perubahan (mikraj) ke level wujud yang
lebih tinggi.
Kita hanya perlu sedikit lebih cerdas untuk memahami sains dan agama. Karena misalnya, ada
teknologi elektrolisa yang dapat mengurai air menjadi oksigen dan atom hidrogen, yang jika
disatukan kembali lalu disulut, akan menyemburkan api yang dapat melebur besi. Ada juga
teknologi yang jika air dialirkan melalui turbin yang dirangkai dengan dinamo, akan
mengeluarkan energi listrik berkekuatan hingga 170.000 KVA.
Ada teknologi yang dapat mendorong reaksi fisi, pemisahan berantai pada inti sebuah atom,
sehingga menjadi bom yang sangat dahsyat. Ada juga teknologi yang dapat melakukan
penggabungan isotop-isotop atom sehingga menjadi termonuklir hidrogen dengan tingkat
panas dan radiasi yang menyaingi matahari. Ada teknologi yang dengan reaktor tertentu dapat
memperkaya secuil uranium menjadi energi nuklir yang mengerikan sekali. Ada teknologi yang
mampu mengolah seberkas cahaya menjadi kekuatan pisau laser yang sangat tajam dan mampu
bergerak super cepat dengan daya hancur yang tinggi sekali.
Banyak teknologi yang dapat mengubah elemen-elemen alam menjadi sesuatu yang dapat
melakukan hal-hal diluar nalar manusia. Lalu teknologi apa yang dapat mengubah unsur-unsur
materi dan ruhaniah manusia, sehingga menjadi makhluk yang luar biasa; yang dapat
menghidupkan orang mati seperti Isa as, membelah laut seperti Musa as, menembusi petala
langit dan bumi seperti Muhammad SAW, dan sebagainya.
***
Kitab Alquran itu hanya sebatas “teori”. Rumus untuk maju. Hanya sebatas resume tentang
keajaiban energi. Mirip buku E=MC² nya Einstein. Sementara, untuk menjadi sebuah kekuatan
yang nyata, Alquran harus disimulasikan. Harus ada teknologinya. Bom atom yang asli
misalnya, itu bukan sebatas catatan yang disimpan di lemari, yang sesekali dibaca dan dihafal-
hafal. Melainkan sesuatu yang ada ledakan, ada cahaya, ada suara, ada tenaganya. Alquran
yang asli juga begitu, ada kekuatan yang menghasilkan perubahan. Ada energi yang “merubah”
wujud. Ada mukjizat, ada “power that changes”. Ada teknologi yang merubah huruf menjadi
daya. Ada kekuatan yang dapat dimunculkan dalam elemen-elemen fisik dan nafsani para

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 23


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

pembacanya. Sehingga mampu menghancurkan, menggerakkan, bahkan menghidupkan


sekalian manusia.
Ayat-ayat harus punya power, untuk sah disebut Alquran. Alquran itu disebut ajaib, miracles,
pada saat bisa difusikan melalui metodologi tertentu; sehingga mengalirkan berbagai kekuatan
ibarat bom atom atau nuklir. Jika tidak, Alquran hanya menjadi koran harian biasa, sebatas
buku cerita.
***
Dalam Islam ada ilmu metafisika, yang bertujuan memperkenalkan Alquran sebagai teknologi.
Ilmu untuk mengubah teks menjadi power. Ilmu untuk mengisi “daya” pada diri manusia,
sehingga apa yang dibaca menjadi bertenaga. Ilmu untuk menghidupkan inti atom dari
manusia, sehingga apapun yang melekat pada dirinya menjadi sesuatu yang berharga. Ilmu
untuk mengaktivasi partikel-partikel cahaya dalam diri. Sehingga setiap yang dihafal memiliki
energi, dan apapun yang diucap menjadi doa. Ada proses inkubasi alamiah, atau proses
mujahadah, untuk melakukan fusi energi ini sampai melahirkan power. Melalui proses
ini, ruh (mesin kejiwaan) orang-orang yang menjalaninya akan “hidup”, mewarisi qudrah
iradah yang disalurkan langsung dari alam rabbani.
Islam itu pada prinsipnya adalah agama “gaib”. Agama bagaimana cara mengisi ruh kita
dengan energi dari langit. Tanpa arus dari langit, manusia-manusia yang menenteng Alquran
hanya menjadi sekumpulan keledai yang ditimbuni kitab-kitab. Tidak akan memiliki kekuatan
apapun. Banyak teori, tapi kalah terus. Allahnya maha kaya, tapi kitanya miskin terus. Terjajah
terus. Menjadi buih di lautan. Persis seperti yang dialami dunia Islam hari ini. Jumlah Alquran
yang tercetak dan para penghafalnya semakin banyak. Tapi teknologi untuk menghidupkan
intinya tidak dikuasai. Tidak ada “wasilah” (cabel/satelit/tali Allah) yang membantu kita
menerima arus dari langit, guna menghidupkan setiap ayat. Padahal, dengan
teknologi wasilah inilah setiap goresan dan bacaan ayat-ayat yang bernilai baharu berubah
menjadi qadim (memiliki divine power).
***
Melalui tariqah (teknologi/metodologi iluminasi) tertentu, manusia mampu mengalami
perubahan wujud. Dari wujud bumi menjadi wujud langit. Konon lagi; manusia, asal wujudnya
adalah Allah: “Dari Allah dan (jika diketahui teknologinya) akan kembali kepada dimensi
Allah” (QS. Al-Baqarah: 156). Seandainya kita mampu mengembalikan diri kita (fana dan
baqa) kepada wujud asal itu, kita akan mampu menyentuh power Alquran yang asli. Sebab,
tidak mungkin kita memiliki kekuatan Alquran sebagai kalam ilahi yang asli, kalau kita tidak
berada pada dimensi kesadaran yang suci itu. “Membaca ayat Tuhan harus di alam Tuhan”,
sebut Sufimuda.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 24


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

‫َ ُۥ ُم َع ِقّ َ ٌت ِّم ۢن ب َ ْ ِﲔ ي َ َديْ ِه َو ِم ْن َ لْ ِف ِهۦ َ ْﳛفَ ُظونَهُۥ ِم ْن ْم ِر ِ ۗ ان َ َﻻ يُغ ِ ّ َُﲑ َما ِبقَ ْو ٍم‬
‫َح ٰﱴ يُغ ِ ّ َُﲑو ۟ا َما ِب ن ُف ِسهِ ْم ۗ َوا َذا ٓ َرا َد ُ ِبقَ ْو ٍم ُس ٓو ًءا فَ َﻼ َم َرد َ ُۥ ۚ َو َما لَهُم ِ ّمن ُدو ِن ِهۦ ِمن‬
ٍ‫َوال‬
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum, sampai kaum itu mampu merubah diri, wujud anfusi mereka.. (QS. Ar-Ra’d: 11).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 11 | Februari 2022


KAPAN NABI MULAI MELAKSANAKAN SHOLAT?
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Diriwayatkan, saat berada di Masjidil Aqsha sebelum naik ke langit untuk menerima perintah
sholat, Nabi SAW mengimami sholat yang diikuti oleh para nabi.
Lho?! Kok bisa Nabi sudah menjalankan ibadah shalat sebelum terjadinya peristiwa mikraj?
Apakah Nabi sudah melakukan sholat, bahkan menjadi imam sholat, jauh sebelum turun
perintah sholat?
Jika sebelum bertemu Allah Nabi sudah melakukan sholat, sejak kapan persisnya Nabi sudah
melaksanakan ibadah sholat dan bahkan begitu percaya diri untuk menjadi imam sholat?
Jika sebelum peristiwa Israk Mikraj Beliau sudah mahir sholat, lalu darimana Beliau belajar
sholat? Siapa yang memerintahkan Beliau untuk sholat? Sholat siapa yang Beliau tiru? Kitab
apa yang Beliau baca agar tau tata cara sholat? Atau siapa orang/guru yang mengajari Beliau
terkait teknis, bacaan dan fasahah sholat?
Kalau sejak awal sudah melaksanakan sholat, terus kenapa harus naik ke langit lagi untuk
menerima perintah sholat? Kalau sejak awal kenabian (atau mungkin sejak kecil) sudah
melaksanakan sholat, itu atas perintah siapa?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 12 | Maret 2022


WAHYU AKTIF DAN WAHYU PASIF
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 25


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Wahyu itu ada dua: (1) Wahyu Aktif; (2) Wahyu Pasif.
“Wahyu Aktif” adalah Tuhan yang terus berbicara kepada manusia; melalui hati dan akal
fikiran (fuad) manusia. Atau disebut juga ruh, ilham, hidayah, muraqabah, pesan laduniah,
atau apapun namanya yang merujuk pada bentuk komunikasi langsung Tuhan dengan hamba-
Nya.
Untuk mencapai kemampuan menangkap pesan-pesan (wahyu) Tuhan secara langsung,
manusia harus menempuh jalan untuk memperkuat infrastruktur telekomunikasinya. Sebab,
Tuhan itu Maha Hidup dan Maha Berkata-Kata. Perlu kecanggihan spiritual untuk
mendengarnya berbicara.
Sedangkan “Wahyu Pasif” adalah teks wahyu warisan Muhammad bin Abdullah, yang proses
kompilasinya pun sebenarnya baru dilakukan belakangan oleh sahabat-sahabatnya, di masa
Usman. Terkadang maknanya juga tidak langsung bisa dikonsumsi. Konon lagi banyak
yang mutasyabihat. Harus ditafsirkan. Harus dipahami. Tentu lewat akal (qiyas, dsb). Karena
ramai-ramai menggunakan akal, lahirlah aneka mazhab, aliran dan pemikiran. Bahkan ada
yang saling bentrok.
Silakan saja banyak pemikiran. Namun, kita tidak tau mana pemikiran yang lahir yang benar-
benar sejalan dengan “akal Tuhan”, sesuai dengan yang dimaksud Tuhan. Konon lagi, banyak
pemikiran yang sekilas logis dan benar, tapi bisa jadi sangat di benci Tuhan. Yang terakhir ini
termasuk bagian dari kesombongan akal.
Oleh sebab itu, teks wahyu (Wahyu Pasif) itu penting. Sebagai bahan dasar. Bahan bacaan.
Rujukan tertulis. Namun harus ada kemampuan bagi kita untuk mengkonfirmasi kepada
Tuhan, apakah bentuk-bentuk tafsiran kita terhadap teks sudah sesuai dengan keinginan Dia;
guna diterapkan pada konteks, zaman dan situasi yang berbeda. Sebuah penjabaran Ayat,
untuk diterapkan pada konteks tertentu, selalu butuh seorang “hakim” yang adil. Butuh ahli
“hikmah”. Butuh orang yang cakap dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Sehingga sesuatu bisa
diputuskan atas nama Tuhan.
Para nabi adalah orang-orang yang saat datang memang sudah ada kitab wahyunya, sudah ada
suhuf-suhuf warisan nabi-nabi terdahulu. Saat Muhammad datang juga begitu, sudah ada Injil.
Namun orang yang mampu mengkomunikasikan kembali isi Injil dengan Tuhan, itu sudah
tidak ada lagi.
Isa as juga begitu. Saat datang, itu sudah ada Taurat, Zabur dan sebagainya. Tapi orang yang
mampu mengkomunikasikan segala pemikiran tentang isi kitab dengan Tuhan, itu sudah tidak
ada. Isa bertugas untuk menjalin kembali komunikasi itu. Begitu juga nabi-nabi sebelumnya.
Peran mereka untuk mengkomunikasikan dengan Tuhan berbagai situasi dan pemikiran yang
berkembang. Sehingga lahir pemikiran-pemikiran baru yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 26


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kita sekarang juga begitu. Tidak perlu lagi nabi baru. Juga tidak perlu lagi kitab suci baru.
Namun setiap zaman selalu butuh seorang (yang mewarisi) ‘rasul’. Yaitu orang yang mampu
mendialogkan kebenaran dengan Tuhan. Sehingga setiap pemikiran yang lahir pada zamannya
akan mendapat otorisasi secara aktif dari Tuhan. Bukan sekedar merasa bahwa pemikirannya
sudah benar, walaupun bawa-bawa ayat. Tapi memang Tuhan langsung yang berkata, “Apa
yang kamu pikirkan ini, benar!”. Itulah yang disebut, akal telah terkonfirmasi dengan wahyu
(dengan alam pikiran Tuhan), secara aktif dan aktual.
Kelebihan umat Muhammad adalah, banyak yang memiliki kemampuan itu. Walaupun orang-
orangnya cenderung tersembunyi. Kalau ketemu sanadnya, anda juga mampu mewarisi
keahlian para nabi ini.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 13 | Maret 2022


TIGA LEVEL AKAL
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Manusia memiliki tiga level akal. Masing-masing menentukan derajatnya.
Pertama, “akal bawah”. Itulah akal yang lahir dari otak yang ada di selangkangan, atau
seputaran itu. Kalau otak ini lagi aktif, jadi binatang kita. Yang mencuat hanya nafsu, seputar
seks dan makan. Yang ada dipikiran hanya perempuan. Manusia dengan “akal bawah” adalah
murni makhluk biologis, binatang. Setan bersemayam dalam jenis otak/akal ini. Orang-orang
yang ada di hutan Amazon, dengan kanibalismenya itu, adalah representasi akal tersebut.
Semua kita yang berperilaku koruptif dan jahil di tengah dunia moderen ini, juga bagian dari
perwajahan akal ini.
Kedua, “akal menengah”. Dimensinya lebih tinggi. Pusatnya di kepala atau seputaran itu
(hati/fuad). Ketika akal ini aktif, anda akan menjadi insan. Yaitu makhluk yang punya
kesadaran untuk hidup lebih beradab. Akal ini juga membuat anda menjadi perseptif dan
kreatif. Sehingga mampu berkarya untuk kemanusiaan. Akal inilah yang membuat anda
menjadi manusia, alias berperi kemanusiaan (rasional dan menyadari adanya tujuan). Tanpa
akal level menengah ini, kita akan selamanya menjadi binatang. Karenanya dikatakan, manusia
adalah binatang -yang berakal. Dunia barat, disamping inheren dengan sifat zionis, kolonialis
dan kapitalis kebinatangannya; juga telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam
tradisi akal level menengah ini. Sehingga sains berkembang pesat disana.
Ketiga, “akal atas”. Inilah akal Tuhan, wahyu, ilham atau ruh universal. Nur Muhammad,
bahasa klasiknya. Dapat disebut juga sebagai “otak alam semesta”. Dimensinya sangat tinggi.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 27
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Supra-rasional. Letaknya seolah-olah berada di luar kepala anda (transenden). Tapi sebenarnya
itu entitas intelek yang maha meliputi, terhubung dengan inti terdalam dari diri anda
(imanen).
Ketika manusia menyadari bahwa dirinya bukan hanya sekedar “makhluk mikro” (makhluk
bumi), namun juga “makhluk makro” (dimana dirinya merupakan replika dari keseluruhan
semesta); otak ini akan aktif. Sehingga manusia akan memiliki kesadaran kosmik yang tidak
terbatas. Akan menjadi malaikat. Akan tau apapun yang terjadi, baik yang telah maupun yang
akan datang.
Orang dengan level akal tertinggi ini sering disebut sebagai “penghulu alam”. Dialah unsur-
unsur malakut (10 malaikat) yang menjaga alam. Dialah alam ini. Bahkan alam ini tidak
tercipta kalau bukan karena “makhluk langit” ini. Makanya, kalau jenis orang-orang seperti ini
sudah tiada, disebut kiamat. Karena ruh dari alam ini adalah mereka.
Kalau anda punya kesadaran spiritual yang tinggi, anda akan mampu melihat. Bahwa
sesungguhnya, kemanapun anda memandang, seluruh alam ini tersusun dari partikel wajahnya.
Wajah Sang Imam. Wajah Sang Wali. Wajah yang telah lebur dalam dimensi ketuhanan.
Wajah yang telah dipinjam oleh Tuhan untuk mencitrakan diri-Nya.
Manusia adalah makhluk sempurna. Dengan adanya “akal bawah”, kita dapat berkembangbiak.
Dengan “akal menengah”, kita berkreasi. Tapi siapapun anda, baik bangsa barat maupun
bangsa timur, dengan segala kecerdasan itu; tanpa kemampuan untuk menemukan “akal
tertinggi”, hidup anda tidak akan pernah sempurna. Hidup anda tidak akan benar-benar
bahagia. Anda akan selalu dihantui rasa skeptis dan was-was. Karena akal ketuhanan atau “otak
terbesar” anda ada di langit sana. Dengan otak anda yang di Loh Mahfudz itulah anda dapat
mengakses bentuk-bentuk kesadaran, pengetahuan dan etika secara sempurna.
Selamat Hari Auliya. Semoga Allah terus menjaga alam ini dengan kehadiran para
pembawa kalam, akal, kalimah, asma atau ruh-Nya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 14 | Maret 2022


IMAN ARTINYA “BISA”, MELAMPAUI SEKEDAR “PERCAYA”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Iman”, secara setengah hati, diartikan sebagai “percaya”. Kalau sudah percaya, ya sudah,
selesai urusan. Itu bentuk keimanan yang impoten. Iman tidak seperti itu.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 28


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Iman itu “menggerakkan”. Dalam makna totalitasnya, iman mengarah kepada “mampu”.
Bukan sekedar jenis percaya, yang tidak menghasilkan apa-apa. Iman itu bentuk optimisme,
keyakinan dan rasa percaya diri; bahwa kita “bisa”.
Bisa apa?
Bisa “menjadi” (becoming/mengarah kepada) objek-objek keimanan itu. Kalau kita percaya
kepada Tuhan, maka kita bisa ‘menjadi’ Tuhan. Bukan menjadi Tuhan dalam makna
menyaingi Tuhan. Tapi menjadi (wakil) Tuhan. Menjadi orang yang memiliki power
ketuhanan. Yang membawa qudrah iradah, mukjizat dan ayat (tanda-tanda) dari Tuhan.
Artinya, Tuhan bukan sekedar dipercaya ada, dan dihafal-hafal sifat 20-nya. Tapi diyakini bisa
dijumpai. Bisa diajak bicara. Bisa terintegrasi dalam sistem yang membuat kita terkoneksi
dengan-Nya. Kita bisa lebur dalam jaringan gelombang dan energi, dalam matriks Wujud dan
kekuasaan-Nya.
Itu jenis iman that works! Para nabi kan semua seperti itu. Terpaut dan tidak berjarak dengan
Allah. Harusnya kita menauladani mereka.
Begitu juga kalau kita percaya kepada malaikat. Kita harus ‘menjadi’ malaikat. Apa sih malaikat
itu?
Malaikat itu kan “Cahaya Allah”. Nur. Alquran selalu bicara tentang Nur. Alquran itu sendiri
adalah Nur. Nur inilah yang harus masuk dalam diri kita. Kalau masuk, jadi malaikat kita
semua. Sebab, Allah itu juga “Nur” di atas nur. Ketika Nur ada dalam diri kita, maka kita akan
menjadi corong Tuhan. Menjadi kaki tangan Tuhan. Menjadi petugas Tugas. Menjadi sinyal
Tuhan. Menjadi pembawa pesan Tuhan. Artinya; gerak dan ucapan kita, dengan adanya Nur,
semua akan terjaga kesuciannya. Malaikat kan seperti itu, maksum dia. Suci.
Begitulah seterusnya. Semua objek keimanan itu harus bisa “diperoleh”, bukan sekedar
dipercayai “ada”. Percaya kepada Kitab, berarti anda harus mampu menjangkau versi batiniah,
yang aslinya. Sebab, itu ada dan tidak bisa disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah
menempuh jalan kesucian (La yamassahu illal muthahharun, QS. Al-Waqiah: 79).
Kemudian, jika anda percaya kepada nabi dan rasul, anda harus menjadi itu. Jangan sekedar
dihapal-hapal yang 25 itu. Tapi, Ruh mereka harus mengalir dalam diri. Ketika itu terjadi, jadi
‘nabi’ kita. Tanpa harus mengaku jadi nabi atau rasul. Jadi orang biasa saja, tapi bersanad,
memiliki pertalian warisan Ruhani dengan mereka semua.
Percaya kepada ma’ad atau hari akhir juga begitu. Berarti anda harus mampu menjadi makhluk
akhirat. Harus mampu “mematikan diri sebelum betulan mati” (mutu qabla anta mutu). Lalu
bangkit kembali sebagai makhluk yang berdimensi masa depan. “Makhluk abadi”. Makhluk
yang sudah bersama Allah. Tidak lagi takut mati. Sehingga tinggi nilai kejuangannya.
Begitu seterusnya. Ketika anda percaya kepada berbagai bentuk ontologi yang powerful itu,
anda harus berupaya menjadi itu. Berusaha memiliki warisan kekuatan-kekuatan itu. Umat

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 29


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Islam sekarang menjadi lemah dan terombang-ambing seperti buih di lautan, itu bukan karena
tidak beriman. Melainkan, makna iman telah terdegradasi dalam sekedar “percaya” bahwa
berbagai wujud penting itu ada. Bukan percaya bisa “menjadi” (becoming/berevolusi) dalam
semua dimensi itu.
Sekedar “percaya”, itu rukun iman anak-anak. Tapi “bisa”, itu level beragama orang dewasa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 15 | Maret 2022


BINTANG ‘ARASY DI BATUSANGKAR: SYEKH ABDUL MAJID, SHOLAWAT DAN
HUJAN YANG KEMBALI MEMBASAHI BUMI
Oleh Said Muniruddin | Dosen FEB USK | Presidium KAHMI Aceh | Penulis Bintang ‘Arasy

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Baru mendarat, tiga pejuang tangguh sudah menunggu. Renaldi Ananda (Bendum), Hary
Anggara (Departemen), dan Ilham (Ketua Komisariat). Perjalanan dari Minangkabau Airport
ke Kabupaten Tanah Datar akan ditempuh dalam 3 jam. Malam ini, Bintang ‘Arasy
diagendakan untuk mengguncang Pagaruyung, Batusangkar.

***
Setelah makan rendang guna mengisi perut yang lapar, kami kembali melaju. Melintasi
gunung, hutan dan jalan berkelok. Sempat di guyur hujan di wilayah Padang Panjang.
“Memang di daerah ini sering hujan bang”, jelas Ari yang menyupiri kendaraan.
Menjelang jam 9 malam kami tiba Islamic Center. Lokasi training ini satu komplek dengan
kantor Bupati Batusangkar. Bersebelahan dengan Istano Raja Basa Pagaruyung. Cuaca cukup
sejuk. Setelah istirahat satu jam, tepat jam 22 Wib, sesi kami dimulai.
Peserta berjumlah 55. Hanya 12 orang yang berasal dari Batusangkar. Selebihnya datang dari
berbagai kota di Sumatera Barat, Sumatera, dan Pulau Jawa. Termasuk satu orang dari
Blangpidie Aceh. Memang sejak mendarat sore hari di Minangkabau, sudah masuk pesan WA
dari kader Aceh ini. Biasa, melapor dan mohon dukungan untuk ikut LK-2. Para senior yang
menerima pesan seperti biasa sudah paham. Paling tidak harus didukung uang makan untuk
mereka survive di jalan.

***
Materi malam ini tentang “Studi Gerakan Islam”. Kader harus memahami peta gerakan di
Indonesia, serta patron mereka pada level global. Karena jarang ada yang berdiri dan bergerak
sendiri. Hampir semua ada induknya. Ada silsilah ideologi dan aliran pemikiran dari luar sana.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 30
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Untuk memahami asal usul varian “islamic theology and movements”, kita harus kembali ke
era awal Islam. Arbitrase Muawiyah (yang diwakili Amru bin Ash) menjatuhkan khalifah Ali
bin Abi Thalib (diwakili Abu Musa Asy’ari) menjadi tonggak awal perpecahan. Yang kemudian
meneguhkan eksistensi dua kubu besar Islam, Syiah dan Sunni. Muawiyah adalah juga sosok
yang memperkuat fatalisme Jabariah. Semua aksi politik licik dan berdarahnya disandarkan
kepada sesuatu yang ia sebut sebagai kehendak Allah, bukan karena nafsu pribadi.
Perpecahan awal ini melahirkan khawarij. Pendukung Ali kecewa karena kekuasaan berpindah
kepada Muawiyah. Akhirnya walk out dan membentuk barisan baru dan membangun
pemikiran sendiri yang keras dan kaku. Ali dan Muawiyah dianggap telah melakukan dosa
besar, telah menjadi kafir, dan halal darah darahnya. Mereka membunuh Ali. Sekarang,
ideologi khawarij menjelma dalam gerakan “takfiri”, melalui slogan purifikasi ketauhidan. Tapi
suka mengkafirkan dan menghabisi tanpa ampun orang yang dianggapnya sesat. Wahabisme
ektrim, ISIS, Al-Qaeda, Jabhat Nusra dan berbagai varian salafi radikal; semua bersanad pada
pemikiran khawarij (kharijites) ini. Mazhab ibadi di Oman berbasis pada ideologi yang suka
berdebat ini, namun mulai membuka diri untuk melakukan diskusi-diskusi interfaith. Ada juga
kelompok yang keluar dari khawarij dan membentuk Sunni “murjiah” dengan pandangan yang
lebih moderat.

Paska Muhammad SAW, gerakan Islam perlahan terstruktur dalam 3 kerangka pemikiran
tauhid, fikih dan tasawuf. Varian pemikiran “tauhid” menjelma dalam Syiah, Khawarij,
Muktazilah, Qadariah, Jabariah, Asyariah dan Maturidiah. Dua terakhir dipinjam sebagai basis
gerak pikir Sunni. Varian pemikiran “fikih/syariat” melahirkan Jakfari, Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hambali. Sementara pemikiran “akhlak/tasawuf” melahirkan aneka ordo tarekat seperti
Alawiyah, Syattariah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, dsb.
Secara umum, gerakan Islam berada dalam dua sayap besar, Syii dan Sunni. Serta beberapa
yang berada diantara keduanya. Seperti sufi dan kelompok-kelompok tradisional lainnya (NU
di Indonesia misalnya, adalah kelompok Sunnah yang akomodatif dengan Syiah), serta kaum
revivalist, juga liberal/modernist (yang banyak mendorong dialog-dialog persaudaraan dan
pembaharuan pemikiran). Di luar itu ada Ahmadiyah, yang juga mengaku Islam, namun sulit
identifikasi sebagai Sunni ataupun Syiah. Kelahirannya pun penuh perdebatan.
Sementara Syiah memiliki beberapa gerakan yang terbagi tiga: Imamiyah Zaidiyah dan Ghulat
(yang terakhir ini dianggap ekstrim dan bahkan tidak diterima oleh Syiah lainnya). Imamiyah
juga terbagi dalam 12 imam (jakfari/twelvers) dan Ismaili. Ismaili pun terbagi lagi dalam Nizari
dan Dawoodi Bohra.
Sementara Sunni juga terpilah dalam beberapa kelompok seperti Hanafi, Syafi’i, Maliki,
Hambali dan juga Salafi (yang terakhir ini juga mengaku Ahlussunnah dan melahirkan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 31


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kelompok-kelompok politik dan jihadis). Sementara Wahabi mencantolkan diri pada Hambali.
Sedangkan dibawah Hanafi lahir Brelwi dan Deobandi. Jamaah Tabligh (the preaching groups)
dan Taliban (students) berpayung dalam pemikiran Deobandi ini. Taliban kemudian berevolusi
menjadi kelompok bersenjata. Dibawah kerangka Sunni juga lahir sejumlah gerakan politik lain
seperti Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) dan Jamaat Islami.
Sementara dalam Syiah juga muncul gerakan-gerakan politik seperti Hizbullah, yang
memberikan resistensi dan perlawanan terhadap aliansi kapitalisme US dan zionisme. Hamas
yang berorientasi Sunni juga melakukan hal yang sama. Sejumlah negara punya gerakan politik
dan muqawwamah.
Dengan memahami corak pikir teologis mazhab, bentuk gerakan dan tokoh-tokohnya; kader
akan paham basis ideologi berbagai gerakan Islam yang muncul di Indonesia. Baik ormas-
ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, maupun organisasi-organisasi yang telah
dibekukan pemerintah seperti HTI dan FPI. Juga organisasi-organisasi ekstra mahasiswa
semacam KAMMI, IMM, PMII, PII dan lainnya.
Ujung dari materi ini mengajak kader untuk memahami berbagai basis ideologi dunia yang
diramu Cak Nur dalam dokumen Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP-HMI). Dengan
demikian, kader punya kemampuan berfikir universal, menyadari keragaman pemikiran dalam
dunia Islam; sekaligus memiliki sikap moderat dan terbuka, punya sikap arif, serta tidak takfiris
terhadap kemajemukan. Kader mengetahui kekuatan dan kelemahan berbagai mazhab dan
ideologi, juga tidak latah dalam percaturan politik dan isu nasional, serta dapat menempatkan
dan mengembangkan ide-ide HMI pada khittah ideal perjuangan keislaman dalam konteks
lokal Indonesia.
Tidak hanya mengolah fikir. Forum training juga penuh pengayaan spiritual. Dua peserta
“fana”. Larut dalam shalawat dan hilang kesadaran materialnya. Tumbang. Tidak terasa. Materi
berlangsung selama 4 jam. Dimulai pukul 22.00 Wib. Berakhir dini hari, pukul 02.00 Wib.

***
Besoknya, Rezky Ananda Putra (Sekum BPL) menembak saya, “Ziarah kita bang?”. Rezki ini
suka dengan tasawuf. Dia suka dengan buku Bintang ‘Arasy karena kontennya sufistik.
“Ziarah kemana?”, balas saya. “Ke makam Syekh Abdul Madjid”, katanya. Saya sempat
termenung. Rasanya pernah dengar nama ini. Ternyata adinda Rezky keturunan dari keluarga
Syekh Abdul Madjid (1873-1958). Maka berangkatlah kami ke kampungnya.
Sekitar satu jam perjalanan dari kota Batusangkar, melewati Koto Gadih dengan pemandangan
sawahnya yang indah, kami tiba di lereng Gunung Merapi. Tepatnya di Guguak Salo. Disitulah
Syekh Abdul Madjid, seorang Mursyid Tarekat Naqsyabadiyah Al-khalidiyah menyebarkan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 32


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dakwahnya. Salah satu murid beliau adalah Prof. Dr. Kadirun Yahya (1917-2001), ahli
metafisika Islam Indonesia.

Prof. Kadirun Yahya Muhammad Amin, setahun sebelum berpulang ke rahmatullah sempat
kembali ke daerah ini dan memperbaiki surau gurunya. Beliau mengganti struktur kayu lama
yang telah rapuh dengan bangunan baru yang sederhana namun bersahaja. Hari ini sudah
tidak ada lagi aktifitas suluk dan tarikat di Surau Majidul Amin ini. Hanya tersisa makamnya
saja.

Sumatera Barat, meskipun wilayah kota telah mengalami banyak perubahan ke arah
modernisasi pemikiran, basis tradisional masyarakatnya masih kuat dengan tradisi sufi.
Hubungan spiritual dengan Aceh juga kuat. Sebagaimana tergambar dalam syair:
Di Aceh kaji di mintak
Di Mekkah tarekat di putih
Di Minangkabau dapek silatnyo
Kaji putuih, Ma’arifat simpan,
Tak badan bicaro lai
Ini terkait dengan pengalaman berguru seseorang dari Pariaman yang bernama asli “Pono”,
yang kemudian dikenal dengan Syekh Burhanuddin Ulakan. Beliau mengambil tarikat di Aceh
(dengan Tgk. Syiah Kuala), lalu mendapat penutuh saat berziarah ke makam Syekh Ahmad
Qusyayi di Madinah, kemudian disempurnakan dengan keahlian bersilat serta pengamalannya
di Minangkabau.
Terima kasih untuk Nurfadilla, ketua umum cabang Ikhsan Azhari; panitia dan seluruh tim
master (Noval Prasetyo, Sabrun Jamil, Andri Tanjung, Bobi, dkk). Alhamdulillah, setelah sesi
Bintang ‘Arasy, Kota Batusangkar yang sudah lama kering, akhirnya kembali di guyur hujan.
Namun, sebatok “Kawa Daun” yang diramu dari dedaunan kopi pilihan, sambil duduk
menikmati keindahan alam Koto Gadih, mampu membuat badan kami membara kembali.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 16 | Maret 2022


ISTANO RAJO BASA “MEGA STRUCTURE” PAGARUYUNG
Oleh Said Muniruddin | Dosen FEB USK | Rector The Zawiyah for Spiritual Leadership |
Founder & Advisor GUNTOMARA “Islamic Art and Architecture”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 33
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Istano” artinya istana. “Rajo” adalah raja. “Basa” maknanya besar. Sedangkan “Pagaruyung”
maksudnya, istana besar ini dipagari/diatapi dengan “uyung” (sabut pohon enau). Cukup
dengan membayar Rp15.000; anda sudah mendapat akses masuk ke istana yang berada di atas
areal 12 hektar ini.
Bangunan ini sendiri sebenarnya replika dari istana Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Yang
aslinya dibangun sekitar abad 17 di atas bukit Batu Patah, di belakang bangunan sekarang.
Tapi sudah musnah terbakar pada 1803 akibat konflik Paderi. Pembangunan kembali terjadi
tahun 1930, kemudian musnah lagi tahun 1966 akibat sambaran petir yang membakar atap dan
keseluruhan bangunannya. Lalu dibangun lagi pada 1976. Tapi tahun 2007 lagi-lagi mengalami
kebakaran; yang menyisakan hanya 15 persen dokumen, relik dan warisan sejarah yang
tersimpan di dalamnya. Yang ada sekarang adalah replika ketiga yang dibangun kembali selama
6 tahun, selesai pada 2013, dan menghabiskan biaya lebih dari 20 milyar.
Keseluruhan bangunan ini dibalut dengan 26 ton serat ijuk, serta dinding dan plafond dari
batang kayu yang diukir dengan ragam hias “jala taserak”, atau motif pakis yang menjalar.
Bangunan terdiri dari 3 lantai, dengan 72 tiang berposisi miring. Ditengahnya terdapat
“tonggak tuo”, representasi dari tiang lama, dan merupakan tiang yang pertama dibangun saat
pembuatan istana ini.
Karena kerajaan Pagaruyung sudah tidak ada lagi. Bangunan ini dibuat lebih sebagai simbol
persatuan budaya dan masyarakat Minang. Khususnya paska peristiwa “Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958. Sebuah gerakan protes tokoh-tokoh
Minang terhadap tatakelola NKRI, namun mendapat respon represif oleh Pemerintah Pusat
yang meninggalkan luka serta memecah kesatuan warga Minang. Sekarang, bangunan yang
berjarak hanya 5 km dari pusat kota Batusangkar ini menjadi salah satu objek wisata utama di
Kabupaten Tanah Datar.
Akan menarik, ketika setiap kabupaten di Indonesia misalnya, paling tidak punya satu objek
wisata “megastructure” yang menjadi identitas agama, sejarah ataupun kebesaran budaya.
Bangunan atau situs ikonik ini tentu tidak hanya sekedar mahal dari sisi biaya. Tapi mampu
mengintegrasikan aneka atraksi wisata, punya pesan yang dalam tentang nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, serta mampu mengangkat dan menawarkan warisan spiritual untuk para
pengunjungnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 17 | Maret 2022


BINTANG ‘ARASY DI KUTACANE: MARC MARQUEZ, AYAM LABAT DAN TANJAKAN
PATAH
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Zawiyah for Spiritual Leadership

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 34


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Selasa, 22 Maret 2022, pukul 08.00 Wib. Pagi yang cerah. Marc Marquez, Bang Zulfikar Lidan
dan Bang Safwan duduk ngopi di sebuah Warkop, sebut saja di Mandalika, Ulee Kareng –
Banda Aceh. Itu awal langkah mereka meluncur ke sudut tenggara Provinsi Aceh.
Perjalanan baru 4 jam. Hari sudah siang. Pitstop pertama Kota Juang Bireuen. Kami makan
nasi padang.
Setelah istirahat, Fortunernya kembali kami kebut. Jam 17 wib kami tiba di Takengon, kota
wisata yang sedang tumbuh pesat di Aceh Tengah. Cuacanya sejuk. Di Cafee Tujuh Semeja.
Tepat di pinggir danau Laut Tawar. Seceret kopi rasa apel, ditemani beberapa piring kentang
dan tempe, telah menyembuhkan rasa lelah kami.
Pukul 18 Wib, mobil kembali kami pacu menuju Bintang. Setelah itu, jalan sedikit rusak.
Longsor disejumlah sisi. Setelah itu, kami memasuki hutan pinus. Jalan sudah kembali mulus.
Menelusuri suasana lembah yang sangat indah dipenghujung hari, kami kejar-kejaran dengan
malam, mengarah ke Ise-Ise. Dua jam kemudian kami tiba. Sudah waktu Isya. Istirahat
sebentar.
Ini pengalaman pertama Marc Marquez, panggilan sementara Penulis Bintang ‘Arasy dalam
perjalanan ini, mengendarai mobil dari Banda Aceh ke Kutacane, melalui Takengon. Begitu
juga dengan Bang Zulfikar Lidan dan Bang Safwan.
Kami tidak tau, ternyata, perjalanan sesungguhnya baru dimulai dari Ise-Ise menuju Pitstop
selanjutnya, Blangkejeren. Jarak tempuh 2 jam juga. Selama satu jam berputar-putar dalam
gunung dan hutan lebat. Gelap. Kami terus mendaki dalam liku yang patah menanjak. Cukup
menantang. Adrenalin memuncak.
Dari Blangkejeren, waktu tempuh masih 3 jam lagi menuju Kutacane. Meskipun tidak begitu
mendaki, kelak kelok jalan begitu dahsyat. Belum habis kita putar mobil ke ke kiri, sudah
harus berputar ke kanan. Begitu selama sejam, berputar-putar terus.
Jam 1 dini hari, setelah menempuh jarak 555 Km, selama 14 jam; kami tiba di Kutacane. Adik-
adik panitia LK-II dan SC HMI sudah menunggu. Kami diinapkan di Wisma PPMG milik
Disdik.
***
Belum habis lelah, pagi-pagi sudah kembali diajak ngopi. Kali ini di Suki Cafee, depan Masjid
Agung Attaqwa. Disana sudah ada Bang Ramadhansyah (salah satu Presidium KAHMI Aceh
Tenggara/Kasubbag di DPRK Aceh Tenggara), Dr. Indra Utama (Rektor Universitas Gunung
Leuser) dan alumni lainnya.
Dalam pertemuan ini juga secara spontan tergagas untuk melaksanakan Musda-2 KAHMI
Aceh Tenggara. Sudah lama Musda direncanakan untuk dilaksanakan. Namun selalu batal.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 35


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kehadiran Koordinator Presidium KAHMI Aceh dianggap sebagai momentum untuk


penyegaran kembali organisasi alumni disana. Ide ini disounding ke dr. Bukhari, Koorpres
MD-KAHMI Aceh Tenggara yang telah 8 tahun memegang jabatan. Beliau setuju. Hanya
dalam waktu 1 hari persiapan dilakukan.
Alhamdulillah, legat sekali cara kerjanya. Malamnya, Musda terlaksana dengan rapi dan baik.
Tempatnya juga di aula PPMG. Marc Marquez ikut memimpin sidang di awal acara. Terpilih 5
Presidium baru yang dikepalai Kanda Ramadhansyah, alumni USU Medan.
***
Awalnya Marc Marquez agak ragu untuk berangkat ke Kutacane, mengingat jarak tempuh
yang lumayan jauh. Melihat keseriusan pelaksanaan LK-II dan SC, hati Marc Marquez luluh.
Apalagi adik-adik panitia sebelumnya sampai hadir ke Banda Aceh untuk mencari dukungan
pemateri. Ketulusan ini tidak bisa diabaikan. Acara mereka harus disukseskan!
Sore itu, Rabu 24 Maret 2022, setelah satu jam meracuni pikiran 8 peserta SC terkait
“Metodologi Penyampaian NDP-HMI”, racun-racun lainnya juga kami injeksi selama satu jam
setengah ke dalam jiwa dan pikiran 50 peserta Intermediate Training. Peserta agak mabuk
merespon materi namun merasa sangat bahagia. “Semoga mereka semua cepat mati, dan
tumbuh kembali sebagai malaikat”, gumam Marc Marquez dalam hati.

***
Kamis pagi, 25 Maret 2022. Setelah singgah ke Masjid Agung yang dihias dengan ragam
belahan manggis, perjalanan pulang kembali kami tempuh. Jalurnya lebih gila. Kali ini,
sesampai di Blangkejeren kami berbelok ke arah Babah Rot (Aceh Barat Daya), melewati
Kampus PDD Unsyiah di Gayo Lues.

Ini merupakan rute pegunungan dengan panorama yang juga tak kalah indah, sekaligus paling
ekstrim di dunia. Ngeri-ngeri sedap. Tiga jam perjalanan dalam gunung dengan sejuta kelok.
Tanjakannya tinggi minta ampun, sampai ke puncak gunung, patah dan mematikan. Sempat
berhenti bernafas. Bagi anda para pecinta traveling, ini etape paling menantang untuk
ditaklukkan. Alhamdulillah, cuaca hari itu sangat baik. Pergi dan pulang tidak ada hujan.
Mungkin jampi-jampi ibu Rara untuk menghentikan hujan masih aktif. Jika tidak, driver bisa
meraba-raba dalam kabut tebal di pegunungan yang mengerikan.
Jalan yang dibangun secara multiyears (2020-2022) dengan dana 387 milyar ini hampir
seluruhnya mulus, dengan beberapa bagian yang masih dalam perbaikan. Perjalanan Kutacane-
Banda Aceh melalui Babah Rot disebut-sebut lebih efisien. Mampu menghemat waktu sampai 3
jam. Banyak warga Kutacane memilih jalur ini jika bepergian ke Banda Aceh, daripada rute
Takengon.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 36


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Terima kasih kepada Bang Ramadhansyah (Koorpres terpilih), Iswandi (Presidium terpilih),
Awaluddin (Ketum pertama HMI Cabang Kutacane), Eka (Ketua Karang Taruna Aceh
Tenggara), Sofian (Ketum HMI Cabang Kutacane), Farma Andiansyah (panitia/pengurus
cabang), Master Zulfata, Nurhayati Gayo, dan lainnya. Terima kasih atas jamuan ayam labat,
telur dadar telu, es campur tepung sagu, dan oleh-oleh gula merah khas Kutacane. Terima
kasih juga atas pengawalan Voreijder saat keluar dari Kutacane. Semoga kita dapat bersua
kembali pada lain waktu.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 18 | Maret 2022


“FA INNI QARIB”: MELALUI SATELIT, HUBUNGAN ANDA DENGAN ALLAH MENJADI
DEKAT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Ada dua model hubungan yang dapat anda bangun dengan Presiden.
Pertama, “hubungan tidak langsung”. Ini terjadi jika anda tidak dikenal oleh Presiden. Anda
pun tidak mengenalnya. Makna “mengenal” adalah akrab, karib, atau dekat. Seperti kawan
dekat. Karena tidak saling kenal, wajah sang Presiden pun (kalau tidak ada siaran tv dan foto)
mungkin anda tidak tau. Paling cuma tau namanya saja. Dengan Allah juga begitu, umumnya
kita hanya tau nama, namun tidak ada isinya (empty name). Kita sering tidak terhubung
dengan Dia, dengan Wujudnya; yaitu nama yang kalau kita sebut, hadir Dzatnya (nama yang
menyatu dengan Dzat).
Maka, satu-satunya cara berhubungan dengan Presiden yang asing bagi kita (yang kita hanya
tau namanya saja, tanpa pernah mengalami kontak dengan wujudnya) adalah dengan patuh
pada undang-undang yang ia buat. Dalam hal ini, anda adalah masyarakat awam, yang ikatan
dengan Presiden (negara) hanya lewat “perantara” berupa kepatuhan kepada regulasinya.
Agama, pada level terbawah, adalah usaha untuk membawa orang-orang untuk mengenal
hukum Allah. Bukan mengenal Allah. Pada level syariat, begitulah cara kita berhubungan
dengan Tuhan yang maha asing (transenden). Kerjaan kita hanya membaca kitab undang-
undang Dia, bukan berinteraksi langsung dengan Dia. Lalu, jika hanya pada level membaca
undang-undang saja, tanpa pernah bertemu Dia, apakah kita berani mengklaim diri sebagai
orang paling beragama dan paling dekat dengan-Nya?
***
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 37
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bentuk hubungan lain dengan Presiden adalah, “relasi langsung”. Ini hubungan orang yang
sudah akrab, karib, atau dekat. Anda sudah kenal dia dan dikenal olehnya. Anda sudah diingat
dan disebut-sebut. Sudah fazkuruni azkurkum. Anda tidak lagi sekedar berwasilah kepada teks
mati dengan segala penafsiran terhadapnya. Tapi anda sudah mampu berbicara dan berdialog
dengan sosok “yang maha hidup” itu.
Dengan Allah juga begitu. Allah baru disebut “dekat”, kalau kita sudah makrifat. Sudah kenal
dan akrab. Sudah bisa disapa (ud’uni) dan dijawab (astajib lakum). Hubungannya sudah
interaktif dan live.
Maka, “taqarrub” adalah terminologi spiritual kelas tinggi. “Muqarrabin” itu makam
kedekatan. Makam intimate. Makam ahli makrifat. Makam orang yang
sudah immanent (menyatu dengan Allah). Makna “menyatu” adalah fa inni qarib. Sudah klik.
Komunikasi yang terbangun sudah dua arah. Bukan sekedar pura-pura berbicara dengan Allah,
lalu merasa Dia telah mendengar. Tapi memang terasa, bahkan terdengar Dia menjawab.
Bisa saja seseorang merasa “dekat” dengan Allah. Seperti tukang bakso di luar pagar istana
Presiden yang merasa dekat dengan Presiden. Tok gara-gara ia bersebelahan pagar dengan
Presiden, lalu merasa dekat. Padahal itu bukan dekat. Tapi merasa dekat, secara imajinatif.
Betapa banyak orang yang seolah-olah dekat, padahal jauh. Bahkan hubungan dengan tetangga
banyak yang seperti itu. Hanya tau nama. Tapi tidak saling kenal. Tidak saling sapa. Tidak
berbalas. Tidak terhubung dengan wujudnya. Apalagi dengan Allah yang wujudnya entah
dimana dan seperti apa. Kita sering merasa dekat dengan-Nya, tapi sebenarnya jauh dan
terputus; walau namanya terus kita sebut. Karena, nama yang kita sebut sering tidak ada
zatnya. Empty name.
Memang Allah maha meliputi. Ada dimana-mana. Tapi, jangan seperti orang jualan bakso itu.
Merasa dekat dengan Presiden, tapi tak pernah bersentuhan. Tak pernah berjumpa dan
salaman. Baru dikatakan dekat secara aktual (hak/dzatiy), kalau sambil jualan bakso, anda
dapat sms-an dengan Presiden. Bisa nelponan dengan Presiden. Bisa duduk dan tertawa sambil
makan bakso bareng Presiden. Sebab, dekat itu makrifat. Kenal, akrab dan berjumpa.
Sebagai ilustrasi, gelombang elektromagnetik juga maha meliputi, ada dimana-mana di alam
ini. Tapi mana? Bisa anda tangkap gelombang itu? Bisakah anda temui, sentuh, dan melakukan
simulasi interaktif dengannya? Kalau bisa, berarti anda sudah makrifat. Gelombang-gelombang
ini tidak dapat dijangkau hanya dengan menyebut-nyebut namanya saja, sekalipun lidah anda
sangat fasih dalam berkata-kata. Ada metodologi (langkah-langkah saintifik) yang harus
ditempuh untuk mampu mengakses dan “akrab” dengan berbagai jenis gelombang ini.
Dengan Allah yang “ada dimana-mana” juga begitu. Tidak cukup dengan sekedar menyebut
nama dan mengulang-ngulangnya dalam sholat dan doa kita, lalu berharap terhubung langsung
dengan-Nya. Nama yang sering kita sebut, itu kosong, tidak hadir Dzatnya. Ada metodologi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 38


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

yang baku (tariq, langkah-langkah atau praktik sufistik metafisik) yang harus dijalani agar kita
mampu menemukan, menjumpai, melihat, dan tersambung dengan si Pemilik nama; bahkan
tersengat oleh vibrasi wujud-Nya.
***
Ketika Allah berkata: “Fa inni qarib” (QS. Al-Baqarah: 186), Dia sebenarnya sedang membuka
peluang kepada kita sebagaimana peluang yang diberikan kepada para nabi, bahwa kita dapat
bersahabat dan bercakap-cakap dengan-Nya. Sebab, tujuan agama adalah membawa manusia
untuk dekat, “taqarrub” dengan Allah. Untuk menyatu, saling kenal dan mampu saling
menyapa. Alias nyambung atau terhubung langsung.
Kalau anda ingin terhubung secara langsung dengan dunia luar, dengan pertandingan Madrid
vs. Barca yang di Spanyol sana misalnya, ada dua hal yang harus anda miliki. Pertama, punya
perangkat TV yang bagus. Kedua, tersambung dengan satelit. Baru siarannya akan “live”
(langsung).
Untuk terkoneksi dengan Allah juga begitu. Pertama, perangkat diri anda harus diperbaiki dan
kuat. Proses penempaan diri biasanya ditempuh dengan ritual-ritual seperti zikir, ubudiyah,
puasa, sedekah dan suluk. Anda adalah TV yang maha sempurna yang pernah diciptakan
Tuhan; yang mampu memancarkan, menghadirkan atau mentajallikan “visual” Tuhan dalam
diri anda sendiri. Fenomena mukjizat kan seperti itu. Ketika hadir Tuhan dalam diri, sesuatu
yang ajaib akan terjadi. Tapi, ini terjadi kalau didukung oleh elemen kedua, yaitu: “satelit”.
Anda harus terhubung dengan “satelit” (wasilah, pembawa dan pemancar sinyal).
Para nabi, itu “satelit”. Rasulullah, itu “satelit Allah”. Dari dia lah segala kalam dan af’al Allah
tayang ke dunia. Secara fisik, nabi memang manusia biasa. Tapi dalam diri mereka ada
pancaran Ruh, mentransmisikan sinyal dan gelombang yang merupakan elemen langsung dari
kerasulan (unsur dari Tuhan). Jika kita menguasai teknik untuk menumpang pada sinyal-sinyal
yang ada dalam jiwa mereka, kita akan langsung terhubung, menjadi dekat dan karib dengan
Allah. Sehingga hubungan dengan Allah menjadi “live” (langsung/laduniah). Itulah fungsi para
nabi dan rasul, membawa manusia kepada Allah.
Teknologi “satelit” inilah yang dijamin Allah terus ada sepanjang masa, sampai kiamat tiba.
Merekalah yang disebut Guru, ulama warasatul anbiya, pewaris sinyal ketuhanan, Alquran
yang hidup, para imam, wali, ataupun khalifah yang rasyidun (para pemimpin yang memiliki
otoritas sebagai mursyid). Menemukan mereka, itu sama dengan menemukan Allah. Karena
mereka adalah “tali Allah” alias “satelit” yang menyambungkan kita untuk dapat menikmati
siaran langsung dari Allah.
Allah yang entah ada di alam mana dan bagaimana; itu akan “dekat”, “hadir”, dan “tersiar”
kemana-mana; kalau perangkat spiritual anda telah mengalami tazkiyatun nafs, serta

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 39


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

tersambung dengan “satelit” yang asli, yang masih hidup. Satelitnya memang harus asli. Jika
palsu, anda justru akan kerasukan siaran dan sinyal dari alam jin, bukan dari alam malaikat.
Kesimpulan. Tauhid dan syariat adalah ilmu untuk berhubungan secara tidak langsung dengan
Allah, dengan berwasilah kepada “mazhab pemikiran” dan “teks mati”. Pada level ini, anda
harus panjang akal untuk berdebat dan memahami. Sementara tariqat, itu metode untuk me-
“langsung”-kan hubungan dengan Allah, melalui keterhubungan dengan “satelit (Ruh) yang
hidup”. Disini, anda harus menjadi ummi, mematikan otak dan mempasrahkan diri untuk
dialiri arus dan sinyal, langsung dari sisi-Nya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 20 | April 2022


“TALI ALLAH”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Apa yang dimaksud dengan “tali Allah” (hablillah, QS. Aali ‘Imran: 103)?
“Tali Allah” adalah jaringan komunikasi dengan Allah. Disatu sisi ada anda, disisi lain ada
Allah. Antara anda dengan Allah, itu dihubungkan oleh “jaringan” ini. Mirip-mirip HP dengan
jaringan sinyalnya, yang dapat menghubungkan kita dengan seseorang yang jauh dan entah
dimana.
Kita tidak mungkin berhubungan langsung dengan Allah. Kalau bisa, coba saja. Tidak bisa.
Tidak akan terjawab. Tidak akan terlihat. Tidak akan terdengar suara Tuhannya. Kita dengan
Allah adalah dua hal berbeda. Harus ada alat untuk menyambungkannya. Harus ada wasilah.
Harus ada “tali” yang menyambungkan. Harus ada teknologi, perangkat dan jaringan yang
mengkoneksikan kita dengan Allah.
Para nabi dan wali-wali Allah, adalah orang-orang yang punya hubungan “live” dengan Allah.
Karena mereka punya “tali”-nya. Punya teknologi yang hidup, yang dapat menyambungkan
mereka dengan Allah. Sehingga, aliran laduniah wahyu/Kalam Tuhan mengalir deras dan bisa
diterima dengan mudah. Mereka senantiasa bercakap-cakap, mampu berasyik-masyuk, “live”
dengan Allah. Dengan teknologi jaringan (“tali”), Allah telah menjadi sebuah wujud objektif
bagi mereka. Bisa terlacak dan terhubung dengan-Nya.
Apa itu “tali Allah”?
“Tali Allah” adalah sanad fisik dan ruhaniah, yang menyambungkan anda dengan Rasulullah,
dengan Allah. Baik Rasulullah maupun Allah adalah wujud gaib di “luar” sana, di “atas” sana,
atau di “alam” sana. Susah menggambarkan lokasi geografis dari wujud unik yang maha
meliputi ini. Terkadang disebut “dalam” dirimu.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 40
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dimanapun Dia, yang jelas dengan “Tali”-Nya. Kring-nya terjadi. Terhubung. “Halo” kita
ucapkan disini, “halo” juga akan terjawab dari sana dan itu terdengar di telingamu, terdengar
dalam dirimu. Dengan bantuan jaringan (tali/kabel/web), tentu sifatnya sudah wireless,
wujud/suara (Tuhan) yang ada “disana” menjadi “disini”. Terpancar dalam diri. Bertajalli
dalam jiwa. Hadir dihati. Itu yang disebut “wahdatul wujud”. Pertalian Ruhani dengan ruhani.
Bukan fisik dengan fisik. Dia menjadi aktual, immanent dan omnipresent, hadir dalam dirimu
dan dapat dirasakan dimana-mana.
Tentu untuk mencapai bentuk komunikasi yang terintegrasi ini harus ada “sanad”, “pertalian
komunikasi”, atau “jaringan ruh” yang sambung menyambung antara kita dengan
Rasulullah/Allah. Uniknya, “sanad” yang menyambungkan kita dengan Allah adalah justru
orang, dengan berbagai gelombang dan sinyal yang unik (Ruh Muqaddasah Rasulullah) yang ia
bawa dalam dirinya dan tentu berasal dari Tuhan. Sehingga ia disebut sebagai “utusan”
(rasul/pewaris rasul/wali Tuhan). Orang-orang seperti ini merupakan “satelit” ilahi, dengan
infrastruktur dan suprastruktur yang dapat memfasilitasi manusia untuk mengenal
(bermakrifat/terhubung) dengan Allah.
Sehingga dikatakan, barang siapa mengenal “imam” pada zamannya, maka ia akan mengenal
Tuhannya. Imam adalah sanad, tali, satelit, atau perangkat yang memiliki sinyal-sinyal yang
dapat menghubungkan kita dengan Allah. Kalau perangkat HP mampu anda aktivasi, mampu
anda sambungkan dengan satelit; maka anda akan terkoneksi kemana-mana. Begitu juga
dengan diri anda, kalau mampu anda aktivasi dan sambungkan dengan jiwa pemilik sanad;
maka anda akan terhubung dengan alam-alam yang lebih tinggi.
Karena kita bodoh, maka harus ada orang yang mampu mengaktifasi HP kita. Apalagi ini
terkait ruhani yang sangat halus dan begitu misteri. Sedikit yang punya pengetahuan
tentangnya. Maka harus ada spesialis yang mampu mengaktivasi ruhani kita. Sebaik-baik orang
yang dapat mengaktivasi itu adalah si pemilik jaringan itu sendiri. Itulah “mursyid”, seorang
wali, pembantu, operator sekaligus pembawa sinyal dari Allah ta’ala. Tugasnya membimbing
dan mengaktivasi jiwa si murid agar tersambung dengan Tuhannya.
Kita bisa saja komat-kamit 24 jam sholat dan berdoa. Tapi, tanpa sanad ruhaniah, tanpa tali
jaringan dengan Allah, tanpa pertolongan dan syafaat Gurumu (operator Allah); doa dan
bacaan fasih kita akan tercerai berai di dinding masjid. Tidak sampai naik ke langit. Akhirnya,
seperti kata Nabi SAW: jadi buih semua kita. Merdu tapi kalah. Ramai tapi lemah. Muslim,
tapi tidak berpower.
ۖ ‫َوا ْع َت ِص ُم ْوا ِ َﲝ ْب ِﻞ ا ٰ ّ ِ َ ِﲨ ْي ًعا و َﻻ تَفَرقُ ْوا‬
“Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (kabel koneksi/satelit) Allah, janganlah bercerai
berai…”
(QS. Aali ‘Imran: 103).
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 41
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 19 | April 2022


RAMADHAN, BULAN “MENGASINGKAN DIRI”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Ramadhan adalah bulan “mengasingkan diri.” Kenapa? Karena anda tidak bisa khusyuk
beribadah, kalau speaker masjid kerasnya minta ampun, dari selesai tarawih sampai subuh.
Ibadah itu sendiri sebenarnya ada dua macam: ibadah khusyuk dan ibadah rusuh. Ibadah
khusyuk butuh ruang sunyi, agar anda mampu mendengar suara-suara yang lebih tinggi.
Ibadah rusuh, itu mirip aktifitas “cok-cok ayat” (rebutan ayat). Bagus. Tapi rusuh. Sebab harus
mengeraskan suara. Tujuannya untuk memperdengarkan. Agak-agak ria memang. Pakek ToA
pula.
Jadi, ibadah itu bagus dan banyak modelnya. Silakan pakek ToA, kalau ingin seperti konser.
Silakan juga menjaga adab untuk tenang tak bersuara. Karena, untuk urusan sholat dan dzikir
misalnya, biasanya kita butuh malam yang hening bening.
Kebetulan, di momentum ramadhan pula kedua jenis ibadah ini saling berkompetisi. Yang
rusuh, rusuh terus. Tak bisa dilarang. Kalau anda larang, bisa dituduh komunis kita. Lebih
parah, bisa dituduh setan kita, yang katanya bisa kepanasan gara-gara mendengar lantunan
Alquran. Gak tau dia, setan juga pandai mengaji.
Tapi kita harus fair juga menyikapi bulan puasa. Ramadhan ini bukan hanya milik kita orang
tua. Ini juga bulan bagi anak-anak untuk unjuk gigi. Untuk menyemangati seni baca Qur’an.
Mereka punya kesempatan ngaji keras-keras di masjid dan musholla. Sehingga semarak dan
nampak suasana berbedanya. Pengalaman beragama untuk anak-anak memang seperti itu,
harus ramai dan rusuh. Jika tidak, agama ini menjadi tidak menarik bagi mereka.
Kita pun, kalau flash back ke masa lalu, memori saat kecil di bulan Ramadhan ya isinya
kerusuhan semua. Saling dorong saat tarawih. Teriakan keras “amin”, rebutan mic saat azan
dan ngaji, sampai betulan bonyok karena berkelahi. Semua terjadi di bulan suci. Itu semua
memori yang membentuk masa kecil yang bahagia.
Sementara, orang dewasa, yang betul-betul dewasa, itu biasanya mencari kesunyian. Makanya,
Nabi SAW, selama Ramadhan hanya dua malam saja mengerjakan ibadah di masjid.
Selebihnya menyepi dalam kamarnya. Bukan tidur. Tapi ibadah semalam suntuk, dengan pintu
tertutup, dalam suasana sepi. Mencari sunyi, guna berkomunikasi secara sangat privacy dengan
Tuhannya. Anak-anak tidak punya kemampuan ibadah seperti itu. Harus ada kawan dia. Harus
ramai dan rusuh.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 42
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bahkan, sejak belia ibadahnya sudah begitu. Bermalam-malam Nabi SAW beruzlah di Gua
Hirak. Bisa sampai sebulan. Setiap tahun. Setiap Ramadhan Nabi mengasingkan diri dari
kerusuhan ibadah masal di Masjidil Haram.
Makanya, dalam tradisi klasik Islam, ada namanya ibadah suluk (iktikaf terfokus). Intensif
dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Itu kan meniru tradisi para nabi, yang menyembunyikan
diri selama Ramadhan. Mereka menarik diri dari keramaian. Menghindari kerusuhan. Artinya,
setelah setahun rusuh dalam ibadah, sebulan ini tak salah jika pergi berkhalwat. Mengasingkan
diri, berdua hanya dengan Allah.
Tapi, ya itulah agama. Pola ibadah orang beda-beda. Ada yang baru mulai beribadah pada
bulan Ramadhan, setelah sebelas bulan sebelumnya terlalu sibuk urusan kantor dan mirip-
mirip lupa Tuhan. Akhirnya ya mencari keramaian, dengan tampilan cukup meyakinkan.
Lengkap baret. Bersarung, berkoko dan berpeci; dengan sajadah di bahu. Duduknya di warung
kopi.
Ada pula para sufi dan ahli ibadah profesional lainnya. Bulan Ramadhan justru menghilang
dari jamaah. Tak terlihat pun di masjid. Tak ngaji bareng. Tak ikut pula buka puasa bersama.
Rupanya pergi dzikir ke Gua Hirak dia. Mengunci diri di kamarnya.
Jadi, Ramadhan itu bulan ibadah. Tergantung anda mau pilih cara apa, dan bagaimana anda
ingin merasakan pengalaman beragama. Mau kumpul ramai-ramai, atau justru mengasingkan
diri; semua ada kelas dan jenjang spiritualnya. Kalau ingin disamakan dengan zaman nabi,
susah pula. Berkhalwat sebulan penuh di bulan suci sebagaimana dilakukan Nabi, susah ditiru
sekarang. Nabi itu pedagang. Setelah sebelas bulan capek berdagang, Ramadhan istirahat dia.
Kita lain lagi. Sebelas bulan belakangan nganggur, gak ada kerja. Perputaran ekonomi justru
terjadi di bulan ini. Akhirnya, selama bulan suci, ibadah kita ya bulan jualan risol dan air tebu.
Sementara, ada juga pedagang yang sudah kaya raya. Tapi tidak berangkat suluk juga dia.
Sebab, keuntungan di bulan Ramadhan lebih menggiurkan. Bisa tujuh kali lipat dari bulan
lainnya. Sayang kalau dilewatkan. Mau diajak suluk juga tidak bisa. Sebab, saat lagi jualan,
yang dihafalnya juga ayat-ayat tentang muamalah. “Ini bulan untuk menghidupkan ekonomi
syariah”, teriaknya. Habis kita. Yang ustadz-ustadz juga begitu. Susah diajak uzlah. Karena
perputaran ceramahnya tinggi sekali. Bagian dari (dakwah) ekonomi syariah juga itu.
Selamat berpuasa. Selamat beribadah, menurut keyakinan masing-masing!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 21 | April 2022


ADAB MENYAMBUT SUAMI YANG PULANG DARI MUJAHADAH SPIRITUAL
Oleh Said Muniruddin

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 43


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Seorang suami yang pulang dari perjalanan mujahadah spiritual biasanya akan membawa serta
rahmat dan cinta. Berikut beberapa adab untuk menyambutnya.
1. ISTRI BERADA DI RUMAH. Saat suami tiba di rumah, istri harus ada di rumah menunggu
suaminya tiba. Jangan sampai tidak ada di rumah bahkan suami tidak tau istrinya ada dimana.
Kalaupun istri ada di jalan/disuatu tempat, segera pulang dan jangan sampai suami
mendahului istri tiba di rumah.
2. MENYAMBUT SUAMI DENGAN RASA RINDU PENUH CINTA. Suami disambut dengan
senyum, bukan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Apalagi dengan marah-marah. Cium
tangannya berkali-kali. Bila perlu peluk dia sejenak dengan penuh rasa rindu.
3. MEMBANTU MENGAMBIL/MENGANGKAT BARANG-BARANG BAWAAN SUAMI
DAN MERAPIKAN PADA TEMPATNYA. Suami senang jika barang-barang yang ia bawa
pulang, kecuali yang berat-berat, dibantu angkat dan rapikan oleh istri.
4. RUMAH DALAM KEADAAN BERSIH DAN WANGI. Saat suami tiba, kamar tidur sudah
bersih. Seprei sudah diganti. Kamar mandi juga bersih. Rumah sudah diberi wewangian.
Harum.
5. ISTRI JUGA BERSIH, RAPI DAN WANGI. Selain bersih dan wangi dari ujung rambut
sampai ujung kaki, istri juga memakai baju yang bagus dan menyenangkan suami. Jangan
sampai saat suami tina, istri masih mandi ataupun belum mandi sama sekali, bau dan acak-
acakan. Untuk memperoleh wewangian tubuh terbaik, gunakan Hair Tonik Ramping & Dupa
Wewangian Bidadari Syurga(Pesan via Kak Kiki, 082276649123).
6. ANAK-ANAK DITERTIBKAN. Saat suami tiba, anak-anak sudah dikondisikan dalam
keadaan tenang. Sudah mandi dan sudah makan. Bila perlu sudah ditidurkan. Jangan sampai
saat suami tiba, anak dalam keadaan tidak terurus dan rewel, sehingga sibuk mengurus anak.
Pastikan anda lebih peduli pada suami yang baru tiba dari jauh, daripada sibuk mengurusi
anak-anak anda. Pastikan suami mendapat perhatian nomor satu.
7. MENYEDIAKAN MAKANAN TERBAIK UNTUK SUAMI. Saat tiba, suami bisa jadi dalam
keadaan lapar. Maka disediakan makanan terbaik dan lezat untuknya. Saat tiba juga
disuguhkan segelas air hangat, jus ataupun buah-buahan segar.
8. MENJAGA KATA-KATA. Saat menyambut suami, jangan berbicara yang menyakiti hatinya.
Misalnya, suami baru tiba langsung disampaikan jumlah hutang yang belum terbayar ataupun
masalah-masalah lainnya. Sekecil apapun masalah yang anda beritahukan, itu akan
mengganggu mood-nya. Jikapun ada masalah, sampaikan itu ketika situasi sudah normal atau
suami sudah bangun dari istirahatnya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 44


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

9. DAMPINGI SUAMI SAMPAI IA ISTIRAHAT. Pastikan anda melayani suami secara


maksimal. Jangan sibuk dengan urusan lain. Bukakan bajunya. Siapkan alat mandi dan baju
ganti. Urut badannya. Dampingi sampai ia benar-benar terlelap dalam istirahat. Lakukan
semua hal terbaik yang anda bisa, khususnya ketika ia bertanya: “Anak-anak sudah tidur?”

Anda pasti paham maksudnya apa .


Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 22 | April 2022


“GELOMBANG” AYAH
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Suluk Ramadhan kemarin, kami ditugaskan sebagai malaikat pemeriksa amal. Tidak hanya
menghisab kaji, tapi juga mendengar berbagai fenomena spiritual yang dialami peserta zikir.
Salah satu hal ihwal yang rata-rata dialami peserta adalah bermimpi. Dan, diantara jenis mimpi
yang dialami terkait ayah masing-masing. Termasuk kami, juga bermimpi bertemu Ahli Silsilah
ke 35, yang memberitau agar menghadiahkan doa untuk ayah yang sudah 8 tahun wafat,
dengan bacaan tertentu pada jumlah hari tertentu.
“Aneh juga”, pikir saya. Kok kali ini banyak peserta bermimpi tentang ayahnya.
Tapi entah kenapa, memang selama suluk ataupun setelah suluk, ayah dari sejumlah peserta
mengalami berbagai kejadian. Ada yang sakit. Ada yang berpulang ke Rahmatullah. Dan
sebagainya. Kami berdoa, setiap ayah kita yang sedang mengalami sakit agar diberi keringanan
dan kesembuhan. Begitupun yang sudah tiada, semoga diampuni semua dosanya.
Saya tidak tau pasti apa makna fenomena mimpi “gelombang ayah” di suluk Ramadhan di
Dayah Sufimuda pada 7-17 Ramadhan 1443 H. Hanya Guru yang paham.
Tapi secara awam saya hanya mengira, mungkin di Ramadhan ini Allah hadir mengingatkan
kita untuk kembali mengikat ruhani dengan orang tua, khususnya ayah kita. Baik yang masih
hidup ataupun sudah tiada. Dengan berbuat baik, memperbanyak doa serta bersedekah untuk
mereka.
Suluk itu alamnya beda. Apalagi jika hadir ruhnya para wali. Karena itulah dunia sufi menjadi
sangat fenomenal.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 45


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 23 | April 2022


MENCARI “LAILATUL QADAR”
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Tulisan ini lahir setelah melihat perdebatan disebuah grup WA. Topiknya, “apakah Lailatul
Qadar masih ada sampai sekarang, atau itu hanya kejadian yang sudah terjadi dimasa lalu dan
tidak berulang lagi?”. Dalam bahasa lainnya, Lailatul Qadar itu kan peristiwa turunnya
Alquran. Apakah Alquran masih turun sampai sekarang?
Saya tidak terlibat dalam diskusi tersebut. Memang belakangan lagi malas berdebat. Hanya
sekedar mengintip beberapa argumen yang pro dan kontra, lalu menutup Hp. Selanjutnya saya
ke mushalla, bawa anak untuk sholat isya dan tarawih.
Penting membawa anak untuk qiyamullail. Sebab, disitu ramai. Banyak kawannya. Bisa main
dia, saat orang lagi tarawih. Dasar anak-anak. Susah diatur. Kalau sholatnya terlalu lama, jadi
suntuk dia. Waktu kecil saya juga begitu. Kalau dipaksa sholat terus-menerus, bisa rusuh se isi
masjid. Mungkin anda juga begitu. Ke masjid memang untuk bikin ribut.
Disitulah, dalam sebuah rakaat tarawih, tiba-tiba muncul kerangka pengetahuan ini. Entah itu
muncul karena khusyuk sekali sholat, sehingga Allah hadir memberitau sesuatu. Entah karena
sholatnya terlalu panjang sehingga ada bagian dari kesadaran saya yang mulai mengembara
mencari informasi yang tergantung di langit. Yang jelas, uraian ini serius. Wajib hukumnya
untuk dibaca.
***
Kembali ke pertanyaan, “apakah Lailatul Qadar masih ada sampai sekarang, atau itu hanya
kejadian yang sudah terjadi dimasa lalu dan tidak berulang lagi? Apakah Alquran masih turun
dimalam-malam Qadar disepanjang zaman, termasuk di era kita sekarang?”

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 46


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Untuk menjawab ini, kita harus paham terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “Alquran”.
Selanjutnya mengetahui apakah Alquran tersebut masih turun sampai sekarang. Setelah itu
baru kita mengerti apa itu “Lailatul Qadar”.
Begini. Kalau anda memahami Alquran itu sebagai “buku” 30 juz, maka benar, Alquran sudah
selesai turun. Alquran yang 30 bab itu sudah selesai dikompilasi pada masa Usman bin Affan.
Sudah baku dia. Tidak bisa ditambah dan kurangi lagi. Tidak mungkin Alquran terus menerus
turun, bisa menjadi 31 juz nanti. Karena itu, malam turunnya Alquran (malam qadar) sudah
tidak ada lagi. Alquran tidak turun lagi. Sudah mati pada angka 30 dia. Sudah saklek pada 114
surah. Sudah mandek pada 6000an ayat.
Tapi, kalau anda memahami Alquran sebagai Tuhan yang terus berbicara, maka yakinlah,
Allah masih berkata-kata (berkalam). Sebab, salah satu sifat Dia yang disepakati oleh semua
mazhab adalah “Maha Berkata-Kata”. Dia tidak bisu, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha
Menjawab, dan masih terus berfirman disepanjang masa. Maka, dalam konteks ini, Lailatul
Qadar masih terus ada. Alquran (pesan-pesan Tuhan) masih terus turun disetiap waktu, atau
pada waktu-waktu yang dimuliakan. Inilah “Alquran yang hidup”. Yaitu Tuhan yang terus
berkomunikasi dengan hambanya, bahkan dengan cara-cara tertentu, yang terkadang tanpa
huruf dan suara. Lewat simbol-simbol, kode, isyarah, muraqabah, atau sinyal-sinyal kalamiah
laduniah lainnya. Semuanya adalah “ayat”, tanda-tanda, kalam, atau firman dalam dimensi
nafsani.
***
Jadi sudah jelas. “Buku” Alquran sudah selesai turun. Sudah “baharu” sifatnya. Sudah selesai
dicetak oleh manusia. Sudah dikertaskan. Sudah tersimpan di lemari. Sudah baku jumlah dan
susunannya. Tapi, Al-Quran yang “qadim”, yang azali, yaitu Allah itu sendiri, masih terus
berbicara. Masih aktif Dia, masih berkalam atau berkata-kata. Perintah, pesan ataupun
larangannya masih turun ke dalam dada. Dan ini dapat didengar, dipahami dan rasakan oleh
seorang hamba yang shalih. Karena itulah, bahasa yang digunakan Allah untuk ayat pertama
Al-Qadar (inna anzdalnahu fi Lailatil Qadr) bernada “continues”. Artinya, Lailatul Qadar terus
berulang. Bacaan ataupun pesan-pesan yang bersifat qadim dari Tuhan (Alquran) terus
menerus turun.
Dalam dunia sufi, contoh Alquran yang qadim, atau Kalam Tuhan yang aktif adalah
“muraqabah”. Muraqabah adalah pesan-pesan laduniah Allah (firman anfusi) yang turun dalam
qalbu manusia. Biasanya, jika seseorang menempuh suluk dibawah bimbingan seorang wali,
diatas 20 hari akan memperoleh “muraqabah” ini. Kalau bukan wali, 1000 bulan (atau seumur
hidup) sekalipun anda bersuluk, belum tentu mendapatkan karunia untuk terbuka hijab dapat
berkomunikasi secara langsung dengan Tuhannya. Karena itulah, “Lailatul qadri khairum min
alfi syahrin” (QS. Al-Qadar: 3).

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 47


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sebagaimana diisyaratkan, Lailatul Qadar “turun” pada hari setelah 20 Ramadhan. Dalam
makna, dia muncul pada 10 akhir. Memang begitulah lazimnya. “Muraqabah”, itu baru benar-
benar aktual pada 10 ketiga Ramadhan. Gelombang-gelombang malakut (sinyal-sinyal
quraniah) itu “turun” (aktif) dalam diri seorang pesalik pada waktu ini.
Itulah kenapa, Musa as disebutkan bersuluk selama 30 hari di puncak Sinai. Lalu digenapkan
selama 10 hari lagi. Sehingga menjadi 40 hari. Tujuannya untuk
menyempurnakan muraqabah dan kemampuan rabbaniah lainnya, sehingga mampu “bercakap-
cakap”, bahkan “berjumpa” dengan Allah. Taurat pun untuk pertama kalinya turun saat ia
melakukan khalwat ini (QS. Al-‘Araf: 142-143). Kalau Musa bisa begitu, kita umat Nabi
Muhammad SAW -sebagai umat terpilih di muka bumi- tentu lebih bisa lagi.
Dalam tradisi spiritual tertentu disebutkan, 10 hari pertama suluk akan membawa manusia
masuk ke “alam jabarut”. Di alam ini manusia akan berjibaku dengan setan yang telah terikat
dalam dirinya. Setelah berhasil pada sepuluh pertama, jiwanya akan diangkat Allah untuk
masuk pada 10 kedua. Disini, dia akan bermujahadah di “alam malakut”. Di alam ini, dia
mulai coba masuk dan berinteraksi dengan alam cahaya, alam malaikat dan Ruh. Bentuk
interaksi dengan alam ini disebut “muraqabah” (rasa kehadiran Tuhan). Namun, sinyal
“muraqabah” (komunikasi ruhaniah dengan malaikat dan Ruh) akan lebih kuat pada 10
terakhir, ketika manusia dibawa ke “alam Rabbani”.
Itulah kenapa, Al-Quran laduniah dipastikan “turun” pada 10 akhir dari suluk/Ramadhan.
Turunnya pun pada malam-malam “ganjil”. Tidak selalu bermakna pada hitungan hari ganjil
(19, 21, 23, 25 dan seterusnya). Tapi memang “ganjil” dalam proses dan bentuk hadirnya
Alquran. Sebab, Alquran laduniah itu berbentuk sinyal-sinyal malakut dan Ruh. Alquran itu
sendiri adalah Jibril (Ruh) yang berbicara, dalam berbagai bentuk; termasuk “muraqabah” itu.
Maka, dalam surah Alqadar ayat 4 disebutkan, “malam qadar (malam turunnya Alquran)
adalah malam turunnya (sinyal-sinyal) malakut dan Ruh”. Siapapun yang memperoleh
“muraqabah” serta mampu menjaga dan setia padanya, maka ia akan memperoleh keselamatan
tidak hanya sampai pagi besok. Singkat sekali itu. Tapi selamat sampai terbit fajar
kiamat. “Salamun hiya hatta mathla’il fajr” (QS. Al-Qadar: 5).
Dalam dunia sufi dikenal bahwa muraqabah itu berisi “amar Tuhan” (gerak/perintah Tuhan).
Dari muraqabah inilah diketahui kalau Allah sedang berbicara dengan kita, via sinyal-sinyal
malakut-Nya. Muraqabah inilah yang “mengatur segala urusan” (min kulli amri, QS. Al-Qadar:
4). Dia mengarahkan kita setiap saat untuk bertindak atau tidak bertindak, memilih A atau B,
memberitahu sesuatu itu benar atau salah; sesuai keinginan Allah. Itulah “muraqabah”; Tuhan
itu sendiri, alias Alquran (malaikat/Ruh) yang dengan izin Tuhan (bi izni rabbihim) aktif
berbicara.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 48


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bagi mereka yang menempuh jalan sufi, kalau sudah menemukan “muraqabah”, itulah Lailatul
Qadar. Alquran yang terus berbicara. Malaikat yang terus “turun” menghampiri dan mengetuk
hatinya. Kalam Allah yang terus masuk dalam aneka titik Qalbu di tubuhnya.
Kesimpulan. Lailatul Qadar adalah sesuatu yang sudah terjadi, sekaligus terus terjadi.
Kalau merujuk ke ayat pertama Al-Qadar yang menggunakan kata “anzala” (berbentuk fi’il
madhi, past tense) maka Lailatul Qadar adalah sebuah peristiwa historis, sudah lewat. Inna
andzalnahu fi Lailatil Qadr (QS. Al-Qadr: 1). Artinya, semua isi (Ruh) Alquran sudah turun
sekaligus ke “langit dunia” pada sebuah Malam Qadar. Tinggal bagaimana cara kita
mengaksesnya. Karena, Kalam yang bersifat Ruhiyah ini (malaikat dan Ruh) masih terus
“turun” ke dimensi “langit manusia”. Ini kita ketahui dari penggunaan kata “tanazzal” pada
ayat ke 4, yang berbentuk fi’il mudhari’ (present continuous). Tanazzalul malaa-ikati war-
Ruuh. Malaikat dan Ruh yang membawa pesan-pesan Tuhan belum pensiun, masih terus hadir
untuk membawa gelombang-gelombang Alquran yang qadim itu. Artinya, Allah masih
berbicara secara langsung via wasilah-nya ini.
Karena itulah, kita mesti menyadari, Lailatul Qadar adalah sesuatu yang mustahil di dapat
melalui jalan syariat biasa (seperti taraweh dan qiyamullail ramai-ramai di 10 akhir). Lailatul
Qadar adalah sebuah pengalaman dalam berinteraksi dengan malaikat dan Ruh. Lailatul
Qadar adalah pengalaman aktual ketika seseorang merasakan kehadiran “Alquran yang
hidup”, berjumpa dengan malaikat yang “turun” ke dimensi fisikal manusia.
Karena ini sesuatu yang unik dan langka, maka perlu metode khusus untuk memperolehnya.
Ada cara untuk mengakses alam malakut dan Ruh yang suci itu, yang sebenarnya sangat dekat
dengan kita. Karena itulah, Lailatul Qadar (muraqabah) adalah sesuatu yang diperoleh melalui
jalan “penyucian diri” (tariqah) di bawah bimbingan seorang rasul/wali. Sebab, Alquran
jenis Cahaya, jenis malaikat dan Ruh yang hidup ini, tidak bisa disentuh (diperoleh), kecuali
oleh mereka yang telah disucikan. Jiwa anda harus dinaikkan terlebih dahulu untuk terkonek
dengan Ruhul Muqaddasah Rasulullah. “La yamassahu illal muthahharun” (QS. Al-Waqi’ah:
79). Artinya, Lailatul Qadar (usaha memperoleh batin/jiwa Alquran) hanya dapat dicapai lewat
khalwat/suluk. Bukankah Nabi SAW memperoleh itu dengan cara berdiam diri selama
bermalam-malam di Gua Hirak? Demikian pula Musa as dan para nabi lainnya. Lalu mengapa
pula anda sibuk sekali mengundang imam-imam dari Arab itu untuk mengejar Lailatul Qadar?
Cari imam (walimursyid) yang dapat membawa anda ke alam malakut dan Ruh.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 24 | April 2022


KEKUATAN ZIKIR BUKAN DIBACAAN
Oleh Said Muniruddin

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 49


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Banyak sekali jenis wirid dan zikir. Esensinya bukan dibacaannya. Tapi dikehadiran Khidir-
nya. Hadirkan Khidir-nya terlebih dahulu, baru berzikir. Hadirkan Rasulullah terlebih dahulu,
baru berzikir. Hadirkan Gurumu terlebih dahulu, baru berzikir. Karena itulah, zikir perlu
Guru, perlu Khidir, perlu Rasulullah. Karena yang di zikirkan (diingat) adalah wajah mereka.
Wajah yang menjadi wasilah (buraq) menuju Allah ta’ala. Wajah yang dinaik saksikan
(disyahadahi) dalam perjalanan menuju Allah. Inni wajjahtu wajhiya…
Berzikir harus ada Guru. Guru yang bersanad ke Khidir/Rasulullah. Guru yang Ruhaninya
adalah Allah. Guru yang ruhanimu tersambung dengannya. Guru yang dadamu telah dibenam
(ditalqinkan) zikir olehnya. Itu metode berzikir dalam tariqatullah.
Tapi dalam perspektif syariat, berzikir tidak sesulit itu. Tinggal googling di internet. Asal ada
baca terus. Tidak perlu wasilah. Bacaannya persis sama, bahkan lebih fasih dan lebih merdu
dari para ahli zikir. Tapi tidak memiliki keajaiban spiritual. Tidak keramat. Tidak melahirkan
mukjizat. Karena kosong, hanya bacaan belaka. Tak ada Allahnya.
Zikir itu bukan pada bacaannya. Pada Gurunya. Maka ambillah zikir dari Guru, dari seorang
wali/kekasih Allah. Dari Ruhani Rasulullah. Dari seorang pemilik tali Allah. Sebab, Kalimah
zikir yang kau terima dari sang Khidir adalah Allah itu sendiri. Asmanya asli, Allah itu sendiri.
Makanya, ketika berzikir akan hadir Allahnya.
Tidak sulit membaca zikir. Yang sulit adalah menemukan sang Guru pemilik zikir. Langka
memang orangnya. Bahkan cenderung tersembunyi. Tapi Allah telah berjanji, “Laqad jaa akum
rasuulum min anfusikum…” (QS. At-Taubah: 128). Selalu ada seorang pembawa wasilah,
seorang rasul, seorang Guru, seorang Khidir; ditengah kalian.
Nabi syar’i, nabi yang merumuskan tata cara beribadah (Muhammad bin Abdillah), memang
sudah khatam. Tapi wilayah kenabian, masih diteruskan oleh sang Khidir. Artinya, setelah
Muhammad SAW masih selalu ada nabi, yaitu Khidir. The hidden, the secret one. Sosok yang
selalu ada. Hidup, hadir dan selalu mengajari manusia akan ilmu hikmah disetiap masa. Maka,
carilah nabi/rasul yang masih hidup ini. Bergurulah padanya. Agar zikir dan ibadahmu
tersambung kepada-Nya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 25 | April 2022


SULUK (IKTIKAF TERFOKUS)
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 50
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Suluk adalah tradisi paling tua dalam Islam. Di Aceh dan banyak tempat di Nusantara, populer
sekali akan hal ini, dan menjadi tradisi orang tua kita terdahulu. Karena para nabi dan orang
shaleh pun telah terlebih dahulu mempraktikkan proses inkubasi spiritual ini, baik di gua yang
sempit (seperti Hirak) ataupun ruang-ruang privat lainnya (i.e. kamar, kelambu, dsb).
Tapi belakangan muncul kaum “natural”, yang memandang ini bid’ah. Memang. Bagi sufi, ini
juga bid’ah. Tapi bid’ah yang paling direkomendasikan untuk dilakukan. Yaitu bid’ah yang
menyebabkan seorang Muhammad, gara-gara berkhalwat di Gua Hirak, diangkat menjadi nabi.
Entah apa yang dinikmati Muhammad SAW saat di gua Hirak, atau pada waktu lain ketika
mengunci diri dalam kelambu suluk dan mengasingkan jiwanya dari keramaian.
Yang jelas patut dicoba, khususnya bagi yang ingin berubah dan tertantang untuk mendalami
dunia zikir terfokus. Seperti kata Bang Zulfikar Lidan di video ini: “Suluk ini hanya untuk
mereka yang suka tantangan dan perubahan. Bagi yang tidak suka, sebaiknya tinggal di rumah
saja”.
Video ini berisi wajah-wajah bahagia setelah menempuh mujahadah besar. Namun,
mukadimah di awal video telah membuat teman-teman “natural” sedikit goyang. Karena begitu
mudahnya bagi seorang sufi untuk mengucapkan kata Sidratul Muntaha dan Langit ke-
7. Memang, sufi ini kadang-kadang sedikit galak. Suka membuat dada orang awam sesak.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 26 | April 2022


KHANDURI THON (KHAUL)
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Khanduri Thon” adalah sejenis khaul (acara tahunan) untuk mengenang jasa dan
ketauladanan para leluhur. Sebagian kaum muslim punya tradisi mengikat ruhani dan memori;
baik dengan para wali maupun datok-datoknya. Selain berziarah ke makam dan berdoa,
kenduri untuk jamaah yang hadir merupakan bagian dari usaha untuk berbagi kebahagiaan;
dengan harapan, doa-doa dimakbulkan oleh Allah SWT.
Bertempat di Rumoh Raya, Lameue, Pidie; disetiap penghujung Ramadhan, kami pulang untuk
bersilaturahmi dengan keluarga dan masyarakat. Semoga legacy suci para leluhur terus
terwarisi, dan amal ibadah kita tahun ini diterima oleh Allah SWT.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 27 | April 2022

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 51


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

MAKRIFAT, OBAT SYIRIK


Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Syirik adalah menyembah selain Allah. Pertanyaannya, apa yang kita sembah sekarang, Allah
atau selain Allah?
Apa betul yang kita sembah dalam sholat itu adalah Allah betulan? Atau justru aneka ragam
“patung” (Kakbah dan segala produk imajinatif terkait Allah yang kita ukir sendiri dalam
hayalan)?
Karena menyembah selain Allah adalah syirik, maka tugas paling awal adalah “mengenal”
Allah (awaluddin makrifatullah). Melalui makrifat kita akan tau, yang mana Allah, dan mana
yang bukan Allah. Sehingga yang disembah itu betulan Allah, bukan selain Allah.
Makrifat itu apa?
Makrifat artinya “mengenal” Allah; dan ini melampaui sekedar “tau” bahwa Allah itu ada.
Kenal itu artinya berjumpa. Kenal itu artinya konek. Kenal itu artinya dekat. Kenal itu artinya
akrab. Kenal itu artinya mampu bertegur sapa. Kenal itu artinya bersahabat, kalau kita tanya
dijawab.
Kalau sekedar tau, bahwa Tuhan itu namanya Allah, punya banyak nama, sifatnya begana dan
begini; itu bukan mengenal. Itu ilmu, teori dan persepsi tentang Allah. Itu “patung” (segala
ukiran, teori, imajinasi, produk, dan tafsiran tentang Allah). Itu semua hijab, bukan asli Allah.
Tauhid itu makrifat. Mengenal Tuhan yang Esa pada esensinya, secara hak. Melampaui aneka
nama, hayalan dan tafsiran tentang-Nya.
Jika itu belum tercapai, kita masih dalam kondisi syirik. Masih meraba-raba dan memiliki
aneka pandangan tentang Dia. Dan segala pandangan tentang Dia, itu jelas bukan
Dia. “Subhanallahi ‘amma yashifun” (QS. As-Shaffat: 159). Maha suci Allah dari segala apa
yang kalian sifatkan.
Makrifat itu mengenal Dia secara hak, pada Wujud aslinya, yang melampaui kapasitas akal
untuk menggambarkan tentang-Nya. Karena ini beyond intellect, maka makrifat itu sebuah
bentuk perjalanan ruhani untuk mendekat, akrab, merasa dan menyatu dengan-Nya. Sehingga
tak terlihat apapun lagi, selain Dia. Itulah “La ilaha Illa Allah”: Tidak ada lagi patung, ukiran,
tafsiran, imajinasi dan aneka pandangan tentang Tuhan; kecuali yang terlihat hanya Dzat Allah
yang Ahad itu sendiri.
Kalau belum mencapai makam syuhud/wujud seperti itu, kita masih dalam potensi musyrik.
Tauhid kita masih hanya sebatas membangun aneka persepsi tentang Dia. Kita masih bertuhan
secara kira-kira. Masih suka “mempersekutukan”, atau memiliki banyak pikiran tentang dia,
yang sesungguhnya Dia bukan begitu.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 52


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bagaimana cara mencapai makrifat?


Makrifat itu sebenarnya jalan bertuhan paling sederhana, tanpa harus menghafal 30 juz Qur’an
atau membaca 1001 kitab lainnya. Umat di zaman Nabi mengenal Allah tanpa pernah
membaca kitab dan buku. Qur’an pun baru dibukukan dan dicetak lama setelah Nabi tiada.
Islam itu agama paling mudah. Sebab memang tidak susah mengenal Wujud Allah. Cukup
dengan kau “saksikan” Muhammad, maka akan kau “saksikan” Allah. Artinya, temukan
orangnya terlebih dahulu, maka engkau akan menemukan Allah. Makrifat itu mengenal “rasul”
(elemen/utusan) Tuhan pada setiap zaman. Kita butuh “orang” untuk sampai kepada Tuhan.
Nabi itu orang, yang namanya disandingkan dengan nama Tuhan. Kalau berjumpa dengan
Nabi dan kita naik saksikan keberadaan ruhaninya, makrifat kita. Karena ruhani-Nya ada pada
Muhammad.
Makrifat dalam sholat juga begitu. Engkau saksikan Muhammad, maka engkau saksikan Allah.
Sehingga Beliau SAW bersabda, “shollu kama ra-aitumuni ushalli”. Sholat lah kalian dengan
cara melihatku sholat. LIHATLAH NABI DALAM SHOLAT. Sebagaimana bacaan
tahiyyat, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullah”. Saat sholat, hadirkan nabi di
depanmu. Itulah makrifat!
KESIMPULAN. Sufisme dengan jalan makrifatnya, adalah metode untuk
memperkuat aqidah dan memurnikan tauhid. Sufisme berusaha membangun “ikatan” (‘aqaid)
atau “pertalian hubungan” (silsilah) antara manusia dengan Allah. Sufisme meng-upgrade
pengalaman dan kemurnian beragama dari sekedar bertuhan dalam wujud konsep-konsep,
kepada merasakan kehadiran Tuhan secara Dzatiy dalam pengalaman keseharian. Sufisme
membangun penyembahan dari wujud Tuhannya kaum awam -yang entah ada dimana dan
seperti apa (transcendent), kepada Tuhannya para nabi -yang nyata dan jelas
adanya (immanent). Sufisme adalah obat untuk menyembuhkan ruhani manusia dari
“kebutaan” dalam beragama, kepada level “penyaksian” terhadap semua wujud yang diyakini
ada.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 28 | Mei 2022


GOOD SEED VS. BAD SEED
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Nazi adalah gerakan yang awalnya dipimpin oleh “bad seed” Jewish (Yahudi “benih jahat”).
Yaitu Hitler. Hitler, berdasarkan salah satu studi asal usulnya, ternyata berakar kuat pada jenis
genetik Yahudi. Dari penelusuran DNA terhadap 39 familinya yang masih hidup, secara
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 53
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

mengejutkan ditemukan kromosom Haplogroup E1b1b, yang umumnya ada dalam DNA
Yahudi (Daily Telegraph, 2010).
Hitler sendiri juga mencurigai jika dirinya punya darah Yahudi. Sehingga ia pernah meminta
lawyernya untuk menyelidiki hal itu. Sebagaimana terpublikasi dalam memoar in the Face of
the Gallows (1956), sang pengacara Hans Frank menemukan bukti bahwa kakek Hitler benar
seorang Yahudi. Rumor lain menyebutkan, nenek Hitler yang bernama Maria Schicklgruber
dihamili oleh keluarga Frankenreiter, seorang Yahudi yang tinggal di Gaz, Austria, sehingga
lahir ayahnya yang bernama Alois Hitler. https://fb.watch/cOTt7SdoAZ/
Di kemudian hari, Nazisme Yahudi “benih jahat” warisan Hitler ini memiliki bentuk baru
dalam wujud State of Israel. Gerakannya sama; merampok tanah, mengusir dan menghabisi
saudara arabnya yang lain. Bahkan Neo Nazi (Israel) ini dibangun untuk tujuan-tujuan politik,
kapitalisme dan kekuasaan yang lebih jahat lagi. Paling pokok dari tujuan itu adalah
sebagai proxy untuk menikam Islam, langsung dari jantungnya di dunia Arab.
Dalam perang dengan Ukraina, Russia meng-klaim, Zelensky sang Yahudi, beserta batalion
Azog, Aidar dan unit tempur lain dengan simbol-simbol swastikanya adalah gerakan-gerakan
yang sedang melakukan nazifikasi di halaman Rusia. Zelensky memang pendukung setia Israel.
Pun Israel menyokong penuh Zelensky menghadapi Rusia. Namun Israel menjaga diri untuk
tidak terlibat pertikaian terbuka dengan Rusia. Tapi pada awal Mei 2022, setelah Rusia lewat
Menteri Luar Negerinya, Sergei Lavrov, menyebut secara terbuka dalam sebuah interview di
Televisi bahwa Rusia sedang berjuang memberantas Nazi di wilayahnya (de-nazifikasi). Ketika
ditanya, mengapa disebut “Nazi”, sementara Zelensky sendiri seorang Yahudi. Lavrov
menjawab, Hitler sang pendiri Nazi pun “had jewish blood”. Mendengar ini, Israel meradang.
Seandainya peristiwa Holocaust dapat menjadi objek studi terbuka, akan banyak hal baru yang
mungkin akan terungkap. https://fb.watch/cOU1UUDjE4/
Maka tak tanggung-tanggung, jika ini benar, Rusia hari ini sebenarnya sedang berperang
dengan sebuah kekuatan besar, yaitu kelompok Yahudi “benih jahat”. Kelompok Yahudi yang
menguasai kartel bisnis dan politik dunia. Yang menguasai NATO, PBB dan lembaga dunia
lainnya. Alhasil, Rusia diboikot dan dikeroyok. Tapi Putin bukanlah raja-raja Arab yang Islam
itu, yang jika sekali “digrehem” oleh kepala geng preman di Washington, langsung berangkat
untuk setor uang. Watak keras, tenang dan berani mantan agen KGB ini tak ada duanya. Tak
usah diperpanjang, kita serahkan urusan perang ini ke Rusia dan Ukraina, apakah terus lanjut
atau jeda.
Kenapa Hitler yang Yahudi membunuh Yahudi lain?
Itu biasa. Itu bagian dari “pertikaian keluarga”. Sering terjadi. Apalagi dalam satu keluarga
selalu ada yang licik, dan lainnya lugu-lugu. Setiap trah dalam keluarga selalu punya “bad seed”
dan “good seed”. Yang satu selalu berusaha menghabisi yang lain. Apalagi kalau sudah terkait

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 54


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sebuah warisan. “Holocaust itu sandiwara untuk menyingkirkan sesama anggota keluarga”,
begitu kata Rusia. Jadi, kelompok anti-semit (pembenci Yahudi) paling besar itu, ya Yahudi itu
sendiri.
Dalam Islam juga begitu, yang paling membenci Muhammad SAW, ya “keluarga” Muhammad
SAW itu sendiri. Bukan hanya Abu Lahab (pamannya sendiri), tapi ada lainnya yang secara
turun temurun menjadi penjagal dakwah trah Muhammad SAW. Yaitu, Bani Umayyah.
Sebutlah Yazid, yang melakukan Holocaust terhadap Husain dan Keluarganya, itu juga bangsa
Quraisy, dari kakek yang sama: Abdu Manaf. Nasabnya Husain sampai ke Abdu Manaf begini:
Husain, bin Ali, bin Abu Thalib, bin Abdul Muthalib, bin Hasyim, bin Abdu Manaf. Makanya,
Ali maupun Muhammad disebut Bani Hasyim (Hasyim adalah anaknya Abdu Manaf).
Sementara, nasab Yazid sampai ke Abdu Manaf -dalam kepercayaan umum diketahui: Yazid,
bin Muawiyah, bin Abu Sufyan, bin Harb, bin Umayyah, bin Abdu Syams, bin Abdu Manaf.
Yazid dan ayahnya, Muawiyah, disebut sebagai keturunan Umayyah (Bani Umayyah).
Jadi, pertikaian Muhammad SAW dengan Abu Sofyan di zamannya, atau Ali dan Muawiyah di
era kemudian, serta Husain dengan Yazid setelahnya; itu “perang keluarga”. Perang antara
“good seed” dengan “bad seed”. Sejak awal, buyutnya Yazid (Umayyah), itu sudah memusuhi
buyutnya Husain (Hasyim). Padahal mereka satu ayah. Umayyah bin Abdu Syams itu paling
keras bersaing dengan pamannya, Hasyim bin Abdul Manaf, dalam memperebutkan
kehormatan dan kepemimpinan masyarakat Quraisy. Dan mereka juga kecewa betul ketika
Muhammad menjadi Nabi, bahkan menjadi penerus kepemimpinan dunia dan akhirat bagi
segenap masyarakat. Bani Hasyim dan turunannya memang punya bakat spiritual yang tinggi,
sehingga lebih dipercaya menjadi imam atau juru kuncen Rumah Tuhan. Bani Hasyim ini
memang punya kekhasan tersendiri dalam Islam. Seperti tidak boleh menjadi penerima zakat
dan sebagainya.
Maka tidak heran. Penentang utama dakwah Bani Hasyim (Muhammad cs) itu tetap Bani
Umayyah (Abu Sufyan cs). Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah itu masuk Islam agak telat,
setelah sangat terjepit dan Makkah sudah ditaklukkan Muhammad. Namun Nabi kita punya
karakter luhur luar biasa. Dalam hal ini, ia memaafkan Abu Sufyan dan benar-benar masih
dianggap saudara (licik)-nya. Muawiyah juga punya karakter seperti ayahnya. Ia juga
“menyelinap” dalam Islam. Lalu lewat label-label Islam itulah ia mendakwahkan agama
sekaligus memerangi turunan Muhammad SAW. Ia yang memprovokasi sehingga lahir banyak
kerusuhan. Dikemudian hari ia menyusun strategi dan kekuatan untuk merebut kekhalifahan
dari Ali. Kelihaian ‘zionisme’ yang dibangunnya berjalan efektif. Ia sukses meracun Hasan.
Anaknya berhasil menjagal Husain. Kemudian secara terus menerus mereka menghabisi para
penjaga nilai-nilai Islam yang dianggap berseberangan.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 55


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Selanjutnya ia mampu membangun sebuah ideologi yang masih berkembang sampai hari ini. Ia
meng-create hadis-hadis palsu. Menciptakan juru dakwah untuk menyebarkannya. Bagi
sekelompok orang yang umumnya tidak begitu simpati dengan keluarga nabi, Muawiyah
dianggap tokoh “suci”, dengan gelar Radhiallahu Anhu. Zionisme, meskipun tidak disukai
kelompok idealis, faktanya memang selalu berhasil membangun imperium. Zionisme juga
begitu, berhasil membangun sistem. Bani Umayyah cukup berhasil menguasai dunia Islam.
Namun jangan ditanya apa kerusakan yang mereka lakukan saat berkuasa. Ngeri!
Dalam beberapa dekade dinasti “bad seed” ini berkuasa, zuriat Rasulullah/para sayyid/imam
(padahal masih satu suku dengan mereka) ditindas sedemikian rupa sehingga mengalami
diaspora kemana-mana (ke Irak, Yaman dan sebagainya). Karena itu, secara simbolik Al-Quran
menyebut dinasti seperti ini sebagai “pohon terkutuk” (syajarah mal’unah, QS. Al-Isra: 60).
Dalam ilmu nasab sering dilabelkan mal’un (bad seed) kepada nasab-nasab palsu. Bahkan ada
riwayat yang menyebutkan jika nasab Bani Umayyah itu palsu, tidak tersambung secara alami,
melainkan mencangkok diri kepada Abdu Manaf. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Pohon disini bermakna “pohon nasab”, keturunan yang memang “bad seed”. Watak jahatnya
sudah mendarah daging dari generasi ke generasi. Dari buyut sampai cicitnya para penjahat
semua, namun memakai jargon Islam. Halus permainannya. Keberadaan mereka menjadi ujian
besar (fitnah) bagi kita semua. Yahudi zionis juga begitu, licin cara mainnya. Bahkan memakai
nama “Israel” (Nabi Yaqub) untuk melegalkan gerakan Neo Nazisme-nya. Dalam Islam juga
begitu, mengusung tema “pemurnian tauhid”, sunnah dan sebagainya (ala negara ISIS atau
grup wahabisme ekstrim lainnya) untuk mentakfirkan, memusuhi dan menghabisi saudaranya
yang lain. Itu semua bentuk-bentuk Neo Nazisme.
Tradisi bad seed menghabisi good seed sudah sangat tua. Konflik ini sudah eksis sejak zaman
Qabil menghabisi Habil, sampai ke era moderen seperti konspirasi “bad seed” 9/11 yang tega
membunuh hampir 3000 warga dan bangsanya sendiri untuk tujuan menguasai Afghanistan.
Namun demikian, Allah SWT dalam banyak ayat selalu mengajarkan kita untuk berdoa, agar
kita dan keturunan kita terhindar dari pewarisan jenis DNA Neo-Nazi dan perilaku jahat
lainnya:
‫واج ا َو ُذ ِّر ِتنا قُر َة ْ ُ ٍﲔ َوا ْج َعلْنا ِلْ ُمت ِق َﲔ امام ًا‬
ِ ‫َربنا ه َْب لَنا ِم ْن ْز‬
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan:
74).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 29 | Mei 2022

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 56


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

RELIGION IS SCIENCE
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Agama itu saintifik dan ilmiah. Hal-hal yang diistilahkan sebagai “gaib” sekalipun, sebenarnya
hanyalah “fenomena”, sesuatu yang dirasa ada tapi belum terungkap secara nyata. Dibutuhkan
epistimologi pengetahuan yang tepat untuk mengetahui, menyibak dan mengungkap segala hal
yang gaib itu.
Tuhan yang maha gaib sekalipun, itu bisa diungkap oleh manusia. Allah bisa ditemui dan
diajak bicara. Banyak sekali yang sudah melakukan itu dan sering diistilahkan sebagai “nabi”.
Nabi ini orang-orang biasa, tapi cerdas (fathanah) luar biasa. Mereka adalah sekelompok saintis
yang menguasai teknik riset alam spiritual. Sehingga mampu “melihat” Tuhan.
Karena sudah membuktikan keberadaan Wujud Ontologis yang maha tinggi tersebut, mereka
kemudian membuat laporan-laporan temuan untuk diketahui publik. Karena itu mereka
disebut sebagai “pembawa berita”. Hasil riset mereka ada yang terkompilasi dalam jurnal meta
ilmiah (kitab suci) ada juga hanya tradisi lisan. Jadi, kerja mereka sangat akademis; walau
artikel (ayat-ayat) mereka terkadang sulit dipahami. Memang begitu sifat dari sebuah tulisan
yang terlalu ilmiah, bahasanya terlalu tinggi. Sehingga memusingkan orang awam.
Berarti tidak ada yang gaib, ketika anda punya metodologi untuk mengkonfirmasi segala wujud
yang dianggap oleh orang-orang “buta” sebagai misteri. Istilah “gaib” itu sebenarnya hanya
istilah untuk orang awam, untuk yang masih level SD dalam beragama. Bagi para pembelajar
aktif, bagi mahasiswa dan para peneliti (atau dalam bahasa agama disebut “penempuh jalan”),
tidak ada yang gaib. Kalau ada hal yang dianggap gaib; semua akan diteliti, dicari dan
ditelusuri kebenarannya. Sehingga segala sesuatu menjadi “hak”, terkonfirmasi baik eksistensi
maupun esensinya.
Istilah “gaib”, itu sesungguhnya hanya sebuah istilah yang bersifat “hipotesis”. Gaib adalah
sesuatu yang secara “tauhidi/imani” diduga atau diyakini ada. Gaib adalah hal-hal yang hanya
untuk sekedar dipercayai ada. Kenapa disebut “sekedar”? Karena memang tidak pernah dilihat
apakah benar-benar ada?
Sementara untuk pembuktian secara faktual apakah “ada” atau “tidak ada”; itu ada tariqah-
nya. Ada jalan, teknik atau metodologi pembuktian. Jadi, beragama pada level “tauhid” dan
“syariat”, itu beragama secara teoritis/hipotetis. Tapi beragama pada tahap “tariqah”, itu sudah
masuk pada level pembuktian, level cerdas, level ilmiah, level akademik, level penelitian,
levelnya para nabi. Level para pencari dan penemu.
Allah tidak pernah bisa ditemukan pada level “membaca” yang tertulis (tauhid dan syariat).
Allah hanya bisa ditemukan pada level “melakukan” langkah-langkah pembuktian, sehingga

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 57


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dia benar-benar “disaksikan” oleh segenap alat observasi dan eksperimentasi yang ada dalam
diri manusia.
Kalimat syahadat: Aku bersaksi “tidak ada” Tuhan selain Allah, itu dalam metodologi
penelitian ilmiah disebut “hipotesis nul” (Ho/H Null). Itu hanya pernyataan penelitian.
Selanjutnya, anda harus menyusun langkah-langkah pembuktian, untuk menyaksikan apakah
Dia itu benar-benar “ada” atau “tidak ada”.
Artinya, Islam itu agama ilmiah. Agama orang-orang cerdas. Agama yang mampu meramu
hipotesis dan teori pada tahap pembuktian lebih lanjut, secara terus menerus, disetiap tempat
dan waktu. Sehingga, Islam semakin sesuai dengan segala zaman dan tempat, semakin
universal kebenarannya. Sehingga, beragama bukanlah sekedar mempercayai kitab/artikel yang
sudah berusia 1400 tahun. Tapi bisa dibuktikan kembali setiap kebenaran yang diceritakan
didalamnya. Termasuk tentang Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Untuk tidak menjadi “kitab
dongeng”, semua itu harus bisa dialami dan saksikan oleh kita di akhir zaman.
Namun, karena objek tersebut sifatnya “tidak kasat”, tentu umat Islam harus menguasai
“metodologi metafisika” (tasawuf/iluminasi jiwa) dalam perjalanan mencapai puncak
pengalaman beragama. Sayangnya, metodologi ini pula yang terkesan ditakuti, dibid’ahkan
bahkan diharamkan. Sehingga kita terus dalam kebodohon (bisu, tuli dan buta terhadap wujud
dan rasa akan ketuhanan). Pengalaman-pengalaman kenabian tidak bisa kita replika dan
rasakan. Tapi disatu sisi memang sulit untuk belajar ilmu ini, karena gurunya langka. Untuk
masuk ke dunia spiritual, pembimbing kita harus seorang wali. Tidak boleh seorang ustad atau
ulama biasa.
***
Pengajaran agama, baik disekolah dan pesantren-pesantren, sampai sekarang masih banyak
yang membahasakannya dengan istilah-istilah klasik/kitab kuno. Tidak salah juga. Tapi tidak
update dengan “bahasa zaman”.
Uniknya, ditangan Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin, kebekuan ini mampu dikurangi.
Beliau berkata, “Religion is science of the highest dimension”. Dimensi metafisis dari
pemahaman agama di Indonesia ia perbaharui dan perkenalkan kembali dalam bahasa-bahasa
ilmiah dan saintifik. “Teknologi Alquran”, “wasilah carier”; adalah beberapa dari istilah yang
sering Beliau populerkan. Termasuk berbagai terminologi fisika klasik lain yang dikaitkan
dengan metafisika Islam. Beliau bisa membuktikan, bahwa mukjizat itu hanya sebuah
“teknologi ayat” yang diproses melalui kekuatan zikir yang tersambung dengan Allah SWT.
Kebetulan Beliau seorang dokter dan juga walimursyid, seorang profesor yang ahli makrifat.
Haul (kewafatannya) pada 09 Mei masih diperingati sampai sekarang oleh murid-muridnya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 58


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin (20 Juni 1917 – 09 Mei 2001)
Dalam hal ini, kita juga kagum dengan filsuf muslim semacam Mulla Sadra dari Persia (1572-
1640), yang telah mengurai berbagai dunia misteri (ontologi metafisis) dalam kerangka
pengetahuan yang sangat logis. Termasuk pemahaman kontroversial tentang wahdatul wujud,
gerak jiwa dan sebagainya. Sayang, banyak dari kita yang malas membaca sehingga khazanah
pengetahuan yang luar biasa dari sosok yang pernah 11 tahun menyediri dalam khalwatnya ini,
tidak begitu tercerap. Bangunan akademis kita memang lebih terjajah oleh filsafat positivistik
barat. Sehingga akademisi kita cenderung “materialis” (menutup diri dari berfikir tentang hal-
hal pokok kegaiban, padahal itu bangunan dasar dari keagamaan). Akibatnya, jiwa menjadi
kering. Karena secara esensial terpisah jauh dari Tuhan yang maha gaib itu.
Indonesia, bahkan dunia ini, hemat kami, membutuhkan lebih banyak ulama dan agamawan
yang secara lahiriah mampu mengajarkan agama lewat akal, sekaligus memiliki jalur
“musyahadah” (pembuktian batiniah) yang valid dan reliabel. Karena, “agama itu Tuhan dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 59


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Rasul yang maha hidup dan menghidupkan”; yang harus disentuh (disaksikan) lahir dan batin,
lewat akal sehat dan jiwa yang bersih. Agama bukanlah sesuatu tentang mengulang hadis dan
meniru penampilan lahiriah nabi an sich, untuk sah disebut sebagai ikut “sunnah”. Tapi
bagaimana mukjizat ketuhanan hadir setiap hari, sebagaimana yang nyata dialami para nabi,
sebagai pertanda bahwa Tuhan itu dekat.
Alfatihah!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 30 | Mei 2022


“RUH”: ARTINYA JIWA, ATAU JIBRIL?
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“RUH/ROH”. Bahasa arabnya: ‫الروح‬. Namun punya makna berbeda. Ada yang diartikan
sebagai “jiwa”. Ada juga sebagai “Jibril”. Kok bisa jauh berbeda? Atau mungkin ada hubungan
antara “ruh” (jiwa) dengan “Ruh” (Jibril)?
Untuk memudahkan penjelasan, kami menulis dua hal ini secara berbeda. Untuk jiwa kami
sebut “ruh” (dalam “r” kecil). Sedangkan untuk Jibril, kami tulis “Ruh” (dalam “R” besar).
Apa itu “ruh”?
“ruh” adalah jiwa partikular yang melekat pada materi. Sesuatu yang menyebabkan seseorang
menjadi hidup dan berkesadaran sebagai manusia. “ruh” ini adalah gelombang
energi, kekuatan atau spirit dasar yang membuat manusia mampu bergerak, mencerap
pengetahuan rasional, serta berkomunikasi dengan sesama manusia di alam manusia.
Secara etimologis, “ruh” itu sendiri artinya angin (ar-riyaah), sesuatu yang ditiup/bergerak.
Semua orang menjadi hidup/bergerak secara alamiah setelah mendapat tiupan “ruh”. Artinya,
“ruh“ ini sifatnya given, sebuah “gerak substansial” (Mulla Sadra: Al-Harakah Al-Jauhariyah)
yang muncul secara alami pada jasad biologis. Ia terus bergerak, semacam punya tujuan.
Potensinya terus aktual dan menyempurna seiring gerak perubahan, pertumbuhan dan
perkembangan dari wujud materi awal sampai menjadi sosok manusia. Secara umum, materi
yang memiliki “ruh” ini akan terus bergerak/berevolusi dari satu wujud ke wujud lain: mineral
>> tumbuhan >> hewan >> manusia.
Manusia memang tumbuh dari bentuk materi awal (mulai dari atom-atom sederhana), lalu
menjadi mineral statis yang kasat mata, tumbuh menjadi sperma yang 100 persen mirip
kecebong (hewan), sampai sempurna berkembang dalam wujud manusia. Artinya, kita ini pada
awalnya memang binatang. Sebelumnya lagi ada dalam kualitas mineral/tumbuhan yang
geraknya statis. Lebih awal lagi, kita ini hanya kumpulan atom (materi awal) yang terkesan
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 60
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sederhana. Namun karena materi ini punya “kesadaran” (gerak substansial), ia terus tumbuh;
dan dalam proses tertentu menjadi manusia.
Kenapa materi punya “kesadaran”, dan pada kasus manusia terus tumbuh dan bergerak
menjadi makhluk dengan rupa yang luar biasa sempurna? Hal ini pernah kami jelaskan pada
video “Fisika Kuantum Membenarkan: Dunia ini Fana”. Sebenarnya, yang membentuk materi
atom adalah proton dan neutron, yang mereka itu tersusun dari komponen “cahaya” (quark).
Komponen ini merupakan pusaran energi yang tidak pernah berhenti bergerak. Jadi, manusia
pada wujud esensialnya adalah “cahaya”, alias gerak subtansial, pusaran energi, atau “ruh”.
Kenyataannya, semua materi di alam semesta terbentuk dari “ruh” (quark/cahaya yang hidup
dan terus berputar dalam bentuk gerak thawaf).
Rumi membahasakan pengalaman aktualnya potensi “ruh” (substansi materi) hingga memiliki
wujud manusia dengan kalimat: Aku mati dari mineral dan menjadi tumbuhan // Aku mati
dari tumbuhan kemudian menjadi hewan // Aku mati dari hewan kemudian menjadi manusia
//
Jadi, kesimpulannya, kita ini memang “ruh”; yang menampakkan dirinya dalam rupa manusia.
Kita ini sebenarnya makhluk non-materi, yang mewujud dalam dimensi materi. Substansi dasar
kita adalah cahaya, jiwa, ruh yang hidup, ruh alami -sebuah potensi yang geraknya telah
mengaktualkan kehidupan materi.
Apa Bedanya dengan “Ruh”?
Berbeda dengan “ruh”, “Ruh” adalah Jibril (jiwa universal) beserta kekuatan dan gelombang
malakut lainnya. Ini juga sebuah potensi yang dapat dicapai manusia. Hanya saja, butuh proses
dan kesadaran lebih lanjut dari “ruh” untuk sampai ke makam “Ruh”. Sebab, “Ruh” bukanlah
sesuatu yang terbentuk/diperoleh dalam sebuah proses “alami”. Melainkan harus
diperjuangkan kehadiran wujudnya (ikhtiyari). Butuh mujahadah besar untuk menjadi manusia
dalam wujud “Ruh”.
Ceritanya begini. Manusia itu adalah wujud yang terus bergerak mencari Tuhan. Sebab, secara
fitrah kita punya gerak substansial untuk mencari Wujud yang Maha Sempurna. Sebab dalam
diri kita, sejak dalam bentuk materi dasar, itu sudah ada “ruh” yang merupakan bagian dari
kesadaran awal akan ketuhanan. “Alastu birabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?). Ruh
menjawab: “Qaalu bala syahidna” (Benar, Engkau adalah Tuhan kami)”. Al-A’raf 172 ini
menggambarkan kesadaran ketuhanan dari “ruh” yang akan terus menjalani fase material. Dan
“ruh” ini terus berkembang menjadi dewasa, seiring gerak pertumbuhan materi/jasad manusia.
“ruh” sederhana inilah yang membuat kita mampu berfikir, atau punya intuisi bahwa Tuhan
itu ada.
Namun, “ruh” ini punya kelemahan. Ia hanya tercipta untuk berinteraksi dengan alam
makhluk. Ia memang punya kesadaran bahwa Tuhan itu ada. Namun, ia tidak punya kekuatan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 61


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

untuk kembali kepada Tuhannya. Karena itulah, “ruh” ini disebut sebagai dimensi ketuhanan
yang terpenjara dalam materialitas manusia. Padahal, ia punya kerinduan untuk berjumpa
Tuhannya. Namun ia tidak berdaya. Sehingga diperlukan kekuatan pembebas (liberation
force) lainnya, untuk membuat “ruh” ini mampu bergerak lebih lanjut guna bertemu dengan
gelombang “Ruh” yang lebih tinggi (atau disebut Jibril); sehingga dapat terkoneksi dengan
Tuhannya.
Jadi, “ruh” itu gelombang lemah. Tidak mampu berinteraksi atau terkoneksi lagi dengan
Tuhan. Tergantung-gantung diantara langit dan bumi. Itulah kita, wujud dari “ruh” yang
impoten. Makanya jangan terlalu riya’, seolah-olah mampu secara langsung berhubungan
dengan Allah SWT. Tidak bisa. Keberadaan “ruh” alamiah kita tidak punya kemampuan sama
sekali untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Apalagi lisan kita. Itulah mengapa doa sering
tertolak. Reject. Tidak sampai kepada Allah. Kecuali lisan yang terkoneksi dengan “Ruh”, itu
melahirkan banyak mukjizat.
Agar jiwa kita terhubung kembali dengan Allah, proses “instalasi ruhani” harus kita jalani lagi.
Dalam hal ini, “ruh” harus dikoneksikan dengan “Ruh”, karena memang itu
pasangannya. Sebab, keduanya dari unsur ketuhanan yang sama. Bedanya, “ruh” adalah sisi
pasif dari ketuhanan yang telah mengalami proses “duniawisasi”, terkungkung dalam dimensi
materialitas kita (mengalami banyak dosa). Sedangkan “Ruh” adalah Jibril, utusan
langsung dari sisi Allah SWT (Cahaya atau gelombang aktif Allah SWT).
Maka, tahap pertama yang harus dilakukan dalam proses upgrade ruhani ini adalah
menemukan gelombang “Ruh” (Jibril) yang lebih tinggi itu, untuk dijadikan
sebagai wasilah/frekuensi untuk connecting dengan Allah. Usaha manusia untuk
mengintegrasikan (mengkoneksikan) “ruh”-nya dengan “Ruh” yang lebih tinggi (dengan
gelombang kerasulan/gelombang Jibril) disebut mujahadah spiritual (tazkiyatun nafs, QS. Al-
‘Ala: 14).
Melalui metode riyadhah tertentu, gelombang “Ruh” yang tinggi ini bisa ditangkap. Para nabi
melakukan proses ini. Setelah menemukan gelombang “Ruh”-Nya (Jibril), jiwa mereka menjadi
sangat kreatif. Kalam Tuhan, wahyu atau ilham (pengetahuan supra-rasional) terus
bermunculan. Pembicaraan Tuhan sudah bisa didengar, karena gelombangnya sudah sama.
Sudah bertemu “ruh” dengan “Ruh”. Hubungan dengan Allah sudah bersifat live (langsung).
Muhammad termasuk salah satu manusia biasa (basyar) yang sangat intensif mengasah potensi
“ruh”-nya untuk terhubung dengan “al-Ruh” (Jibril). Selama bermalam-malam, dalam hitungan
bulan bahkan tahun, sejak usia muda; ia intensif menjalani ritual misterius. Entah darimana ia
mempelajarinya. Atau siapa yang mengajarinya. Ia aktif mengasingkan diri ke ruang-ruang
sempit. Sampai kemudian “sayap-sayap” Jibril (Ruh) aktif dalam dirinya. Sehingga semua yang

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 62


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

ia ucapkan disebut sebagai ucapan/bisikan dari Jibril (berasal dari gelombang yang sangat
tinggi, alias dari Allah SWT, berdimensi Ruh/qurani).
Artinya; kalau anda tau metode penyatuan jiwa, penyatuan ruhani atau pengintegrasian
wujud ruh dengan Ruh (wahdatul wujud), gelombang Jibril bisa anda tangkap. Melalui
gelombang malakut-Nya itulah Tuhan bisa diajak berbicara. Sebab, Jibril itu “utusan”
(rasul/malaikat) Tuhan. Alias, Tuhan yang mengutus dirinya dalam rupa (gelombang) Jibril.
Jika “ruh” mampu memiliki rupa material manusia, lalu apa susahnya hal yang sama terjadi
pada “Ruh”? Makanya, Jibril diberi gelar ‘alaihissalam (sebuah gelar untuk sosok nabi laki-
laki). Jangan-jangan, Jibril adalah nabi itu sendiri (gelombang malakut dalam diri para nabi).
Gelombang yang selalu hadir membawa wahyu pada nabi.
Maka, ketika para nabi punya “Ruh” (Jibril) dalam diri mereka; semua gerak dan perkataannya
bernilai suci. Semua dianggap sebagai gerak dan perkataan Tuhan (wahyu/hadis). Sebab, “Ruh”
yang bersemayam/bertajalli dalam diri mereka adalah Ruhul Quddus, Ruhul Muqaddasah
Rasulullah Jibril ‘Alaihissalam, alias Nur Muhammad (Cahaya aktif Tuhan). Dengan “Ruhul
Quddus” itulah para nabi (dan juga para wali yang mewarisi Ruh itu) mampu memberi syafaat,
mampu mengangkat/mensucikan sekalian “ruh” (arwah) manusia. Dengan unsur Ruhani yang
sangat suci ini mereka mampu membawa manusia untuk bertemu, alias wushul dengan Allah
SWT. Dengan hadirnya “Ruhul Amin” (nama lain dari Roh Quddus/Jibril) Muhammad
menjadi Al-Amin, sosok terpercaya yang membawa kedamaian bagi manusia.
Menjadi rahmatan lil-‘alamin.
Jadi, segala sesuatu di alam semesta ini tersusun dari “ruh” (cahaya). Esensi alam semesta
adalah “ruh” (cahaya) yang punya gerak substansial sehingga terus mengalami perubahan dari
detik ke detik (sering disebut sebagai the expanding universe). Semua materi yang ada di
universe ini terus bergerak, terus berubah dari hari ke hari. Artinya, semuanya hidup dan
mengalami perubahan, tanpa kecuali. Namun, bentuk “cahaya” yang menjadi substansi alam
semesta ini bertingkat-tingkat. Pada level paling rendah adalah “ruh alami” yang melekat secara
potensial pada semua unsur/materi. Sedangkan pada level tertinggi adalah “Ruhul Quddus”
(sebuah substansi yang juga punya kesadaran sangat tinggi, yang dalam bahasa filsafat
disebut Akal Awal, atau Jibril dalam bahasa Alquran).
Kesimpulannya, semua yang ada tersusun dari “cahaya”. Artinya, semua wujud merupakan
“tajalli” (pancaran) dari Tuhan itu sendiri. Alquran menyebut: “Allah adalah cahaya langit dan
bumi” (QS. An-Nur: 35). Semua tercipta dari Allah, dari cahaya-Nya. Hanya saja, cahaya pada
gradasi terendah yang menyusun dunia materi disebut “ruh”. Sedangkan Cahaya di Atas
Cahaya yang mengandung pengetahuan suci dan paling dekat dengan Allah disebut Ruhul
Quddus. Jadi, baik “ruh” maupun “Ruh”; itu sama-sama “gelombang” (energi/cahaya). Yang
satu gelombang dengan “frekuensi rendah”, dan hanya berguna untuk menjangkau informasi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 63


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

yang bersifat alamiah (material dan rasional). Yang satu lagi gelombang dengan “frekuensi
tinggi” (Cahaya di atas Cahaya, QS. An-Nur: 35) yang dapat menjangkau pengetahuan-
pengetahuan otentik dari alam Rabbani.
Sejatinya gerak manusia adalah gerak (perjalanan) membawa “ruh” terendah (substansi materi
manusia) untuk kembali kepada Allah. Tentunya melalui media wasilah, Ruhul Quddus
(Jibril). Makanya, semua manusia sempurna bertemu dengan Jibril (Ruh tertinggi). Hanya
dengan cara itu manusia mampu kembali memakrifati Allah SWT. Berbagai bentuk mujahadah
“mati sebelum mati” dalam tradisi tasawuf/irfan, adalah warisan praktik kenabian untuk
memperjuangkan agar “ruh” umat ini dapat kembali/ruju’ dengan “Ruh”, dengan Allah SWT.
Ini sangat memungkinkan. Sebab, “Jibril” (Ruh) masih aktif, belum pensiun. Masih turun Dia.
Surah Al-Qadar ayat 4 bahkan menyebut malam Lailatul Qadar sebagai momen turunnya Jibril
(“Ruh”) dan berbagai gelombang malakut lainnya. Itu terjadi berulang-ulang dan selalu dikejar
oleh umat Islam. Sebab, ini adalah momentum “ruh” (manusia) berjumpa/menjadi “Ruh”
(malaikat). Namun, bagaimana bentuk asli dan cara mendapatkannya, baca artikel “Mencari
Lailatul Qadar”.
Menutup kajian ini, saya sempurnakan isi puisi Rumi di atas yang membahas “perjalanan jiwa”
(ruh manusia) sampai menjadi malaikat dan bertemu Tuhannya:
Aku mati dari mineral dan menjadi tumbuhan // Aku mati dari tumbuhan kemudian menjadi
hewan // Aku mati dari hewan kemudian menjadi manusia // Lalu mengapa aku takut apabila
aku mati beringsut // Aku berlalu sebagai manusia // Membawa empat sayap dan bulu bak
malaikat // Setelah itu, berkoar lebih menjulang dari malaikat // Mengapa engkau tidak dapat
membayangkan // Aku akan menjadi seperti itu // Lalu aku tiada setelah tiada bak dentang
organ // Aku berkata Inna Lillahi wainna Ilaihi Rajiun //
‫ َ ٰﲆ قَلْب َِك ِل َت ُك ْو َن‬١٩٣ – ۙ ‫ َ َز َل ِب ِه الر ْو ُح ْ َاﻻ ِم ْ ُﲔ‬١٩٢ – ۗ ‫َواِن ٗه ل َ َت ْ ِﲋيْ ُﻞ َر ِ ّب الْ ٰعلَ ِم ْ َﲔ‬
١٩٥ – ۗ ‫ ِب ِل َس ٍان َع َر ِ ٍ ّﰊ م ْ ٍِﲔ‬١٩٤ – ۙ ‫ِم َن الْ ُم ْن ِذ ِرْ َن‬
“(192) Dan sungguh (Al-Quran) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam; (193)
Yang dibawa turun oleh Ruhul Amin/Jibril; (194) Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan; (194) Dengan bahasa
Arab yang jelas” (QS. As-Syuara: 192-194).
– ‫ُﴩى ِلْ ُم ْس ِل ِم ْ َﲔ‬
ٰ ْ ‫قُ ْﻞ َز َ ٗ ُر ْو ُح الْ ُقدُ ِس ِم ْن رب ّ َِك ِ لْ َح ّ ِق ِل ُيﺜَ ِ ّ َت ا ِ ْ َن ٰا َم ُ ْوا َوهُدً ى و‬
١٠٢
Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar,
untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman (QS. An-Nahl: 102).
ِّ ُ ‫ت ََﲋ ُل الْ َم ٰلۤى َك ُة َوالر ْو ُح ِف ْﳱَا ِ ِ ْذ ِن َر ِ ّ ِﲠ ْ ۚم ِم ْن‬
‫ﰻ َا ْم ٍۛر‬
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 64
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur
semua urusan” (QS. Al-Qadar: 4).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 31 | Mei 2022


“KON LON”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Kon Lon”. Itu bahasa Aceh. Bahasa Inggrisnya: “Not Me” (bukan saya). Sebuah penyakit
halus. Endemi yang biasanya menyerang orang-orang besar (intelektual/ulama/politisi).
Kenapa disebut “penyakit halus”?
Karena, ketika seseorang menggunakan bahasa ini, seolah-olah sikapnya “merendah”. Padahal,
itu bentuk “sombong” yang dibungkus baju spiritual. Setan yang tawadhuk.
“Meu’ah beh.. nyoe kon lon peugah droe hebat that, jalan di gampong droe neuh, meunye
hana peng aspirasi lon, trok an jinoe hana lheuh lom”. Itu contoh “Not Me”.
“Meu’ah.. nyoe kon lon peuhayeu-hayeu droe beh, meunye masalah jak beut, lon ka tamat
sampoe glah sikureung”. Itu contoh lain “Not Me”.
“Bukan menyombongkan diri ya, kampus ini, pada masa saya lah berhasil memperoleh
akreditasi A”. Itu bentuk “Not Me” lain.
“Bukan ingin mengatakan Abang hebat kali ya? Tapi, masa Abang dulu dek, organisasi kita ini
bisa Abang buat disegani dimana-mana”. Bagian dari “Not Me” juga.
Ada 1001 macam “Not Me”. Termasuk seperti disampaikan Guru kita. Bahwa ada diantara
manusia yang merasa rendah hati, merasa bukan siapa-siapa. Tapi, manakala tidak disebut al-
mukarram, lupa dipanggil sebagai kharismatik, atau lupa dibubuhi titel profesor
doktor dan haji; marah dia. Itu juga ragam dari “Not Me”. Banyak cara untuk berlaku ‘ujub.
Termasuk dengan cara “merendahkan diri”. Rendah hati, tanpa unsur Allah (ikhlas), itu
sombong (ego).
Jadi, bentuk “ego” (aku) tidak hanya muncul dalam bentuk direct “Lon” (Me): “cuma saya
yang berkualitas, sayalah yang telah meluluskan kalian, sayalah yang pertama mengatakan ini,
saya.. saya.. saya..”.
Itu contoh direct ego. Polanya masih kasar. Bagi yang profesional, kesombongan sering
diperhalus dalam bentuk indirect “Kon Lon” (Not Me). Banyak orang merasa merendah,
padahal itu akal-akalan, tipuan setan. Setan tidak hanya bisa berbuat keburukan, tapi juga
mampu mereplika hal-hal baik.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 65


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ulama terdahulu bahkan ada yang sampai menghilangkan/menyembunyikan nama saat


menulis sebuah risalah. Hanya untuk menekan sifat sombong yang mungkin muncul dalam
berkarya. Sekarang, tanpa ada nama, sulit kita menulis. Karena memang untuk mencari kum
dan nama. Namun tidak semua tulisan tanpa nama itu bagus. Banyak tulisan yang sifatnya
provokatif/hoaks justru dengan sengaja menghilangkan namanya.
Tanpa mengenal Tuhan, dimensi “aku” (baik dalam bentuk “Me” ataupun pola lebih halus
“Not Me”) akan selalu muncul.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 32 | Mei 2022


SUDAH 1400 TAHUN, AGAMA HARUS DI UPGRADE
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Setelah 1400 tahun, keyakinan dalam beragama harus di upgrade. Ada fase kita percaya,
misalnya, manusia adalah “makhluk materi”. Ada fase yang harus kita tempuh lebih lanjut
untuk sampai pada keyakinan bahwa kita “makhluk spiritual”. Kita bukan
sekedar adam (tanah). Tapi juga iblis (api), sekaligus malaikat (cahaya).
Meyakini diri sebagai seonggok “tanah” tidak akan membawa kita kepada Allah. Merasa diri
sebagai “api”, hanya membuat hidup panas, gundah dan gelisah. Kita harus sampai pada
pengetahuan yang meyakinkan bahwa kita semua makhluk “cahaya”, buraq. Makhluk yang
mampu terbang sampai ke dimensi dimana Allah dapat disaksikan wujud keberadaannya.
Hanya sebagai mahkluk cahaya kita bisa kembali kepada-Nya.
Manusia Tercipta dari Apa?
Awalnya dipercaya, manusia tercipta dari tanah. Itu pengetahuan lama. Pengetahuan awam.
Pengetahuan anak-anak. Pengetahuan kaum lahiriah. Yaitu kaum yang hanya mampu
menjangkau pengetahuan terhadap objek-objek kasat semata. Itu pengetahuan umat Islam level
TK, SD, SMP dan SMA. Kalau sudah kuliah, apalagi sudah S3, pengetahuannya sudah beda.
Sudah lebih cerdas!
Namun, Islam juga agama untuk semua kelas. Al-Quran mengakomodir keyakinan orang
awam. Banyak ayat menyebutkan, manusia tercipta dari tanah (tin), dari tanah liat kering dari
lumpur hitam (shalsalin min hama-in masnun), dari sari pati air yang hina/mani (maa-in
mahin, nuthfah). Seterusnya menjadi ‘alaqah (segumpal daging), jadi mudghah (tulang-
belulang), dan kemudian dibungkus kulit sampai memiliki bentuk sempurna. Semua itu
elemen material.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 66


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ini agama dalam kajian “atomik”, yang meyakini materi sebagai partikel dasar manusia dan
alam semesta. Ini wilayah fisika klasik yang doktrin-doktrinnya sangat berjaya sampai awal
abad 20. Tokoh utamanya Isaac Newton dari Inggris (1643-1727), yang semua teorinya
mendukung keberadaan materi sebagai wujud primer alam semesta. Sebelumnya, di era kuno
Yunani juga ada Demokritos (460-370 SM), pemikir mazhab atomisme.
Di barat, keyakinan manusia dan alam semesta adalah makhluk materi menjadi sebab musabab
lahirnya “mazhab materialisme”. Bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari materi. Di dunia
Islam, ide-ide materialistik melahirkan kaum “lahiriah” yang fokusnya hanya pada wujud
tekstual dan lahiriah ibadah. Kalau ada pengayaan pada dimensi lebih halus dari agama, itu
dilabeli syirik dan bid’ah. Memang ditengah umat ini ada praktik-praktik perdukunan. Tapi
mereka tidak bisa membedakannya dengan amaliah irfan. Kaum lahiriah cenderung mewarisi
praktik fikih dan doktrin-doktrin material fisikal dari Alquran dan Sunnah.
Sementara, ketika secara saintifik diajukan pertanyaan lebih lanjut: “tanah tercipta dari apa?”;
pemahaman agama akan menjadi lebih advance. Tidak terhenti di bumi, juga tidak serta merta
lompat ke langit.
Menjawab ini, anda harus meminjam ilmu fisika moderen. Termasuk fisika kuantum yang
mulai mendapat tempat sejak pertengahan abad 20. Kuantum fisik membuktikan, bahwa atom
bukan substansi terkecil dari materi. Selain proton dan neutron yang menjadi pembentuknya,
ada partikel lain yang menyusun atom. Yaitu “cahaya” (quark). Materi atom tersusun dari
gelombang energi atau pusaran cahaya. Jadi, kita manusia (bahkan seluruh alam semesta ini)
adalah sesuatu yang sebenarnya tersusun/tercipta dari cahaya. Bukan dari Tanah. Tanah (serta
semua unsur alam dan mineral) itu semua tercipta/terbentuk dari cahaya!
Setidaknya itulah temuan fisika moderen. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tercipta dari
“cahaya”. Dan cahaya bukanlah materi, melainkan energi; yang tidak dapat dimusnahkan.
Namun dapat berubah dari satu wujud ke wujud lainnya. Artinya, kita bukan makhluk materi
yang akan mengalami kematian. Kita adalah makhluk cahaya, yang abadi. Yang dapat menjadi
apapun. Yang dapat pindah alam dengan kecepatan tinggi, melakukan teleportasi, transmutasi,
israk mikraj dan berbagai “mukjizat” serta “kekeramatan” kuantumik lainnya.
Memang ada sisi materialitas pada diri kita. Tapi itu semua “wujud mumkin” (mumkinul
wujud) yang tercipta akibat “gerak substansial” cahaya (gerak tawaf pusaran kuark). Wujud
absolute kita pada dimensi yang bisa diamati sekarang adalah cahaya.
Temuan saintifik ini membuktikan kebenaran lebih advance dari konsep-konsep Alquran yang
menjelaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tercipta dari cahaya: “Allah adalah
cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Hanya saja, cahaya itu bertingkat-tingkat. Artinya,
wujud kuantum dari cahaya yang ada dalam diri kita bergradasi dalam tingkatan yang lebih
halus dan tinggi lagi. Belum semuanya bisa diamati.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 67


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Fisika hari ini hanya mampu mengobservasi wujud cahaya pada level dasar. Selebihnya terlihat
“kosong” (gaib). Namun secara konseptual, Alquran memberi petunjuk bahwa yang disebut
“kosong” (void) itu tidaklah benar-benar kosong. Masih ada makam-makam (gradasi) dari
cahaya sampai kepada level tertinggi, yaitu Allah itu sendiri. Adalah tugas fisikawan abad
selanjutnya untuk membuktikan tingkatan cahaya secara lebih lanjut, sampai laboratorium
Fakultas MIPA benar-benar menemukan “wajah” Allah SWT.
Tidak hanya manusia yang tercipta dari cahaya, alam semesta juga begitu. Karena semuanya
adalah alam cahaya, tentu sebagai cahaya ia punya spektrum (gradasi) yang bertingkat. Artinya,
alam cahaya ini hanya ada satu, tunggal (Ahad). Hanya dimensi (gradasi penampakan) yang
berbeda.
Jadi, kalau kita ingin bertemu Allah SWT, itu bukan “perjalanan spasial” ke luar
angkasa. Sebagaimana diceritakan Hamzah Fansuri saat melayat ke Baitullah: … Hamzah
Fansuri di dalam Makkah, mencari Tuhan di Baitul Kakbah. Dia tidak menemukan Tuhan di
bangunan fisik. Anda yang sudah 10 kali bolak balik naik haji juga sama. Tidak pernah ketemu
Allah di padang arab manapun. Sebab, itu semua ritual simbolik. Perjalanan menuju Allah
yang sesungguhnya adalah “dimensional journey”. Rumi menyebutnya sebagai perjalanan
dalam diri, “the journey within”. Hamzah Fansuri melanjutkan: … Dari Barus ke Kudus terlalu
payah, akhirnya ditemukan di dalam rumah. Tuhan justru ditemui saat pulang, dalam ‘rumah’
(dirinya sendiri). Perjalanan kembali kepada Allah adalah perjalanan dari satu makam
cahaya ke makam cahaya lain dari wujud keberadaan kita. Biasa disebut sebagai perjalanan
“mati sebelum mati”. Perjalanan mematikan satu dimensi dari diri kita, lalu menghidupkan
dimensi kita yang lain.
Karena kita makhluk cahaya, perjalanan ini mudah saja. Hanya perlu tau metodologi saliknya.
Kalau kita kuasai, kita bisa menembus petala langit dan bumi, yang notabenenya juga dimensi
cahaya. Bahkan, jika benar-benar larut/mengalami penyatuan dengan dimensi Cahaya yang
lebih tinggi (yang disebut Ruhul Quddus/Cahaya di Atas Cahaya), kita bisa berada dimana-
mana. Mengalami mukasyafah yang luar biasa.
Oleh karena itulah, tasawuf menekankan pentingnya proses mujahadah. Sebab, segala sesuatu
ada dalam diri. Barangsiapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Semua ada
disana. Disana terdapat “tanah” (adam yang tercipta dari pusaran kuark/cahaya). Baik tidaknya
si adam, makrifat atau tidaknya manusia, tergantung pada proses pengolahan cahaya
(Ruh/Asma Tuhan) dalam dirinya. Karena cahaya adalah penggerak elemen materi, saya
menyebutnya sebagai “ruh/jiwa” (wujud substansial manusia, sesuatu yang
ditiup/berhembus/hidup/bergerak secara alamiah dalam diri kita).
Dulu, manusia dipercaya tercipta dari tanah. Sekarang, keyakinan semacam ini, bukan ditolak,
tapi harus di upgrade. Sebab, Islam yang hakiki adalah Islam metodologis (tariq). Ada jalur

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 68


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

pembuktiannya. Yaitu Islam yang bergerak sesuai spirit dan ilmu pengetahuan zaman. Kalau
ilmu alam dan biologi 1400 tahun silam tidak kita up-grade, keislaman kita akan ketinggalan
dinamika sains dan pengetahuan. Kalau masih berkutat dengan pengajaran teks kitab-kitab
klasik sebagai satu-satunya kebenaran, kemungkinan kita akan terus stagnan. Semua itu tetap
diperlukan sebagai basis pengetahuan. Namun harus di upgrade.
Bukan bertujuan merubah Alquran. Tapi mengup-grade cara kita memahami Alquran. Kurun
1400 tahun itu sudah terlalu lama. Tafsir-tafsir klasik perlu “direvitalisasi”. Sudah berapa nabi
seharusnya di utus untuk kembali memberi petunjuk kepada manusia. Kita sudah tidak punya
nabi lagi. Tapi mujaddid (imam, wali, ulama, leader) dalam kuwalitas serupa dan tujuannya
juga untuk “memperbaharui” (meng-upgrade pemahaman dan metodologi beragama) selalu
ada.
Karena itu, istilah “kembali ke sunnah” perlu diwaspadai. Jangan sampai kembali membawa
Islam pada kejumudan tekstual, atau kepada peniruan fisikal semata. Itu budaya materialistik.
“Gerak hijrah” yang harus kita perkuat adalah gerak cahaya (ruhaniah), gerak yang membuat
kita semua mampu kembali bersua dengan Allah SWT sejak hidup di dunia. Hanya
dengan gerak cahaya umat Islam mampu kembali menemukan berbagai kecerdasan subtansial
(wahyu/ilham) sesuai konteks zaman.
Pertanyaan Penutup: Manusia itu Apa?
Karena manusia adalah “makhluk multidimensi”. Pada level sederhana, kita ini “adam”. Murni
tanah. Kalau memilih hanya menjadi makhluk tanah, kita akan kembali ke jaman purba.
Hidup secara natural tanpa peradaban sama sekali.
Namun, di dalam tanah ada berbagai unsur emosi yang membuat kita menjadi lebih
manusiawi. Termasuk unsur “api”, yang terkadang suhunya meninggi; sehingga manusia jadi
angkuh, gelisah dan was-was. Maka jangan suka menunjuk orang lain sebagai iblis.
Sebab, iblis adalah diri kita sendiri. Untuk itu perlu mujahadah, agar iblis ini bisa
dilawan/dikontrol. Seperti kata Nabi SAW, musuh paling nyata dan paling besar adalah iblis
dan setan, dan itu ada dalam dimensi panas (api) pada diri kita. Mana ada makhluk lain.
Kitalah iblis dan setan yang suka melawan Allah itu; yang dalam aneka cerita
digambarkan bertanduk, berjiwa fasik dan buruk rupa. Wujud ruhaniah kita yang suka
membangkang Allah memang begitu.
Lalu, pada wujud ruhaniah lebih tinggi, kita adalah “cahaya”. Apalagi ketika cahaya ini telah
disucikan (telah mengalami proses tazkiyatun nafs), energi cahaya/akhlaknya menjadi lebih
positif dan berpower. Disini kita bisa paham, sebenarnya malaikat itu siapa. Malaikat adalah
sosok yang mampu berbicara atas nama Allah dan yang keluar dari mulutnya adalah wahyu
semua. Malaikat adalah wujud yang bisa terbang sampai ke langit (gradasi cahaya) ke-7.
Malaikat adalah makhluk yang suci dan maksum. Malaikat adalah figur yang qalbunya terus

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 69


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

bertasbih/berzikir pagi petang kepada Allah. Siapa dia? Dialah (Nur) Muhammad dan orang-
orang yang mewarisinya. Orang, dalam dimensi cahaya.
Maka benarlah. Allah telah menciptakan kita dalam dimensi yang sempurna. Kita makhluk
tertinggi, tercipta dalam “rupa”-Nya. Kita bisa memilih menjadi apa:
menjadi binatang (makhluk yang melata bumi), menjadi iblis (api pembangkang) atau
menjadi malaikat (cahaya ruhaniah yang sangat patuh kepada Allah). Atau mungkin mau lebih
tinggi dari itu? Sebab, sebagaimana dikisahkan dalam peristiwa mikraj, perjalanan seorang cucu
Adam seperti Muhammad bisa melampaui grade malaikat. Muhammad bin Abdullah, yang
notabenenya adalah basyar (makhluk biologis), bisa berada pada makam insan kamil; yang
malaikat pun tidak bisa sampai kesana. Pada makam face to face (menyatu wajah) dengan
Allah.
Agama harus terus di upgrade, dari dominasi mazhab material ke mazhab cahaya. Sebab,
Alquran itu esensinya juga bukan lahiriah kertas dan tulisan. Melainkan cahaya, yang menjadi
inti dari gerak dan power. Islam juga begitu. Wujud kita juga begitu. Kita harus sampai kepada
kesadaran sains metafisis Cahaya, sekaligus menguasai metodologi untuk mengaktivasi dimensi
iluminatif (isyraq) dari diri kita. Untuk masuk ke dimensi ini, kita tentu harus kembali
belajar/berguru.
Yang lebih urgen, keimanan kita tentang malaikat harus di upgrade. Jangan lagi dipahami
hanya dalam nama dan atribut fungsi, ataupun dalam bentuk makhluk-makhluk karikatif
imajinatif (dongeng) lainnya. Wujudnya harus aktual. Agama yang benar adalah agama yang
diketahui dan dialami secara pasti, seperti pengalaman para nabi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 33 | Mei 2022


SUBSTANCE OVER FORM
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Agama memiliki dua sisi: “substance” (isi dalam) dan “form” (tampilan luar). Ada ulama yang
terfokus pada substance (umumnya ulama sufi). Ada juga yang terkonsentrasi
pada form (umumnya ulama fikih/syariat).
Pada kasus orang yang memakai celana pendek saat olah raga misalnya, ulama syariat
meributkan ini. Karena “form” dari apa yang mereka lihat dianggap berdosa menurut
konsepsi rules of the games kitab-kitab yang mereka punya.
Sementara, ulama yang fokus pada sisi batin kemanusiaan, pandangan mereka tidak begitu
tertuju pada celana pendek manusia, apalagi saat olah raga, sejauh itu tidak mengganggu
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 70
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

keamanan/maslahat masyarakat. Konon lagi, batasan aurat juga debatable antar ulama. Ada
yang percaya itu hanya sebatas baju kurung longgar ala Melayu. Ada juga yang memaksa
jenis burqa ala Taliban, yang mata sekalipun tak terlihat lagi dimana. Saya tidak tau, anda
berada pada level keyakinan mana dalam hal aurat. Saya tidak mau membahasnya. Ahli tafsir
terbaik Asia Tenggara sekalipun, semacam Quraish Shihab, kena buli setengah mati. Gara-gara
mengupas jilbab versi substantifnya.
Dalam perspektif agama yang bernilai substantif, ibu dan nenek kita dulu rata-rata terbuka
kepalanya. Buka kembali album-album lama. Paling tidak, kalau ditempat publik, mereka
hanya memakai sehelai ija sawak (selendang) untuk sekedar terlihat sopan dan mulia; walau
rambutnya masih ada yang nampak terurai. Saya kira nenek moyang kita tidak bodoh-bodoh
kali lah dalam memahami agama.
Dan tidak ada ulama zaman dulu yang meributkan itu. Apalagi sampai ada yang mengejar-
ngejar perempuan untuk dibotakin akibat tidak memakai jilbab versi sekarang. Sebab, mereka
terfokus pada “substance”. Masalah style disikapi secara baik dan arif. Asal jangan terlalu
seronok apalagi telanjang, melebihi standar kepatutan lokal. Kalau sekedar compang camping,
paling itu dianggap sakit ataupun gila.
Maksudnya, sekarang, jika ada Gowes yang menghadirkan artis yang
terlalu fashionable (berbaju ketat sampai berusaha menonjolkan sesuatu), anggaplah itu bagian
dari kelompok kurang waras itu. Kurang arif dengan norma lokal. Tapi artis itu rata-rata
memang sakit jiwanya. Kalau tidak sedikit buka-bukaan, tambah sakit mereka. Anda harus
paham itu. Kita yang sakit biasanya juga suka meniru gaya hedonis orang-orang sakit ini.
Makanya, kalau jadi panitia sebuah acara, janganlah menghadirkan orang-orang sakit dari
ibukota. Banyak orang sehat yang bisa kita undang. Tapi lagi-lagi, ya begitu. Panitia juga
paham, tidak mungkin mengundang Ustad Abdul Somad untuk pembukaan Gowes. Tidak
menarik.
Urusan baju, itu mudah memancing keributan. Khususnya di daerah yang kental dengan
“form“ keislaman. Apalagi, belakangan, ustadz yang terfokus pada “form” makin ramai.
Khususnya yang menggandrungi wahabisme, sangat kental dengan pola beragama
yang rigid ini. Alam pikiran umat teradikalisasi dengan cara ini. Semua form yang terlihat,
apalagi kurang teks (dalil), menjadi sasaran kritik. Pada level awal akan dibid’ahkan.
Seterusnya akan dikafirkan. Kita sedang menghadapi gelombang beragama model ini.
Konon lagi, sekolah-sekolah keagamaan yang mengajarkan “form” telah tumbuh lebih pesat
dari institusi agama yang mendidik “substance”. Walau ada kecenderungan ke depan gerakan
“substance over form” mulai menguat kembali. Sebab, kalau fokus ke form, memang selalu saja
ada yang salah. Kami sebagai dosen misalnya, kurang titik sekalipun, itu skripsinya bisa kami
anggap salah besar. Satu titik bisa jadi masalah, dalam perspektif form. Apalagi yang lain.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 71


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sementara, dalam gaya penulisan kreatif tertentu, tidak sesuai format EYD sekalipun, itu tidak
menjadi persoalan. Asal substansi dan konteksnya jelas.
Artinya begini. Jangan heran jika dulu orang tua kita banyak yang tidak berjilbab, dan itu
dianggap biasa. Bukan dosa. Kemudian zaman berputar, muncul gerakan syariat yang memaksa
semua perempuan untuk menutup rapat kepala, dan ini dianggap paling syar’i. Ke depan,
percayalah, zaman akan berputar kembali ke era sebelumnya. Sekedar berselendang pun nanti
akan dianggap sudah sangat beragama.
Saya bukan anti syariat. Saya dukung “substance”, juga “form”. Walau bentuk sempurna
keduanya jarang terjadi. Dalam akuntansi sekalipun, kebetulan kami pengajar ini, sekarang
mengarah ke paradigma “substance”, setelah lama terjebak dalam “form”.
Saya cuma khawatir, disaat Elon Musk sudah begitu emosional untuk membangun teknologi
penerbangan antar planet dengan SpaceX nya; kita di Aceh masih menghabiskan anggaran dan
perhatian untuk urusan celana pendek laki-laki dan aurat perempuan. Bukan tidak penting.
Semua penting. Tapi ya begitulah. Terserah anda lah!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 34 | Mei 2022


ZURICH, BERN DAN AARE; FENOMENA EROPA YANG DAMAI TAPI GANAS
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Swiss, 2008. Danaunya tenang. Airnya bening. Dingin. Pohon-pohon dibibirnya polos.
Daunnya sudah berguguran. Gerombolan angsa terlihat sedang bermesraan. Anak-anak saling
kejar-kejaran. Turis tidak pernah kosong, hadir untuk menikmati keindahan dari sebuah negeri
“netral”, yang terkenal dengan pegunungan Alpen-nya. Suatu ketika, kami ada disana.
Zurichsee. Danau ini terletak tepat di kota Zurich, kota terbesar dan pusat perdagangan di
Swiss. Sebuah kota yang indah, bersih dan ramah bagi pejalan kaki. Waktu itu sudah masuk
winter. Sejuknya sudah sampai ke tulang. Baju tebal berlapis menjadi penghangat tubuh kami.
Sebelumnya, kami sempat berpetualang di beberapa titik di kota Konstanz melalui kapal
penyeberangan di Bodensee; sebuah kota dan danau super apik yang membatasi Swiss, Jerman
dan Austria.
Dalam perjalanan pulang dari Zurich, kami singgah di Basel. Saat itu sudah malam. Bersalju.
Kami hanya mengitari kotanya untuk mencari secangkir kopi, sebelum kembali ke Berlin,
Jerman. Beberapa hari disana, telah cukup untuk membuat kami merasakan betapa asiknya
kota-kota Eropa. Pengalaman kami selama setahun belajar dan berpetualang di Jerman dan
kota-kota indah disekelilingnya dapat di download dan baca di “RED-EXPERT 2007-2008”.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 72
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Beberapa hari silam, 26 Mei 2022, kami terkejut. Ternyata ada juga Aare di Bern, ibukota
Swiss. Sungainya yang tenang telah menyeret Emmeril Khan Mumtaz. Itulah Eropa; negara
yang tertib, adem dan beradab. Tapi tak segan-segan untuk membuat Anda tinggal
bersamanya. Kami ikut berduka. Alfatihah!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 35 | Mei 2022


THE LANGUAGE OF ISLAM
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Tentang khutbah Jum’at yang total berbahasa Arab di Indonesia. Ada yang mengatakan,
itu out of context. “Ngapain pakek bahasa Arab. Inikan Indonesia. Gimana jamaah bisa
paham”, sebutnya. Tapi, walau tidak dipahami, yang menghadirinya juga selalu ramai. Disisi
lain ada yang membela, itukan bahasanya Nabi. Nabi khutbahnya selalu dalam bahasa
Arab. “Ya, iya. Karena Nabi orang Arab, berdakwahnya juga di Arab. Gak mungkin pakek
bahasa Indonesia”, bantah yang lain.
Saya tidak mau terlibat dalam dakwa mana yang paling benar. Saya cuma ingin
menyampaikan, sumber power dalam beragama, atau hal-hal yang menyebabkan seseorang
tercerahkan, itu memang misterius, beragam. Maksudnya begini.
Ada yang bilang, yang penting paham apa yang anda dengar. Kalau tidak paham, maka
dakwah tidak ada gunanya. Khutbah dalam bahasa Arab, untuk apa kita dengar kalau kita
tidak paham. Kira-kira begitu. Kaum intelektual berfikir dengan cara ini. Sudah benar itu.
Maka berbicaralah dengan bahasa masyarakat anda.
Tapi ada juga yang sangat paham agama, namun tidak tercerahkan. Ada dari kita yang sudah
sekolah kemana-mana. Mendengar banyak hal. Mengkaji, membaca dan memahami hampir
segalanya. Tapi menjadi radikal. Korup. Sombong pula. Artinya, memahami sesuatu tidak serta
merta membuat kita lebih baik. Bahkan bisa sebaliknya.
Ada juga tipe orang aneh lainnya. Ia tidak paham apa yang dibaca. Tidak paham apa yang
didengar. Tapi, asal bisa jumpa dengan ulama yang ia suka, bisa bersentuhan dan mencium
tangannya; meningkat aura cinta kepada Nabinya. Bertambah-tambah semangat keislamannya.
Bagi dia, sentuhan paling utama. Walau ia tidak mengerti apa isi ceramah orang yang
didengarnya. Waktu membaca Qur’an juga begitu. Beralun-alun terus ia. Tidak mengerti pun
apa yang dibacanya. Tapi cinta kepada agama dan Tuhannya terus meningkat lewat bacaan
“buta” itu. Karena dari cara itu rasa keterhubungan dengan Tuhannya terbentuk.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 73


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Seperti kata Rumi, “Not the ones speaking the same language, but the ones sharing the same
feeling, understand each other”. Cara orang mencerap pengetahuan dan memperoleh
kesadaran, itu beragam. Bisa jadi dengan cara memahami. Bisa jadi hanya cukup dengan cara
asal berjumpa.
Begitu juga dengan seorang ahli pengobatan. Termasuk pengobatan jiwa/ruhani. Ia tidak
mengobati anda dengan panjang lebar ceramahnya. Sebab, itu hanya akan memenuhi isi otak
anda. Dia punya cara tertentu, yang dengan tatapannya, jiwa anda “tersucikan” seketika. Ia
tidak berusaha mencerdaskan intelektual anda. Tapi berusaha menyambungkan ruhani anda
dengan Tuhan anda. Banyak kita temukan orang “bodoh” (ummi) di muka bumi, tapi dekat
dengan Tuhan.
Ada dakwah agama yang tujuannya mencerdaskan akal manusia. Sebab, celaka juga jika otak
orang Islam lemot semua. Bisa jumud dan jadi kumpulan bangsa tertinggal kita. Tapi ada
dakwah, yang targetnya mensucikan ruhani manusia. Ini yang rata-rata kita masih bermasalah
dan susah menyembuhkannya.
Untuk dakwah jenis pertama, anda harus berbahasa sama dengan bahasa kaum anda. Anda
harus banyak bicara, agar mereka tau dan paham. Tapi, untuk jenis kedua, anda cukup hanya
berdakwah dengan cara diam. Tak perlu bicara, cukup dengan ditatapnya wajah anda, itu
sudah menjadi sumber pengetahuan yang berlimpah ruah bagi semua. Sehingga Nabi
mengatakan, menatap wajah ulama tinggi sekali nilainya: “diampuni dosa”, “lebih baik
daripada beribadah 40 tahun”, “menghidupkan gelombang-gelombang malaikat dalam diri
anda”, dsb. Tentu ulama yang dimaksud disini bukanlah ulama biasa (ulama akal). Tapi ulama
spiritual. Ulama yang diamnya adalah cahaya bagi anda. Ini mengarah ke wali. Wakil Tuhan di
muka bumi.
Agama punya cara kerja berbeda, untuk tingkatan dan kebutuhan berbeda. Untuk
meningkatkan potensi akal, cari ulama yang pandai mengajar dan berbicara. Yang berbicara
dalam bahasa anda. Duduk dan simak isi kitab yang diulasnya. Sedangkan untuk mengupgrade
potensi jiwa, cari ulama yang “ahli diam”. Hanya dengan menatapnya, kecerdasan anda berlipat
ganda. Sebab, melalui dia lah ruhani Rasulullah berbicara.
Jadi, kalau anda seorang ulama tipe terakhir, tidak masalah seperti apa anda bertingkah dan
bahasa apa anda berkhutbah. Semua akan masuk dalam spesifikasi wama yantiqu anil hawa, in
huwa illa wahyu yuha. Anda sudah dipercaya menjadi juru bicara-Nya. Tidak mesti bahasa
Arab, bahasa burung sekalipun itu tetap menjadi rahmat bagi manusia. Sebab, yang dicari
bukan teriakan anda di mimbar dakwah, melainkan Ruhani anda. Ruhani yang mencerahkan.
Ruhani yang dapat menyambungkan sekalian jiwa manusia dengan Rasulullah.
Dalam hal ini, para Habaib misalnya, itu digandrungi; sejatinya bukan karena kemampuan dan
tradisi berbahasa Arabnya. Tapi karena membawa kekeramatan Ruhani Keluarga

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 74


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Nabinya. Ketika kekeramatan ini hilang, yang tersisa hanya “ana-ente”. Lulusan Arab lain
sebaiknya juga begitu, mesti memperkuat kembali ruhani sebagai sumber pencerahan;
melampaui kemampuan hafalan dan permainan bahasa. Sekedar meng-arab-kan semua istilah,
itu tidak menyelesaikan masalah.
Suatu ketika diriwayatkan, Cak Nur (Nurcholish Madjid) membawa WS. Rendra untuk
Jum’atan. Itu Jumat pertama setelah ia memeluk Islam. Cak Nur menghindari membawa sang
penyair ini ke masjid biasa. Ia justru mengantarnya ke masjid yang khutbahnya total berbahasa
Arab. Karena menurutnya, suasana batin WS. Rendra memang sedang mencari sesuatu yang
berbeda. Mendengar Islam dalam bahasa “asli” yang tidak ia pahami, mungkin mampu
memberi rasa baru baginya dalam beragama. Ketimbang bahasa Indonesia yang terkadang
entah apa-apa kita diceramahinya.
Ada waktu-waktu tertentu kita butuh bahasa berbeda untuk memahami sesuatu yang lebih
esensial. Dalam pengalaman para sufi, ada titik dimana mereka masuk ke sebuah alam yang
sangat unik. Mereka berinteraksi dengan pesan-pesan kosmik di luar standar bahasa manusia.
Tapi semakin lama semakin dahsyat, ketika perlahan mulai dirasakan dan dibuka pemahaman
oleh Tuhan, bahwa kode-kode yang “silent” ini memiliki kandungan luar biasa.
Begitulah para nabi, punya hobi sekaligus kemampuan untuk menangkap pesan-pesan khusus
yang tidak berhuruf dan bersuara; sebelum dikonversi ke dalam bahasa orang kampungnya.
Pencerahan justru diperoleh saat kita menangkap pesan-pesan tersembunyi seperti ini.
“Silent is the language of God, all else is poor translation”, kata Rumi. Untuk tercerahkan,
anda harus masuk ke alam yang sama sekali berbeda, yang berbicara kepada anda dengan
bahasa yang sama sekali berbeda. Bukan bahasa Arab, juga bukan bahasa Indonesia. Tapi
bahasa-Nya. Setelah itu terserah anda mau men-translate itu ke dalam bahasa apa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 36 | Juni 2022


MAKNA “HAKIM”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Hakim” itu punya dua makna.
Pertama, hakim sebagai seseorang yang memutuskan sesuatu menurut “hukum”. Kedua, hakim
sebagai seseorang yang memutuskan sesuatu menurut “hikmah”.
Untuk menjadi hakim jenis pertama, anda harus menguasai ilmu “hitam-putih”, ilmu “halal-
haram”; dalil-dalil lahiriah, atau teori benar-salah yang bernilai umum. Fikih dan syariat ada
pada kategori ini.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 75
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sementara, untuk menjadi hakim model kedua, anda harus mampu menggali kebenaran-
kebenaran yang bersifat “hakiki”, kebenaran-kebenaran yang bernilai khusus, rahasia-rahasia
yang tidak diketahui umum.
Untuk menjadi hakim jenis pertama, anda harus mengumpulkan bukti-bukti lahiriah, serta
mendengar banyak pendapat manusia. Sedangkan untuk menjadi hakim model kedua, anda
harus mendengar apa pendapat Tuhan anda; sehingga mengetahui kebenaran sesungguhnya
dan mampu memutuskan keadilan dalam bentuk paling tinggi.
Kenapa ada hadis yang mengatakan, sebagian kaki hakim ada di neraka?
Karena, mereka lebih banyak memutuskan perkara dengan “hukum”. Dengan logika dan
kecerdasannya. Bukan dengan “hikmah”. Bukan menurut kemauan Tuhan.
Hikmah, walaupun sering terlihat “nyeleneh”, lebih tinggi nilainya daripada hukum.
Keputusan-keputusan “aneh” yang diambil Khidir, itu lebih tinggi nilainya daripada
pemahaman syariat seorang Musa. Sebab, Khidir memahami rahasia ilahi. Sedangkan Musa,
menggunakan dalil umum untuk menghakimi semuanya. Bagi Musa, merusak hak milik orang,
itu berdosa dalam kacamata hukum-hukum syariat yang ia pelajari. Apalagi sampai membunuh
anak kecil yang tidak berdosa. Tapi berbeda dalam pandangan seorang ahli hikmah, pada
konteks yang mereka temui.
Artinya, jika anda ahli “hukum”, anda masih menjadi Musa muda, seorang yang buta hikmah.
Anda belum sempurna beragama. Anda harus menemukan seorang Khidir, yang mengajari
ilmu “hikmah”. Seorang guru yang membuat Musa menjadi dewasa.
Bagus untuk menguasai ilmu “hukum”. Tapi tidak bagus, jika belum sampai pada ilmu
“hikmah”. Yaitu, jenis ilmu dan tata cara pengambilan keputusan yang sering berseberangan
dengan hukum. Tapi lebih tinggi nilainya di mata Tuhan.
Hakim, dalam makna paling tinggi, itu adalah seseorang yang memiliki ilmu “hikmah”. Orang
yang hidup hatinya, melampaui otaknya. Itulah yang disebut “bijak”.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 37 | Juni 2022


MUSABAQAH MUKJIZATIL QURAN
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Secara teoritis kita percaya, Alquran itu mukjizat. Secara empiris, itu sesekali harus dibuktikan.
Mukjizat itu apa?
Mukjizat adalah “kejadian luar biasa”. Hal di luar nalar manusia. Sesuatu yang adi kodrati.
Supranatural. Semua itu dianggap sebagai “the direct act of God”. Sebab, manusia biasa tak
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 76
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

punya kemampuan tersebut. Sains sekalipun mungkin tidak bisa melakukannya. Kalaupun
bisa, mungkin tidak secepat atau se-instan itu.
Jika Alquran itu adalah “Tuhan”, atau representasi dari ke-qadiman Tuhan, maka ia pasti
berpower. Punya kekuatan yang disalurkan secara langsung dari sisi Tuhan. Seorang Nabi
misalnya, mampu menghadirkan kejadian-kejadian mistik di luar adat kebiasaan, itu karena
diri mereka adalah “Ruh Allah”, Alquran yang hidup dan berjalan. Kata-kata mereka adalah
Kalam Allah. “Kun, fayakun!” (QS. Yasin: 82). “Kun”, kata Allah. “Fayakun”, kata
Muhammad. Ketika qalbu seseorang sudah menyatu dengan gelombang ketuhanan, mudah
bagi lisan untuk mendemonstrasikan Kebenaran.
Suatu ketika, Muhammad SAW pernah mengajak sekelompok orang untuk bermubahalah.
Bermusabaqah, untuk membuktikan siapa yang membawa bukti-bukti kebenaran dari Tuhan
(QS. Aali Imran: 61). Musa juga begitu. Menguji tanding sekelompok ahli mistik Fir’aun untuk
membuktikan siapa yang membawa bukti dan kebenaran ayat dari Tuhan. Semua nabi
melakukan uji kebenaran dalam bentuk dan cara yang beragam. Sehingga yang jahat dan ragu
dengan Alkitab dapat dipatahkan.
Mukjizat adalah pembuktian, bahwa ada “Kalam” (Tuhan) bersama seseorang. Kalam adalah
ucapan, yang mengandung vibrasi (Ruh) ketuhanan. Sehingga melahirkan keajaiban. Inilah
yang disebut Alquran (bacaan); kalam atau ucapan, yang ketika itu disimulasikan, sesuatu yang
besar akan terjadi.
Pertanyaannya; apakah bacaan, goresan dan tindakan (sunnah/kalam) kita sudah memiliki
mukjizat?
Isa as; kekuatan kalamnya mampu menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit dan
buta. Musa as; kekuatan kalamnya mampu mengalahkan tukang sihir, dan tongkatnya
memiliki energi dan cahaya yang mampu membelah lautan. Ibrahim as, kekuatan kalamnya
mampu mendinginkan api, menghidupkan burung yang telah dicincang mati. Semua nabi
begitu. Juga Muhammad. Banyak sekali mukjizat atau kekeramatan yang mereka tunjukkan.
Saban hari itu terjadi. Tapi sedikit yang tertulis dan diceritakan.
Apakah kalam kita juga begitu? Apakah level bacaan Quran kita sudah bertenaga?
Jika iya, itulah mukjizat. Jika belum, maka kemungkinan besar kalam dan bacaan kita sudah
tereduksi dari bentuk “asli”-nya. Sehingga tidak lagi membawa mukjizat.
Kalam itu bertingkat. Pada tingkatan tertinggi, Kalam adalah gerak ketuhanan itu sendiri. Alias
Tuhan yang berkata-kata, yang corongnya adalah lisan manusia. “Wa maa yanthiqu anil hawaa,
in huwa illaa wahyuy yuuhaa” (QS. An-Najm: 3-4). Pada level ini, Kalam adalah mukjizat.
Tuhan yang berbicara secara “langsung” melalui para nabi-Nya. Pada kondisi ini, Islam itu
tinggi. Karena apa yang terjadi merupakan tajalli, penampakan langsung, wahyu dari alam
ketuhanan yang maha tinggi.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 77


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Pada level selanjutnya, itu bukan Tuhan lagi yang berbicara. Tapi kita. Allah-nya sudah tiada.
Yang ada hanya kita. Semua bacaan lahir dari ego kita sendiri, bukan dari alam gaib lagi.
Sehingga, mukjizatnya sudah tidak ada. Pada tingkatan ini, Quran sudah menjadi “buku”, yang
tidak lagi menyatu dengan jiwa pemiliknya. Quran sudah menjadi sebuah dokumen, bahan
bacaan semata. Pada tingkatan terakhir ini, Quran telah menjadi “alat peraga”. Pembacaan
ayat-ayatnya sudah menjadi sebuah seni pertunjukan, eksibisi, atau yang kemudian diformalkan
menjadi MTQ.
Pada level ini; Quran telah berubah, dari “mukjizat” menjadi “penampilan seni”. Memang
Quran itu sendiri secara “kitabi” (teks) punya susunan yang bagus, syair yang indah, cerita
yang mengagumkan, serta kandungan pengetahuan yang tinggi. Tapi ya sebatas itu. Quran
sudah menjadi buku informasi, yang tentu dapat terus menerus digali makna beserta isi. Quran
sudah menjadi alat pendewasaan akal semata.
Sementara, yang aslinya, Quran adalah sebuah mukjizat, basis kecerdasan dan kekuatan ruhani.
Quran yang asli adalah qudrah dan iradah Tuhan yang mengalir dalam jiwa manusia. Quran
adalah Kalam, Kalimah, Tuhan yang bersemayam dalam diri anda.
Maka, ijtihad untuk “kembali ke Quran dan Sunnah”, itu sejatinya adalah gerak untuk
mengembalikan Quran dari sekedar “atraksi seni” yang penuh fasahah, tajwid dan kaidah; ke
dimensi Quran yang “mukjizati”. Yang melampaui huruf dan suara. Dari unsur-unsur
“tilawah” ke dimensi “karamah”. Dari metode membaca di alam manusia, kepada teknik (tariq)
bacaan di alam ketuhanan. Dari unsur-unsur riya‘ (show off) ke dimensi ikhlas (kebatinan).
Dengan demikian, Quran bisa kembali naik grade dari unsur “kitabi” ke “anfusi”. Dari sesuatu
yang tertulis di kertas, kepada sesuatu yang mengalir dalam jiwa.
MTQ Aceh XXXIV akan berlangsung di Bener Meriah, pada 18-25 Juni 2022. Semoga kita
semua diberi petunjuk, agar Quran yang penuh nilai seni juga menyatu dalam darah para
penganutnya. Sebab; jumlah pembaca, penghafal, penulis, penafsir, pensyarah dan pengkaji
Quran sudah terlalu banyak. Pembawa mukjizatnya yang sudah tidak ada.
Mungkin akan tiba suatu saat, ada sebuah MTQ, yang bacaan qari dari mimbar tilawahnya
akan mampu menyembuhkan penyakit dari semua orang yang hadir mendengarnya. Akan ada
sebuah MTQ, dimana tulisan para kaligrafernya akan mampu memperbaiki akhlak setiap orang
yang melihat dan menyentuh karyanya. Mungkin akan ada suatu waktu, ketika haflah Quran
disetiap seremoni pemerintahan akan mampu menggerakkan jiwa raga para pejabatnya; untuk
membawa rakyat Aceh menyeberangi lautan kemiskinan, menuju tanah yang dijanjikan.
Menuju negeri baru yang makmur dan penuh keberkahan. Jika itu terjadi, maka MTQ dan
bacaan Quran kita sudah memiliki mukjizat.
Entahlah. Kita mulai saja dengan selebrasi seni. Semoga akan sampai kepada unsur-unsur
mukjizati. Semoga Allah memberkahi acara kita!

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 78


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

AGAMA DAN PRIVACY MAZHAB


Oleh Said Muniruddin

SUATU ketika bertemulah dua orang teungku, Abu Manyak dan Abu Rayek. Lalu terjadi
diskusi.
ABU MANYAK: “Jadi.. Nabi Ibrahim agama peu?
ABU RAYEK: “Jelas lah, Gobnyan Agama Islam”.
ABU MANYAK: “Na dalil?”
ABU RAYEK: “Na!”
ِ ْ ‫َﴫا ِنيا و ٰل ِك ْن َﰷ َن َح ِ ْيفًا ْمس ِل ًما َو َما ﰷ َن م َن ال ُم‬
ْ‫ﴩ ِك َﲔ‬ ْ ِ َ ۗ َ ْ ‫َم َاﰷ َن ِا ْ ٰر ِه ْ ُﲓ ﳞَ ُ ْو ِد و َﻻ ن‬
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, tetapi dia adalah
seorang Muslim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” QS. 3:67
ABU MANYAK:: “Oooo.. menunan? Man peu mazhab Nabi Ibrahim as nyan?”
ABU RAYEK: “Yang lon teupeu Beliau nyan mazhab Syiah”
ABU MANYAK: “Opotalah! Yang beutoi neupeugah haba! Hati-hati tameunarit! Na dalil jih?”
ABU RAYEK: “Na!”.
‫َ ِﻻ ْ ٰر ِه ْ َﲓ ۘ ِش ْي َعتِ ٖه ۞ َواِن ِم ْن‬
“Sesungguhnya Ibrahim termasuk Syiah -pengikut/golongannya- (Nuh).” QS. Ash-Shaffat [37]:
83
ABU MANYAK: “Kagura!! Man geutanyoe peu mazhab?”
ABU RAYEK: “Mazhab Ahlussunah Waljamaah lah….”
___________________
Mazhab (‫ )مذهب‬itu hanyalah jalan, metode, cara atau “kepengikutan” terhadap seseorang,
sebagai sanad teoritis ataupun praktis dalam beragama (baik secara teologis, fikih, akhlak,
politik, maupun yuridis). Untuk menuju Allah, pun Rasulullah; itu ada sanadnya. Bahkan
“Bapak Monoteis” sekaliber Ibrahim pun bersanad/bermazhab, alias ber-syiah (mengikut)
kepada Nuh as. Setiap orang secara individual berhak memilih tariqah, jalan,
partai, golongan ataupun pandangan yang paling diyakini untuk mencapai tujuan. Itu bisa
sangat privacy sifatnya. Membangun dialog dalam perbedaan, itu boleh saja. Namun
memaksakan jalan kita kepada yang lain, atau mengklaim sebagai terbaik dan yang lain buruk,
itu secara sosial bukan sebuah tindakan yang arif. Kita semua Islam, hanya saja, pintu yang kita
pilih untuk masuk ke surga bisa saling berbeda. Bisa melalui Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali,
atau para wali dan imam-imam suci lainnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 79


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 39 | Juni 2022


MENGEJAR “BAYANGAN”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Coba perhatikan. Ada sebagian orang yang hidupnya berakhir tragis, justru saat memperoleh
kejayaan. Uang sudah ada. Nama sudah besar. Tapi stres. Lalu bunuh diri.
Elvis Presley, tewas di usia 42. Saat itu karir rock and roll-nya sedang memuncak. Pengaruh
obat-obatan menjadi penyebab utama dia tergeletak di kamar mandinya. Setelah itu sebut
nama-nama besar musisi seperti Jimmy Hendrix (“dewa gitar”), Jim Morrison (vokalis “The
Doors”), Janis Lyn Joplin (penyanyi soul blues), Kurt Cobain (penulis dan gitaris), Brian Jones
(gitaris Rolling Stone), James Owen Sullivan (drummer), John Bonham (drummer Led
Zeppelin), Judy Garland (artis dan musisi), Amy Winehouse (musisi jazz dan blues) dan
lainnya.
Itu level internasional. Level nasional juga banyak artis dan musisi yang namanya di elu-
elukan. Wajahnya cantik dan tampan. Uangnya melimpah. Followernya jutaan. Lagu dan
filmnya diminati. Tapi justru kecanduan obat dan minuman. Overdosis. Terjerumus seks bebas.
Stress berat, walau selalu tersenyum dan melambai. Susah tidur. Tidak sedikit yang memilih
bunuh diri dengan pil tertentu.
Kok bisa begitu? Padahal sudah punya banyak uang, penggemar dan jabatan; tapi jiwanya kok
terguncang?
***
Walaupun semua mengaku ber-Tuhan, seringkali yang kita kejar adalah “tuhan”. Bukan
“Tuhan”. Ada perbedaan antara tuhan (dengan “t” kecil), dengan Tuhan (dalam “T”
besar). Tuhan adalah kebahagian. Sedangkan tuhan, adalah derita jangka panjang.
Manusia mengejar sesuatu yang dipersepsikannya sebagai sumber kebahagiaan. Tapi, apa yang
benar-benar dapat membuatnya bahagia, itu tidak diketahuinya. Sehingga, seringkali yang
dikejar adalah “bayangan”. Ada wujudnya, tapi absurd. Nyata, tapi nisbi. Mirip-
mirip metaverse. Begitu indah, tapi ternyata hanya algoritma mimpi.
Materi, ketenaran, kekuasaan; semuanya “mimpi”; ketika tidak ada Tuhan bersamanya. Itu
semua disebut “dunia”. Keberadaan semua itu sifatnya fana, tidak absolut, manakala tidak ada
Tuhannya. Sesuatu yang tidak ada unsur Tuhannya pasti membawa derita. Karena wujudnya
palsu. Dunia dan segala isinya adalah tuhan (“t”).
Bukan kita tidak butuh “dunia”, “bayangan” dan segala kepalsuannya. Kita perlu itu, sekedar
untuk bergaya. Sekedar bermain-main dengannya. Itulah yang disebut kebahagian “dunia”.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 80
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Tapi, untuk bahagia secara “hakiki” (abadi/mendalam/bernilai ukhrawi), kita


butuh Tuhan yang asli. Tuhan inilah yang harus kita dapatkan agar berada dalam
dimensi nirwana (syurga/bahagia). Fenomena “hijrah” para artis, sebenarnya hanya sebuah
bentuk pengakuan akan kekosongan diri atas segala yang telah dicapai. Walau hijrahnya
terkadang masih ke arah simbol-simbol, yang Tuhannya juga belum tentu ada disana.
Tidak susah pun menemukan Tuhan. Dia ada dibalik simbol. Dia ada dibalik bayangan. Dia
bahkan menyatu dengan bayangan. Semua yang anda saksikan secara lahiriah pada segala
dimensi dunia, itu hanya bayangan. Itu hanya efek dari keberadaan-Nya. Mirip anda dengan
bayangan anda sendiri. Bayangan anda adalah anda, tapi bukan Anda. Yang benar ada secara
mutlak adalah “Anda”, bukan bayangan anda.
Allah secara mutlak ada dibalik simbol/tanda/ayat/bayangan. Jadi, Dia itu dekat sekali. Tidak
terpisah, bahkan menyatu dengan bayangan. Artinya, Dia ada dibalik semua dimensi dunia;
yang merupakan limpahan, pancaran, atau bayangan-Nya. Kalau kita sadar akan diri sendiri,
dan mampu menyelami isi terdalam dari diri kita, sesungguhnya disanalah Dia berada. Namun
untuk bisa sampai kesana, dibutuhkan seorang rasul (guru/pembimbing); yang merupakan
“jalan” atau “wasilah” untuk membuka mata batin sehingga mampu berjalan melampaui akal
dan persepsi yang telah lama kita bangun. Sebab, Tuhan yang asli melampaui itu semua.
Dengan cara itu kita dapat menemukan Tuhan, menemukan Wajah aslinya (melampaui
bayangan-Nya). Walaupun, ya, mirip-mirip itu juga. Tapi setidaknya kita menemukan sesuatu
yang lebih esensial dari sekedar simbol-simbol keislaman.
Maka, jangan mengejar bayangan. Kejarlah sesuatu yang lebih azali, unsur asli dari diri kita
sendiri. Yaitu Tuhan. Bahagia adalah, kembali ke “usul”, ke jati diri kita; kepada Allah
SWT. Happiness is to find Him beyond the shadow. Bahagia adalah sebuah perjalanan untuk
menemukan Dia; dibalik aneka bayangan. Sedangkan derita, adalah sebuah bentuk kehidupan
yang masih terfokus pada bayangan. Sesuatu yang sebenarnya secara otonom tidak ada. Karena
tidak ada, makanya ia tidak mampu mengisi diri kita.
Kalau kita menemukan Tuhan, pasti bahagia; walau kita tidak tertarik dengan “bayangan-Nya”.
Itu sufi, yang tidak mau kaya, hanya mau Tuhannya saja. Mereka asik dengan Tuhan, tapi lupa
dunia. Tapi, kalau engkau mampu menemukan Tuhan beserta “bayangan-Nya”, engkau akan
menjadi sufi yang kaya raya. Seperti Sulaiman, seorang nabi, kaya pula.
Sebenarnya bukan hanya orang kaya yang stress dan bunuh diri akibat lelah dalam mengejar
bayangan. Orang miskin juga banyak yang begitu. Sudah miskin (tidak punya harta), Tuhan
yang asli pun tidak didapatinya. Larinya ke narkoba juga. Fakir, tapi kufur. Maka jangan
disalahkan kalau ada sufi yang suka menyanyi dan menari-nari. Itu memang “dunia”.
Kebetulan, mereka menemukan Tuhan di dalamnya. Paling tidak, walau miskin, kita masih

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 81


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

bisa menari dan bernyanyi. Sambil ngopi, bersama Tuhan kita. Sehingga jiwa tetap sehat dan
bahagia.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 40 | Juni 2022


YANG KURANG DARI ANIES
Oleh Said Muniruddin
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Apa yang kurang dari Anies?
Anies itu tokoh hebat. Ganteng sudah pasti. Orang Arab memang begitu, gantengnya udah
bawaan lahir memang. Bicaranya juga bagus. Rapi. Gaya pengulangan bahasanya keren. Ketika
menekankan sesuatu, ia selalu mengulang sejumlah kata berbeda tapi untuk maksud yang
sama. Tidak jarang ia menyusun kosakata sendiri untuk meng-attract audien. Anies itu manis,
enak didengar cara ngomongnya.
Lalu apa yang kurang?
Yang kurang cuma satu. Teriakan “takbir”. Kalau gaya bicaranya yang intelek dibungkus
dengan takbir, bisa meledak itu. Sebab, ia sangat didukung, salah satunya oleh “kaum
takbiran”. Sementara, “tokoh takbir” Indonesia, Habib Rizik Shihab bersama organisasinya
sudah diamankan negara. Termasuk juga yang sejenis, seperti HTI. Indonesia saat ini boleh
dikatakan sedang kosong dari spiritualitas “takbir”.
Kalau Anies mengambil alih teriakan takbir, bakal menarik itu. Popularitasnya bakal melangit.
Intelektualisme akan menyatu dengan simbol-simbol spiritualisme. Cuma, peluang jadi
presiden semakin menipis. Sebab, teriakan takbir untuk konteks hari ini sangat diwaspadai oleh
negara, dan juga dunia. Karena kelompok radikal pun itu ciri umumnya. Tapi patut dicoba.
Paling tidak sesekali saja, untuk melihat reaksi massa. Lebih bagus lagi, jika gemuruh
takbirnya bisa tembus sampai ke langit sana. Tapi itu ada caranya.
Takbir!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 41 | Juni 2022


DUA BENTUK “JAHIL”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 82


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Agama adalah jalan untuk kembali kepada Tuhan, setelah kita merantau terlalu jauh. Namun
tidak semua orang menerima keberadaan Tuhan. Pun yang mengaku sudah beragama, tidak
semuanya mampu kembali terkoneksi dengan Tuhan. Dua hal ini adalah bentuk “kejahilan”
(kebodohan) yang umum dialami manusia. Para nabi hadir untuk menuntun manusia keluar
dari kebodohan semacam ini.
***
Pertama, “atheist“. Mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan. Ini bentuk bodoh yang
pertama. Jangan berfikir bahwa orang-orang ini betul-betul bodoh. Tidak. Justru mereka ini
pandai-pandai. Begitu pandainya, sehingga mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan.
Orang-orang ateis (agnostis) ini punya logika yang kuat, bahwa Tuhan itu tidak ada. Banyak
sekali tokoh besar dunia yang tidak beragama, tidak percaya kepada Tuhan. Tuhan dianggap
sebagai dongeng orang-orang beragama. Tak pernah bisa dibuktikan Dia ada dimana dan
seperti apa.
Mengutip data World Population Review (2021); dari total 7.5 milyar populasi dunia, sekitar
1.1 milyar manusia berada pada kategori bodoh (jahil) ini. Tidak tanggung-tanggung, angka ini
menjadikan kelompok ateis sebagai ‘agama’ ketiga terbesar setelah Kristen (2.3 milyar) dan
Islam (1.9 milyar).
Kedua, “common believers“. Mereka sudah mulai percaya kepada adanya Tuhan. Tapi juga
masih dalam kategori “bodoh”. Karena secara teoritis percaya, namun tidak sampai pada
kemampuan untuk menjangkau-Nya. Ini adalah kelompok umumnya agamawan kita. Artinya,
Tuhan itu diyakini ada. Tapi tidak terkonek, tidak akrab dan tidak pernah menyatu dengan-
Nya. Kita tidak merasakan kehadiran-Nya secara langsung. Juga tidak mampu berkomunikasi
secara efektif dengan-Nya. Seringkali kita melahirkan fatwa-fatwa tanpa berkonsultasi terlebih
dahulu secara langsung dengan Allah SWT. Ini bentuk bodoh (jahil) kedua. Bertuhan. Tapi
masih berjarak, tidak sampai mengenal atau “wushul” (berjumpa/terhubung) dengan-Nya.
Hampir semua kaum beriman berada pada level bodoh ini. Jumlahnya banyak sekali. Kecuali
sedikit, “illa qaliila.” Yaitu para nabi dan wali-walinya.
***
Para nabi hadir untuk memberitahu manusia, bahwa Tuhan itu bukan hanya sekedar ada,
bahkan bisa ditemui. Nabi datang untuk memberantas “mulhid” (ateisme) sekaligus “musyrik”
(beriman, namun penuh imajinasi kepada objek-objek yang dikiranya Tuhan, alias tidak
“wushul” kepada ilah yang asli).
Kalau kita lihat sejarah para nabi, mereka tidak begitu berhadapan dengan ateis. Yang dihadapi
justru orang-orang yang sudah taat beragama. Bahkan dari alim agamanya sendiri.
Nabi Isa as, yang dihadapi adalah kejahilan kaumnya. Khususnya ulama-ulama Yahudi yang
sudah hafal isi Taurat. Tapi, sekalipun disebut ulama (rahib/pendeta), tetap saja “jahil”

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 83


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

(bodoh). Sebab, mereka tidak punya kemampuan berbicara/berkomunikasi (wushul) dengan


Tuhan. Artinya, agama sudah pada level perseptif terhadap isi kitab an sich. Agama sudah
tereduksi pada hasil pengayaan akal, bahkan akal-akalan. Bukan lagi hasil gerak interaksi dan
bimbingan langsung dari Tuhan.
Nabi Muhammad juga begitu. Yang dihadapi juga kaum dan saudaranya sendiri. Sama-sama
berjenggot dan berjubah. Orang-orang yang juga rajin melakukan thawaf di Kakbah setelah
jualan di pasar Mekkah. Artinya, mereka juga masih menganut ajaran Ibrahim atau nabi-nabi
sebelumnya. Mereka juga percaya kepada Allah, malaikat, dan lainnya. Namun disebut
“jahiliah”. Kenapa?
Karena putus kontak dengan Allah. Ketika seseorang putus kontak dengan Tuhannya, ia akan
beragama menurut persepsinya. Orang yang putus kontak dengan Allah akan hidup menurut
interpretasi terhadap doktrin-doktrin. Dengan demikian, level beragama jatuh ke tingkat akal,
bukan lagi “ilham/wahyu”.
Maka, agama selalu di upgrade oleh Tuhan. Harus selalu ada sosok pembaharu, yang bertugas
mempurifikasi agama dan jiwa manusia. Dengan demikian, orang ini adalah
seorang khalifah dengan kemampuan menerima pesan-pesan dari Allah. Allah tidak mau
semua orang sibuk dengan buku/kitab, lalu melupakan Tuhan. Ia memerlukan seseorang yang
selalu dapat diajak berbicara. Yang dicari Tuhan adalah orang “cerdas”. Orang yang dapat
diajak berdiskusi dengan-Nya. Sehingga, ia menjadi pesuruh-Nya. Geraknya maksum, karena
senantiasa diarahkan Tuhan. Orang inilah “kitab” yang asli, “Quran” yang sebenarnya. Karena
isi dalamnya adalah gerak dari firman Ilahi (logos/sunnah). Tuhan yang bertajalli.
Begitu langkanya orang-orang seperti ini. Sehingga dipercaya sudah tidak ada lagi. Karena
langkanya, kehadirannya pun bisa ditolak. Kalaupun ada, dengan berbagai bukti yang dibawa
dari Tuhannya, orang- orang ini akan dianggap sebagai tukang sihir. Semua nabi ditolak
kehadirannya. Muhammad, Isa, Musa dan sebagainya itu; mengaku diri sebagai “utusan
Tuhan”. Mengaku semalam telah berbicara dengan Tuhan. Mengaku tadi pagi ketemu
malaikat. Mengaku barusan mendapat pesan dari langit. Entah apa-apa pengakuannya. Kalau
di dengar, mirip orang gila yang sedang berbicara. Karena yang dibicarakan adalah sesuatu
yang dipercaya tidak mungkin terjadi. Sebab, menurut orang-orang jahil ini, mana mungkin
berbicara dengan Tuhan. Mana mungkin bisa berjumpa malaikat Tuhan.
Kalau hari ini ada seorang Wali Tuhan berbicara hal yang sama, pasti juga akan di bully.
Dianggap gila. Sebab, banyak orang gila juga bicaranya begitu. Makanya, pengalaman spiritual
tidak begitu layak dibicarakan di depan publik. Sebab, yang dihadapi orang-orang awam (jahil).
Mereka telah menjadikan Tuhan sebagai legenda. Ada, tapi tidak pernah bisa diajak berbicara.
Padahal, dalam ilmu tasawuf dikenal berbagai terminologi “interaksi langsung” dengan wujud-
wujud ruhaniah (termasuk Allah dan Rasulullah) seperti “muraqabah” (kehadiran), “yaqazah”

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 84


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

(keterjagaan) dan lain sebagainya. Ini semua perangkat teknologi spiritual yang telah
dibuktikan efektifitasnya oleh para nabi. Yang mewarisi skill dan pengalaman ruhaniah ini,
itulah “waris nabi”.
Mereka yang mewarisi kedalaman spiritual ini disebut sebagai orang-orang yang telah
mencapai “makrifat” (enlightened, dalam Hindu/Budha disebut moksha), terbebas dari jahiliah.
Sehingga geraknya selalu dibimbing Allah. Karena sinyal-sinyal ketuhanan telah
bersemayam (hudhur) dalam qalbunya. Tujuan nabi dihadirkan ke muka bumi, hakikatnya
untuk mengajarkan makrifat, membebaskan manusia dari aneka bentuk jahiliah. Baik dari
ateisme, maupun dari keyakinan buta dalam beragama.
Maksud “buta” adalah, kita percaya Tuhan itu ada. Namun kita tidak mampu “mendengar”-
Nya berbicara (tuli), tidak mampu “berbicara” dengan-Nya (bisu), dan tidak mampu “melihat”-
Nya (buta). Summun bukmun ‘umyun fahum la yarjiun (QS. Al-Baqarah: 18). Sehingga, kita
selalu bergerak menurut tafsir dan persepsi. Bukan menurut kemauan langsung Tuhan.
Memang harus disadari, kita ini memang jahiliah (dari ini lahir sifat-sifat jahe lainnya: musyrik,
kufur, angkuh, tamak, korup, dsb). Perlu usaha untuk mencapai makam makrifatullah, agar
ruhani menjadi cerdas. Sehingga mampu mengenal dan menyerap akhlak Allah.
Betapa banyak kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak beragama. Pun tidak sedikit
kejahatan dipraktikkan oleh kita kaum agamawan. Karena keduanya masih jahil. Otaknya
cerdas. Paham agama. Tapi jiwanya belum tersucikan, sehingga gerak perilakunya tidak
teriluminasi oleh kehadiran Tuhan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 42 | Juni 2022


MUNAJAT SUFI, YANG MENGGUNCANG PANGGUNG MTQ
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Perhelatan akbar MTQ Aceh ke-35 yang berlangsung pada 18-24 Juni 2022 di Bener Meriah
telah usai. Acara berlangsung sukses. Dari berbagai agenda acara, menurut tamu dan
pengunjung, yang paling mengguncang adalah dua puisi sufi, yang dipresentasikan saat
pembukaan dan penutupan MTQ.
Seperti biasa, ritual pembukaan dan penutupan MTQ di Aceh diawali dengan penekanan
tombol sirine oleh pejabat tinggi provinsi bersama unsur Forkopimda kabupaten. Dilanjutkan
dengan gemuruh petir, kilat dan badai. Beberapa saat kemudian terdengar suara turunnya
“wahyu”. Untuk malam pembukaan dibaca Surah Al-‘Alaq 1-5 beserta terjemahan arti.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 85


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sedangkan dimalam penutupan, dikumandangkan Surah Al-Maidah 5 beserta terjemahnya.


Barulah kemudian, dilanjutkan dengan “musikalisasi puisi sufi”.
Pada saat pembukaan, kami mengangkat “The Fire of Quran”. Sebuah puisi yang kami karang
secara khusus untuk MTQ Aceh ke-35 yang berlangsung di Bener Meriah. Puisi ini mengambil
setting tentang “Api Quran” yang dinyalakan dari ketinggian tanah Aceh. Harapannya,
percikannya akan membakar jiwa-jiwa para pecinta Quran untuk memakrifati setiap pesan
Tuhan. Kebetulan, tanah Gayo khususnya Bener Meriah cuacanya sangat dingin. Ini mendasari
lahirnya puisi tersebut, beserta simulasi pembakaran 7 tungku api disaat puisi ini dibaca.
Saat membacakan puisi tersebut, kami didampingi oleh dua sahabat lainnya. Pertama, Tgk.
Mardhatillah (Dewan Hakim MTQ dan senior manajemen LPTQ Aceh) yang membaca dua
ayat tentang Musa yang mencari “Api”. Satu lagi ibu Widya Astuti (ASN di Bener Meriah,
juara 2 lomba Saritilawah MTQ Korpri Nasional tahun 2018 di Jakarta) yang membaca arti
dari Surah Thaha 9-10 tersebut. Live pembacaan puisi sufistik “The Fire of Quran” dapat
dilihat pada video dibawah.
Belum pernah sebelumnya ada event kegiatan di Bener Meriah yang menyebabkan macet total
selama 5 jam, dan diperkirakan dihadiri tidak kurang dari 50.000 pengunjung. Bahkan kegiatan
pacuan kuda yang sering menyedot banyak pengunjung dari berbagai kabupaten kota di Aceh,
jumlah pengunjungnya mungkin hanya seperlima dari yang hadir pada MTQ ini. Masyarakat
Gayo dari segala usia, setiap hari, tumpah ruah ke Lapangan Sengeda, pusat pelaksanaan MTQ.
***
Pada malam penutupan, kami kembali membawakan “Munajat Qurani”. Sebuah puisi yang
sebenarnya pernah ditampilkan pada penutupan MTQ Aceh ke-34 di Pidie pada 2019. Namun
kali ini kami bawa dengan suara yang lebih kuat dan gaya yang lebih menggugah. Puisi ini
juga kami tulis sendiri. Isinya lebih kepada bentuk penyadaran bahwa perlombaan bukanlah
tujuan ber-MTQ. Ada hakikat-hakikat lebih tinggi yang harus dicapai dibalik kemegahan itu
semua. Pembacaan lengkap munajat yang membuat merinding seluruh masyarakat dan
undangan yang hadir pada malam 24 Juni 2022 itu dapat dilihat pada video dibawah ini.
Munajat sufistik ini dibacakan selama 7 menit dihadapan tidak kurang dari 100.000 penonton
yang hadir dari berbagai kabupaten kota. Angka ini dua kali lipat dari jumlah yang hadir pada
malam pembukaan. Belum lagi yang mengikuti prosesi malam penutupan MTQ via live
streaming (disiarkan oleh Diskominfo Provinsi, Diskominfo Bener Meriah, dan Guntomara)
yang totalnya mencapai 40.000 orang. Kehadiran Faul Lida, artis nasional asal Bener Meriah
yang membawakan sejumlah shalawat dan lagu religi di akhir acara, ikut memberi sentuhan
berbeda pada MTQ Aceh kali ini.
***

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 86


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Suksesnya opening dan closing MTQ Aceh ke-35 ini tidak terlepas dari kerja keras Pemerintah
Kabupaten Bener Meriah selaku panitia (khususnya Bupati, Wakil Bupati, Sekda dan Dinas
Syariat Islam sebagai leading sector; dibantu dinas teknis dan instansi lainnya seperti
Perhubungan, Satpol PP, Kepolisian, Pramuka, Paskibraka, siswa siswi Bener Meriah, tim tari
dan juga mahasiswa KKN USK); yang bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi, LPTQ Aceh
dan event organizer (EO).
Cemara Creation sebagai EO menggandeng GUNTOMARA “Islamic Art and Architecture”
(lembaga yang telah banyak terlibat dalam disain arsitektur masjid-masjid di Aceh) untuk ikut
mendesain arena utama dan mimbar pendukung lainnya. Termasuk mensupport setting
seremonial bersama tim Humas Pemkab Bener Meriah.
Said Husain (CEO GUNTOMARA) merupakan salah satu sosok dibalik suksesnya MTQ ini,
yang di dukung oleh tim arsiteknya seperti Luthfi Ghassan (Design Manager), Ali Ridha
(Event Manager) dan staf GUNTOMARA lainnya. Sementara sejumlah tenaga ahli lokal tanah
Gayo telah memberi sentuhan dan pengawalan yang kuat terhadap kelangsungan MTQ.
Diantaranya Muhammad Ferah Yosantia (project manager), Rizqi Mardhatillah (site
supervisor), Kartika Singah Bengi (stage controller), Ridha Safwandi (project supervisor), Eko
dan Teguh (foremen) dan lainnya. Tim pendukung juga berasal dari Fams Production, Anoma
Film, Menara, Pamor dan vendor lokal lainnya.
Said Husain dan tim GUNTOMARA, sebelumnya pada 2019 juga pernah sukses mendukung
Pemerintah Kabupaten Pidie dalam penyelenggaraan MTQ ke-34. Termasuk pembangunan
gedung megah Pidie Convention Center (PCC) yang desain interior dan eksteriornya
dipercayakan kepada tim arsiteknya. Kali ini, hanya efektif dalam masa kerja dua bulan,
seluruh tim Cemara Creation dan GUNTOMARA sukses memberi dukungan terhadap disain
kegiatan MTQ.
MTQ Aceh ke-36 akan dilaksanakan di Simeulu pada 2023 mendatang. Semoga mendulang
sukses yang sama, dan mungkin dalam bentuk berbeda. Kerjasama pemerintah dan masyarakat
adalah kunci keberhasilan. Gema kompetisi seni Alquran terus menjadi daya tarik bagi
masyarakat. Lebih dari itu, kita berharap agar Alquran akan menjadi jiwa bagi kita semua.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 43 | Juni 2022


JEJAK RASULULLAH DI TANAH GAYO
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 87


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Tulisan ini terinspirasi setelah menonton video “Bener Meriah Menuju Generasi Qurani”.
Diproduksi oleh Diskominfo Bener Meriah, video bagus berdurasi delapan menit ini tayang
diawal pembukaan MTQ Aceh ke-35 di Lapangan Sengeda, Gayo (Sabtu, 18 Juni 2022). Juga
terinspirasi dari sahabat kami Tgk. Jamhuri Ramli, salah satu Dewan Hakim Tahfidz
(pimpinan Zawiyah Nurunnabi Banda Aceh), yang saat MTQ juga sempat berziarah ke sebuah
kompleks makam bersejarah di samping Masjid Quba Bebesen, Takengon. Dan ini membuat
kami tertarik untuk menulis lebih jauh.
***
Sudah menjadi tradisi baru dalam MTQ provinsi, sejak di Pidie pada 2019 (atas usulan
GUNTOMARA yang dipercaya sebagai EO saat itu); setiap tuan rumah diharapkan dapat
menyiapkan sebuah video singkat untuk memperkenalkan spiritualitas daerah. Khususnya
tentang sejarah masuknya Islam ke wilayah tersebut, pusat spiritualitas, situs sejarah, benda
pusaka, bangunan kuno, tradisi beragama, destinasi wisata, seni budaya, kuliner khas dan
lainnya. Semua diramu menjadi sebuah dokumenter yang bersifat spiritualis dan promotif.
Namun, untuk mampu menghadirkan video tersebut, anda harus terlebih dahulu melakukan
riset. Agar video berbasis data dan fakta. Nah, disinilah terkadang film tidak tergarap
sempurna. Sebab, singkatnya waktu menyebabkan data historis tentang daerah tidak terekam
secara utuh.
Berbeda dengan daerah pesisir Aceh yang kaya situs sejarah dan manuskrip, konon ada daerah
di Aceh, yang merasa tidak memiliki data histori yang memadai tentang asal usul
keislamannya. Hal ini mungkin turut dialami Bener Meriah. Sehingga, video sejarah Islamnya
tidak memiliki setting masa lalu yang kuat. Melainkan lebih tentang kondisi pengajian anak-
anak (khususnya keberadaan pesantren hari ini). Videonya mengedepankan judul “menuju
generasi Qurani”. Seolah-olah, tradisi keislamannya di Bener Meriah masih baru dan mereka
ingin lebih maju lagi. Padahal, menurut kami, Bener Meriah punya rekam spiritualitas masa
lalu yang luar biasa.
Habib Syarif dan Habib Muhammad Jalung, Jejak (Cucu) Rasulullah di Tanah Gayo
Bagaimana sejarah masuknya Islam ke Tanah Gayo/Bener Meriah? Sudah berapa lama Islam
berada di sana? Siapa pembawa Islamnya? Dimana situs sejarah mereka?
Sekali lagi; menjawab ini butuh bacaan serta seminar demi seminar. Konon lagi untuk
memvideokannya, anda harus keliling melacak jejak situsnya. Tentu butuh waktu. Kecuali
semua sudah ada datanya. Untuk Gayo secara umum, mungkin anda bisa menyebut sejarah
Linge dan sebagainya. Anda bisa mengklaim seberapa tua Islam disana. Bebas saja. Tapi, ketika
harus menunjukkan siapa pembawa Islamnya, dimana makamnya; lagi-lagi, kita kesusahan
dalam hal ini. Sebab, tanpa bukti-bukti fisik, sejarah hanya menjadi “olah cerita”. Bisa lari ke
dongeng.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 88


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ulasan spiritualitas sebuah daerah, biasanya akan atraktif, manakala punya kaitan dengan
Rasulullah. Silsilah Raja Aceh sekalipun, itu sering ditarik ke atas sampai nasabnya bertemu
Rasulullah. Padahal, Iskandar Muda misalnya, tidak begitu kita ketahui ujung nasabnya ke
dinasti dunia bagian mana. Tapi ada pertalian perkawinan dari anak perempuan dan
sebagainya, yang nasab mereka berujung ke Rasulullah. Itulah namanya bangunan spiritualitas.
Harus ada hubungan dengan Rasulullah sebagai punca keislaman kita. Apalagi jika memiliki
benda-benda peninggalan Beliau. Kira-kira begitu.
Bener Meriah, sekilas dalam amatan kami, punya cukup cerita dan bahkan data fisik tentang
ini. Setidaknya, dalam babak sejarah 1800an. Diriwayatkan, seorang Habib turunan Rasulullah
telah datang berdakwah ke Tanah Gayo. Nama lengkapnya perlu ditelusuri kembali, laqabnya
“Habib Syarif”. Beliau punya anak bernama Habib Muhammad Jalung, juga seorang ulama,
yang makamnya terletak di desa Jalung (Jak Lung) Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener
Meriah.
Sebuah webinar telah dilakukan untuk menguak ini: “Penguatan Islam di Jalung dan
Hubungannya dengan Habib Syarif –Habib Jalung” (Sabtu, 23/4/2022). Turut menjadi
pembicara orang yang dipercaya sebagai turunan Habib Syarif, Kadis Pariwisata Bener Meriah
dan peneliti Masjid Quba Bebesen. Webinar diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kebudayaan
Gayo.
Disebutkan. Saat datang ke Gayo, Habib Syarif ditemani oleh istri dan dua anaknya: Habib
Muhammad dan Habib Yusuf. Katanya, Habib Syarif langsung datang dari Makkah, bukan
Yaman. Apakah beliau ini dari jalur Hasani yang umumnya berpusat di Mekkah? Biasanya,
kaum Alawiyin yang datang ke Indonesia didominasi oleh jalur Husaini yang berdomisili di
Hadramaut. Perlu penelusuran kembali terkait asal dan marga nasabnya.
Dari Mekkah, Habib Syarif disebutkan mendarat/bermukim di Ie Leubeu, Pidie. Tidak
diketahui berapa lama beliau di sana. Apakah kedua anaknya itu lahir di Pidie ataupun dibawa
dari Arab, juga menjadi pertanyaan tersendiri. Lalu mereka melakukan perjalanan ke Ulim,
Paya Tui, Pidie Jaya. Selanjutnya ke Peudada. Dari sana Beliau dan rombongan naik ke Pantan
Lah. Lalu bergerak ke Jalung, dulu bernama “Kala Ali-Ali” (Kec. Pintu Rime Gayo, Bener
Meriah). Disinilah salah satu anaknya yang bernama Habib Muhammad mungkin ditinggal
menetap, mengolah lahan, sekaligus berdakwah; sampai wafat pada 1887.
Sementara Habib Syarif berdakwah lebih lanjut ke kedataran yang lebih tinggi, Aceh Tengah.
Ia sampai ke Serempah, Ketol. Disana ia tinggal lama, sambil bertani dan membangun sebuah
masjid sebagai pusat dakwah. Banyak murid datang dari Bebesen, Tunyang dan lainnya untuk
belajar. Lalu oleh muridnya, ia diundang pindah ke Kampung Bebesen, di pusat Kota
Takengon. Awalnya Beliau tinggal di Pejebe, sebelum pindah ke Bebesen. Di Bebesen ia
kembali membangun sebuah masjid. Tapi bangunan lama telah dibakar PKI. Belakangan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 89


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dibangun kembali dan diberi nama “Masjid Quba”. Ada beberapa situs sejarah lain di lokasi itu
yang dikaitkan dengan kehadiran Beliau. Termasuk “Telege Monyeng” (telaga moyang).
Sebuah sumur yang Beliau gali untuk keberkahan bagi warga.
Kompleks makam di sisi qiblat Masjid Quba Bebesen, Takengon, Aceh Tengah
Habib Syarif wafat di Bebesen pada 1850. Makamnya terletak di sisi qiblat kompleks Masjid
Quba Bebesen. Dua hari setelah selesai MTQ kami berziarah kesana. Sayangnya, kompleks
makam ulama besar ini seperti tidak terawat. Pintu pagarnya sudah jatuh. Makamnya
berumput. Kontur tanahnya ada yang dalam, tidak tertimbun. Padahal kondisi pekarangan
masjid lainnya sangat bagus. Sulit diketahui secara pasti ada berapa jumlah makam di
dalamnya. Karena nisan dan makamnya banyak yang sudah rata dengan tanah. Kami
perkirakan ada sekitar 17an makam di dalamnya. Di arah ujung makam, ada dua kuburan
dengan nisan lebih besar. Kami perkirakan, itulah makam Beliau dan mungkin dengan istrinya.
Selebihnya mungkin anak-anak, atau anggota keluarga dan muridnya.
Komplek Makam di Masjid Quba Bebesen, Takengon, Aceh Tengah
Saat berada di masjid ini, kami coba bertanya kepada beberapa masyarakat lokal yang
kebetulan melintas disitu. Pertama kami tanyakan kepada sekelompok anak-anak yang sedang
bermain dalam pekarangan masjid, makam siapa itu. Mereka menjawab tidak tau. Lalu kami
tanyakan kepada seorang gadis usia kuliahan yang juga mengaku penduduk setempat serta
rumahnya dekat dengan masjid. Dia juga menjawab tidak tau. Kelihatannya masyarakat kita
tidak begitu aware lagi dengan sejarah. Atau kemungkinan hari itu kami tidak menemukan
orang setempat yang memang mengetahui keberadaan makam itu. Kebetulan waktu kami juga
sangat singkat, harus segera kembali ke Banda Aceh. Jadi tidak sempat bertanya lebih jauh.
***
Dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, kami mencoba melacak keberadaan makam Habib
Muhammad di Jalung. Dari arah Takengon, setelah jembatan menjelang pasar Blang Rakal,
kami berbelok ke kiri. Ada signboard tertulis “Jln. Jalung”. Letaknya tepat di Km.45, Blang
Rakal, Kec. Pintu Rime Gayo, Bener Meriah.

Jalan masuk ke Desa Jalung, Km. 45 Blang Rakal, Kec. Pintu Rime Gayo, Bener Meriah
Lumayan jauh turun ke dalam. Karena sudah jam 5 sore, akhirnya kami berhenti disebuah
warung di dusun bernama Jalung. Tujuannya ingin tau dimana lokasi makamnya. Dari
informasi Ansari (panggilan Aan), makamnya masih agak ke dalam, turun ke bawah lembah.
Katanya, tidak mungkin sore hari berziarah ke sana. Kalau ziarah lebih bagus pagi. Sebab, itu
wilayah lintasan gajah. Kami gagal kesana!
Menurut Ansari, lokasi makam Habib Muhammad adalah desa lama yang sudah tidak
berpenghuni lagi. Disana memang banyak persawahan. Dulu ada 100 KK yang menetap. Sejak

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 90


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

konflik Aceh, daerah Jalung lama tersebut mulai ditinggalkan. Tujuh tahun terakhir sudah
dikosongkan oleh penduduknya, karena gajah sering mengamuk disana.
Bersama Ansari (Aan) di Dusun Jalung, Pintu Rime, Bener Meriah
Kata bang Aan, Makam Beliau mulai banyak diziarahi. Selain masyarakat setempat yang masih
rutin berziarah kesana, keturunan Beliau yang hari ini menyebar di Takengon, Banda Aceh,
Bireuen, Langsa, Medan dan Jakarta; juga masih melakukan ziarah kesini. Lebaran Idul Fitri
2022 kemarin, katanya, ada 15 mobil yang datang berkunjung. Memang jalan ke makam
tersebut rusak. Tidak bisa dilewati semua mobil. Kondisi makam katanya juga hancur, karena
sudah lama ditinggalkan penduduk dan menjadi daerah lintasan gajah. Namun, beberapa
pejabat setempat mulai datang berkunjung kesana dan berencana memugar kembali situs
spiritual bersejarah di Bener Meriah ini. Sebab, Habib ini merupakan sosok ulama yang sanad
biologis dan ruhaniahnya bersambung ke Rasulullah. Dapat dikatakan, salah satu “jejak
Rasulullah” yang ada di Tanah Gayo.
Masjid Dusun Jalung, Pintu Rime, Bener Meriah
Keberadaan kompleks makam Habib Muhammad Jalung waktu itu juga ditemukan kembali
oleh Bapak Edi Irwansyah, Camat Pintu Rime Gayo. Saat itu, ia masuk kesana untuk
menangani keberadaan gajah. Ia terkejut, kenapa ada banyak kuburan disitu. Masyarakat
menginformasikan bahwa yang diatas buntul/bukit merupakan makam ulama. Kemudian
diketahui bernama Habib Muhammad Jalung. Kuburan lain yang di bawahnya adalah murid-
muridnya.
Menurut info, tidak ada lagi anak turunannya yang tinggal disana. Kami belum sempat
bertemu dengan anak turunan yang mengaku keturunan Habib Muhammad Jalung. Mungkin
suatu waktu dapat berdiskusi dengan Lembaga Nasab dan Sejarah “Asyraf” terkait keberadaan
para habaib yang berdakwah di Gayo. Termasuk menelusuri keberadaan family tree ulama ini.
Habib Muhammad Jalung disebutkan meninggalkan 8 orang anak. Tertua bernama Syarifah
Nurullah (pendiri Joyah, mungkin diambil dari kata Arab “zawiyah”/dayah; tempat pengajian
ibu-ibu di Bebesen, beliau dimakamkan di Bur Ucak/Burni Kercing). Anak lainnya bernama
Habib Murasyaf, Habib Harbi, Habib Krueng, Habib Ahmad, Habib Husain, Sy. Ubit dan Sy.
Hadijah (yang kawin dengan Habib Abdillah Al-Habsyi pendiri masjid tua Asir-Asir, Aceh
Tengah).
Menurut kami, Bener Meriah, ditengah cita-cita menuju “generasi Qurani”; juga menyimpan
cerita tentang keberadaan para ulama yang menjadi “paku bumi” di dataran Gayo. Sejumlah
pesantren hari ini terlihat sangat aktif di wilayah ini. Pun tidak jauh dari Makam Habib
Muhammad Jalung, masih di relung lembah yang sama, di daerah Manderek, juga terdapat
Dayah Sufimuda; yang kini juga ikut memperkuat spiritualitas Bener Meriah dan Tanah Gayo.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 91


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 44 | Juni 2022


BERBICARA DENGAN ALLAH SECARA “LANGSUNG”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Seorang manusia biasa (basyar) mampu berbicara dengan Allah secara langsung melalui elemen
wasilah yang disebut “Wahyu” (atau Ruh). Sebagaimana dijelaskan dalam Asy-Syura 51-52:
َ ِ ‫ﴩ َا ْن َ ِﳫّ َم ُه ا ٰ ّ ُ ِاﻻ َو ْح ًا اَ ْو ِم ْن و َر ۤائِ ِح َ ٍاب َا ْو ُ ْر ِس َﻞ َر ُس ْو ًﻻ فَ ُ ْو‬ ٍ َ َ ‫َو َما َﰷ َن ِل‬
‫( َو َك ٰذ ِ َ َا ْو َح ْنَا ٓ ِال َ ْي َك ُر ْو ً ا ِ ّم ْن اَ ْم ِر َ ۗ َما ُك ْن َت تَدْ ِر ْي‬51) ‫ِ ِ ْذ ِن ٖه َما َشَ ۤا ُء ۗ ِان ٗه َ ِﲇ َح ِك ْ ٌﲓ‬
َ ‫َما الْ ِك ٰ ُب َو َﻻ ْ ِاﻻيْ َم ُان َوٰل ِك ْن َج َعلْ ٰن ُه ن ُْو ًرا ْﳖ ِد ْي ب ِٖه َم ْن شَ ۤا ُء ِم ْن ِع َبا ِد َ َۗوا‬
‫ِنك َﳤَ ْ ِد ْ ٓي ِا ٰﱃ‬
52) ‫ﴏ ٍاط م ْس تَ ِق ْ ٍۙﲓ‬ َ ِ)
(51) “Tidak mungkin bagi seorang manusia untuk diajak berbicara langsung oleh Allah, kecuali
dengan (perantaraan) wahyu, dari belakang tabir, atau dengan mengirim utusan (malaikat) lalu
mewahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Mahatinggi lagi Mahabijaksana. (52) Demikianlah Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad)
Rūh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab
(Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami menjadikannya (Al-Qur’an) cahaya yang
dengannya Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Sesungguhnya engkau benar-benar membimbing (manusia) ke jalan yang lurus” (QS. Asy-
Syura: 51-52).
Wahyu adalah “Ruh” yang merupakan gelombang langsung atau amar Allah. Wahyu adalah
manifestasi langsung dari kalam, gerak dan perintah Allah. Apa yang Allah bicarakan disana,
begitulah Wahyu berbunyi kepada anda. Jadi, Wahyu itu adalah bentuk langsung dan asli dari
apapun yang Allah ucapkan dari “langit” sana. Wahyu adalah “pancaran langsung” diri-Nya.
Maka, siapapun yang menemukan “Ruh” (yang merupakan Logos, wujud dari Wahyu,
gelombang dan frekuensi ketuhanan), maka dia mampu berkomunikasi secara langsung
dengan Allah.
Karena itulah “Jibril” juga disebut Ruh. Karena itu merupakan personifikasi dari Kalam Tuhan,
Allah yang berbicara secara langsung melalui gelombang-gelombang malakut. Gelombang-
gelombang ini merupakan para malaikat, utusan-Nya. Bayangkan; semua pesan yang dikirim
dan masuk ke televisi dan mobilephone anda, itu wujud dari gelombang. Pesan-pesan itu tidak
dikirim lewat makhluk dongeng yang “bersayap”. Makna “bersayap” itu metaforis,
menggambarkan kemampuan ia bergerak dan mengirim pesan. Ia mampu mengirim pesan dari
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 92
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

satu ufuk ke ufuk bumi lain secara sangat cepat. Begitulah sifat dari gelombang
Tuhan/gelombang malakut (Ruh/Jibril).
Bagi spiritualis tingkat tinggi (para nabi dan shalihin), Ruh ini bisa di download melalui
riyadhah khusus. Sehingga dalam diri mereka kemudian hadir/ter-install Ruh ini. Dengan
adanya perangkat ini, mereka kemudian dapat berkomunikasi secara langsung dengan Allah.
Jadi, jangan selalu membayangkan Jibril itu sebagai sosok bersayap yang terbang-terbang
seperti burung, lalu hinggap di rumah anda. Jibril adalah Ruh Suci, Nur-Muhammadi,
Pancaran Pertama Diri-Nya sendiri, Utusan-Nya, Kalam-Nya, Nur Muhammadi; yang “turun”
dan menetap dalam diri para nabi dan shalihin. Saat seseorang berdialog dengan Jibril,
sebenarnya mereka sedang berdialog dengan Ruh yang telah hadir dalam dirinya sendiri. Itulah
makna “Allah lebih dekat dari urat leher”. Allah dan para malaikat-Nya hadir dalam
keseluruhan dirimu. Kecuali dalam kasus tertentu, Ruh/Jibril ini hadir dalam wujud orang lain
kehadapan anda.
Jadi, Allah itu memang beda dengan kita. Beda alam, beda semuanya. Laitsa kamislihi syai-un.
Sehingga, mengatakan bisa berjumpa dan berbicara dengannya secara langsung mungkin akan
rancu, bahkan dianggap gila. Walau kenyataannya, banyak orang biasa/basyar (nabi) yang
mampu melakukannya.
Tapi ya begitulah. Allah sendiri dalam Quran mengatakan ada nabi yang berbicara langsung
dengan Allah. Di ayat lain, Allah menegaskan bahwa sebenarnya bukan langsung, melainkan
melalui “tirai”. Sebenarnya sama saja. Semua itu sifatnya “langsung.” Begitu anda
menemukan Ruh ini, anda akan terhubung langsung dengan Allah dalam cara-cara tertentu.
Ini persis sama dengan seseorang yang telah menemukan sinar/pancaran aktif gelombang hp,
sehingga mampu berkomunikasi secara “langsung” dengan siapapun yang berada dibelahan
dunia lain.
Inilah yang disebut berbicara dari “belakang tirai/tabir”. Ngomong dari belakang hp, alias tidak
berhadapan secara langsung dalam arti fisikal. Karena Allah memang immateri murni. Tapi
juga tidak bisa dibantah, dengan perantaraan sinyal dan pancaran wajah di layar hp,
sebenarnya anda juga sedang berbicara secara “langsung” dengan-Nya. Karena sifatnya live dan
interaktif. Kalau anda berdialog saat sinyal lagi kuat, Allah pasti jawab: “astajiblakum”. Dia
Maha Mendengar dan Maha Berkata-Kata. Agama dengan berbagai ritual khusus (khawash),
adalah upaya memperbaiki sinyal komunikasi ini.
Jadi, disatu sisi ada ayat yang menyebut bahwa ada nabi yang berbicara secara
langsung: “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara
mereka ada yang (langsung) Allah berbicara dengannya..” (QS. Al-Baqarah: 253). Di ayat
lain: “.. dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung” (QS. An-Nisa: 164). Namun
ada ayat lain yang mengklarifikasi, bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat berbicara

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 93


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

secara langsung dengan Allah, melainkan dengan perantaraan Wahyu/Ruh (QS. Asy-Syura: 51-
52). Sama saja itu: semuanya langsung, tapi dengan perantaraan teknologi (wasilah) Ruh!
Teknologi inilah yang dikejar para sufi. Teknologi yang dapat membuat seseorang akrab, dekat
dan mampu berkomunikasi secara “langsung” dengan Allah. Karena, para nabi adalah
“basyar”, manusia biasa seperti kita. Karena telah melatih Ruhani secara benar melalui guru-
guru tertentu, maka memungkinkan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan Allah (via
Ruh). Kita semua juga basyar. Kalau kita mampu mentauladani metode (sunnah/tariqah) yang
sama yang pernah ditempuh para nabi, maka kita juga akan mampu mereplika pengalaman
spiritual mereka.
Diluar kelompok sufi, hal semacam ini dianggap non-sense. Kisah orang mampu berbicara
dengan Allah “secara langsung” hanya sebatas cerita masa lalu. Alquran mirip-mirip sudah jadi
legenda, dongeng. Sementara dalam kitab-kitab sufistik disebutkan, hal ini masih dapat terus
terjadi. Para sufi ingin membuktikan kebenaran Alquran dengan kembali melakukan berbagai
riset dan eksperimentasi tazkiyatun nafs. Sehingga hal ini dapat dialami kembali. Dengan
demikian Islam menjadi sebuah ajaran universal, pengalaman spiritual para nabi masih berlaku
dan dapat dialami sepanjang zaman.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 45 | Juli 2022


ISLAM ZAHIR DAN BATIN
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Segala sesuatu memiliki dua dimensi: (1) jasad/bentuk dan (2) batin/Ruh. Kalau “bentuk”, itu
sifatnya mati (duniawi/baharu). Sedangkan “Ruh” sifatnya hidup (ukhrawi/baqa). Bentuk akan
hidup ketika terisi oleh Ruh. Namun keduanya adalah citra dari kesempurnaan Tuhan. Saling
melengkapi.
Alam semesta adalah “bentuk”-Nya. Lukisan atau goresan-Nya. Bentuk yang lahir dari-Nya.
Semua berasal dari-Nya. Tidak ada yang tidak berasal dari-Nya. Kalau bukan dari-Nya, lalu
dari mana datangnya? Hanya saja, alam semesta ini berada dalam bentuk lahiriah (mati). Tapi
ada Ruh yang membuatnya terus hidup dan berkembang. Alam semesta punya dimensi zahir
(bentuk/jasad) sekaligus batin (Ruh). Alam semesta bukan Tuhan. Tapi Ruh yang tersembunyi,
yang membuatnya hidup, yang meliputi, mencakup dan melekat bersamanya; adalah Tuhan itu
sendiri. Kalau ada yang menganggap alam ini sakral, semata-mata karena ada Ruh yang
menyertainya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 94


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Manusia juga begitu. “Bentuk/jasad”-nya bukanlah Tuhan. Karena sifatnya mati. Itu adalah
“diri”. Namun Ruh Tuhan yang mengisi bentuk, apakah itu bukan “Diri”-Nya sendiri?
Memang cahaya yang lahir dari matahari bukanlah matahari. Begitu juga bentuk lahiriah kita,
bukanlah Tuhan. Tapi bukankah cahaya matahari tidak terpisah dengan matahari? Bukankah
bentuk juga emanasi dari sang Wujud? Sebab, Tuhanlah yang memberi sekaligus
menggerakkan bentuk. Segala bentuk berasal dari-Nya. Segala sesuatu merupakan cahaya,
replika, limpahan, tajalli-Nya. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Semua berasal dari ilmu-
Nya. Semua terlahir (menzahir) dari-Nya.
Al-Quran juga begitu. Yang tertulis di layar android, kertas, kulit, tulang dan kayu; adalah
“bentuk”-Nya yang mati. Yang hidup adalah Ruh-Nya, batin Dia yang bersemayam di dalam
ayat-ayat itu. Ayat (baik kitabi, afaqi maupun nafsani) adalah “tanda”, atau bentuk mati dari
yang Maha Hidup. Kalau sebuah ayat memiliki Ruh, barulah menjadi mukjizat. Tanpa Ruh,
ayat akan kehilangan mukjizat. Yang ditakuti iblis/setan bukan tulisan atau bacaan ayat,
melainkan Ruh yang mampu anda hadirkan bersamanya. Yang membangun peradaban juga
bukan jenis Alquran (teks) mati. Tapi “Kitab yang hidup”, Ruh yang hadir pada para pembawa
ayatnya. Ahli kitab; itu menenteng kitab, hafalan dan tafsirnya kemana-mana. Tapi yang
membuat perubahan tetap para Ruhullah (nabi/rasul), yang bahkan tak mengenal teks suci.
Syariat juga begitu, semuanya “bentuk” mati dari agama. Cara baca, kaidah huruf, model
gerak, dan sebagainya; mati semua itu. Kecuali ada Ruh yang menyertainya. Ruh itulah yang
menghidupkan segala ibadah, sekaligus menyambungkan kita dengan Allah. Tanpa Ruh,
ibadah kita akan mati, terkubur dan terkatung-katung di bumi. Pada dasarnya semua kita mati.
Kecuali mereka yang telah mampu menghidupkan Qalbu. Sehingga jiwanya menjadi hidup dan
benar-benar terjadi dialog secara “langsung” dengan-Nya.
***
Benar. Tuhan dikatakan tidak berbentuk, dalam artian Ruh/Batin-Nya. Tapi Ruh itu mengisi
bentuk-bentuk. Sehingga yang batin memiliki berbagai wujud lahir. Bahkan wujud lahir itupun
berasal dari-Nya. Sehingga, bagi kaum Arif, segala sesuatu terlihat sebagai penampakan-Nya.
Ada jejaknya dimana-mana. “Kemanapun engkau menghadap, ada Dia”. Alam semesta dan
manusia adalah wujud dari Asma dan kekuasaan-Nya. Dari bentuk itulah kita dapat
mengenalnya. Apalagi ketika bentuk-bentuk ini (khususnya pada diri para nabi dan wali-
waliNya) terisi vibrasi aktif Ruh-Nya, sehingga menjadi wasilah yang dapat membawa kita
secepat kilat kepada-Nya. Begitu terangnya keberadaan Allah, maka mustahil kita tidak
menjumpai-Nya. Apalagi ketika lokus cahaya dan keberadaan-Nya menzahir nyata pada para
Kekasih-Nya. Seperti kata Sayyidina Ali, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku
lihat”. Itulah makrifat, mampu menyaksikan-Nya secara lahir dan batin.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 95


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Agama mengatakan, “Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal
Tuhannya”. Diawali dari menemukan wujud atau “bentuk-bentuk mati” (ingat kisah Ibrahim
menemukan bintang, matahari, bulan). Selanjutnya akan membawa kita kepada yang Maha
Hidup. Ini berlaku bagi para pembelajar atau penempuh jalan (salik). Ada makam (stages)
yang akan dicapai; dari bentuk-bentuk mati sebuah keadaan, kepada bentuk-bentuk lain yang
Hidup. Dari menemukan wajah-wajah manusia biasa (nabi/wali) yang sifatnya baharu; sampai
kepada menyaksikan Dzat yang kekal dibalik itu.
Maka dalam tradisi sufi dikatakan, “Allah itu Batinnya, Muhammad itu Zahirnya”. Muhammad
itu bukan Tuhan. Tapi ada Tuhan bersamanya. Bahkan semua omongannya adalah omongan
Tuhan. Setiap geraknya pun bernilai ketuhanan (suci). Karena dia telah dipinjam sebagai
‘bentuk’-Nya, maka Allah pun tak segan-segan bersholawat kepadanya. Bahkan Tuhan pun
meminjamkan Nama kepadanya: “Ana Ahmad bi la mim” (Aku Ahmad tanpa huruf mim,
“Ahad“). Kedua nama itu, Allah dan Muhammad juga disanding dimana-mana. Bukan
bermakna kita ikut menyetarakan antara keduanya. Tapi itulah hubungan wujud dengan
bayangan. Bayangan bukanlah Wujud. Tetapi si bayang akan bergerak sesuai gerak
Sang Wujud.
Kita tentu tidak menyembah Muhammad SAW. Kita tidak menyembah wujud-wujud mati
(zahir/baharu) dari itu semua. Sebagaimana malaikat, tidak sujud kepada “bentuk” dari Adam,
karena itu berhala. Bisa syirik. Kita hanya sujud kepada sesuatu yang Hidup dibalik itu, kepada
Tuhan/Ruh yang dibawanya. Ini sama dengan simbolisasi Kakbah dalam ritual ibadah kita.
Kita tidak rukuk dan sujud kepada “patung” Kakbah yang tidak memberi manfaat itu. Saat
thawaf, kita tidak sedang berkeliling dan mencium dinding batunya. Melainkan al-Ruh yang
ada dibaliknya. Makanya diriwayatkan, Kakbah petak itu pun punya batin/wujud hidup
tersendiri, yang disebut Baitul Makmur. Tempat dimana malaikat dan dimensi ketuhanan
berada.
Beragama harus lahir, sekaligus batin. Harus bersyariat, sekaligus berhakikat. Harus memiliki
bentuk, sekaligus terhubung dengan Ruh. Kalau hanya memiliki bentuknya saja, agama akan
menjadi berhala, kehilangan dimensi yang hidup (mukjizat). Kita semua pada hakikatnya
adalah makhluk spiritual, yang mengendarai fisik. Esensinya dari semuanya adalah Tuhan
(divine spiritual/Ruh), yang hadir pada berbagai wadah (bentuk-bentuk ciptaan). Ruh yang
menempati bentuk. Tanpa itu, semua menjadi berhala.
Islam yang kaffah (sempurna/berpower) adalah Islam zahir sekaligus batin. Islam terdiri dari
bentuk-bentuk duniawi yang bernilai profane, tapi sacred (berisi Ruh). Beragama pada
dasarnya adalah usaha menemukan kesakralan pada segala yang profane. Menemukan yang
Maha Gaib pada sosok-sosok yang nyata. Menemukan Allah pada manusia-manusia utusan-
Nya, dan pada ulil amri penerusnya. Beragama adalah ikhtiar menemukan Allah di bumi,

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 96


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sebagai jalan untuk sampai kepada Dia yang langit. Walaupun langit dan bumi sebenarnya satu
jua, tak terpisah dia (Ahad).
Segala sesuatu pada esensinya adalah manunggal. Kesadaran rendah manusia saja yang
membuat segalanya teralienasi dari Tuhan, termasuk diri kita. Dzikir adalah jalan untuk
kembali menyatukan kesadaran macro dan microcosmic ini. Bahkan, ketika kita sadar bahwa
Ruh dan jasad kita keduanya adalah (milik) Tuhan semata, sama sekali bukan kita; kita akan
menjadi tiada. Artinya, yang ada secara total (absolute) hanya Dia. Disitulah awal dari lahirnya
mukjizat pada diri anda!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 46 | Juli 2022


HAJI MAKRIFAH: FENOMENA MABRURNYA WUQUF ‘ARAFAH
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Haji makrifah adalah fenomena mabrurnya wuquf saat di ‘Arafah.

Apa itu wuquf dan ‘Arafah?


Wuquf artinya “menahan diri”, “berhenti”, atau “diam”. Dalam Quran misalnya, ada tanda
“waqaf”. Maknanya tempat berhenti saat membaca. Harta juga ada yang disebut “waqaf”.
Pengertiannya adalah “pembekuan” harta, atau “menahan” untuk tidak melakukan tindakan
atas suatu benda, untuk digunakan manfaatnya bagi kebajikan (sosial).
Wuquf saat berhaji juga begitu. Secara terminologis artinya “berdiam diri” di Padang Arafah.
Ini salah satu rukun haji. Sebagaimana kata Nabi SAW: “Haji adalah (wuquf di)
‘Arafah”. Tidak ada haji tanpa wuquf di ‘Arafah.
‫ ﳁن اَد َْركَ لَ ْي َ َ عرف َة ق َﻞ ُطلُ ْوعِ ال َف ْج ِر من لي ِ ُ َﲨع ٍ فَقَدْ َﰎ َحج ُه‬, ‫اﳊج عرف ُة‬.
“Haji itu adalah (wuquf) ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui pada malam ‘Arafah,
hingga menjelang terbitnya Fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh
hajinya telah sempurna” (HR. Muslim)
“Makrifah” (‘Arafah), Sebuah Pengalaman Hakikat dari “Diam” (Wuquf)
Wuquf di ‘Arafah bentuknya sangat simbolik. Haji sendiri penuh simbolisme. Hampir
seluruhnya mereplika alur sejarah spiritual Ibrahim as dan keluarga. Malah sangat melelahkan.
Kecuali simbol-simbol itu telah dipahami. Sejumlah orang mampu mencapai bentuk replikatif
dari pengalaman kenabian. Artinya, ada “rasa” yang diperoleh (enlightement) dari proses itu.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 97


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Tapi itu tidak serta merta dialami. Ada pra-kondisi yang harus ditempuh sebelum ke
haji. Yaitu, “penyucian jiwa” (tazkiyatun nafs).
Haji adalah puncak keislaman, atau perjalanan “berjumpa Tuhan”. Saat jiwa sudah “fitrah”
(disimbolkan dengan baju putih ihram), disaat itulah kita ditunggu untuk diterima dan benar-
benar diampuni oleh Allah. Kita hanya bisa menjadi tamu Allah kalau jiwa sudah dibersihkan.
Sebab, tidak ada yang dibenarkan masuk ke Rumah-Nya dalam keadaan “kotor”. Dia hanya
menerima jiwa yang telah menempuh jalan kesucian.
Itulah dulu mengapa, orang naik haji, umumnya sosok “spiritual” di kampungnya. Biasanya
para guru dan ulama. Secara batin memang sudah siap bertemu Allah. Atau paling tidak, saat
ke haji, mereka terlebih dahulu mengambil tariqah di berbagai tempat di tanah suci. Termasuk
di Jabal Qubais (belakangan telah dihancurkan). Di tariqah ini mereka memperkuat
“mukasyafah” (rasa kehadiran dan penyaksian al-Ruh al-Ilahi). Sehingga saat berhaji, bahkan
sebelum dan sesudahnya, mereka telah mampu merasakan pengalaman-pengalaman
“kehadiran” akan Rabb-Nya. Haji hanya salah satu puncak pengalaman lainnya, sambil secara
fisik melakukan ziarah, menapak tilasi ritus nabi dan shalihin sebelumnya.
Agak berbeda dengan kita sekarang. Asal cukup uang, naik haji. Lalu di Tanah Suci mengalami
berbagai hal, yang bahkan jauh dari rasa spiritualitas. Mirip-mirip di tolak oleh Allah. Saat
“wuquf” menunggu Allah, yang hadir justru banjir dan angin ribut. Kira-kira begitu.
Di ‘Arafah yang hakikatnya adalah “makrifah” (mengenal/berjumpa Allah), kita justru
mengalami rasa gundah.
Wuquf adalah sebuah teknik spiritual kaum khawash. Kalau anda mengobservasi amalan kaum
sufi, ada sebuah titik dalam proses dzikir panjang mereka (bisa berhari bahkan berbulan-bulan)
yang menerapkan metode “diam”. Diam ini dilakukan pada fase jiwa “menunggu” kehadiran
Tuhan. Untuk mencapai ini, wadah spiritual telah dipersiapkan jauh hari melalui mujahadah
yang melelahkan. Apa yang dilakukan Muhamad di Hirak juga bagian dari “berdiam diri”,
guna menyiapkan diri untuk menemui Kekasihnya. Semua nabi melakukan hal serupa. Tidak
ada yang tiba-tiba jadi nabi. Semua telah melatih dirinya.
Ada sebuah momen dimana Dia kemudian “membuka pintu” dan menerima kita
dalam Baitullah (Rumah-Nya). Ini akan menjadi pengalaman paling mengguncang. Sebuah
pengalaman spiritual, dimana vibrasi kehadiran Allah benar-benar dirasakan secara aktual. Hati
bergetar hebat, “.. wajilats qulubuhum”. Seluruh ego runtuh, menyatu dalam Keagungan dan
Kebesaran-Nya. Bahkan Tuhan berbicara dalam qalbunya. Hal ini dialami para nabi, dan setiap
umat nabi yang masih mewarisi metode wuquf.
Inilah puncak haji, “mengenal Allah” (makrifah). Seperti kata Nabi SAW: “Al-Hajj ‘Arafah”.
Haji adalah perjalanan untuk mengenal/menemui Allah. Puncaknya dialami dalam “diam”,
setelah lelah bermujahadah. Itulah hakikat wuquf dan ‘Arafah. Sejatinya, pengalaman ini tidak

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 98


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

hanya dialami saat ritual haji. Pengalaman “makrifah” bisa dialami kapan pun dan dimana pun.
Bahkan di rumah anda sendiri. Sebab, Allah ada dimana-mana, termasuk di kampung anda.
Sebagaimana diungkap Hamzah Fansuri:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Kakbah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya ditemukan di dalam rumah
Syair ini juga mengungkapkan, bahwa Allah ditemukan (dimakrifati kehadirannya) dalam
kesadaran qalbu, dalam rumah batin kita. Bukan di lantai Masjidil Haram. Bukan di tembok
Kakbah. Bukan di padang pasir Arab, dan sebagainya itu. Bersihkan qalbu terlebih dahulu,
maka engkau akan mengalami pengalaman haji (bertemu Allah) dimana pun berada.
Puncak dari haji adalah ‘Arafah (Makrifah). Ini puncak, sekaligus “awal” dari agama.
Sebagaimana diungkapkan para ahli sufi, “Awaludin Makrifatullah”. Awal dari beragama
adalah mengenal Allah. Makrifat dalam berhaji adalah bekal awal dalam mengurus berbagai
sendi kehidupan di negeri ini. Haji bukanlah akhir/puncak dari keislaman. Melainkan awal
dari langkah yang lebih benar dalam mengurus umat dan bangsa.
Itulah haji mabrur, haji makrifat. Hajinya orang-orang yang benar-benar telah diundang oleh
Rasulullah, dan betul-betul diterima di Rumah Allah. Haji mabrur adalah haji
makrifah. Hajinya orang-orang yang disambut oleh Allah saat berwuquf di Padang
‘Arafah. Haji mabrur adalah hajinya para peziarah yang berhasil menjumpai Allah, dan
pulangnya membawa Allah untuk ikut serta dalam setiap gerak muraqabah perjuangannya.
Begitu besarnya nilai haji dan makrifah. Sehingga lebaran Idul Adha bernilai jauh lebih agung
daripada Idul Fitri. Bahkan takbirnya menggema sampai empat hari. Ada qurbannya
pula. Qurban bermakna “dekat” (qarib). Banyak pengorbanan yang harus dilakukan agar kita
menjadi dekat dengan Allah. Itulah makrifah, jalannya Ibrahim as, penuh dengan
pengorbanan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 47 | Juli 2022


TUHAN, ANTARA ADA DAN TIADA
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 99


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Apakah Tuhan itu ada? Ateis mengatakan tidak ada. Karena memang tidak pernah ditemukan
dimana dan seperti apa. Kaum beriman pun sebenarnya begitu. Tidak pernah berjumpa Tuhan.
Pun tidak tau Dia seperti apa. Tapi dipaksa untuk percaya.
Sementara, tidak ada (atau hampir tidak ada orang) yang punya kesadaran untuk pergi
berjumpa Tuhan. Atau mungkin tidak tau jalan apa yang harus ditempuh untuk
menjumpainya. Kalau nabi memang benar berjumpa Tuhan, dalam artian sebagai sekelompok
schoolars yang benar-benar secara aktual dan konfirmatif mengetahui bahwa Tuhan itu ada
(karena pernah diajak berbicara, pernah menerima wahyu atau bahkan bisa berjumpa langsung
dengan-Nya); maka harusnya para intelektual sekarang mencari tau cara atau metode apa yang
ditempuh nabi sehingga bisa berjumpa dengan Tuhan kita.
Sebab, dalam tradisi intelektual, mewarisi metode yang sama pasti akan membuat kita mampu
memecahkan persoalan yang sama. Kecuali tidak ada lagi dari kita yang mewarisi metodologi
keilmuan nabi, sehingga tidak lagi memiliki kecerdasan metodologis untuk mengakses Tuhan.
Sebab, puncak pemahaman akan kebenaran dan keburukan; itu memang diperoleh saat
terhubung dengan Tuhan. Kalau sudah konek dengan Tuhan, apalagi kalau kesadaran
ruhaniah kita mampu online dengan Dia selama 24 jam, selama itu pula Dia akan memberi
petunjuk kepada kita. Bahkan dalam mimpi sekalipun.
“Terhubung” dengan Tuhan, bahasa lainnya adalah “kesurupan” Tuhan. Bahasa
kesurupan/kerasukan mungkin terlalu kasar. Karena biasanya, kalau kesurupan, yang hadir
adalah jin/setan. Kalau jin/setan aja bisa hadir dalam diri anda, mengapa Tuhan tidak bisa.
Semua entitas Ruhani bisa hadir ke jiwa manusia. Kita pada hakikatnya adalah makhluk
spiritual.
Sekarang bayangkan begini. Ada sebuah mobil yang kesurupan GPS. Apa yang terjadi?
Kemanapun mobil bergerak, akan ada yang meng-guide. Ada suara yang memberitau berapa
jarak ke tujuan. Kapan belok kanan dan belok kiri akan disampaikan. Sangat akurat. Karena
terhubung dengan satelit yang di atas sana.
Begitulah kalau kita memiliki ilmu “kehadiran”, ketika GPS spiritual bisa diaktifkan. Dia akan
terus bersuara, mengarahkan kita ke jalan yang benar. Mustahil sesat. Begitulah cara kerja
Tuhan, yang hadir dalam jiwa manusia dalam bentuk sinyal-sinyal malakut (kesadaran ilahiah)
yang terus berbicara. Terus menyampaikan ilham atau berita (wahyu). Sehingga mustahil kita
salah, tersesat atau berdosa. Bisa-bisa jadi maksum anda. Bahkan anda sendiri akan menjadi
malaikat, manakala punya bentuk kesadaran supra-ruhaniah.
Selama ini, kita juga punya kesadaran. Yaitu sesuatu yang terus berbicara kepada kita. Bisa jadi
itu adalah kesadaran akal kita. Ataupun kesadaran nafsu/setan kita. Kedua mereka selalu
memberi info tentang benar dan salah sesuatu. Namun, karena mereka bukan Tuhan, tentu
kebenarannya menjadi “relatif”. Sesuatu yang relatif akan bernilai skeptis. Bisa ya, bisa tidak.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 100


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sementara Tuhan, itu absolut benarnya. Tidak abu-abu. Artinya, kalau Tuhan yang berbicara
dalam kesadaran anda, itu benarnya mutlak. Walau seluruh dunia mengatakan anda salah.
Masalahnya, bagaimana tau, bahwa itu suara Tuhan; bukan suara akal ataupun setan?
Bagaimana para nabi tau, jika yang sedang berbicara kepada mereka itu benar Tuhan, atau para
utusan (malaikat Tuhan)? Ilmu dan ritual Irfan, adalah metodologi mengenal Tuhan, dan
perbedaannya dengan (suara) setan. Makrifat itu, mengenal Allah. Jangan sampai keliru dengan
elemen lain yang mengaku sebagai Allah. Termasuk akal dan nafsu kita.
Jadi, penting untuk sampai kepada kebenaran mutlak (makrifat). Artinya, penting untuk ber-
Tuhan secara absolut. Penting ada Tuhan yang berbicara kepada anda, sebagai pelurus akal dan
nafsu/setan yang saban hari membisiki anda. Bayangkan, sudah puluhan tahun akal dan nafsu
berbicara kepada anda. Entah sudah seberapa jauh kita tersesat dalam perasaan merasa benar.
Akal memang sangat berguna, in the absence of God. Tapi, di depan Tuhan, akan harus
tunduk. Dengarkan kata Tuhan. Apapun kata Tuhan, walau bertentangan dengan (persepsi)
akal, anda harus ikut.
Agama Islam hari ini, walau semua mengaku ber-Tuhan, itu akal semua yang berbicara.
Sebagian besar gerakan agama malah lahir dari nafsu agamawannya, setelah menggoreng ayat
dan hadis. Ayat dan hadis, itu bukan Tuhan. Itu teks dari Rasul/Tuhan yang masih butuh
tafsiran dan pemahaman untuk konteks pelaksanaannya. Ujungnya butuh bisikan akal lagi,
yang dibayangi nafsu, untuk memutuskan. Kenapa ketika berhadapan dengan sesuatu, anda
tidak langsung bersandar kepada apa yang dibisiki/dikatakan Tuhan, kalau anda benar
memiliki Tuhan?
Itulah masalahnya, Tuhan antara ada dan tiada. Dibilang tidak ada, bisa ateis kita. Dibilang
rusak akidah kita. Dibilang ada, tak pernah pun kita bisa berbicara dengan-Nya. Umat Islam
memang sedang kehilangan Tuhan. Tidak hanya Islam, semua agama begitu. Tuhannya ada.
Tapi tersembunyi entah dimana. Atau mungkin kita tidak tau cara menjumpai-Nya?
Maka benar, kalau ada yang mengatakan: “kejahatan di dunia ini terjadi karena tidak adanya
Tuhan”. Tuhan memang tidak hadir pada kesadaran para pelakunya. Ketika Tuhan tidak
mampu dihadirkan, maka ada sesuatu yang lain yang akan hadir. Yaitu selain Tuhan. Setan!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 48 | Juli 2022


GURU YANG BERGURU
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 101


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bayangkan, nabi secerdas Musa as, banyak muridnya pula; harus kembali berguru. Konon lagi
kita para habaib, kiyai, ulama, profesor, doktor, buya, ustadz dan teungku. Semua harus
kembali mencari Guru.
Alkahfi 60-82 bercerita tentang Musa, seorang guru yang punya banyak murid. Mungkin
ribuan. Atau jangan-jangan puluhan bahkan ratusan ribu Bani Israil yang tinggal di Mesir yang
mengikutinya. Rangkaian ayat perjalanan Musa kembali mencari Guru diawali dialog dengan
muridnya (pembantunya):
َ ِ ‫َوِا ْذ قَا َل ُم ْو ٰﳻ ِل َف ٰى ُه َﻻ ٓ َا ْ َر ُح َح ٰ ّ ٓﱴ اَبْلُ َغ َم ْج َم َع الْ َب ْح َر ْ ِن اَ ْو َا ْم‬
‫ﴤ ُح ُق ًا‬
(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum
sampai ke pertemuan dua laut atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun” (QS. Al-
Kahfi: 60)
Ayat ini menerangkan beberapa hal. Pertama, Musa sejak awal memang sudah punya murid.
Sebagai nabi/ulama tentu ia punya pembantu/pengikut. Meskipun sudah jadi nabi, semangat
belajarnya tinggi sekali. Kedua, kepada muridnya ia berkata akan terus “berjalan”, yang secara
metaforis dilukiskan: “sampai ke pertemuan dua laut”. Bila perlu akan berjalan selama
bertahun-tahun. Musa terlihat ia punya motivasi yang kuat untuk sampai ke tempat tujuan
belajar lebih lanjut, meskipun tidak mudah dan butuh waktu.
Ayat-ayat selanjutnya menjelaskan dialog lebih lanjut dengan sang murid, serta pengalaman
Musa menempuh jalan. Hingga ia menemukan seorang Guru misterius (Khidir), yang
mengajarinya hal-hal “beyond the knowledge”. Ia menimba hikmah dan pengetahuan batiniah
yang sangat tinggi. Lama ia melakukan “sayr wa suluk” dengan Khidir. Untuk bisa matang,
butuh bertahun-tahun itu. Tidak bisa satu atau dua hari. Sebab, yang diajari oleh Khidir adalah
adab lebih lanjut. Etika-etika religius di atas standar-standar syariat yang pernah diketahui
Musa.
Kisah ini menjelaskan, meskipun anda sudah jadi guru, di ulamakan, atau telah diangkat
sebagai nabi; tetap harus berguru. Jangan karena sudah punya satu juta murid lalu merasa
sudah selesai. Seperti jawaban Musa saat ditanya kaumnya, “Apakah di muka bumi ada orang
yang lebih pandai darimu, Wahai Nabi Allah?”. Musa menjawab, “tidak ada”. Ana a’lam al-
qaum. Aku paling pandai di tengah kaum ini. Sampai kemudian Jibril datang memberitau, “di
atas langit ada langit”. Kecerdasannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmu yang
dimiliki Khidir. Seseorang yang mukasyafah-nya jauh di atas Musa. Seseorang yang tidak ada
lagi dinding tirai hijab yang membatasi antara dia dengan Tuhannya.
Selama belum terkoneksi secara kuat dengan alam ketuhanan, selama itu pula ilmu telah
menjadi hijab bagi kita. Berapa banyak orang yang menjadi ahli kitab, ahli hadis, ahli tafsir,
ahli fikih, dan sebagainya. Banyak sekali tau. Tapi tidak makrifat (tidak terhubung dengan
Allah). Ilmu/otak kita adalah penghalang kita dengan Allah. Seorang Khidir mampu mengikis
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 102
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

hijab pada diri seorang murid. Sampai si murid kembali menjadi “bodoh” (ummi) dan
kehilangan segala opini; barulah Tuhan bersedia hadir turun untuk mengisi gelas kosong itu.
Inilah urgensi berguru. Tidak bisa tanpa guru. Bahkan sekaliber Musa harus kembali berguru
untuk naik tingkat. Tentu harus dengan Guru di atas guru. Bukan dengan guru biasa.
Betapa sombongnya Musa, menganggap dirinya paling cerdas. Itu efek dari banyak ilmu dan
banyak murid. Untunglah, Musa punya kesadaran kuat untuk menemukan Guru yang katanya
lebih hebat, lebih cerdas dan lebih intuitif dari dirinya. Semua guru spiritual yang dekat dengan
Allah dapat disebut sebagai Khidir. Mereka selalu hadir disetiap masa. Muhammad SAW juga
seorang Khidir, pada zamannya. Sosok yang membuka rahasia-rahasia langit kepada murid-
muridnya. Banyak sekali teks Quran yang tidak diketahui makna. Penuh rahasia. Teks
sederhana sekalipun punya kedalaman makna-makna yang sangat metaforis.
Selalu ada Khidir yang hidup disetiap zaman. Pasti ada Khidir yang hidup di zaman sekarang.
Karena sosok ini secara sunnatullah memang “tidak pernah mati” (selalu hadir/eksis). Sudah
menjadi janji Allah untuk selalu mengutus seorang rohaniawan (rasul) yang hidup di tengah
sebuah kaum (QS. At-Taubah: 128). Seseorang yang kita harus mempersiapkan jalan untuk
menemuinya. Agar kita tidak larut dalam kesombongan dan kejahilan intelektual. Walau harus
letih dalam menempuh jalan, karena ilmunya memang rada-rada nyeleneh, tidak masuk akal
dan berat untuk diikuti (QS. Kahfi: 67-82).
Tapi setelah itu, anda akan menjadi Musa yang baru, Musa yang telah diuji sabarnya setelah
bertemu Khidir. Menjadi AlGhazali yang baru, setelah menyelami ilmu-ilmu ruhiyah saat
berkhitmad melayani adiknya yang cacat. Menjadi Rumi yang baru, seorang elit fuqaha yang
jiwanya telah total diserahkan ke Syams Tabriz. Menjadi Abu Hanifah yang baru, setelah dua
tahun mengabdi di kaki Imam Ja’far Shadiq. Semua menjadi guru-guru yang tersadarkan
(enlightened), yang vibrasi Ruhnya lebih kuat dari akal perseptif. Menjadi guru-guru yang
super sadar, bahwa apa yang diketahui sebelumnya bersifat “batil” dan tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan tetesan ilmu yang ditalqin langsung dari sisi Allah (“ladunna ilma”, QS.
Kahfi: 65).
Carilah Khidir. Teruslah berjalan sampai ke pertemuan dua laut. Perbanyak membaca tanda.
Sebab, katanya, Beliau saat ini ada di pertemuan antara Laut Hindia dan Laut Malaka. Entah
iya!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 49 | Juli 2022


SATU TUBUH, SATU RASA
Oleh Said Muniruddin

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 103


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Nabi SAW menyebutkan:
‫ َوتَ َع ُاط ِفهِ ْم َم َ ُﻞ الْ َج َس ِد ا َذا ْاش تَ َﲃ ِم ْ ُه ُعضْ ٌو تَ َدا َعى َ ُ َسا ِ ُر الْ َج َس ِد ِ لسهَ ِر‬،‫اﲪهِ ْم‬
ِ ُ ‫َو َ َر‬
‫َوالْ ُحمى‬
“Orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan
satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut
terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)”
(HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).
Pada kesempatan lain, Beliau SAW bersabda:
‫الْ ُم ْؤ ِم ُن ِلْ ُم ْؤ ِم ِن َﰷلْ ُب ْ َ ِان َ ُشد ب َ ْعضُ ُه ب َ ْعضً ا‬
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu seperti bangunan yang menguatkan satu sama
lain”
(HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).
***
Rasa, itu diperoleh manakala sudah terjadi integrasi, “satu tubuh”. Jika masih terjadi separasi,
rasa tidak akan diperoleh. Paling-paling hanya pura-pura merasa. Bukan betul-betul merasakan
hal yang sama.
Agama, pada puncaknya adalah “rasa”. Yaitu mengalami secara langsung (eksperensial)
momen-momen kehadiran Tuhan. Agama pada level puncak adalah tentang “kehadiran”
(hudhuri). Segala sesuatu yang “di luar sana”, itu dialami “di dalam sini”. Agama adalah usaha
memahami realitas luar sebagai realitas internal. Tuhan yang jauh disana, adalah Tuhan yang
ada dalam jiwa. Dia yang berkalam di langit, adalah Dia yang bersabda melalui lisan para nabi.
Dia yang bersemayam di ‘Arasy, adalah Dia yang sedang bekerja di bumi. Dia yang maha batin
(berdimensi ukhrawi), adalah Dia yang wajahnya juga zahir di dunia ini.
***
“Kehadiran” dialami saat terjadi koneksi (integrasi) antara A dengan B. Omnipresence antar
sesuatu terbentuk ketika tidak ada lagi sekat dan jarak. Keduanya telah saling meliputi. Seperti
disebut oleh Nabi SAW: “satu tubuh”. Tidak ada lagi ego yang membangun dinding persepsi
bahwa aku dan kamu beda. Aku ada disini, dan kamu ada disana. Elo-elo, gue-gue.
Dalam tasawuf, ini disebut “wujudiyah”. Telah terbentuk ke-Satu-an rasa. Antara aku dengan
Dia, itu “Satu”. Keduanya beda memang, tapi “Satu”. Sudah seperti satu wujud. Tak ada sekat.
Keduanya terhubung. Tersambung (wushul).
Antara kamu dan saudara kamu, itu beda memang, secara penampakan. Tapi “Satu” secara
gelombang (wujud hakiki yang membentuk segala sesuatu adalah gelombang/energi). Antara

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 104


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kamu dengan Tuhanmu itu beda, tapi “Satu”. Kamu bukanlah saudaramu. Pun kamu bukanlah
Tuhanmu. Tapi “Satu”. Sehingga menimbulkan kesamaan rasa. Kesatuan gelombang.
Ibarat ribuan riak dan gelombang di tengah laut. Sekilas terlihat bahwa aneka bentuk
gelombang yang terbentuk di tengah laut adalah sesuatu yang berbeda. Padahal itu hanya
penampakan dari dinamika permukaan lautan saja, yang hakikatnya “Satu” bagian dari
samudera tak terbatas. Gelombang-gelombang itu adalah lautan juga, walau anda tidak
menyebutnya sebagai laut. Kita semua adalah gelombang berbeda, dari diri yang “Satu” (QS.
An-Nisa: 1).
Pun ibarat cahaya matahari dengan matahari. Cahaya matahari bukanlah matahari. Keduanya
beda. Tapi “Satu”. Tak terpisah sama sekali. Si cahaya membawa sifat yang sama dengan
sumber cahaya. Si cahaya membawa wujud panas dari matahari, pada kadar (bentuk) berbeda.
Bahkan sangat panas dan membakar, jika cahayanya masih dekat dengan sumber-Nya.
Atau juga; ibarat sebuah objek dengan bayangannya. Keduanya beda. Jelas beda. Tapi “Satu”.
Bayangan terbentuk (terpancar, termanifestasi, terkejawantahkan, bertajalli) dari objeknya.
Bayangan akan selalu mengikuti objek. Bayangan itu bagian dari objek. Tidak terpisah. Kalau
anda menemukan sebuah bayang, itu adalah siluet (silhouette) dari objek dibaliknya. Bayang
yang anda lihat itu adalah “ayat”, tanda zahir dari Tuhan yang tersembunyi (batin) diujungnya.
Alam semesta ini “bayang” (ayat), cahaya dari Wujud-Nya. Alam ini nyata. Tapi “fana”
(mumkinul wujud) dari sebuah Wujud Absolut (wajibul wujud).
Maka wajar, Tuhan ada dimana-mana. Cahaya-Nya hadir dimana-mana, dalam berbagai
wadah, celah dan bentuk. Sehingga secara kasat mata melahirkan partikularitas. Bukan berarti
Tuhannya banyak. Tapi manifestasinya hadir dalam aneka rupa. Pada hakikatnya, sumber
Cahaya cuma “Satu”. Hanya saja, cahaya-Nya terkadang sudah terpancar terlalu jauh dari
sumbernya. Ke-Satu-annya masih ada dan akan selalu ada. Hanya saja, “panas”-nya sudah
berkurang.
Jika cahaya awal begitu powerful, cahaya diujung sudah mulai melemah (bahkan mati).
Materialitas manusia adalah wujud “mati”, ujung dari gradasi penampakan-Nya. Jasad kita
adalah juga men-zahir dari cahaya Tuhan, namun sudah tidak berdaya. Manusia, jika jauh dari
Tuhan, itu tidak lebih dari seonggok mayat (wujud jasad an sich). Segala kekufuran terjadi saat
manusia terjerembab dalam materialisme (menuhankan jasad, nafsu dan akal fikirannya).
Sementara Ruh adalah wujud terdekat manusia dengan-Nya. Sehingga Ruh sering disebut
sebagai bagian dari diri-Nya sendiri. Bagian dari “amar” (perintah-Nya). Sebab, Ruh masih
membawa kekuatan (qudrah dan iradah Tuhan). Ruh membawa karamah dan mukjizat Tuhan.
Ruh adalah manifestasi terkuat dari diri-Nya. Ruh adalah Dia sendiri, dalam wujud kedua. Jika
ingin dekat dengan Tuhan, up-grade eksistensi Ruh. Perkuat hubungan dengan Ruh. Hanya

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 105


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ruh yang diterima Tuhan. Ibadah tanpa Ruh akan tertolak, karena tidak membawa unsur-
unsur Tuhan.
Itulah mengapa, sosok-sosok terdekat dengan Tuhan berdimensi Ruh. Jibril disebut “Ruh”.
Karena bicaranya adalah bicara Tuhan. Muhammad juga begitu, secara biologis (Muhammad
adalah gradasi terjauh dari Tuhan, “basyar”). Tapi Ruhnya, adalah tajalli Tuhan. Sehingga
bicaranya adalah bicara Tuhan. Ada Tuhan dalam diri-Nya yang terus berbicara dan
menggerakkannya. (Ayat) Tuhan memang ada dimana-mana. Tapi lokus (pusat) keberadaan
Tuhan, itu ada pada sosok-sosok yang Dia telah mengutus Dirinya kepada mereka. Lokus ke-
Satu-an Tuhan, itu ada pada sosok-sosok kekasihnya. (Nama dan Kalam) Tuhan telah
“menyosok” pada diri utusan-Nya. Mereka itu “Satu”. Walau secara lahiriah dimensinya beda.
Kita tidak menuhankan manusia, yang tidak lebih dari silhouette (tanda-tanda, ayat-Nya). Kita
menuhankan Wujud yang ada di dekatnya. Malaikat tidak sujud pada jasad Adam. Tapi kepada
Ruh (Wujud Asma) yang bersemayam dalam dirinya. Kita tidak menyembah patung Kakbah.
Tapi kepada Tuhan pemilik rumah itu (sebutlah Dia ada di dalamnya). Allah tidak bersholawat
kepada sosok Muhammad. Dia bersama malaikat bersholawat kepada unsur Diri-Nya yang
telah diutus (menyatu) dalam ruhani anak Abdullah bin Abdul Muthalib itu.
Kesimpulan. Agama ini pada puncaknya adalah tentang rasa. Tentang “syahadah” dan
“mukasyafah”. Tentang kemampuan melihat dan merasakan berbagai dimensi ketuhanan dan
kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi. Agama adalah tentang kemampuan menyerap
pengetahuan-pengetahuan “eksternal” menjadi sesuatu yang sesungguhnya adalah “internal”.
Agama adalah proses menyadarkan, bahwa manusia adalah lokus dari kosmos. Segala yang ada
di alam ini, ada dalam diri manusia. Tuhan yang dicari di luar dan di akhirat sana, itu sejak
awal sudah ada dalam diri dan bahkan lebih dekat dari urat leher kita.
Agama adalah usaha membangun kesadaran, bahwa kita ini pun sebenarnya tidak ada. Kita
hanya siluet-Nya. Yang sebenarnya ada, hanya Dia. Agama adalah ikhtiar untuk menyadarkan
kembali makna hakiki dari La Ilaha Illa Allah. Kita harus pasrah (taslim) secara total bahwa
tidak ada apapun, kecuali Dia. Cuma “Satu” yang ada. Dia. Kita semua bagian (pancaran
cahaya, manifestasi intelek) dari yang “Satu” itu. Ibarat bagian tubuh dari umat ini. Beda-beda,
tapi Ahad. Kesadaran akan kesatuan wujud inilah yang mampu membentuk rasa kehadiran
Tuhan. Tanpa kesadaran seperti ini, Tuhan tidak akan pernah hadir pada diri (ego) kita.
Pada akhirnya kita paham, mengapa Allah mengutus dirinya (Rasul) pada orang-orang tertentu
di tengah kita, yang punya sifat “raufur-rahim” (QS. At-Taubah: 128). Rasa belas kasih dan
sayang mereka tinggi sekali. Mereka merupakan orang-orang yang mampu merasakan
penderitaan umatnya. Sebab, mereka telah menjadi bagian dari tubuh umatnya. Kemampuan
merasakan ini diperoleh setelah terlebih dahulu mampu “menyatu” dengan (menyerap sifat-
sifat) Tuhan. Sehingga sifat kasih dan sayang Tuhan mampu mereka aplikasikan secara total

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 106


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

pada umatnya. Mereka menjadi matahari yang mampu menyinari ufuk (memberi syafaat)
tanpa batas. Rahmatal lil ‘alamin. Menjadi true leaders!
Ilmu-ilmu hudhuri dalam Islam mengajarkan berbagai metodologi penyatuan diri dengan para
Wali/Ulil Amri, dengan Rasulullah, dengan Allah (QS. An-Nisa: 59).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 50 | Juli 2022


BUNUHLAH DIRI-MU
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Bunuhlah “diri”-mu, maka akan aktual “DIRI”-mu. Ketika hanya “diri”-mu yang hidup,
“DIRI”-mu akan mati. Sebaliknya, “DIRI”-mu akan menjadi ada, manakala “diri”-mu sudah
tiada. Dibalik “diri”-mu, ada “DIRI”-mu. Siapa yang mengenal “diri”, maka ia akan mengenal
“DIRI”.
Ketahuilah, “diri”-mu adalah jasadmu, egomu, nafsumu, akalmu dan semua yang baharu.
Sementara “DIRI”-mu adalah kesejatianmu, ruhmu, Tuhanmu. Manusia adalah makhluk dua
diri: “aku” dan “AKU”. AKU merupakan wujud batiniah “DIRI” Tuhanmu, yang bersemayam
dibalik wujud zahir “diri”-mu.
Ketahuilah, “aku” adalah tuhan yang harus kau rubuhkan. “Diri” yang harus kau binasakan.
Patung yang harus kau hancurkan. Ilah yang mesti kau nafikan. Sapi yang harus kau sembelih.
Ketika berhasil meniadakan “diri”-mu, engkau akan terlepas dari kezaliman (dhulum,
kegelapan). Dengan cara itu engkau akan masuk ke alam yang terang, alam ke-Tuhan-an,
yang penuh limpahan kasih dan sayang.
Maka bertaubatlah. Matikan “diri”-mu sebelum engkau mati. Seperti kata Nabi SAW, musuh
terbesarmu adalah “diri”-mu. Tempat berkumpul dosa-dosamu. Maka kalahkan, bunuhlah
dirimu, agar hadir Tuhanmu:

‫َو ِا ْذ قَا َل ُم ْو ٰﳻ ِلقَ ْو ِم ٖه يٰقَ ْو ِم ِا ُ ْﲂ َظلَ ْم ُ ْﱲ َان ْ ُف َس ُ ْﲂ ِ ِ ّ َﲣا ِذ ُﰼُ الْ ِع ْ َﻞ فَ ُ ْوبُ ْوا ِا ٰﱃ َ ِر ُ ْﲂ فَا ْق ُلُ ْوا‬
‫اب َلَ ْي ُ ْﲂۗ ِان ٗه ه َُو التو ُاب الر ِح ْ ُﲓ‬ َ َ َ‫َانْ ُف َس ُ ْﲂۗ ٰذ ِل ُ ْﲂ ْ ٌَﲑ ل ُ ْﲂ ِع ْندَ َ ِر ُ ْﲂۗ ف‬
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Kamu benar-benar
telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan),
karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan BUNUHLAH DIRIMU. Itu lebih baik bagimu
di sisi Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Penerima
tobat, Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 54)
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 107
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 51 | Juli 2022


WUJUD BATIN DAN PENAMPAKAN LAHIRIAH
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
+ Bagaimana bentuk jiwa kita?
” Kita harus secara bertahap mengakui kepada diri kita sendiri, bahwa kebenaran keberadaan
kita terpisah dari tubuh kita, dan akan tiba saatnya kita akan meninggalkan tubuh kita seperti
pakaian.
” Tubuh ini fana tetapi jiwa kita akan tetap muda tetapi lebih dewasa.
” Dengan bentuk dan gambar yang telah kita buat untuk itu.
” Bagaimana bentuk jiwa kita?
(Dikutip dari IG: Panahian-Ir)
***
Bagaimana bisa, tubuh dan jiwa, dua hal berbeda; tapi bisa manunggal menjadi kita? Jiwa
adalah jiwa (abadi). Tubuh adalah tubuh (baharu/mati). Keduanya sama sekali berbeda. Tapi
kenapa bisa, yang abadi bersemayam pada yang baharu? Kok bisa menyatu antara keduanya?
***
Bagaimana bentuk jiwa?
Bagaimana bentuk air dalam botol? Ya, seperti botol. Ketika tidak ada wadah semacam botol,
susah juga menggambarkan bagaimana bentuk air. Bahkan tidak ada bentuk. Sebab, bentuk
memerlukan wadah.
Bagaimana bentuk udara di dalam balon? Ya, mengikuti bentuk balon. Ketika tidak ada dalam
balon, susah juga menggambarkan bentuk udara. Sebab, tanpa wadah, udara tidak punya
bentuk.
Lalu bagaimana bentuk jiwa? Ya, sebagaimana bentuk wadahnya. Tanpa wadah, tentu tidak
tergambarkan bentuknya. Tidak serupa dengan apapun.
***
Karena itulah, Sang Wujud juga bisa diketahui, ketika hadir pada dimensi manusia
(microcosmos). Ataupun ketika ia tanazzul (“turun”) ke dimensi semesta (macrocosmos). Yang

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 108


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Maha Batin tentu azalinya tidak berbentuk karena tidak bertempat, laitsa kamislihi syai-un;
kecuali telah bertajalli (beremanasi) pada martabat cosmic (wadah zahir).
***
Begini. Ketika anda melihat manusia, anda tentu tidak melihat jiwanya, yang ada disitu.
Kecuali anda kasyaf. Walau sebenarnya anda sedang melihatnya juga. Ketika Anda melihat
alam ini, anda juga tidak melihat Tuhan yang meliputi itu semua. Kecuali anda kasyaf. Walau
sesungguhnya anda juga sedang menyaksikan-Nya.
Lalu, bagaimana bentuk jiwa yang menempati manusia? Ya, pasti seperti manusia yang anda
lihat itu. Cuma anda tidak bisa melihatnya. Walaupun sebenarnya anda sedang melihatnya.
***
Dari mana asal wujud/bentuk alam dan manusia?
Tentu tidak lahir dengan sendirinya. Melainkan ada blue print asalnya. Yaitu dari alam
sebelumnya. Dari alam lebih tinggi. Dari alam ruhani. Ibnu Arabi menyebutnya alam
mitsal, atau alam arketip. Di alam imajinal (Plato: idea) itu, semua sudah ada ukuran dan
bentuk-bentuk (forma) potensialnya. Hanya saja belum aktual dalam wujud lahiriah jasmaniah.
Kalau terus ditelusuri sampai ke atas, semua wujud/bentuk di alam ini “turun” dari khazanah
pengetahuan-Nya, dari diri-Nya sendiri. Antara satu dengan alam lainnya, tidak ada ruang
yang terputus. Saling tersambung. Seperti seberkas gelombang cahaya putih yang meluncur
dalam sebuah bidang prisma. Memang terus melahirkan warna yang total berbeda/beragam.
Tapi semuanya berada dalam satu kesatuan yang sama sekali tidak terpisah. Alam ini, antara
alam ruhani dan jasmani, juga begitu. Menyatu. Gradasi Cahaya, dari Khalik sampai ke alam
ciptaan (mahkluk) wujudnya tunggal, Ahad.
Alam arketip (mitsal) adalah alam ruhani yang paralel dengan alam jasmani. Karena itu, alam
ini juga mengalami perubahan, atau dapat diubah. Berbeda dengan alam yang lebih tinggi di
atasnya, yaitu alam al-a’yan ats-tsabitah (alam entitas tetap), itu sudah masuk ke alam kegaiban
murni yang tidak bisa diketahui, tidak dapat dipengaruhi dan diubah lagi.
Para sufi masters, kalau ingin memperbaiki diri atau kaumnya, biasanya masuk
ke barzakh ruhaniah ini melalui sebuah proses meditasi tertentu. Bentuk-bentuk arketip di
alam inilah yang diperbaiki, sehingga nasib/taqdir/akhlak di alam materi menjadi berubah.
Sebab, yang disebut akhlak adalah gambaran dari Khalik. Wujud “Khalik” (ruhaniah) dari diri
seseorang itulah yang diperkuat, sehingga otomatis akhlaknya menjadi baik.
Bahkan ada yang lebih unik lagi. Ada sejumlah kisah tentang orang yang hidup kembali,
setelah beberapa saat meninggal. Dengan pertolongan seorang wali, nyawanya masih bisa
dinegosiasikan untuk dibawa kembali ke dunia materi. Sebab, perjalanan nyawa masih berada
di alam ruhaniah awal (mitsal). Jika sudah masuk ke gerbang al-a’yan ats-tsabitah dan
seterusnya, itu sudah sulit sekali dibawa pulang. Sebab, itu alam yang sudah susah untuk

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 109


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dipengaruhi. Itulah mukjizat para nabi. Mampu masuk ke alam ruhaniah untuk melakukan
berbagai perubahan terhadap dunia fisik. Makanya, ada doa selama 44 hari ketika seseorang
meninggal. Sebab, selama waktu itu, masih ada peluang bagi kita untuk “membantu” saudara
kita yang sudah meninggal agar sempurna safar (perjalanannya) melalui transfer ruhani (doa).
Apalagi jika yang berdoa adalah spiritual masters. Sementara bagi seorang anak, doa tidak
pernah terputus. Karena, setiap anak adalah replika dari orang tuanya. Ada DNA/Ruhani
orang tuanya pada diri anak. Dan itu menjadi media teleportasi doa yang tidak pernah
terputus.
Bahkan sebenarnya; kenduri, tahlil, samadiah dan do’a terhadap saudara kita yang sudah
meninggal dapat terus kita lakukan setiap tahun. Sebab, kalau berpijak pada konsepsi kesatuan
wujud, semuanya Satu. Kita semua tercipta dari satu jiwa, yang berada dalam satu Tuhan (nafs
wahidah, QS. Al-Araf: 189). Jadi tidak ada yang memisahkan hubungan ruhaniah antar sesama,
baik saat hidup maupun setelah mati. Berbeda dengan keimanan kaum secular muslem
(religious materialism), yang meyakini keterputusan antar alam. Bahkan manusia dianggap
terpisah dari Tuhan.
***
Jadi, mengacu pada gradasi wujud (kesatuan cahaya), kita semua adalah pinjaman bentuk-Nya.
Tajalli-Nya. Kita semua bentuk yang tercetak dari patron/citra-Nya dari alam sana. Sebab,
mana mungkin kita memiliki bentuk, kalau bukan dari Dia? Kita tidak punya bentuk mandiri.
Aneka hal yang maujud dan menzahir di alam ini adalah manifestasi wajah-Nya. Dia
menampakkan segala sesuatu dalam rupa-Nya. Semuanya berasal, terpancar atau bertajalli dari
diri-Nya. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Langit dan bumi adalah penampakan-Nya. Jadi,
semuanya terhubung, tidak terputus dengan Dzat asal-Nya. Hanya saja terjadi bentuk emanasi
ke berbagai multiverse.
***
Pun tubuh kita, walaupun tubuh bukanlah jiwa; tapi tubuh adalah penampakan dari wujud
arketip (alam mitsal) jiwa kita. Ada banyak alam yang lahir dari-Nya. Sebelum menzahir dalam
wujud kita sekarang, kita punya wujud cetakan di alam sebelumnya (alam mitsal/arketip/alam
ruh). Kita sekarang adalah wujud hasil pancaran/hembusan/pengembangan dari alam itu. Jadi,
alam ini adalah wujud zahir dari arketip yang telah duluan ada, dari DNA atau nafas-Nya.
Kita semua merupakan pancaran yang berasal dari diri-Nya. Pada akhirnya juga akan kembali
pada-Nya. Hanya saja, tubuh dan alam material sifatnya temporer, yaitu jenis wujud yang
mendiami alam perubahan (mumkin). Oleh sebab itu, tentu akan binasa (fana). Artinya, kita
secara “zahir” tidak benar-benar ada. Yang ada dan abadi hanyalah wujud batiniah kita.
Artinya, yang benar-benar ada secara hakiki pada diri kita adalah Dia (Ruh) yang Maha Abadi,
yang selama ini menyertai wujud lahiriah temporer kita.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 110


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

***
Muhammad yang zahir adalah Muhammad bin Abdillah. Muhammad yang batin, adalah Allah.
Muhammad yang batin adalah wahyu, sunnah, atau kemaksuman Allah. Sedangkan
Muhammad yang zahir adalah makhluk biologis (basyariah).
Muhammad itu, zahirnya manusia. Batinnya Allah. Tapi, ingat. Muhammad dalam wujud
material itu bukan Allah. Lalu dimana Allah? Allah adalah, yang ngomong melalui lisan
Muhammad. Yang melempar dengan tangan Muhammad. Yang membunuh dengan fisik
Muhammad.
Ingat. Adam (tanah) bukan Allah. Lalu yang mana Allah? Ya itu, Ruh yang di sujudi malaikat.
Tentu malaikat tidak bodoh, mau sujud ke Adam. Malaikat itu makhluk paling pintar.
Sujudnya hanya kepada Allah. Tapi dimana Allahnya? Ya, dimana ada Adam, disitulah ada
Allah. Adam, dan juga Muhammad, adalah lokus kehadiran Allah. Keberadaan manusia suci
adalah salah satu gradasi, wujud dari eksistensi Allah.
Begitulah adanya. Sehingga, nama “Allah” dan nama “Muhammad” selalu muncul bersama.
Sebab, dimensi batin dan zahirnya tidak terpisah. Yang Awal dengan Yang Akhir, bertalian
silsilah. Walaupun tak sama. Tapi disitu ada Dia.
Di masjid-masjid, nama Allah dan Muhammad selalu disejajarkan. Apa tidak musyrik itu? Ya,
itulah sisa-sisa ajaran wujudiyah. Anda tidak bisa memisahkan Yang Awal dengan Yang Akhir.
Yang Zahir dengan Yang Batin. Anda tidak bisa memisahkan Dia dalam rupa kekasih-Nya.
Dua nama berbeda, yang hakikatnya Satu jua. Ahad adalah Ahmad tanpa “mim”.
“Asyhadu an-laa ilaha illa Allah” (Dia yang Awal/Dia yang azali/Dia yang batin/Dia yang tak
serupa dengan apapun). “Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (Dia yang Akhir/Dia
yang telah diutus ke alam hamba-Nya/Dia yang bertajalli). Islam yang benar adalah yang
mampu menyaksikan Allah sekaligus Muhammad, atau Muhammad sekaligus Allah.
Jangan cari Allah yang Awal, tidak bakal ketemu. Karena Maha Misterius. Tidak berbentuk,
tidak bertempat. Laitsa kamislihi syai-un. Cari Dia yang Akhir, otomatis anda akan sampai ke
yang Awal. Karena yang Akhir adalah Wasilah. Tajalli. Buraq. Cahaya-Nya. Gelombang-Nya.
Energi-Nya. Frekuensi-Nya. Dia yang Akhir adalah Dia yang telah hadir ke hadapan manusia.
Dia yang engkau telah mampu menghadapkan wajah kepada-Nya.
***
Allah itu sederhana dan dekat sekali. Maha meliputi. Ada dimana-mana. Jangan dibuat rumit
dan jauh. Tuhan yang rumit dan jauh adalah Tuhan kaum teolog. Begitu ribet dan
misteriusnya Tuhan mereka, sehingga tidak tau mau dijumpai dimana. Tidak tau mau diajak
ngobrol dengan cara apa. Tuhan menjadi tak tersentuh. Tak bisa ditemui. Tak bisa dirasa.
Sementara, Tuhannya kaum sufi adalah Tuhan yang sederhana. Tuhan yang dekat. Lebih dekat
dari urat leher. Mudah dijumpai. Bisa diajak berbicara, seperti yang dialami para nabi.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 111


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bertuhanlah kepada yang bisa dijangkau dan mudah. Jangan bertuhan kepada yang susah-
susah. Kehadiran para nabi adalah bukti dari sederhananya agama ini: Allah bisa dijangkau!
Lalu kenapa anda membuat agama ini kembali menjadi rumit?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 52 | Juli 2022


MENYOAL KEISLAMAN FIR’AUN
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Fir’aun; walaupun dikutuk dihampir semua ayat karena kedhalimannya, namun sempat
bersyahadat di akhir hayat. Setelah bertaubat dan mengaku diri sebagai “muslim”, tentu ia
tidak sempat lagi berbuat dosa. Karena keburu digulung ombak. Bukankah orang yang
bersyahadat di akhir hayat termasuk husnul khatimah?
‫ﴎۤا ِءيْ َﻞ الْ َب ْح َر فَ َاتْ َب َعهُ ْم ِف ْر َع ْو ُن َو ُج ُ ْو ُد ٗه بَ ْغ ًيا و َدْ ًوا ۗ َح ٰ ّ ٓﱴ ِا َذا ٓ َاد َْر َك ُه‬
َ ْ ‫۞ َو َ َاو ْز َ ِب َ ِ ْ ٓﲏ ِا‬
‫ﴎۤا ِءيْ َﻞ َو َا َ ۠ ِم َن الْ ُم ْس ِل ِم ْ َﲔ‬ َ ْ ‫الْغ ََر ُق قَا َل ٰا َم ْ ُت َان ٗه َﻻ ٓ ِا ٰ َ ِاﻻ ا ِ ْ ٓي ٰا َم َ ْت ِب ٖه بَنُ ْوا ِا‬
Kami jadikan Bani Israil bisa melintasi laut itu (Laut Merah). Lalu, Fir‘aun dan bala tentaranya
mengikuti mereka untuk menganiaya dan menindas hingga ketika Fir‘aun hampir (mati)
tenggelam, dia berkata, “Aku percaya bahwa TIDAK ADA TUHAN SELAIN YANG TELAH
DIPERCAYAI OLEH BANI ISRAIL (yaitu Allah) dan aku termasuk orang-
orang MUSLIM“ (QS. Yunus: 90)
Ayat selanjutnya (QS. Yunus: 91) seperti menunjukkan kekesalan Tuhan, karena Fir’aun
dianggap telat bertaubat. “Udah capek kau berbuat jahat, baru sekarang bertaubat ya?”. Namun
tidak ada redaksi Allah menolak taubatnya. Allah terlihat kesal, mungkin iya. Walaupun
begitu, tersirat jika Allah juga memahami bahwa Fir’aun baru tersadar dari kedurhakaannya
dan ia (jangan-jangan) telah dimaafkan.
‫ٰۤالْ ٰـٔ َن َوقَدْ َع َص ْ َت قَ ْ ُﻞ َو ُك ْن َت ِم َن الْ ُم ْف ِس ِد ْ َن‬
Apakah (baru) sekarang (kamu beriman), padahal sungguh kamu telah durhaka sejak dahulu
dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan? (QS. Yunus :91)
Yunus 91 juga mengisyaratkan, bahwa Allah hadir dan berfirman (berbicara) secara langsung
kepadanya pada saat kematian Fir’aun. Artinya, Fir’aun meninggal dijemput oleh Tuhan
(bukan oleh malaikat Izrail, sebagaimana umumnya terjadi). Ada kepercayaan dalam tradisi
gnostis, meninggal dengan cara dijemput oleh Allah adalah bentuk kematian yang baik.
Berbeda halnya jika di akhir hayat dijemput oleh setan, pertanda suul khatimah.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 112


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Mungkin karena telah diterima taubatnya, jasad Fir’aun “diselamatkan” Tuhan sampai
sekarang (QS. Yunus: 92). Bukankah jasad orang-orang baik dan suci sering awet (tidak
membusuk)? Atau jasad orang jahat juga awet?
‫فَالْ َي ْو َم ن ُ َن ِ ّج ْي َك ِب َبدَ ِن َك ِل َت ُك ْو َن ِل َم ْن َ لْ َف َك ٰاي َ ًة َۗواِن كَ ِﺜ ْ ًﲑا ِ ّم َن النا ِس َع ْن ٰا ٰي ِ َا ل َ ٰغ ِفلُ ْو َن‬
Pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
datang setelah kamu. Sesungguhnya kebanyakan manusia benar-benar lengah (tidak
mengindahkan) tanda-tanda (kekuasaan) Kami (QS. Yunus :92)
Atau jangan-jangan, syahadatnya Fir’aun (Yunus 90) tidak diterima. Jika demikian, mampu
mengucap syahadat di akhir hayat tidak menjamin seseorang disucikan ruhnya dan masuk
surga. Artinya; hadis dari Mu’adz bin Jabal yang dirawi Abu Dawud, Thabrani, Baihaqi,
Naisaburi: “Siapa pun yang akhir kalamnya La ilaha illallah maka ia masuk surga” tidak
sepenuhnya benar. La ilaha illa Allah itu ucapan terakhir Fir’aun menjelang ajal. Padahal,
sebagaimana diyakini, susah mengikrarkan kalimat itu di akhir hayat. Apalagi bagi seorang
pendosa. Tapi, seorang Fir’aun bisa, dan itu didengar/direspon (“diterima”) langsung oleh
Tuhannya -Yunus 91.
Tapi ada juga hadis yang mengatakan, taubat Fir’aun dihalangi Jibril. Sebagaimana
disampaikan dari Ibnu Abbas: Sewaktu Allah menenggelamkan Fir‘aun, ia mengucapkan, “Aku
beriman bahwa tiada tuhan kecuali yang diimani kaum Bani Israil,” (Q.S. Yunus: 90).”
Kemudian, malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, seandainya
engkau melihatku, kala itu aku mengambil tanah hitam dari dasar lautan. Lalu
memasukkannya ke dalam mulut Fir‘aun karena takut ia diliputi oleh rahmat” (HR. Tirmizi).
Ada sentimen apa antara Jibril dengan Fir’aun. Kok tega ia menghalang-halangi orang untuk
bertaubat. Padahal Allah sendiri menyuruh semua orang, tak peduli apa dosanya, untuk
bertaubat.
Atau, Fir’aun memang telah mengikrarkan syahadat; tapi tidak sampai ke hati. Sebab,
sebagaimana umum dipahami, iman itu adalah sesuatu yang diikrarkan dan sampai ke hati:
‫َم ْن َﰷ َن ٓ ِخ َر َ َ ِم ِه َﻻ ا ٰ َ اﻻ ﷲ َد َ َﻞ الْ َجن َة‬
Tapi sulit juga menyatakan Fir’aun tidak punya kesadaran qalbu ketika menyebut kalimat-
kalimat itu. Kalau kita telisik isi Alquran, kalimat “wa ana minal muslimin” sebagaimana
diucapkan Fir’aun dipenghujung Yunus 90 di atas, adalah kalam khas para Nabi saat
menyatakan kepasrahan mereka kepada Allah SWT. Itu juga kalimat yang kita gunakan pada
setiap rakaat awal sholat kita. Jangan-jangan, dengan berbagai kedhaliman/kemungkaran yang
telah kita lakukan, pernyataan keislaman kita dalam setiap sholat tidak diterima Allah.
Kalau Fir’aun serius mengikrarkan syahadat dengan penuh kesadaran, sulit juga kita
membayangkan bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang tidak mengampuninya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 113


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sebab, sebagaimana kita ketahui, “Keampunan-Nya melampaui Murka-Nya”. Bandingkan


dengan anak (dan istri) Nabi Nuh as, yang disaat genting mau mati tenggelam dalam banjir
besar, masih tegas menolak ikut dan mengakui kenabian ayahnya. Itu wajar tidak diampuni.
Karena egonya tinggi sekali. Tapi Fir’aun, disaat mau tenggelam, sadar akan kebenaran Musa
dan mau mengakui kebenaran yang dibawanya. Tidakkah tindakannya jauh lebih progresif dan
terpuji daripada anaknya Nuh, ataupun anak-anak nabi lainnya yang sampai mati masih
menolak kebenaran yang dibawa ayah mereka?
Atau, syahadat Fir’aun tertolak karena diucap ketika nyawa sudah sampai tenggorokan.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla menerima tobat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan” (riwayat
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). Namun perlu dikaji kembali, apakah kalimah syahadat dan
penyataan kepasrahan yang terlihat begitu lugas dan indah (mirip-mirip munajat), itu
diucapkan Fir’aun sebelum nyawa sampai tenggorokan, atau justru setelah sampai
tenggorokan. Kalau sudah sampai tenggorokan, sepertinya tidak lagi lahir ucapan-ucapan yang
indah.
Fir’aun kelihatannya telah menjadi sosok paling kontroversial dalam sejarah. Namanya telah
mencuat sebagai figur paling “radikal”. Di Quran sebenarnya juga sudah digambarkan, betapa
kesalnya Musa dengan Fir’aun karena tidak mau beriman. Saking kesalnya, Musa as
berdoa agar Fir’aun tidak beriman sampai datang azab kepadanya (QS. Yunus: 88). Akhirnya
persis seperti yang didoakan Musa, setelah berhadapan dengan azab, baru dia beriman. Kita
juga begitu. Kalau sudah ada masalah, baru minta ampun dan dekat dengan Allah.
‫َوقَا َل ُم ْو ٰﳻ َربنَا ٓ ِا َنك ٰاتَ ْ َت ِف ْر َع ْو َن َو َم َ َﻼ ٗه ِزيْ َن ًة و َا ْم َو ًاﻻ ِﰱ الْ َح ٰيو ِة ا نْ َيا ۗ َرب َنا ِل ُي ِضل ْوا َع ْن‬
‫َس ِ ْ ِ َ َۚربنَا ْاط ِم ْس َ ٰ ٓﲆ اَ ْم َوا ِلهِ ْم َو ْاشدُ ْد َ ٰﲆ قُلُ ْوﲠِ ِ ْم فَ َﻼ يُ ْؤ ِم ُ ْوا َح ٰ ّﱴ َ َر ُوا الْ َع َذ َاب ْ َاﻻ ِل ْ َﲓ‬
Musa berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberikan kepada Fir‘aun dan
para pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami,
(akibat pemberian itu) mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami,
binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka sehingga mereka tidak
beriman SAMPAI mereka melihat azab yang sangat pedih (QS. Yunus: 88)
Itu alternatif cara mendoakan orang. Kalau di doakan secara baik-baik seseorang tidak mau
sadar; di doakan saja yang jahat-jahat, biar seseorang menjadi baik. Misalnya, seorang ibu
mendoakan anaknya yang sangat nakal, suka balapan motor, secara baik-baik: “Nak, kalau
bawa motor pelan saja ya, biar engkau selamat”. Itu doa yang baik. Tapi, kalau sudah berulang
kali dinasehati tidak digubris, masih ngebut juga, doanya bisa berubah menjadi keras: “Sudah
keras hatimu nak ya, tak usah kau dengar lagi ibumu, sampai kau jatuh kena azab dan patah
kaki, nanti baru kau sadar”. Itu sudah masuk kategori doa minta dicelakakan, agar si anak

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 114


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

menjadi tersadar. Doa Musa as untuk Fir’aun di Yunus 88 sudah pada level sangat keras seperti
itu.
Ternyata benar; sebagaimana di doakan oleh Musa as, setelah mendapat celaka, baru Fir’aun
sadar. Artinya, Fir’aun itu sadar berkat doa Musa as. Syukur dia mau sadar. Ada juga diantara
kita yang sudah berulang kali di azab Tuhan, belum juga sadar. Sudah dikirim tsunami, gempa
bumi, tanah longsor, kebakaran, kekeringan, banjir bandang dan pandemi; masih merasa diri
paling benar. Masih dhalim, korup dan jahat. Dan tidak ada tanda-tanda kita akan serius
bertaubat.
Namun rasa pertaubatan Fir’aun yang begitu dalam seperti terlupakan oleh manusia. Yang
diingat oleh masyarakat adalah rentetan kejahatannya. Imej jahat kita, walaupun sudah
bertaubat, memang susah hilang. Walaupun di sisa waktu mungkin sempat sadar untuk
mengagungkan nama Allah. Tapi yang sedikit baik di akhir usia tersebut sudah tidak populer.
Sebab, bad news is good news. Kita butuh seseorang untuk selalu kita kafir-kafirkan.
Betapa pengampunnya Allah dan betapa pendendamnya manusia. Ingat bagaimana kisah
seorang pemuda yang telah membunuh 99 orang. Ia berjalan kesana kemari untuk mencari tau,
apakah masih ada keampunan bagi orang sejahat dia. Sampai kemudian ia bertemu seorang
ulama, yang secara tegas mengatakan: “Tak ada kata ampun bagi orang sesadis kamu”.
Akhirnya ia membunuh ulama itu. Sebab, apa bedanya, membunuh 99 orang dengan 100
orang, jika memang tidak diampuni. Akhirnya ia bertemu seorang bijak yang mengatakan,
“Tak sedikitpun sulit bagi Tuhan untuk mengampuni orang yang bahkan lebih jahat dari
kamu, selama sungguh-sungguh bertaubat”. Pernyataan ini telah membawanya kepada
pertaubatan, walau sebelumnya ia bahkan pernah membunuh seorang ulama. Lalu bagaimana
jika Fir’aun yang super jahat itu datang kepada anda untuk bertanya, apakah akan diterima jika
ia bertaubat?
***
“Fushushul Hikam”-nya Ibnu Arabi menjadi sangat kontroversial, ketika ia punya perspektif
berbeda tentang Fir’aun. Padahal, Ibnu Arabi ini penulis paling brilian. Tapi menyisakan
“kenakalan” yang berat untuk kita terima. Mengikuti Ibnu Arabi sama beratnya dengan
mengikuti alur pikir Khizir. Pandangan kasyafnya sering berbeda dengan keilmuan awam. Ia
bahkan punya perspektif wujudiyah terhadap sosok Fir’aun yang begitu “keramat”, ketika ia
mengatakan dirinya sebagai “Tuhan”. Ini sangat mengguncang nalar awam.
Kalau ditelisik lebih dalam, konflik Fir’aun dan Musa as, itu sebenarnya perang dalam satu
agama. Perang memperebutkan otoritas ke-Tuhan-an. Dengan segala kuasanya Fir’aun
berusaha menyingkirkan karibnya, Musa. Bahkan ketua Majelis Ulama (MUI) masa itu, Syeikh
Bal’am ada dalam barisan Fir’aun. Mungkin banyak penghafal Quran dan hadis (ahli kitab)
pada masa itu yang memilih berada dalam barisan Fir’aun. Mungkin karena gaji dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 115


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

pendapatannya lebih terjamin. Sebagaimana disinggung dalam Yunus 88, harta kekayaan
Fir’aun telah memperdaya mereka. Para Aali Fir’aun yang terperdaya ini diancam neraka.
Sementara, di surah lain seperti Ghafir 28 juga menyebutkan, ada diantara Aali Fir’aun lainnya
yang beriman dan tentunya masuk surga.
Tapi Fir’aun sendiri; setelah mengalami cobaan, azab dan siksaan berkali-kali, akhirnya sadar.
Karena itulah, Syaikh sufi dari Andalusia ini mengatakan, ruh Fir’aun telah disucikan Tuhan.
Ini kontradiktif dengan pandangan sebagian besar mufassir, yang sampai hari ini masih sepakat
memasukkan Fir’aun ke dalam neraka. Kita sepakat untuk menghakimi pertaubatan Fir’aun
sebagai strategi “terjepit” dan itu dianggap tidak sah!
Mungkin karena itu pula, keislaman sosok seperti Abu Sufyan juga diragukan. Sebab, ia
menerima Islam justru saat sudah sangat terjepit. Kalau tidak menerima Islam saat itu, ia pasti
dihukum mati. Itu terjadi ketika Futuh Mekkah pada tahun 8 hijrah (630 M). Nabi memimpin
langsung 10.000 pasukan ke jantung Mekkah. Jauh sebelum itu, ia sebenarnya juga tidak kalah
jahatnya seperti Fir’aun. Sepanjang usia ia habiskan untuk melawan dakwah Sang Penghulu
para nabi.
Iman, itu diartikan sebagai: “Menyatakan dengan lisan dan membenarkan dengan hati”.
‫َواﻻﳝ َ ُان ه َُو ْاﻻ ْق َر ُار ِ ِلّ َس ِان َوالت ْص ِد ُيق ِ لْ َجنَ ِان‬
Maka, sulit juga mengukur kebenaran Islam tidaknya Abu Sufyan secara hakiki. Karena ia
menerima Tuhannya Muhammad justru saat tidak tau mau lari kemana lagi, seperti Fir’aun
yang mau tenggelam. Bukan dilakukan dalam keadaan sadar jauh-jauh hari. Tapi tetap
diampuni bahkan dihormati oleh Muhammad. Padahal itu musuh nomor satu. Bayangkan;
betapa mulia, pengasih dan penyayangnya Muhammad.
Sebenarnya banyak sekali orang-orang yang masuk Islam di periode-periode akhir setelah
hijrah, yang diragukan keimanannya. Banyak membuat kekacauan setelahnya. Itu juga terjadi
sampai pada anak dan cucu Abu Sufyan. Jika Abu Sufyan paling getol memimpin perlawanan
terhadap Muhammad pada masanya; anaknya (Muawiyah) juga begitu. Ia paling terdepan
dalam memimpin bughat (kudeta) melawan khalifah ke empat dalam Islam yang dipimpin Ali
bin Abi Thalib, orang terdekat Nabi. Bahkan ia meracuni cucu Nabi (Sayyidina Hasan). Pun
demikian dengan Yazid bin Muawiyah (cucu Abu Sufyan, anak dari Muawiyah), meneruskan
perang dengan Keluarga Nabi. Ia menjadi pembantai Sayyidina Husain beserta keluarga Rasul
SAW lainnya, termasuk anak-anak.
Kita tidak tau berapa bayi laki-laki yang pernah di bunuh Fir’aun di zaman kelahiran Musa
untuk mengamankan kekuasaannya dimasa depan. Anda juga bisa membaca kembali sejarah,
berapa bayi dari zuriat Nabi yang dibantai pada 10 Muharram tahun 61 H di dekat Eufrat,
untuk menjamin kelangsungan kekuasaan para ramses dari dinasti Umayyah. Alhamdulillah,

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 116


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

satu Musa kecil selamat. Ia menjadi salah satu pelanjut cita-cita Muhammad. Betapa banyak
imam dan sufi-sufi agung yang menjadi kiblat ketuhanan, yang lahir darinya.
Motif perang Bani Umayyah terhadap Bani Muhammad sama persis dengan perang Fir’aun
melawan Musa. Dipercaya, Musa dapat mengambil alih kekuasaan Fir’aun. Dinasti Umayyah
telah berkuasa sebelum Muhammad lahir. Kemunculan Muhammad justru mengambil alih
semua pundi-pundi kekuasaan mereka. Secara politis mereka tentu marah dan menolak
kenabian Muhammad. Bahkan jauh setelah wafatnya Muhammad dan Ali, mereka masih
mencari dan membasmi musa-musa kecil, agar tidak mengganggu kekuasaan mereka.
Keturunan Nabi semua dicari, dikejar, bahkan diracun dan dibunuh. Diaspora keluarga Nabi
mulai terjadi pada periode fir’aun-fir’aun ini.
Fir’aun-fir’aun arab ini punya power besar juga. Mereka mampu mengambil alih kekuasaan
Islam paska Khalifah ke empat. Mampu menyingkirkan anak turunan Muhammad dan
pengikutnya. Tapi mereka tidak mampu mewarisi spiritualitas mereka. Sampai hari ini, sanad
spiritual keislaman (tarikat dan sufisme, misalnya) semua lahir dari itrah Nabi dan musa-
musa yang selamat dari kejaran mereka. Walaupun demikian, fir’aun-fir’aun ini juga menguasai
agama. Mereka juga memiliki bal’am-bal’am yang alim dan mampu membuat hadis-hadis palsu
untuk memuaskan mereka. Hadis-hadis ini bodong ini telah banyak meracuni kita sampai hari
ini. Bayangkan, imam Bukhari saja menyortir 7 sampai 9 ribu yang dianggap sahih, dari 600
ribu hadis yang ia punya. Yang sedikit tersisa itupun sampai hari ini masih ada yang
mengkritisi, dicurigai masih ada sisa-sisa riwayat bal’am.
Namun demikian, tidak semua ramses pada dinasti Umayyah ini zalim. Beberapa justru sangat
mulia dan terhormat, seperti Umar bin Abdul Aziz. Selebihnya kita hanya bisa berdoa. Semoga
Allah menerima keislaman fir’aun-fir’aun lainnya, yang kezalimannya luar biasa. Mereka semua
bersyahadat, berpakaian muslim. Walau membingungkan banyak orang sampai sekarang;
apakah syahadatnya sampai ke hati, atau hanya sampai di tenggorokan.
Mari seperti Ibnu Arabi, berbaik sangka saja. Bahwa mereka semua adalah muslim. Toh,
Fir’aun itu juga saudaranya Musa. Satu istana mereka. Bahkan mungkin tinggal satu kamar.
Abu Sufyan juga begitu, Bani Quraisy juga, satu kaum dengan Muhammad. Pun Ali bagi
Muhammad, itu juga ibarat Harun bagi Musa (hadis). Sejarah berulang seperti itu-itu saja,
pada waktu dan tempat berbeda.
Dalam hal ini, Ibnu Arabi tampil sebagai tokoh yang sangat toleran. Kalau sudah berani
memasukkan Fir’aun sebagai “muslim” dan “suci”; saya kira tidak ada lagi di dunia ini orang
yang lebih toleran dari Ibnu Arabi. Wajar kalau beliau digelar Syaikh Akbar dalam wawasan
sufi. Sudah menjadi tradisi sufi, alih-alih mengkafirkan dan membid’ahkan yang lain, mereka
justru cenderung melihat kelebihan orang. Walau kelebihannya sangat sedikit. Yang sedikit
inipun, dalam pandangan sufi, sudah menyebabkan seseorang layak masuk surga. Ibnu Arabi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 117


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

memiliki positif thinking terhadap tokoh terjahat sekalipun. Dan Fir’aun, dalam khazanah
Quran, tidak ada yang lebih jahat dari dia.
Sekali lagi, tidak ada yang menyaingi “kelapangan dada” seorang Ibnu Arabi. Hanya dengan
satu atau dua ayat saja, ia telah melihat keimanan pada sosok antagonis seperti Fir’aun.
Anehnya, orang-orang Islam justru menggunakan semua ayat dan hadis untuk siang malam
berdakwah guna menjebloskan saudaranya ke neraka. Betapa picik dan sempitnya jiwa orang-
orang yang menyebut saudaranya telah melakukan bid’ah dan khurafat hanya gegara mereka
berdoa untuk saudaranya lewat samadiah, tahlil, dan kenduri; serta suka memuja dan memuji
Nabinya lewat maulid dan barzanji. Ketika saudaranya sendiri sudah puas ia kafirkan semua,
tentu tidak tersisa lagi muslim di permukaan bumi ini. Selain dia sendiri. Jika Ibnu Arabi
berada pada ujung spektrum dari contoh seorang muslim yang punya cara berfikir paling
“bijak”, orang-orang ini berada pada ujung spektrum yang lain sebagai sampel “terpicik”.
Kita boleh tidak setuju dengan Ibnu Arabi tentang keimanan Fir’aun (sebenarnya ada berbagai
alasan lain yang beliau ungkapkan dalam Fushushul Hikam terkait keimanan Fir’aun). Kita
boleh saja tetap meyakini jika Fir’aun dan orang-orang zalim seperti Fir’aun (yang syahadat
dan keislamannya hanya dibibir saja namun akhlaknya keji lagi tercela) adalah tempatnya di
neraka.
Kita boleh kritis, melihat ini salah, itu salah. Boleh. Tapi jangan lupa mengembangkan cara
berfikir yang arif, wise. Silakan mengkritik Fir’aun, bahkan mengasah pedang untuk
melawannya. Silakan berjihad melawan penguasa zalim. Tapi, sisakan sedikit cakrawala untuk
menangkap hikmah dari setiap peristiwa. Beri ruang bagi anda sendiri untuk bernafas, untuk
berdamai dan menangkap pesan-pesan berbeda. Bahkan rahasia-rahasia dari sebuah
perkara. Wallahu ‘alam bish-shawab.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 53 | Juli 2022


MAKRIFAT ITU APA?
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Kalau tiba-tiba dalam benak anda terlintas keinginan untuk makan, maka berhentilah sejenak.
Tahan dulu keinginan anda. Tanyakan kepada Allah, apakah boleh atau tidak bagi anda untuk
makan.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 118


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ketika Dia misalnya menjawab: “Tidak Boleh” (artinya tidak ada izin untuk makan), lalu anda
pasrah dan tidak jadi makan, maka itu pertanda anda telah tunduk pada keinginan/perintah
Allah. Bukan pada keinginan nafsu anda.
Masalahnya, anda tidak tau cara bertanya kepada Allah, juga tidak tau seperti apa cara Dia
menjawabnya. Sebab, anda tidak mengenal Allah. Juga tidak tau Dia menggunakan bahasa apa
saja.
Itulah urgensi “makrifat” dalam tradisi gnostis (sufisme/irfan). Makrifat artinya “mengenal”.
Bersahabat. Saling menyapa. Akrab. Dengan makrifat inilah kita mampu berkomunikasi
dengan Allah. Makrifat ini ilmu para nabi, para imam dan wali-wali.
Artinya apa?
Tidak mudah mengalahkan nafsu (keinginan-keinginan yang muncul dari ego pribadi kita).
Kecuali pada saat yang sama kita juga mengetahui apa maunya Allah. Itulah mengapa, tanpa
makrifat, kita semua berpotensi tersesat dalam tafsiran akal dan nafsu.
Contoh di atas baru keinginan “nafsu” untuk makan. Belum lagi keinginan-keinginan (bisikan)
iblis dalam diri, yang mendorong kita untuk melakukan berbagai hal, termasuk hal-hal (yang
seolah-olah) terlihat baik. Padahal Allah sendiri belum tentu setuju dengan kebaikan itu. Kalau
itu sebuah kebaikan yang dibisiki/disuruh kerjakan oleh iblis, sudah pasti Allah melarang.
Sebab, segala sesuatu yang datangnya dari iblis dan setan, pasti batil. Karena kerjaannya
memang untuk menyesatkan orang. Maka, kita harus mendengar apa yang baik, yang
datangnya hanya dari Allah.
Begitulah “etika beragama”. Lebih tepatnya “etika bertuhan”. Walaupun kita secara mandiri
(menurut hukum-hukum akal dan syari’at) mampu berfikir apa yang terbaik buat diri kita
sendiri, tapi etisnya harus minta izin terlebih dahulu, konfirmasi kepada Allah.
“Ya Allah, boleh saya makan sekarang?”, kita bertanya. “Boleh”, jawab Allah. Baru kita makan.
“Ya Allah, boleh saya tidur disini?”, kita bertanya. “Tidak boleh”, jawab Allah. Maka jangan
tidur disitu.
“Ya Allah; boleh saya naik haji tahun depan?”, kita bertanya. “Tidak boleh, haram!”, jawab
Allah. Maka jangan dilakukan. Allah Mengetahiui apa yang terbaik secara aktual buat kita.
Jangan menganggap semua yang baik itu baik. Jangan merasa lebih tau dari Allah.
Kita ini “abdi” Allah. Sama seperti abdi negara, yang juga harus memelihara etika. Ketika mau
bicara, minta izin dulu kepada atasan. Ketika diberi izin, baru bicara. Itu namanya tindakan
yang telah memperoleh “ridha atasan”. Sebagai hamba Allah, segala tindakan juga harus
terlebih dahulu memperoleh izin/ridha Allah. Itulah makna insya-Allah, telah mendapat izin
Allah.
Kalau semua tindakan kita sudah diizinkan/diridhai Allah, tentu di akhirat tidak ada lagi
“hisab” (pemeriksaan). Sebab, semuanya sejak awal sudah di setujui Allah. Ngapain lagi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 119


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

diperiksa. Itulah orang-orang yang masuk surga tanpa hisab. Karena semua tindakannya sudah
tersucikan sejak awal. Allah selalu hadir dalam setiap pemilihan keputusan sebuah tindakan.
Beda dengan orang-orang yang belum makrifat (sejak di dunia tidak pernah bertegur sapa
dengan Allah). Semua amalnya akan di audit (dihisab) secara ketat di akhirat. Karena
semuanya dilakukan atas dasar kebaikan menurut hawa nafsu, akal pikiran dan berbagai
tafsir/teori/doktrin mazhab. Yang semua itu belum tentu benar, dan bahkan besar sekali
potensi salah. Dalam konteks inilah dikatakan: “Barang siapa menggunakan akalnya, maka
tempatnya di neraka” (hadis). Karena harusnya Allah lah yang bicara, bukan akalnya. Apalagi
akal-akalan. Kira-kira begitu.
Oleh sebab itu, makrifat itu penting sekali. Makrifat inilah yang menjamin kita masuk surga.
Sebab, sejak di dunia sudah akrab dengan Allah. Karena itulah dikatakan, “fondasi (awal) dari
agama adalah makrifatullah”. Awaluddin makrifatullah.
Namun, untuk mencapai makrifat juga bukan perkara mudah. Anda tidak akan pernah
mengenal Allah, kecuali ada seorang kekasih Allah yang memperkenalkan-Nya kepada
anda. “Hai Fulan, ini adalah engkau; dan ini adalah Allah”. Guru spiritual itulah yang akan
memperkenalkan yang mana dirimu, dan yang mana Allah. Bahkan sampai pada titik dimana
engkau tidak mengenal apapun, selain Allah. Maka, barangsiapa mengenal kekasih Allah, ia
akan mengenal Allah.
Dengan demikian, hidup ini tidak perlu susah-susah. Pertama, jangan menyembah Tuhan yang
tidak anda kenal. Itu bahaya! Seperti kata Sayyidina Ali, “Aku tidak menyembah Tuhan yang
tidak aku lihat“. Kedua, jangan juga merepotkan diri untuk mencari Allah. Tidak bakal
ketemu. Di dunia saja anda bisa tersesat. Apalagi menempuh jalan menuju akhirat. Peta tidak
ada, alamat Tuhan pun tidak jelas.
Cari saja kekasih Allah, sosok yang akan mengantarkan anda. Kalau tidak ketemu dia di
masjid, coba cari di pusat perbelanjaan, di mall atau shopping center. Sebab, Muhammad SAW
pun, dulu, sering dijumpai sedang jualan di tengah pasar. Beruntung kalian, kalau ketemu dia
sedang minum sanger di warung kopi!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 54 | Agustus 2022


MEMAHAMI MAKNA “KITAB”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 120


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

‫َوِا ْذ ٰاتَ ْ َا ُم ْو َﳻ الْ ِك ٰ َب َوالْ ُف ْرقَ َان لَ َعل ُ ْﲂ ﲥَ ْتَدُ ْو َن‬


(Ingatlah) ketika Kami memberikan kitab dan furqān kepada Musa agar kamu memperoleh
petunjuk (QS. Al-Baqarah: 53)
“Kitab”, secara material dipahami sebagai “buku”. Kalau ini pemahamannya, maka tak ada satu
nabi pun yang sejak awal diberikan “buku” (kitab) suci oleh Tuhan mereka. Tidak ada malaikat
yang turun dari langit yang membawa satu set buku (kitab) untuk diserahkan kepada seorang
nabi. Allah tidak pernah menurunkan “kitab” (buku), ataupun “suhuf” (lembaran buku).
“Kitab” dalam bentuk buku itu murni hasil karya manusia setelah sekian lama mengumpulkan
ayat-ayat yang mungkin tersebar dimana-mana. Bahkan selevel Alquran pun harus disusun
panitia untuk menciptakan “kitab” (Mushaf Usmani). Itupun dilakukan jauh setelah
Muhammad SAW tiada, dengan cara mengumpulkan catatan-catatan yang dimiliki sejumlah
orang.
Musa as juga begitu, saat turun dari gunung Sinai hanya membawa selemping pesan Tuhan,
yang isinya pun sangat terbatas dan sederhana. Bukan kitab yang tebal dan berjilid-jilid.
“Kitab” Taurat dalam bentuk buku/mushaf (lembaran kertas) itu murni hasil karya manusia.
Bukan buatan Tuhan. Bukan diturunkan secara langsung oleh Tuhan.
Maka, ketika ada ayat yang mengatakan bahwa para nabi diberi “kitab”, kita harus punya
pemahaman yang lebih substantif tentang apa yang dimaksud “kitab”.
Apa itu “Kitab”?
Yang jelas, apa yang awalnya diturunkan kepada para nabi tidaklah dalam bentuk buku kitab.
Melainkan sesuatu yang tidak berhuruf dan bersuara, yang masuk dalam Ruhani orang-orang
suci. Itulah “kitab”.
Kitab ini bentuknya sangat ruhaniah. Hidup. Aktif dan senantiasa berbicara secara laduni
(intuitif). Karena keberadaannya senantiasa mengarahkan seorang nabi, maka ia dapat disebut
sebagai “kitab”. Yaitu, kumpulan makhluk ruhaniah yang selalu membisiki, alias memberi
“catatan-catatan”, menjadi “furqan” (pembeda) tentang baik buruk atau benar salah sesuatu.
Karena hidup dan berbicara, “kitab” ini juga dapat disebut sebagai “ruh” ataupun “malaikat”
yang mengisi lembaran-lembaran jiwa para nabi. Malaikat-malaikat inilah yang senantiasa
berbicara kepada mereka. Semua ada dalam diri seorang nabi.
Karena itulah, “kitab” pertama yang diturunkan kepada manusia berbentuk firman yang
bersifat “anfusi” (berupa lembaran-lembaran gelombang suci ketuhanan yang mengisi jiwa).
Tidak berhuruf dan bersuara. Tetapi selalu mengarahkan gerak dan tindakan seorang nabi
secara ruhiah. Baru kemudian, ketika para nabi berhadapan dengan konteks sosial, ada sesuatu
yang disuarakan/dibahasakan. Ketika ucapan-ucapan ini dikemudian hari ditulis ulang, jadilah
ia sebagai bentuk firman “kitabi” (tertulis).

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 121


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Pertanyaannya, bisakah kita memperoleh “firman anfusi” (Kitab Ruhaniah); yang mengisi jiwa
dan selalu berbicara secara laduniah kepada kita setiap menghadapi masalah?
Bisa. Ada proses “penyucian diri” yang harus dilakukan untuk mendapatkan jenis kitab paling
suci ini. Sebab, kitab jenis ini tidak dapat diperoleh, kecuali oleh orang-orang yang telah
disucikan -harus ada orang yang mensucikan anda (QS. Al-Waqiah: 79). Sementara, Kitab
berbentuk buku, itu bisa dibeli, disentuh atau dipegang oleh seorang kafir sekalipun. Lagi
berhadas besar pun anda bisa menyentuh dan memeluknya, kalau anda mau. Karena itu cuma
buku cetakan.
Kalau anda mendalami dan mempraktikkan tasawuf lewat bimbingan seorang Wali Allah, anda
akan memperoleh apa yang disebut, misalnya “muraqabah” (baca penjelasan Al-Ghazali dan
para sufi akbar lainnya terkait ini). Ini semua adalah bentuk-bentuk dari “kitab” dalam dimensi
ruhaniah yang tidak berhuruf dan bersuara. “Kitab” ini sangat langka. Karena tidak semua
penempuh jalan Ruhani mampu memperolehnya. Kecuali guru spiritual anda benar-benar
punya otoritas kerasulan (mewarisi Nabi) dalam tugas-tugas mensucikan jiwa manusia.
Jadi, jika anda menyandarkan hidup pada “buku” kitab, anda harus rajin-rajin membuka dan
membaca Alquran cetak. Anda harus memahami arti, juga menafsirkan apa makna ayatnya. Ini
menjadi wilayah kecerdasan kognitif (otak/aqliyah). Tapi bagus untuk dilakukan, walaupun
mungkin kurang efisien (kelamaan). Bayangkan, kalau seorang nabi dihadapkan pada sebuah
masalah, lalu harus bekerja keras mencari solusi dengan membuka buku kitab yang begitu
tebal dan menelusuri ayat demi ayat. Wah ribet sekali.
Tapi, bagi anda yang punya kecakapan ruhaniah (kenyataannya, para nabi semua begitu);
kalau ada masalah, cukup tanyakan kepada Allah. Dia akan menjawabnya secara langsung.
Inilah “kitab nafsani”, Ruh dan malaikat yang diturunkan untuk berbicara kepada anda (QS.
Al-Qadar: 4). Ini hanya dimiliki hanya oleh orang-orang yang dekat dan mengenal Allah.
Makanya, para nabi tidak membaca, mengoleksi dan menulis kitab (“ummi”, QS. Al-Ankabut:
45). Karena ada Allah bersama mereka. Semua sudah tertulis dalam diri mereka. Merekalah
kitab!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 55 | Agustus 2022


HIJAB PENGETAHUAN: “7 LAPIS BUMI DAN LANGIT”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Dunia ini berlapis-lapis. Apa yang muncul ke permukaan, itu adalah “fenomena”; sesuatu yang
disebabkan oleh hal-hal yang lebih mendasar. Ada hidden faktor yang melahirkan sesuatu.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 122
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Penyebab ini tidak selalu diketahui. Karena ter-“hijab”, laten, tersembunyi. Ketika hijab ini,
melalui metodologi tertentu dapat disingkap; maka akan diperoleh informasi atau kebenaran
yang melatarbelakangi sesuatu. Ini pelajaran dasar dalam research methodology.
Dunia akademis sangat menggandrungi usaha menyingkap hal-hal tersembunyi. Begitu juga
dunia sufi, kerjanya juga mengungkap berbagai tabir (kegaiban) yang menyelimuti alam
tertentu. Karena itu, kata-kata “hijab” sangat populer dalam dunia mistisisme. Hijab
merupakan lembaran-lembaran variabel yang harus dikuak, kebenaran ontologi yang harus
diusut, agar sebuah misteri terjawab.
Arah dari pendidikan ilmiah adalah untuk menyingkap penyebab wujud/terjadi/lahirnya
sesuatu. Baik di alam fisika (material-observatif), maupun alam di metafisika (ruhaniah-
eksperensial). Dalam hirarki ontologi (wujud), alam fisika adalah adalah “alam rendah”
(diistilahkan sebagai: “bumi”). Sedangkan metafisika adalah alam asal, alam yang menyebabkan
segala sesuatu terjadi di bawahnya (dunia/bumi). Karena itu, level alam metafisika dalam
hirarki wujud itu lebih tinggi (sehingga disebut: “langit”).
Dalam pandangan dasar sufisme (basic Sufism), itu diakui, bahwa hal-hal material merupakan
penyebab berbagai fenomena di alam empirik (alam semesta/macrocosmic). Sementara pada
tingkatan advanced sufism, itu berupaya mengungkap aneka penyebab yang memunculkan
fenomena-fenomena lahiriah di alam kasat. Jadi, kerja para sufi melampaui alam fisika. Riset
mereka meluncur jauh sampai ke alam metafisika (alam numena/microcosmic).
Tentu pengetahuan kita sangat rendah, jika sekedar mengatakan, bahwa penyebab terjadinya
gempa adalah karena pergeseran lempeng bumi. Walau jawaban itu sudah cukup memuaskan
pada tingkatan macrocosmic. Jawaban ini sudah cukup mampu melahirkan berbagai rumus
terkait sains alam.
Tetapi, ketika pertanyaan terus dilanjutkan, kenapa lempeng bisa bergeser, kenapa hujan bisa
turun, kenapa api bisa membakar, kenapa bisa begini dan kenapa bisa begitu; maka akan
sampai kepada penemuan jawaban-jawaban yang lebih mendasar pada level mata rantai sebab-
akibat (kausalitas). Kausalitasnya akan sangat panjang, sampai ke ujung dunia materi. Selepas
ini, akan meluncur dan menyeberang lebih jauh lagi ke alam immateri. Ujung dari mata rantai
kausalitas ini tentulah apa yang disebut dalam bahasa filsafat sebagai, “Causa Prima”
(Penyebab Awal). Yang dalam bahasa umum agama dinamai “Tuhan”. Atau apa yang dalam
catatan Alquran ia perkenalkan dirinya secara khusus sebagai “Allah”.
Hanya saja, menyebut Allah sebagai penyebab awal segala sesuatu, tanpa mampu merinci
secara ilmiah mata rantai fenomena, itu sama dengan menarik kesimpulan secara terburu-buru.
Mesti ada penjelasan ilmiah terhadap tingkatan-tingkatan alam yang menjadi penyebab
terhadap alam-alam di bawahnya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 123


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dalam tradisi metafisika Islam, telah lahir orang-orang yang sukses meriset keberadaan alam-
alam yang lebih tinggi ini. Mereka telah menulis hasil-hasil kerja mereka dalam berbagai kitab
dan judul konsep. Al-Farabi (872-951 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M) menggagas
konsep emanasi Wujud dalam kerangka “gradasi Akal“. Al-Ghazali (1058-1111 M)
menuangkan masterpiece metafisika tasawuf moderatnya dalam “Ihya Ulumuddin”. Suhrawardi
(1154-1191 M) meneguhkan konsep iluminasi dalam “Hikmah Al-Isyraq”. Ibnu Arabi (1165-
1240 M) menulis pengalaman mukasyafah dan kesatuan wujudnya terkhusus dalam dua karya
fenomenal “Fushush Al-Hikam” dan “Futuhat Al-Makkiyyah”. Rumi (1207-1273 M) turut
mengungkap pandangan estetis batinnya dalam syair “Matsnawi”. Mulla Sadra (1572-1640)
kemudian menempatkan hikmah transendensial dan metafisika eksistensial dalam “Asfar Al-
Arba’ah”. Juga berbagai ulama regional lainnya seperti Abdurrauf bin Ali alias Tgk. Syiah
Kuala di Aceh (1615-1193 M) ikut meramu pandangan makrifatnya dalam “Martabat Tujuh”.
Masih banyak master sufi lain dengan berbagai karya fenomenal.
Mereka semua (selain filsuf dan juga ada yang berprofesi sebagai fuqaha) merupakan ilmuan
metafisika yang telah menempuh pendidikan ruhaniah, dan berhasil merangkum berbagai
pengalaman dari hasil penelitian spiritual. Aneka wujud metafisik yang menjadi sebab terhadap
alam fenomena, diungkap dalam karya-karya fenomenal mereka, dan bahkan menjadi rujukan
bagi generasi kemudian.
Sebenarnya, semua syekh akbar mengalami perjumpaan dengan Wujud Primer (Allah). Hanya
saja, tidak semua mereka punya tradisi menulis seperti yang lain. Apa yang ia alami dan terima
dari Tuhannya ada yang didikte dan ajarkan, lalu ditulis oleh orang lain.
Dari semua syekh sufi tersebut, yang paling agung adalah Muhammad SAW, dengan
Alqurannya, yang merupakan kompilasi dari pengungkapan Ruhani paling sakral. Karyanya ini
(Kalam Tuhan yang ia dokumentasikan dalam catatan-catatan), sangatlah misterius.
Kandungannya sangat dalam. Alquran merupakan karya yang menyingkap berbagai hirarki
wujud. Mulai dari alam metafisika murni (rabbani/nafsani) sampai ke ufuk sosiologis dan
fisis (afaqi). Sebagian bisa dipahami (muhkamat). Sebagian sangat simbolik dan susah
dicerna (mutasyabihat). Para ahli metafisik paska Beliau terus mengungkap dan
mengembangkan makna-makna yang ada dalam Kitab Agung tersebut; baik melalui nalar
filosofis, maupun pembuktian ruhaniah (pengulangan pengalaman) lebih lanjut. Sebab, sebuah
ajaran akan bernilai universal, manakala dapat direplika secara berulang diberbagai tempat dan
waktu. Apa yang dialami Muhammad SAW dapat dikatakan semakin kuat kebenaranya, ketika
itu memang dapat dialami oleh generasi, baik sebelum maupun sesudahnya. Sehingga, Islam
bukan hanya sebatas doktrin (teori). Tapi juga pengulangan “rasa” dalam beragama. Apa yang
dialami Muhammad, harus dapat dialami oleh umat.
“Langit dan Bumi yang Berlapis-lapis”

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 124


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kemampuan manusia untuk “melihat” (mengobservasi) sangat terbatas. Maka diperlukan


alat/metode untuk menembus berbagai eksistensi secara lebih dalam, lebih jauh, atau lebih
halus. Dulu, untuk melihat jagat raya yang maha luas ini menggunakan telescope
Hubble. Sekarang, dengan telescope Webb, eksistensi semesta dapat diakses lebih jauh, lebih
dalam dan lebih halus; secara instan.
Itu kasus dunia material, juga butuh kekuatan “cahaya”. Untuk melakukan perjalanan,
observasi dan menembusi outer space seperti ini, kita perlu “sultan” (kekuatan cahaya) yang
lebih tinggi dan lebih canggih dari sebelumnya. Jika Hubble Space Telescope (HST) yang
beroperasi sejak 24 April 1990 hanya mampu mengakses angkasa pada level optikal dengan
gelombang ultravioletnya; James Webb Space Telescope (JWST) yang dilaunching pada 25
Desember 2021 telah mampu menembus jarak lebih dalam dan jauh melalui gelombang
infrared.
Artinya, untuk mengakses lebih jauh wujud fisik dari alam semesta ini perlu kekuatan “cahaya
di atas cahaya”, atau gelombang-gelombang yang lebih tinggi. Begitu pula untuk mengakses
Wujud Absolut/melakukan mikraj ke inner space (langit ruhaniah), juga butuh “Burak”,
“Cahaya di Atas Cahaya”, gelombang atau kilatan-kilatan irsyad (Nur) yang lebih
tinggi. Nur ini biasanya ada pada seorang pewaris Nur. Dialah alat yang dapat digunakan
untuk mensimulasi dan membimbing kita untuk melakukan perjalanan ruhaniah, sampai Dzat
Allah menjadi ter-“observasi” secara ruhaniah.
Contoh lainnya terkait “langit dan bumi yang berlapis-lapis”. Secara kasat lahiriah misalnya,
melalui gelombang cahaya mata yang begitu pendek, kita hanya mampu melihat satu sosok
manusia di depan kita. Dengan unsur organ seperti tangan, kaki, mulut, mata, hidung, telinga,
dan sebagainya; yang membentuk keseluruhan wujud itu. Tetapi, manakala kita memiliki alat
lain yang memiliki cahaya yang lebih halus, tajam, tinggi dan cepat; kita akan terkejut.
Ternyata, saat kita observasi secara lebih detil, lebih senyap dan lebih hati-hati; akan terlihat
wujud-wujud lebih halus. Apa yang kita sebut manusia, ternyata hanya kumpulan sel. Sel
itupun hanya sekumpulan molekul. Molekul ini ternyata hanya komunitas dari atom. Atom
pun tidak bersifat mandiri, melainkan tersusun dari wujud proton dan neutron. Begitu
seterusnya, sampai kita sadar, paling tidak sampai era kuantum sekarang; bahwa, partikel
terkecil yang merupakan dasar penyusun wujud (eksistensi) dari segala yang ada adalah
“quark” (gelombang elektromagnetik, ataupun cahaya).
Maknanya, kita secara fisik rupanya bukanlah wujud ontologis dari materi. Melainkan
“cahaya”. Dan setelah itu juga bukanlah dimensi “void” (kosong), sebagaimana diyakini untuk
sementara (karena belum diketahui darimana datangnya cahaya ini). Sebab, secara logika, tidak
ada yang terbentuk dari kekosongan. Ada sebab wujudnya. Artinya, ada wujud “Cahaya Di atas
Cahaya”, ada gelombang-gelombang Cahaya lebih halus (gaib) dan lebih dalam (imanen) yang

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 125


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

membentuk kita semua. Mata rantai dari cahaya ini tentu masih panjang, dan mungkin butuh
waktu ribuan tahun dan teknologi lebih sophisticated untuk mampu melakukan observasi lebih
dalam (untuk tidak menyebutnya mustahil).
Sementara itu, sejak ribuan tahun lalu, para filsuf metafisika telah menyimpulkan, ujung dari
wujud kita dan keseluruhan material atom di semesta ini adalah “Cahaya Prima” itu sendiri
(Tuhan). Artinya, kita pada dimensi “awal” (al-awwalu) adalah Khalik. Pada dimensi
“akhir” (al-akhiru) adalah Makhluk. Khalik dan makhluk ada pada wujud mata rantai
kausalitas yang satu (Ahad). Singkatnya, secara hakiki tidak ada apapun yang eksis di semua
tingkatan alam, kecuali pancaran awal dari Wajah (Dzat)-Nya. Kita semua adalah
“penampakan”-Nya dalam aneka gelombang dan rupa, di berbagai alam. Keberadaan “alam
cahaya” (hirarki wujud metafisis) inilah yang diurai para sufi dan filsuf dalam aneka konsep
mereka, sebagaimana telah kita bahas di atas.
Jadi, apa yang disebut sebagai “7 Lapis Langit” dan “7 Lapis Bumi”, sebenarnya merujuk
kepada sebuah gambaran akan tabir, hijab dinding atau lapisan-lapisan pengetahuan yang
menyelimuti alam; baik alam fisika (bumi) maupun alam metafisika (langit). Jadi, ini bukan
sekedar lapisan bumi dan atmosfer yang menyelimuti kita. Tapi jauh lebih maknawi sebagai
“hijab” pengetahuan terkait Wujud. Untuk tembus ke Wajibul Wujud (Dzat Allah), anda harus
menguak 7 tabir semesta, mulai dari dimensi lahiriah sampai ke 7 semesta batiniah.
Jumlah tabir alam “fenomena” (fisik/materi) juga beragam. Untuk tembus dari dimensi kulit
sampai ke unsur atom, itu juga berlapis. Tergantung kehalusan persepsi dan observasi. Bisa jadi
ada puluhan, belasan, ratusan atau bahkan ribuan lapis. Tapi secara sederhana disingkat “7
Lapis Bumi”. Begitu pula dengan alam “numena” (immateri/non fisik), ada yang menyebut
sampai 70.000 hijab (atau 70.000 rasa) sebelum sampai kepada Yang Maha Wujud. Tapi
sederhananya diringkas menjadi “7 Lapis Langit” saja (7 lapis langit ruhaniah, 7 lokus lataif,
atau tujuh titik fatihah merupakan wilayah kajian dan praktik mujahadah dalam tariqah; yang
ketika masing titik itu dikuasai, akan ada kualitas seorang nabi yang akan muncul dalam diri
seorang murid).
Saintis yang telah mengungkap “lapisan-lapisan bumi” (tabir dunia materi dengan segala
kompleksitas dan kesempurnaannya) bisanya akan sampai pada kesadaran akan adanya Tuhan.
Einstein misalnya, betapa kagumnya ia akan eksistensi Tuhan dibalik semua temuan fisikanya.
Secara rasional-lahiriah, ia seorang yang beriman. Tapi untuk sampai pada kesadaran ruhaniah
yang hakiki, untuk benar-benar sampai kepada “rasa” dan pengalaman “kontak” dengan
Wujud Tuhannya itu, itu butuh metodologi lebih lanjut. Tentu ini sudah masuk dalam ranah
riset para nabi dan sufi. Ranah orang-orang yang menempuh metode khusus sampai
mengalami perjumpaan dengan-Nya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 126


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

KESIMPULAN. Islam itu ilmiah. Islam punya alat dan metodologi untuk menyingkap “hijab”
yang menyelimuti alam materi. Kenyataannya, telah lahir banyak saintis pada era tertentu,
yang sukses merumuskan dasar-dasar sains fisik/alam. Karya-karya mereka bahkan menjadi
jembatan untuk perkembangan sains modern. Baik dalam bidang fisika, astronomi, kimia,
kedokteran, biologi, sejarah, ekonomi, matematik, filsafat, dan lainnya.
Pada saat yang sama, sebagian besar mereka adalah ahli sufi, para mistikus yang melakukan
riset jauh sampai ke objek metafisis. Mereka masuk dalam gelombang-gelombang cahaya yang
lebih tinggi, melampaui dimensi “bumi/duniawi”; sampai
mengalami mukasyafah (pengungkapan-pengungkapan spiritual) terhadap wujud-wujud
ontologi lebih dalam (seperti malaikat dan seterusnya sampai kepada Allah).
Inilah yang terasa hilang dalam struktur bangunan keilmuan kita. Pengetahuan kita telah
mengalami sekularisasi. Ilmuan kita hanya menguasai “lapisan bumi” saja (ilmu tentang alam
dan masyarakat). Tidak sampai tembus ke “lapisan langit” (mengalami kehadiran Tuhan).
Semua penggalian, seminar, riset dan kajian; tidak sampai menemukan Tuhan. Bahkan bisa
semakin jauh dari-Nya. Semakin membuat orang tidak bermoral. Hilang karamah-nya sebagai
manusia.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 56 | Agustus 2022


KAPITALISME RELIGIUS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Kemanapun engkau menghadap, disitu ada uang”. Itu QS. Al-Baqarah 115, dalam perspektif
kaum kapitalis. Saya kira, itu benar. Selama disitu juga ada Allah. Ini yang kami maksud
sebagai “kapitalisme religius”.
***
Usaha memisahkan uang dengan Tuhan, itu haram hukumnya. Keduanya harus menyatu.
Kalau tidak begitu, kita bisa miskin; walau taat beribadah. Atau, bisa kaya raya, tapi jauh
dengan-Nya. Wujud Tuhan dengan uang harus manunggal. Itu baru sempurna bahagianya,
dunia dan akhirat.
Umat Islam secara global tertinggal secara ekonomi. Karena ada dikotomi antara Tuhan dan
uang. Kita di doktrin, Nabi kita orang miskin. Terus, kalau kaya, bakal lama masuk surga.
Karena panjang pertanggungjawabannya. Padahal, miskin pun telah banyak membawa kita
pada kekufuran. Solusinya, kita harus kaya raya, sekaligus ber-Tuhan secara sungguh-sungguh.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 127


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Tuhan dengan uang harus terintegrasi. Tidak boleh dicerai berai lagi. Ingat Tuhan, ingat uang.
Atau sebaliknya; ingat uang, ingat Tuhan. Itu “ekonomi Islam” yang sesungguhnya.
Sebab, “Ghoney” (Dia Yang Maha Kaya) dengan “Money” (uang) itu bunyinya hampir sama.
Artinya, Tuhan dengan uang merupakan dua hal yang berdekatan. “Ghoney” adalah dimensi
gaibnya. Sementara, wujud nyatanya adalah “Money”.
Saya tidak menyuruh Anda menyembah uang. Bukan pula uang itu “Tuhan”. Tapi, uang itu
sebenarnya adalah “jelmaan”, bentuk transformatif lahiriah dari Dia yang gaib dan maha kaya.
Maka sudah benar seperti yang tertulis dalam lembaran dolar Amerika: “in God we
trust”. Bayangkan, di Amerika yang kapitalis itu, Ada Tuhan pada uang. Keyakinan hakiki,
sejatinya memang ditujukan kepada Tuhan, bukan kepada uang. Uang hanya manifestasi dari
wujud kekayaan-Nya. Mungkin karena itu Yahudi terus kaya dimana-mana. Tauhidnya bagus.
Mereka selalu ingat Tuhan, bahkan itu tertera pada uang.
Cuma, ada “mata satu” pula disitu. Alias, menutup “sebelah mata” saat mencari uang. Uangnya
bertuhan. Tapi jiwanya ber-dajjal. Artinya, menghajar apa saja secara rakus. Menjajah,
menginvasi, mengkudeta dan membombardir negara lain untuk cari uang. Akhirnya, ya
terjatuh kembali pada kapitalisme murni. Riba. Secara ekonomi, bertuhan mereka, tapi
sayangnya munafik.
Tuhan dengan uang, itu letaknya berdekatan. Malah sangat dekat. Dalam spiritualitas Islam
dijelaskan. Allah, itu letaknya “dua jari di bawah susu kiri, arah ke kiri”. Di Qalbu dalam.
Sedangkan uang, itu ada di Qalbu luar. Tepat dilapis luarnya. Di kantong anda. Artinya, kalau
bertuhan, seharusnya juga beruang. Anehnya, kita merasa dekat dengan Yang Maha Kaya, tapi
kenapa masih miskin? Ada yang salah dengan kita.
Perhatikan. Salah satu ciri orang beriman, itu Qalbunya “berdetak” (bergetar). Ekonomi orang
beriman, harusnya juga berdetak. Tidak mati suri. Allah orang Islam itu Maha Hidup.
Ekonomi orang Islam harusnya juga sangat hidup. Tapi kita kalah sama orang Cina. Bahkan
kalah dengan maling/koruptor. Maling itu punya pandangan ekonomi yang sangat tajam.
Kemanapun memandang, yang dilihat hanya uang. Pandangan bisnisnya sangat kuat. Semua
bisa dijualnya. Artinya, mengabdi kepada setan saja bisa membuat orang kaya raya. Kenapa
kita yang 5 kali sehari menyembah Allah bisa miskin? Apa ini gambaran dari miskinnya
spiritualitas kita?
Spiritualitas kita sebenarnya sangat mendukung dan paralel dengan dunia material. Perhatikan
orang yang rajin berzikir. Itu tasbihnya ditarik-tarik, dengan telunjuk. Mirip sekali dengan
orang yang banyak uang, yang terus menggerakkan telunjuk saat menghitung uang.
Maknanya, orang yang banyak menghitung asma Tuhan, itu idealnya akan memperoleh rezeki
yang tak terhitung dari sisi Tuhan.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 128


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Begitulah Islam. Sisi ukhrawinya ada yang dihitung (asma Tuhan). Sisi duniawi juga begitu,
ada yang dihitung-hitung (uang). Hidup yang sempurna memang penuh hitung-hitungan.
Tuhan kita hitung. Uang juga kita hitung. Islam merupakan agama “hisab”, penuh hitungan.
Tanda kaya raya, lahir dan batin. Orang kaya hati memperbanyak hitungan zikir. Orang kaya
uang, memperbanyak hitungan donasi.
Maka, sekali lagi, jangan pernah pisahkan Tuhan dengan uang. Jangan pisahkan Dia yang
maha batiniah, dengan Raut Wajahnya pada setiap lembar lahiriah dari rejeki anda. Ingat
Tuhan, ingat uang. Ingat uang, ingat Tuhan. Kalau sudah begitu, tak ada celah bagi setan
untuk menggangu. Anda akan menjadi dermawan. Sebab, setan akan hadir manakala anda lupa
kepada-Nya. Sehingga anda menjadi pelit dan semakin rakus. Jangankan lupa Allah saat punya
uang, lupa Allah saat sholat juga akan dirasuki setan.
Uang akan bernilai suci, sama suci dengan lembaran kitab suci, ketika hadir Allahnya. Boleh
me-‘nuhan-‘kan uang, selama ada Tuhan disana. Kalau tidak, jangan. Bisa musyrik anda. Batu
Kakbah juga ‘disembah’ karena alasan itu. Dipandang ada dimensi (arah) ke-Tuhan-an disitu.
Tapi, jangan pula membungkuk-bungkuk, apalagi rukuk dan sujud ke arah uang. Bid’ah itu!
Begitulah. Sejatinya, dimensi batin dan lahir dalam Islam tidak dipisah. Harus menyatu. Jika
dipisah, akan sekuler kita. “Oh, Money” adalah wujud dari “Ya, Ghoney“. Uang harus
dipandang sebagai manifestasi, tajalli dari (kekayaan) Tuhan.
***
Penutup. Umat Islam harus punya spirit kaya. Kemanapun memandang, disitu ada uang. Ada
Tuhan yang maha kaya. Semua yang dilihat menjadi peluang bisnis. Ada nilai ekonomi dari
setiap jengkal tanah, dari setiap aset yang ada. Sekaligus berkesadaran bahwa semua itu milik
Tuhan. Seluruhnya punya Tuhan. Tak sedikitpun kita memilikinya.
Artinya, saat punya uang harus langsung sadar. Bahwa itu seluruhnya titipan. Untuk
dipergunakan pada urusan Tuhan, untuk memakmurkan bumi Tuhan. Kita ini hamba,
“pekerja”. Bukan pemilik. Ambil jatah sebatas gaji. Jangan ambil pokok, yang merupakan milik
Tuhan. Ambil 2,5 persen; sebagai bentuk zakat dari Tuhan untuk anda. Bukan memberi 2,5
persen kepada Tuhan; lalu menahan 97,5 persen sisanya untuk anda.
Itu yang disebut “kapitalisme religius”, atau “transcendental capitalism”. Mampu memandang
eksistensi Wajah Tuhan pada setiap lembaran uang. Bahwa itu total punya Tuhan. Bukan
punya kita. Kalau kesadaran etis ini sudah kita punya, mungkin kita akan diangkat Tuhan
sebagai “The Next Sulaiman”, diberi kekayaan yang berlimpah-limpah. Karena kesadaran “all
belongs to God” belum kita punya, maka Dia menangguhkan kita umat Islam untuk kaya.
Sebab, Allah khawatir, begitu dimodali atau dititip sedikit investasi, langsung kita bawa lari.
Persis seperti kepala desa yang bawa lari APBDes untuk kawin lagi. Ragu Tuhan sama kita!

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 129


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Itulah problem kita. Kalau wadah kesadaran ini sudah ada, Allah pasti akan segera mencairkan
rejeki yang tergantung-gantung pada sisi-Nya. Sebenarnya, Allah sudah gemas sekali melihat
umat Islam yang sudah terlalu lama miskin. Umat Nabi Muhammad SAW sudah berabad-abad
jadi fakir miskin. Malu nabi kita. Apalagi saban hari berdoa, pagi petang mengamalkan ayat-
ayat kaya. Ingin segera dibuatnya kita kaya raya semua. Rejeki yang tergantung di langit
(di alam mitsal sana) terlihat begitu hitam. Begitu pekat, lebat dan hitam. Seperti awan hitam
yang akan menumpahkan hujan. Tapi, ya itu. Belum bisa direalisasikan. Wadah kita belum
kuat. Niat kita belum suci. Kalau dititip uang, pasti akan dianggapnya itu uang pribadi. Lalu
dibawa main judi. Habis untuk beli chips. Diputar suka hati pada urusan sosialita dan
hedonisme semata.
Kalau kaya, khawatir Tuhan, kita akan lupa Dia. Lupa ibadah. Lupa berzikir. Lupa suluk. Lupa
ziarah. Jadi Qarun dan Tsa’labah kita. Sudah kita lihat, banyak yang begitu. Mungkin dulu saat
kaya, kita begitu. Maka dibuat miskin lagi. Dalam pandangan Allah, kita secara global tetap
dibuat miskin, karena itu lebih baik bagi kita. Biar kita ingat Dia terus. Maka, ikhlaskan diri
anda untuk tetap miskin. Biar selamat iman anda.
Atau, persiapkan wadah yang kuat untuk menerima seluruh kekayaan-Nya!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 57 | Agustus 2022


WHAT IS INSIDE, IS OUTSIDE
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

“Ketua!!”, seru bang Safwan (atau biasa dipanggil Tgk. Di Lhoknga). “Iya!!”, jawab Ketua.
Resiko dipanggil “ketua” sebenarnya berat juga. Karena, setiap dipanggil “ketua”, bisa robek 50
ribu kita. Seseorang yang sudah disebut “ketua” punya tanggungjawab membayar ngopi
mereka-mereka yang telah terlebih dahulu memposisikan diri sebagai anggota.
Bukan itu intinya. Ceritanya begini.
“Ketua, semalam saya ada melihat babi”, Tgk. Di Lhoknga meneruskan. Kebetulan semalam
kami ada disuatu tempat; berjaga malam, duduk dan juga tidur disana sampai pagi.
“Oya!??”, Jawab Ketua. “Iya Ketua”, balas Tgk. Di Lhoknga. Rupanya cerita babi. Dunia sudah
masuk era industri 4.0, Tgk. Di Lhoknga masih cerita babi.
Lalu Ketua mulai menerangkan.
“Begini Teungku. Manusia itu makhluk makro, sekaligus mikro. Apa yang kita lihat, itu
sebenarnya adalah apa yang ada dalam diri kita. Dunia ini adalah gambaran diri kita. Kalau
banyak melihat yang buruk, itu sebenarnya ada yang buruk dalam diri kita. Kalau banyak
menemukan hal baik, sebenarnya banyak hal baik dalam diri kita. Kalau diri kita berhantu,
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 130
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

maka di luar sana akan selalu nampak hantu. Kalau dalam diri kita ada Tuhan, maka Dia akan
bertajalli dalam berbagai realitas eksternal. Wujud mitsal kita akan selalu tercetak dalam forma-
forma material. Termasuk kondisi sosial sebuah kaum; seperti maraknya judi, miras dan
narkotika- adalah juga cerminan dari kecenderungan jiwa para aparat dan penguasanya.
Artinya; apa yang sirr, itulah yang akan men-jahar. Mirip dengan nonton film di bioskop.
Semua yang terlihat di layar, itu sebenarnya hanya pancaran dari apa yang telah ada, dari
mesin di dalamnya. Nah, kalau Teungku yang hidup di tengah kota masih sering melihat babi,
itu tandanya apa? Jangan-jangan, masih ada makhluk itu dalam diri kita. Ingat Teungku: what
is inside, is outside“, begitu Ketua menjelaskan (memang aneh juga, kok masih ada babi di
tengah kota Banda Aceh).
Teungku Di Lhoknga tertegun, sekaligus tertawa.
Sebenarnya, si Ketua agak malas mendengar cerita Tgk. Di Lhoknga. Masak pagi-pagi buta,
baru bangun tidur, langsung disodori cerita babi. Kenapa gak diceritain mimpi ketemu
bidadari, mimpi liburan ke Hawai bareng Syahrini, atau apa kek yang enak-enak.
Saudara-saudara sekalian. Kalau di akhir cerita anda melihat Tgk. Di Lhoknga sebagai sosok
ceria, sebagaimana foto senyum dua jarinya dihadapan blukat (ketan) kelapa, berarti itu
gambaran bahwa anda juga sosok bahagia. Tapi, kalau anda masih teringat cerita babi
sebelumnya; jangan-jangan, oh jangan-jangan, masih ada barang itu dalam diri kita.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 58 | Agustus 2022


RE-ORIENTASI SYARIAT: DARI AKIDAH KE BISNIS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Begini. Kalau pertanyaan di kubur nanti cuma ada 7; lalu kenapa menghabiskan banyak waktu
untuk belajar agama?
Pertanyaannya cuma ini:
1. Man rabbuka? Siapa Tuhanmu?
2. Ma dinuka? Apa agamamu?
3. Man nabiyyuka? Siapa Nabimu?
4. Man imamuka? Siapa imammu?
5. Ma kitabuka? Apa kitabmu?
6. Aina qiblatuka? Di mana kiblatmu?
7. Man ikhwanuka? Siapa saudaramu?

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 131


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Rasanya tidak efisien, kalau hanya untuk menjawab 7 pertanyaan sederhana itu, kita harus
belajar agama di pesantren sampai 9 tahun. Yang disekolah umum pun sama, sampai tingkat
kuliah pun masih ada pelajaran agama. Padahal, cukup dihafal saja jawaban untuk 7
pertanyaan itu. Tidak lebih dari 10 menit saya kira selesai, sudah terhafal semua di luar kepala.
Tak perlu bertahun-tahun belajar agama, sampai ke Arab dan Mesir pula. Toh yang diuji nanti,
tidak lebih dari 7 itu.
Artinya begini. Agama itu sebenarnya sederhana. Tidak serumit yang didoktrinkan kepada kita.
Dikubur nanti bahkan tidak ada pertanyaan: Mazhabmu apa? Kitab tauhid dan fikih apa saja
yang telah kau baca? Rukun sembahyang ada berapa? Niat puasa bunyinya seperti apa? Yang
membatalkan wudhuk apa saja? Kalau khutbah wajib pegang tongkat apa tidak? Kenduri orang
meninggal hukumnya apa? Maulid itu bid’ah apa sunnah? dan sebagainya.
Kita bukan tidak butuh agama. Juga bukan tidak perlu belajar agama. Kita sudah terlalu
“mabuk” dalam perspektif tertentu dari agama. Sehingga lupa hal esensial lain, yang
sebenarnya juga agama.
Agama yang telah memabukkan kita adalah “syariat”. Yaitu syariat yang telah membawa kita
kepada debat, qiyas, argumentasi, dan usaha-usaha untuk merasionalisasi berbagai hal dalam
frame “halal-haram” versi masing mazhab/orang. Lalu kita bertengkar untuk memaksakan ide
dan produk hukum pemikiran kita kepada orang. Terkadang kita ancam bid’ah, musyrik dan
neraka kepada yang berseberangan. Agama pada sisi tertentu telah melahirkan tradisionalisasi
pemikiran sekaligus radikalisme gerakan. Lahirnya ISIS di era kita, menurut saya, adalah
pengalaman terburuk dari beragama. Agama telah dibuat sedemikian kaku dan kacau. Semua
diminta harus ada dalilnya. Harus serupa pula dengan mereka. Kalau tidak, akan dihakimi
kafir. Ditebas mati.
Agama itu sederhana. Cuma 7 hal itu saja. Selanjutnya telah dibuat rumit oleh agamawan kita.
Lalu disuapi terus menerus kepada kita, tanpa kesempatan untuk mencerna (mengkritisinya).
Syariat dijadikan “opium”, untuk menyemangati masa depan Aceh. Itu yang membuat kita
menjadi “mabuk” dalam urusan agama. Tanpa sadar, umat Islam tertinggal justru karena
agama. Yaitu Agama yang hanya berorientasi pada hukum-hukum ibadah dalam satu versi
semata.
Kita tertinggal akibat bentuk-bentuk beragama yang sibuk mengintip kebenaran cara beragama
tetangga di samping rumah kita. Kita asik menuduh yang berbeda sebagai sesat. Syariat seperti
dikunci pada isu khalwat, zina, khamar dan maisir pada kelas jelata. Aqidah masyarakat kelas
bawah terus yang diurusi. Pemerintah pusat tentu sangat senang dengan model-model syariat
semacam ini. Karena kerjaan kita adalah mengejar-ngejar rakyat sendiri, karena dilihat tidak
menutup kepala. Penegakan syariat seperti ini tentu diberi kebebasan oleh pusat dan lokal,
sejauh korupsi dikalangan elit tidak disentuh oleh lembaga agama. Syariat yang mengarah ke

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 132


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

urusan jinayah tentu sangat direstui negara. Sejauh perampokan sumberdaya alam oleh para
kapitalis lokal dan nasional tidak menjadi fatwa dan bahan ceramah kaum ulama.
Kita lupa sisi lain yang juga sangat agamis, yang seharusnya dapat memajukan daerah dan
negara. Yaitu sektor muamalah, perdagangan, bisnis, dan penguasaan sumber daya alam kita
sendiri. Sudah 20 tahun lebih kita memformalisasikan syariat dalam bernegara. Tapi kita
menyaksikan bagaimana minimnya infrastruktur usaha. Juga gagap dalam penguasaan
teknologi produksi. Lemah dalam mata rantai inovasi. Buruk strategi pemasarannya. Kurang
cakap dalam penguasaan pasar lokal dan internasional. Tertinggal dalam sistem keuangan.
Bobrok secara manajemen. Sehingga miskin secara global. Umat Islam banyak yang
pengangguran, karena “pemberdayaan ekonomi lokal” tidak menjadi doktrin agama sejak
dalam ayunan.
Agama kita telah lama tidak berorientasi pada bisnis. Agama kita telah lama berorientasi hanya
pada mengaji, pada panggung-panggung zikir yang menunjukkan “kesucian” penguasa yang
duduk berderet di baris depannya. Sejak kecil kita sudah dikirim ke dayah, untuk mensurah
teks-teks klasik. Tapi tidak disuruh jualan, dan berfikir masa depan. Yang disebut “berdagang”
adalah pergi “ngaji”. Padahal, dagang yang kita pahami secara umum adalah setiap amal yang
dapat menaikkan nilai uang. Contoh kenabian sekalipun, itu diawali dari cerita seorang
pedagang.
Aceh, kalau ingin maju, pemahaman agama harus direformasi ulang. Agama harus di drive ke
arah pengembangan bisnis. Kita sudah memasuki era industri 4.0, bukan lagi era sembah
menyembah pohon dan patung. Jualan isu akidah sudah bisa dikurangi. Ide-ide pemanfaatan
sumberdaya alam lokal dan digitalisasi teknologi harus lebih ditingkatkan. Pada saat yang
sama, agama adalah juga akhlak; cara bergaul dan etika kehidupan. Adab-adab itu yang harus
diajarkan sejak di rumah, atau juga melalui ketauladanan dan bimbingan dari guru-guru
spiritual. Agama tidak cukup sekedar hafalan, melainkan nalar dan tindakan. Tak perlu semua
anak dihafalkan 30 Juz. Menguasai juz 30 saja, saya kira sudah lebih dari cukup untuk jadi
imam.
Benar seperti kata Mujiburahman, Rektor baru UIN Ar-Raniry (Sabtu, 6/8/2022). Sudah 22
tahun sejak diterapkan (tahun 2001), Syariat Islam di Aceh telah mengalami kegagalan. Yaitu
gagal memajukan ekonomi. Sibuk dengan cambuk dan akidah. Padahal, orang kafir pun tau,
Tuhan kita adalah Allah. Nabi kita adalah Muhammad SAW. Tujuh pertanyaan ketika mati,
sudah diketahui semua jawabannya oleh rakyat Aceh. Hampir 100 persen rakyat Aceh, itu
Islam. Saya kira kita sudah selesai dengan urusan akidah. Kalaupun ada satu dua yang masuk
Kristen, itu juga karena persoalan ekonomi. Sementara lainnya sudah mampu dan fasih
menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir di akhirat nanti. Cuma ilmu bisnis saja yang kurang.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 133


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sehingga kita menjadi kelamaan miskin di dunia. Banyak orang Aceh yang miskin, sejak lahir
sampai mati. Bahkan ada yang diwariskan secara berketurunan.
Aceh harus melakukan re-orientasi syariat, dari akidah ke dan bisnis. Agama jangan lagi
tersandera dengan urusan sehelai rambut wanita. Atau jenis celana dan cara duduk berkendara.
Tapi harus mulai tersentra pada kemandirian ekonomi dan bisnis yang bermoral. Syariat adalah
uang. Syariat adalah kekayaan. Syariat adalah kemakmuran. Syariat adalah inovasi dan
teknologi pelayanan.
Disisi lain, kita bersyukur dengan 17 tahun Damai Aceh (15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2022).
Ada banyak perkembangan dari sisi ekonomi. Paling tidak, teman-teman kombatan banyak
yang sudah kaya. Tapi, jutaan rakyat Aceh lainnya bagaimana? Apakah cukup dengan
bendera? Bagaimana dengan penguasaan sumber daya alam kita yang menjadi salah satu poin
inti MOU Helsinski, apakah eks pejuang GAM dan tokoh-tokoh penggerak syariat Islam
mampu bernegosiasi dengan para drakula di Jakarta? Atau justru semakin lari dari cita-cita
semula. Khawatir kita. Dulu, ketika GAM dan tentara NKRI saling berperang, banyak rakyat
yang mati. Kini, ketika mereka sudah damai, banyak rakyat yang “teler” dan juga mati pelan-
pelan dengan cara berbeda. Bahkan kegiatan keagamaan pun, katanya, sudah ada yang mulai
dibiayai oleh bandar narkoba. Saya kira, dalam berbisnis pun ada moralitasnya. Janganlah
terlalu membabi buta. Kita sudah cukup sibuk dengan ganja. Jangan diperparah dengan
narkotika.

KESIMPULAN.
17 tahun Damai, 22 tahun syariat Islam. Aceh masih termiskin di Sumatera. Eks GAM dan
ulama harus bersatu, dalam isu kemerdekaan ekonomi. Dalam pembangunan usaha yang
beretika.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 59 | Agustus 2022


SPIRITUALITAS “MERAH PUTIH”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Ini bulan Agustus, menandai 77 tahun Indonesia merdeka. Kebetulan bertepatan dengan bulan
Muharram. Bulan Merah Putih. Bulan Hasanain, bulan dua kebaikan: Hasan dan Husein
(orang Aceh menyebutnya Asan Usen). Dua simbol pemuda pejuang. Simbol dari kesucian jiwa
dan kemerdekaan. Warna inilah yang secara sadar dan “misterius” dipilih menjadi bendera
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 134
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

nasional kita. Tentunya bukan dengan sekedar merobek bendera Belanda, lalu tiba-tiba jadi
bendera kita. Tapi dijahit secara khusus, dalam pilihan warna penuh pesan spiritual dan
kejuangan.
***
Hasan dan Husen adalah dua kakak beradik, cucu Nabi SAW dari Fatimah. Hasan lahir pada
15 Ramadhan 3 Hijrah. Sedangkan Husen lahir pada 3 Sya’ban 4 Hijrah. Mereka berdua
mewarisi sifat-sifat kakeknya Rasul SAW.
Diriwayatkan, pada waktu sakit terakhir, Rasulullah SAW dikunjungi oleh Fatimah dengan
ditemani Hasan dan Husein. Lalu Fatimah berkata kepada ayahnya, “Ya Rasulullah ini adalah
kedua putramu, berilah warisan kepada keduanya.” Rasulullah berkata:
“Adapun Hasan mewarisi kedermawanan dan kewibawaanku, adapun Husen mewarisi
keberanian dan keluhuranku” (Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Mandah, Thabrani, Abu Nu’aim
dan Ibnu Asakir).
Dua tipologi kepemimpinan pemuda ini, Hasan yang “dermawan dan berwibawa” (tipologi
jamaliyah) dan Husen yang “pemberani dan luhur” (tipologi jalaliyah), merupakan “warisan”
(genetik) dari kakeknya. Meskipun dermawan, Hasan juga berwibawa. Sedangkan Husen,
disamping pemberani, jiwanya juga luhur. Harmonisasi dua karakter ini merupakan tipologi
“Bintang ‘Arasy”, manusia sempurna. Refleksi keagungan dua nilai “keberanian” dan
“kesucian” ini terefleksi dalam “merah” dan “putih” bendera kebangsaan kita.
Tidak hanya mewarisi sifat “merah-putih” Nabi SAW, dua kader muda ini bahkan menyerupai
Nabi sampai ke bentuk fisik. Abubakar sendiri suatu ketika melihat Hasan dan Husen lalu
berkata kepada Ali, “Mereka lebih mirip Nabi daripada engkau”. Ali hanya tersenyum.
Diriwayatkan, Hasan paling mirip Rasulullah SAW antara dada sampai kepalanya; sedangkan
Husen paling mirip dengan Rasulullah SAW antara leher sampai bagian tengah badannya.
Kepada orang-orang Nabi SAW sering mengatakan, “Barangsiapa mencintai keduanya
(Hasan dan Husein) berarti ia mencintai aku. Barangsiapa membenci keduanya berarti ia
membenci aku” (HR. Abu Hurairah).
Sudah menjadi tradisi bangsa manapun untuk memperingati “hari pahlawan”. Bahkan
menjadikan tokoh-tokoh mereka sebagai nama dan simbol-simbol kemasyarakatan dan
kenegaraan. Di Aceh, begitu hormatnya mereka kepada dua cucu kesayangan Baginda SAW
ini. Bahkan
bulan pertama dalam penanggalan lokal diberi nama “Asan-Usen” atau “Sausen”. Nama-nama
Bulan dalam penanggalan Aceh adalah: (1) Sausen -Muharram, (2) Safa -Safar, (3) Mulod -
Rabiul Awwal, (4) Adoe Mulod -Rabiul Akhir, (5) Bungong Kayee -Jumadil Awwal, (6) Boh
Kayee -Jumadil Akhir (7) Apam -Rajab, (8) Khanduri Bu -Syakban, (9) Puasa -Ramadhan, (10)
Uroe Raya -Syawwal (11) Beurapet -Dzulqaidah, (12) Haji -Dzulhijjah.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 135


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

‘Pukul-pukul diri’ dalam tari Saman dan Seudati juga diduga sebagai bentuk ekspresi duka
masyarakat Aceh kepada kesyahidan dua pemuda ternama ini. Peringatan Asyura pada setiap
10 Muharram untuk mengenang kesyahidan Husen juga diperingati di berbagai tempat di
Indonesia. Di Aceh di kenal “Khanduri Asyura”, di Padang disebut “Hoyak Tabuik” atau
“Hoyak Husain”. Sementara di Bengkulu dinamai “Tabot”. Tidak dapat disimpulkan bahwa
masyarakat yang melaksanakan tradisi ini sebagai Syi’ah. Karena memuliakan Keluarga Nabi
SAW menjadi kewajiban seluruh umat Islam. Para sufi yang telah datang jauh-jauh hari ke
Nusantara mengajarkan kita cara mencintai Keluarga Nabi sebagai bentuk tribute kepada Sang
Nabi. “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan
kepada Keluargaku” (QS. asSyuraa -42: 23).
Hasan dan Husen bukan sembarang manusia. Mereka ini dua tokoh pemuda kecintaan Nabi
SAW yang begitu konsisten meneruskan perjuangan Islam. Mereka memiliki peran sentral
dalam sejarah awal Islam dan paska empat khalifah pertama. Mereka punya pendekatan
leadership yang berbeda dalam menghadapi kondisi politik zamannya.
Hasan, disamping juga seorang petempur ulung, ia memiliki tipologi kepemimpinan yang
“putih”, lebih mengedepankan “damai”. Ketika ia masih kecil, Rasul SAW mengatakan:
“Sesungguhnya putraku ini [Hasan] adalah seorang sayyid [pemimpin]. Allah akan
mendamaikan dengannya dua kelompok yang besar dari kaum muslim” (Diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari, jilid 7, hadits nomor 3746. Juga jilid 6, hadits nomor 3629).
Hal ini benar-benar terjadi. Ketika Ali wafat, penduduk Kufah datang membaiat Hasan sebagai
khalifah. Sementara di Syam, penduduk diorganisir untuk membaiat Mu’awiyah. Maka
pertikaian tidak terhindari. Ancaman peperangan kembali muncul. Hasan masih teringat
bagaimana di Shiffin umat Islam saling adu pedang. Yang tersisa dari itu semua hanya janda,
yatim piatu, kehancuran, dan kebinasaan. Mu’awiyah menyadari bahwa pendukung Hasan
cukup militan. Mayoritas umat terlihat lebih memilih dari keluarga Rasul SAW untuk
memimpin mereka.
Mu’awiyah yang terkenal licik dan cerdik kemudian menawarkan surat perjanjian kepada
Hasan untuk membiarkan dia memimpin terlebih dahulu, setelah kematiannya barulah
kepemimpinan umat akan kembali diserahkan kepada Hasan jika masih hidup. Hasan yang
berkarakter
“jamaliah” (putih) setuju dengan perjanjian yang menjadi solusi pertumpahan darah.
Namun Mu’awiyah tetaplah Mu’awiyah. Beliau ini contoh sempurna dari “politisi busuk” yang
memakai “wajah Islam”, yang selalu muncul di setiap zaman. Tentang kelicikannya, suatu
ketika Imam Ali berkata kepadanya, “Jika aku mau, aku bisa lebih licik dari engkau, dan
mampu kumenangkan perang dengan mudah. Tetapi itu tidak kulakukan karena perilaku
seperti itu tidak pernah direstui Allah dan Rasul-Nya”. Bagi Ali, kemenangan bukan pada

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 136


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

pencapaian tujuan personal dan kekuasaan, melainkan pada keterwujudan nilai-nilai kesucian.
Itulah ketauladanan yang dipelajari dari Nabinya.
Tidak hanya memperoleh jabatan kekhalifahan, Mu’awiyah bahkan kemudian menyusun
strategi pembunuhan Hasan, dengan meracuninya. Ini terjadi pada 7 Safar tahun 50 Hijrah.
Dia kemudian mempersiapkan anaknya Yazid yang terkenal fasiq, suka mabuk, judi, dan
perempuan sebagai khalifah penggantinya. Kemunafikan dan kedhaliman ini yang kemudian
menggerakkan Husen dan pengikutnya untuk kembali menegaskan prinsip-prinsip tauhied,
kebenaran dan keadilan yang pernah diperjuangkan kakeknya.
Tentang Husen Rasul SAW menyebut:
“Husen adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husen, Allah mencintai mereka yang
mencintai Husen, Husen adalah cucu diantara cucu yang lain” ( [1] Imam Ahmad dalam
Musnad-nya, juz.4 , hal. 172 dengan sanadnya dari Ya’la bin Marrah al-Tsaqafi; [2] Shahih
Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albani [3/539] No. 3775 – Maktabah al-Ma’arif- Riyadh,
Cet. I dari terbitan yang baru tahun 1420 H/2000 M; [3] Shahih Sunan Ibn Majah karya
Syaikh al-Albani [1/64-65] No. 118-143 – Maktabah al-Ma’arif – Riyadh, Cet. I dari terbitan
yang baru tahun 1417 H/1997 M).
Selain secara “genetik”, salah makna “Husen adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husen”
adalah “kesamaan karakter kepemimpinan” serta “kesamaan misi” yang diemban, yaitu
penegakan keadilan dan ihsan. Perbedaannya hanya pada jenis musuh. Jika kakeknya Rasul
SAW menghabiskan usia untuk melawan kafir dan musyrik, Husen menghabiskan umur
menentang penguasa-penguasa Islam yang fasik dan korup.
Meskipun syahid ditangan musuh pada 10 Muharram 61 Hijrah, namun Husen diakui oleh
para sejarawan sebagai pemenang pertempuran. Mengapa? Karena “nilai-nilai” yang
diperjuangkannya terus hidup selama ribuan tahun. Kematiannya semakin dikenang dan
menjadi simbol perlawanan terhadap kejahatan. Ia menjadi inspirasi penegakan nilai-nilai bagi
generasi setelahnya. Sementara musuhnya, meski berhasil membunuhnya, menjadi cacian
sejarah karena kekotoran perilaku dan kedhaliman terhadap rakyat dan Keluarga Nabi SAW.
Berbeda dengan abangnya Hasan yang cenderung memilih pendekatan “damai” (putih) dalam
kepemimpinannya, Husen merupakan tipikal leader yang hidup pada masa dimana ia harus
menghidupkan orientasi “keras dan tegas” (merah) terhadap kemunafikan. Walaupun ia juga
terkenal dengan sifat penyayang, namun situasi mengharuskannya untuk lebih menghidupkan
nilai-nilai jalaliyah dalam leadershipnya. Ia berada pada posisi harus
menggunakan ‘tangan’ (pengaruh, kekuasaan, dan pedangnya) untuk melawan kemungkaran.
Tipologi jamal dan jalal yang dimiliki dua pemuda penghulu syuhada ini merupakan warisan
kakeknya. Sikap lembut Hasan dan perilaku keras Husen menjadi karakter yang harus dimiliki
seorang kader pemimpin dalam menghadapi situasi dan pengikut. Setiap warga negara

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 137


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Indonesia yang pada hakikatnya adalah juga ‘cucu’, ‘pewaris’ dan ‘penerus’ Nabi SAW; harus
punya dua sikap ini: MERAH dan PUTIH, keras dan lembut, tegas dan akomodatif, war or
peace; tergantung situasi.
***
Tak bisa dipungkiri. Sejarah perjuangan Indonesia, bahkan sampai detik kemerdekaannya,
adalah bagian dari sejarah dan gerakan pemuda. Sejarah keberanian dan kesucian hati kita
semua. Tanpa dua hal ini, kita tidak akan pernah merdeka.
Pun sejarah kemerdekaan Indonesia dan kelahiran Sang Saka Merah Putih tidak bisa
dilepaskan dari “Arab”. Rumah tempat Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan di
Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang jalan Proklamasi) merupakan rumah Syeikh Faradj
Martak, seorang Arab Yaman (1897-1962). Di rumah itu pula Fatimah menjahit bendera
pusaka, pada malam sebelum kemerdekaan. Ketika Jogyakarta dikuasai Belanda, Bendera ini
diserahkan Soekarno secara khusus kepada seorang habib bernama Sayyid Muhammad Husein
Al-Muthahar (1916-2004), atau lebih dikenal sebagai H. Mutahar, untuk
disimpan/disembunyikan. Kedekatan Soekarno dengan Arab dan juga nilai-nilai spiritual
sepertinya cukup menarik untuk dialami kembali (bahkan pemilihan jam 10 pada hari Jum’at
untuk pembacaan teks proklamasi, juga terindikasi ada arahan dari seorang Guru Sufi).
Selain Bendera Merah Putih yang penuh makna, lambang negara kita lainnya seperti “Burung
Garuda”, merupakan hasil sketsa seorang Arab keturunan Ahlul Bait Rasulullah yang pernah
berkuasa di Pontianak, Syarif Abdul Hamid Alkadrie (1913-1978). Meskipun logo itu sendiri
katanya sangat mirip dengan lambang garuda Samudera Pasai, Aceh; yang tersusun dari
untaian Basmallah dan Kalimah. Kelihatannya, tradisi Islam di nusantara secara silent telah
mewarnai simbol-simbol kenegaraan kita.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 60 | Agustus 2022


THIS IS FREEDOM!
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Muhammad. Saat orang-orang menyembah Latta, Uzza dan Manat; ia hadir untuk melawan
arus ideologi massa. Dia tinggalkan kredibilitasnya sebagai pebisnis sukses dan pemuda
terpercaya yang telah ia bangun sejak lama. Lalu mengajak seluruh kaumnya untuk
menyembah Allah saja, Tuhan yang berbeda. Gila!

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 138


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ibrahim. Ketika orang-orang memelihara patung sebagai sesembahan, ia datang sendirian,


menghancurkan itu semua. Padahal ia tokoh kaya dan ternama. Ia dikejar. Lalu ditangkap dan
dibakar. Gila!
Nuh. Semua orang tau, kalau mau buat kapal, itu dipinggir laut tempatnya. Tapi ia
memutuskan untuk berbeda. Tak pelak lagi, ia dicibir anak dan istri. Ditertawai satu kampung.
Karena dipuncak gunung ia merakit itu semua. Gila!
Yunus. Semua takut dengan laut, badai dan gelombang. Ia justru menawarkan diri untuk terjun
kesana; jka itu memang menyelamatkan semua. Ia lebih memilih mati, hilang dan tenggelam
dalam kesunyian samudera; daripada hidup dalam keributan semesta. Dasar gila!
Daud. Sudah kecil, kurus pula. Benar-benar tidak tau diri. Beraninya melawan Jalut (Goliath)
yang besar dan perkasa. Dengan ketapel dan batu pula. Apa ia tak punya rencana yang lebih
matang dan strategis untuk memenangkan perang yang tak seimbang?
Musa. Benar-benar keras kepala. Beraninya menantang Pharaoh yang lengkap dengan bala
tentara bersenjata. Lalu membawa pengikutnya ke tepi Laut Merah yang sama sekali tidak
punya jembatan maupun perahu penyeberangan ke daratan lainnya. Dasar bodoh. Mau
ngapain kesana? Mau berenang dan cari mati semua?
Isa. Ketika ahli kitab, ulama, rahib dan pendeta asik berkhutbah kesana kemari tentang Tuhan
di langit yang begitu maha kuasa; dia hadir membuktikan. Bahwa tajalli-Nya di muka bumi
mampu melakukan itu semua. Mulailah ia menyembuhkan satu persatu orang sakit; termasuk
buta dan lepra, berjalan di atas air, menciptakan burung dari tanah liat, membaca isi hati dan
pikiran orang, menghidupkan orang mati, dan 1001 keanehan lainnya. Ia pun dituduh sebagai
dukun sakti. Dikejar untuk dibunuh mati.
Semua nabi seperti itu. Sama anehnya. They decided to hear the (supra) irrational voice of
God, and made a difference!
***
Kata Rumi: “Run from what’s comfortable. Forget safety. Live where you fear to live. Destroy
your reputation. Be notorious. I have tried prudent planning long enough. From now on i’ll be
mad” (Larilah dari kenyamanan. Lupakan keselamatan. Hiduplah di tempat dimana anda takut
untuk hidup. Hancurkan nama baikmu. Biarkan engkau dikenal sebagai orang aneh. Aku
sudah capek dengan kehati-hatian dan perencanaan yang matang. Sejak sekarang, aku memilih
untuk gila).
Seorang bijak berkata: “Berhentilah menjadi manusia. Jadilah malaikat, yang hidup tanpa akal,
tanpa dosa. This is freedom!”

PENUTUP.
Sudahkah anda memilih untuk diteriaki sesat dan dianggap gila?

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 139


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 61 | Agustus 2022


“GARIS KALIMAH”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Manusia pada hakikatnya adalah qadim atau baqa’. Kita secara spiritual sebenarnya telah ada
sejak awal, dan akan kekal abadi. Kita adalah Ruh (bagian, wujud, pengembangan, gradasi,
jiwa, atau “tiupan”) Tuhan. Asal usul (Ruh) kita memang dari Allah. Dan (Ruh) akan kembali
kepada Allah. Jika lokus ketuhanan atau qalbu kita hidup, kita akan mampu bergerak pada
dimensi mukjizat dengan berbagai sifat ketuhanan. Manusia akan menjadi Asma-Nya. Sehingga
ia dapat aktif berperan sebagai “khalifah” (co-creator, wakil, replika, pengganti, tajalli Allah di
bumi). Jika Allah itu azalinya adalah Zat yang Maha Batiniah, maka manusia-manusia yang
telah tersucikan adalah wujud lahiriah-Nya, wujud dari kehadiran Ilahi. Para nabi misalnya, itu
adalah wujud Dia sendiri, yang telah mengutus Diri-Nya dalam rupa para Kekasih-Nya. Yang
mereka, ketika berbicara, berbicara atas Nama-Nya. Yang ketika bertindak, bertindak atas
kehendak-Nya.
Tapi, setelah mengalami proses jasadisasi, manusia berubah. Dari berdimensi “Tuhan” (ahsanu
taqwim) menjadi “tuhan-tuhan” (asfala safilin). Proses materialisasi membuat kita jatuh dari
“T” besar ke “t” kecil. Materialisme telah memunculkan paling sedikit 3 kekuatan baru
(baharu) yang bersifat destruktif (fujur). Yaitu: nafsu seks, nafsu perut, dan egoisme akal. Ini
merupakan tiga hal yang tidak dimiliki “makhluk langit” lainnya seperti malaikat.
Tiga kekuatan negatif ini menyusun struktur manusia sebagai “makhluk bumi”, sebagai tuhan-
tuhan baru. Kita bedah satu-satu.
Pertama, “nafsu seks (syahwat)”, itu berada pada posisi kesadaran paling bawah
(diselangkangan). Ini nafsu paling buruk. Karena alamiahnya hanya milik binatang (hayawan).
Untuk berkembang biak, kita secara khusus meminjam naluri dan pola binatang. Ketika
melakukan proses reproduksi, kita menjadi makhluk berbeda. Menjadi liar dan buas; dengan
nafas terengus-engus. Persis seperti binatang. Apa yang dilakukan Adam di surga sehingga
terlempar menjadi “makhluk bumi” adalah akibat nafsu ini. Dia memakan “buah” khuldi.
Yaitu buah yang tidak bisa digambarkan secara vulgar, karena kontennya “sensitif dan dewasa”.
Makhluk surgawi sebenarnya tidak makan “buah khuldi”. Penduduk surga tidak mengumbar
syahwat. Maka perlu ditinjau ulang tafsir tentang bersetubuh dengan 72 bidadari. Itu kerja-
kerja binatang. Di surga, level nikmatnya sudah dalam bentuk ruhani (huriyah, cahaya).

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 140


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Sementara, nafsu esek-esek, itu kenikmatan yang diberikan untuk level dunia binatang. Di
surga tidak ada binatang, tidak ada manusia dalam kualitas binatang.
Kedua, “nafsu perut (loba/tamak)”. Ini juga representasi lainnya dari “buah” khuldi. Disini,
khuldi juga digambarkan sebagai buah-buahan. Adam lapar. Ia tergoda, tak tahan ingin
memakannya. Urusan perut sering membuat manusia rakus dan ingin melahap semuanya.
Bahkan ingin memiliki apa yang bukan miliknya. Semua malapetaka kemanusiaan terjadi,
kalau bukan karena urusan wanita (seks), adalah pengaruh harta (perut). Manusia ingin
mengisi kantong dan rekeningnya dengan kekayaan yang berlimpah. Seolah-olah ia akan abadi
(khuldi) dengan itu. Nafsu ingin menguasai tidak pernah bisa terpuaskan. Kalaupun sudah
punya satu gunung emas, perut kita minta diisi dengan gunung emas lainnya.
Ketiga, “akal”. Akal bersifat destruktif. Akal yang kita maksudkan disini adalah akal level
rendah. Akal khayali. Penuh hayalan palsu. Termasuk “ego”, freewill atau daya melawan. Akal
memang membuat manusia bisa memilih. Tapi tidak jarang, ia membangun persepsi dan
membuat keputusan-keputusan yang melawan kehendak Allah. Padahal, inti dari spiritualitas
adalah “kepatuhan” atau “kepasrahan” (taslim). Akal itu penting sebagai alat untuk reasoning.
Tapi, tanpa wahyu (bisikan Tuhan), akal bisa salah jalan. Seperti disebutkan, “yang
menggunakan akalnya akan masuk neraka”. Yaitu akal tanpa sepuhan hidayah laduniah
(ilham). Adam terlempar menjadi “makhluk bumi” karena freewill (ego/akal) ini. Tuhan
melarangnya mendekati pohon itu. Tapi ia melawannya. Ada bisikan lain yang hadir, yang
menyuruhnya melakukan itu. Ia mengolah berbagai informasi untuk membuat decision
making. Tapi salah ambil kesimpulan. Daya nalar tidak selalu dapat diandalkan, karena bisa
dikudeta oleh kepentingan nafsu sehingga kita menjadi zalim.
***
Agama adalah ajaran spritual, yang berusaha menyadarkan manusia. Bahwa kita adalah
“makhluk langit”. Untuk kembali ke “langit”, kita harus melepaskan berbagai kekuatan “bumi”
yang sifatnya destruktif. Anda harus mampu mengendalikan sifat birahi dan kerakusan
binatang. Juga harus belajar mendengar secara langsung “bisikan” Tuhan. Jika tidak,
akal (qiyas dan tafsir) bisa membawa kita tersesat.
Karena itu, ada satu Kalimah yang diberikan kepada kita untuk memerdekakan diri dari 3
jenis ananiyah di atas. Yaitu “La ilaha illa Allah”. Dalam tradisi sufisme, Kalimah ini (melalui
bimbingan Guru) disimulasikan secara langsung pada titik-titik yang menjadi lokus masalah
dalam diri kita.
Melalui power Kalimah, ketiga jenis negative force (ilah): seks (syahwat), perut (tamak), ego
(akal) dapat di hantam, dihancurkan, ditundukkan, atau dibawa untuk pasrah dalam dimensi
Allah (Qalbu). Semua jenis “tuhan palsu” dapat ditarik dari masing pusat kesadaran, bahkan
melalui teknik pernafasan tertentu, untuk di-nafi-kan dalam satu isbat: Allah.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 141


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ini adalah bentuk-bentuk dzikir, atau teknik mematikan “diri”. Yang dimaksud diri disini
adalah diri rendah, yaitu nafsu (syahwat dan ketamakan) serta ego intelektual (akal). Ketika
“diri” ini mati atau telah tertundukkan, barulah gelombang ketuhanan yang selama ini
tersembunyi dalam dimensi ruhaniah menjadi terbebaskan (liberated). Sehingga, nafsu menjadi
terkendali. Dalam artian, nafsu dan akal memang tidak bisa dibunuh, karena itu
memang nature dari manusia. Tapi, dengan hidupnya “getaran hati” (ilham/wahyu), nafsu
menjadi tunduk pada perintah Rabb-Nya. Dengan demikian, nafsu tidak lagi terumbar secara
bebas (liar) pada tendensi kejahatan. Melainkan secara intuitif akan terarah pada hal-hal yang
dirahmati Tuhan. Sebagaimana firman-Nya:
‫ﴘ ِان الن ْف َس َ َﻻم َار ٌة ۢ ِ لس ْۤو ِء ِاﻻ َما َر ِح َم َر ِ ّ ْ ۗﰊ ِان َر ِ ّ ْﰊ غَ ُف ْو ٌر ر ِح ْ ٌﲓ‬
ۚ ْ ِ ‫َو َما ٓ ُا َ ّ ِر ُئ ن َ ْف‬
“Aku tidak mengumbar nafsu diriku secara bebas, karena sesungguhnya nafsu itu selalu
mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf: 53).
PENUTUP.
Kalimah Syahadat, itu bukan sekedar kalimat untuk diucap secara lisan dan dipahami secara
rasional. Dalam tariqah tertentu, melalui bimbingan seorang Maha Guru, Kalimah ini mampu
disimulasikan secara esoteris untuk membersihkan titik-titik “tuhan” dalam struktur jiwa. Pada
akhirnya akan benar-benar aktual Wujud Tuhan (“Kalimah”) yang asli. Sehingga tidak tersisa
lagi “tuhan” dalam diri anda, kecuali Allah itu sendiri.
Note: Dalam perspektif sufisme lainnya, ada sejumlah lokus kesadaran yang dapat “disucikan”
oleh Kalimah. Seperti: Latifah Qalbi, Latifah Ruh, Latifah Sirri, Latifah Khafi, Latifah Akhfa,
Latifah Natiq, dan Kullu Jasad. Sementara, tulisan ini fokus pada “3 hirarki tuhan palsu” pada
diri manusia yang juga menjadi sasaran hantaman Kalimah, yaitu: syahwat (bawah), perut
(tengah), dan akal (atas). Jadi, “Kalimah Syahadat” (Kalima Sodo) merupakan liberation force;
yang punya mekanisme kerja penyucian ruhani yang sangat mumpuni, jika anda tau
rahasianya. Mampu merontokkan “dewa-dewa” (aneka ragam tuhan) di “Kayangan”.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 62 | Agustus 2022


TIDUR YANG DITAKUTI SETAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Ada riwayat, “tidurnya orang yang mengenal Allah, itu lebih baik daripada ibadahnya orang
awam.” Ini sesuai dengan temuan Nabi SAW. Ketika masuk masjid, Beliau melihat setan yang

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 142


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sedang mengganggu orang sholat, padahal mulutnya komat-kamit membaca Fatihah.


Sementara, disaat yang sama, ada seseorang yang sedang tertidur pulas; tapi justru dihindari
oleh setan. Selidik punya selidik, ternyata orang ini Ruhnya hidup. Sehingga ditakuti oleh
setan.
Jadi, Ruh yang hidup, itu kunci ditakuti setan. Ruh yang hidup artinya cerdas secara Ruhani.
Alias memiliki “ilmu” atau alim secara “makrifati”. Orang-orang seperti inilah yang diangkat
derajatnya oleh Allah, sehingga menjadi lebih tinggi dari yang lain (QS. Mujadalah: 11).
Jadi, bukan sekedar banyak ilmu lalu diangkat derajat oleh Allah. Kalau sekedar berilmu,
Yahudi lebih cerdas. Orang kafir lebih cerdas. Negara-negara kafir, itu nilai IPM-nya (HDI)
lebih tinggi. Iya, disisi manusia mereka lebih tinggi derajatnya. Tapi, disisi Allah, yang punya
“derajat” lebih tinggi adalah yang punya dimensi makrifat; yang dengan ilmu itu ia mengenal
Allah. Jadi, bukan berarti jika seseorang banyak ilmu, lalu otomatis punya derajat disisi Allah.
Kecuali ilmu itu membawa ia “dekat” dengan Allah.
Allah sebenarnya tidak butuh orang berilmu atau orang cerdas. Ia butuh orang beradab. Adab
lebih tinggi dari sekedar kecerdasan ilmu. Sebab, adab itu adalah ilmu tertinggi; karena sudah
mengajarkan tentang emosi dan tindakan, sehingga tercipta rasa “patuh” atau “pasrah” kepada
Allah, kepada Rasulullah, kepada wali-wali Allah. Setan/iblis itu cerdas dan bertauhid (alim).
Tapi tidak beradab (tidak berakhlak).
Kembali ke urusan “tidur”. Tidurnya ahli makrifat, itu lebih menakutkan bagi setan, daripada
sholatnya orang awam. Karena Ruhnya hidup. Allah hadir dalam tidurnya. Dimana ada Allah,
setan pasti tidak bisa masuk. Sehingga, ahli makrifat tidak pernah “dicekik” setan saat tidur.
Tidak pernah “dipeulangoe” oleh setan (mengalami mimpi buruk) saat tertidur. Aneka
bentuk nightmare dan cerita-cerita “dihimpit” setan, itu cerita-cerita kita yang masih bersekutu
dengan setan.
Ada ahli baca Qur’an. Hafal Qur’an. Tapi saat tidur diganggu setan. Ini kacau. Tapi memang
begitu. Hafalan kita hanya hidup di otak kita. Begitu kita tidur, semua hafalan menjadi “mati”.
Saat “dicekik”, kita tidak mampu membuka mulut untuk membaca ayat satu persatu. Karena
otak dan fisik kita sudah off. Lisan membeku. Bayangkan kalau kita mati. Semua hafalan kita
tentang agama, itu menjadi tidak berfungsi sama sekali di alam sana. Sebab, hafalan hanya
“hidup” pada dimensi otak, pada dimensi duniawi.
Untuk menghadapi alam akhirat, yang harus diaktifkan adalah Ruhani. Sebuah dimensi
yang qadim, dimensi yang asalnya dari Tuhan, yang saat tidur pun, ia masih terjaga. Ada
Tuhan pada dimensi ini, yang menjadi penolong kita semua. Karena itu, Ruhani harus
dibersihkan dan dihidupkan sejak awal, agar Allah kekal bersemayam disitu. Ruhani yang ada
Allah inilah yang mampu kembali ke usul kita yang asli. Hanya Ruhani yang ada Allah yang
akan kembali kepada Allah. Tanpa Allah dalam Ruhani, kita tidak akan mampu kembali

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 143


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kepada Allah. Sebab, Dia hanya menerima unsur-Nya sendiri. Dialah yang akan menjawab
segala sesuatu di alam barzakh. Sedangkan otak dan lisan (unsur inderawi yang kita sekolahkan
selama puluhan tahun sampai menjadi profesor doktor dan ulama melalui kurikulum dunia)
tidak bisa diandalkan di akhirat sana, sudah terkunci. Maka, sejak awal, Ruhani harus
dicerdaskan. Dibersihkan. Dimakrifatkan. Di isi Kalimah Allah. Kalimah Allah adalah Allah itu
sendiri. Sebab, Kalimah Allah tidak pernah terpisah dengan Allah. Dia Esa bersama Asmanya.
Ahad.
Karena itu, tidurnya ahli makrifat bernilai ibadah. Karena mereka membawa serta Allah di
dalamnya. Bahkan tidur mereka menjadi media komunikasi dengan Allah. Allah sering hadir
membawa petunjuk dalam mimpi-mimpi mereka. Sementara orang awam, tidurnya justru
dihampiri setan yang membisiki aneka hal sehingga hidupnya was-was.
Karena itu, ahli makrifat tidurnya pulas. Tidak ada gangguan. Sedangkan ahli jahat, matanya
susah dipejam. Muncul aneka ketakutan dalam tidurnya. Misalnya; ketakutan hilang harta,
khawatir istri dibawa lari, curiga dicopot jabatan, stress karena turun popularitas dan anjloknya
nilai saham, dsb. Banyak yang minum pil tidur dan mati gara-gara jiwanya resah. Sementara
ahli makrifat, saat tidur mampu mengembalikan semua yang ia punya kepada Tuhan. Lalu saat
menutup mata, jiwanya menjadi “kosong” (suci) kembali, sehingga Allah mampu mengisi
banyak hal dalam dirinya saat ia tertidur. Tidurnya pun lelap, sampai ke level “delta” (deep
sleep). Sebuah gelombang yang memungkinkan pesan-pesan Tuhan masuk secara deras. Yusuf
as, misalnya, itu spesialis mimpi. Semua nabi begitu. Mimpi yang baik (nice dream) adalah
salah satu dari banyak bahasa komunikasi yang digunakan Tuhan. “Have a nice dream”, itu
sejatinya ucapan selamat bercakap-cakap dengan Tuhan dalam mimpi.
Tidur itu sebenarnya miniatur “mati”. Otak jadi “mati”, akal jadi sirna. Lalu ketika akal sudah
tiada, kita akan bertemu Allah di dalamnya. Indah sekali, jika setiap malam bisa berjumpa atau
memperoleh beragam visual dari Tuhan. Itu hanya terjadi, jika tidur kita tidak lagi bersetan.
Artinya, jiwa kita telah menempuh jalan kesucian. Tapi tidak semua orang suci memiliki bakat
mimpi untuk berjumpa Tuhan. Masing-masing ada media dan keahliannya. Ada juga yang
melalui deep dzikir ia mampu menemui Tuhannya. Itu juga dialami saat gelombang
kesadarannya telah mengalami ketenangan sedemikian rupa. Bagi yang
sudah fana dan baqa dalam gelombang ilahiah, Wajah Allah tentu aktual dalam aneka kondisi.
Dalam tidur maupun sadarnya.
Sekali lagi, tidurnya ahli makrifat, itu sebenarnya “terjaga”. Sehingga tak ada kekuatan jahat
yang mampu mempengaruhinya. Setan jadi takut. Sebab, matanya saja yang tidur. Sedangkan
hati, qalbu atau ruhnya yang merupakan esensi dari manusia, itu “hidup”. Sehingga ada kata-
kata: “Hate nabi hantom teungeut yang na teupet dua mata”. Hati nabi tidak pernah tidur,
yang tertutup cuma matanya. Ruh nabi merupakan “Ruh Universal” (elemen Nur

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 144


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Muhammadi, elemen kemursyidan, Cahaya Kewalian); sesuatu yang tidak pernah tertidur
sebagaimana Allah itu sendiri yang terus bekerja menjaga alam semesta. Bahaya kalau Ruh nabi
tertidur, kiamat semuanya. Sebab, Ruh ini terus berzikir -terhubung dengan Allah. Yang
tertidur dari Nabi hanya otak dan matanya saja. Pun Nabi SAW tidak pernah bermimpi buruk
(jorok) yang datangnya dari setan: “Nabi hantom geu melumpoe malam uroe seulama-
lama” (nazam Aceh).
PENUTUP. Teungku Di Lhoknga terlihat tertidur sangat lelap. Jauh ke gelombang Delta.
Khawatir kita, Ruhnya sudah di langit sana. Dalam kondisi ini, jangankan setan, malaikat pun
segan untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Satu-satunya yang berani mengusik tidur beliau
adalah istrinya. Itu terlihat dari kesigapan beliau memegang hp, mengantisipasi kalau tiba-tiba
sang istri menelponnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 63 | Agustus 2022


TIGA HIRARKI PENGETAHUAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Setiap agama punya approach (pendekatan) dalam mencapai pencerahan. Spiritualitas
penganut dibangun melalui aspek tertentu. Kristen misalnya, itu agama “kasih”. Kaum Nasrani
mengaitkan diri dengan Isa (Yesus) melalui “jalan kasih” atau “jalan cinta”. Tema-tema gereja
dan gerakan kekristenan dibangun dalam kerangka ini. Bagi suku Sioux, spiritualitas dibangun
dengan jalan “pengingkaran diri”. Sementara Hindu dan Buddha, untuk mencapai pencerahan,
menggunakan metode “pengosongan diri”. Bagaimana dengan Islam?
Islam menekankan spiritualitasnya pada jalan “pengetahuan” (makrifat). Islam adalah agama
pengetahuan. Ayat terawal yang diterima Nabi SAW menekankan hal ini. “Iqra” adalah jalan
makrifat. Jalan (metodologi) menuju bentuk-bentuk pengetahuan yang mencerahkan.
“Iqra” bukan sekedar perintah membaca sesuatu yang tertulis (tekstual an sich). Sebab, tidak
ada hal tertulis yang dibaca Nabi SAW saat menerima Surah Al-‘Alaq. Bahkan lebih jauh,
“iqra” merupakan isyarah ragam metodologi yang harus dimiliki dalam pencapaian
pengetahuan. “Iqra” adalah arahan untuk: (1) membangun hipotesis dan kerangka
teori/konseptual, (2) mengobservasi wujud objek, (3) mengalami iluminasi/lebur dalam objek
itu sendiri.
Aneka entitas yang ada di dunia fisika merupakan objek pengetahuan (ontologi) terendah
dalam hirarki wujud. Sementara objek tertinggi ada pada wilayah alam metafisika (yang
puncaknya adalah wujud Allah itu sendiri). Semua wujud, baik fisika maupun metafisika,
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 145
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

menjadi objek riset dan pengetahuan dalam khazanah Islam. Melalui 3 metodologi pencapaian
pencerahan (iqra) di atas, diharapkan dapat tercapai tiga bentuk keyakinan, pengetahuan
atau makrifat.
Pertama, “Makrifat Ilmi”. Atau disebut juga “ilmul yaqin”. Yaitu pengetahuan yang
meyakinkan, atau pengetahuan teoritis tentang sebuah wujud. Ini metodologi rasional-filosofis,
yang mencoba mencerap sesuatu melalui nalar dan logika. Kebenaran hanya sebatas definisi-
definisi, bahkan bersifat dugaan atau hipotesa. Kalau anda hafal nama-nama Tuhan, atau sifat-
sifat Tuhan misalnya; itu sebuah bentuk “makrifat asma” (makrifat nama-nama, konseptual).
Melalui makrifat ini, anda belum menemukan Tuhan. Melainkan mengetahuinya hanya pada
level nama dan hafalan (otak/kognitif/akal/perseptual).
Kalau kita ibaratkan “api” sebagai kebenaran; maka pada tahap ini, anda hanya sekedar
mendengar atau diberi tau bahwa api itu sifatnya panas, warnanya merah, kadar panasnya bisa
mencapai angka tertentu, dan berbagai uraian teoritikal lainnya. Ini kebenaran
(makrifat/pengetahuan) kelas “basic”. Begitulah pekerjaan mengaji dan menghafal berbagai
kitab, sehingga anda tau banyak hal secara teoritis, itu levelnya sangat dasar. Harus
di upgrade ke level selanjutnya.
Kedua, “Makrifat Syuhudi/Aini”. Pada level intermediate, kebenaran itu sudah harus dapat
“dilihat” (observed). Anda bukan hanya lagi membaca dan mendengar ceramah tentang “api”.
Tapi sudah harus melihatnya. Kalaupun wujudnya tak kasat, anda juga harus mampu
menemukan gelombangnya. Level keyakinan naik ke ainul yaqin (penglihatan yang
meyakinkan). Ini bentuk “makrifat penyaksian”. Syuhudi. Sudah lebih empirik. Namun, antara
anda dengan objek wujud yang terlihat masih ada jarak. Artinya, selama masih berjarak, anda
belum seratus persen mengetahui dan merasakan kebenaran itu.
Dalam hal ini; mengetahui cerita nasi goreng tentu sangat berbeda pemahamannya dengan
orang yang pernah melihat nasi goreng. Sudah mampu melihat “cahaya”, itu juga jauh beda
dengan orang-orang yang hanya sekedar berteori tentang cahaya. Tapi, cahaya itu juga hijab.
Anda tidak sepenuhnya tau “cahaya” sebelum anda terbakar, masuk ke dalam atau
menjadi cahaya itu sendiri. Anda tidak benar-benar tau nasi goreng, sebelum keseluruhan diri
anda merasakan wujud itu. Anda harus mengkonsumsinya. Sehingga hadir “rasa” yang
merupakan esensi dari wujud itu. Perumpamaan dengan Allah juga begitu. Selama masih ada
jarak, dan Wujud itu belum lebih dekat dari urat leher anda, anda belum sampai kepada
kebenaran yang meyakinkan. Ini membawa kita pada pengetahuan level ketiga.
Ketiga, “Makrifat Dzati”. Artinya, pada level advanced, kebenaran itu berbentuk “pasti” (haqqul
yaqin, kebenaran yang meyakinkan). Anda sudah terbakar dengan api. Rasa makanan tercicipi,
dan rasa enaknya hadir dalam tubuh. Anda tidak hanya lagi tau teori panas, teori nyala cahaya

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 146


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dan sebagainya. Anda sudah merasakan dan mengalami secara langsung dari keberadaan
sebuah Wujud.
Pada level tertinggi, pengetahuan itu sifatnya “hudhuri”; telah hadir dalam diri, menyatu,
terintegrasi, dan bahkan anda sendiri adalah pengetahuan itu. Tidak ada lagi jarak antara objek
dengan subjek. Keduanya sudah lebur. Esensi wujud, getaran energi dan gelombangnya sudah
ada dalam diri anda. Antara Qur’an dengan Muhammad, pada tahap ini, tidak lagi terpisahkan.
Muhammad itu Qur’an. Qur’an itu Muhammad. Muhammad itu cahaya. Cahaya itu
Muhammad. Lebih ektrim lagi dikatakan: “Allah adalah Ahmad tanpa mim”. Keduanya
menyatu. Saling mengisi. Yang satu adalah bayang, ruh atau tajalli dari yang lain. Muhammad
telah lebur dan kekal dalam Objek Pengetahuan. Ahad. Sehingga, Ia sendiri telah
menjadi Pengetahuan. Apa yang ia katakan dan lakukan adalah seluruhnya Kebenaran (Haq).
Tidak ada kesalahan apapun pada semua yang ia kerjakan dan katakan. Semuanya hukum.
Kalam Tuhan. Hadis. Maksum.
***
Jadi, sekali lagi, Islam itu adalah agama dengan approach pada iqra, pada jalan/metodologi
pengetahuan (makrifat). Sehingga dikatakan, awaluddin makrifatullah. Awal agama adalah
pengetahuan (makrifat).
Namun, pengetahuan ini pun bertingkat: basic, intermediate dan advance. Dari sekedar tau
lewat akal teoritis (ilmul yaqin), sampai menyaksikan dengan segenap potensi
kemanusiaan (ainul yaqin), dan terakhir bahkan anda sendiri menjadi bagian dari
wujud/kebenaran itu sendiri (haqqul yaqin). Dua metodologi pertama (ilmu dan ainul yaqin),
itu umum digunakan oleh kelompok filsuf, teolog, fuqaha, mufassir dan ilmuan teoritis lainnya.
Sedangkan metode haqqul yaqin (rabithah/penyatuan jiwa/iluminasi wujud), itu khas kaum
sufi.
Untuk lebih jelasnya, kita ambil “suci” sebagai sebuah objek pengetahuan. Kalau “suci” itu
hanya sebuah konsep di luar diri anda (eksternal), sebuah cerita khayali semata, maka “suci”
itu hanya menjadi sebuah kebenaran yang bersifat teoritis (ilmu). Abstrak. Tidak terjangkau.
Tidak aktual. Hanya ada di akal atau imajinasi Qur’an saja. Tidak ada wujudnya.
Jika anda sudah menemukan “orang suci”, anda baru sadar, ternyata wujud suci, itu ada. Bukan
lagi cerita atau dongeng belaka. Kalau sudah pada level penemuan seperti itu, anda sudah
berada di makam “ainul yaqin”. Suci itu bukan sekedar konsep. Melainkan, secara empirik ada
wujudnya.
Nah, kalau anda semua telah menjadi “orang-orang yang telah disucikan -menjadi orang “suci”
(QS. Al-Waqiah: 79); itu bermakna, konsep suci telah terintegrasi dalam wujud kehadiran.
“Suci” bukan lagi sebuah konsep atau teks ideal dalam Qur’an. Tapi telah memiliki Wujud.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 147


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Suci” telah terinternalisasi dalam diri, telah memiliki wadah untuk aktual. Manusia
(atau Adam) merupakan wadah tempat aktualnya seluruh sifat atau “Nama”.
Disinilah letak “karamah” (mukjizat). Karamah itu wujud dari kehadiran Pengetahuan Ilahi.
Artinya, manusia yang seperti ini telah menjadi wadah untuk bersemayamnya nilai-nilai yang
agung dan luhur, yang turun langsung dari sisi Tuhan (laduniah). Al-Qur’an itu mukjizat, iya.
Tapi coba perhatikan, yang memiliki/membawa mukjizat bukan kitabnya. Yang membawa
mukjizat itu orangnya, orang yang dalam dirinya ada Alkitab. Jadi, yang dimaksud “mukjizat
Alquran” adalah orang: para nabi, para imam, para wali (Alquran yang hidup dan berjalan).
Mereka ini orang-orang yang telah mencapai pengetahuan level 3 (haqqul
yaqin). Kebenaran (Allah, Kalimah, Firman, ataupun Asma-Nya) telah hadir dalam dirinya.
Alquran yang maha batiniah (Ruh Al-Ilahi) telah menyatu pada sisi kesadaran ruhaniah
mereka.
Untuk orang- orang ini Nabi berkata, “Kutinggalkan kepada kalian dua perkara, Alquran dan
ithrahku. Keduanya terintegrasi, tidak akan berpisah sampai kiamat nanti” (HR. Ahmad,
Muslim, Tirmidzi dan lainnya). Ini menandakan, kesatuan wujud antara Qur’an (objek) dan
orang (subjek) itu ada. Orang-orang seperti ini dapat ditemukan baik pada ithrah biologis Nabi
yang bertaqwa; maupun pada ithrah ideologis (guru-guru spiritual) yang ikut mewarisi Nur-
nya.

PENUTUP.

Jumlah profesor, doktor dan jenderal meningkat pesat. Orang alim dan tau kebenaran semakin
banyak. Tapi tidak manunggal dengan kebenaran yang mereka ketahui. Semua perilaku jahat,
zalim dan korup terjadi manakala tidak terintegrasinya objek dengan subjek pengetahuan.
“Jujur” itu hanya teori eksternal belaka, tidak akan pernah mewujud dalam diri kita, selama
objek kajian dengan si subjek yang mengkaji itu masih mengalami keterpisahan. Semua
kejahatan terjadi ketika spiritualitas agama mengalami “separasi” antara subjek dengan
objeknya. Alih-alih “integrasi”, Allah telah kita jadikan sebagai sosok Dewa yang sedang duduk
di singgasana, jauh di langit sana. Bukan lagi sesuatu yang immanent dalam diri kita. Sehingga
akhlak-Nya tidak pernah menzahir dalam perilaku berbangsa dan bernegara.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 64 | Agustus 2022


UNIVERSALITAS SUFI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 148


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Islam itu agama universal. Al-Qur’an misalnya, itu isinya bukan hanya cerita tentang Nabi
terakhir saja. Tetapi meramu semua kebajikan, yang telah ada sejak Nabi Adam. Jadi, jangan
heran ketika sufisme memiliki spirit yang sama, mengkompilasi ajaran spiritual, dari segala
tempat dan zaman. Sufisme mengumpulkan semua kebenaran yang bertebaran disepanjang
sejarah.
Arti “sufi” dan asal usulnya sendiri tidak diketahui pasti. Seperti halnya Islam, asal usulnya
juga membingungkan. Sebab, kalau dikatakan berasal dari Muhammad SAW, para nabi
sebelumnya (bahkan sejak Adam) sudah mengajarkan hal yang sama, tentang tauhid dan
kepasrahan (taslim) kepada Allah. Otentisitas “Islam” susah dilacak. Kepada siapa, dimana dan
kapan kata ini pertama kali dilekatkan? Karena, “Islam” adalah kata-kata umum dalam Al-
Qur’an yang menjelaskan tentang “kepatuhan” atau “kepasrahan”. Bahkan langit dan bumi
pun disebut “Islam”, karena patuh pada hukum-hukum Tuhan.
Kata “sufi” baru muncul abad ke-8, atau abad ke-2 Hijriah. Mungkin merujuk pada
sekelompok orang pada masa Nabi SAW ataupun sesudahnya, yang memakai baju wol, jubah
atau khirqah kasar (shuf). Penampilan mereka sederhana. Kerjanya terfokus untuk
mengobservasi (mengamalkan) berbagai ajaran spiritual yang diajarkan secara khusus oleh
Nabi kepada mereka. Tidak semua orang mendapat warisan spiritual kenabian. Tergantung
wadah masing-masing. Atau, “sufi” juga merujuk pada jalan kesucian (shuff) yang mereka
jalani. Karena sufi juga berarti “suci”. Atau juga bermakna “kemurnian” (shafa), karena usaha
mereka untuk selalu menjaga kejernihan hati. Mungkin juga karena semangat mereka untuk
berada pada “shaf” pertama di belakang Nabi SAW, sehingga disebut “sufi”. Ada juga yang
merujuk ke “Ahlus Shuffah”, sebuah perkampungan di Madinah, yang ditinggali para faqir ahli
ibadah dari kalangan Muhajirin.
Pada tahap ini, “Sufi” adalah murni sesuatu yang lahir dari tradisi Islam. Muncul pada masa
nabi atau sesudahnya. Karenanya, sufi dianggap sebagai murni “tradisi timur” (khususnya Arab
diera atau paska Muhammad SAW). Tidak dapat dipungkiri, landasan utama sufi dalam
beramal juga Al-Qur’an dan Sunnah. Khususnya dalam menggali makna-makna terdalam
(dimensi esoteris) dari Islam. Semua ordo sufi mewajibkan adanya mata rantai transmisi ruhani
yang terhubung dengan Nabi SAW. Artinya, kalau tidak mewarisi sanad ruhaniah kenabian,
maka sufismenya dianggap batal. Bahkan, sufi menjadi satu-satunya tradisi keilmuan dalam
Islam yang paling ketat menjaga “tali hubungan” (wasilah) dengan Rasulullah. Berbeda dengan
tradisi kaum teolog atau fukaha lainnya, anda tidak diwajibkan mengecek apakah sebuah
majelis pengajian atau pesantren punya silsilah (sanad) ilmu yang tersambung dengan
Rasulullah atau tidak. Di sufi (khususnya tarikat), itu wajib. Artinya, sufi sangat kuat mengikat
hubungannya dengan Nabi.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 149


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Lalu, ada juga yang mengaitkan “sufi” dengan Sofia (bahasa Yunani, artinya hikmah). Pada
tahap ini, “sufi” dinilai sebagai Islam yang dipengaruhi “tradisi barat” (khususnya Yunani,
sebelum Muhammad SAW). Bagi sebagian pemikir Islam, agak susah menerima kebenaran
yang berasal dari era sebelum Muhammad SAW. Karena akan dianggap “jahiliah”. Mereka
secara sempit memahami Islam sebagai sesuatu yang baru turun setelah peristiwa Gua Hirak.
Mereka tidak tau, kalau amalan Nabi di Gua Hirak adalah amalan-amalan khusus para
spiritualis besar, para wali dan nabi-nabi muslim sebelumnya. Artinya, sebelum memperoleh
visi besar di Gua Hirak, Muhammad sudah menerima ajaran (amalan-amalan) Islam dari para
pendahulunya. Kalau tidak, darimana ia memperoleh ide laku spiritual yang begitu ketat dan
misterius? Tentu ada guru-guru spiritual yang telah mengajarkan spiritualitas nabi-nabi
sebelumnya (termasuk Isa as) kepada Muhammad SAW.
Tapi, orang-orang kaku ini susah menerima, kalau periode diantara Isa as Muhammad SAW
telah hidup para spiritualis yang masih membawa Ruh al-Ilahi. Sebab, sanad kenabian dari satu
kepada lainnya tidak pernah terputus. Para nabi bersaudara, “satu Ruhani”.
Orang-orang kaku ini juga sulit percaya, bahwa “Islam” (ajaran kepasrahan kepada Allah)
sudah menyebar di muka bumi sejak pertama manusia ada. Sehingga tradisi spiritual dapat
ditemukan pada semua bangsa. Bahkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an, setiap masa ada
nabinya. Setiap tempat ada nabinya. Setiap nabi membawa petunjuk bagi umatnya. Dan
banyak nabi (guru spiritual atau para pembawa petunjuk) yang tidak diceritakan dalam Al-
Qur’an.
Para sufi percaya, semua agama samawi (tradisi spiritual) yang ada sejak Adam as sampai
Muhammad SAW, itu adalah “Islam” semua. Bahkan Muhammad sendiri tidak membawa
agama baru. Baginda SAW hanya menjadi “pembaharu” (mujadddid) yang hadir untuk meng-
upgrade dan memperkenalkan apa yang telah ada dari para guru-guru spiritual sebelumnya
(termasuk ajaran Ibrahim as).
Maka tidak susah bagi sufi untuk menerima kebenaran dari manapun datangnya. Sejauh itu
benar, itu adalah “Islam”. Sehingga tradisi keilmuan Yunani yang sudah begitu mapan,
diterima baik secara kritis maupun terbuka, oleh para sufi (juga banyak filsuf muslim lainnya).
Sufisme mencerna konsep-konsep kesatuan wujud era sebelumnya. Termasuk teks metafisik
Yunani, “Eneads” karya Plotinus. Bahkan ia dianggap sebagai seorang “syaikh besar” (guru sufi
di era Yunani). Ajaran para filsuf mazhab Pythagoras, khususnya Niomachus juga diadopsi.
Ide-ide Empedocles tentang kosmologi dan ilmu alam juga menjadi perhatian kaum sufi.
Kitab-kitab mazhab Hermetik pada abad pertama sampai keempat Masehi, yang isinya penuh
dengan konten batiniah dari tradisi Mesir dan Yunani, juga di translate ke bahasa Arab. Sebuah
judul “Poimandres”, adalah risalah yang terus muncul dan dinisbahkan sebagai karya Hermes

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 150


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Trismegistus, pendiri Hermetisisme. Hermes ini, dalam tradisi sufi dikaitkan dengan Enoch,
yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai Nabi Idris.
Tidak hanya mengasimilasi intelektualisme Yunani, sufi juga adaptif dengan hikmah-hikmah
yang tersebar di semua wilayah. Karena itu, sufi dikenal sangat mudah berangkulan dengan
semua tradisi lokal. Karena sufi mampu menemukan wisdom dalam semua kultur dan
kepercayaan.
Konsep kembar “Ada ‘hukum’ di Alam, Ada ‘konflik’ di Alam”, sebuah keyakinan
Zoroastrianisme, juga menjadi bahan pengembangan tema-tema kosmologi oleh para sufi besar.
Konsep-konsep angelologi (malaikat, cahaya) yang dibangun Suhrawardi juga turut diwarnai
oleh gagasan Zoroaster. Bahkan Salman Alfarisi sendiri juga disebut-sebut sebagai seorang
Zoroaster yang mendapat ilham akan kedatangan Muhammad SAW, sehingga ia mengembara
dari Persia untuk menemukan Sang Nabi.
Banyak signifikansi batiniah dari ajaran-ajaran besar dunia yang dipertajam kembali oleh sufi.
Baik dari sumber-sumber Persia, Hindu, maupun Budha. Kisah-kisah Budha diangkat Ibnu
Sina dalam “Salman dan Absal”-nya. Sehingga Sufi sering dikritik sebagai “bukan Islam”,
karena kesamaan pada sejumlah ritus dengan tradisi lainnya. Padahal, kalau kita mau terbuka,
sholat sekalipun itu punya keserupaan pada hampir semua agama. Cara sholat orang Islam, itu
mirip, bahkan sama dengan gerak sholatnya sejumlah Mazhab dalam Kristen, Yahudi dan
Budha. Puasa juga begitu, dan lainnya. Jangan-jangan, Islam meniru agama-agama sebelumnya!
Tidak hanya Islam, Yahudi dan Kristen juga memiliki tradisi spiritual yang kuat. Sufisme Islam
sering mengutip kisah Isa as dan perawan suci Maryam sebagai simbol-simbol kelahiran
“Logos” (Firman/Ruhullah). Termasuk kisah Musa as berguru dengan Khidir, berkhalwat 40
hari di Thursinai, menemukan api, melihat Tuhan, dan sebagainya; menjadi bagian dari kisah
dan pengamalan tasawuf. Artinya, sufi mengembara ke segala tempat dan zaman, juga ke ke
setiap lokalitas dan wilayah; untuk menggali esensi-esensi ketuhanan. Karena itulah, Islam
yang dibawa para sufi bersifat “damai” dan diterima secara mudah. Termasuk Indonesia. Para
sufi berhasil meng-islam-kan tradisi lokal, seperti wayang dan sebagainya. Mereka tidak
melawan itu. Mereka tidak mengkafirkan perbedaan. Mereka justru memberi “ruh” pada semua
yang telah hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Mereka tidak melakukan “arabisasi”.
Mereka melakukan “islamisasi”.
Karena tidak memahami universalitas Islam para Sufi, sebagian orang begitu membenci sufi.
Karena dianggap sebagai bagian dari Hindu, Budha, Kristen, Yunani, Persia dan sebagainya.
Orang semacam ini masih berfikir, bahwa Islam itu sebuah agama yang berasal dari
kampungnya, yang dibawa oleh neneknya, yang kebenarannya hanya tertulis dalam kitab-
kitabnya saja. Tanpa pernah tau, bahwa Islam adalah ajaran universal. Islam sudah ada,

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 151


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sebelum kampungnya ada. Islam sudah ada, sebelum neneknya lahir. Islam sudah ada, sebelum
kitab-kitabnya ditulis.
PENUTUP. Kalau anda masih berjiwa sempit, sebaiknya jangan menjadi sufi. Apalagi berlagak
jadi guru sufi. Karena sufi adalah “jiwa merdeka”. Sufi adalah agama universal, jenis Islam yang
melampaui zaman dan tempat. Sufisme adalah Islam yang mengakumulasi berbagai kebajikan
spiritual. Sufisme adalah Islam yang memandang, bahwa Wajah Allah ada dimana-mana. Sufi
bukanlah agama, yang memandang Suni sesat, atau Syiah bangsat. Sufi bahkan memandang
semua agama dan mazhab sebagai jalan untuk mencari pencerahan. Sufi memandang semua
manusia sebagai hamba Tuhan yang pantas dicintai, melampaui ras dan keyakinan.
Musuh sufi satu-satunya adalah setan; yang menyelinap dalam rupa kita semua. Dalam rupa
kiyai, syekh, ustad, buya, habaib atau ulama. Dalam wajah rahib, biksu, rabi dan pendeta.
Dalam mimik politisi, birokrat dan pengusaha. Musuh sufi adalah setan dalam wajah kita
semua, apapun agama dan keyakinannya, apapun profesinya. Musuh sufi adalah setan, dalam
dirinya sendiri. Menjadi seorang sufi, itu artinya menempuh jalan untuk menjadi prototipe
manusia universal: Muhammad, dengan cara bermujahadah melawan diri sendiri.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 65 | Agustus 2022


ISTIRAHATLAH, BIAR TUHAN YANG BEKERJA!
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Begini. Kalau dalam waktu sehari semalam anda punya waktu sejenak saja untuk berhenti
berpikir, anda akan hidup lebih sehat. Caranya, “tidur”. Itu cara mematikan pikiran.
Katakanlah, kalau dalam 24 jam anda bisa tidur 8 jam (sepertiganya), itu sudah cukup untuk
membuat anda sehat. Mungkin 8 jam terlalu lama. Persingkat, 2 jam saja. Kalau anda benar-
benar lelap dalam waktu itu, segar juga anda setelahnya.
Artinya apa?
Dalam sehari semalam, anda harus punya mekanisme untuk menghibernasi daya kerja otak.
Anda harus melarikan diri dari dunia. Harus total berhenti berpikir. Akal harus mati. Itu cara
hidup sehat. Itu bahkan cara agar anda mampu berpikir lebih baik setelahnya.
Jadi, walaupun manusia itu baru dikatakan “hidup” setelah aktif daya berpikirnya, manusia
juga makhluk yang harus punya mekanisme reguler agar kekuatan inteleknya sesekali “mati”
suri. Bahkan, dengan sesaat berhenti berpikir, manusia menjadi tercerahkan.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 152


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Itu urgensi “uzlah”, “khalwat”, atau “suluk”. Katakanlah, lakukan itu selama 1 bulan dalam 1
tahun. Itu sama lamanya dengan 2 jam istirahat dalam sehari. Singkat sekali. Tapi banyak
orang gagal memahami. Dikira, itu tindakan melarikan diri dari dunia. Padahal, disitulah
rahasia “kesehatan” akal dan ruhani. Mereka kira, dengan bekerja dan berpikir terus menerus,
perubahan di negeri ini akan terjadi. Padahal, banyak perubahan terjadi justru saat ia sedang
terlelap dalam tidurnya. Karena, sesungguhnya, Tuhan lah yang bekerja. Bukan manusia. Maka
jangan sok hebat. Jumpai Tuhan. Untuk berkoalisi dengan-Nya.
Para nabi adalah orang-orang yang punya kurikulum “kerjasama” dengan Tuhan. Intelektual
para nabi itu ada di atas rata-rata (cerdas, fathanah). Mereka semua pada dasarnya pemikir.
Juga pekerja keras. Bukan tukang tidur. Sibuk berpikir dan bergerak untuk kemajuan umatnya.
Bahkan harus memikirkan strategi untuk menghadapai musuh-musuhnya.
Tapi mereka juga para pengamal “temporary death” (kematian sementara). Mereka pengamal
dzikir. Mereka orang-orang yang dalam waktu tertentu dalam sehari, atau setahun,
menyisihkan waktu untuk “menyendiri”, masuk ke kelambu/gua; lalu mematikan daya intelek
guna masuk ke jenis kesadaran baru. Yaitu alam imajinal. Alam mimpi (visi). Alam ruhani.
Alam prototipe. Alam ideal. Alam Rabbani.
Untuk masuk ke alam ini, akal harus ditinggalkan. Sebab, alam itu tidak bisa di akali. Murni
ruhani yang berperan. Ketika Ruhani mampu menata kembali alam imajinal, melalui zikir-zikir
tertentu yang dibimbing seorang Guru, baru kemudian dimensi dunia yang ada dibawahnya
tercerahkan kembali.
Sepulang dari “kematian” ini, ada wahyu yang diperoleh. Ada visi yang terbangun. Ada
pencerahan yang didapat. Ada ide-ide brilian yang diutarakan. Ada nilai-nilai kasyaf yang
diterima. Makanya, pembicaraan mereka setiap hari selalu baru dan up-date. Ayat-ayat yang
turun selalu relevan dengan kondisi. Bukan sekedar mengulang cerita-cerita basi. Ceramahnya
tidak membosankan. Karena kontennya berasal dari jiwa yang selalu terbarukan.
Ada juga orang-orang yang selalu “kekurangan ide”. Sebenarnya, itu refleksi dari jiwa yang
gersang. Kalau jiwanya hidup, ide cemerlang selalu muncul. Pengetahuan selalu mengalir.
Pancaran aura dan energinya sangat kuat. Gerakannya cepat. Sebab, jiwanya telah terhubung
dengan Ruhani yang Maha Kudus. Sehingga, akalnya pun ikut tercelup dalam samudera
Cahaya.
Orang yang cukup istirahat, reguler berzikir (beruzlah), jiwanya pasti sehat. Pikirannya cerdas.
Sejauh metode uzlahnya benar. Kalau tidak, paling cuma putih badan saja hasilnya. Orang-
orang tercerahkan, kalau menjadi pemimpin pasti sangat motivatif dan inspiratif. Pasti menjadi
magnet untuk ketauladanan.
Sebaliknya, mereka yang kurang istirahat, bahkan selalu absen dari menapaki jalan Ruhani
(zikrullah), jiwanya pasti kotor. Bawaannya selalu suntuk. Menjengkelkan. Auranya negatif.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 153


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ide-idenya busuk. Kerjanya pasti korup. Sebab, tidak ada pencerahan yang ia peroleh saat
bertindak. Semua kejahatan yang muncul di negeri ini adalah refleksi dari jiwa-jiwa yang
kurang “piknik” ke Alam Tuhan. Setiap hari mikir terus, kerja terus. Mikirin dan ngerjain
bagaimana caranya agar negara ini cepat bangkrut.
“Mati sebelum mati”, itu nasehat para guru sufi. Matikan sejenak akalmu. Istirahatlah.
Berkhalwatlah. Suluk. Pejamkan matamu. Hidupkan batinmu. Agar Tuhan menghampirimu.
Lalu, saat terjaga, Tuhan sudah ada disisimu. Lalu belajarlah untuk berinteraksi dengan alam
visi ruhaniahmu. Bawalah Dia dalam setiap pekerjaanmu.
Perbaiki jiwamu, maka Tuhan akan memperbaiki nasibmu. Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum, seberapun lelah mereka berfikir dan bekerja. Sampai kaum itu bersedia
merubah “anfus”; jiwa, visi ruhaniah mereka (QS. Ar-Ra’d: 11):
..‫ ۗ ِان ا ٰ ّ َ َﻻ يُغ ِ ّ َُﲑ َما ِبقَ ْو ٍم َح ٰ ّﱴ يُغ ِ ّ َُﲑ ْوا َما ِ َنْ ُف ِسه ْ ِۗم‬..
PENUTUP.
Tapi saya curiga. Orang Indonesia justru kurang mikir dan kurang kerja. Kebanyakan istirahat.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 66 | Agustus 2022


MELACAK SANAD KEISLAMAN NABI MUHAMMAD SAW
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Benarkah orang tua nabi kafir, dan Islam baru turun saat Muhammad menerima wahyu di usia
40? Jadi, apa agama Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi nabi?
Nama ayah Nabi SAW adalah “Hamba Allah” (Abdullah). Jelas sekali, Tuhannya bukan
patung, bukan berhala. Juga bukan Latta, Uzza atau Manat. Nama Tuhannya, tempat beliau
mengabdi, adalah “Allah”. Lalu kenapa masih ada orang yang mendakwahkan kalau orang tua
nabi adalah kafir? Padahal semua orang, termasuk kita hari ini, ingin menjadi seorang “hamba
Allah” (abdullah).
Kemudian, kalau ayah Nabi SAW seorang “Hamba Allah”, bagaimana dengan ibunya? Apakah
mungkin seorang “Hamba Allah” memperistri orang kafir? Bukankah Aminah artinya “yang
diimani”, “orang yang dipercaya”.
***
Nama orang tua nabi adalah “dalil” yang sangat kuat, bahwa mereka adalah hamba Allah dan
orang yang beriman. Dari sosok orang tua Nabi SAW, kita menjadi tau. Islam sudah ada

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 154


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sebelum Muhammad SAW lahir. Artinya, Islam bukanlah agama yang baru turun setelah
Muhammad SAW mendapat wahyu pada usia 40 di Gua Hirak. Peristiwa Hirak hanya sebuah
momentum Beliau “naik pangkat”, menjadi Rasul.
Jadi, Muhammad bukan sosok yang tiba-tiba, simsalabim, setelah bertapa di kegelapan gunung
lalu berubah jadi muslim. Tidak se-gaib itu juga. Yang namanya edukasi, itu ada proses
alamiah; serta ilmiah. Keislamannya ber-sanad. Ada pendidikan intensif. Berkhalwat di Gunung
sekalipun, itu ada kurikulumnya. Bukan suka hati. Sejak kecil, Muhammad sudah beragama
sesuai agama orang tuanya. Agama Islam. Agama orang-orang hanif. Agama yang menuhankan
“Allah”. Pun kepribadian Muhammad sejak kecil, adalah kepribadian ibunya yang “al-Amin”.
Bahkan Abu Thalib sekalipun (paman Nabi/ saudara kandung Abdullah) adalah orang yang
tidak hanya memelihara Muhammad sejak usia 8 tahun; tapi juga memberinya pengajaran
tentang adab/etika (ilmu ukhrawi). Sehingga sejak kecil, Muhammad sudah memiliki akhlak
yang sangat mulia. Dia juga yang mengajari Muhammad tentang bisnis (ilmu duniawi),
termasuk selalu membawanya serta dalam kafilah dagangnya ke manca negara. Abu Thalib
inilah yang paling kuat melindungi Muhammad SAW dalam berdakwah di kemudian hari.
Semua anaknya (seperti Jakfar, Ali dan Aqil) ditugaskan untuk membantu dakwah Nabi.
Selama 42 tahun sisa usianya (M.Q. Shihab, “Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW”, Lentera
Hati, 2011), Abu Thalib membesarkan Muhammad sebagai calon penerus dan pemimpin
kaum, serta membimbing dan memberi arahan untuk pengembangan Islam.
Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi Muhammad SAW pada periode Makkah, selain
wafatnya dua orang: Abu Thalib, dan kemudian disusul Khadijah. Tanpa Abu Thalib dan
keluarganya, Islam sudah binasa sejak awal. Apa yang dilakukan Abu Thalib bukan semata
karena Muhammad itu anak adiknya. Tapi ia melihat ada “Cahaya” pada Muhammad, yang
membuat ia layak mengorbankan diri untuknya. Dia sampai diboikot oleh kaumnya.
Namun, Abu Thalib ini seorang sufi, yang tidak begitu suka mengumbar simbol-simbol dan
identitas keislaman (sehingga ada yang meragukan keislamannya). Islam pada masa jahiliah
masih kuat dengan warna sufistik, warisan esoterik Nabi Isa as (atau juga Ibrahim as). Orang-
orang Islam masa jahiliah itu cenderung hanif. Silent. Baik budi. Tidak rusuh. Hati mereka
bersih. Karamahnya juga kuat. Contohnya Abdul Muthalib, kakek Nabi SAW, ayah dari Abu
Thalib dan Abdullah. Setelah wafat ibundanya (selama 2 tahun, usia 6-8), Muhammad diasuh
oleh sosok penuh “mukjizat” ini.
Ibnu Ishaq, sejarawan awal Islam, bahkan menyebut jika Aminah dan Abdul Muthalib adalah
sedikit dari orang-orang yang selalu dijaga oleh Allah. Dia seorang pemuka Quraisy. Imam
Baitullah. Seorang master spiritual (mursyid). Khadam Masjidil Haram. Beliau suatu ketika
pernah menolak untuk menghadapi tentara Abrahah. Bahkan cenderung memilih
mengamankan unta-untanya, saat Kakbah diserang. Tapi doanya mampu mendatangkan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 155


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

bantuan dari “langit” (burung ababil), yang menghancurkan seluruh bala tentara Abrahah. Ini
sangat bertolak belakang dengan kondisi Khadamul Haramain hari ini, yang sama sekali telah
kehilangan spiritual power. Tentara “Abrahah” modern (US dan sekutunya) justru sudah
mendapat military base-nya di seluruh Arab. Malah zionisme pun mulai diajak untuk
melakukan hubungan normalisasi oleh penjaga Tanah Suci. Islam sudah benar-benar hilang
karomahnya.
Muhammad SAW juga mirip kakeknya, sangat ber-power. Kemenangan demi kemenangan
selama 22 tahun berjihad, itu semata-mata karena “turunnya” bantuan malaikat. Secara militer,
kekuatan Islam justru pernah sangat lemah. Kalah jumlah dan persenjataan.
Namun Muhammad SAW dan para leluhurnya, boleh dikatakan, adalah trah yang penuh
mukjizat:
‫دﰼ ِ َلْ ٍف ِّم َن الْ َم ٰلۤى َك ِة ُم ْر ِد ِف ْ َﲔ‬
ْ ُ ‫اب لَ ُ ْﲂ َا ِ ّ ْﱐ ُم ِم‬
َ َ َ‫ِا ْذ َ ْس تَ ِغ ْيﺜ ُْو َن َر ُ ْﲂ فَ ْاس ت‬
(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia mengabulkan
bagimu (seraya berfirman), “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu
berupa seribu malaikat yang datang berturut-turut” (QS. Al-Anfal: 9)
Kisah Waraqah bin Naufal (imam Nestorian di Kota Makkah yang juga sepupunya Khadijah
dan mengakui kerasulan Muhammad), ataupun Buhairah (pendeta yang melihat tanda-
tanda nubuwwah pada diri Muhammad SAW saat kecil, ketika berada dalam sebuah caravan
dagang menuju Syams); adalah juga gambaran jika tradisi spiritual warisan Isa as sudah masuk
jauh sampai ke kampung-kampung di Mekkah. Artinya, ada master-master spiritual yang
hidup di masa Arab jahiliah. Masih ada para wali yang mampu melihat ayat (tanda-tanda
kewalian besar) pada diri Muhammad. Eksistensi orang-orang kasyaf ini menjadi pertanda
bahwa tradisi spiritual para nabi, antara periode Isa as dan Muhammad tidak terputus. Sama
dengan kondisi era (jahiliah) moderen sekarang. Walaupun terkesan vakum dari sosok nabi,
tentunya masih ada para wali, “utusan” atau “pewaris” Allah dan Rasulullah yang mengisi
bumi.
Dari Sirah Nabawiyah, kalau kita jeli membaca, Nabi Muhammad SAW sebenarnya mewarisi
dua sanad keilmuan. Pertama, sanad dan tradisi spiritual dari keluarganya sendiri, Bani Quraisy
yang hanif, yang bersambung sampai ke Adnan, ke Ismail as dan Ibrahim as. Kedua, sanad dan
praktik-praktik esoteris dari para rahib suci, yang mungkin Beliau temui di Mekkah maupun
selama perjalanan dagang di Syams, yang wasilah ruhaniahnya tentu bersambung sampai ke Isa
putra Maryam. Namun, karena yang dipelajari Muhammad sejak belia sampai usia 40 bersifat
sangat batiniah, catatan tentang itu cenderung “tertutup”. Tradisi gnostis cenderung
“merahasiakan” apa yang diajarkan. Sehingga apa yang dilakukan Nabi secara intensif selama
bermalam-malam di Gua Hirak tidak banyak orang tau. Kecuali yang mewarisi sanad ilmu
meditasi (zikir) yang sama.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 156
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

PENUTUP.
Islam agama bersanad, punya mata rantai transmisi Ruhani kepada orang-orang terpuji.
Muhammad SAW mewarisi keislaman dari orang tua, paman/keluarga, dan guru-guru spiritual
lainnya. Oleh karena itu, tafsir tentang kekafiran orang tua dan paman Nabi, dalam tradisi
spiritual Islam, itu dipercaya sebagai isapan jempol belaka. Dicurigai, ada motif (unsur-unsur
politik) lain yang dikemudian hari melahirkan doktrin-doktrin tentang kekafiran orang tua
maupun paman Nabi, Abu Thalib.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 67 | Agustus 2022


SETAN ITU APA?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Setan itu apa?
‫… و َﻻ تَ ِ ُع ْوا خ ُُط ٰو ِت الش ْي ٰط ِ ۗن ِان ٗه لَ ُ ْﲂ َدُ و م ْ ٌِﲔ‬
“… dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu
merupakan MUSUH YANG NYATA” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Jangan mencari setan ke alam gaib. Jangan menuduh yang mistik-mistik
sebagai setan. Setan adalah musuh yang nyata. Wujudnya bahkan kasat mata. Nampak secara
zahir. Karena, setan itu sebenarnya manusia.
Manusia adalah makhluk kompleks. Dalam dirinya ada konflik. Ada potensi “fujur”
(kejahatan), juga “taqwa” (kebaikan). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa potensi fujur dan
taqwa (QS. Syams: 8). Disaat potensi fujur aktual, anda menjadi setan. Sebaliknya, kalau lagi
baik, anda telah menjadi manusia (insan). Makin lama baiknya, semakin menjadi manusia
sempurna (insan kamil).
Kalau setan dikatakan sebagai “makhluk gaib”, itu benar juga. Maksudnya, itu adalah entitas
“halus” yang ada dalam diri kita. Ada “makhluk” tertentu dalam diri manusia, yang secara
psikologis selalu membisiki untuk berbuat jahat. Makhluk halus ini adalah “ruh jahat”, atau
jenis “jiwa kotor”; yang selalu memotivasi untuk melakukan keburukan. Itulah “setan”. Dia ada
dalam diri kita secara potensial. Aktualnya ada dalam wujud cara berfikir dan berperilaku kita
semua.
Al-Qur’an menggambarkan ciri-ciri orang yang mengikuti “langkah-langkah” setan (bisikan
jahat di kedalaman jiwa) sebagai berikut. Pertama, suka menciptakan permusuhan dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 157


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kebencian melalui mabuk dan judi (QS. Al-Maidah 91). Kedua, suka menakut-nakuti atau
mengintimidasi orang (QS. Aali Imran 175). Ketiga, dermawan tapi untuk pamer (QS. An-Nisa
38). Keempat, merasa benar apa yang telah dilakukannya, tanpa mengetahui hakikatnya (QS.
An-Nahl 63). Kelima, suka mencelakai orang (QS. Al-Fatir 6). Masih banyak lainnya.
Karena tabiatnya jahat dan buruk (fujur), maka setan dianggap sebagai unsur yang membuat
kita “jauh” atau “terlempar” dari Tuhan (alias “terkutuk”). Karena itulah, “syaitan” dalam
bahasa Arab artinya yang terjauhkan, atau yang terlempar. Segala sesuatu yang membuat kita
menjadi jauh dan terlempar dari kutub Ketuhanan, itu adalah “setan”. Segala hayalan, bisikan,
dorongan, hasrat, nafsu, keinginan, kesimpulan, dan tindakan; yang membuat kita menjadi
“terkutuk” atau “terajam” (jauh dari rahmat Allah) itu adalah setan. Setiap memulai sesuatu,
kita selalu memohon agar dijauhkan dari ini. A-‘udzubillahi minasy-syaitanir rajim.
Jadi, setan itu memang sesuatu yang buruk. Seandainya ia punya wujud, pasti wujudnya buruk
sekali. Karena itu, kalau “makhluk” ini kita tarik dari jiwa kita, lalu kita gambar wujudnya,
maka akan sangat menakutkan sekali. Itulah wujud ruhaniah kita yang “kotor”. Bersetan.
Untuk itu ada jalan pembersihan jiwa. Biasa disebut suluk, khalwat, atau tazkiyatun nafs.
Tujuan pelatihan ini, agar gelombang kejiwaan menjadi positif. Agar anasir jahat (setan/fujur)
menjadi redup. Sehingga senantiasa aktif sisi “taqwa”-nya. Sisi malaikatnya.
Sejak lahir, sudah ada qarin yang mengikuti atau mendampingi kita. Sudah ada unsur baik
ataupun jahat yang secara alami mengalir dalam DNA kejiwaan kita. Ada potensi setan yang
inheren dalam diri. Selain juga ada unsur baik yang merupakan fitrah kita.
Kenapa sejak lahir kita sudah bersetan?
Karena, sejak “ruh” diturunkan ke bumi (ke dalam jasad), kita sudah mulai terjauhkan dari
Tuhan. Proses materialisasi menyebabkan kita menjadi “bersetan”. Karena
unsur setan (termasuk jin) memang unsur material bumi, “api”. Jadi, kalau kita berubah
menjadi setan (menjadi panas, membakar atau jahat); itu alamiah memang.
Tapi ingat, dalam diri kita juga ada “ruh”, yang sebelumnya di alam rahim telah menyaksikan
Tuhan. Karena itu, kita juga terlahir dalam potensi “suci”. Untuk terus tumbuh dalam keadaan
terjaga dan terpelihara (senantiasa suci), harus ada proses penyucian diri secara terus menerus.
Secara syariat, kita bisa disucikan melalui wudhuk. Tapi itu hanya bentuk penyucian diri dalam
konteks “fisik”. Sementara, setan (jin ataupun iblis) adalah sesuatu yang “laten” (halus, gaib,
tersembunyi, melekat dalam ruhani). Karena itu, dibutuhkan proses penyucian jiwa yang
bersifat ruhaniah. Untuk membasuh muka, tangan dan kaki agar bersih, itu cukup dengan air
bersih. Sebab, unsur materi (tubuh) dapat disucikan dengan materi (air). Tapi, untuk
mensucikan atau membersihkan jiwa, itu tidak mempan dengan mandi atau wudhuk. Anda
butuh unsur sejenis. Yaitu, Ruh itu sendiri. Sebab, ruh kotor, hanya bisa dibersihkan oleh Ruh

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 158


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Suci. Ruh Suci inilah yang disebut sebagai “Ruhani Rasulullah” (Ruhul Muqaddasah
Rasulullah, Ruhul Quddus).
Ruhul Muqaddasah Rasulullah adalah Ruh Allah (Nurun ‘ala Nurin) yang dititipkan dalam
jiwa Nabi Muhammad SAW. Dengan Ruh inilah Beliau mampu mensucikan jiwa manusia.
Mampu membersihkan “setan” yang ada dalam hati/qalbu seseorang. Karena memang tugas
seorang nabi diutus Allah untuk mensucikan atau meng-islam-kan jiwa manusia. Nabi mampu
mensucikan manusia karena ada “kekeramatan Allah” (Ruh Allah) dalam dirinya. Tanpa
dimensi Ruhullah dalam diri, anda tidak bisa menjadi seorang imam, wali atau mursyid (waris
nabi).
Jadi, kalau mursyid tidak keramat, itu sama dengan seorang nabi yang tidak punya mukjizat.
Pasti bukan nabi itu. Pasti bukan mursyid itu. Pasti bukan wali itu. Sebab, kekeramatan
ruhaniah merupakan esensi yang ia punya untuk dapat mensucikan jiwa sang murid:
‫لَقَدْ َمن ا ٰ ّ ُ َ َﲆ الْ ُم ْؤ ِم ِ ْ َﲔ ِا ْذ ب َ َع َث ِف ْ ِﳱ ْم َر ُس ْو ًﻻ ِّم ْن َانْ ُف ِس ِه ْم ي َ ْتلُ ْوا َلَ ْ ِﳱ ْم ٰا ٰيتِ ٖه َو ُ َز ِكّ ْ ِﳱ ْم‬
‫َويُ َع ِلّ ُمهُ ُم الْ ِك ٰ َب َوالْ ِح ْﳬَ َۚة َوا ِْن َﰷن ُْوا ِم ْن قَ ْ ُﻞ لَ ِف ْي ضَ ٰل ٍﻞ م ْ ٍِﲔ‬
“Sungguh, Allah benar-benar telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika (Dia)
mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul (Muhammad) dari kalangan mereka sendiri
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Kitab Suci (Al-Qur’an) dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-
benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Aali ‘Imran [3]: 164)
Karena itu, yang disebut “ber-Guru”, hakikatnya adalah mencari Ruhani Rasulullah. Makna
hakiki dari ber-Guru adalah mencari sosok ulama, imam atau walimursyid dari kalangan kita
sendiri, yang dapat mensucikan jiwa kita. Hanya setelah diinstal Ruhul Quddus, jiwa kita akan
bersih atau suci dari setan. Sehingga, hanya jiwa yang telah tersucikan yang dapat memperoleh
Karunia Allah (yaitu Batin, Kalam atau Alquran laduniah). “La yamassuhu illal muthahharun”
(QS. Al-Waqiah: 79).
Para Guru yang membawa “wasilah” (Ruhul Muqaddasah) tentu jumlahnya sangat langka.
Selangka jumlah nabi disetiap masa. Kira-kira begitu. Karena kutub wasilah memang unik dan
terbatas. Mereka menjadi pembawa “wasilah” juga karena berguru pada wasilah sebelumnya.
Inilah yang disebut “sanad ruhaniah”. Sambung menyambung sampai ke Rasulullah.
Beruntung jika anda menemukan Guru. Sebab, tanpa Guru yang membawa sanad nubuwwah,
guru kita pasti setan. Sebab, ruhani seorang guru yang tidak memiliki kekeramatan/cahaya
Rasulullah pasti mengandung unsur setan. Pasti itu. Bisa tambah bodoh anda. Bisa menjadi
radikal. Bisa menjadi hedonis. Bisa menjadi koruptor. Bisa menadi kriminal. Bisa menjadi
penipu. Bisa menjadi penyebar hoaks. Bisa semakin jauh dari rasa bahagia. Bisa semakin was-
was dan curiga. Bisa bunuh diri, atau menghabisi saudaranya sendiri dengan bom bunuh diri.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 159


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Apalagi jika tidak berguru. Pasti yang jadi guru adalah “bisikan-bisikan halus” dalam diri kita
sendiri. Artinya, setan kita sendirilah yang akan menjadi guru kita, yang kita sangka bisikan itu
adalah benar. Betapa banyak orang yang tersesat dengan sangkaan dan perasaan. Kita tidak
tau, yang mana motivasi dari setan, dan yang mana motivasi dari malaikat. Sebab, jiwa kita
belum cerdas (fathanah); belum tercelup dalam Ruhani Rasulullah.
Dalam tradisi sufi, seorang murid yang sudah “tersambung” dengan jiwa Rasulullah biasanya
akan mengetahui secara haqqul yaqin; yang mana malaikat (vibrasi positif) dan yang
mana setan (vibrasi negatif). Dia tau persis, sebuah bisikan yang muncul, apakah itu dari setan
atau dari Allah. Dia tau persis kalau ada orang, apakah orang itu baik atau jahat (bersetan).
Bagi orang yang sudah bermakrifat atau sudah mengenal Allah, setan itu mudah sekali
dikenali. Baginya, seperti disebut dalam Al-Baqarah 168, “setan itu sudah nyata”. Sebab, aneh
juga kalau kita tidak tau yang mana setan. Kalau itu terjadi, baik-buruk atau benar-salah, pasti
tidak kita kenali. Bisa tersesat kita. Ilmu untuk mengetahui kebenaran secara hakikat, dalam
tradisi spiritual Islam juga disebut sebagai “ilmu muraqabah”. Ini merupakan ilmu warisan
Rasulullah. Hanya bisa diperoleh jika berguru kepada orang yang membawa Ruhani
Rasulullah.
Itulah pentingnya ber-Guru, kepada yang punya power sanad dari Rasulullah. Sebab, banyak
juga yang secara biologis dan administratif bersanad ke Nabi SAW. Tapi tidak membawa
“kekeramatan” Ruhani-Nya. Sehingga tidak bisa membuka mata batin muridnya. Tidak
mampu mensucikan sekalian ruhani. Tidak mampu mengusir setan, baik yang ada dalam
dirinya sendiri, apalagi yang bersemayam dalam jiwa murid/umatnya. Guru seperti ini tidak
punya kekuatan untuk “menyembuhkan”. Padahal dikatakan, siapapun yang membawa
kekeramatan/mukjizat Alquran, itu pasti mampu menyembuhkan (syifa), mampu mensucikan,
mampu mengusir “setan”.

PENUTUP.
Anda tidak mampu mengusir “setan”, baik yang ada dalam diri anda, maupun dalam rupa
orang-orang yang berbuat jahat kepada anda. Kecuali dengan pertolongan Allah. Dengan
pertolongan Rasulullah. Dengan pertolongan para ulil amri yang mewarisi “kekeramatan”
Ruhani Rasulullah. Anda tidak mampu melawan dan mengusir setan-setan besar dunia, dalam
wujud negara-negara jahat yang zionistik dan kapitalistik, yang selalu menghegemoni dan
menzalimi bagian dunia lainnya, kecuali anda memiliki para pemimpin spiritual yang masih
memiliki Ruhani Sang Nabi.
Indonesia juga begitu. Kalau pemimpinnya (presiden, menteri, gubernur, bupati, dewan, jaksa,
tentara dan polisi) tidak punya karomah, seluruh sendi kehidupan semakin bersetan. Semakin
dikuasai mafia. Semakin bersabu. Semakin semarak judi online-nya. Karena setan yang

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 160


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

menggerakkan itu semua, dalam wajah manusia. Indonesia memang negara beragama, tapi
seakan seperti tidak ber-Tuhan. Tidak tersambung dengan Tuhan. Bersetan. Semoga ada yang
mampu menyembuhkan!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 68 | September 2022


63 TAHUN FEB SYIAH KUALA: DOA BERSAMA, AKADEMISI BERSCOPUS DAN
MASYARAKAT BERFULUS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Jamaah belum datang, kecuali satu dua orang.
Termasuk saya, yang masih asik menikmati sisa-sisa kopi di Warkop Dek Mi. Padahal, di
undangan tertera, acara dimulai pukul 08.30 wib.
Pak Nadirsyah, salah satu anggota Badan Kemakmuran Masjid (BKM), naik tensi. Di beberapa
grup WA Fakultas beliau kembali menegur, kemana para akademisi, kok belum muncul ke
Masjid Almizan, tempat doa bersama akan dilaksanakan. Dicurigai, karena tidak ada
pengumuman: “Bagi yang hadir diberikatkan sertifikat”, maka tidak ada antusiasme untuk
hadir tepat waktu. Maklum, dosen butuh banyak sertifikat untuk lulus evaluasi kinerja
(SIPKD).
Doa bersama, apa perlu?
Sehari sebelumnya, sekelompok akademisi usil membuka diskusi. “Apa perlu doa
bersama?”, tanya seorang dari mereka. Akademis yang lain menyahut, “Tidak perlu, yang perlu
makan bersama”. Ada-ada saja. Diskusi tidak jelas ini terus berlanjut, “Kalau doa, itu cukup
diminta saja kepada satu atau dua orang teungku saja, yang kira-kira doanya didengar oleh
Allah. Selesai. Tidak perlu semua orang berdoa. Banyak sekali orang berdosa diantara kita.
Tidak bakal dikabulkan oleh Allah. Tapi, beda kalau makan bersama, itu harus bersama. Kalau
sendiri, tidak bakal habis kuah beulangongnya”. Kebetulan, di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) Syiah Kuala lagi ngetrend dan sering diadakan kenduri kuah beulangong (kuah atau kari
daging dalam kuali besar).
Begitulah. Diskusinya penuh canda. Usil. Tidak serius. Tapi ada benarnya. Jum’at 2 September
2022, jam 8.30 wib, masjid kosong. Jamaah doa bersama belum muncul. Di foto yang beredar
pagi itu, baru terlihat satu orang yang hadir: ustadz yang pimpin doa!
Doa Bersama

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 161


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Jam 9.30 Wib, doa bersama selesai. Dengan sedikit sambutan dari Dekan, Prof. Dr. Faisal, SE,
M.Si, MA. Dihadiri sekitar 200an orang. Bajunya putih semua. Tapi setelah sambutan dekan,
ada ceramah lagi. Salah satu dosen berbisik, “kok ada ceramah lagi, jadi panjang urusannya
ini”. Tapi untunglah, ceramahnya singkat dan padat.
Tujuan doa bersama adalah mendoakan para leluhur Fakultas. Yaitu orang-orang yang telah
berjasa membangun fakultas. Juga para pendidik terdahulu yang telah banyak meluangkan
waktu untuk mencerdaskan masyarakat. Di atas itu semua, doa adalah bagian dari harapan,
agar para akademisi generasi sekarang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai akademik dan
pengabdian. Terus berjuang agar FEB Syiah Kuala menjadi institusi yang berperan aktif dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebab, itulah yang kelihatannya belum kita saksikan.
Didirikan pada 02 September tahun 1959, FEB merupakan fakultas tertua dan menjadi cikal
bakal lahirnya Universitas Syiah Kuala di Darussalam, Banda Aceh. Lebih dari setengah abad
berkiprah, Fakultas ini memang telah banyak melahirkan orang-orang sukses. Mulai dari
menteri, gubernur, bupati, kepala dinas, komisaris bank, rektor, direktur lembaga, pengusaha,
praktisi, dan lain sebagainya. Banyak sekali orang sudah dididik di institusi ini dan telah
berperan di level lokal, nasional dan internasional. Untuk capaian ini, seandainya Fakultas ini
bisa menangis terharu, maka pada 2 September 2022 ini, kita akan melihatnya ia menangis
bahagia atas capaian yang telah diperolehnya.
Tapi, jika kita juga bisa melihat Fakultas ini menangis, maka pada hari yang sama, kita juga
akan menyaksikannya menangis sedih. Air matanya mengalir deras. Bahkan darahpun terlihat
tercucur dari sudut-sudut matanya. Sebab, sudah 63 tahun ia hidup, ia belum pernah sekalipun
menyaksikan Aceh dengan 4 juta masyarakatnya itu maju secara ekonomi. Entah karena usaha
kita belum keras. Entah disebabkan para drakula dan pengelola kekayaan Aceh yang terlalu
perkasa untuk dikalahkan.
Sepanjang abad, Aceh selalu berada dalam gejolak sosial dan ekonomi. Mulai dari konflik
GAM-NKRI, tsunami, sampai kepada pengelolaan syariat Islam, dana Otsus dan Migas yang
tidak berujung kepada lahirnya provinsi yang sejahtera. Tata kelola pemerintahan Aceh lemah
sekali. Sampai tahun 2022, kemiskinan masyarakatnya tertinggi di Sumatera dan masih dalam
kelompok lima terfakir secara nasional (BPS, 2022).
Maka, besar harapan, sebagaimana spirit yang diusung di twibbon milad kali ini, semoga para
akademisi dan alumni semakin bersinergi untuk mewujudkan institusi yang unggul. Menjadi
institusi yang selain melahirkan banyak ide dan tulisan berindeks Scopus; juga mampu
menginisiasi berbagai gerakan dan pengabdian, baik secara personal maupun kelembagaan,
agar realitas masyarakat Aceh semakin bahagia dan ber-fulus.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 162


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Milad ke-63 diakhiri dengan acara potong tumpeng dan makan-makan di “Terminal Cinta
(TC)”. Cukup sederhana. Sedikit kue dan minuman. Juga sedikit petuah dari senior, Prof.
Jakfar Ahmad. “Segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah”, beliau memulai
fatwanya. Cukup sederhana sambutannya. Beliau mengajak seluruh sivitas akademika untuk
menyadari keberadaannya di muka bumi sebagai perintis kemakmuran bagi seluruh manusia.
Tanpa misi itu, kita gagal menjadi manusia. Memang mirip-mirip gagal semua kita.
Acara milad berlangsung sukses, khidmat dan penuh keakraban. Meskipun ada salah satu
peserta yang hadir protes: “Tidak ada kuah beulangong, tidak sah miladnya!”.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 69 | September 2022


PAHALA JUM’AT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

Menjelang Jum’at, Habib Puteh mengajak Habib Itam agar segera berangkat ke masjid.
HABIB PUTEH: “Habib Itam, beubagah bacut, nyoe ka agak teulat. Sang ka hana jadeh
meurumpok pahala saboh leumo kalinyoe. Meunye na sang saboh manok teuk”. – Habib Itam.
Cepat dikit, sudah telat ini. Bakal tidak dapat lagi pahala satu ekor lembu kita kali ini.
Kalaupun ada mungkin satu ekor ayam.
HABIB ITAM: “Pahala nyoe, pahala jeh. Lageei Aneuk miet droen neuh. Neupreh siat, nyoe
teungeh kunikmati pahala yang kana” (sambil menghabiskan sisa-sisa ayam goreng yang menjadi
lauk makan siangnya). – Pahala ini, pahala itu. Macam anak-anak aja ente. Tunggu sebentar,
ana lagi menikmati pahala yang sudah jelas ada ini (sambil menghabiskan sisa-sisa ayam untuk
makan siang).
HABIB PUTEH: “That gura droe neuh”. – Ada-ada aja ente.

Tentu kalau sangat lapar, bagusnya makan dulu. Supaya saat sedang sholat tidak menghayal
makan. Tapi, jangan pula karena makan, sampai telat ke Jum’at. Apalagi kalau makannya
terlalu kenyang, bisa lupa semua dalam sholat.
Kalaupun pergi Jumat, bagi orang yang spiritualnya telah dewasa, itu motifnya bukan lagi
mencari pahala. Melainkan, ingin menemui Tuhannya. Tidak berjumpa Tuhan di masjid, itu
tidak sah Jumatnya. Sebab, pahala itu ada di tangan Tuhan. Tidak berjumpa Tuhan, mau ambil
dimana pahalanya?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 163


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 70 | September 2022


SYIAH KUALA: SYIAH, SYEH ATAU SYAH?
Oleh Said Muniruddin I RECTOR I The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Awalnya, ketika didirikan pada 2 September 1961, masih dengan ejaan lama: Universitas
“Sjiah” Kuala. Lalu menjadi “Syiah” Kuala. Kata “Syiah” pada nama universitas ini masih
mengandung misteri.
Bayangkan, ada lebih dari 1500 dosen di perguruan tinggi ini. Sampai Agustus 2022 sudah ada
112 profesor, dan terus bertambah setiap tahunnya. Tapi, tidak ada yang tau persis, dari mana
asal usul kata “Syiah” ini. Apakah “Syiah” Kuala ini betulan diadopsi dari mazhab Syiah,
seperti mayoritas di Iran sana?
Sebab, katanya, karena label “Syiah” inilah, sejak 1 Januari 2021 singkatan universitas diubah
(di re-branding) dari Unsyiah menjadi USK. Syiah tidak hanya membuat panik israel dan
Amerika. Tapi juga warga Darussalam.
Dari mana asal usulnya kata “Syiah” ini dan apa makna sesungguhnya? Wallahu ‘alam. Biarkan
semua orang terus menebak. Biarkan ia tetap menjadi misteri. Atau mungkin anda punya data
sejarah dan teori sendiri, silakan saja!
Dalam amatan saya, paling tidak ada 3 kata yang diduga menjadi asal-usul dari “Syiah”: Syiah,
Syeh dan Syah.
Pertama, SYIAH (‫)شيعة‬. Artinya “golongan/pengikut”. Sebagaimana disebut dalam QS. As-
Shaffat:
‫َ ِﻻ ْ ٰر ِه ْ َﲓ ۘ ِش يْعَ ِت ٖه ۞ َواِن ِم ْن‬
Sesungguhnya Ibrahim termasuk Syiah (golongan/pengikutnya) (Nuh) (QS. As-Shaffat: 83)
Agak sulit juga menyimpulkan kalau Teungku Syiah Kuala seorang Syiah. Sebab, ia hidup dan
menjadi ulama bagi mayoritas masyarakat Aceh yang bermazhab Syafi’i. Meskipun warna
“Syiah” atau Persia juga sangat kental ditemukan dalam aneka tradisi dan budaya Aceh.
Kedua, SYEH (‫)شيخ‬. Juga di tulis Syekh, Syeikh, Syaikh. Artinya tuan guru, ahli agama, kepala
suku, atau juga pemimpin. Dalam konteks ini, semua setuju jika Abdurrauf bin Ali, atau
teungku Syiah Kuala, adalah seorang Syeh (ulama). Tapi kenapa sejak awal tidak langsung
dinamai universitas ini dengan Universitas “Sjeh” (Syeh) Kuala? Namun demikian, dalam
tradisi Aceh tempo dulu, kata “Syeh/Syekh/Syeikh/Syaikh” (Arab: ‫ )شيخ‬kelihatannya populer
dalam sebutan “Syiah/Syiyah”.
Ketiga, SYAH (‫)شاه‬. Adalah gelar untuk penguasa di beberapa negara di Asia Tengah dan Asia
Barat Daya, khususnya di Persia. “Syah” berasal dari bahasa Persia yang artinya “raja”. Aceh

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 164


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

juga banyak dipengaruhi oleh Persia, termasuk penggunaan kata “Syah” untuk raja. Tidak ada
riwayat kalau Syeh Abdurrauf adalah seorang raja. Kalaupun benar, kenapa tidak bernama
Universitas “Sjah” (Syah) Kuala?
PENUTUP. Terlepas dari apa makna sesungguhnya dari “Syiah” Kuala, saya mengucapkan:
“Selamat hari milad Universitas Syiah Kuala ke-61: 02 september 1961 – 02 September 2022“.
Teruslah maju!
THE SUFICADEMIC
Semoga akademisi dan alumninya menjadi para syeh (ulama/cendekia) diberbagai bidang ilmu.
Juga menjadi para syah (umara/pemimpin/raja) di semua sektor pembangunan. Di atas semua
itu, jadilah kita sebagai syiah (pengikut) para nabi dan auliya. Seperti Ibrahim as yang menjadi
pengikut Nuh as. Jadilah para pengikut leluhur kita, pengikut nilai-nilai akademis yang
moderat dari Tgk. Syiah Kuala. Juga menjadi pengikut para pendiri Universitas, yang telah
menunjukkan ketauladanan dan spirit kebersamaan untuk memajukan Kopelma Darussalam.
Tanpa kepengikutan kepada nilai-nilai yang dibawa oleh orang-orang sholeh, kita akan
menjadi syeh dan syah yang kehilangan contoh tauladan. Kehilangan adab dan etika (corrupt).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 71 | September 2022


RUSUH, PERTANDA APA?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Senin, 6/9/2022. Stadion Dimurthala, Banda Aceh, rusuh. Pertandingan perdana Liga 2, antara
Persiraja Banda Aceh Vs. PSMS Medan batal. Seharusnya dimulai pukul 20.30 Wib. Beberapa
menit menjelang pertandingan, lampu yang dioperasikan dengan genset stadion padam. Listrik
tak kunjung nyala. Pertandingan ditunda. Penonton yang penuh sesak, sejam kemudian mulai
mengamuk. Tidak puas dengan kondisi, ditambah alasan telah membayar harga tiket yang
katanya terlalu tinggi, mereka mulai membakar fasilitas di stadion itu.
Rusuh. Pertanda apa?
Positif saja. Itu sinyal, bahwa bisnis sepakbola Aceh akan maju. Kalau kita semua bisa belajar
dari kesalahan. Juga kalau kita mampu untuk segera meyakinkan kembali audien, bahwa akan
ada pembenahan manajemen perbolaan. Masyarakat Aceh sangat pemaaf. Mudah melupakan.
Rusuh sekali, itu biasa. Kalau rusuhnya berkali-kali, itu baru luar biasa.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 165


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bisnis bola, jika bagus dikelola, untungnya besar. PSSI pernah pecah dua pada 2011.
Konfliknya berlarut. Rebutan ketua. Liganya amburadul. FIFA turun tangan. Sepak bola, itu
olah raga nomor satu, paling diminati di dunia. Pun di Aceh, Persiraja itu satu-satunya klub
besar kebanggaan warga. Pecintanya masih banyak. Semua yang membuat anarkhi, itu pecinta
Persiraja. Begitu cintanya. Sekali saja gagal melihat permainan klub yang dicintainya,
mengamuk mereka. Konon lagi, sebagian mereka datang jauh dari luar kabupaten kota.
Kemajuan bisa saja dimulai dari kerusuhan, sebagai bagian dari marketing. Mungkin mahal
juga harga dari kerugian malam itu. Beberapa komponen stadion rusak dan harus diperbaiki
ulang. Tapi anggaplah itu sebagai biaya pemasaran. Biaya untuk memperkenalkan kembali,
bahwa kita masih ada permainan bola kaki.
Sejauh ini sudah ada dua bentuk marketing yang dilakukan pengurus Persiraja, yang baru saja
dipimpin Zulfikar SBY setelah berani mengakuisisi 80 persen saham Dek Gam. Marketing
sebelumnya, ia dilakukan dengan mem-branding pertandingan yang akan diasuhnya sebagai
“sepak bola syariah”. Heboh juga itu. Terjadi pro dan kontra. Saya melihat “syariatisasi” sepak
bola masih sebagai bagian dari strategi pemasaran, usaha untuk menarik perhatian saja. Sebab,
kalau sebatas simbol dan ritual, tanpa mampu memberi inspirasi/ketauladanan terhadap kinerja
persepakbolaan, saya kira kita belum sepenuhnya Islam. Namun tetap kita apresiasi berbagai
spirit untuk membangkitkan sepak bola, sesuai kapasitas dan keyakinan. Gas terus, ustadz!
Namun sejauh ini, ada satu kinerja nyata dari manajemen baru Persiraja. Sepakbola Aceh
sudah menjadi bahan berita. Secara nasional pula. Dari sisi promosi, sudah menang itu.
Selanjutnya, kualitas panitianya harus diperbaiki. Tragedi serupa jangan terulang lagi. Sepak
bola harus berlanjut. Karena, selain odong-odong, cuma sepak bola yang menjadi hiburan kita
di Serambi Mekkah. Tanpa bola, bisa pungo semua anak cucu Sultan Iskandar Muda. Sudah
tidak ada bioskop, bolanya tidak hidup pula. Mati kita!
Tetap semangat. Kurangi ritual ziarah untuk memanggil arwah Tgk. Syiah Kuala. Karena,
kalau ruhnya hadir, bisa padam semua lampu di Stadiun Dimurthala. Itu belum lagi kalau
Allah taala sendiri yang langsung turun hadir ke stadion Dimurthala, seperti yang dialami Nabi
Musa as di Thursina, bisa rubuh semua bangunan. Bisa pingsan semua para pemain dan
penontonnya.
Identitas agama itu bagus. Syariat itu bagus. Ritual itu bagus. Tapi itu lebih bagus jika personal
saja sifatnya. Kalau bisa, amalan-amalan spiritual disembunyikan saja. Jangan terlalu diumbar,
apalagi untuk diketahui semua orang. Tidak perlu sampai menjadi bahan publikasi (riya)
bahwa dengan itu, seolah-olah sport kita menjadi sangat islami. Ketaqwaan para pemain,
pengurus dan ustadz yang mendampingi; sebaiknya silent saja. Amalkan sebanyak-banyaknya
hal-hal mistis yang anda tau, tanpa harus diketahui. Kalaupun harus diketahui, ya sekedarnya
saja. Jangan terlalu dieksploitasi. Belajarlah dari para wali, yang tidak diketahui kesholehannya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 166


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Yang ditunggu penonton kita adalah aksi kekeramatan para pemain, ketika mereka mampu
mengalahkan lawan-lawannya. Tunjukkan kekeramatan manajemen bola kita, bagaimana
masyarakat bisa kagum dengan pelayanan panitia. Tidak peduli timnya menang atau kalah,
mereka pasti bahagia.
Masyarakat di ujung pulau Sumatera sangat haus hiburan. Haus sekali totonan. Sedikit saja
gagal, pasti dibakar. Proses bakar membakar merupakan bagian dari mencari kepuasan yang
hilang. Puaskan mereka melalui pelayanan. Bagi yang gila bola, berapapun harga, lampoh
jeurat dipeugala. Tiketnya pasti dibeli. Mereka tidak peduli, apakah para pemain bercelana
pendek, bercelana legging, ataupun berkain sarung. Sejauh bisa tampil sportif dan maksimal,
mereka akan terus hadir ke setiap pertandingan.
Disini kita bisa belajar kelebihan manajemen bola di Eropa dan negara maju lainnya. Pelayanan
dan permainannya sudah sangat berestetika. Mereka mampu memberi kepuasan kepada
pemirsa, tanpa sedikitpun embel-embel agama. Bahkan, bola itulah “agama” mereka.
Sebuah agama (ritual dan permainan) yang menawarkan kesenangan luar biasa.
Tetap semangat. Maju terus Persiraja!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 72 | September 2022


EKONOMI WARUNG KOPI, KENAIKAN BBM DAN KUASA OLIGARKI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Warung kopi adalah bisnis paling stabil di Aceh, bahkan semakin maju dimasa resesi. Warung
kopi di isi tidak hanya oleh orang-orang bahagia. Bahagia karena mereka punya akses untuk
menghabiskan uang negara. Bisa bayar kredit lewat gaji bulanan dan tunjangan kinerja. Orang-
orang ini mudah dikenali. Biasanya ngopi dengan wajah lebih ceria. Juga besar tertawanya.
Tapi, tidak semua yang tertawa itu orang bahagia. Sebagian justru karena sudah berat sekali
masalahnya, lalu dilampiaskan dalam pecah tawa. Karena itulah, warkop juga diisi oleh orang-
orang menderita. Menderita karena kenaikan BBM. Sementara, pada saat yang sama tidak tau
lagi bagaimana cara meningkatkan pendapatan mereka. Raut muka mereka biasanya datar.
Tatapannya kosong. Tanpa ekspresi. Susah tersenyum. Kecuali penting sekali, baru bicara.
Semua yang sedang mengalami kesulitan ekonomi ini, sebenarnya tidak benar-benar melarat.
Walau tidak ada uang untuk beli lauk untuk anak dan istri, mereka masih punya uang untuk
minum kopi. Di Eropa dan Amerika sana, untuk menenangkan pikiran dan hati; mereka
minum scotch, whiskey dan brandy. Kita, ngopi.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 167


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dulu, di Aceh, masih mudah di dapatkan minuman memabukkan. Di Peunayong banyak di


jual itu. Setelah syariat Islam di sahkan pada 2001, semua yang suka mabuk sudah bertaubat.
Sudah beralih ke kopi. Biasanya, mereka minum kopi secara berjamaah. Karena, di Aceh hanya
boleh ada satu mazhab, mazhab jamaah.
Pagi ini, para Jamaah Ahlul Coffee ini kembali berkumpul untuk meratap nasib. Sambil
sesekali mengevaluasi kinerja negara yang sudah berusia 77 tahun, yang baru saja menaikkan
harga BBM:
“Negara kita punya banyak sekali ahli yang direkrut dari universitas-universitas ternama.
Mereka di sekolahkan jauh sampai ke luar negeri. Kini mereka telah menjadi ahli ekonomi,
ahli keuangan dan ahli anggaran. Ketika di kampus, mereka sangat idealis. Tapi, ketika diberi
kuasa, semua menggunakan ilmu-ilmu hitung yang sangat canggih, hanya untuk
menyengsarakan rakyatnya. Entah itu statistika, ekonometrika, dan lain sebagainya. Tak ada
inovasi matematis ke arah yang meringankan penderitaan bangsa. Semakin hari, semakin susah
kita dibuat oleh mereka. Apakah tak ada jenis hitungan yang bisa menurunkan harga BBM?
Kok bisa sebodoh itu mereka!!”, sebut salah satu dari mereka membuka diskusi, sambil
menyeruput kopi hitamnya.
“Akademisi, politisi dan birokrasi; kalau sudah ngumpul, mati kita. Harusnya tambah makmur
negeri ini. Semua dibuat mati perlahan dalam slogan: “pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat”.
Ah! Biarlah para oligarki penguasa ini terus bekerja sesuai cita-cita nenek moyangnya. Kita
masyarakat kecil apalah daya. Paling demo sebentar. Setelah itu, ngopi lagi”, sahut yang
lainnya.
“Bang, tambah kupi sikhan!!”, saya pun ikut nambah kopi untuk menikmati diskusi kelas
jelata.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 73 | September 2022


LEBIH UTAMA MANA: SEMBAHYANG ATAU MEMBACA?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Tiba-tiba terdengar suara adzan. Habib Itam yang memang agak lasak dan suka pamer kalau
mau sholat, langsung berteriak mengingatkan orang-orang untuk segera sholat. Kebetulan,
disitu ada Habib Puteh yang terlihat santai dan masih menamatkan bacaannya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 168


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

HABIB ITAM: “Habib Puteh! Ayo, cepat. Tinggalkan semua pekerjaanmu. Dunia semua itu,
jangan dituruti. Sudah adzan. Ayo, segera ke masjid”.
HABIB PUTEH: “Habib Itam, mana lebih duluan penting antara sholat dengan membaca?”
HABIB ITAM: “Lebih penting sholat. Karena itu adalah tiang agama. Sholat adalah amal yang
pertama dihisab di akhirat. Kalau itu tidak lulus, ibadah lain juga tidak lulus”.
HABIB PUTEH: “Kalau sholat lebih penting, lalu kenapa ayat yang pertama turun adalah ayat
yang menyuruh kita untuk membaca. Sementara perintah sholat baru muncul belakangan.
HABIB ITAM: “Oooh.. Saya tidak tau kenapa bisa begitu. Mungkin Habib Puteh bisa
menjelaskan?”
HABIB PUTEH: “Begini. Ayat pertama turun berbunyi: Iqra’ bismi rabbik… dan seterusnya.
Iqra’ artinya baca. Ketahui. Pahami. Teliti. Kenali. Observasi. Uji. Dalami. Islam adalah agama
pengetahuan. Dasar dari agama adalah pengetahuan. Dasar dari segala pengetahuan adalah
mengetahui Nama Tuhan. Pada awalnya mungkin bersifat induktif-rasional. Mengenali dia dari
berbagai premis dan fenomena-fenomena (Kitabi dan Afaqi). Tapi pada puncaknya adalah
mengenali Wujud-Nya secara deduktif- iluminasional. Dia sendiri yang akan memperkenalkan
dirinya (Anfusi). Iqra’ adalah Qur’an, kemampuan membaca tanda (ayat) untuk mencapai
makrifat, untuk mengenali Tuhan. Tanpa makrifat, kita tidak bisa menyembahnya. Kenali
dulu, jumpai dulu, buktikan dulu keberadaan/kehadirannya, baru Dia bisa disembah. Sholat
tanpa iqra’ (tanpa mengenal keaslian Wujud dan Asma) itu seperti menyembah patung. Tidak
diterima. Tidak hidup Tuhannya. Itulah mengapa, awaluddin makrifat. Awal agama adalah
iqra’, mengenal Allah yang Maha Hayat dari berbagai macam sumber bacaan (Kitabi, Afaqi dan
Anfusi). Setelah kenal, barulah kita sah menyembahnya. Kalau sudah kenal, baru Dia bisa
diingat/dizikirkan. Sebab, sholat itu zikir, atau usaha untuk mengingat apa yang telah kita
dikenal. Karena itu, iqra’ adalah akar dari tauhid. Akar dari syahadat. Akar dari kesaksian.
Tanpa iqra’, hancur sholat kita. Tanpa kedalaman iqra’, tidak bakal khusyuk ibadah kita.
Karena itulah, yang pertama diperiksa di akhirat bukanlah sholat. Melainkan iqra’. Kita akan
ditanya, apakah kita benar-benar kenal dan menyaksikan Allah atau tidak. Kalau kita kenal
Allah, baru kemudian amal lainnya akan diperiksa, termasuk sholat”.
HABIB ITAM: “Oooooo… Begitu”.
HABIB PUTEH: “Iya Habib Itam. Begitulah kebenarannya. Iqra’ lebih utama dari sholat. Kalau
iqra’ atau pengetahuan akan Allah sudah benar, sholat pun akan benar”.
HABIB ITAM: “Jadi bagaimana nih, kita tamatkan membaca terlebih dahulu, setelah itu baru
sholat?”
HABIB PUTEH: “Ooo.. jangan. Ke masjid kita sekarang. Muazzin sudah begitu ikhlas
melakukan azan. Syariatnya memang begitu. Masak tidak kita hargai. Nanti dibilang kita tidak

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 169


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

sholat. Walaupun sebenarnya banyak juga orang yang mengerjakan sholat dalam keadaan
riya’/lalai, yaitu tidak punya pengetahuan akan kehadiran Tuhan”.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 74 | September 2022


MENGENAL DUA JENIS RAMPOK
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Merampok bisa dilakukan dengan dua cara. Secara “ilegal” dan “legal”.
Pertama, “perampokan ilegal” (illegal robbery). Itu memakai gaya cowboy. Tembak, bunuh,
bawa lari uangnya. Pelaku akan jadi kriminal. Diburon. Ini bentuk perampokan yang selalu
dilakukan oleh kelas jelata.
Anda, kalau tingkat pendidikannya rendah, bisa mempraktikkan cara ini. Tapi resiko tanggung
sendiri. Sementara, kalau gelar akademik sudah memadai, masuklah ke sektor publik dan
lakukan cara kedua di bawah ini. Anda bisa merampok secara profesional dibawah
perlindungan, sekaligus atas nama negara.
Kedua, “perampokan legal” (legal robbery). Itu dilakukan dengan memakai undang-undang dan
berbagai aturan turunan. Merampok dengan cara ini harus ada RPJP, RPJM dan RKP-nya. Ada
KUA, PPAS dan RKA. Ada APBN/APBD/APBK-nya. Penggerusan sumberdaya terjadi secara
terstruktur dan santai. Lewat teori dan sistematika berantai. Lewat Musrembang dan dan
proyek-proyek pilihan. Lewat struktur gaji, biaya operasional, fee dan tunjangan. Bila perlu ada
pakta integritas. Di atas kertas; semua rencana, proses dan realisasi bisa diolah. Grafik progress
bisa diperindah. Tapi, di otak belakang para pelaku, motif dan targetnya sama: bawa lari uang!
Perampokan, baik ilegal maupun legal, cirinya sama. Membuat rugi institusi tempat uang itu
dinikmati. Kalau ada lembaga dan badan usaha negara yang laporannya rugi terus, kinerjanya
tidak membaik, itu rampok semua di dalamnya. Kalau ada provinsi dan kabupaten yang
jalannya masih berlobang dan rakyatnya terus miskin; itu rampok semua para politisi, birokrat
dan pegawainya. Tentu tidak semua begitu. Mungkin cuma anda yang masih suci.
Bisakah rampok ini dihilangkan? Jawabannya, “tidak”. Yang bisa kita lakukan adalah
menyamarkannya. Dengan cara memelihara jenggot dan meneriaki yang lain sebagai kafir dan
komunis. Dengan cara memamerkan foto sedang tawaf di depan Kakbah. Dengan cara sering-
sering memakai peci dan cepat-cepat ke masjid kalau mendengar adzan. Bila perlu, sering

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 170


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

duduk dipanggung zikir. Berfoto dengan ulama. Buat safari subuh berjamaah. Setelah itu,
jangan lupa teken!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 75 | September 2022


QURAN ITU ORANG, BUKAN KERTAS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Agama itu tidak membebaskan. Bukan Alquran yang membuat perubahan, atau berhasil
melawan tirani. Tapi nabi, orangnya. Yang suci dan hebat itu sebenarnya bukan agama atau
Quran. Tapi orang. Karena itulah kita bersholawat kepada orang. Karena orang tersebut
merupakan wujud nyata dari vibrasi Quran.
Secara lahiriah, aneh jika masih ada yang menganggap kertas bisa suci. Padahal kertas itu
benda mati. Memang menjadi terhormat ketika dituliskan sesuatu yang tinggi. Tapi Allah
sendiri tidak bertajalli pada lembaran buku. Tidak ada Allah di Kitab. Jangan dicari disitu.
Allah itu hadir pada qalbu yang hidup. Pada rasulnya. Maka kalaupun ada yang paling berhak
untuk dikultuskan, itu bukan buku. Tapi orang. Bukan kultus, tapi takzim.
Quran itu tidak pernah memperlihatkan mukjizat. Mukjizat itu dibawa oleh para nabi. Bahkan
mukjizat itu muncul secara tiba-tiba, tanpa didahului dengan membaca ayat-ayat tertentu.
Apakah anda pikir Muhammad membelah bulan setelah menamatkan 30 Juz Quran? Apakah
anda kira Ibrahim tidak dimakan api setelah berhasil menghafal satu suhuf? Apakah anda pikir
Isa menghidupkan orang mati setelah meluruskan tajwid dan fasahah dari Injil? Ayat apa yang
dibaca Musa sehingga laut terbelah? Surah apa yang ditartilkan Yunus sehingga selamat dalam
perut ikan?
Tidak ada. Semua muncul begitu saja. Karena, Allah ada dalam diri mereka. Merekalah Kitab.
Merekalah Quran yang asli, yang berpower. Merekalah logos. Merekalah Kalam Tuhan. Wujud
dari Pengetahuan. Mereka adalah “Tuhan” yang melempar. “Tuhan” yang berbicara. “Tuhan”
yang bekerja.
Kitab Quran, setelah ditulis dan bukukan, itu menjadi bahan bacaan. Selebihnya, segala sesuatu
yang hidup tentang Quran, adalah orang. Yang membawa mukjizat, itu orang. Yang
menyembuhkan, itu orang. Yang membawa perubahan, itu orang. Orang itulah hakikat dari
Quran. Kekuatan hidup dari Quran
Maka, kalau anda berislam, carilah orang.Orang yang isinya Tuhan. Langka memang. Kalau
sekedar kitab, itu banyak dijual. Bisa didownload sekarang. Bisa dibaca, bisa dihafal kapan saja.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 171
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Toh tidak banyak perubahan setelah membaca itu, kecuali tenang sejenak. Setelah itu, kita
lihat, korup lagi. Sejak kecil sudah disuruh ngaji kita. Bahkan sampai jadi ahli tafsirnya. Tapi
masih begini-begini saja masyarakat kita. Miskin terus. Semakin terjajah dimana-mana. Makin
parah jahatnya.
Sebab, yang mampu mentransfer “Ruh” sehingga terjadi perubahan akhlak pada manusia
bukan lembaran kertas itu. Yang mampu meniupkan spirit baru ke dalam jiwa manusia adalah
nabi, atau para warisnya. Yang menjadi tauladan, patron adab dan inspirasi gerak; itu orang.
Bukan kitab an sich. Yang memimpin kita adalah orang, bukan kitab. Kitab itu sifatnya diam.
Kalaupun kita simpan dilemari, bisa berdebu dia. Tak berdaya benda itu ditangan kita.
Walaupun juga harus sangat dimuliakan dan dihormati.
Namun, jangan terfokus pada pengkultusan kitab. Yang benar-benar suci adalah orang yang
membawa itu. Orang itulah Quran. Sebab, Nabi pernah bersabda, “Quran itu ada sama sosok
orang, mereka tidak akan terpisah sampai kiamat”. Cari orang ini. Ruh Tuhan ada sama dia.
Kalam Tuhan ada bersamanya. Nama Tuhan ada pada namanya. Bersholawatlah untuknya.
Umat Islam kelebihan (buku) Quran, tapi kehilangan pemimpin (Quran yang asli). Sehingga,
agama ini kehilangan mukjizat. Milyaran jumlah pengikutnya. Tapi lemah dari semua sisi. Jadi
buih kita.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 76 | September 2022


“RELIGIOUS EVIL”: HATI-HATI BERAGAMA, JADI IBLIS KITA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Seringkali kita mengucapkan takbir. Dalam sholat, maupun di luar itu. “Allahu Akbar” artinya
hanya Allah yang Kabir. Hanya Allah yang boleh Takabur. Hanya Allah yang Maha Besar.
Sebagai konsekwensi, kita semua wajib kecil dan rendah. Rendah ego. Rendah hati. Tidak
dhalim. Tidak arogan. Begitu takbir terucapkan, sejatinya, semua kita larut dalam dimensi
ketuhanan. Hilang kedirian. Hilang nafsu dan segala persepsi. Walau terkadang, takbir yang
kita ucapkan justru melahirkan wajah-wajah arogan. Ini jenis takbir yang melahirkan iblis dan
setan. Iblis paling menguasai kalimah-kalimah suci. Tapi tidak mampu mensucikan dirinya.
Jika kita merasa paling hebat dengan segala pengetahuan yang kita miliki; secara otomatis kita
menjadi iblis.
Alih-alih menjadi arif, beragama justru dapat membuat seseorang menjadi iblis. Dalam
kesejarahannya, iblis itu seorang alim besar. Sosok paling beragama. Seringkali karena agama,
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 172
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kita merasa paling tau dan paling dekat dengan Tuhan. Melalui peci dan jubah kita merasa
terhormat dalam beragama. Merasa terpuji dengan panggilan almukarram ataupun ustadz.
Merasa kharismatik dengan jumlah murid. Merasa nyunnah dengan jenggot. Merasa paling
murni tauhidnya. Merasa satu-satunya mazhab yang tercatat di surga. Merasa paling mulia
garis keturunan. Dan sebagainya.
Merasa “besar” gara-gara taat beragama, bisa membuat seseorang langsung jadi iblis. Ketika
merasa besar dan paling benar; akan muncul mental bahwa kita lebih baik dan lebih mulia.
Agama dengan segala keyakinan dan amalannya, bisa membuat kita merasa lebih superior.
Itu iblis.
Iblis adalah makhluk yang menjadi sombong akibat beragama. Segala amal ibadah, ras, mazhab
dan fikih; membuat kita sombong. Merasa paling alim. Paling tau hitam putih hukum. Paling
punya otoritas halal haram. Paling surgawi. Paling makrifat. Paling Islami. Lalu menganggap
lain rendah, sesat dan salah.
Dikisahkan, di zaman Musa as hidup seorang ahli ibadah. Siangnya ia gunakan untuk
berpuasa, malamnya untuk sholat. Suatu ketika ia bertemu Musa yang sedang dalam perjalanan
hendak bertemu Tuhan. Ia menitipkan pertanyaan, kira-kira di akhirat nanti Tuhan akan
menempatkan dimana dirinya, dengan segala amal ibadah yang telah ia kerjakan.
Ketika Musa kembali, ia memberi tahukan, bahwa Tuhan akan menempatkannya di surga
tertinggi. Dengan raut muka percaya diri, si abid ini berkata, “Sudah kuduga, tidak mungkin
orang rajin ibadah seperti aku ditempatkan di neraka“. Tiba-tiba, takdir langit berubah.
Kesombongan batin yang masih ia miliki, pada akhirnya membuatnya kufur dan terlempar ke
neraka.
Hati-hati beragama. Bisa jadi iblis kita. Carilah agama yang membuat anda semakin “kecil” dan
pasrah dihadapan Tuhan anda. Carilah ajaran yang mendidik anda semakin arif dan rendah
hati dengan sesama. Carilah Agama yang melahirkan sikap toleran dan cinta.
Tidak hanya agama. Semua sentuhan dunia bisa membuat kita jadi iblis. Termasuk
kepemilikan atas harta, ilmu dan jabatan. Semuanya berpotensi membuat kita jadi besar dan
angkuh. Suka merendahkan. Merasa paling hebat. Paling senior. Arogan. Riya. Takabur. Keras
kepala.
Terkadang, sifat arogan ini muncul dalam wujud paling halus. Dalam gaya merendah.
Ucapannya selalu “wallahu ‘alam bish-shawab“. Padahal ingin menunjukkan bahwa ia paling
tau, sekaligus memaksakan semua ide dan kebenarannya. Itu bentuk sombong berbalut
kesucian. Iblis itu. “Halus” barangnya. Licin tipuannya. Saya yakin, itu masih ada dalam diri
kita semua. Sampai kita menemukan agama yang benar.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 173


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Karena itu, carilah jenis Islam (atau metodologi berislam) yang dapat membuat anda
menjadi malaikat. Menjadi makhluk yang senantiasa merendah dan menunduk. Jika tidak, kita
akan menjadi iblis.
‫َوِا ْذ قُلْ َنا ِلْ َم ٰلۤى َك ِة ْاﲭُدُ ْوا ِ ٰﻻ َد َم فَ َس َ دُ ْوا ِاﻻ ٓ ِابْ ِل َ ْۗس َا ٰﰉ َو ْاس َت ْك َ َ ۖﱪ َو َﰷ َن ِم َن ْال ٰك ِف ِرْ َن‬
(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka,
mereka pun sujud, kecuali Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk
golongan kafir” QS. Al-Baqarah: 34
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 77 | September 2022


YANG BENAR: “KEMBALI KE ALLAH”, BUKAN “KEMBALI KE QURAN DAN SUNNAH”
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEm.
Hukum Tuhan, itu namanya syariat. Kalau Tuhan sendiri, itu namanya Hakikat (Haq). Jadi,
ada perbedaan antara syariat dan hakikat.
Syariat merupakan hukum-hukum yang ditinggalkan Tuhan. Dalam artian, pada saat anda
kehilangan Tuhan, pakailah hukum-hukumnya. Sebab, anda butuh teks pada saat tidak
menemukan pemilik teks. Tapi, kalau sudah ketemu pemilik, maka tidak perlu sibuk membaca
teks. Cukup ikuti langsung apa kata Dia.
Baca Quran itu hanya kita lakukan saat “jauh” dari Tuhan. Saat dekat, atau bahkan sedang
dihadapan Tuhan, itu haram hukumnya membaca. Anda justru harus fokus kepada Dia. Jangan
sibuk membaca.
Itulah dimensi hakikat. Dimensi “kontak” secara langsung dengan Tuhan. Pada dimensi ini,
Dia membimbing secara langsung. Dia berbicara secara langsung. Dia hadir secara langsung.
Dia sendiri yang mengarahkan anda, secara langsung. Kalau seseorang mengalami
pengalaman hakikat, itu akan merasakan betapa dinamisnya agama. Sebab di “guide” secara
langsung.
Beda dengan beragama secara tidak langsung. Anda harus mencari teks, lalu bergerak menurut
tafsiran terhadap teks. Syariat seperti itu, butuh dalil untuk bisa bergerak. Konon jika dalilnya
benar, maka benarlah anda. Kebetulan, dalil itu sudah berusia ribuan tahun. Sudah beredar
kemana-mana. Sudah dipelesetkan kemana-mana. Apa yang disebut sahih, belum tentu sahih.
Konon lagi, dalil itu baru dicatat ratusan Tahun setelah pemilik dalil tiada. Deviasinya besar
sekali itu.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 174
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Jadi, kita beragama sebenarnya tidak langsung ikut Nabi. Tapi ikut dalil-dalil yang “diduga”
dari Nabi. Quran juga begitu. Kita tidak ikut Tuhan secara langsung. Tapi ikut teks yang
ditinggalkan Tuhan. Boleh saja. Bagus. Tapi itu bukan Tuhan.
Tentu beda sekali pengalaman ikut langsung dengan presiden, daripada sekedar ikut catatan-
catatan yang ditinggalkan presiden. Beda pengalaman ikut langsung bersama tokoh yang anda
kagumi, serta hidup dan beinteraksi bersamanya; daripada sekedar membaca tulisan-tulisan
tentang dia. Tidak “hidup” agama ini kalau ikut teks. Agama baru hidup kalau anda mengikuti
Tuhan.
Makanya, pengalaman kita yang ikut teks Quran dan hadist, itu jauh berbeda dengan
pengalaman Nabi yang ikut Tuhan. Nabi tidak berpedoman pada catatan. Ia tidak pernah
membaca teks. Ia berpedoman pada apa yang langsung dikatakan oleh Tuhan.
Apa yang kita pahami sebagai “Perkataan Tuhan”, itu bukan cuma yang kemudian ditulis
dalam Quran. Itu sedikit sekali. Lebih banyak yang tidak ditulis. Hadis Qudsi misalnya, itu
firman. Tapi tidak dicatat. Artinya, Nabi 24 jam berinteraksi dengan Tuhan. Kalau ditulis
semua yang dikatakan Tuhan, terlalu banyak. Tidak cukup tinta.
Oleh sebab itu, dalam tradisi Nabi, apa yang dikatakan Tuhan tidak langsung dicatatnya.
Karena, ilmu sesungguhnya adalah hidup bersama Tuhan. Bukan sibuk mencatat. Catatan baru
dibuat kemudian. Untuk diketahui dan dibaca oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu
Tuhan. Inti sebenarnya dari agama adalah pertemuan dengan Wujud Tuhan. Bukan larut
dalam catatan.
Agama seharusnya mampu membawa kembali umat ini kepada Tuhan. Bukan sekedar mandek
di catatan. Sehingga, yang benar itu adalah “Kembali ke Tuhan”. Bukan “Kembali ke Quran
dan hadist”. Sebab, Wujud yang absolut adalah Allah. Bukan yang lain. Karena sibuk
membolak balik lembaran Quran dan hadis, kita lupa cara kembali untuk berjumpa Allah.
Tapi ya begitu. Umat umumnya tidak mengenal Tuhan. Yang dikenal cuma kitab dan hadis.
Level agama hanya sampai di catatan. Di doktrin syariat. Tidak berujung ke Hakikat.
Lebih parahnya, beragama sudah sibuk dengan dalil. Bukan lagi dengan Tuhan. Tak ada dalil,
dianggap batal. Padahal, kalau tidak berjumpa Tuhan, batal agamanya. Sholat misalnya, kalau
tidak berjumpa Tuhan, itu celaka hukumnya. Batal. Fawailul lil-mushallin. Jadi bukan sekedar
punya dalil. Tapi wajib bertemu Tuhan.
Begitu juga ibadah lainnya, tidak perlu banyak kali dalil. Yang penting berjumpa Allah. Karena
inti dari agama “diterima”. Alias “berjumpa”. Bukan berdalil. Tanpa dalil sekalipun, kalau
kembali (berjumpa) dengan Allah, itu sah. Jangan sibuk dengan dalil, sampai lupa cara kembali
kepada Allah.
Sebenarnya benar juga, “kembali ke Quran dan Sunnah”. Sejauh itu membuat kita berjumpa
dengan Allah. Kalau metodologinya sesuai Quran dan Sunnah, kita pasti menyaksikan Allah

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 175


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dalam setiap amal ibadah. Sebagaimana para nabi akrab dengan Allah dalam semua geraknya.
Dalam ibadah, sekalipun dalilnya benar, tapi tidak hadir Allah; itu juga tidak sesuai Sunnah.
Tidak sesuai pengalaman Nabi.
Sebab, yang disebut “Sunnah” adalah, mengalami apa yang dialami nabi. Bukan sekedar
meniru Nabi. Bukan sekedar punya dalil. Tapi “mengalami”. Karena itulah, tasawuf disebut
ilmu rasa. Bukan ilmu dalil (an sich). Yang di transfer itu “rasa”, bukan dalil.
Religion is not a mere referencing, yet experiencing.
SAID MUNIRUDDIN
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 78 | September 2022


“THE SACRED AND THE PROFANE”: FOTO, KERTAS, KULIT BINATANG DAN BATU
Oleh Said Muniruddin I The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Apakah selain Allah ada yang suci?
***
Sebenarnya tidak ada yang suci -secara mutlak, kecuali Allah. Semua wujud benda
sifatnya profane (duniawi). Tidak sacred (suci). Hanya saja, sebagian benda dianggap suci
karena punya irisan dengan sisi ukhrawi.
Kertas, misalnya. Itu tidak suci. Cuma kulit kayu doang. Unsur nabati itu. Tetapi, ketika ditulis
ayat-ayat, ia menjadi jenis kertas yang siang malam dipeluk dan dicium. Mirip-mirip disembah.
Padahal, kalau suka memeluk dan cium kertas, bisa syirik bukan? Kenyataannya tidak. Justru
berubah menjadi sebuah bentuk sunnah, ketika dipersepsikan ada dimensi ketuhanan pada
perbuatan itu. Bahkan adab untuk menyentuh, membuka dan membacanya diatur demikian
rinci.
Juga, betapa banyak kulit kambing yang diusap dan dicium-cium. Mirip-mirip disembah.
Padahal unsur binatang itu. Tapi, karena sudah menjadi sampul Quran, nilainya tinggi. Kulit
kambing, sifat aslinya profane (kotor). Tapi berubah menjadi sacred (sakral), ketika melekat
dengan sisi-sisi yang berdimensi Ilahi.
Batu juga begitu. Ada jenis batu yang tiap tahun diperebutkan jutaan orang untuk disentuh.
Untuk dicium atau diusap kemuka. Dikelilingi sampai tujuh kali. Padahal cuma batu itu.
Kakbah dan Hajar Aswad diperlakukan seperti itu. Mirip-mirip disembah. Mungkin karena
dianggap “rumah” Tuhan. Ada (petunjuk/arah) ketuhanan disitu.
***
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 176
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kalau pada kertas, kulit kambing dan batu dirasa ada wujud kehadiran Tuhan, bagaimana
dengan manusia? Bisakah kita memperlakukannya secara sama; mirip-mirip disembah, dengan
cara dipeluk dan cium-cium?
Kalau makhluk selain manusia bisa dipeluk dan dicium-cium, tentu manusia lebih bisa lagi.
Sebab, dimensi manusia lebih tinggi dari pohon, binatang dan bebatuan. Manusia adalah
makhluk yang diciptakan secara sempurna, dibandingkan makhluk lainnya. Tingkat
transendensinya lebih tinggi. Makanya ada wali, imam atau ulama yang diperlakukan begitu.
Karena dianggap sebagai wujud manusia yang melekat Asma Tuhan pada dirinya. Sebagian
mereka bahkan membawa bukti yang kuat akan itu. Baik dalam bentuk mukjizat maupun
karamah.
Artinya, sejauh ada unsur ketuhanan pada dirinya, tidak ada masalah untuk ditakzimi
sedemikian rupa. Cuma harus diingat; yang pantas di peluk, dicium dan dihormati sedemikian
rupa hanya manusia yang ada vibrasi ketuhanannya. Kalau tidak, jangan. Bisa syirik kita.
Segala sesuatu yang secara khusus disembah, disujudi, dipeluk dan cium-cium; namun tidak
ada unsur kemuliaan Tuhan pada dirinya, bisa menyebabkan kemusyrikan. Menghormati batu,
pohon, dan binatang secara berlebihan; kalau tidak melekat Kalimah Tuhan pada objek-objek
itu; sama halnya dengan menyembah berhala. Berhala adalah sesuatu yang tidak ada
gelombang ketuhanan padanya, tapi kita mencintainya. Objek apapun yang nilainya profane,
itu berhala. Menyembahnya, membuat kita jatuh dalam animisme.
Manusia juga begitu. Takzim berlebihan kepada orang yang tidak ada Tuhan dalam dirinya, itu
musyrik. Tapi, kalau ruhnya sudah mengalami keterintegrasian dengan Asma Tuhan,
jangankan kita, malaikat pun tidak segan-segan bersujud dan bersholawat untuk memujanya.
Kecuali Iblis (QS. Al-Baqarah: 34; QS. Al-Ahzab: 56).
Orang-orang seperti Adam (yang telah menempuh jalan panjang pertaubatan dan penyucian,
sehingga jiwanya termakrifati Asma Tuhan), jangankan tangan dan kakinya, dinding
kuburannya pun siang malam banyak orang cium. Karena diyakini ada yang sacred dibalik
makam itu. Seperti halnya ada yang suci dibalik kulit kambing yang melapisi Quran. Dalam
hal ini, bukan makamnya yang disembah. Bukan kulit kambingnya yang dihormati. Bukan
batunya yang dipuja. Tetapi (Asma) Allah yang kebetulan bertajalli pada eksistensi dirinya.
Orang-orang seperti ini sering dijadikan wasilah. Kehadirannya membawa DNA Ilahi. Bajunya.
Sepatunya. Rambutnya. Bekas air minum dan makanannya. Semua yang melekat dan pernah
mereka sentuh dianggap punya jejak finger print yang bernilai sakral. Mata Yaqub pernah
sembuh gegara mengusap baju yang dikirim Yusuf kepadanya. Ada “obat” (syifa) pada benda-
benda pusaka. “Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju
itu) ke wajahnya (Ya’kub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (Ya’kub) berkata, ‘Bukankah

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 177


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

telah aku katakan kepadamu bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu
ketahui” (QS. Yusuf: 96).
Wajah orang-orang mulia dianggap memiliki karamah. Memiliki pesan ilahiyah yang tinggi.
Sehingga rupanya sering diingat. Dengan teknik tertentu, kaum sufi bahkan mampu mengolah
energi yang luar biasa melalui teknologi visualisasi wajah sang Guru. Tapi kemampuan mental
manusia untuk mengingat tidak semuanya kuat. Untunglah kemudian ada teknologi foto, yang
dapat membantu mental untuk me-refresh ingatan. “Foto suci” kemudian digantung ditempat-
tempat terbaik di rumah para pecintanya.
Mengingat wajah ulama, itu membantu melatih ingatan kaum awam untuk senantiasa ingat
kepada Allah. Kaum awam tidak tau harus mencari Allah kemana. Boro-boro mencari Allah
yang gaib itu, mencari uang yang maha nyata saja susahnya minta ampun sekarang. Orang
awam hanya tau cara menemukan kekasih Allah. Lalu berusaha akrab dan bersahabat dengan
wajah/fotonya. Tidak jarang mereka berbicara dengan foto itu. Mengadu nasibnya dengannya.
Sebab, untuk bisa selalu berjumpa dan berbicara dengan sang ulama tidak mudah. Foto orang
“suci” menjadi representasi rasa kerinduan dalam beragama. Ruh orang-orang terpuji menjadi
jembatan bagi mereka untuk merasakan kehadiran ruhani Rasulullah.
“Foto suci” sering bernilai privacy. Dalam ordo sufisme tertentu, itu tidak sembarang dipasang
dipinggir jalan. Tidak diobral ke publik seperti baliho di musim Pemilu. Apalagi sampai robek
dan berdebu. Ataupun panas terbakar matahari dan basah diguyur hujan. Wajah Sang Guru
bagi mereka adalah “Quran” yang harus dijaga. Konon, melalui wajah itulah mereka mengenal
Allah. Ditambah lagi, ayat-ayat tentang “wajah” punya tempat khusus dalam tradisi irfan.
Dengan cara itu mereka membangun keterikatan (rabithah), antara murid dengan Ulil
Amri/Guru, dengan Rasul, dengan Allah.
Karena itu kita temukan masih ada komunitas spiritual yang sangat ketat menjaga benda-benda
suci. Mereka masih percaya kepada unsur-unsur duniawi yang bersifat suci. Sesuatu yang
mungkin agak sulit ditemukan pada masyarakat sekuler. Masyarakat modern banyak
mengalami alienasi, terasing dari Tuhan. Mereka percaya Tuhan, tapi tercerabut dari akar
kesucian. Bertuhan, tapi jiwanya gersang. Untuk hidup lebih bahagia, anda harus banyak
menemukan hal-hal suci dalam segala hal ihwal duniawi, sekecil apapun itu. Sebab, Dia yang
suci ada dan bersemayam dimana-mana.
KESIMPULAN. Agama memang aneh. Kalau tidak aneh, bukan agama namanya. Karena
agama memang mengurus hal-hal suci. Kulit hewan, batu, kertas dan foto pun bisa dianggap
suci. Yang jelas, foto itu bukan “Tuhan”. Bukan untuk disembah. Tapi terkadang diyakini
sebagai sebuah bentuk Ayat, tanda-tanda kebesaran, Logos yang diutus dalam rupa kekasih-
Nya. Sehingga dalam tradisi spiritual tertentu; foto mursyid, sang pencerah, mujahid dan
ulama-ulama revolusioner menjadi begitu berharga.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 178


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dikarenakan doktrin-doktrin tertentu, tradisi merekam wajah memang tidak begitu populer
dalam tradisi Islam. Bukan berarti tidak ada. Penggambaran wajah, bahkan terhadap sosok
Sang Nabi sekalipun, itu pernah dilakukan. Sejumlah kitab klasik membuat ilustrasi sosok
Nabi, baik wajah maupun fisiknya. Pola pengambarannya berubah-ubah. Ada yang pernah
menampilkannya secara vulgar. Karena kontroversi, di abad 13-15, sisi wajahnya mulai
disensor. Di abad 17-19, keseluruhan fisik Nabi ditampilkan dalam bentuk api atau cahaya.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 79 | September 2022


MUSWIL KE-6: KAHMI BANGKIT, ACEH KUAT
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Quran menyebut, orang yang “hidup”, itu bukan


sekedar yang bernafas atau berdetak jantungnya. Bukan pula yang aktif di warung kopi. Bukan
yang asik di masjid. Bukan yang sibuk di kantor. Bukan yang kuat berteriak dukung sana
dukung sini. Karena satwa juga begitu; suka bergerak, berteriak, berkumpul dan bekerja.
“Hidup” dalam makna esensial (hakikat), diterangkan oleh Quran sebagai “gerak ruhani”.
Artinya, qalbunya telah bergetar dan tersambung dengan pengetahuan Ilahi. Arus “cahaya”
telah mengalir deras dalam dirinya (QS. Al-An’am: 122). Perjalanannya di tengah masyarakat
tidak lagi didorong oleh nafsu tercela, ataupun persepsi-persepsi yang mengelabui. Semua
tindakannya di drive secara langsung oleh keinginan-keinginan Ilahi.
‫ﴚ ِب ٖه ِﰱ الن ِاس َﳈَ ْن م َ ُ ٗ ِﰱ الظلُ ٰم ِت لَ ْ َس‬ ْ ِ ‫اَ َو َم ْن َﰷ َن َم ْتًا فَ َا ْح َ ْي ٰن ُه َو َج َعلْنَا َ ٗ ن ُْو ًرا ي ْم‬
‫ِ َﲞا ِر ٍج ِ ّم ْﳯَاۗ َك ٰذ ِ َ ُزِ ّ َن ِلْ ٰك ِف ِرْ َن َما َﰷن ُْوا ي َ ْع َملُ ْو َن‬
“Apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan beri dia cahaya yang membuatnya
dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, seperti orang yang berada dalam kegelapan
sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-
orang kafir apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-An‘am: 122)
Oleh sebab itu, “hidup” adalah pengalaman iluminatif, ketercerahan, perolehan “Cahaya”, atau
ketersambungan dengan Tuhan. “Hidup” adalah keterbukaan hijab, sehingga memungkinkan
bagi seseorang untuk menangkap sinyal-sinyal langit guna diterjemahkan dalam setiap sisi
kehidupan di bumi. Itulah makna “kembali kepada Al-Qur’an”. Kembali terkoneksi dengan
Kalam/Kalimah Suci. “La ilaha illa Allah”. Dalam bahasa prosedural HMI dinamai
“independensi etis”. Tidak ada sesuatu apapun yang memotivasi kita, selain Allah itu sendiri.
Inilah doktrin primordial sejak awal kita di training di organisasi Hijau-Hitam. Awal
kehidupan adalah “bangkit” dari kematian. Bangkit dari ketertiduran. Tersadar dari
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 179
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

keterlenaan. Terbebaskan dari berbagai ilah. Awal dari keislaman adalah terbangkitkannya jiwa
kita untuk menginisiasi berbagai gerakan yang berdimensi suci:
‫ٰ ٓ َﳞَا الْ ُمد ِ ّ ُۙر قُ ْم فَ َانْ ِذ ْ ۖر َو َرب َك فَ َك ِ ّ ْ ۖﱪ‬
‫َو ِث َياب َ َك فَ َطهّ ْ ِۖر َوالر ْج َز فَ ْاﳗ ُْر‬
“Wahai orang yang berselimut! Bangun, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu Agungkanlah.
Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah ” (QS. Al-Muddassir: 1-5).
Saya kira sudah benar apa yang kita alami pada malam-malam pertama di HMI. Tidak tidur-
tidur, sampai pagi. Kita dididik, dibina dan digembleng untuk memiliki sebuah kesadaran baru.
Yaitu kesembuhan mental dan ketersadaran intelektual. Semua tradisi spiritual memiliki pola
serupa. Melatih para salik untuk mengurangi tidur, mengurangi makan, dan bahkan melarang
bicara yang tidak berguna; sambil terus melazimkan zikir untuk membesarkan Nama
Tuhan. “Kum fa-andzir, wa rabbaka fa-kabbir!”
Oleh sebab itu, untuk menjadi “hidup”, kita semua harus bangkit. Bangkit dari kematian ide.
Bangkit dari kematian kreatifitas. Kita semua harus bangun. Harus terjaga. Harus bersuara.
Harus kembali memberi peringatan kemana-mana. Harus menjalankan amar makruf nahi
munkar. Harus membangun popularitas nama Tuhan, bukan nama kita semata. Untuk
menjadi “hidup” disisi Tuhan, kita harus menjaga kebersihan pakaian kita. Menjaga agar
tangan tidak mencuri, menimbun atau menempelkan ke tubuh sesuatu yang bukan milik kita.
Segala hal yang berbau dosa harus ditinggalkan. Para alumni, itu kumpulan orang-orang yang
sudah dekat ke surga. Jangan dirintis jalan ke neraka.

KAHMI adalah kelanjutan HMI. Spirit yang dibawa masih sama. Formulasi tujuannya
menyerupai HMI:
“Terhimpunnya Alumni HMI yang memiliki kualitas Insan Cita dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”
TUJUAN KAHMI | PASAL 5, AD KAHMI
Kalau HMI disebut sebagai “organisasi perjuangan”, pejuang sesungguhnya justru para alumni.
Saat menjadi alumni lah kita bergelut dalam berbagai sektor pembangunan. Pertempurannya
nyata. Disana kita menghadapi berbagai tantangan dan godaan. Seleksi alam berlaku. Yang
kuat iman, aman. Yang lemah-lemah, tewas.
“Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan sekalian
alam” (QS. Al-‘An-am: 162). Ini injeksi spiritual ke-HMI-an, yang dosisnya di ulang-ulang.
Bisa 5 kali dalam sehari. Tapi bisa terlupakan karena tekanan pragmatisme kehidupan. Pun
dengan sumpah awal: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?, Iya, Kami bersaksi” (QS. Al-Araf: 172).

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 180


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ayat-ayat ini sering menghilang dari kesadaran, saat menemukan tuhan-tuhan baru di
sepanjang jalan. Kehidupan yang penuh dinamika materialisme-positivisme telah menyeret kita
jauh sampai ke lembah-lembah kelalaian. Semua idealisme yang pernah kita gali dalam
training-training ideologi, terkubur dalam apatisme. Sebagian kita “mati suri”. Tidak tau harus
mau apa lagi.
“KAHMI BANGKIT, ACEH KUAT” hanyalah sebuah seruan, dari banyak cara menyeru,
untuk kembali kepada kebangkitan ruh dan intelektual. Untuk kembali kepada puncak tujuan:
Allah. Muswil ke-6 pada 25-26 September 2022 ini memanggil kita, baik secara personal
maupun kelembagaan, untuk kembali kepada kehidupan yang menghidupkan. Kembali kepada
spirit awal KAHMI/HMI yang progresif dan sadar akan peran-peran organisatoris
sebagai khalifah Tuhan.
Sejatinya; kita semua adalah generasi terdidik di HMI, intelektual tercerahkan, kader
paripurna, insan cita. Ada “ruh kenabian” yang kita usung sepanjang zaman. Ketika ini tidak
bangkit, Aceh akan terus tenggelam. Dalam lubang korupsi, kebodohan, radikalisme dan
kemiskinan.

Periode 2015-2022 sudah terbangun gedung KAHMI Aceh. Itu hanya sedikit dari bentuk spirit
dan kebersamaan kita yang masih terbuka untuk dikembangkan. Masih banyak spirit lain yang
belum teraktualisasi untuk menunjukkan bahwa kita semua masih “hidup”. Kita para alumni
mampu melakukan lebih banyak hal besar di masa akan datang. Untuk satu tujuan:
mengagungkan Nama-Nya!
Jangankan KAHMI yang baru berusia 56 tahun. Islam yang sudah berusia 1400an tahun juga
bisa timbul tenggelam. Ada periode gelap, ada periode terang. Tergantung kemampuan kita
dalam menggali “Cahaya”. Tapi, selalu ada harapan. Di setiap kurun tertentu lahir para
penyeru, pembaharu, penggerak, pengikat, dan tokoh-tokoh inspiratif yang akan membawa
dunia, Indonesia dan Aceh kepada bentuk-bentuk yang lebih baik. Semoga HMI dan KAHMI
dapat terus melahirkan tokoh-tokoh terpuji, para imam, leader atau “al-mahdi” pada berbagai
bidang profesi (sosial, ekonomi, politik, hukum dan lainnya).
Selamat bersilaturahmi. Selamat berdiskusi. Selamat bermusyawarah!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 80 | September 2022


TIDAK ADA ATURAN DALAM IBADAH
Oleh Said Muniruddin I The Suficademic

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 181


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Dalam bahasa yang memicu emosi, Rumi berkata:
Tidak ada aturan dalam ibadah. DIA akan mendengar setiap suara dari hati yang ikhlas (There
are no rules in worship. HE will hear the voice of every heart that is sincere)
JALALUDDIN RUMI
Ibadah, seperti sholat, kalau diartikan sebagai “media komunikasi” dengan Allah; maka, sejauh
didengar oleh Allah, itulah sholat. Jadi, tidak perlu diperumit definisi sholat sebagai kumpulan
13 rukun dan sebagainya. Berapapun rukunnya, atau bahkan tidak ada rukun sama sekali,
sejauh di dengar oleh Allah, itulah sholat.
Rumi sepertinya sedang mengkritik para ulama atau intelektual yang terlalu rajin membuat
aturan dalam ibadah. Tidak terhenti pada regulasi prinsipal yang telah ditetapkan Tuhan, tata
cara ibadah justru sudah terlalu banyak “diintervensi” manusia, diseret untuk politik lokal.
Syariat yang ushul-nya itu simple and sacred, akhirnya menjadi profane setelah diberi berbagai
aksesoris tambahan. Lalu diusung sebagai mainstream keyakinan madrasah tertentu. Menjadi
qanun, surat edaran dan ketetapan untuk jurisdiksi tertentu. Alquran juga bicara syariat, tapi
sangat generik. Detilnya cookbook-nya baru dirumuskan ratusan tahun kemudian oleh para
pemikir agama. Begitu rajinnya mereka, sehingga terkait ibadah lahir banyak sekali school of
thought (mazhab fikih).
Beberapa diantaranya masih bertahan hingga hari ini. Antara satu dengan yang lain bahkan
ada yang bertolak belakang, sampai kita tidak tau mana yang paling diakui benar oleh Tuhan.
Ada yang bersedekap. Ada yang tidak. Yang bersedekap pun ada yang di atas dada, di perut, di
bawah perut, dan sebagainya. Ada 1001 kasus untuk hal-hal seperti itu. Masing-masing punya
dalilnya. Masing-masing pihak meng-klaim dirinya paling sahih, paling sah.
Kok sah atau tidak sah ditentukan manusia. Bukankah harusnya oleh Allah? Kalau kita sedang
menyembah Allah, maka biarlah Allah yang putuskan sah atau tidaknya. Apakah anda pikir
Tuhan itu manut pada tata cara ibadah yang diatur manusia? Apakah Allah terganggu kalau
tata cara ibadah satu jamaah dengan lainnya berbeda? Apakah cara menyembahnya harus
persis sama?
Kritik dari Rumi ini mengajak manusia untuk kembali sadar. Sesungguhnya, menyembah
Tuhan itu sederhana. Tidak serumit aturan yang kemudian hari dikarang fatwakan secara
besar-besaran oleh manusia. Menurut Rumi, dan juga ahli irfan lainnya, hanya ada satu aturan
untuk menyembah Tuhan. Yaitu ikhlas (sincerity). Kalau manusia ikhlas, mau sambil berdiri,
duduk ataupun berbaring, berjalan atau berlari; semua doa mereka akan di dengar Allah. Mau
memakai bahasa Arab ataupun bahasa ibu, sama saja, asalkan ikhlas, pasti di dengar Allah.
Tidak peduli berjenggot atau tidak, jingkrang atau bersarung; sejauh ikhlas, doa anda dibalas.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 182


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Karena itulah, kaum sufi tidak begitu mempersoalkan keragamaan manusia dalam beribadah.
Mereka toleran dengan setiap agama dan syariat yang mereka pegang. Mereka yakin,
keragaman itu adalah ketentuan Tuhan (sunnatullah). Bisa saja Tuhan menciptakan semuanya
seragam. Tapi Dia tidak mau. Sengaja diciptakan berbeda, supaya saling berlomba dalam
kebajikan. “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan (QS. Al-Maidah: 48).
Masing orang punya kesempatan untuk masuk melalui “pintu” berbeda guna memiliki rasa dan
pengalaman tertentu dalam mencapai tujuan. “Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari
satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain” (QS. Yusuf:
67). Bahkan tiap umat punya kiblat tersendiri dalam mengakses Tuhan (QS. Al-Baqarah: 148).
Inti dari semua itu adalah akhlak/ihsan, perlombaan dalam kebaikan:
‫ﲁ ِّو ْ َ ٌة ه َُو ُم َوِ ّ ْﳱَا فَ ْاس َ ِ ُقوا الْ ْ َٰﲑ ِ ۗت َا ْ َن َما َ ُك ْون ُْوا ي َ ِت ِ ُ ُﲂ ا ٰ ّ ُ َ ِﲨ ْي ًعا ۗ ِان ا ٰ ّ َ َ ٰﲆ‬
ٍّ ُ ‫َو ِل‬
‫ﳾ ٍء قَ ِد ْ ٌر‬
َْ ‫ﰻ‬ ِّ ُ
“Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu
dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu
semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 148)
Kunci diterima dari semua perlombaan itu adalah rasa ikhlas masing-masing kepada Tuhan.
Tuhan seolah-olah tidak peduli dengan tampilan lahiriah dari semua agama dan mazhab. Dia
mencari hati yang ikhlas. Qalbu yang khusyuk. Jiwa yang bersih. Niat yang suci. Motif yang
terpuji. Itulah bahasa yang dipahami Tuhan dalam semua bentuk ibadah.
Ikhlas adalah ketersambungan ruhani dengan Tuhan, melampaui bentuk-bentuk material.
Sebab, yang sampai kepada Tuhan itu bukan bagusnya suara atau tampilan. Bukan
persembahan darah dan daging kita. Melainkan ikhlas (ihsan/taqwa/rasa kehadiran Tuhan):
َ ّ ٰ ‫ل َ ْن ينَا َل ا ٰ ّ َ لُ ُح ْو ُمهَا َو َﻻ ِد َم ۤا ُؤهَا َو ٰل ِك ْن ينَا ُ ُ الت ْق ٰوى ِم ْ ُ ْﲂۗ َك ٰذ ِ َ َﲯ َرهَا لَ ُ ْﲂ ِل ُت َك ِ ّ ُﱪوا ا‬
‫ﴩ الْ ُم ْح ِس نِ ْ َﲔ‬
ِ ّ ِ َ ‫َ ٰﲆ َما ه َٰد ُ ْﲂ ۗ َو‬
“Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai
kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang muhsin” (QS. Al-Hajj: 37).
Ketika Habil dan Qabil ingin mempersembahkan sesuatu kepada Allah, keduanya saling
berlomba. Tapi yang diterima hanya punya Habil. Padahal, kurban Qabil begitu besar dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 183


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

mewah. Begitu indah dan banyak. Begitu sempurna secara lahiriah. Tapi, Allah hanya
menangkap gelombang ikhlas dari si Habil, walau ada kekurangan dari sisi lahiriahnya:
‫َواتْ ُﻞ َلَ ْ ِﳱ ْم ن َ َب َا ابْ َ ْﲏ ٰا َد َم ِ لْ َح ۘ ّ ِق ِا ْذ قَر َ قُ ْر َ ً فَ ُ ُق ِ ّ َﻞ ِم ْن َا َ ِد ِ َﳘا َولَ ْم يُتَقَ ْﻞ ِم َن ْ ٰاﻻ َخ ۗ ِر‬
‫قَا َل َ َﻻ ْق ُلَن َك ۗ قَا َل ِان َما يَتَقَ ُﻞ ا ٰ ّ ُ ِم َن الْ ُمت ِق ْ َﲔ‬
“Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan
sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah
satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku
pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal)
dari orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Maidah: 27).
Karena itu, menurut Rumi dan para ahli sufi, kalau ingin memperbaiki hubungan dengan
Allah; perbaiki “hati”. Perbaiki elemen paling mendasar dari kemanusiaan kita. Sehingga
mampu memancarkan gelombang ikhlas kepada Allah. Kalau sisi ruhiyah sudah benar, semua
gerak dan bacaan sholat, apakah dilakukan dalam aturan Sunni, Syiah maupun Wahabiah,
pasti akan diterima. Bahkan lebih ekstrim lagi; apakah seseorang itu Mukmin, Yahudi, Nasrani,
ataupun Sabiin; sejauh memiliki keyakinan kepada Allah dan hari akhirat yang diwujudkan
dalam kebajikan diri (red: kesucian dan keikhlasan jiwa dalam semua amal ibadah), maka tak
perlu bersedih hati. Allah akan terima (QS. Al-Baqarah: 62 & 69).
Ketika unsur qalbu telah memiliki vibrasi ikhlas (ada unsur Tuhannya); semua gerak, pikiran,
perkataan dan bahkan diam kita akan menjadi ibadah. Menjadi Sunnah. Sebab, ia selalu
terhubung dengan Allah dan Rasulullah. Inilah yang disebut sholat daim (QS. Al-Ma’arij: 23).
Segala sesuatu yang dilakukan, jika hati selalu terhubung dengan Allah, itu akan
menjadi “constant prayer”, sholat berketerusan.
Seperti kata Rumi, kuncinya bukan digerak lahiriah an sich. Bukan di aturan fikih yang terlalu
jelimet yang sebagian besarnya merupakan produk tafsiran akal manusia. Tapi di hati. Ketika
hati telah tersucikan oleh ruh seorang rasul/waliyammursyida, semua gerak, dalam aturan
apapun, akan menjadi ibadah. Karena selalu hadir Allah.
Bukan kita menolak syariat. Sama sekali bukan. Syariat wajib dijalankan, sesuai tuntunan Nabi
(walaupun variasi ayat dan riwayatnya banyak sekali dan tidak mungkin disatukan). Tapi,
seperti disindir Rumi, umat Islam sering terlalu mabuk dengan aturan. Sehingga lupa cara
mengkoneksikan hati dengan Allah. Padahal itu syarat utama semua amal ibadah terhubung
dengan Allah. Kita bahkan sering ribut antar sesama, saling menyesatkan, hanya gegara beda
pandangan fikih.
Melalui kata-katanya itu, Rumi menyarankan agar pola beragama digeser, dari fokus yang
terlalu berat pada kerumitan aturan (rules-based) kepada fleksibilitas “rasa” dan efektifitas
tujuan (principles-based). Dari relasi kekakuan terhadap hukum, kepada ruang-ruang negosiasi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 184


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

yang penuh keakraban (muraqabah) dengan Allah SWT. Adab atau prinsip-prinsip umumnya
tetap berlaku. Namun format teknis penyajian ibadah jangan dipaksa harus dalam bentuk
tunggal. Kebenaran bisa dihadirkan dalam ragam rupa, sejauh maknanya tersampaikan.
“Tidak ada aturan dalam ibadah” bukan berarti tidak ada aturan sama sekali. Melainkan tidak
boleh ada paksaan untuk ikut aturan tertentu. Apalagi kalau sampai kita cap sesat dan kafir
kalau tidak ikut mazhab ini dan itu. Masing-masing tau cara melihat kebenaran secara jelas,
serta mampu membedakannya dengan kesesatan. Jadi, jangan dipaksa. La ikraha fid-din (QS.
Al-Baqarah: 256). Agama itu pada prinsipnya adalah cinta. Kerelaan. Keikhlasan. Bukan
paksaan. Karena itulah, para sufi bermazhab (punya aturan yang diikuti). Sekaligus beyond
mazhab (mampu melepaskan diri dari kungkungan mazhab).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 81 | September 2022


KEPADA SIAPA KITA SELAMA INI BERTUHAN: ALLAH ATAU DIRI SENDIRI?
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Agama itu “kebajikan” (virtue). Namun, cara memutuskan kebajikan/kebaikan, itu beragam.
Ada yang dengan mengikuti kebaikan menurut keinginan diri sendiri. Ada juga dengan cara
menuruti apa maunya Allah. Yang mengikuti kebaikan menurut maunya Allah disebut
“bertuhan kepada Allah”. Yang ikut keinginan diri sendiri, dalam tradisi gnostis disebut sebagai
“bertuhan kepada diri sendiri” (berhala diri, riya, fir’aunisme).
Misalnya begini. Tahajud itu baik. Tidak ada yang mengatakan tahajud itu buruk. Lalu, pada
suatu malam, anda bangun. Kemudian melaksanakan tahajud. Masalahnya sedikit, itu murni
anda lakukan karena keinginan sendiri, karena menganggap itu baik. Mungkin itu anda
lakukan akibat pernah membaca di ayat tertentu, bahwa tahajud itu bagus. Walaupun anda
sendiri tidak tau, apakah bagus atau tidak untuk melaksanakan tahajud pada malam itu. Konon
lagi, banyak orang yang memposting sesuatu ditengah malam untuk sekedar memberitahukan
kepada orang-orang kalau dia suka tahajud. Dia anggap itu dakwah. Biar orang tau. Menurut
dia itu baik. Menurut Allah, belum tentu. Bisa masuk kategori riya, yang ditegur dengan
kalimat: “Celakalah orang-orang yang sholat” (QS. Al-Ma’un: 4-6).
Menurut ahli sufi, beribadah menurut keinginan sendiri disebut sebagai “bertuhan kepada diri
sendiri”. Kita tidak tau, jangan-jangan Allah justru menginginkan kita terus tidur pada malam
itu, tidak perlu bangun. Karena, apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 185
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Apa yang kita benci, terkadang itu yang terbaik menurut Allah (QS. Al-Baqarah: 216).
Memang secara teoritis, tahajud bagus. Banyak pahalanya. Tapi, secara praktis, kebaikan juga
harus ditempatkan pada waktu dan tempat yang tepat. Harus kontekstual sesuai keinginan
Allah. Hanya Allah yang tau, kapan itu secara hakiki baik dan benar. Itu ibadah pada level
hakikat/makrifat, efektif dan efisien, confirmed sesuai maunya Allah.
Pada level syariat, orang dididik beribadah untuk menuntaskan kewajiban. Fokusnya adalah
kepentingan diri sendiri (self interest). Bahkan untuk menimbun pahala (modus kapitalisme).
Ya, sah-sah saja. Mau bagaimana lagi. Agama secara awam memang dimulai dari level ini.
Pada tingkatan makrifat, ibadah dilaksanakan untuk menyenangkan Tuhan. Bukan lagi untuk
diri kita sendiri. Kapan saja Allah perintah untuk bangun bertahajud, sejauh Dia senang, kita
laksanakan. Kita ikuti saja apa arahan Allah, melampaui keinginan personal kita. Itu namanya
tahajud yang diinginkan Allah. Atau paling tidak, ketika kita ingin melaksanakan tahajud,
Allah setuju (Ridha) kita melakukan itu. Intinya, ada persetujuan Allah terlebih dahulu. Karena
mungkin saja Allah lebih ridha kalau kita tidur sampai subuh, daripada bangun untuk
melaksanakan tahajud pada malam itu. Kalau itu maunya Allah, tidur tentu lebih baik daripada
tahajud. Justru menjadi bermasalah manakala anda melakukannya tanpa persetujuan Allah.
Sebab, yang dicari adalah ridha atau perkenan Allah. Bukan sekedar action untuk memuaskan
nafsu kita.
Artinya, dalam hal berbuat baik, dalam perspektif nubuwwah (laduniah), ketahui dulu apa
maunya Allah. Sebab, yang disebut baik (secara hakiki) itu adalah baik menurut Allah. Bukan
baik menurut akal kita. Juga bukan baik menurut teks suci tertentu, tanpa tau kapan aplikasi
kontekstualnya. Apalagi baik menurut iblis. Ini yang gawat. Sebab, iblis juga mengajak kita
untuk senantiasa berbuat baik.
Iblis itu makhluk “alim”. Tinggi sekali ilmu agamanya. Rajin ibadahnya. Di dahinya malah ada
tanda bahwa ia pernah sujud 6000 tahun. Jelas, ia tidak pernah menyuruh kita untuk berjudi
dan minum khamar. Iblis tidak pernah mendorong kita untuk menipu dan berzina. Untuk
level orang-orang baik seperti anda, mana mungkin iblis menyuruh berbuat maksiat
(merampok, membunuh dsb). Pasti anda tolak. Kerjaan iblis adalah menyuruh kita untuk
senantiasa beribadah dan berbuat baik, tapi bukan menurut maunya Allah.
Jangan lupa, iblis itu makhluk paling taat dan paling bertauhid kepada Allah. Tapi dalam
perspektifnya sendiri. Bagaimana tidak, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada manusia, ia
menolak. Sebab, ia tidak mau merusak akidah gara-gara sujud ke manusia. Ia juga merasa lebih
alim, lebih senior dan lebih kharismatik dari Adam. Aku tercipta dari “Api”, dia dari “Tanah”.
Cara berfikirnya make sense!
Iblis itu adalah anda, saya. Iblis itu adalah unsur terdalam dan terhalus dari diri kita semua,
yang senantiasa membisiki kita untuk berbuat baik dan senantiasa menyembah Allah. Tapi

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 186


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

menurut maunya kita sendiri. Bukan sebagaimana maunya Allah. Padahal, Allah ingin
disembah menurut maunya Dia. Bukan menurut maunya kita. Allah ingin, kepatuhan kita
kepada wahyu/ilham lebih diutamakan daripada pengetahuan rasional dan persepsi.
Karena itu, pertempuran abadi dalam diri manusia adalah pertempuran antara iblis dan Allah.
Keduanya menyuruh manusia berbuat baik. Keduanya menyuruh manusia untuk sholat, puasa,
zakat, haji dan sebagainya. Cuma ya itu, ada yang melakukan itu karena dorongan iblis. Ada
yang melaksanakannya secara khalish atas dasar bisikan dari Allah. Secara lahiriah, keduanya
terlihat sama. Secara batin, jauh sekali berbeda.
Contoh lain. Makan misalnya, secara teoritis, itu baik. Apalagi yang halal dan bergizi. Banyak
dalil agama yang menguatkan itu. Tapi, kita tidak tau, apakah makanan yang kita konsumsi itu
ada izin Allah atau tidak. Kalau ada izin, itu sama dengan mendapat jamuan dari Allah. Kalau
tidak, bahaya!
Sebab, makan tanpa keridhaan Allah, itu namanya mengkonsumsi “khuldi”. Adam jatuh bukan
karena makan babi atau minum tuak. Ia terlempar justru karena makan makanan surga. Di
surga apa yang tidak halal. Semua halal. Tapi, ketika tidak ada izin Allah, itu secara sufistik
akan bernilai haram. Dunia ini surga, semua halal dan boleh dimakan. Kalau ada izin Allah.
Kalau tidak, dosa.
Jadi, tidak semua ibadah yang dikerjakan manusia itu murni dari Allah. Yang murni bisikan
Allah, itu bernilai sunnah. Sebagian lainnya justru bisikan iblis. Itu bid’ah. Karena itu, tahap
awal dalam beragama adalah “penyucian diri” sampai benar-benar mampu membedakan antara
bisikan iblis dengan bisikan Allah. Karena, Allah dan iblis, itu mirip. Karena kemiripan inilah
Adam tertipu. Apalagi kita. Kita sering menganggap apa yang baik yang muncul dalam benak
kita, itu datang dari Allah. Padahal, itu bisa jadi dari iblis.
Oleh sebab itu, beragama harus melampaui ilmu akal dan ilmu tafsir. Harus sampai kepada
kesadaran Ruhiyah, yang berdimensi Haqq. Beragama dengan akal saja, dapat membuat kita
tersesat. Sebab, ilmu itu hijab. Seringkali kebaikan dan kebenaran kita qiyas-qiyaskan sesuai
naluri dan selera. Padahal, dalam khazanah tasawuf, etik itu sifatnya divinity. Sejatinya, apa
yang benar dan baik, itu harus ditanyakan kepada Allah. Harus turun langsung dari sisi Allah.
Agama itu wahyu. Kebaikan dan kebenaran, itu murni dari Allah. Alhaqqu min rabbik (QS.
Al-Baqarah: 147).
Tulisan ini hanya sekedar menggambarkan, bahwa tujuan perjalanan beragama sesungguhnya
adalah untuk mengalami “perjumpaan” atau “sampai” (kembali) kepada Allah sebagai Wujud
kebenaran tertinggi. Kalau tidak, level religiusitas kita akan terhenti di level akal ataupun kitab
(teks).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 187


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 82 | September 2022


KAHMI, HMI DAN RODA GIGI YANG TIDAK TERSAMBUNG KE MESIN
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Perhelatan Muswil ke-6 KAHMI Aceh sudah selesai. Bertempat di Hotel Amel Convention
Hall Banda Aceh, Senin 26/09/2022, sembilan presidium telah terpilih. Mereka diamanahkan
untuk memutar roda KAHMI untuk lima tahun ke depan, 2022-2027.
Apa kelebihan/kelemahan HMI dan KAHMI?
Kelebihan kedua organisasi ini adalah, banyak diskusi. Bagus-bagus sekali pun diskusinya.
Zoom seminar hampir setiap hari. Dalam hal ini saya teringat Kanda Nasrullah RCL di kantor
Insan Cita Darussalam. Tiap hari memposting jadwal diskusi ke sebuah grup alumni. Pun di
kantor yang beliau kelola itu, rutin sekali diskusi. Hebat.
Itulah KAHMI. Itulah HMI. Diskusinya siang malam. Bahkan sampai subuh. Tapi tak ada
yang tau kalau mereka lagi diskusi. Yang tau, ya mereka-mereka saja. Setelah mereka diskusi,
tak ada sedikit pun perubahan di negeri ini. Pemerintah tetap adem ayem dan konstan dengan
kebobrokannya. Masyarakat tetap miskin dan terus dikelabui politisi busuk. Pseudo-ulama juga
masih berkeliaran memprovokasi umat.
Sekarang coba bayangkan sebuah sepeda atau motor. HMI dan KAHMI, itu ibarat roda giginya
(bahasa Inggris: “gear”). Putarannya kuat dan kencang sekali. Tidak pernah berhenti. Diskusi
terus berjalan. Silaturahmi siang malam. Tapi, roda itu tidak terhubung dengan mesin besar
yang mampu membuat semuanya berjalan.
HMI dan KAHMI memang terus bergerak. Terus hidup. Tidak pernah mati. Demo dilakukan
setiap saat. Training perkaderan ada sepanjang tahun. Ribuan kader lahir. Tapi, masyarakatnya
tidak berubah. Tidak lebih sejahtera dari sebelumnya. Karena, roda HMI/KAHMI tidak
tersambung dengan sistem yang lebih besar. Pemikiran dari institusi HMI/KAHMI tidak
terdengar sampai ke ruang-ruang birokrasi. Protes-protesnya tidak mengguncang alam
kesadaran penguasa negeri.
Dari level nasional sampai lokal, KAHMI ada. Jumlah MD KAHMI bahkan sudah lebih
banyak dari jumlah cabang HMI. Tapi, intelektualnya (secara institusional) masih “tradisional”,
main di ruang-ruang sunyi. Tidak “organik”. Tidak revolutif. Tidak inspiratif. Tidak ditakuti.
Tidak membumi. Alumninya memang aktif dimana-mana. Namun personal sifatnya. Bagus
juga. Secara internal KAHMI sudah menunjukkan peran-peran mulia. Seperti pengembangan
aset (gedung) dan even-even silaturahim. Tapi secara kelembagaan, KAHMI sampai ke tingkat
daerah perlu menggerakkan jamaahnya secara secara luar biasa. Posisi external
bargaining lembaga perlu penguatan kembali.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 188
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“KAHMI dan HMI adalah gear (roda) yang berputar sangat kencang, tapi tidak tersambung
dengan mesin besar”
A.S.S.A SUFIMUDA
“KAHMI dan HMI adalah gear (roda) yang berputar sangat kencang, tapi tidak tersambung
dengan mesin besar”, sebut Abuya Sayyidi Syeikh Ahmad Sufimuda, selesai Muswil ke-6.
Beliau adalah ulama kharismatik yang juga konsern dengan perkembangan gerakan-gerakan
sosial dan politik. Tulisan ini sebenarnya hanya untuk menerjemahkan kembali perhatian sang
Guru Sufi ini kepada HMI/KAHMI.
Benar apa yang Beliau sampaikan. Isu ini juga berkembang dalam forum Muswil. Sebagian
peserta mengkritik karakter kecendekiaan KAHMI dewasa ini. Tidak hanya di level Provinsi, di
level daerah juga sama. Kajian-kajian strategis KAHMI sangat minim. Makna dari “kajian
strategis” adalah kajian yang membawa perubahan. Tersambung dengan mesin besar. Ruang
diskusi HMI/KAHMI jangan dijadikan tempat “mastubasi intelektual”. Hanya sebatas
menumpahkan ide-ide, puas, lalu bubar. Diskusi KAHMI bukan lagi diskusi “powerpoint”.
Banyak sekali point, tanpa power.
Kanda Muhammad Saleh, salah salah satu alumni yang disebut-sebut sangat ‘bandel’, tapi
cerdas, juga mengulas hal yang sama. Dalam artikelnya di Modus beberapa saat menjelang
Muswil, ia mengangkat urgensi KAHMI sebagai “Rumah Besar Multi Gagasan”. Suara KAHMI
harus didengar penguasa. Pemikirannya harus kritis. KAHMI harus punya taring. KAHMI
harus bangkit dan tidak boleh abai dengan soalan umat dan bangsa.
Benar juga apa yang beliau utarakan. Acara Muswil malah tidak dihadiri Gubernur. Apakah ini
tanda KAHMI tidak menggigit? Atau terlalu sibuk mungkin. Tapi beliau mengutus dua
stafnya, sekda dan asisten. Kita apresiasi itu. Padahal, sebenarnya, kita ingin Pejabat Gubernur
hadir. Agar visi dan misinya di Aceh dapat didengar keluarga besar HMI. Sampai-sampai,
beberapa hari sebelum acara, kami ingin membuat diskusi publik untuk ‘menguliti’ gelapnya
visi Pejabat Gubernur yang dikirim oleh Jakarta ke Aceh. Paling tidak sekedar langkah awal
menghidupkan kembali KAHMI connection sebagai “Rumah Gagasan” dengan kajian-kajian
kritis strategis.
Tapi ide diskusi ini dilumpuhkan. Kata alumni lainnya, “Jangan, sayang alumni-alumni kita
yang ada di pemerintahan”. Habis kita. Rupanya, kajian strategis dapat mengganggu posisi
kawan-kawan di birokrasi. Mungkin karena itu KAHMI jadi kurang kajian strategisnya.
Sehingga lebih banyak lari ke program jalan-jalan dan minum kopi. Setiap hari hanya kita
temukan postingan foto para alumninya lagi up-date tawa di warung-warung kopi. Ya,
mungkin itulah tujuan kita: “bahagia HMI”. Iya, juga. Jangan serius kali mengelola organisasi.
Jangan sampai lupa bahagia. Tapi ada hasilnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 189


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 83 | September 2022


KAHMI, DARI KANGEN-KANGENAN KE PERJUANGAN
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
HMI mendoktrin kader-kadernya untuk jadi pejuang. Berjuang untuk meningkatkan kualitas
diri (insan cita). Lalu pada saat yang sama berjuang untuk mempertinggi kualitas hidup
masyarakatnya (masyarakat cita). Tidak hanya sampai disitu. Hakikat perjuangan, sebenarnya
untuk mencapai “Cinta” (ridha Allah SWT).
Jadi, tujuan HMI adalah “insan cita”, “masyarakat cita” dan “Cinta”. Dokumen ideologi
disusun Cak Nur dkk untuk mencapai itu. Dokumen ideologi secara tegas menggunakan kata
“perjuangan”. Lengkapnya “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”.
Artinya, HMI itu memang organisasi yang menyemai benih pejuang. Lulusannya wajib jadi
pejuang. Jadi Mujahidin. Jadi jihadis. Tapi dalam nilai-nilai moderat. Dulu, di zaman Belanda
dan Komunis, jihad harus secara radikal. Karena musuh memang secara fisik merongrong
Islam dan negara. Maka harus diangkat senjata. Sekarang, musuhnya bukan itu lagi. Walau isu
“komunis” selalu diangkat menjelang pemilu untuk tujuan tertentu. Setelah Pemilu, hilang lagi.
Musuh kita sekarang adalah saudara kita sendiri yang sama ideologi. Sama-sama percaya
Pancasila itu sakti. Sama-sama ngotot mempertahankan UUD 45. Sama-sama teriak NKRI
harga mati. Tapi kerjanya korupsi. Musuh kita sekarang adalah politisi, keamanan, yudisial dan
birokrasi yang tidak punya basis etik dan spiritual, yang pura-pura bekerja untuk
mensejahterakan negeri ini (kalau serius, tentu sudah lama maju negara kita).
Di era Belanda, kita miskin. Setelah kita pimpin sendiri, juga masih banyak yang miskin.
Ternyata, Belanda belum pergi. Wajahnya saja berganti. Dulu rambutnya agak pirang dan
tubuhnya tinggi-tinggi. Sekarang sudah hitam semua, dengan fisik pendek-pendek. Tapi
wataknya sama. Dulu warna benderanya biru, merah dan putih. Sekarang, warna birunya
sudah dirobek. Tinggal merah dan putih. Masih ada warisan lama.
Musuh kita adalah Belanda, dalam wajah-wajah pribumi. Musuh kita adalah keterbelakangan
yang kita ciptakan sendiri. Musuh kita adalah kebodohan yang kita pilih setiap lima tahun
sekali. Mau kita angkat senjata untuk melawan mereka, tidak bisa. Bisa kena pasal subversif
kita. Lalu kita lempar masalah ke Cina. Cina itu pedagang, yang hanya memanfaatkan situasi.
Kalau karakter kita baik dan kuat, mereka akan menyesuaikan diri.
Lalu apa yang harus kita lakukan?

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 190


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Tidak ada. Biar Tuhan yang selesaikan. Yang bisa kita lakukan hanya minum kopi”, jawab
salah satu senior HMI.

Karena itulah, perjuangan mengalahkan saudara sendiri yang mengibarkan bendera yang sama,
jauh lebih susah daripada mengalahkan musuh yang membawa bendera berbeda.
Sejak dulu begitu. Nabi Muhammad mudah mengalahkan kafir quraisy dalam semua perang.
Karena garis demarkasinya sangat jelas. Ideologi dan benderanya beda. Mudah diperangi. Tapi,
di kemudian hari, ketika musuh-musuh ini masuk Islam, lalu memakai baju dan bendera yang
sama dengan yang pernah diusung nabi; rumit masalahnya. Sebab, mereka mulai korup,
dhalim, dan busuk. Tapi memakai baju agama, baju resmi negara. Memakai nama khilafah
pula. Tapi membantai orang atas nama agama. ISIS dengan berbagai variannya, adalah wujud
terburuk dari Islam model ini. Sangat menipu.
Inilah yang disebut “jaman fitnah”. Perangnya sudah beda. Infiltrasi kapitalisme hadir dalam
dalam rupa umara dan ustadz yang kita puja. Dalam rupa kita sendiri. Teks agama beredar
luas, tapi sebagai “opium”. Syariat dihadirkan untuk membuat teler sekaligus membungkam
arus bawah. Agama hadir untuk mencambuk pencuri ayam. Bukan untuk memotong tangan
para pemilik jutaan hektar lahan. Agama hadir untuk menertibkan massa. Bukan untuk
meluruskan penguasa. Bank pun menjelma jadi Islam. Tapi kerjanya masih sama, memonopoli
arus kapital bagi pemilik modal. Bukan untuk mendistribusi kekayaan kepada masyarakat yang
bahkan tak punya sandal. Dalam kondisi inilah anda diminta berjuang. Bingung kita, kemana
mau diayunkan pedang. Salah-salah, kena leher sendiri.
Dulu, setan itu punya barisan sendiri. Tinggal kita arahkan meriam. Kena dia. Mati. Sekarang,
setan itu sudah menyusupi ke diri kita semua. Gimana cara mengalahkannya?

Sebutlah ini sebagai “akhir zaman”, walau kiamat juga tidak jelas kapan pastinya. Berat cara
berjuangnya. Tapi yang pasti, semua terlihat terus berjuang. Apa yang diperjuangkan? Apalagi,
kalau bukan setumpuk “daging meugang”.
Kita semua terus berjuang, tapi untuk kelanjutan hidup masing-masing. Saling rebut proyek.
Saling rebut jabatan. Semua sibuk mikir sekolah ke jenjang lebih tinggi, biar peluang hidup
lebih bagus lagi. Semua berjihad bagaimana cara agar dapurnya tetap berasap. Jadi komisaris
disana. Jadi direktur disini. Dan sebagainya. Hanya itu yang bisa kita perjuangkan. Selebihnya,
urusan Tuhan. Masyarakat ini hamba Tuhan. Biar Tuhan yang pikirkan sendiri, mau dibawa
kemana masyarakatnya.
Pada ujungnya, dalam kondisi “fitnah” seperti ini, semua menjadi apatis. Semua aktif bergerak
dan berjuang. Tapi untuk kompetensi personal, untuk kesalehan individual. Tidak lagi untuk
kemajuan sosial.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 191


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Ada satu dua yang masih kuat aura sosialnya. Mereka terus berjuang untuk perbaikan kondisi
komunitasnya. Ada alumni yang seperti itu. Tapi hanya anomali. Langka. Selebihnya masih
diam. Masih terpenjara dalam gejolak batin; antara idealisme ideologi yang pernah diterima
dalam training-training HMI, dengan realitas hidup yang ia alami. Yang tidak sabaran sudah
memilih pragmatisme dan terus maju dengan itu. Yang manis-manis masih berusaha menahan
diri, tidak berkembang.

Saya kira, menjadi alumni, atau berada di KAHMI, adalah fase untuk kembali menggali
kesadaran akan cita-cita kita. Bagaimana secara personal kita semua bisa sukses dan kaya raya.
Secara sosial masyarakat kita juga terbangunkan jiwa dan ekonominya. Pada ujungnya, kita
berharap Allah senang dengan semua usaha kita.
Dalam situasi apatis terhadap idealisme perjuangan, KAHMI bisa terpuruk menjadi organisasi
kangen-kangenan. Ya, setelah lama selesai di HMI, kita semua sibuk sendiri. Maka diperlukan
institusi untuk kumpul-kumpul dan kenduri, sambil “pura-pura” diskusi. Sambil mengenang
hal-hal lucu di masa lalu. Tentu perkumpulan yang begini bagus juga. Pada kadar tertentu bisa
membuat alumninya sesekali “bahagia”.
Tapi, untuk memutar gerak roda KAHMI sebagai organisasi perjuangan, yang berusaha
melanjutkan tradisi dan spirit kejuangan HMI, saya kira ini tantangan besar bagi Majelis
Nasional, majelis wilayah dan majelis daerah se-Indonesia. Bukan tidak bisa. Bisa. Itulah
tantangannya. Sebab, Formulasi Tujuan KAHMI telah kita sepakati, sama dengan Tujuan
HMI: insan cita, masyarakat cita, dan Cinta.
“Terhimpunnya alumni yang memiliki kualitas insan cita, dalam mewujudkan masyarakat adil
makmur yang diridhoi Allah SWT”
TUJUAN KAHMI, PASAL 5 AD KAHMI
Saya kira, salah tujuan mereka yang mengurusi KAHMI adalah untuk menyadarkan kita semua
pada kontinuitas peran-peran mulia ini, sambil ngopi-ngopi tentunya. Pasti usaha sampai!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 84 | Oktober 2022


“TRANSCENDENTAL COMMUNICATION”: MEMBANGUN RUHANI KENABIAN
DALAM KOMUNIKASI VERTIKAL
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 192
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Berbagai program leadership and communication skills yang pernah kami atau mungkin juga
sering anda ikuti, itu hanya mengajari cara mendengar lawan berbicara. Cara menyimak dan
memberi feedback terhadap orang. Training-training ini tidak punya kemampuan untuk
mengajari anda cara memahami, menyimak dan berbicara dengan wujud lebih tinggi; dengan
Allah dan para malaikatnya.
Training-training motivasi dan kepemimpinan yang disediakan oleh banyak organisasi dan
lembaga, itu bagus. Bagus sekali. Tapi hanya sampai pada level “man to man”, “mundane”,
horizontal, atau “duniawi”. Tidak sampai ke level “man to God”, “transcendental”, vertikal,
atau “ukhrawi”. Kalaupun ada istilah mendengar “suara hati” (God-spot dan sebagainya), itu
juga spekulatif sekali.
Dari sisi eternalitas ruhiyah, manusia adalah makhluk ukhrawi. Sekaligus makhluk duniawi,
dari sisi kebaharuan materi. Karena itu, sejatinya kita mampu berkomunikasi ke segala
dimensi. Mampu berbicara dengan manusia. Juga dapat bercakap-cakap dengan Allah dan para
malaikatnya. Itu kalau sisi kemanusiaan kita sempurna aspek lahir dan batinnya.
Hampir seluruh bagian Quran mengungkap bagaimana manusia berdialog dengan para
malaikat maupun Tuhan, sejak jaman Adam. Orang terakhir yang diutus ke dunia,
Muhammad SAW, juga punya kemampuan yang sama. Artinya, kalau orang terakhir punya
keahlian itu, umatnya juga begitu. Karena dari Beliaulah semua metode beragama
(berkomunikasi dengan Allah) kita peroleh.
Kenyataannya, kita “terputus” sanad dari kemampuan spiritual. Kecuali komunitas tertentu
yang kami temukan masih kuat menjaga metodologi komunikasi transendentalnya. Dan itu
adalah para sufi. Tidak semua sufi tentunya. Sebagian sufi justru sudah kehilangan keahlian ini.
Apa yang disebut “muraqabah” (metode transmisi gelombang ilahiah) misalnya, itu hanya
dipunyai segelintir orang saja -yang gurunya memang benar-benar seorang “wali” (penjaga
rahasia Tuhan). Selebihnya hanya tinggal teori, tinggal hafalannya saja.
Islam itu, kalau serius didalami, dahsyat sekali. Anda akan mampu menembus ke segala
penjuru “langit” dan “bumi”:
‫ﴩ الْ ِج ِّن َو ْ ِاﻻ ْ ِس ِا ِن ْاس َت َط ْع ُ ْﱲ َا ْن تَ ْن ُف ُذ ْوا ِم ْن َا ْق َطا ِر الس ٰم ٰو ِت َو ْ َاﻻ ْر ِض فَانْ ُف ُذ ْوا ﻻ تَ ْن ُف ُذ ْو َن اﻻ ُِسل ٰط ٍۚن‬
ْ ِ َ ۗ َ َ ‫يٰ َم ْع‬
Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi,
maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan Sultan (QS. Ar-
Rahman: 33).
Lewat teknologi komunikasi standar, anda bisa berbicara dengan orang-orang di kutub utara.
Mampu melakukan video call dengan saudara anda dibelahan dunia lainnya. Itu biasa,
teknologi material. Pun dengan “teknologi muraqabah” (spritual) dan perangkat-perangkat
(kekuatan/sultan) lebih tinggi lainnya, anda bisa tersambung dengan Allah SWT. Kalau ruhani
anda sudah diaktivasi oleh pemilik jaringan (seorang guru mursyid yang otoritatif), anda akan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 193


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

mampus mendengar “bisik-bisik” malaikat diberbagai lapisan “langit”, yang notabene


adalah Kalam Allah.
Tentu tidak ada yang bisa menyentuh penjuru “langit” (dimensi ayat-ayat ukhrawi) kecuali
jiwanya telah disucikan (La yamassuhu illal muthahharun, QS. Waqiah: 79). Sebab, butuh
gelombang yang sangat tinggi, murni dan cepat untuk tembus kesana. Proses penyucian jiwa
(“mati sebelum mati”) adalah bentuk aplikasi dari teknologi transendental ini. Biasanya
disimulasikan dalam madrasah “suluk” (khalwat) yang melewati berbagai proses penempaan
wadah dan instalasi ruhani. Dibutuhkan seorang seorang ahli teknologi
ruhiyah (waliyammursyida) guna membimbing dan membantu operasikan teknologi ini.
Muhammad SAW, juga semua nabi dan orang-orang sholeh, memahami mekanisme kerja
Ruhani. Mereka malah menempuh sekolah khusus di bidang itu. Mereka mengambil spesialis
“komunikasi transendental”. Mereka melakukan praktik dalam waktu cukup lama. Pergi ke
gunung, masuk ke gua, mengunci diri di mihrab dan kamar-kamar sepi. Berhari-hari.
Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Tujuannya untuk memperkuat gelombang dan frekuensi yang
super halus ini. Sebuah gelombang yang tidak boleh diinterupsi oleh sinyal-sinyal rendah
lainnya.
Proses meng-upgrade perangkat transmisional ilahiyah ini harus fokus sekali. Bahkan harus
jauh dari keluarga. Muhammad SAW, Isa as, Musa as, Ibrahim as (semua nabi tentunya) harus
menempuh jalan pengasingan diri (uzlah). Dengan cara ikut khizir atau burak. Sampai harus
meninggalkan anak istri dalam periode tertentu.
Sampai pada titik tertentu, wadah spiritual mereka menjadi sempurna (kamil). Lalu terbukalah
arus informasi langit tanpa henti. Mereka mendengar Tuhan berbicara. Mereka menyimak apa
saran nasehat para malaikat-Nya. Antara mereka dengan alam malakut dan Rabbani sudah
tidak “berjarak” lagi. Sudah connect. Sudah omnipresence. Sudah monistic. Sudah lebih dekat
dari urat leher yang sifatnya material itu.
Pada level pengalaman nubuwwah dan sufistik seperti ini, wadah insaniyah telah
terbangun/tercipta secara sempurna untuk menangkap doktrin-doktrin ilahi. Arus “informasi
A1” (suci dan mutlak kebenarannya) turun (tanazzul) ke jaringan otak, sel dan saraf mereka.
Wahyu/ilham hadir secara aktual dalam seluruh dimensi nafsani. Digambarkan, Allah sudah
lebih dekat dari urat lehernya. Manusia sudah “bertajalli”, sudah beririsan dengan unsur-unsur
sacred Ilahi. Sudah satu gelombang dengan Allah SWT. Sehingga, apa yang diketahui dan
terbisik dihati, itu adalah bisikan dan pengetahuan langsung dari Allah SWT:
‫َولَقَدْ َ لَ ْق َا ْ ِاﻻ ْ َس َان َون َ ْع َ ُﲅ َما ت َُو ْس ِو ُس ب ِٖه ن َ ْف ُس ٗه َۖو َﳓ ُْن َا ْق َر ُب ِالَ ْي ِه ِم ْن َح ْ ﻞِ الْ َورِ يْ ِد‬
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
(QS. Qaf: 16).

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 194


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Anda, juga saya, belum Islam sebagaimana pola kenabian. Jika kemampuan komunikasi belum
tembus sampai ke penjuru langit. Sholat dan ibadah kita pasti levelnya “duniawi” (bumi), tidak
naik sampai ke sisi Allah, kalau teknik komunikasi ini tidak kita perbaiki.
Sehingga dikatakan, betapa banyak orang yang sholat, tapi “lalai” (jaringan ruhaniahnya lelet).
Tidak ada Cahaya Allah dalam qalbunya. Gelombang hatinya kacau. Dalam ibadah lainnya
juga begitu. Betapa banyak yang berpuasa, tapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Sebab,
unsur-unsur ruhaniah yang merupakan wujud absolut dari ibadah, itu tidak terkomunikasikan
secara sempurna kepada Allah.
Meniru nabi, harusnya meniru sampai kepada praktik-praktik spiritual terdalam. Praktik-
praktik bagaimana menghidupkan sisi batiniah setiap orang agar terkoneksi dengan Tuhan.
Karena inti agama adalah “koneksi” (rujuk kembali dengan Allah). Meniru Nabi, itu bukan
bermaksud menjadi nabi. Meniru Nabi adalah usaha memperbaiki/menauladani metodologi
(tarikat) cara kita berkomunikasi dengan Allah.
Sebab, agama ini “komunikasi”, adab dan tata cara berinteraksi dengan Allah. Ketika
infrastruktur spiritual sudah tertata, dimanapun dan dalam bentuk apapun kita beribadah
(sambil berdiri, duduk, berbaring, berjalan, berlari, bahkan tidur sekalipun), pasti hadir
Allahnya. Sehingga semua menjadi “sunnah” atau berdimensi “hadis”. Setiap perkataan dan
tindakan, meskipun bersifat kreatif dan baru, nilainya suci. Karena saat berkomunikasi, kita
punya wasilah, memakai frekuensi/gelombang ruhani Rasulullah.
Tuhan itu ada dua. Tuhan yang “hidup”, dan tuhan yang “mati”. Tuhan yang hidup adalah
Tuhan yang menjawab ketika diajak berdialog dalam ibadah dan doa. Tuhan yang mati
sebaliknya, diam saja dia. Segala sesuatu yang ketika anda ajak untuk akrab tapi tidak
ada feedback sama sekali, itulah “berhala”. Tidak membawa manfaat bagi kita. Sebaliknya,
meskipun anda berbicara dengan bangunan batu di tengah kota Mekkah, tapi ada suara yang
terdengar menjawab dari tempat itu, itulah Allah. Pun kalau anda berada di ruang sunyi, lalu
berdoa sambil menutup mata; ketika ada gelombang-gelombang jawaban yang hadir ke dalam
diri anda, itulah Allah.
Alam ini sakral, ketika hadir Allah dalam segala sesuatunya. Alam ini adalah Wujudnya, ketika
anda menemukan Dia dimana-mana. Kalau anda tidak mengalami itu, maka semuanya adalah
“berhala”.
Allah itu Ada. Maha Hidup. Maha Mendengar. Maha Berkata-Kata. Begitu juga kita, dikatakan
“hidup” ruhaninya, kalau sudah mampu membangun komunikasi dengan-Nya. Wuquf di
Arafah misalnya, itu salah satu momen komunikasi transendental untuk menunggu jawaban-
Nya. Yang ruhnya sudah hidup tentu akan mendengar suara-Nya. Selebihnya, yang lain,
mungkin akan merasakan itu sebagai ritual biasa.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 195


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 85 | Oktober 2022


“SPIRITUAL WRITING”: 7 TIPS!
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Menulis adalah proses menuangkan ide, “bisikan” atau


lintasan pengetahuan (khatir) ke dalam tulisan. Ide (khatir) bisa berasal dari berbagai sumber.
Bisa dari alam iblis, dari nafsu pribadi, dari teks yang pernah kita baca, dari pendapat yang
pernah kita dengar, ataupun dari alam akal murni. Yang tertinggi adalah dari alam Tuhan.
Semakin rendah sumber ide (dari iblis), semakin bermasalah tulisan kita. Semakin tinggi
sumber ide (dari tuhan), semakin “suci” nilainya, walau idenya terlihat sederhana. Seperti
Quran. Isinya ada yang kompleks, ada juga yang simple. Tapi dari Allah semua.
Oleh karena itu, secara umum, ada dua cara menulis. Pertama, dengan gaya “konvensional”.
Kedua, dengan metode “spiritual”. Dalam tradisi konvensional, lokus kesadaran adalah si
penulis itu sendiri. Egonya yang menulis. Sedangkan dalam metode spiritual, lokus kesadaran
si penulis harus terlebih dahulu terkoneksi dengan Qalam ‘Ala (Nurullah/Nur
Muhammadiyah). Yang mengajar manusia dengan perantaraan “Kalam/Pena”, QS. Al-Ala: 4.
Menulis dalam pola spiritual adalah bentuk “tarian” pena dan ketikan, yang dimainkan
bersama Tuhan. Spiritual writing adalah Tuhan, yang menulis lewat tangan manusia.
Spiritual writing adalah Tuhan, yang menulis lewat tangan manusia.
SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”
Berikut 7 tips dalam spiritual writing:
PERTAMA, CARI DAN IKUTI GURU. Semua ilmu ada gurunya. Kita sekolah, sejak kecil
sampai dewasa, itu usaha mencari guru dalam aneka bidang ilmu dan spesialisasi. Menulis juga
begitu, harus berguru. Guru akan mentransfer pengetahuan-pengetahuan, sehingga kita punya
kesadaran dan kecakapan-kecakapan yang tidak kita miliki sebelumnya. Tidak bisa otodidak.
Otodidak boleh, tapi setelah ada sentuhan guru (orang yang sudah duluan profesional) semua
akan jadi berbeda.
Dalam tradisi spiritual juga begitu. Fungsi Guru sentral sekali. Guru adalah orang yang
biasanya paham, punya keahlian dan berpengalaman dalam khazanah pengetahuan ruhani.
Tujuannya membawa murid untuk mengenal Allah (makrifah). Hubungan kita dengan Allah
dibangun melalui hubungan kita dengan seorang Guru (wali/ulil amri) yang mewarisi Ruhani
Rasulullah. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri
di antara kamu.. (QS. An-Nisa: 59). Pada ayat lain dikatakan: Katakanlah (Muhammad), “Jika
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 196
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Aali Imran: 31).
Itulah wasilah. Bangun hubungan dengan Guru. Cintai guru. Sering-seringlah berziarah ke
tempat Guru. Seorang ulama sufi adalah seorang wali, burak atau khizir yang mampu
memperbaiki gelombang energi dalam diri. Sehingga ruhani kita menjadi kuat dan mampu
“terbang” tinggi untuk menangkap pesan-pesan tersembunyi dari alam semesta ini.
KEDUA, TEMPUH TRAINING RUHANI. Dibawah bimbingan seorang guru atau supervisor
yang ahli (wali), lakukan suluk/khalwat selama paling kurang 40 hari. Dalam ordo spiritual
tertentu, ini bisa dicapai dalam 3-4 kali suluk. Seperti Musa as yang menempuh jalan ini di
madrasah Sinai. Kami telah menjanjikan Musa (untuk memberikan kitab Taurat setelah
bermunajat selama) tiga puluh malam. Kami sempurnakan jumlah malam itu
dengan sepuluh (malam lagi). Maka, lengkaplah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat
puluh malam (QS. Al-Araf: 142).
Ada leveling (makam) ruhaniah yang diupgrade pada masing fase itu. Mulai dari alam jabarut,
malakut sampai rabbani. Pada fase jabarut, jiwa kita dibersihkan dari ide-ide (khatir)
berdimensi iblis. Pada fase malakut, jiwa kita disambungkan dengan gelombang-gelombang
pengetahuan yang lebih murni. Pada fase rabbani, dimensi ilham dan kehadiran pengetahuan
Ilahi menjadi semakin kuat. Pendidikan ruhani, pada level tetentu, memungkinkan bagi
seseorang untuk merasakan kehadiran Allah secara langsung. Seperti Musa as, yang “pingsan”
(lebur/fana), luluh semua “gunung” ego dan kesadaran materialnya. Ia larut dalam dimensi
Ilahi pada saat Allah bertajalli. “Maka, ketika Tuhannya menampakkan (diri-Nya) pada gunung
itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan” (QS. Al-Araf: 143).
KETIGA, BIARKAN ALLAH YANG MENULIS. Ketika anda sudah mengikuti jalan para
nabi/wali, dan telah mencapai “pengetahuan kehadiran” (ilmu hudhuri), jangan lagi menulis
apa yang anda inginkan. Tulislah apa yang Allah inginkan. Jangan menulis apa yang ada di
kepala kita. Kosongkan saja pikiran anda. Biar Allah sendiri yang isi materi yang sepatutnya
kita dakwahkan. Para nabi begitu, tidak menyampaikan sesuatu kecuali itu ilham dari
Allah. Dan tiadalah apa yang disampaikannya menurut kemauan hawa nafsunya. Ia tidak lain
adalah wahyu yang diberikan kepadanya (QS. An-Najm: 3-4).
Ilmu itu, kalau datangnya bukan dari Allah (walau terlihat baik sekalipun) itu pasti dari iblis,
dari ego nafsu, atau dari akal kita sendiri. Jika sumber inspirasinya dari nafsu dan iblis, tentu
berbahaya sekali. Bisa mengotori jiwa pembaca. Juga jiwa penulisnya sendiri. Kita hebat sekali
kalau mampu menulis berdasarkan sumber akal, sejauh akal itu sudah “lurus”
(objektif/logis/netral/tidak tendensius). Apalagi kalau sampai mampu menulis dengan merujuk
atau mendownload pada sumber-sumber ilham/ilahi. Itu istimewa sekali.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 197


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

KEEMPAT, MINTA IZIN ALLAH DAN RASULULLAH. Kalaupun kita punya ego atau
keinginan untuk menulis, itu manusiawi. Boleh saja. Tapi, “ketuk” dulu pintu Rumah-
Nya. Agar Dia memberi izin untuk menulis. Mintalah izin kepada Rasulullah sebelum menulis.
Jika turun izin, menulislah. Jika tidak, bersabarlah. Sesungguhnya, ilmu itu milik Allah dan
Rasulullah. Ini penting, supaya keinginan kita sejalan dengan keinginan Allah. Nafsu itu selalu
mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:
53). Tanpa izin Allah, jangan memaksa ego anda. Sekalipun itu anda anggap baik. Sebab, apa
yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal itu tidak baik bagimu (QS. Al-Baqarah: 216).
Maka, waktu terbaik untuk menulis adalah ketika turun “Nur” dijari. Melalui perangkat-
perangkat ruhaniah, seperti muraqabah, biasakan berkomunikasi dengan Allah dan Rasulullah.
Minta selalu petunjuknya. Agar apa yang kita tuangkan sejalan dengan cita-cita mereka. Dalam
tradisi ruhaniah, semua tindakan harus atas izin Allah. Jangan sekali-kali engkau mengatakan
terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan hal itu besok,” kecuali (dengan mengatakan),
“Insyaallah.” Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-
mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada
ini.” (QS. Al-Kahfi: 24-24).
Terkait metode spiritual writing ini, Al-Ghazali berkata, “Tidak satupun hadis yang aku tulis
dalam karya ini, tanpa terlebih dahulu aku konfirmasi kebenarannya kepada Rasulullah”. Al-
Ghazali adalah sufi yang melahirkan karya-karya yang relatif “soft” terkait sufisme. Sementara
Ibnu Arabi, terkait karyanya yang cukup membuat banyak orang “pusing” seperti Fushush al-
Hikam dan Futuhat al-Makiyyah, dalam bahasa yang sama juga berkata, “Tidak aku tulis kitab
ini melainkan dengan cara didikte langsung oleh Rasulullah dalam berbagai pengalaman
epifani”.
Bagaimana mungkin Al-Ghazali maupun Ibnu Arabi berkomunikasi dengan Rasul. Padahal,
baik Al-Ghazali (1058-1111 M) maupun Ibnu Arabi (1165-1240 M) itu hidup 400 dan 600 ratus
tahun setelah Rasul tiada (570-632 M). Tapi, dalam lintas matrix spiritual, itu tidak ada jarak
antara Nabi dengan setiap umatnya. Bisa selalu dijumpai. Karena ruhnya hidup dan meliputi
segala masa.
KELIMA, PERBAIKI HUBUNGAN DAN JAGA KESUCIAN. Perbaiki terus hubungan kita
dengan Allah dan Rasulullah. Agar arus informasi senantiasa mengalir. Berzikirlah pada waktu-
waktu khusus, pada titik-titik dimana “pintu langit” mudah terbuka. Misalnya sebelum subuh,
dan lainnya. Hubungan kita dengan Allah seperti sinyal Hp. Bisa rendah, bisa tinggi.
Tergantung kemampuan kita untuk mendekati-Nya. Tergantung kemampuan kita dalam
menjaga adab dengan para Kekasih-Nya. Ketika kita dicintai-Nya, banyak informasi yang akan
diberikan-Nya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 198


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kesucian harus tetap dijaga. Baik dengan melazimkan wudhuk dan istighfar. Kita tidak tau,
terkadang Dia menitip ilmunya pada waktu-waktu yang tidak kita sangka. Tidak hanya saat
sedang beribadah. Bisa saja saat sedang minum kopi, saat sedang berkendaraan, saat sedang
mandi, dan sebagainya. Sejauh jiwa dan indera kita dalam keadaan suci, kita akan mampu
menangkap pesan-pesan itu pada setiap waktu. Ide-ide “kreatif dan tinggi” lahir dalam keadaan
suci. Pun menuliskannya, harus dalam kondisi suci. Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali
para hamba yang disucikan” (QS. Al-Waqiah: 79).
KEENAM, AKUI KEBODOHAN DAN BERSYUKUR ATAS SETIAP ILMU YANG
DIBERIKAN. Akui kebodohan kita, niscaya akan bertambah kasih sayang-Nya. Bersyukurlah
setiap kali memperoleh ilmu. Sholat dan bersedekahlah setiap selesai menulis. Kalau pandai
bersyukur, akan ditambah lagi pengetahuan, kemampuan dan kekuatan untuk menulis. Kalau
tidak, semua kecerdasan iluminatif akan hilang pelan-pelan. “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (QS. Ibrahim: 7).
KETUJUH, GUNAKAN ATURAN MENULIS KONVENSIONAL LAINNYA. Selebihnya,
gunakan aturan-aturan menulis konvensional untuk memperhalus tulisan. Seperti penggunaan
EYD (jika perlu), re-read, proof reading, editing, formatting, dan berbagai skill yang anda
peroleh dari pelatihan-pelatihan jurnalistik.
***
Menulis itu sebuah pengalaman berat, kalau kita memaksa diri. Tapi akan menjadi ringan,
manakala tersambung dengan Allah. Kuncinya adalah per-“tali”-an hubungan dengan Allah
dan Rasulullah (bersanad secara ruhaniah). Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali
(sanad) Allah, janganlah bercerai berai (QS. Aali Imran: 103). Jadilah bagian dari “Nun”
(wadah dan tinta pengetahuan semesta, yaitu Ruhani Rasulullah). Sehingga mudah untuk
menulis apa saja. Nun, demi kalam, dan apa yang mereka tulis (QS. Al-Qalam: 1).
Pada kondisi ini, semua mengalir begitu saja. Tidak cukup tinta dan pena untuk
menuliskannya. Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah.. (QS. Lukman: 27). Karena hakikatnya
bukan kita lagi yang menulis. Tapi Dia, yang menuliskan ilmu-Nya sendiri.
Pada saat tercerahkan seperti ini (mengalami momen “Aha!”), anda seperti menemukan ide-ide
yang melampaui diri anda sendiri. Imajinasi anda akan bermain-main di atas media secara
kreatif, terus melahirkan “ayat” dan “kalimat” sesuai konteks sosial dan zaman. Anda memang
menulis. Tapi sesungguhnya, Dialah yang menulis. Anda memang berfikir. Tapi sebenarnya,
Dialah yang berfikir. Mungkin tulisan anda seperti sedang ‘membunuh’ dan ‘melempar’ orang-
orang. Tapi bukan anda yang melakukan itu, melainkan Allah. Bukan kamu yang membunuh

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 199


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka dan bukan engkau yang melempar ketika
engkau melempar, melainkan Allah yang melempar (QS. Al-Anfal: 17).
Terakhir. Tidak semua orang punya bakat menulis. Tapi, bagi yang hobi dan berprofesi sebagai
penulis, saya kira patut mengupgrade kecerdasan menulisnya; dari metode “rasional tekstual”,
ke jenjang “iluminatif eksperensial”. Setiap kita punya keahlian dalam bidang tertentu. Dengan
“pertolongan Allah” anda bisa mengungkap dan menuliskan hal-hal baru terkait bidang ilmu
anda.
Pengetahuan tidak hanya bisa digali lewat cara-cara observatif, empiris dan rasional. Tapi juga
melalui bentuk-bentuk intuitif dan “ketersingkapan jiwa”. Para ilmuan muslim klasik yang
telah mengharubirukan dunia dengan berbagai temuan kreatif dan karya-karya monumental,
itu bukan hanya para saintis. Tapi juga spiritualis. Hubungan dengan Tuhan mereka kuat
sekali. Sufisme itu memberi bobot lebih tinggi pada bentuk-bentuk kecerdasan yang sudah
mereka punya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 86 | Oktober 2022


MENUJU TUHAN, KREDIBILITASMU HARUS DIHANCURKAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Masih ingat kisah seorang ulama bernama Rumi, yang berguru kepada ahli makrifat bernama
Syams dari Tabriz?
Suatu ketika Syams bertamu untuk makan malam di rumah muridnya, Rumi. Rumi ini ulama
fikih. Orang yang sangat menjaga kredibilitasnya. Sangat menjaga penampilan keulamaannya.
Baju ulamanya tidak pernah lepas. Sebab, syariat atau fikih, itu sangat terfokus pada tampilan
lahiriah. Pada bentuk-bentuk fisik dan kaidah bacaan. Islam dhahir.
Syams rupanya tidak mau makan, sebelum disajikan anggur oleh muridnya. Rumi terkejut.
Kenapa gurunya minum anggur? Bukankah itu haram? Tapi, karena ini proses pembelajaran
sufistik, murid tidak boleh banyak bertanya. Apa maunya guru, wajib dipenuhi. Harus patuh.
Seperti Musa sang ahli syariat, yang kemudian patuh pada semua keganjilan Khizir si ahli
hakikat.
Yang banyak bertanya, itu masih bersekolah di level syariat. Yahudi, itu banyak sekali bertanya.
Bahkan sangat nyeleneh. Sampai memberatkan para nabinya. Karena, ajaran Yahudi kental
sekali syariatnya. Sementara, di kurikulum tarikat hakikat, juga boleh bertanya. Tapi dalam
hati. Nanti Allah sendiri yang akan menjawabnya. Tarikat adalah jalan ruhaniah untuk berguru
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 200
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

secara langsung kepada Allah. Ilmu makrifat adalah ilmu komunikasi transendental, untuk
memperoleh jawaban-jawaban langsung dari sisi Tuhan (ladunna ilma, QS. Al-Kahfi: 65).
Kembali ke Rumi.
Masalahnya, anggur yang diinginkan Syam Tabriz, itu hanya dijual di perkampungan Kristen.
Bagaimana mungkin Rumi kesana. Kalau ketahuan murid-muridnya, pasti hancur
kredibilitasnya. Beli anggur pula.
Tapi, karena cinta dengan gurunya dan sungguh ingin belajar makrifat, akhirnya ia berangkat.
Rupanya, ada warga yang melihat. Heran, kenapa Rumi pada malam itu mengendap-ngendap
ke kampung Kristen. Penasaran, diikutinya pelan-pelan. Lebih mengejutkan lagi, dilihatnya
Rumi masuk ke kedai tuak. “Astaghfirullah”, gumam orang yang sedari tadi membuntuti
Rumi. Orang awam kerjanya memang mengintip kesalahan orang.
Tak tahan, diberitahukan ke warga. Semua berkumpul mengepung kedai tuak. Rumi keluar,
terkejut dia!
Mulailah Rumi di bully, “Ini rupanya ulama yang selama ini kita hormati dan sebut-sebut
sebagai kharismatik. Malam-malam merayap cari tuak!”. Sandal, batu dan kayu berterbangan
ke arah Rumi. Rumi gemetar, malu dan takut sekali. Hancur sudah hidupnya.
Tiba-tiba muncul Syams Tabriz dan berkata, “Hei kalian semua, apa yang kalian lakukan.
Jangan melempar dia. Dia hanya membeli cuka di toko itu. Karena ia ingin membuat makanan
untukku. Bukan tuak itu. Kalau tidak percaya, periksa saja”.
Perlahan, dalam keadaan gemetar Rumi mengeluarkan botol tuak yang ia sembunyikan dalam
jubahnya. Lalu diberikan kepada warga untuk diperiksa. Ia tau, itu memang tuak. Tapi
anehnya, ketika ditumpahkan, ternyata telah berubah menjadi cuka. Itulah karamah Gurunya.
Dunia sufi dan kenabian, dalam kondisi genting, sering muncul banyak mukjizat dan
keajaiban.
Warga pun minta maaf kepadanya. Lalu bubar.
Rumi belum hilang gemetarnya. Disaat itulah sang Guru berkata, “Ini yang kau cari selama ini
Rumi? Kredibilitas dan kehormatan dari masyarakatmu? Sedikit saja keliru, langsung engkau
dihajar oleh mereka. Hidup bukan untuk menyenangkan orang. Bukan untuk mencari
perhatian orang. Tapi untuk menyenangkan Allah SWT, walau engkau dibenci dan dianggap
sesat oleh seluruh manusia”.
Dari ini Rumi menulis sebait kalimat indah dalam Matsnawi, “lupakan kenyamanan. Hiduplah
ditempat dimana engkau takut untuk tinggal. Hancurkan reputasimu. Jadilah terkenal atas
‘kejelekan’-mu”.
“Forget safety. Live where you fear to live. Destroy your reputation. Be notorious”.
RUMI

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 201


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Bukan cuma Rumi, semua nabi hancur kredibilitasnya saat masuk dalam jenjang beragama
lebih tinggi. Awalnya, Muhammad SAW dikenal sebagai “Al-Amin”. Semua itu gelar
pemberian manusia. Itu disaat ia masih mengikuti gaya masyarakatnya. Menjadi tokoh bagi
mereka. Menjadi sosok kolaborator di tengah mereka.
Ulama kita, atau mungkin kita, juga mendapat banyak gelar dari institusi masyarakat: habib, al-
mukarram, maulana, abiya, abon, kiyai, ustadz, teungku, syeikh, al-hafidz, profesor, doktor,
paduka yang mulia, raden, tuwanku, teuku, ampon, datok, daeng, tun, kanda, cut, tuan; entah
apa-apa. Bukan Tuhan yang berikan, tapi orang. Mungkin juga setan. Sebagian gelar itu justru
jadi “beban” (bentuk-bentuk keriyaan). Tersinggung kalau kita tidak dipanggil dengan gelar-
gelar itu. Bahkan ada yang hidup untuk mengejar aneka titel.
Lalu, ketika Muhammad menempuh jalan spiritualitas lebih lanjut, ketika hendak mendekat
lebih akrab dengan Allah, kredibilitas dan popularitasnya mulai hancur. Jadi tokoh sesat dia.
Diteriaki sebagai “orang gila” (majnun, QS. Al-Qalam: 2). Sebab, ia mulai menerima pesan-
pesan lebih lebih tinggi dari langit. Mulai bicara aneh. Ia harus mengajarkan hakikat-hakikat
tauhid kepada manusia. Dan itu pasti berseberangan dengan pandangan-pandangan lahiriah
yang telah berkembang lama.
Mulailah, ia bersama keluarganya diboikot secara sosial dan ekonomi di sebuah lembah sempit
dekat Mekkah, yang dikenal sebagai Syi’ib Abi Thalib. Kecuali pamannya Abu Lahab, Abu
Thalib merasakan derita dan ikut serta membantu dakwahnya. Selama 3 tahun mereka hidup
susah dan kelaparan disana. Setelah embargo selesai, mereka masih mengalami teror. Bahkan
harus ‘lari’ ke Madinah. Semua terjadi hanya karena ia lebih melayani kemauan Tuhan,
daripada selera lahiriah masyarakatnya.

Itu Muhammad SAW. Sosok ganteng. Pemuda sukses. Cucu orang terkenal. Millionaire.
Businessman. Tapi hilang semua kredibilitas dan reputasi (fame) yang pernah ia bangun sejak
muda. Gegara memilih hidup bersama Allah yang sebenarnya.
Allah yang sebenarnya, tentu berbeda dengan Allah “kira-kira”. Allah “kira-kira” adalah nafsu
dan imajinasi kita tentang agama. Kita memang beragama, tapi untuk membangun kredibilitas
di depan manusia. Mencari muka dari masyarakat kita. Ingin dianggap alim dan mulia oleh
mereka.
Allah yang sesungguhnya adalah Allah yang seringkali menginginkan anda menjauh dari
masyarakat, melakukan uzlah, dan mendekat hanya kepada-Nya. Allah yang asli adalah Allah
yang seringkali mengharapkan anda hanya mengabdi kepada-Nya, bukan kepada masyarakat
anda. Kecuali ada perintah Dia untuk membantu masyarakat. Kalau tidak, mungkin lebih
banyak waktu dihabiskan untuk Tuhannya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 202


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Allah yang otentik adalah Allah yang selalu ingin menghancurkan kredibilitas anda dihadapan
masyarakat anda. Dia ingin anda hancur berkeping-keping. Sehingga tak ada lagi yang tersisa,
kecuali Dia. Tapi, ketika anda bertahan bersama-Nya, Dia akan merangkai kembali kepingan
diri anda menjadi sosok agung yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Anda akan menjadi
manusia yang mulia dimata-Nya. Menjadi figur, yang kalau masyarakat tidak hormat kepada
anda, bala bencana pasti akan diturunkan kepada mereka. Anda akan menjadi manusia pilihan
untuk membawa masyarakat kepada hakikat-hakikat agama. Kepada Wujud Allah yang
sesungguhnya.
Pengalaman hancur berkeping-keping ini tidak hanya dialami oleh Nabi Muhammad SAW
saja. Tapi juga Isa as, Musa as, Ibrahim as, Nuh as dan semua nabi dari Tuhannya. Semua
pernah hancur dan terusir, karena memilih bertuhan dengan cara tidak biasa. Lalu diangkat
kembali, menjadi famous sebagai manusia-manusia pilihan-Nya.
Para sufi juga banyak begitu. Dianggap aneh dan gila. Dianggap zindiq dan sesat. Diasingkan.
Hanya karena memilih jalan “khusus” dalam bertuhan. Jalan yang jarang, atau bahkan tidak
pernah dilewati orang awam. Padahal, sufi itu hanya kumpulan orang-orang yang beragama
dengan cara kreatif. Karena kreatiflah maka mereka bisa masuk dalam segala budaya. Mampu
mengislamkan berbagai tradisi yang telah ada. Slogan mereka:
“Jangan takut untuk menjadi berbeda, yang penting Tuhan bersama anda”.
SUFIMUDA
Tapi, akhirnya mereka menjadi paling mulia disisi Tuhannya. Paling banyak karamahnya.
Sebab, semua kredibilitas yang hilang itu, akan diganti dalam bentuk lain yang lebih mulia.
Seperti kata Rumi:
“Jangan bersedih. Apapun yang hilang darimu, akan kembali dalam bentuk berbeda”.
RUMI
PENUTUP. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyuruh anda berbuat maksiat dan keanehan
di depan umum, agar hancur kredibilitas dan dekat dengan Allah. Bukan. Itu salah-salah,
malah bisa menjauhkan kita dari Allah. Melainkan, belajar cara menyerahkan diri kepada
Allah. Agar Allah sendiri yang membangun kredibilitas kita, bukan kita. Juga Allah sendiri
yang akan menjaga kita, bukan kita. Semua terserah Dia, apakah kita harus hancur atau tidak.
Lakukan apapun maunya, walau salah dimata manusia. Yang penting Dia senang.
Tasawuf, irfan atau sufisme adalah jalan untuk mencapai itu. Isinya adalah praktik
(metodologi) untuk “menghancurkan” atau “mematikan” semua
bentuk kredibilitas duniawi kita. Sehingga hanya muncul kredibilitas Ilahi dalam diri kita.
Tentunya harus ada Khizir (Guru) yang membimbing kita untuk mencapai itu.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 203


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 87 | Oktober 2022


BERAGAMA DENGAN DAN TANPA TEKS
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Beragama Tanpa Teks
Hidup yang paling sederhana adalah hidup tanpa kitab, tanpa bacaan. Tapi tau kebenaran.
Mungkin karena itulah, jumlah nabi banyak sekali, ratusan ribu. Dan mayoritas tidak
membawa kitab (teks).
Nabi Muhammad juga begitu. Tidak membawa “kitab” (teks). Ketika turun dari gua Hirak, tak
terlihat ada buku atau kitab yang ditentengnya. Sampai Beliau wafat, tidak tercatat ada proses
serah terima kitab.
Alquran sebagai kitab (buku/teks), itu baru dibuat kemudian. Disusun oleh panitia khusus di
masa Usman bin Affan. Dimasa Nabi, itu masih potongan hafalan. Kalaupun ada catatan, itu
sifatnya parsial dan berserakan di banyak tempat. Umumnya di batu dan kayu. Bukan di
kertas. Artinya, kalau kitab dipahami sebagai kompilasi catatan di lembaran “kertas”, masa
Nabi belum ada kitab.
Jadi, kalau ada ajakan kembali ke jaman Nabi, itu sama dengan mengajak kembali ke jaman
tanpa teks. Jaman tanpa buku cetak (kitab) Al-Qur’an. Jaman dimana interaksi dibangun secara
langsung dengan vibrasi dari “alam ukhrawi”. Zaman dimana Allah dan para malaikat mampu
diajak berbicara. Inilah makna “zaman nabi”. Bukan dalam bentuk perkembangan budaya dan
teknologi. Melainkan dalam keahlian berinteraksi dengan alam-alam yang lebih tinggi (alam
malakut dan rabbani).
Jadi, agama, itu sederhananya bukan teks. Agama sebagai teks, hanyalah kebutuhan untuk
orang-orang kemudian. Seperti Quran, yang disusun dan disalin ulang pada periode kemudian.
Pada periode awal, itu hanya tulisan yang berserakan. Tak ada pembukuan dan penulisan.
Quran terawal adalah “ayat” yang tersimpan dalam dada Nabi. Pada periode ini, Quran itu
“ruh” yang tanazzul dalam jiwa orang suci. Bukan kumpulan tulisan.
Agama, ketika turun pada maqom materi, itu adalah “teks”. Untuk tau informasi, maka harus
dibaca. Lalu ditafsir untuk digali makna. Baharu sifatnya. Sedangkan pada maqom lebih tinggi,
agama adalah “ruh”. Qadim dia. Tidak perlu dibaca, karena dia sendiri yang akan bicara agar
kita mengerti. Dia sendiri yang memberi petunjuk dan pemahaman kepada kita. Agama pada
level ruh adalah malaikat, Kalam Tuhan yang senantiasa berbicara.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 204


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Oleh sebab itu, ulama pada lewat tertinggi adalah kumpulan orang “ummi”. Orang yang cerdas
(fathanah), tapi bukan dengan membaca yang tertulis. Melainkan dengan mendengar “suara
hati” (ilham/wahyu). Mukasyafah-nya tinggi.
Agama semakin hari semakin tereduksi. Semakin jauh dari nabi, agama semakin menjadi teks
materi murni. Kita akan dianggap bidah kalau tidak merujuk kepada “teks” hasil riset Bukhari
Muslem, yang katanya merujuk ke Nabi. Kita akan dituduh sesat, kalau tidak ikut teks Quran
dalam pemahaman literal kelompok tertentu. Sehingga, ajakan kembali ke Quran dan Hadis
hanya dipahami sebagai kembali ke buku “teks”. Bukan kembali ke “ruh”, ke “jibril”, ke
“Quran yang hidup”, ke “qalam awal”, atau ke makna yang azali.
Agama perlahan mengalami proses materialisasi. Pelan-pelan kehilangan elan ruhiyah-nya
(Tuhan yang asli). Terjebak dengan (teks) materi. Padahal, agama yang asli adalah membaca
apa yang ada di “langit”. Bukan mengeja apa yang tertulis di bumi.
Beragama dengan Teks
Saya bukan “anti membaca” atau “anti kitab”. Saya membaca berbagai macam kitab dan buku.
Tapi kita harus kembali kepada “kesadaran pertama”. Yaitu kesadaran ketika kita belum
mampu membuka mata, sebenarnya kita sudah mampu berkomunikasi dengan Tuhan kita
(“Alastu birabbikum, qalu bala syahidna” – QS. Al-Araf: 172). Kita sudah tau Kebenaran, jauh
sebelum bisa membaca. Kecerdasan alami itu telah hilang dari kita. Gara-gara banyak
membaca, terlalu tekstual.
Membaca itu bagus. Akan lebih bagus jika dikombinasikan dengan kecerdasan “laduni”
(kecerdasan pertama). Ilmu pengetahuan di era Islam tumbuh pesat karena dua hal
berikut. Pertama, para ilmuan klasik rajin membaca karya-karya terdahulu dari ‘kafir’ Yunani.
Tidak kafir semua. Banyak diantara mereka diyakini sebagai ahli hikmah bahkan juga nabi.
Hermes Tremegistus misalnya, dipercaya sebagai Idris as. Banyak lagi lainnya.
Kedua, ilmuan-ilmuan ini mampu mengembangkan semua pengetahuan Yunani pada level
lebih tinggi melalui “kecerdasan spiritual qurani”. Sehingga ragam pengetahuan yang lahir
sangat saintifik, sekaligus mencerahkan. Tidak hanya mengembangkan pengetahuan yang telah
ada. Juga ditemukan banyak hal baru yang lahir dari proses uzlah (kontemplasi), yang tidak
pernah ditemukan dalam tradisi Yunani sebelumnya. Setelah periode itu, khususnya sekarang,
kita menjadi jumud lagi. Putus bacaan (kalaupun ada, hanya terfokus pada fikih saja). Juga
putus hubungan dengan Tuhan.
Untuk kembali maju, kita harus banyak “membaca”, sekaligus “tidak membaca”.
Makna membaca adalah membaca karya-karya inovatif, khususnya yang banyak berkembang di
dunIa ‘kafir’ Barat. Sekaligus “tidak membaca”, yaitu melakukan uzlah atau menyambungkan
hati dengan Tuhan. Agar diberi ragam informasi kreatif atas sebuah penelitian.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 205


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dunia “Barat” itu dunia Yunani, dunia membaca. Dunia “Timur” itu dunia diam atau
meditasi. Agama barat adalah agama membaca. Agama timur adalah agama “ummi” (tidak
membaca). Karena itu, ada fenomena menarik. Seorang Nabi akhir zaman, yang
terkenal ummi (QS. Al-Araf: 157-158), ketika pertama sekali hadir langsung meneriakkan
“Iqrak” (QS Al-Alaq: 1).
Saat ia menerima wahyu pertama itu, tidak ditemukan ada teks religius apapun bersamanya.
Jadi apanya yang mau dibaca? Apa perintah Tuhan keliru? Tentu tidak. Sebab, di dunia saat itu
sudah banyak berkembang teks-teks pengetahuan dari Yunani. Itulah yang harus dibaca. Tentu
harus “dengan nama Tuhan” (bismi rabbik), agar pengetahuan-pengetahuan itu hidup kembali.
Kemudian terjadilah “islamisasi pengetahuan”. Ilmu yang telah ada “di zikirkan”, sehingga
semakin berkembang. Ia memerintahkan agar agama timur yang rajin diam dan ber-uzlah,
dikawinkan dengan agama barat yang penuh teks dan suka membaca. Lalu lahirlah Islam
dalam wajah tertinggi beberapa abad kemudian.
Dalam hal ini Allah menegaskan, “Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat” (QS.Al-Baqarah:
115). Kesempurnaan Islam lahir dari perkawinan dua kutub ini: “dengan, sekaligus tanpa teks”.
Kebenaran ini sudah terbukti sebelumnya. Ketika Dzulqarnain misalnya, mampu
menjembatani dunia “barat dan timur”. Karenanya ia menjadi salah satu pemimpin teragung
sepanjang masa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 88 | Oktober 2022


FARWIZA FARHAN, IDENTITAS ACEH DAN SYARIAT ISLAM
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tiba-tiba publik Aceh terkejut, walau senyap. Ada
sosok yang disebut-sebut sebagai perempuan Aceh, masuk “TIME100 Next 2022”. Adalah
majalah ternama, yang setiap tahun mempublikasi figur yang dianggap inspiratif dari berbagai
pelosok dunia. Di cover majalah, ada foto utuhnya. Cerita tentangnya diulas oleh Jane Goodall.
Namanya Farwiza Farhan (36Th). Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Ia dielu-elukan sebagai “leader” karena kontribusinya sebagai tokoh lingkungan dan
konservasionis ekosistem Leuser.
Rakyat Aceh mungkin bingung. Ini betulan Aceh, apa bukan? Sebab, sejak Aceh mendapat
hadiah “Syariat Islam” dari Jakarta pada 2001, Islam tidaknya seseorang, atau Aceh tidaknya
seseorang, itu diukur dari berjilbab atau tidaknya orang itu.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 206


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Alhasil, Farwiza mirip-mirip tidak diakui sebagai Aceh. Dalam artian, tidak ada gegap gempita
untuk menyebut prestasi perempuan Aceh ini sebagai “tokoh dunia”. Ada sih yang
mengucapkan selamat. Banyak juga. Tetapi tidak viral untuk ukuran medsos dan berita lokal.
Mungkin akan lain ceritanya, jika ada sosok “berjilbab” dari Aceh diakui perannya oleh dunia.
Pasti lebih heboh bagi Aceh. Tapi ukuran leadership di muka global kan tidak pada identitas
agama atau jilbab.
Namun, ketokohan seseorang juga bisa lahir dari dua dorongan. Pertama, bottom-up. Leader
lahir dan populer di level grassroot. Kedua, top-down. Leader dimunculkan oleh donor. Pada
kasus Farwiza, saya curiga ia tidak dikenal oleh publik awam Aceh. Kecuali pegiat kehutanan.
Tapi yang jelas, untuk menjadi leader, anda tidak selalu harus dikenal. Terkadang anda harus
bekerja dalam kesunyian. Tapi kerja nyata anda suatu waktu dapat memberi pengaruh besar
bagi yang lain.

Beberapa aktifis luar Aceh sempat bertanya. Aneh juga, kenapa keberhasilan Farwiza tidak
mendapat applause memadai dari orang Aceh. “Ah, mungkin orang Aceh sudah terlalu berat
dengan urusan ekonomi, tak cukup waktu mengapresiasi orang sukses”, kami berseloroh.
Aktifis lainnya juga menggugat, sebenarnya seperti apa sih yang disebut sebagai “Aceh”.
Identitas seperti apa yang akan diakui sebagai “Aceh”. Ujung pertanyaannya: “Apakah harus
berjilbab untuk diakui sebagai Aceh? Tapi kenapa foto pejuang perempuan Aceh dulu banyak
yang tidak berjilbab dan sangat diakui sebagai Aceh?”
Berat pertanyaannya. Karena terkait bagaimana posisi jilbab dalam hukum Islam dan sejarah
identitas Aceh.

Menjawab ini, kami harus mengurai kembali 2 mazhab pemikiran tentang jilbab dalam Islam.
Kedua pemikiran ini mempengaruhi dinamika jilbab di Aceh dari masa ke masa.
PERTAMA, jilbab dipahami sebagai baju kurung. Bentuknya longgar, sopan memanjang dari
leher ke kaki. Setengah ke bawah juga sering tertutup rapi dengan sarung. Bagian kepala sering
terbuka. Paling memakai selendang saja. Itupun rambutnya masih kelihatan.
Aceh dulu, punya pemahaman seperti itu. Paling tidak, itulah fashion masyarakatnya waktu
itu. Makanya, foto-foto pejuangnya terlihat banyak begitu. Orang tua dan nenek-nenek kita di
Aceh juga banyak yang begitu. Bukan karena mereka dan ulama-ulama masa itu tidak paham
Islam. Tapi itulah pemahaman keislaman terbaik mereka dulu.
Dulu tidak ada cerita tentang perempuan yang dirazia, ditangkap dan dicukur rambutnya
gegara tidak memakai kerudung. Dulu terlihat bebas-bebas saja. Dalam artian, sopan. Tidak
mengedepankan fashion berlebihan, atau buka-bukaan.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 207


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kalaupun pada masa itu ada yang menutup kepala secara utuh, itu dianggap lebih mulia dan
terhormat. Ada ditemukan foto-foto orang Aceh tempo dulu yang keseluruhan fisiknya
“terbungkus” kain dengan rapi. Itu masuk dalam simbol-simbol kesucian. Semacam sosok
“Bunda Maria” atau istri-istri Nabi lainnya, yang memang diperintahkan untuk seperti itu.
KEDUA, jilbab dipahami sebagai WAJIB menutup kepala, tanpa terlihat sehelai rambut pun.
Ini menguat sejak 2001, saat formalitas syariat Islam diberlakukan. Pelan-pelan, model ini
menjadi semacam “pemaksaan” oleh pemerintah yang telah memutuskan masuk dalam
pemahaman model keagamaan tertentu. Sehingga seolah-olah itu satu-satunya model
berpakaian dalam Islam.
Di beberapa kampus, perempuannya malah tidak dibolehkan bercelana. Harus memakai rok.
Di kabupaten tertentu, pernah perempuan dilarang mengangkang saat boncengan di kendaraan
bermotor. Semua ini tidak terlepas dari “penafsiran” terhadap syariat untuk menjadi produk
hukum dari kelompok kekuasaan tertentu. Sampai kaku begitu. Dalam hal “jilbab”, memang
perempuan yang jadi objek sasaran.

Kita tidak tau, apakah cara berpakaian perempuan di Aceh akan tetap diregulasi seperti itu,
atau akan menguat kepada bentuk “burqa” (jilbab) yang hanya terlihat matanya saja. Seperti di
Afghanistan atau belahan Arab lainnya. Atau justru akan ikut Arab Saudi yang mulai liberal
dan terbuka. Itu tergantung siapa yang berkuasa, jenis pemahaman agama dan visi yang
diusungnya.
Dalil jilbab memang ada. Disebut dalam teks suci dan hadis-hadis Nabi. Tapi definisi dan
batasannya dipahami beragam. Sama halnya dengan pemahaman “aurat” yang juga berbeda
antar mazhab dalam Islam. Pemahaman historis dan sosiologis jilbab juga begitu. Dinamis
memang.
Tapi, dalam kondisi zaman yang pemikiran tentang jilbab sedang mengalami “radikalisasi”,
anda tidak mudah menentangnya. Sosok ahli tafsir ternama semacam Quraish Shihab pun bisa
kena bully, dituduh liberal, karena sempat memaparkan pandangan lunaknya terkait jilbab.
Pandangan beliau adalah seperti poin pertama di atas terkait pemahaman jilbab. Seperti yang
diamalkan oleh masyarakat Aceh dulu.
Radikalisasi dalam dunia Islam sebenarnya juga bukan sesuatu yang tidak beralasan. Ada yang
percaya itu sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni barat yang dianggap suka
melakukan “komersialisasi” terhadap perempuan, dalam isu kebebasan. Budaya barat suka
buka-bukaan. Boleh ketat. Boleh sexy bahkan telanjang. Perempuan dilacurkan untuk
mengiklankan barang. Lalu ditubruk dengan “jilbab” yang dianggap sebagai bentuk
penindasan. Terjadilah perang budaya.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 208


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dari sini, mungkin lahir jenis pemikiran yang “MEWAJIBKAN” perempuan menutup seluruh
tubuh dan kepalanya. Sehingga tidak ada ruang bagi agenda kapitalisme untuk merongrong
bentuk-bentuk kearifan dan kesopanan lokal Islam. Sebab, Aceh juga pernah dilanda
gelombang “keterbukaan” ini. Pernah mengidap pelacuran terbuka di simpang-simpang jalan.
Sehingga, ‘radikalisasi’ syariat dianggap perlu oleh kelompok keagamaan tertentu guna
melawan arus seks bebas, feminisme dan hedonisme fashion.
Kami melihat, bentuk dan pemahaman tentang jilbab ikut mengalami perubahan sesuai
konteks zaman. Untuk kasus Aceh, dulu “terbuka”. Sekarang “tertutup”. Di Saudi, dulu
“tertutup”. Sekarang mulai “terbuka”. Banyak negara Islam mengalami hal serupa.
Kalau ditanyakan, apakah ada hubungan jilbab dengan tingkat religiusitas seseorang?
Jawabannya, bisa iya. Bisa tidak. Ada orang yang setelah rasa beragamanya meningkat, dia
memilih berjilbab. Banyak orang berjilbab yang akhlaknya terpuji. Ada juga yang selalu
berjilbab, tapi perilakunya seperti orang yang tidak beragama. Jilbab itu hanya jenis pakaian. Isi
dalam (akhlak) beda-beda.
Yang tidak berjilbab juga begitu. Banyak sekali yang baik hati dan bagus kerjanya. Ada juga
yang tidak berjilbab dan sangat terbuka dan buka-bukaan. Karena memang tidak tau mau
ditampilkan apa, selain lekuk tubuhnya. Mungkin artis banyak yang begitu.
***
Ya, begitulah Farwiza. Sosok Aceh berpenampilan klasik dan berprestasi. Kebetulan hidup di
era Aceh yang sedang giat dengan formalisasi syariat. Kalau lupa tutup kepala, bisa dicurigai
sebagai bagian dari feminisme radikal kita. Bisa dianggap kurang nilai ke-Aceh-an
kita. Anyway, selamat atas prestasinya. Terus beribadah. Terus berkarya dengan apapun
pakaian yang anda punya. Dengan atau tanpa jilbab. Semoga lingkungan dan ekosistem Leuser
tetap lestari adanya. Semoga kita mewarisi Aceh yang semakin baik untuk anak cucu kita.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 89 | Oktober 2022


SUFI, HALAL HARAM SENI DAN KEHADIRAN TUHAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Main domino, kalau tidak membuat kita ingat kepada Allah, itu “riya'”, sia-sia. Main musik,
kalau tidak membuat kita ingat kepada Allah, itu juga “riya”, sia-sia. Minum kopi pun begitu,
kalau tidak membuat kita ingat kepada Allah, itu “riya”, sia-sia. Sholat juga sama, kalau tidak
membuat kita ingat kepada Allah, itu “riya”, sia-sia.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 209


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Semua pekerjaan akan bernilai ibadah, kalau membuat kita ingat kepada Allah. Semua
pekerjaan juga akan menjadi “riya” (evoria), kalau tidak membuat kita ingat kepada Allah.
Ingat kepada Allah menjadi sentra dari “halal-haram” sebuah kerja dan aktifitas. Tidurpun,
kalau tidak hadir Allah, akan didatangi setan. Tidur jadi bermasalah. Karena itu, halal atau
haramnya sebuah pekerjaan, bukan sekedar karena adanya persepsi buruk atas pekerjaan itu.
Seringkali, itu tergantung pada “hadir” atau tidaknya Allah.
Karena itu, para pendakwah awal, hadir ke sebuah wilayah bukan untuk “membasmi” total apa
yang telah berkembang. Justru melakukan “islamisasi”, menghadirkan Allah pada adat dan
tradisi. Bahkan memberi warna baru pada agama yang telah duluan ada disana. Banyak masjid
kuno di Indonesia, justru pengalihan dari bangunan ibadah Hindu. Dari arsitekturnya kita tau,
dengan atap bertingkat-tingkat, tempat sholat kita pada awalnya adalah Pura. Dulu disitu
hanya terdengar mantra-mantra, kini diganti dengan doa-doa.
Para sufi sangat adaptif dengan tradisi lokal. Mereka hadir untuk memberikan warna “Islam”
pada apapun yang ada. Bahkan, adu ayam pun dibuat jadi syar’i. Sebelum adu ayam, Sunan
Kalijaga menyuruh para jagoannya membaca Kalimah Syahadat (“Kalimasodo”). Sesederhana
itu. Tidak seradikal pendakwah di akhir zaman ini. Sikit-sikit bidah. Sikit-sikit haram. Sikit-
sikit syirik. Zina sekalipun, itu sebenarnya haram. Tapi dibuat menjadi halal, tok gara-gara
diberi sedikit ‘aqad dimuka. Katanya, Bank Syariah juga begitu. Gara-gara ada ‘aqad, jadi Islam
dia. Walau pelayanannya masih begitu-begitu juga. ATM juga susah keluar
uangnya. Bunga diganti jadi margin. Istilah Inggris diganti Arab. Jadi Islam semua. Apa
susahnya!
Dalam tradisi sufi juga begitu. Doa-doa Arab bisa diganti dengan bahasa ibu. “Allah” bisa
menjadi “Khoda” (Persia), “Gusti” (Jawa), “Po” (Aceh) dan sebagainya. Sufi menginginkan,
hubungan manusia dengan Allah tidak harus selalu dibatasi dengan “bahasa asing”.
Berbicaralah dengan Allah dalam bahasa yang kita pahami. Setidaknya kita juga tau apa yang
kita minta. Allah pun maha cerdas, paham semua bahasa.
Bahkan sholat kita semua, itu bercampur bahasanya. Secara lisan bahasa Arab. Tapi dalam niat,
dalam hati dan pikiran, ada bahasa terjemahan atas apa yang kita ucapkan. Kalau tidak, susah
khusyuk. Sebab, tidak paham apa yang kita baca. Khusyuk itulah inti ibadah. Kalau beribadah
tidak paham arti, kata orang Aceh, itu seperti “Cina main seudati”. Gerak dan ucapan
sholatnya mungkin sangat fasih. Tapi tidak tau apa makna dari syair-syair yang diucapkannya.
Sufi itu agak fleksibel, pada sisi syariat. Tapi ketat sekali pada dimensi hakikat. Agama yang
awalnya berdimensi “Arab”, bisa di convert menjadi “Nusantara”. Menjadi apapun dalam
tradisi lokal dimana Islam berada. Menjadi “Cina”. Menjadi “Melayu”. Menjadi “India”.
Menjadi “Afrika” dan sebagainya. Islam yang universal, bisa menjelma dalam aneka khazanah

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 210


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

lokal. Sebenarnya, mazhab fikih juga sering begitu. Tidak berlaku di semua tempat. Hanya
untuk kelompok tertentu, dipaksakan pada daerah tertentu.
Cuma terkadang ahli fikih sangat kaku dengan dalil-dalil tertentu. Para sufi justru mampu
melunakkan itu. Musik misalnya, ada ulama yang keras mengharamkannya. Alasannya macam-
macam. Terkadang juga dipengaruhi psikologi sang ulama, yang memang tidak punya ruh
musik dalam dirinya. Sebagian besar sufi, justru memanfaatkan musik untuk membangun
“rasa” dalam beragama. Menjadi media dalam berdakwah. Apa yang haram di luar sana, kalau
dibawa kehadapan sufi, bisa halal semua itu. Sejauh Allah-nya bisa dihadirkan pada semua
dimensi.
Karena, yang disebut “akhirat” dalam kosmologi sufi adalah “kehidupan duniawi yang
bertuhan”. Sufi itu mengejar dunia, yang bertuhan. Kalau ada sufi yang lari dari dunia, itu
jangan-jangan jenis sufi yang tidak menemukan Tuhan di dalamnya. Curiga kita, sufi tersebut
belum makrifat. Belum sampai ke Tuhan.
Lihat Nabi Muhammad SAW, apa yang tidak dikejarnya. Apa yang tidak dimilikinya. Uang
melimpah, saat jadi pengusaha. Terakhir, jadi Presiden Arab beliau. Istri pun ada 12. Allah pun
selalu bersama, tidak pernah berpisah dengannya. Beliau juga senang saat kedatangannya di
Yatsrib (Madinah) pada 622 M disambut kaum Anshar dengan dendangan syair lagu “thola’al
badru ‘alayna”. Sempurna sekali dunia dan akhirat Nabi kita. Bisa kita tiru itu?
Makanya, kalau ada orang yang hidupnya sangat suntuk, kaku, keras, ekstrim, dan radikal;
curiga kita, mereka belum merasakan dunia sufi sesungguhnya. Coba perhatikan, yang paling
getol “mengharamkan” sufi adalah rombongan ISIS dengan berbagai varian takfirisnya.
Agamanya sangat kuat. Tapi hatinya “benak”. Hidup mereka seperti kurang hiburan. Bertauhid
tanpa musik. Bertuhan tanpa menari. Mengaji tanpa bernyanyi. Perempuan mereka suka. Tapi
diperbudaknya.
Karena itulah agama para sufi sangat rileks dan toleran. Sangat ritmis. Sangat elegan. Sangat
estetis. Seni budaya, itu rata-rata lahir dari kecerdasan iluminatif para syekh. Di Aceh ada
“Saman”. Itu dari tradisi Samaniyah. Ada Rapa-i. Itu dari Rafaiyah. Tanpa sufi, mungkin kita
hanya tau sholat dan puasa saja. Tidak mengenal tari dan irama. Tanpa sufi, mungkin Islam
akan menjadi agama paling suntuk di dunia.
Sufi adalah kelompok yang menganggap dunia ini hanya permainan dan senda gurau (hedon).
Karena itu harus dibuat lucu. Harus dinikmati. Harus diberi nilai seni. Dengan syarat, Allah
hadir untuk meliputi. Dengan demikian, dunia ini, bagi para sufi, adalah petualangan bersama
Tuhan, sebelum kembali ke kampung yang asli.
Jadi, sufi itu hedon memang. Tapi bertujuan. Mereka melukis untuk merangkum Tuhan.
Bermusik untuk merasakan Tuhan. Menari untuk mentawafi Tuhan. Bernyanyi untuk memuji

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 211


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Tuhan. Sholat untuk menemani Tuhan. Bangun malam untuk mencumbui Tuhan. Bahkan ada
yang ngopi pagi dan petang, untuk menunggu wahyu dari Tuhan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 90 | Oktober 2022


2024, AKANKAH KEMBALI MENJADI HAJATAN POLITIK PENUH HUJAT?
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Wahai para pecinta demokrasi, yang muncul 5 tahun sekali, untuk membuat rusuh di negeri
ini. Usunglah presidenmu, seolah-olah dia tak bercela, tak berdosa walau seujung kuku. Siapa
dia; Anies, Ganjar, Prabowo? Siapa orang suci kalian itu?
Lalu siapa yang kalian anggap setan? Serang. Seolah-olah mereka iblis komunis, atau nasionalis
kafiris, atau arab fanatis, atau islam fundamentalis. Cercalah calon presiden yang tak kau suka.
Seolah-olah mereka itu drakula bertaring buaya, yang akan menghisap darah sampai ke ubun-
ubun kalian semua.
Wahai pemuja Pemilu, tikamlah saudaramu. Dengan kampret. Dengan cebong. Dengan
kadrun. Dengan buzzer. Dengan komunis. Dengan apapun yang menghinakannya. Basahi
lidahmu dengan segala bentuk curiga, sampai engkau puas dalam dada.
Demokrasi yang sakral telah berubah menjadi pesta para penghujat. Menjadi irama para
pendusta. Menjadi musik para pembunuh. Menjadi hiburan tukang fitnah. Menarilah kalian
dalam kubangan benci dan pilu. Mungkin kenikmatanmu hanya ada dalam kotoran itu.
Pemilu, alih-alih melahirkan pemimpin suci, yang kita pertontonkan justru benci. Melahirkan
bangsa yang kesantunannya tercabik sampai ke urat nadi. Menciptakan masyarakat yang
dendamnya tertanam jauh di hati. Yang otaknya diliputi kebencian. Yang mulut dan
komentarnya terkadang lebih bau dari kubangan najis hitam.
Kita tidak tau, berapa skala gempa yang kita butuhkan. Jenis tsunami apalagi yang harus
datang. Untuk mendamaikan pertikaian. Untuk membersihkan negeri ini dari politik penuh
hujatan. Dari Pemilu tanpa ruh. Dari demokrasi tanpa qalbu.
2024, akankah kembali membelah persaudaraan di negeriku?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 91 | Oktober 2022

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 212


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

SPIRITUAL SAFETY SENSE


Oleh Said Muniruddin │ The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Sekarang ada jenis kendaraan yang menggunakan fitur “safety sense”. Teknologi canggih ini
memungkinkan sebuah kendaraan untuk mendeteksi keadaan lingkungan dan potensi bahaya
secara akurat. Sehingga, keselamatan penumpang lebih terjamin.
Pada inovasi produk MPV terbaru, Veloz Q TSS misalnya, Toyota menempatkan teknologi
kamera serta sensor lasernya di berbagai bagian badan kendaraan. Teknologi ini berfungsi
untuk empat hal: Pre-Collision System, Lane Departure Alert, Automatic High-
beam, dan Road Sign Assist.
Dalam fungsinya sebagai Pre-Collision System, kamera serta sensor laser mampu mendeteksi
jika ada kendaraan lain yang menerobos/menyelip, atau ada penyeberang yang lewat secara
tiba-tiba. Sehingga ada alert yang muncul untuk mengingatkan agar tidak terjadinya tubrukan.
Artinya, seorang pengemudi akan memperoleh “peringatan dini” ketika ada potensi bahaya.
Sebagai Lane Departure Alert, kamera serta sensor laser mampu memindai garis marka jalan.
Pengemudi diberi peringatan bila tidak sengaja keluar dari jalur. Artinya, saat berada di jalan,
kita diharapkan tetap berada di jalan yang “lurus”, tidak berpindah jalur secara sembrono.
Sebab, itu bisa dideteksi sebagai mengantuk sehingga cepat-cepat diperingatkan. Kecuali kita
terlebih dahulu menghidupkan lampu sein.
Sebagai Automatic High-Beam, kamera serta sensor laser juga bisa bekerja pada malam hari.
Potensi bahaya mengemudi malam hari lebih besar dibandingkan siang. Bila lingkungan di
depan minim cahaya, sistem secara otomatis mengubah pencahayaan dari low beam (lampu
dekat) ke high beam (lampu jauh). Sehingga visibilitas pengemudi tetap terjaga dan
mengantisipasi adanya mobil dari arah berlawanan. Fitur ini juga mampu memindai kendaraan
dari arah berlawanan. Jika mobil kita sedang menggunakan high-beam (tentu silau bagi
pengendara yang datang dari arah depan), maka sensor akan otomatis berpindah ke low beam.
Sehingga mobil lain tetap bisa berkendara lebih aman tidak khawatir silau dari cahaya mobil
kita.
Terakhir, dalam fungsinya sebagai Road Sign Assist, fitur sensor ini juga bisa membaca rambu
lalu lintas. Lalu menampilkan rambu tertentu tersebut pada layar MID di panel instrumen.
Sehingga, bila pengemudi tidak melihat, fitur ini memberi peringatan akan adanya larangan
atau batas kecepatan di jalan. Diharapkan fitur ini bisa membuat pengemudi lebih patuh
terhadap rambu lalu lintas selama perjalanan.
***

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 213


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Melalui penambahan fitur camera dan sensor ini, sebuah kendaraan akan memiliki “kecerdasan
iluminatif”. Mobil jenis ini akan mampu melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mobil biasa
lainnya. Mobil-mobil seperti ini tentu menjadi kasyaf dan sensitif terhadap segala sesuatu. Ia
mampu menangkap informasi-informasi “rahasia/tersembunyi” yang dibutuhkan seorang
pengendara sepanjang perjalanan. Tujuan spiritual censor system ini tentu untuk menyajikan
data yang sifatnya “real-time” tanpa delay, sebagai petunjuk untuk keselamatan dalam
perjalanan.
Tipe kendaraan seperti ini sudah masuk kategori khusus, istimewa dan mahal (khawasul
khawash). Karena sudah beroperasi secara “automatic”. Tidak lagi manual. Dalam artian, kalau
berkendara di jalan, anda tidak perlu lagi membuka buku-buku manual untuk mengetahui
sesuatu. Sebab, sekujur kendaraan sudah “berbicara” sendiri. Sambil melaju di jalan, selama
sensornya hidup, mobil ini akan secara terus-menerus menginformasikan kepada anda info
“baik-buruk” sesuatu. Dalam bahasa agama, mobil ini ada unsur “malaikat”-nya, yang
senantiasa membisiki. Ada bunyi gemerincing “lonceng” (alarm) sepanjang jalan. Sehingga,
anda terus di guide untuk berada di jalan yang benar, dijauhkan dari marabahaya.
Teknologi sensor seperti ini tentu sangat penting. Sebab, manusia tidak
sepenuhnya aware akan apa yang ada disekelilingnya. Sehingga ada “mata” lain yang selalu
mengawasi dan memberitahukan kita apa yang patut kita ketahui selama perjalanan.
***
Spiritual Safety Sense (Muraqabah)
Itu dunia otomotif. Seperti itu pula mekanisme kerja alam spiritual manusia dengan berbagai
kecanggihan fitur “Spiritual Safety Sense”-nya.
Manusia adalah kendaraan yang sedang melaju di jalanan dunia. Gelap sekali. Tanpa “cahaya”
dalam dada (spiritual censor system) kita tidak seluruhnya tau apa yang ada di depan. Kita
tidak sepenuhnya sadar terhadap apa yang melintas. Kita tidak punya alat untuk mendeteksi jin
dan setan, yang merupakan musuh utama kita, yang sepanjang waktu muncul menghadang;
dari muka, belakang, kanan, kiri, atas atau bawah. Kemudian, pasti aku (iblis) akan
mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka… (QS. Al-Araf:
17).
Tanpa camera dan censor system, kita menjadi awam (bodoh) dan pasti akan melabrak
semuanya. Intelektual kita tidak selalu sanggup memahami sesuatu secara real-time. Kesadaran
kita sangat terbatas. Kecuali ada perangkat lain yang “maha hidup” dalam diri kita, yang
senantiasa memberi warning tentang “benar-salah” sesuatu, secara tepat waktu (timelinesss).
Itulah wahyu (ilham/informasi yang sifatnya langsung) dalam wujud censor system yang hadir
secara aktual dan kontekstual (real-time). Yang dengan teknologi spiritual seperti inilah para

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 214


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

nabi selalu dalam keadaan selamat imannya dan “terjaga” (maksum/suci). Demikian juga
dengan para wali-Nya.
Sebagian besar manusia masih hidup dengan perangkat manual. Masih banyak yang membaca
manual kitab untuk mengetahui sesuatu. Tidak salah juga. Pada level ini, kebenaran masih
pada level text-book. Sedangkan yang lain sudah “ummi”. Sudah meninggalkan bacaan, lalu
hidup dengan perangkat-perangkat sensor otomatis. Bahaya atau tidak bahaya, halal atau
haram sesuatu, bagi yang sudah hidup dengan fitur spiritual censoric system, itu tidak lagi
berdasarkan definisi kitab dan hafalan otak. Kebenaran tidak lagi menurut referensi teks,
argumentasi dan persepsi akal. Dia sudah tidak lagi sibuk berfikir. Melainkan ada “otak” lain
yang berfikir untuknya. Dia akan “diberitahu” secara langsung (laduniah) lewat sistem
spiritualnya. Dalam dirinya ada “camera dan censor” (mata dan sinyal ruhaniah) yang sifatnya
sangat batiniah. Tidak terlihat memang. Tapi hidup dan bekerja sepanjang waktu.
System censor ini merupakan “wasilah”, media penangkap/pembawa sinyal atau gelombang-
gelombang Ilahiyah. Atau juga disebut sebagai “malaikat-malaikat” penjaga dengan “mata”
(kamera) yang selalu mengawasi, mendampingi, membisiki, dan mengarahkan. “Baginya
(manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan
belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah… (QS. Ar-Ra’d: 11). Terkadang, sinyal-
sinyal sensorik malakut ini akan ditampilkan pada “layar mental” (dashboard qalbu) dalam
bentuk image dan visual yang nyata. Sebagian lain mungkin hanya berupa gemerincing
“lonceng” (alarm) yang memiliki makna, pesan dan petunjuk tertentu.
Spiritual Safety Sense (Muraqabah) merupakan perangkat teknologi spiritual, yang sebenarnya
sudah melekat pada wadah fisik setiap manusia. (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari
tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya
terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman),“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab,“Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”… (QS. Al-Araf: 172). Melalui
perangkat ini memungkinkan anda untuk merasakan dan mendeteksi kehadiran Tuhan yang
“laitsa kamislihi syaiun” itu. Diperangkat qalbu inilah Dia yang sebenarnya tidak terjangkau
dengan perangkat standar fisik manusia; kemudian menjadi terlihat, hadir dan bertajalli. Dapat
diajak berkomunikasi.
Namun, perangkat sensorik ruhaniah ini harus terlebih dahulu diaktivasi melalui serangkaian
proses “spiritual manufacturing” (mujahadah suluk) di bawah kontrol/bimbingan seorang
“operator ruh” (jibril/walimursyid). Baru setelah itu anda punya kekuatan “musyahadah”
(muraqabah). Punya mata baru untuk melihat atau menyaksikaan sesuatu yang sebelumnya
tidak terlihat. Kemampuan merasakan kehadiran Allah. Kemampuan melihat Allah. Itulah
yang dialami Musa, Isa, Muhammad dan semua nabi. Mungkin kita juga harus mengikuti

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 215


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

langkah mereka, agar sensor spiritual kita aktif kembali. Agar kita menjadi jenis ‘kendaraan’
moderen dan high-tech.
Saya curiga, Islam akan menjadi agama terkebelakang, kalau spiritual kita tidak di up-grade ke
kelas nabi. Tidak untuk menjadi nabi. Tapi untuk menauladani bentuk dan kecanggihan
spiritual mereka.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 92 | Oktober 2022


“KHITTAH”: GARIS RUHANIAH DAN SILSILAH KEMENANGAN
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Dalam bahasa Inggris, “semangat” disebut “spirit”. Kata spirit ini juga diartikan sebagai “jiwa”
atau “ruh”. Orang yang hidupnya bersemangat dan bahagia, itu ruh/spiritnya bagus. Orang
seperti ini biasanya menang terus. Ruhnya menjadi magnet yang menarik berbagai
keberhasilan.
Sebaliknya, kalau hidup mulai diliputi rasa was-was dan putus asa, itu pertanda mulai ada
masalah dengan ruh/jiwa. Pun ketika perilaku mulai negatif, suka curiga, sinis dan mencerca
misalnya; itu juga pertanda jiwanya sedang bermasalah. Orang macam ini sering gagal dalam
hidup. Ruhnya sakit.
Karena itulah, agama dan umat manusia diserahkan kepada orang-orang sekelas nabi. Sebab,
“semangat” mereka tinggi sekali. Tidak mungkin tugas-tugas kekhalifahan dan pembinaan
umat diserahkan kepada manusia-manusia yang hidupnya pesimis dan penuh keraguan.
Apalagi kepada orang-orang malas.
Para nabi, ideolog atau mujahid-mujahid agung; itu tingkat “kecerahannya” tinggi sekali.
“Wajahnya bercahaya” (enlightened). Sudah ada getaran Tuhan bersama mereka. Jiwa mereka
sudah terisi sebuah visi besar kemana dunia atau komunitasnya harus dibawa. Karena vibrasi
ruhnya tinggi, hidup mereka selalu dalam keadaan “terjaga” (makhluk sadar). Sisi ruhnya
sudah lebih aktif daripada sisi materialnya.
Orang-orang seperti ini biasanya sudah kurang jam tidurnya. Bahkan susah kalau tidur terlalu
lama. Tapi sehat-sehat saja. Berbeda dengan kita yang ruhnya masih bermasalah. Masih suka
tidur. Bahkan malas bangun, khususnya untuk zikir malam atau subuh.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 216


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Karena itulah; jiwa para nabi, wali, imam, mursyid atau guru-guru spiritual sangat aktif dan
tidak pernah tidur. Ruh mereka bahkan sudah mengalami “sublimasi”. Hidup dan hadir
dimana-mana. Ruh mereka telah menjadi saksi atas apa yang terjadi. Kapanpun dipanggil, pasti
datang. Karena itulah salam kepada Nabi siang malam kita ucapkan. Kalau tidak didengar dan
dibalas, ngapain buang-buang waktu bersholawat kepada orang yang sudah mati.
Kenyataannya, Allah dan malaikat selalu bersholawat kepada Nabi (QS. Al-Ahzab: 56).
Artinya, hanya orang-orang beriman yang sudah sampai ke Allah dan para malaikat, yang
mampus secara efektif berkomunikasi dengan Nabi.
Orang-orang tercerahkan adalah orang-orang yang jiwanya telah dihampiri “malaikat”. Telah
mendapat “celupan” Ilahi. Karena itulah, metode standar yang digunakan untuk mencapai
tingkat optimum kecerahan jiwa adalah “suluk” atau “khalwat”. Ibrahim as, Musa as, Isa as,
Muhammad saw dan lainnya; semua melakukan itu. Sampai mereka bersentuhan dengan
“malaikat”. Sampai ruhnya tersucikan. Sampai tembus ke alam Rabbani.
Memang, mereka itu juga intelektual. Orang-orang yang cerdas sejak awal. Para pekerja semua
itu, pebisnis, politisi dan sebagainya. Semangat juangnya kuat sekali. Sejak awal memang sudah
tampil sebagai pembela masyarakat. Tapi ada titik dimana jiwa mereka buntu, sampai
kemudian menemukan Tuhan. Musa yang cerdas dan bersemangat misalnya, pada akhirnya
juga harus menemui Khidir untuk mengup-grade ruhaninya. Kalau tidak, mentok ruhaninya.
Karena itu, mereka mengasingkan diri ke gunung, gua, atau ruang spiritual tertentu. Agar
menemukan jiwa, visi dan semangat baru. Tanpa meng-up grade diri sampai ke tingkat
tertinggi; mustahil menjadi “Khalifah Allah”. Tapi, ketika ruhnya berhasil diperbaharui, mereka
bahkan punya berbagai kekuatan yang mampu bertindak sebagai wakil Tuhan, bahkan untuk
memberi syafaat dan keampunan. Apa yang kita sebut sebagai “rahmatal lil-‘alamin” itu
sesungguhnya adalah jenis orang-orang yang memiliki qudrah iradah untuk mentransfer energi
Ilahiah. Bahkan mampu menjamin orang untuk masuk surga. Keyakinannya sudah pada level
“Haqq”. Sebab, kalau kita sendiri tidak jelas apakah akan masuk surga atau tidak, kenapa rajin
kali dakwah dan maksain orang ikut kita.
Itulah pentingnya meng-upgrade spirit, sampai terhubung/berjumpa dengan ruhani-ruhani
yang lebih tinggi. Ruhani suci. Ruhani para nabi. Ruhani malaikat. Sebenarnya, disinilah letak
praktik berguru dan bertawasul. Tujuannya untuk menyambungkan silsilah ruhani (spirit) kita
dengan ruhani (spirit) yang lebih tinggi, sehingga sampai kepada Allah (Ruhullah). Fungsi
ziarah ke makam nabi dan para wali sebenarnya juga itu. Untuk membangun kontak dengan
ruh yang sebenarnya tidak pernah mati itu.
Nabi Muhammad saw misalnya, bagaimana pada malam israk mikraj menunjukkan hubungan
dan kontak langsungnya dengan (ruh) para nabi yang tidak pernah mati itu. Ia bahkan menjadi
imam sholat mereka semua. Ini indikasi bahwa Beliaulah yang memegang otoritas spiritual

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 217


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

terkini. Sekaligus menunjukkan pertalian sanad ruhaniah Beliau dengan mereka semua.
Hubungan ruhaniah itu sifanya langsung dan nyata!
Ketika Islam disebut sebagai agama “spiritual”, maka koneksi spiritual menjadi sangat penting.
Ketika jiwa kita tidak terhubung dengan para “arwahul muqaddasah”, dengan “ruh-ruh suci”,
atau dengan “jiwa malaikat” itu; power kita akan melemah. Kita akan menjadi buih di lautan.
Sebab, hanya sisi “malaikat” yang terus menerus bertasbih, bekerja dan menang. Hanya
malaikat yang tauhid dan semangat jihadnya tinggi sekali. Tanpa software ini, kita akan
ambruk dan melanglang dalam peta politik yang tidak jelas. Tidak jelas arah. Gerakan-gerakan
kita mungkin hanya sebatas evoria saja. Akhirnya menjadi pragmatis, oportunis dan avonturir.
Nabi menang pada 27 kali perang selama hidupnya. Itu bukan karena sekedar jago strategi.
Tapi karena mampu menurunkan para “malaikat”. Bayangkan, 22 tahun bertempur dalam
aneka medan perang, menghadapi musuh bersenjata lengkap dan seringkali dalam jumlah tak
terbayangkan, itu tidak mungkin terus-menerus menang. Kecuali, ada ruh tak terkalahkan
dalam diri pasukannya. Ada spirit agung dalam jiwa para petempurnya. Ada “malaikat”
bersamanya:
‫دﰼ ِ َلْ ٍف ِّم َن الْ َم ٰلۤى َك ِة ُم ْر ِد ِف ْ َﲔ‬
ْ ُ ‫اب لَ ُ ْﲂ َا ِ ّ ْﱐ ُم ِم‬
َ َ َ‫ِا ْذ َ ْس تَ ِغ ْيﺜ ُْو َن َر ُ ْﲂ فَ ْاس ت‬
(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia mengabulkan(-nya)
bagimu (seraya berfirman), “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu
berupa seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfāl [8]:9)
Kita juga begitu, tidak mungkin menang dalam berbagai usaha (dalam arti paling sakral)
kecuali telah menjalani “penyucian jiwa”. Telah aktif dimensi suci dari ruh kita, telah hilang
‘patung-patung’ dalam diri sehingga bersedia hadir malaikatnya. Sebab, medan juang yang kita
tempuh adalah melawan musuh paling nyata, yaitu iblis/setan (khususnya yang ada dalam diri
kita). Tanpa spirit malaikat, mustahil menang. Tanpa jiwa yang tercerahkan, mungkin kita
akan hidup dengan semangat musiman. Ugal-ugalan. Dengan pikiran kotor tak karuan. Penuh
nafsu dan evoria.
Dengan nafsu dan kekotoran jiwa, mungkin pertempuran bisa kita menangkan. Tapi perang
tidak. Tanpa membawa getaran Ilahi, kita tidak akan diikuti. Tanpa berwasilah kepada ruh
para nabi, aura kita tidak akan melampaui zaman. Ruh kita tidak akan abadi. Tidak akan
menjadi teladan suci.
Lihat Isa putra Maryam. Hidupnya singkat, hanya 33 tahun. Ia dikejar untuk disalib, dan
terpaksa “diangkat ke langit”. Sekilas terlihat ‘kalah’ dalam pertempuran. Tapi spirit ajarannya
telah menjelma menjadi salah satu agama besar dunia. Muhammad saw juga begitu, dalam
beberapa waktu ke depan, agama yang ia perkenalkan secara formal diperkirakan menjadi yang
terbesar di dunia. Tapi secara hakikat, ruhnya masih lemah. Masih kalah dimana-mana.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 218


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Untuk menang, kita memang harus kembali ke “silsilah”, kembali ke “garis” atau “khittah”
perjuangan, ke mental menang. Khittah berasal dari kata “khath” (garis). Perjuangan harus
bersilsilah, harus bertalian garis ruhani ke kepada Allah dan Rasulullah. Kalau tidak, tercerai
berai kita. Sebab, yang kita hadapi adalah iblis-iblis besar dengan bala tentaranya. Dan
tentunya, sebagaimana janji-Nya, tidak ada istilah kalah untuk mereka yang mengikuti para
kekasih Allah:
‫كَتَ َب ا ٰ ّ ُ َ َﻻ ْ ِل َﱭ َا َ ۠ َو ُر ُس ِ ْ ۗﲇ ِان ا ٰ ّ َ قَ ِوي َع ِزْ ٌز‬
Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah
Mahakuat lagi Mahaperkasa (QS. Al-Mujādalah [58]: 21)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 100 | Desember 2022


ZIARAH KE KOTA SUCI, SAUDI YANG MENANG MELAWAN ARGENTINA DAN
BANJIR BESAR DI JEDDAH
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
***
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Tulisan ini secara eksklusif mengulas pengalaman dan pelajaran yang kami dapatkan selama 12
hari umrah di dua Kota Suci. Cerita kami bagi dalam 7 bagian:
Bagian 1: “Perjalanan Mencari Berlian”
Bagian 2: “Islam, Wahyu untuk Orang Ganteng”
Bagian 3: “Umrah, Petualangan Penuh Ujian”
Bagian 4: “Di Madinah Al-Munawwarah, Empat Hari Bersama Nabi”
Bagian 5: “Ada Ibrahim, Hajar dan Ismail dalam Putaran Tawaf dan Sa’i Kami”
Bagian 6: “Makkah dan Madinah, di Fase Mana Anda Berada?”
Bagian 7: “Mencari Tuhan di Baitul Kakbah, Ketemunya di Rumah”
***
BAGIAN 1:
“Perjalanan Mencari Berlian”
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
“Bro, ada slot satu lagi nih. Mau ikut?”, tanya Said Husain adik kami. “Ayo!”, jawab kami. Itu
cerita kenapa berangkat umrah. Diajak. Selain itu, juga ikut Naylus dan Muhammad (istri Said
Husain dan anaknya yang belum genap berusia dua tahun). Juga ada Akram, abang kami.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 219


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Mengetahui kami akan umrah, istri saya mulai tidak ngomong lagi. Mirip-mirip sedih.
Rupanya ada sesuatu yang terpendam di hati. Tapi tidak pernah diungkap. Hal itu diketahui
oleh Guru.
Suatu ketika saat berziarah, Beliau membaca isi hatinya. Lalu berkata: “Dalam sekali
permintaan si Kiki istri Said Munir ini. Belilah sebutir berlian untuk dia, biar senang.
Harganya berapalah, paling 40 jutaan”. Setelah bicara itu, sang Guru Sufi melanjutkan cerita-
cerita tentang umrah. Padahal Beliau tidak pernah diberitau bahwa kami akan pergi berumrah.
Ternyata memang itu ‘berlian’ yang Beliau maksud. Istri terus berdoa dan bernazar, agar bisa
ikut. Akhirnya, terkabulkan. Saya harus mengeluarkan uang tepat 40 juta untuk membawa istri
ikut. Bagi pegawai biasa seperti kami, itu pengeluaran istimewa. Tapi wajar. Sudah 8 tahun
berkeluarga, mengurus 4 anak, tapi belum pernah ia pergi jalan-jalan ke luar negeri,
sebagaimana cita-citanya. Saya kira sudah tepat jika ikut serta. Ia senang sekali, sampai
menangis sejadi-jadinya. Ke “Tanah Suci” pula.
Hanya kurang dari seminggu, serba mendadak, semua selesai ia urus. Visa dan sebagainya.
Kelihatannya memang dia yang sedang ditunggu Rasulullah. Saya sendiri mirip-mirip
ditugaskan jadi tukang antar saja. Banyak fenomena dan kemudahan yang ia alami di sana.
Misalnya, selama 4 hari di Madinah, tiap pagi ia berhasil masuk ke Raudhah, ke pusat tersuci
dari Masjid Nabawi. Padahal untuk masuk kesitu, sekarang harus ada “tasreh” (izin masuk)
dari otoritas setempat yang harus diurus jauh hari. Biasanya diurus oleh travel umrah untuk
masuk secara rombongan. Dan itu cuma dapat jatah satu kali untuk setiap jamaah. Tapi, ia
masuk berkali-kali, tiap pagi, tanpa mengantongi izin apapun. Banyak orang justru di suruh
keluar saat sudah di pintu masuk, karena tidak bisa menunjukkan barcode izin. Mungkin
itulah ‘berlian’ untuknya.
Begitu juga ketika di Mekkah. Dia menjadi jamaah pertama dalam rombongan kami yang
tembus ke Hajar Aswad, dengan berbagai kemudahan. Itupun bukan sekali. Empat kali!
Padahal, kami yang laki juga pernah mencoba. Sekali saja susahnya minta ampun. Bahkan
umumnya gagal. Karena padat sekali. Badan para jamaah disana besar-besar, juga kasar-kasar.
Saling dorong dan himpit. Susah sekali untuk mendekati Batu Hitam itu. Salah-salah, jadi ikan
pepes kita. Sesak napas. Terlempar kesana-kemari. Paska pandemi, jamaah umrah terus
membludak. Karena sudah 3 tahun tidak pernah ada umrah dan haji.
Vibrasi spiritualnya sangat hidup ketika akan berziarah ke tempat-tempat sakral. Seperti selalu
ada “langkah” untuk berjumpa dengan ruhani-ruhani yang ada ditempat itu. Doanya juga
makbul sekali disana. Saya khawatir sekali kalau dia sudah mengangkat tangan untuk berdoa.
Apalagi kalau berdoa untuk dimudahkan rejeki. Kantong saya pasti ‘robek’ lagi setelah itu.
***

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 220


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BAGIAN 2:
“Islam Diwahyukan kepada Orang Ganteng”
Menurut saya, wahyu harus diturunkan kepada orang ganteng. Kalau wahyu turun ke orang
kurang ganteng, itu fatal. Islam ini ibarat sinteron. Kalau pemainnya kurang pas, “salesman”-
nya tidak menarik, tidak bakal naik rating filmnya. Tidak laku dakwahnya. Maka sudah tepat
kalau ras Arab yang jadi nabi. Juru dakwahnya ganteng. “Wajahnya bercahaya”. Karena itulah
cepat populer agama ini.
Bayangkan, kalau Islam turun ke suku mante di Aceh, yang postur tubuhnya pendek, hitam
dan pesek. Mungkin sampai kiamat hanya ada beberapa orang yang masuk Islam. Untunglah,
yang menerima wahyu itu Muhammad. Orang paling ganteng di Arab. Cepat yakin kita.
Walaupun musuh yang menolaknya juga ganteng-ganteng. Ya, paling tidak, Islam itu perang
sesama orang ganteng. Perangnya berkelas. Kalau perang sesama orang jelek, ah malas kita.
Itu kesan pertama ketika Lion Airbus JT0084 yang kami tumpangi dari Kualanamu Medan
mendarat di Airport Madinah pada magrib Sabtu 19/11/2022, setelah 8 jam melayang di udara.
Semua petugas imigrasinya saya perhatikan. Rata-rata cewek, dan semuanya cantik. Cantik-
cantik sekali. Dengan kulit putih dan abaya hitamnya, semua terlihat seperti bidadari. Pun esok
hari, dari pagi sampai malam saya perhatikan satu persatu, semua orang Arab yang lewat
ganteng-ganteng dan cantik.
Lama-lama ragu saya. Ini surga atau dunia. Kalaupun ada orang yang lewat yang terlihat
kurang cantik atau kurang ganteng, itu pasti bukan Arab. Maaf, itu pasti orang melayu. Orang
Indonesia. Bukannya orang kita tidak ganteng dan cantik. ganteng dan cantik juga. Tapi hilang
total ganteng dan cantiknya kalau sudah sampai ke Arab. Bahkan hari kedua di Madinah saya
sempat memprotes Tuhan. “Ya Allah kenapa Kau beri hidung berlebih kepada orang Arab, lalu
Engkau sisakan sedikit bagi kami di Indonesia”. Saya belum tau apa hikmah orang Indonesia
tercipta kurang cantik dan kurang ganteng, dibandingkan Arab. Tapi untunglah ada ayat di
penghujung al-Hujurat 13 yang menghibur kita, bahwa intinya bukan di rupa. Tapi pada
taqwa.
Disini saya mulai paham, kenapa sosok seperti Ibnu Arabi pun dulu pernah terpana dalam
perjalanan spiritualnya ke kota Makkah. Ia mengatakan, “Saat Tawaf, kulihat Tuhan dalam
wajah perempuan”. Sudah pasti, yang dilihatnya itu cantik sekali. Sehingga lahir syair-syair
indah tentang perempuan dalam “Tarjuman Asywaq”. Lebih dari sebuah pandangan sensual,
Syaikh Akbar menemukan getaran-getaran malakut pada wajah indah yang dijumpainya itu.
Konon, ia berguru Sufisme pada sejumlah perempuan cantik saat di Mekkah. Seperti Fakhr
Nisa, Qurrah ‘Ain dan Nizam. Gadis terakhir ini ia sebut sebagai “jelita Romawi”, karena
kemudaan dan kecantikannya mencuri pandangan semua orang. Gadis mulia bergelar Syaikhah

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 221


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Al-Haramain ini kemudian menjadi kekasih yang membuatnya selalu merasakan kehadiran
Allah ketika berjumpa. Untuk ia Ibnu Arabi menulis:
“jika dia bicara semua yang ada jadi bisu, dia adalah matahari di antara ulama, taman indah di
antara para sastrawan, wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya
memperlihatkan kecerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagai untaian
kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan
bersahaja”.
Saya kira wajar cewek Arab bercadar semua. Bukan saja sebagai pelindung dari debu padang
pasir dan bukit berbatu. Atau penutup wajah dari panas dan dinginnya cuaca. Karena hidung
mereka juga menjadi pusat perhatian seluruh dunia. Sudah ditutup dengan kain pun,
mancungnya masih nongol. Rasanya kurang tepat kalau kita orang Indonesia meniru orang
Arab dalam pemakaian cadar. Karena tidak ada yang menarik dari hidung kita, datar begitu.
Dibuka pun mungkin tidak ada yang lirik. Astaghfirullah!
Kita cukupkan pembahasan Arab itu cantik dan non Arab kurang cantik. Terlalu rasis.
Sebenarnya, saya pun orang Arab. Tapi sudah 10 generasi di Aceh. Sayangnya, 90 persen
ganteng kami sudah hilang. Mungkin karena terlalu lama makan asam sunti. Anda tau, asam
sunti itu belimbing yang sudah susut akibat di jemur. Begitulah nasib orang Arab yang lama di
luar Arab. Gantengnya susut. Istri saya juga turunan Arab. Tapi kebetulan masih sangat cantik
dia. Mungkin karena masih rajin mengkonsumsi kurma.
Tapi setidaknya, melalui pengalaman ini, saya punya hipotesa baru. Bahwa, Islam itu turun di
Arab bukan semata karena orangnya jahiliah. Kalau masalah jahiliah, kita Indonesia
sebenarnya lebih jahiliah dari Arab. Negara Arab, walaupun pemimpinnya autokratik,
rakyatnya kaya raya dengan minyak. Kita di Indonesia yang sumberdaya alamnya melimpah
ruah, tanahnya hijau dan iklimnya sempurna, warganya justru masih miskin dengan sistem
demokrasinya. Jahiliah betul kita!
Jadi, Islam itu turun di Arab bukan karena jahiliah. Kalau alasannya jahiliah, maka Islam itu
harusnya turun di Indonesia. Islam itu turun di Arab karena orang Arab itu ganteng-ganteng.
Sehingga pantas menjadi penyampai wahyu. Pantas menjadi artis pilihan Tuhan. Tampilannya
asik. Apalagi kalau sampai berdakwah keluar Arab. Pasti disukai. Buktinya, artis-artis di
Indonesia yang berwajah indo-arab sangat diminati.
Kalau orang ganteng yang berdakwah, itu beda. Jangankan mendakwahkan Islam,
mendakwahkan yang aneh-aneh pun, pasti diikuti. Karena yang ngomongnya menarik. Lihat
saja artis di TV. Yang diajari ke kita, rata-rata keburukan semua. Tok karena cantik dan
ganteng, makanya kita ikuti. Mulai dari cara berpakaian, pemilihan produk dan sebagainya.
Coba kalau mereka yang cantik dan ganteng-ganteng itu mengajari umat ini yang baik-baik,
sudah lama maju Indonesia kita.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 222


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

***
BAGIAN 3:
“Umrah, Petualangan Penuh Ujian”
Orang cenderung meyakini, untuk berangkat haji/umrah itu modalnya uang. Iya, kalau ada
uang dan sehat badan, berangkatnya mudah. Yang berangkat ke haji/umrah, itu kan orang-
orang yang sehat dan mampu secara ekonomi. Tapi banyak juga orang sehat dan berduit yang
tidak pernah sampai ke makam Nabi. Ada saja kesibukannya. Termasuk saya. Saya sudah
berkeliling lebih dari 15 negara di Eropa dan Asia. Tapi baru sekarang sampai ke Baitullah.
Lalai memang!
Sementara, banyak orang miskin yang punya niat kuat untuk sampai ke Tanah Suci. Sekalipun
dengan mengumpulkan uang receh. Makanya, ziarah disebut sebagai “panggilan”. Hanya
orang-orang yang sangat rindu, atau dirindui oleh Nabi, yang sampai.
Karena ini perjalanan penting, maka akan diuji. Baik sebelum berangkat ataupun setiba di
Tanah Suci. Ada saja masalah yang dihadapi. Saat kami berangkat, ada 30an jamaah dari travel
lain yang sebenarnya satu pesawat dengan kami tapi gagal berangkat. Bus mereka semalaman
terjebak longsor dan banjir di Aceh Tamiang. Akhirnya tidak bisa tiba di bandara pada waktu
yang ditentukan. Gagal take off. Sedih sekali.
Wisata umrah tidak selalu seindah yang dibayangkan. Banyak hal tidak terduga terjadi
sepanjang jalan. Kita sering mendengar ada jamaah yang gagal berangkat. Bahkan terlunta-
lunta di bandara, karena ditipu oleh travel. Macam-macam kejadian. Yang sudah tiba di Arab
pun juga sering menuai masalah lain. Seperti buruknya pelayanan hotel, terbatasnya makanan
di restoran, kualitas bus dan lainnya. Ada saja hal yang muncul selama umrah sehingga
memicu emosi. Disatu sisi kita butuh kenyamanan dalam fasilitas ibadah. Disisi lain jamaah
harus bersabar atas berbagai ketidak sempurnaan pelayanan. Apa yang sudah diatur sejak awal,
bisa tidak berjalan sesuai agenda. Pelayanan di Arab pun boleh dikatakan, tidaklah sebagus
kalau anda berwisata ke negara-negara maju lainnya. Orang Arab itu sendiri punya karakter
“kasar”. Gaya bicaranya keras. Mirip dibentak-bentak kita.
Tujuan ke Tanah Suci adalah ziarah. Utamanya ke makam Nabi di Madinah, dan Baitullah di
Mekkah. Keduanya punya nilai sejarah penting dalam Islam. Kedua tanah ini disebut “Haram”
(suci). Karena keduanya paling sering disentuh oleh “Ruh Suci”. Khusus Kakbah misalnya, itu
pusat spiritualitas yang dibangun para nabi. Makkah dan Madinah adalah tanah yang zikir-
zikir Muhammad masih melekat disetiap sudut tempatnya. Tanah dimana bersemayam begitu
banyak jasad suci dari Keluarga Nabi, para auliya dari keturunan dan sahabatnya.
Karenanya, perjalanan ziarah ke puncak mata rantai dari sanad spiritual keislaman kita ini
akan diberi “sedikit” tantangan. Perjalanannya mudah, sekaligus tidak mudah. Tergantung
siapa yang berangkat. Kalau yang berangkat itu “jin” dalam badan kita, setiba disana pasti akan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 223


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“apoh-apah” (terasa sulit). Kalau yang berangkat itu kemurnian hati kita, biasanya akan
mudah. Disinilah pentingnya tradisi spiritual berupa “tazkiyatun nafs”, sebelum menempuh
safar. Yang diharapkan terjadi adalah pertemuan ruhani dengan ruhani, dalam perjalanan fisik
yang luar biasa.
Kami pun begitu, sejak awal mau berangkat mengalami banyak tantangan. Termasuk harus
sering mengelola “emosi”. Perjalanan ke Tanah Suci, itu mirip pengalaman pergi suluk
(iktikaf/khalwat). Yang lamanya juga mencapai 10 hari. Ada saja cobaan. Hal-hal kecil bisa
membuat rusuh. Salah-salah, tidak jadi berangkat. Yang diuji adalah kesabaran. Maha Benar
Allah dengan firman-Nya, “Jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu” (QS. Al-Baqarah:
45).
Kita harus pandai-pandai menata hati saat melakukan safar ke tempat-tempat sakral. Yang
niatnya lurus dan kuat, biasanya diberi kemudahan. Sementara yang masih membawa jiwa
penuh rasa was-was, pemarah dan angkuh; umumnya akan menghadapi banyak masalah. Bisa
stres ketika tiba di tujuan, bawaannya ngomel terus, bingung, tersesat, bosan, kecolongan, dan
sebagainya. Sepulang umrah pun biasanya lebih banyak bercerita susah, daripada pengalaman
spiritual. Karena, apa yang kita bawa, itu yang akan kita terima. Datang dengan hati lapang,
perjalanan akan lapang. Hadir dengan hati yang sempit, sepanjang jalan penuh kesempitan.
Semua terlihat salah.
Banyak dari kita yang ketika berangkat, itu niatnya masih “suci”. Ingin ibadah. Ingin taubat,
ingin ini, ingin itu. Mulia semua. Begitu dua hari di Tanah Haram, kembali lagi ke tabiat asli.
Yang suka gosip, gosip terus. Yang suka belanja, belanja terus. Yang suka tidur, tidur terus.
Yang suka ke restauran, ke restauran terus. Yang suka ngerokok, ngerokok terus. Yang suka
main WA, main WA terus. Ibadah dan ziarahnya kurang sekali. Baru sadar tiba-tiba sudah 10
hari. Sudah mau pulang. Hati tidak terisi. Uang habis puluhan juta, jiwa tidak bahagia. Tidak
ada “koneksi” dan “memori” yang terbangun dengan wilayah-wilayah suci.
Seharusnya, safar itu menjadi “perjalanan jiwa”. Lelah memang. Karena melibatkan badan.
Berbagai ritual umrah (tawaf dan sai), mobilitas ibadah lima waktu, lokasi masjid yang luas,
jarak hotel yang terkadang jauh, tentengan barang yang berat, naik turun tangga, cuaca yang
terkadang buruk, makanan yang tidak sesuai lidah; itu semua bisa membuat jamaah lelah dan
sakit. Konon lagi yang usianya sudah lanjut. Salah-salah bisa mati. Memang banyak yang
meninggal dalam berhaji atau umrah. Namun, siapapun yang sepanjang waktu bisa berterusan
terfokus (“daim”) dalam membangun ingatan (“rabithah”) dengan Allah dan Rasulullah, itulah
yang akan mabrur dalam haji dan umrahnya.
Safar itu perjalanan untuk menemui Rasul, ditempat-tempat yang pernah dibangunnya. Bahkan
langsung di makamnya. Rasul itu makhluk suci. Kalau kita hadir dengan jiwa yang kasar, itu
langsung tertolak. Kami teringat pesan Guru, “Pergilah kalian berhaji atau umrah setelah 3 kali

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 224


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

suluk”. Ternyata ada banyak sekali hikmahnya. Para salik yang dibimbing seorang
walimursyid, biasanya akan memahami “ilmu kehadiran” (hudhuri). Ilmu ini menjadi bekal
dalam perjalanan spiritual. Ada “kontak vertikal” yang bisa dibangun saat berziarah ke tempat-
tempat sakral. Sehingga, kita tidak menjadi zombie di Tanah Suci. Bergerak kesana sini, tapi
yang kita peroleh hanya lelahnya saja. Harus ada “langkah” untuk diterima. Ruhani kita harus
benar-benar hidup untuk merasakan kehadiran Ilahi.
Saya bukan orang yang hebat-hebat sekali dalam urusan ruhani. Malah masih lemah sekali.
Tapi kita sama-sama tau, kalau ruhani terlalu bebal, otomatis akan tertolak di titik-titik suci.
Saya merasakan itu saat di Masjid Nabawi. Butuh waktu untuk bisa “dekat” dengan-Nya.
Awalnya seperti ditolak. Setiap ziarah tidak pernah bisa mendekat ke makam Nabi. Terkadang
dilarang oleh “askar” (penjaga makam). Di lain waktu disuruh jalan di barisan yang jauh dari
dinding makam. Sampai kemudian menangis dan sadar. Ternyata saya terlalu membawa “diri”.
Barulah setelah memohon ampun, ziarah selanjutnya menjadi lenggang. Jalan menjadi mudah.
Bahkan bisa merapat dengan mudah ke dinding makam suci untuk ‘menyalami’ Nabi, setiap
pagi. Serta banyak pengalaman unik lainnya baik ketika di Madinah maupun Mekkah.
Setiap salah langkah, kurang adab, ataupun melanggar aturan; biasanya ada teguran yang
datang. Dalam wujud “isyarat” tertentu. Bahkan dalam bentuk sakit seperti demam. Setelah
bertaubat, itu bisa seketika hilang. Jadi, kalau tiba-tiba anda mengalami sakit di Tanah Suci, itu
bukan semata-mata faktor cuaca dan fisik saja. Boleh jadi itu bentuk dosa dan pelanggaran
terhadap adab. Ada niat dan perilaku kita yang Dia tidak berkenan. Sehingga langsung kena
tegur. Bahkan pemikiran, omongan dan canda kita bisa dibalas seketika.
Ada jamaah yang satu rombongan dengan kami, sudah senior usianya, bercanda kepada
istrinya. “Lon sang paih tinggai di sinoe, awak droe mantong yang woe”, katanya. Ia merasa
lebih cocok tinggal di Arab. Tidak mau pulang. Begitu candanya. Terjadi. Hari terakhir di
Mekkah, beliau demam. Lalu dibawa ke rumah sakit. Saat diperiksa ternyata kena Covid.
Sampai kami tiba di tanah air, beliau satu-satunya yang masih tinggal untuk dirawat di
Mekkah. Sedangkan istri dan rombongannya sudah pulang semua.
Saya juga pernah kualat. Suatu ketika disaat Tawaf, kebetulan agak rapat ke dinding Kakbah.
Disitu saya melihat seorang laki-laki kurus India yang kehabisan nafas. Dia terlihat sedang
berjuang ingin menyentuh Batu mulia itu. Tapi terjepit oleh ratusan jamaah, hingga terhempas
ke dinding Kakbah. Terdengar ia berteriak minta tolong: “Help me! Help me!”. Wajahnya
seperti sedang sekarat. Mirip-mirip mau mati. Saya yang melihat itu hanya tersenyum, tanpa
rasa kasihan. Pun tidak bisa membantu. Jadi hiburan juga melihat orang-orang terjepit. Lucu.
Karena, kalau tidak mau terjepit, ngapain kesitu. Nyusahin diri saja.
Ternyata, dua malam kemudian, sayalah yang mengalami hal serupa saat mencoba merayap ke
dinding Kakbah dan Hajar Aswad. Saya betul-betul terjepit. Mengalami sesak napas dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 225


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

kelelahan yang luar biasa. Mau keluar tidak bisa karena terus terdorong oleh lautan manusia
berbadan hitam dan besar-besar. Mau mati rasanya. Dan itu terjadi tepat di titik yang sama
yang dialami si India dua malam sebelumnya, yang saya pernah menertawakannya. Disitu saya
sadar, inilah balasan untuk hal yang pernah saya tertawakan. Astaghfirullah!
Malam besoknya, kami menjadi anak baik. Disenggol berkali-kali saat tawaf, kami sabar dan
hanya tersenyum saja. Tidak ada rasa marah sedikitpun. Ketika ada orang menerobos di depan,
kami beri mereka kesempatan lewat dengan senang hati. Alhasil, pada malam itu juga, kami
seperti diberi banyak sekali keluangan. Saat ingin ke Multazam, tiba-tiba jalan terbuka begitu
saja. Pun ketika ingin solat di Hijir Ismail, rombongan lain di stop semua. Justru kami yang
diarahkan masuk kesana. Padahal baru antri. Sementara yang lain sudah berjam-jam
menunggu giliran. Hanya dalam waktu singkat, kami bisa berdoa lama di Multazam dan
kemudian langsung bisa bergerak untuk solat sampai enam rakaat di Hijir Ismail. Padahal
jamaah sedang membludak. Cuma waktu itu saya sempat berdoa, “Ya Allah, izinkan Guruku
berdoa di Multazam; dan solat wuduk, taubat dan hajat dua rakaat di Hijir Ismail”. Ternyata,
kalau kita bawa Guru, Allah mudahkan. Kalau kita serobot sendiri, putus nafas kita. La haula
wala quwwata illa Billah!
Baitullah, KakbahBaitullah, Kakbah
***
BAGIAN 4:
“Di Madinah Al-Munawwarah, 4 Hari Bersama Nabi”
Kami mengambil wisata spiritual yang berlangsung 12 hari, 19 November s.d 01 Desember
2022. Empat hari pertama dihabiskan di Madinah. Enam hari lagi di Makkah. Sisa dua hari
dihabiskan untuk perjalanan pergi dan pulang.
Dua belas hari, itu waktu yang singkat. Juga sangat lama. Tergantung agenda. Umrah sendiri
terdiri dari 4 rukun. Dimulai dengan miqat (start) di Bir Ali Madinah menuju Makkah. Lalu di
Mekkah dilanjutkan dengan Tawaf, Sa’i dan diakhiri Tahalul (potong rambut). Jarak Madinah-
Mekkah hanya 6 jam. Jadi, semua prosesi ihram bisa diselesaikan dalam 1 hari. Sementara sisa
hari lainnya diberi kebebasan berziarah dan menambah amalan iktiqaf/ibadah di masjid, baik
di Madinah ataupun di Makkah. Atau dapat juga mengambil ihram lanjutan sebagai
badal/hadiah untuk orang tua dsb.
Selama di Madinah, pekerjaan utama jamaah adalah solat lima waktu di Masjid Nabawi.
Selebihnya rutin berziarah ke makam Rasulullah yang berada di bagian kiblat masjid. Ziarah
dapat dilakukan setiap hari. Masjid 9 menara dengan 232 tiang ini memiliki 41 pintu masuk
(gate). Pintu 1 yang terletak disisi kanan depan masjid dibuka secara khusus setiap selesai solat
fardhu. Melalui gate ini, jamaah dapat melintasi langsung bagian depan makam suci Nabi.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 226


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Yang sebenarnya paling diminati dari bagian Masjid Nabawi adalah Makam Nabi. Disitu
orang-orang pecah dalam tangis. Saat solat sekalipun tidak terlihat ada yang menangis. Jamaah
justru khusyuk dalam tangis saat melintasi Makam Nabi. Allah memang terlalu jauh untuk
dijangkau nalar manusia. Sulit kita bayangkan bagaimana Wajah Tuhan, karena Dia entah
dimana. Umat Islam hanya mampu menemukan “gelombang” ketuhanan di wujud dan makam
Nabinya (dan juga para pewaris ruhaninya). Manusia hanya mampu menjangkau utusan-Nya.
Karena itulah Allah bertajalli, terderivasi dalam wujud para kekasih-Nya. Sehingga mudah
untuk dijumpai. Segala benda dan pusaka yang ditinggal utusan Tuhan, itu membawa
“frekuensi wasilah”, memiliki gelombang ketuhanan yang tinggi. Getaran Ruh atau Asmanya
melekat dimana-mana.
Makam Nabi terletak tepat di bawah kubah berwarna hijau. Itu bekas rumah Nabi. Beliau
dimakamkan di rumahnya, yang terletak tepat di samping masjid, yang kini menjadi bagian
dalam masjid. Rumah Nabi dan masjid bersambung. Sebenarnya, kita ke masjid selain untuk
solat juga untuk menziarahi para guru Ruhani. Masjid itu punya Ruhani. Ruhaninya ada pada
seorang imam/rasul yang mampu mensyafaati dan membimbing ruhani para jamaah. Masjid
yang tak punya Ruhani disebut ‘kuburan’, benda atau bangunan mati, alias “berhala”. Kata
Nabi, “Jangan solat di ‘kuburan’, ditempat manapun yang ruhanimu mati”.
“Ma baina baiti waminbari raudhatu min riyadhil jannah” (hadis). Antara rumah dan mimbar
Nabi, disitu terletak “Raudhah“ (salah satu dari taman surga). Ini titik paling sakral di Masjid
Nabawi. Paling diperebutkan untuk dimasuki. Katanya doa paling makbul disini. Untuk masuk
kesitu, harus ada izin (tasreh) yang mesti diurus jauh hari melalui aplikasi Eatmarna dan
Tawakkalna. Kami berkesempatan ke Raudhah pada Rabu pagi, 23/11/2022, pukul 00-01
waktu Madinah. Luar biasa vibrasi di area ini. Bagi saya, ini puncak ziarah selama di Madinah,
sebelum siangnya berangkat memulai umrah ke Mekkah.
Sebenarnya kami khawatir, kalau selama di Madinah tidak diterima oleh Rasulullah.
Alhamdulillah, ada sensasi luar biasa ketika berada di ruangan suci ini pada dini hari itu.
Biasanya, jamaah masuk secara rombongan yang diatur oleh travel masing-masing. Lalu diberi
kesempatan solat sunat beberapa rakaat serta berdoa dalam batasan waktu tertentu. Ketika
waktu habis, petugas akan ‘mengusir’ jamaah satu persatu, agar jamaah lain yang sedang antri
juga bisa masuk ke Raudhah. Tapi kami seperti tidak menjadi perhatian polisi. Sehingga masih
berada di tiang-tiang Raudhah untuk solat dan berdoa sampai ruangan sudah benar-benar
kosong.
Keluar dari makam Nabi, kita langsung berhadapan dengan pemakaman suci lainnya, Jannatul
Baqi. Setiap Subuh setelah setelah menyalami Nabi, kami melanjutkan ziarah ke pekuburan
seluas 175.000 M2 ini. Cuma laki-laki yang diizinkan masuk. Di Arab, perempuan tidak
dibolehkan ke kuburan. Kasihan mereka. Padahal, disitu dimakamkan tidak kurang dari 10.000

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 227


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

orang-orang mulia yang pantas dikunjungi oleh setiap mukmin baik laki-laki maupun
perempuan.
Di kompleks ini dimakamkan semua istri nabi (kecuali Khatijah dan Maimunah yang
dimakamkan di Mekkah). Disitu pula disemayamkam anak-anak Nabi, termasuk wanita suci
“pemimpin perempuan di surga” Sayyidah Fatimah Azzahra. Juga Ruqaiyyah, Zainab, Ummu
Kalsum dan Ibrahim. Di Baqi pula terbaring jasad-jasad mulia cucu baginda Nabi seperti Imam
Hasan, beserta anak turunan Imam Husain seperti Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhammad
Albaqir, Imam Jakfar Shadiq dan lainnya. Bibi-bibi Nabi, sahabat-sahabat, para syuhada dan
auliya di zamannya juga terbaring disini. Sayangnya, kita tidak tau lagi yang mana makam
mereka semua. Karena sudah ‘dihancurkan’, tanpa jejak dan nama.
Madinah ini memang kota Madani (civilised). Seperti mengakomodir semua mazhab sebagai
satu kesatuan dalam Islam. Walaupun Saudi memiliki prinsip-prinsip keagamaan dalam
kerangka salafi, namun di dinding Masjid Nabawi terpampang nama 12 imam muslim Syiah
(Ali, Hasan, Husain, Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jakfar as-Sadiq, Musa Al-Kazim, Ali
ar-Rida, Muhammad at-Taqi, Muhammad an-Naqi, Hasan Al-Askari, dan Muhammad Al-
Mahdi).
Selama di Madinah (juga di Mekkah), jamaah yang punya tradisi khusus dalam ibadah akan
berlama-lama di Masjid. Sambil mengerjakan solat-solat sunat, mereka akan melakukan iktikaf,
zikir, membaca Quran, dan sebagainya; tanpa keluar-keluar dari satu waktu solat ke waktu
solat lainnya. Sehingga benar-benar terasa selalu bersama Nabi.
Kami kalau solat sering datang lebih cepat dan memilih tempat yang dapat melihat makam
Nabi. Khususnya dengan berada di depan tiang bertuliskan nama Abbas, Husain dan Ali, yang
berhadapan langsung dengan makam Nabi. Maupun dengan masuk melalui gate 2 untuk
berada di bagian kuno dari masjid, berdekatan dengan posisi imam dan Raudhah. Getarannya
beda. Area ini paling diminati. Satu atau dua jam sebelum solat, wilayah ini sudah padat.
Selama di Madinah, kami selalu terpanggil untuk bangun sebelum jam 3 pagi, untuk iktikaf di
masjid. Ada sensasi berbeda ketika bisa selalu melakukan tawajuh tengah malam selama 4 hari
di Madinah, dihadapan makam Nabi. Seolah-olah, Beliau sendiri yang memimpin zikir pada
setiap malam yang dingin itu. Sampai Subuh.
Selain itu, di luar kota Madinah juga terdapat spot penting lain untuk dikunjungi. Seperti
Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun Nabi di Madinah. Juga ada Masjid Qiblatain yang
terkenal dengan kisah perubahan arah kiblatnya. Diriwayatkan, saat jamaah sedang solat, tiba-
tiba ada berita dari Nabi bahwa arah kiblat telah berubah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil
Haram. Seketika itu juga jamaah yang semula menghadap ke Palestina, merubah arah solat
mereka ke Makkah. Ada beberapa masjid lain yang juga punya nilai sejarah tersendiri di kota
ini.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 228


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Situs penting lainnya di Madinah adalah Jabal Uhud. Sayyidina Hamzah dan 70 syuhada lain
syahid dalam perang di dekat gunung ini. Di kaki Uhud terdapat makam Beliau dan beberapa
syuhada pendampingnya. Kondisinya sama, bahkan lebih parah dari Baqi. Makam dipagari
tanpa bisa dimasuki peziarah. Juga tanpa nisan dan nama. Bahkan kuburannya rata dengan
tanah dan sulit dikenali. Itulah sedikit problem dalam pengelolaan situs sejarah di negeri Bani
Su’ud. Kita dibuat “putus kontak” dengan para syuhada, sahabat dan ahli bait Nabi.
Makamnya dibuat kabur, sama sekali tidak teridentifikasi.
Empat hari di Madinah sudah cukup untuk anda rasakan kebersamaan dengan Nabi. Baik
dalam ziarah dan berbagai ibadah pendukungnya. Selain juga sesekali diselingi dengan agenda
kuliner dan ngopi-ngopi. Sebab, setelah selesai solat, zikir dan ziarah; capek kita. Perut minta
jatah untuk diisi menu-menu istimewa. Kami sering nongkrong di tempat yang kami sebut
“Jalur Bangla”. Karena, setiap masuk waktu solat, ribuan rombongan Bangladesh melintasi
kawasan itu menuju Masjid Nabawi. Lokasinya sekitar 300 meter di depan jalan menuju Masjid
Nabawi. Banyak resto terbuka disana dengan aneka ragam menu Arab. Sedikit ke luar kota
juga ada resto-resto dengan olahan mandhi dan kebuli yang lezat sekali.
***
BAGIAN 5:
“Ada Ibrahim, Hajar dan Ismail dalam Putaran Tawaf dan Sa’i Kami”
Setelah 4 hari di Madinah, proses umrah ke Mekkah pun dimulai. Diawali dengan Miqat di
Masjid Bir Ali di Zil Hulaifah, sekitar 10 Km di luar Madinah. “Miqat” artinya “start”. Bahasa
sufistik Aceh disebut “Cok Langkah” (ambil langkah).
Secara syariat, miqat mungkin dapat dilakukan kapan saja di Bir Ali. Dengan terlebih dahulu
mandi, solat sunat ihram dua rakaat serta berniat “Labbaikallahumma Umratan”. Dalam tradisi
sufistik mungkin akan sedikit berbeda. Syariatnya sama. Hanya saja, langkah untuk berangkat
umrah dari tempat miqat akan dilakukan setelah ada “persetujuan” Rasulullah. Artinya, umrah
itu dilakukan “bersama” Rasulullah. Rasulullah sendiri yang akan memimpin ihram kita.
Kita tidak mampu berumrah, apalagi mencapai derajat mabrur, kalau bukan Rasul sendiri yang
menuntun. Umrah tanpa kehadiran Nabi akan ‘hampa’. Inilah kelebihan dimensi “muraqabah”
dalam tradisi irfan. Seorang salik mesti punya kemampuan berinteraksi dengan Sang Nabi
sepanjang proses ibadah. Walau berjarak ribuan tahun, ruhani-Nya yang quddus itu senantiasa
hidup. Dia bisa dihadirkan untuk menuntun setiap langkah ibadah kita.
Perjalanan 450 km dengan bus, dari Bir Ali menuju Mekkah, ditempuh dalam waktu 6 jam.
Kami berangkat setelah solat Ashar dari Bir Ali, sekitar jam 5 sore. Tiba di Makkah pukul 10
malam. Rencana berangkat sejak Dhuhur. Tapi molor. Memang harus sabar mengurus puluhan
jamaah agar tertib dan tepat waktu. Apalagi jika jamaahnya ada yang tua-tua. Geraknya harus

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 229


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

dituntun. Sejak di Bir Ali, semua jamaah sudah memakai baju Ihram. Sudah tunduk pada
rukun dan syarat ihram.
Memang umrah (ataupun haji) itu betulan ibadah fisik. Mobilitasnya sangat tinggi. Konon bagi
yang usianya sudah lanjut, butuh kesabaran bagi para mutaif (pendamping) untuk melayani
mereka. Geraknya harus dituntun. Ketika sampai di Makkah, kondisi jamaah sudah lelah, tapi
umrah harus dilanjutkan.
Walau kondisi masih lelah, kami dengan istri memutuskan untuk terus melanjutkan umrah.
Tidak sabar ingin masuk ke Haram untuk melihat Kakbah. Sementara jamaah lain ada yang
memutuskan istirahat sebentar, sebelum melakukan Tawaf dan Sa’i pada tengah malam itu,
dibimbing oleh ustad-ustad pendamping.
Ada beberapa kali rasa haru yang muncul begitu intens dalam perjalanan umrah ini. Pertama,
ketika di Madinah. Khususnya saat pertama kali melihat Masjid Nabawi, menziarahi Makam
Nabi, mengunjungi Kuburan Baqi, dan ketika berada di Raudhah. Kedua, ketika di Makkah.
Yaitu saat pertama kali memasuki Masjidil Haram, melihat Kakbah, melakukan Tawaf dan
melakukan Sa’i. Spot utama yang begitu fanatik jadi rebutan jamaah di Mekkah tentu Kakbah
dengan elemen yang melengkapi sakralitas Masjidil Haram. Seperti Hajar Aswad,
Makam/Tapak Ibrahim, Hijir Ismail, Multazam, bukit Safa dan Marwah, serta minuman
Zamzamnya.
Tubuh terasa bergetar dalam berbagai pengalaman itu. Karena memori dan jiwa seperti dibawa
kembali ke era dimana para Nabi, Keluarga dan para syuhada lainnya berjihad dengan segala
yang mereka miliki untuk mempertinggi bangunan keislaman ini. Serasa ada kontak Ruhani
dengan Ibrahim as, Ismail as, Muhammad SAW, para zuriat, sahabat dan auliya-auliya para
pewaris cahaya Ilahi saat menatap dan menziarahi titik-titik suci ini.
Tidak terasa, air mata mengalir deras dalam lantunan talbiyah, takbir, sholawat, salam dan doa-
doa sepanjang proses umrah. Air mata tidak terbendung. Hati seperti meledak saat melakukan
7 putaran Tawaf dan Sa’i tengah malam itu. Dalam doa sepanjang Shafa dan Marwah, seolah-
olah terdengar ada tangisan Ismail yang kehausan. Terlihat seperti ada Siti Hajar yang berlari-
lari mencari air dalam nafas kelelahan. Kami ikut terisak dalam baluran air mata.
Jumlah peziarah lagi banyak-banyaknya. Cuaca di Makkah dan Madinah lagi baik-baiknya,
sejuk. Masjidil Haram padat. Pun di jalur Sa’i, semakin malam semakin sesak. Kami dengan
istri bahkan terpisah setelah Tawaf. Akhirnya memutuskan untuk terus melakukan Sa’i sendiri-
sendiri sampai dengan Tahalul (memotong beberapa helai rambut) sebagai tanda penutup
ihram pertama. Karena direncanakan, akan ada beberapa kali ihram lagi pada sisa hari di
Makkah, yang akan kami niatkan sebagai hadiah untuk kedua orang tua dan juga Guru.
Umrah selanjutnya dilakukan melalui miqat dibeberapa titik terdekat. Seperti Ji’ranah, Qarnul
Manazil dan Tan’im.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 230


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Selain ritual umrah yang wajib diselesaikan pada hari-hari tertentu, hari-hari lainnya
dibebaskan bagi jamaah untuk melakukan iktikaf dan solat jamaah 5 waktu di Masjidil Haram.
Selebihnya tentu ada City Tour ke tempat-tempat bersejarah di Kota Mekkah. Baik dengan
mengunjungi langung tempat tersebut ataupun sekedar lewat untuk melihatnya. Ada Jabal Nur
(Gua Hirak), Jabal Tsur (Gua Tsur), Jabal Rahmahnya Adam dan Hawa, Padang Arafah,
Muzdalifah, Mina, dan lainnya.
Bagi peminat masjid, ada Masjid Jin; tempat diislamkannya rombongan jin oleh Nabi. Juga ada
Masjid Ji’ranah; tempat singgah Nabi setelah perang Hunain, Masjid Jawatha, tempat
penyimpanan Hajar Aswad selama 22 tahun. Dan lainnya.
Bagi peminat ziarah, pemakaman Al-Ma’la (atau Hajun) merupakan destinasi utama yang bisa
dicapai sekitar 25 menit jalan kaki dari Masjidil Haram. Itu adalah kuburan keluarga nabi di
Madinah, sejak dari nenek moyang sampai keturunannya. Disana dimakamkan kakek-kakek
Nabi seperti Qushay bin Kilab, Abdu Manaf, Hasyim, Abdul Muthalib, Abu Thalib paman
Nabi, Aminah ibu Nabi, dan juga Siti Khatijah dan Maimunah istri Nabi. Sejumlah syuhada
terawal Islam juga dimakamkan disini seperti Yasir dan Sumayyah. Demikian juga para
pembesar sahabat, tabiin dan auliya banyak sekali yang terkubur disini.
Sama seperti pemakaman Baqi di Madinah, makam-makam utama di maqbarah (pekuburan)
Al-Ma’la dulunya berkubah, khususnya makam Khatijah. Tapi setelah dikuasai Bani Suud
dengan rigiditas aliran tauhidnya, bangunan-bangunan makam yang telah dibangun
sedemikian rupa oleh generasi terdahulu, pada tahun 1963-1964 dibuldozer semua. Ketika
berada disana, anda akan kesulitan melacak jejak para syuhada. Anda tidak akan tau lagi
kuburan siapa dan dimana. Kecuali beberapa saja.
Sekali lagi, ini “wisata spiritual”. Jiwa, otak dan perut harus sama-sama terisi. Ini bukan
tentang umrah, solat, ziarah dan iktikaf saja. Ini juga tentang makan-makan dan belanja.
Kasihan sanak saudara di kampung. Anda pergi umrah dapat pahala. Sementara mereka yang
dikampung hanya mau tau apa oleh-oleh yang anda bawa. Oleh-oleh itu penting. Itu sebagai
bentuk anda berbagi gembira. Sama seperti kenduri, walau ada yang mengatakan itu bid’ah,
sebenarnya itu ekspresi dari berbagi bahagia. Bahagia karena anda sudah berjumpa Allah dan
Rasul di kota sucinya. Terkadang doa-doa dan ibadah kita baru makbul dan mabrur setelah
kita menyempurnakannya dengan kenduri dan sedekah. Karena itulah, kenduri dan sedekah
menjadi bagian penting dalam tradisi sufi.
***
BAGIAN 6:
“Makkah dan Madinah, di Fase Mana Anda Berada?”
Kehidupan di Mekkah dan Madinah menandai 2 fase kehidupan manusia: “keras” dan “santai”.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 231


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kehidupan di Mekkah itu “keras”. Ini ditandai dengan ritual seperti “tawaf” dan “sai”. Tawaf
adalah gerak terus menerus untuk memutari Kakbah, dalam himpitan dan kepadatan manusia.
Disitu kita menyaksikan, ada sesuatu yang diperebutkan. Orang-orang mencari jalan untuk
menuntaskan pekerjaannya. Orang-orang bahkan “berkompetisi” untuk mencium Hajar
Aswad. Semua ini miniatur kerasnya kehidupan dunia. Mirip-mirip “survival of the fittest”.
Hanya yang punya tekad dan kuat badan yang sukses. Saling dorong. Saling sikut. Saling injak.
Saling tarik. Ngeri!
Saya pun suatu waktu tertarik ikut dalam “pertarungan” ini. Ada sensasi tersendiri saat berada
dalam kerumunan manusia. Tapi saya tidak mau mendorong dan menyikut orang-orang. Saya
hanya bergerak mengikuti dorongan orang, sampai tiba tepat di depan Hajar Aswad. Tapi
setelah menyentuh batu itu dan mengusap kemuka, tiba-tiba saya terlempar ke belakang.
Memang, untuk bisa mencium, anda harus bekerja lebih keras. Mungkin harus sedikit kasar.
Harus siap mengalahkan semua pesaing anda. Fighting spirit harus sangat kuat. Tidak boleh
tanggung-tanggung disitu. Habis anda!
Disatu sisi kita heran, ngapain saling berseteru dalam menyentuh Batu Hitam. Kok dalam
ibadah saling dorong begitu. Tapi, kalau kita berfikir lebih dalam, itulah gambaran kehidupan.
Orang-orang berebut untuk memperoleh sesuatu yang langka. Sesuatu yang dianggapnya
mulia. Kalau tidak berjihad seperti itu, mungkin ia tidak akan pernah memperolehnya.
Baginya, dapat mencium Hajar Aswad adalah bentuk “rejeki yang wajib diusahakan”. Kalau
kita perhatikan, orang-orang India paling lihai dalam perjuangan mencapai ini. Tidak pernah
menyerah mereka. Sangat ngotot, bahkan kasar sekali. Mungkin ini gambaran kalau orang
India punya determinasi dan sangat bersikeras dalam bisnis dan pencapaian tujuan. Mirip-
mirip ‘menghalalkan segala cara’. Bahkan diinjaknya kaki kita.
Tapi ada juga yang dapat mencium Hajar Aswad hanya lewat doa. Entah bagaimana, tiba-tiba
sudah terbuka jalan dan terbawa begitu saja kehadapan Hajar Aswad. Ini mungkin masuk
kategori “rezeki yang diberi”. Tapi jumlah orang-orang yang mendapat kemudahan seperti ini
sangat langka.
Padahal, kalau dipikir-pikir, batu apalah Hajar Aswad itu. Sedikitpun tidak menarik. Bukan
permata pun. Tapi terlanjur dipersepsikan sebagai “batu syurga”. Ampun dosa kalau pernah
menciumnya. Bahkan dianggap belum ‘sah’ Tawaf, belum dapat “wings” haji/umrah kalau
belum pernah menciumnya. Terkadang saya heran, kok mencium Batu ini begitu diminati.
Dianggap bisa ampun dosa. Kenapa mencium tangan seorang wali/ulama jadi bid’ah. Mirip
penyembah batu kita ini. Tapi ya itu, ada prestise tersendiri jika dapat mencium batu yang
pernah dicium Nabi ini.
Selanjutnya ada Sa’i. Ini juga lumayan lelah. Memang tidak ada kompetisi, seperti saat
mencium Hajar Aswad. Tapi anda punya kewajiban menuntaskan 7 putaran di Safa dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 232


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Marwah. Capek juga. Bisa keram betis kita. Yang tua-tua harus sering istirahat dipinggir jalan,
sebelum kuat untuk kembali meneruskan Sa’i. Konon lagi kalau anda memilih “berlari-lari”
seperti Siti Hajar, bisa habis nafas anda. Bolak-balik, total jarak tempuh 4,5 Km. Ini tentu
belum seberapa, jika dibanding jamaah yang ziarah ke pusara Sayyidina Husain R.A pada
setiap hari Arbain, di Irak. Yang menempuh jalan kaki 100 km dari Najaf ke Karbala.
Itu gambaran “fase Mekkah”. Periode kehidupan yang mesti kita lalui. Periode dimana sejak
muda anda harus sangat kuat. Harus sigap. Harus kerja keras. Sebab, hidup ini perjuangan.
Butuh sense of competition untuk sukses. Tapi tentu bukan dengan cara menghabisi mati
orang-orang. Walaupun misalnya, jika terjun dalam dunia bisnis dan politik, sadar atau tidak,
anda sebenarnya harus merebut posisi dan ‘menghabisi’ kesempatan orang lain.
Kehidupan “Mekkah” itu lelah. Keras. Tapi kita harus punya bentuk-bentuk itu. Tapi tidak
untuk seumur hidup. Tidak untuk dari pagi sampai malam. Kasihan juga kalau terus
berkeringat dan ngos-ngosan sampai tua. Karenanya harus ada “fase santai” dalam hidup ini.
Harus ada masa pensiun, yang kerjanya hanya goyang-goyang kaki dan ngopi. Tanpa perlu
kerja keras lagi. Itulah suasana Madinah. Tidak ada lagi Tawaf dan rebutan ciuman Hajar
Aswad. Tidak ada lagi lari-lari Sa’i. Kerjanya cuma ibadah santai dan i’tiqaf di Makam Nabi.
Melalui perspektif “Makkah” dan “Madinah”, kita bisa mengevaluasi diri. Seperti apa
kehidupan kita sekarang. Masih berkeringatkah seperti orang Tawaf dan Sa’i? Atau sudah
adem ayem seperti orang-orang yang beriktikaf di ketenangan Masjid Nabawi?
Sejatinya, dimasa muda kita harus menjalani “Periode Mekkah”. Jangan santai. Jangan lalai.
Ada hal yang harus kita geluti secara serius. Disaat masih kuat dan sehat. Sehingga ada titik
dimana kita bisa sukses dan tinggal menikmati hasilnya. Berat rasanya kalau sampai tua masih
“bekerja keras”. Kapan rileksnya?
Kehidupan harian kita juga harus diseimbangkan dalam dua bingkai ini. Siangnya anda harus
bekerja keras, sibuk bergerak kesana kemari untuk membangun hubungan dengan manusia
dalam mencari rejeki. Malamnya anda harus menarik diri, duduk melipat kaki, menghela nafas
panjang dalam ketenangan tahajud dan zikir, sambil ngopi. Itu tradisi sufi dalam bertaqarub
dengan Tuhannya. Memang, kalau dapat banyak uang di waktu siang, enak kita berzikir di
waktu malam. Ideal sufi begitu. Mereka zuhud dalam keadaan tanpa kerisauan lagi kepada
kondisi ekonomi. Itulah Muhammad SAW. Di Mekkah sudah duluan menjadi pebisnis. Sudah
duluan kaya raya. Diakhir usia banyak santai di Madinah. Santai, tapi terus bekerja, dalam pola
berbeda.
***
BAGIAN 7:
“Mencari Tuhan di Baitul Kakbah, Ketemunya di Rumah”
Mengapa harus berhaji ataupun umrah? Ingin mencari Tuhankah?

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 233


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, tidak ada yang mulia dari Masjidil Haram maupun Masjid
Nabawi. Tidak ada yang sakral dari Kakbah. Cuma bangunan biasa itu. Sudah berulang kali
direnovasi. Pun tidak ada yang suci dari kuburan Nabi. Makanya, sekilas sudah pantas kalau
banyak makam dihancurkan oleh otoritas keagamaan di Saudi. Kalau mau diratakan semua,
termasuk Kakbah, sebenarnya bisa. Tidak ada Allah disitu. Allah tidak bisa dikurung dalam
bangunan apapun. Allah juga tidak ada di kuburan manapun. Allah ada di ‘langit’ sana“, saya
mulai berpikir kritis.
“Tapi, karena ini bisnis haji dan umrah, beberapa bangunan harus disisakan. Ada omset tidak
terhingga yang setiap tahunnya masuk ke kantong penerus dinasti. Bukan karena dianggap suci
sekali pun semua tempat yang ditinggalkan oleh Nabi itu. Kalau dianggap suci, maka
semuanya akan benar-benar dipelihara. Kenyataannya, modernisasi Mekkah dan Madinah
seperti tidak ramah dengan tempat-tempat bersejarah. Hampir semua titik-titik yang terkait
Nabi dan para tabiin awal telah hancurkan sedemikian rupa”, saya sampai berpikiran begitu.
Ketika sampai di Mekkah atau Madinah, anda seperti tiba di kota metropolitan di negara entah
berantah. Jauh dari panorama sejarah. Hotel dan gedung-gedung pencakar langit telah
menghilangkan jejak utama dari kesederhanaan asal usul Islam. Anda hanya mampu
menemukan Kakbah saja. Itupun dalam wajah moderen Masjidil Haramnya. Menara Zamzam
yang terlihat menjulang tinggi di balik perbukitan Mekkah, persis seperti tower “mata satu”
milik Lord Sauron dalam Lord of The Rings. Sebuah menara yang dibangun jauh dari nilai
sejarah dan mirip-mirip dibuat untuk ‘menandingi’ kesahajaan Kakbah.
Sementara, ribuan lokasi historis yang berhubungan dengan Nabi, baik di Madinah dan kota
lainnya seperti hilang tersapu pembangunan yang entah mengarah kemana. Walaupun ada
sedikit sisa-sisa bangunan era kenabian, itupun hampir semuanya “terlarang” untuk diziarahi.
Apakah itu makam, masjid tua, dan lainnya. Mirip-mirip diputuskan hubungan kita dengan
Nabi. Aneh, Batu Hitam yang secuil yang ada di pinggang Kakbah bisa mereka jaga. Kenapa
ribuan atau mungkin jutaan kubik batu yang membentuk bangunan makam dan masjid-masjid
awal hilang semua?
Kita sering lupa, agama itu terdiri dari dua komponen: software dan hardware. “Iman/akidah”
adalah software dari agama, yang harus dirawat dengan doktrin-doktrin tertentu. Sementara,
“warisan sejarah” adalah hardware-nya. Rasa beragama tumbuh dari “bentuk-bentuk” dan
bukti-bukti arkeologis yang ditinggalkan. Rasa kehadiran muncul ketika anda mampu
berkomunikasi dengan warisan peradaban, sesederhana apapun itu. Ada genetik para
pendahulu agama yang tersisa pada semua situs dan bangunan. Sehingga disebut sebagai
“rumah suci”.
Ketika makam dan bangunan-bangunan yang pernah disentuh para Nabi, Keluarga dan
sahabatnya dihancurkan; kita akan kehilangan “memori suci”. Kita kehilangan objek visual

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 234


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

yang mampu membawa kita ke lokus kesadaran paling dalam. Maka wajar, ketika orang-orang
yang sedang berumrah atau berhaji, itu tatapannya “kosong”. Mereka tidak lagi mampu
menemukan “peta keislaman” yang asli di tengah kemoderenan Mekkah dan Madinah.
Sejatinya, ziarah ke Tanah Haram adalah napak tilas ke pusara dan bangunan-bangunan yang
menjadi “wasilah” untuk merasakan kehadiran Yang Suci. Anda tidak mengenal Muhammad
SAW, maupun Keluarganya. Anda juga tidak mengenal Ibrahim dan Keluarganya. Juga
sahabat-sahabat mereka. Tapi, ketika memiliki kontak dengan warisan, relasi spiritual anda
dengan mereka akan tumbuh sendiri. Bayangkan kalau anda jauh terpisah dari orang tua.
Dengan menatap foto peninggalannya, itu serta merta membangun hubungan dengan mereka.
Paling tidak, anda harus punya bayangan serta legacy dari mereka. Artinya, mereka “ada”
dibalik imej/foto/bangunan itu. Ada Ruh dibalik benda-benda duniawi. Ada
yang Quddus dibalik Kakbah. Ada yang Sacred dibalik profanitas makam. Itulah “wasilah”.
Itulah inti ziarah, menumbuhkan kesadaran suci dari berbagai bahasa komunikasi dengan
objek-objek pusaka.
Di atas itu semua kita menyadari, selain fisik terasa akan lelah sekali, ziarah ke Kota Suci
adalah sebuah perjalanan jiwa. Anda tidak serta merta menemukan Allah dan Rasulnya pada
semua bangunan fisik yang tersisa. Itu hanya “wasilah-wasilah” untuk menyadari, bahwa
sesungguhnya Allah itu ada dalam Diri, dalam Ruh yang menyertai anda. Sekali lagi, Dia tidak
bertempat. Allah tidak ada pada aneka gedung dan konstruksi:
“Dia tidak ada di Kakbah. Tidak ada di Hajar Aswad. Tidak ada di Multazam. Tidak ada di
Makam Ibrahim. Tidak ada di Hijir Ismail. Tidak ada di rute Safa dan Marwah. Tidak ada di
Mina. Tidak ada di Muzdalifah. Tidak ada di Arafah. Dia tidak ada dimanapun dalam
keramaian itu. Dia justru akan kau temukan dalam kesunyian diri, dalam kegelapan Hirak, saat
kau mengasingkan diri. Allah itu ada dalam ketenangan dirimu. Hatimu lah Kakbah itu.
Lataifmu lah, makam Rasulmu. Denyut dan suara-Nya ada dalam dirimu”.
Sekitar 500 tahun lalu, dalam bahasa berbeda Hamzah Fansuri berkata:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Kakbah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya ditemukan di dalam rumah
Fansuri juga mengakui, perjalanan ziarah ke Mekkah “terlalu payah”. Terlalu banyak biaya dan
tenaga yang dikeluarkan. Apalagi di era pejalan kaki, menggunakan kapal laut dan unta. Pasti
banyak sekali ujian dan tantangan yang dihadapi. Tapi Tuhan tidak ada di semua tempat yang
dikunjungi. Allah justru ditemukan dalam Diri. Di ‘rumah’. Di qalbu. Bahkan pada diri guru-
guru spiritualmu.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 235


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Suatu ketika, Abu Yazid Al-Bistami hendak berhaji ke Mekkah. Dia singgah disebuah tempat
guru sufi di Basrah. Sang guru bertanya, “Hai Abu Yazid, mau kemana engkau?”. Abu Yazid
menjawab, “Aku hendak menunaikan ibadah haji ke baitullah Mekkah”. Sufi ini bertanya lagi,
“Berapa banyak uang yang kau bawa untuk pergi kesana?”. Abu Yazid kembali menjawab, “200
dirham”. Sang sufi menodongnya, “Berikan uang itu kepadaku. Tak usah kau ke Mekkah sana.
Kau tawaf aku saja sebanyak tujuh kali sebagai penggantinya”. Sang guru menjelaskan, “Abu
Yazid, tahukah engkau bahwa Allah tidak pernah bersemayam di Kakbah sejak itu selesai
dibangun. Tapi, Dia tidak pernah keluar dari hatiku sejak Dia hadir disana”.
Ketika Ruh-mu sudah tersambung dengan-Nya, melalui wasilah-wasilah spiritual, Dia dapat
ditemukan dimana-mana, bahkan di kampungmu sendiri. Dalam dirimu sendiri. Setelah itu,
ziarah ke Baitul Kakbah hanya sebuah perjalanan memorial bersama-Nya, di dalam-Nya.
Untuk menapak tilasi jejak fisik dan ruhani para Rasulnya.
***
PENUTUP. Luar biasa perjalanan umrah kali ini. Sejak pergi sampai pulang dimudahkan Allah
SWT. Sepertinya Rasulullah sungguh-sungguh menerima kami di dua Kota Sucinya. “Sejak
landing di Madinah, rasa senang Nabi atas kepulangan kita sudah terasa. Buktinya, Arab Saudi
bisa menang melawan Argentina”, kata saya bercanda kepada istri, meniru kata-kata Abuya
Sufimuda. “Ketika hendak pulang, Jeddah pun mengalami banjir tidak biasa. Seolah-olah ingin
membersihkan jalan-jalan yang ingin kita lewati sebelum take off kembali ke
Indonesia”, tambah saya lagi yang disambut tawa oleh istri.
Terima kasih kepada Sayyid Husain yang telah mengajak kami ziarah ke dua Kota Suci.
Semoga mabrur bersama istri dan anaknya. Selamat juga kepada istri kami yang telah
memecahkan Guinness World Record. Dalam sekali umrah, bisa mencium Hajar Aswad 4 kali.
Banyak pengalaman spiritual yang tidak bisa kami ceritakan semua. Selamat juga kepada 150
jamaah lain yang satu rombongan. Kami doakan agar umrah kita diridhai Allah dan Rasulnya.
Terima kepada ustadz Jamhuri Ramli atas panduannya selama di Madinah dan Mekkah.
Terima kasih juga kepada ustadz Marzuq dan Abdullah, mutawif (tour guide) yang begitu gigih
dan ramah, mulai sejak di Madinah sampai ke Mekkah. Apresiasi juga kami berikan kepada
ustadz Muhammad Ikhsan “Tabarak”, atas proses fasilitasi dan perhatian yang luar biasa
selama perjalanan umrah ini. Mabrur dan mabrurah untuk semuanya!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 101 | Desember 2022


PENDOSA YANG DICINTAI ALLAH
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 236


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Dulu, ada seorang pendosa. Tiap hari kerjanya berbuat maksiat. Sampai suatu waktu, ia selalu
melaporkan maksiatnya, selama 40 hari tanpa henti kepada Allah.
Hari pertama, ia mencuri barang orang. Malamnya ia melapor. “Ya Allah, terserah Engkau
suka atau tidak, pokoknya telah kucuri barang kepunyaan tetanggaku siang tadi”, begitu
katanya.
Hari kedua, ia menipu kawannya. “Ya Allah, terserah Engkau suka atau tidak, pokoknya telah
kutipu kawanku sore tadi”, begitu katanya.
Hari ketiga, ia berbohong kepada istrinya. “Ya Allah, terserah Engkau suka atau tidak,
pokoknya tadi pagi aku berkata bohong kepada istriku”, begitu katanya.
Begitulah seterusnya. Selama 40 hari, tidak pernah berhenti ia melakukan aneka kezaliman,
keburukan dan kemungkaran. Selama 40 hari itu pula, ia tidak pernah berhenti melaporkan
semua tindak jahatnya itu secara sungguh-sungguh kepada Allah.
Pada hari ke 40 itu, malamnya ia bermimpi. Tiba-tiba Allah mendatanginya. Lalu
berfirman, “Wahai hambaku yang penuh dosa, mulai saat ini kuangkat engkau sebagai kekasih-
Ku”.
Si pendosa ini terkejut dan terbangun. Lalu melakukan protes. “Ya Allah, bagaimana mungkin
Engkau angkat aku sebagai kekasih-Mu. Sementara dosaku sudah menggunung. Kejelekanku
sudah tidak terhitung. Engkau pasti sedang bercanda”.
Malam selanjutnya, Allah kembali hadir dalam mimpinya dan bersabda. “Wahai
hambaku, dosa dan keburukanmu memang sudah menggunung dan tak mungkin terhapuskan.
Tapi, kemauanmu untuk selalu mengingat-Ku sepanjang kejahatanmu itu, telah membuat
rahmat-Ku turun kepadamu melampaui besarnya murka-Ku”.

Saudara-saudara sekalian. Tidak usah diprotes tentang cerita ini. Terima saja. Sebab, si pendosa
itu adalah saya, dan juga anda semua. Bedanya, kita tidak diangkat Allah untuk menjadi
kekasih-Nya. Karena, setiap berbuat dosa, kita lupa mengingat-Nya.
Sementara, ada satu dua orang, yang begitu menyadari akan dosa-dosanya dan tidak sungkan-
sungkan mengakui itu setiap hari dihadapan Tuhannya. Sedangkan kita, setiap hari melakukan
dosa, tapi merasa tidak pernah melakukannya. Kita, sudah banyak dosa, lupa pula mengingat
Allah. Bahkan merasa diri terlalu suci.
Tahukah anda apa itu dosa besar?
Dosa besar adalah, ketika anda merasa tidak pernah berdosa. Dosa besar adalah, merasa bahwa
hari ini tidak melakukan dosa. Begitulah setiap harinya, kita lewati tanpa merasa ada dosa. Dan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 237


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

begitu pula, kita lalui waktu demi waktu tanpa pernah mengakui secara serius kepada Allah
bahwa kita senantiasa melakukan dosa.
Tahukah anda apa dosa terbesar?
Dosa terbesar adalah “syirik”. Syirik adalah melupakan Allah. Itulah bentuk dari menduakan
Tuhan, dengan cara melupakan Dia, lalu menghabiskan waktu untuk mengingat yang lain
selain Dia. Banyak orang yang menghabiskan waktu mengabdi kepada nusa dan bangsa,
kepada umat dan agama. Memang itulah pekerjaan kita setiap hari. Tapi riya’. Lupa kepada
Allah. Dikiranya ada Allah pada itu semua. Padahal, iblis juga disitu.
Kita diciptakan hanya untuk ingat dan mengabdi hanya kepada Allah. Sedetik saja kita lupa
“mengingat” (berzikir) kepada Allah, sedetik itu pula kita telah melakukan kesyirikan.
Bayangkan, betapa musyriknya kita, gegara sering lupa kepada Allah. Kalau kita sadar ini,
maka tidak ada satu hari pun yang kita lewati tanpa melakukan sholat taubat.
Kita manusia, semuanya pendosa. Tapi, sebaik-baik manusia adalah yang setiap hari hadir ke
hadapan Tuhan untuk membuat pengakuan dosa. Jangankan kita, Nabi pun yang disebut
sebagai “suci”, tidak pernah melewati hari tanpa istighfar yang banyak sekali. Bukan istighfar
karena dosanya. Tapi karena merasa masih berdosa. Merasa ada yang kurang dari apa yang
dilakukannya. Merasa ada yang salah dan lemah dari apa yang diusahakannya. Itu yang
membuatnya semakin suci. Orang suci adalah orang yang merasa paling banyak dosa.
Tidak ada dosa yang tidak diampuni, selama setiap hari kita bersedia mendatangi Dia melalui
zikir. Melalui istighfar yang sungguh-sungguh sebagai seorang pendosa. Itulah kenapa, zikir
dapat mengangkat derajat seseorang di sisi Allah. Kita masuk surga bukan karena bagusnya
amal kita. Sebagian besar justru masuk surga karena tidak pernah melupakan-Nya. Selalu
mengingat-Nya. Itulah yang membuat Allah mencintai mereka.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 102 | Desember 2022


MERINTIS JALAN MAKRIFAH, DARI “ILAH” KE “ALLAH“
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Terkait dengan dikenal atau tidaknya sebuah objek, dalam bahasa Arab ada namanya isim
“nakirah” (‫ ) كرة‬dan isim “makrifah” (‫)معرفة‬. Isim nakirah adalah sebuah benda, objek atau
nama yang masih bersifat umum; belum dikenal. Sementara isim makrifah sudah merujuk
kepada sesuatu yang telah definitif, sudah dikenal.

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 238


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Dalam bahasa Inggris, isim makrifah ditandai dengan pembubuhan artikel “the” di awal sebuah
nomina. Misalnya “house”, artinya rumah. Tapi masih dalam makna umum, nakirah. Ketika
ditulis atau disebut “the house”, itu pertanda rumahnya sudah dikenal. Sudah diketahui dengan
jelas rumah mana yang dimaksud. Wujudnya sudah diketahui.
Dalam hal ini, kata “ilah” ( ‫)ا‬, itu artinya tuhan. Konsepnya masih umum. Baru bermakna
khusus, atau bersifat definitif dan dikenal, ketika dimasuki huruf alif+lam (‫)ال‬. Huruf ini
disebut sebagai alif lam makrifah atau alif lam ta’rif. Ketika sebuah objek, benda atau nama
diberi alif lam diawal, itu objeknya sudah merujuk kepada sesuatu yang jelas dan dikenal.
Oleh karena itu, Allah ( ّ ٰ ‫ )ا‬adalah sebuah isim makrifat. Allah adalah Tuhan (Ilah) yang telah
dikenal, telah diberi alif+lam. Allah adalah Tuhan yang telah dimakrifati. Allah adalah Tuhan
yang telah ada Wujudnya. Allah adalah Tuhan yang anda sudah punya ikatan mental batiniah
(rabithah) dengannya. Allah adalah Tuhan (Ilah) yang telah memperkenalkan diri-Nya. Tidak
lagi tersembunyi. Sudah definitif. Dikenal. Nyata wujudnya. Itulah Allah, Tuhan (Ilah) yang
sebenarnya. Bisa dijangkau. Terkonfirmasi eksistensinya.
Kalau Dia belum dikenal, maka ia belum menjadi Allah. Ia masih menjadi wujud imajinal-
teoritikal kita saja. Boleh jadi ia hanya benda-benda semata (bumi, bintang, bulan, matahari,
alam semesta, dan lainnya) yang kita duga sebagai Tuhan, tapi sebenarnya bukan Tuhan.
Semua orang percaya kepada adanya ilah. Tapi tidak banyak yang bisa sampai kepada
mengenal Wajah Allah. Tidak banyak yang bisa sampai pada pengetahuan definitif tentang
Allah.

Karena pentingnya mengenal Tuhan, maka pernyataan paling primer dalam beragama adalah
“La ilaha illa Allah”. Secara sederhana diartikan, “Tidak ada tuhan selain Allah”. Arti lebih
mendalam, “Tidak ada ilah (tuhan) kecuali al-Ilah/Allah (Tuhan yang telah dikenal).”
Maknanya, Tuhan (Ilah) yang benar adalah Tuhan yang sudah dikenal (Al-Ilah, Allah). Karena
itu, sebagian scholar mengartikan syahadat sebagai, “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan”. Kita
hanya bertuhan kepada Tuhan yang sudah nyata kebenarannya, Haqq. Disini, Tuhan yang
telah dikenal ditulis dengan “T” besar. Sedangkan tuhan-tuhan imajinal lainnya ditulis dalam
“t” kecil.
Karena itulah, “mengenal Allah” (mendefinitifkan ilah) menjadi perhatian utama dalam dunia
spiritual Islam. Sehingga dikenal kalimat “awaluddin makrifatullah”. Awal dari agama adalah
mengenal Allah. Sejauh kita tidak mengenal Allah yang definitif, maka kita pasti bertuhan
kepada berbagai bentuk ilah.

Sebenarnya, semua yang ada adalah “ilah”. Semuanya mengandung unsur-unsur ilahi.
Semuanya memiliki “ruh”. Semuanya hidup dan punya jiwa. Gunung, pohon, bangunan

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 239


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Kakbah, bintang, bulan, matahari, manusia, binatang; semuanya ilah. Semua itu “bagian” dari
diri-Nya. Semua tercipta dari-Nya. Semua bagian dari gradasi, cahaya-Nya. Semua bagian dari
ilmu dan kekuasaan-Nya. Alam semesta ini sakral sebenarnya. Semuanya adalah “ayat”, tanda-
tanda dari-Nya. Bayangan-Nya. Semuanya memiliki jejak yang berdimensi “ilahi”. Tapi itu
bukan Allah dalam wujud azali. Dia bukan semua materi itu. Meskipun itu semua juga tidak
terpisah dari-Nya (Ahad).
Jadi; yang mana Allah, Tuhan yang definitif itu? Yang mana Allah, Tuhan yang sudah dikenal
itu?
Allah adalah Dia yang ada di dalam, di balik dan yang meliputi itu semua. Dia adalah
perbendaharaan tersembunyi, yang telah memperkenalkan Diri dan bertajalli dalam qalbu para
nabi dan utusan-Nya. Karenanya Dia disebut Allah, “ilah” yang telah diberi alif lam makrifah.
Allah adalah Tuhan yang telah dikenali oleh manusia tertentu. Telah hadir dalam ruhani
manusia tertentu. Bahkan sering diajak berbicara dan selalu dibisiki oleh-Nya.
Allah adalah Tuhan yang definitif. Tuhan yang sudah tidak lagi berjarak dengan hambanya.
Allah adalah Tuhan yang sudah begitu dipahami dan rasakan kehadirannya. Tuhan yang selalu
didengar Kalamnya. Allah adalah Tuhan yang Maha Hidup, Maha Berkata-kata; dan dapat
dijumpai kapan saja. Allah adalah Tuhan yang sudah diketahui titik koordinat dan frekuensi
keberadaannya.
Sudahkah kita mengenal Tuhan, sehingga berhak menyebutnya “Allah”? Sudahkah Dia hadir
untuk memperkenalkan diri-Nya, sehingga Dia layak disembah? Sudahkah kita akrab dengan-
Nya? Kalau sudah, kita sudah mencapai Tuhan pada level makrifah. Kalau belum, kita masih
bertuhan pada level umum, level awam, level kira-kira, level “nakirah”.
Tuhan yang dikenal (definitif) adalah satu-satunya Tuhan yang pantas disembah. Sebab, Tuhan
yang dikenal pasti mudah diingat. Tuhan yang dikenal mudah dihadirkan dalam sholat.
Kepada Muhammad SAW suatu ketika Dia hadir dan berkata:
‫نﲏ َا َ ا ٰ ّ ُ َﻻ ٓ ِا ٰ َ ِاﻻ ٓ َا َ ۠ فَا ْع ُبدْ ِ ْۙﱐ َو َا ِق ِم الص ٰلو َة ِ ِ ْك ِر ْي‬
ٓ ْ ِ ‫ِا‬
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan
tegakkanlah sholat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14).
Jadi, sholat itu hanya bisa benar-benar tegak setelah kita memakrifati Allah. Sholat menjadi
tegak setelah Tuhan menjadi definitif, tersaksikan. Identitasnya diketahui. Karena itulah, rukun
Islam yang pertama adalah syahadat (dalam makna memakrifati Allah). Baru kemudian sholat
(yaitu usaha menyembah dan mengingat sesuatu yang sudah dikenal itu). Semoga keislaman
kita terus berkembang ke arah kesempurnaan seperti itu.
PENUTUP. Allah yang definitif itu punya 99 Nama atau Wajah definitif lainnya. Mungkin kita
tidak mengenal yang 99 itu. Maka ada Nama “rahasia”-Nya yang ke 100 yang diutus kesetiap

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 240


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

umat dan masa (QS. At-Taubah: 128). Siapapun yang menebal Nama/Wajah ke 100 itu,
sesungguhnya ia telah mengenal Allah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

“Jurnal Suficademic”| Artikel No. 103 | Desember 2022


“THE INFINITY”: MENGURAI MAKNA SHOLAWAT DALAM KERESAHAN TAUBAT
SOEKARNO
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Dalam sebuah riwayat sufistik disebutkan. Suatu ketika Jibril AS berkata, “Ya Muhammad, aku
mampu menghitung berapa tetes air hujan yang turun sejak Adam tercipta. Tapi, aku tidak
mampu menghitung berapa banyak pahala yang diperoleh oleh seseorang ketika bersholawat
kepadamu”.
Dalam riwayat lainnya dari Tirmizi juga disebutkan. Jibril AS berkata, “Allah berikan aku
kecerdasan untuk mampu mengetahui jumlah lembar dedaunan yang ada di bumi, jumlah ikan
di laut, jumlah bintang di langit, jumlah butiran pasir di bumi. Tapi satu hal yang aku tidak
tau, jumlah Rahmat yang diperoleh umatmu ketika bersholawat kepadamu”.
Malaikat yang super cerdas, itu mampu menghitung jumlah tetesan hujan yang pernah turun
ke bumi, dan sebagainya itu. Tapi menyerah, ketika harus mengkalkulasi pahala orang yang
bersholawat. Kenapa?
***
Salah satu jawabannya dapat diperoleh dari hasil sebuah diskusi yang terjadi pada tahun 1965,
antara Presiden Soekarno dengan ahli metafisika Islam Indonesia, Prof. Dr. Kadirun Yahya
(1917-2001). Kisah ini pernah diulas disejumlah media. Profesor ini bukan sosok biasa. Prof
Kadirun merupakan seorang walimursyid sebuah tariqah sufi. Ia termasuk ulama fenomenal.
Sampai akhir hayat punya 700 surau tempat zikir di seluruh Indonesia.
Soekarno memanggil Beliau dan bertanya. Kenapa seorang pelacur bisa masuk surga hanya
gara-gara memberi minum seekor anjing yang kehausan? Kok semudah itu? Apakah kita yang
banyak sekali dosa ini juga bisa masuk surga kalau memberi minum anjing yang kehausan?
Enak sekali kalau begitu. Buat dosa banyak-banyak, kasih minum anjing. Selesai!
Soekarno sudah 10 tahun mencari jawaban untuk kasus ini. Tapi ia tidak puas dengan berbagai
jawaban yang ia peroleh dari banyak ulama. Sukarno sebenarnya sedang ketakutan dengan
dosa-dosanya. Ia ragu, apakah masih bisa bisa terhapuskan. Tapi, pada kasus pelacur itu, ia

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 241


Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

melihat cara masuk surganya mudah sekali. Tapi ia juga ragu, rasanya tidak semudah itu. Tapi
kalaupun bisa, apa sebabnya?
***
Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al-Khalidi kemudian menjelaskan kepada
Soekarno dalam bahasa ilmiah eksakta yang bisa dipahami untuk seorang insinyur seperti
Soekarno. Diriwayatkan, dialog antara keduanya terjadi dalam bahasa Belanda. Karena
keduanya pernah menempuh pendidikan berbahasa Belanda.
Seorang pelacur atau siapapun dari kita, itu tidak akan terhapus dosa hanya gara-gara memberi
minum anjing yang kehausan. Dosa pelacuran, dosa menganiaya orang, dosa korupsi atau
sejenisnya; itu terlalu besar. Tidak akan terhapus karena rajinnya sholat ataupun rutinnya naik
haji. Adam, itu 40 tahun lamanya terlunta-lunta dalam dosa akibat mencicipi sedikit dari
Khuldi. Padahal setelah itu, siang malam ia beribadah memohon ampun kepada Allah. Tapi
tidak terima juga. Sampai kemudian, ia membaca sebuah Nama yang ia ingat tertulis di
dinding surga. Dengan Nama itulah ia bertawasul. Seketika dosa-dosanya terhapuskan.
Kenapa bisa begitu?
Dalam bahasa Prof. Kadirun, Adam dan juga sang pelacur itu, telah menemukan the infinity,
“faktor tidak terhingga” (simbolnya: ∞). Kepada Soekarno Beliau menjelaskan sebuah model
matematika sederhana. Sepuluh dibagi faktor tidak terhingga, hasilnya nol (10 : ∞ = 0). Begitu
juga dengan seratus, seribu, sejuta atau berapapun; ketika dibagi “faktor tidak terhingga”,
hasilnya tetap nol. Dosa, berapapun besarnya, kalau dibagi “faktor tidak terhingga”, hasilnya
menjadi nol.
Begitu juga kalau seratus, seribu, sejuta atau berapapun saja; jika dikali “faktor tidak
terhingga”, hasilnya menjadi “tidak terhingga”. Begitu juga satu dikali “faktor tidak terhingga”,
hasilnya tidak terhingga (1 x ∞ = ∞). Artinya apa? Si pelacur, walau hanya berbuat satu
kebaikan saja, tapi menemukan “faktor tidak terhingga”, sehingga hasilnya adalah surga yang
tak terhingga.
***
Itulah yang harus ditemukan dalam hidup ini, “Faktor Tidak Terhingga” (The
Infinity). Sehingga tidak ada lagi hijab antara anda dengan Allah SWT. Anda memiliki akses
langsung kepada Allah SWT. Dosa menjadi terampuni. Dengan faktor ini, amal anda tidak
akan dihisab lagi di akhirat nanti.
Itulah Nama yang Adam lihat di Surga, yang dengan Nama itu ia bertawasul sehingga dosa
besarnya di-nol-kan oleh Allah SWT. Itulah sholawat. Itulah wasilah. Wasilah adalah
pengambilan sebuah “Nama”, yang Nama itu adalah Asma, tajalli, bahkan Diri-Nya sendiri.
Nama Allah banyak ditempel dimana-mana. Nama Muhammad juga beredar sangat luas.
Hanya saja, ada nama yang palsu (berdimensi duniawi) dan ada yang asli (berdimensi surgawi).
“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 242
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

Mengucap nama Allah atau nama Rasulullah yang palsu, itu tidak memberi pengaruh apapun
pada diri kita. Atau mungkin sedikit sekali pengaruhnya. Tapi, mengucap Nama yang
asli, Nama yang suci, itu bisa menghadirkan langsung Allah SWT. Lisan bisa saja mengucap
semua nama secara fasih dan merdu. Tapi Nama atau Kalimah yang asli haruslah sesuatu yang
turun langsung dari sisi-Nya. Tidak bisa dibuat-buat. Hanya ruhani yang telah mengenal-Nya
yang mampu memanggilnya.
Betapa banyak orang yang mengadu pada Allah, pada Rasulullah. Tapi Allah dan Rasulullah
tidak pernah hadir. Karena nama yang ia ucapkan palsu, dari mulut semata. Doa menjadi
karamah dan makbul ketika kita menemukan Nama atau Kalimah yang asli, yang ada Allah
pada Nama itu. Sebab, sesungguhnya Dzat-Nya tidak pernah terpisah dengan Namanya.
Kisah pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum anjing, itu bukan cerita biasa.
Bukan karena sekedar memberi minum anjing ia ke surga. Tapi ia menemukan “wasilah”, jalur
atau “frekuensi” yang menghubungkan dia dengan-Nya. Ia menemukan Nama Tuhan yang asli
dalam amalannya itu. Sehingga segala dosa besarnya dihapus oleh Allah SWT. Ia mampu
menjangkau Tuhan yang maha jauh lewat sebuah channel spiritual, sehingga terdengar dan
terjawab segala doanya.
Sholawat yang asli adalah wasilah/frekuensi, wujud kehadiran Tuhan itu sendiri. Allah hadir
(bersholawat) pada Nabi (QS. Al-Ahzab: 56). Itulah kenapa Jibril tidak punya kemampuan
untuk menghitung semua amal yang ada wujud hakiki dari sholawat. Karena ada Allahnya
disana. Ada “faktor tidak terhingga”.
Oleh sebab itu, pekerjaan terberat dalam beragama sebenarnya adalah menemukan “faktor
tidak terhingga”. Dan itu adalah para nabi dan warisnya, para “pembawa wasilah” (frekuensi
ketuhanan). Menemukan itu, berarti anda menemukan Allah. Sholawat adalah aktifitas
memuji-memuji sosok manusia, yang disitu ada Tuhannya, agar ibadah kita diterima. Entah itu
syirik atau tidak. Tapi memang begitu kenyataannya.
Kita bersyukur, sejak zaman Adam sampai kiamat nanti, Allah tidak pernah berhenti mengutus
“faktor tidak terhingga” kepada setiap kaum dan masa. Agar mereka menjadi wasilah atau
channel frekuensi bagi kita dalam mengakses rahmat, keampunan dan kasih sayang-Nya:
‫لَقَدْ َ ۤا َء ُ ْﰼ َر ُس ْو ٌل ِّم ْن َانْ ُف ِس ُ ْﲂ َع ِزْ ٌز َلَ ْي ِه َما َعنِ ْﱲ َح ِريْ ٌص َلَ ْي ُ ْﲂ ِ لْ ُم ْؤ ِم ِ ْ َﲔ َر ُء ْو ٌف ر ِح ْ ٌﲓ‬
“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa
olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-
Taubah [9]: 128).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.


“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 243
Saidmuniruddin.com – “The Suficademic”

“ Jurnal The Suficademic 2022“ (Said Muniruddin) 244

Anda mungkin juga menyukai