) PADA
STANDARISASI OBAT FITOFARMAKA
Disusun Oleh:
Heru Pujianto (202051197)
Rizky Khaeruddin (201951179)
Dewi Puspitasari (202151008)
Anis Rahmayanti (202051027)
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmatnya sehingga
makalah dengan judul “UJI SIMPLISIA DAUN SELEDRI ( Apium graveolens Linn. ) PADA
TAHAPAN AWAL SAMPAI AKHIR MENJADI SEDIAAN FITOFARMAKA” ini dapat
diselesaikan tepat waktu, untuk digunakan sebagai tugas kelompok di kelas Mata Kuliah
Farmakognosi II yang diampu oleh Jessica Rusli, S.Si., M.Sc .
. Dalam makalah ini kami menyajikan tentang UJI SIMPLISIA DAUN SELEDRI ( Apium
graveolens Linn. ) PADA TAHAPAN AWAL SAMPAI AKHIR MENJADI SEDIAAN
FITOFARMAKA, dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak tinjauan dari beberapa buku,
jurnal dan makalah yang dikutip dari berbagai sumber dan sangat membantu dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu kami ucapkan banyak terima kasih, semoga dengan adanya makalah
ini, dapat memberikan manfaat untuk kami maupun pembaca. Meski begitu, kami menyadari
bahwa pada penyusunan makalah ini belum mencapai kesempurnaan. Oleh sebab itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, sehingga makalah ini menjadi lebih
baik dan bermanfaat bagi kita semua.
(Penulis)
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Klasifikasi Daun Seledri
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Umbelliferales
Famili : Umbelliferae
Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens L.
Daun Seledri (Apium graveolens L) merupakan salah satu dari jenis terapi herbal untuk
menangani penyakit hipertensi. Masyarakat Cina tradisional sudah lama menggunakan
seledri untuk menurunkan tekanan darah. Seledri memiliki kandungan yang lebih banyak
untuk menurunkan tekanan darah dari pada tumbuhan lain yang dapat juga digunakan
untuk menurunkan tekanan darah tinggi seperti daun salam yang hanya memiliki
kandungan minyak asiri dan flavonoid untuk menurunkan tekanan darah dan mahoni yang
hanya memiliki kandungan flavonoida untuk menurunkan tekanan darah sedangkan seledri
memiliki kandungan apigenin yang sangat bermanfaat untuk mencegah penyempitan
pembuluh darah dan tekanan darah tinggi. Selain itu, seledri juga mengandung flavonoid,
vitamin C, apiin, kalsium, dan magnesium yang dapat membantu menurunkan tekanan
darah tinggi.
Tahun 1985, Dondokambey telah melakukan penelitian pemberian ekstrak seledri
dengan cara peras dan hasilnya menunjukkan penurunan tekanan darah pada kucing dan
dari hasil penelitian lainnya telah dibuktikan juga, sari seledri menurunkan tekanan darah
1
pada hewan percobaan kucing. Telah pula dibuktikan, air rebusan seledri menurunkan
kadar kolesterol darah hewan percobaan tikus. Beberapa orang yang telah mengunakannya
untuk tujuan menurunkan tekanan darah juga telah merasakan manfaat tersebut. Efek
farmakologis dan beberapa hasil penelitian tentang seledri, yakni sebagai berikut :
- Infus daun seledri dengan kadar 10 % sebanyak 5 ml/kg bb akan memberikan efek
penurunan kadar asam urat darah kera secara nyata, jika dibandingkan dengan
pemberian probenecid 20 mg/kg bb pada 3,4,5 dan 6 jam pemberian. Akan tetapi, akan
berbeda nyata jika dibandingkan dengan probenecid pada 7,5, dan 9 jam pemberian
Junaidi (2010). Selain itu ada juga penelitian tentang pemberian ekstrak seledri dengan
cara peras maupun refluks yang menunjukkan penurunan tekanan darah kucing.
Alkaloid yang terkandung dalam biji seledri mempunyai efek sedatif dan
antikonvulsan pada tikus. .Minyak menguap pada biji seledri dapat menghambat
perkembangan jamur, seperti Histoplasma capsulatum dan Candida albicans
B. RUMUSAN MASALAH
1. Uji fase 1 pada tahapan Fitofarmaka pada simplisia daun seledri.
2. Uji fase 2 pada tahapan Fitofarmaka pada simplisia daun seledri.
3. Uji fase 3 pada tahapan Fitofarmaka pada simplisia daun seledri.
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui uji fase 1 pada tahapan Fitofarmaka
2. Untuk mengetahui uji fase 2 pada Fitofarmaka
3. Untuk mengetahui uji fase 3 pada Fitofarmaka
2
BAB II
ISI
3
Berdasarkan hasil skrining fitokimia terhadap simplisia dan infusa daun seledri
menunjukkan positif senyawa flavonoid, saponin dan polifenol. Flavonoid yang
terkandung di daun seledri dalam hal ini yaitu apigenin telah terbukti dapat menurunkan
tekanan darah dengan beberapa mekanisme kerja seperti menghambat enzim angiotensin
converting enzyme, menghambat kanal kalsium dan menghambat reseptor beta-1 di
jantung
3. Tinjauan Identifikasi Senyawa
Skirining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang
bertujuan memberi gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman
yang diteliti. Metode skrining fitokimia yang dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna (Kristianti dkk., 2008). Skrining
fitokimia bertujuan memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung
dalam tanaman meliputi pemeriksaan alkaloid, glikosida, steroid/triterpenoid, saponin,
flavonoid, polifenol, dan tannin.
a. Uji Alkaloid
Uji alkaloid menurut Harborne (1996) dilakukan dengan cara menambahkan setiap
ekstrak sebanyak 10 mL dengan 1,5 ml HCl 2N, dipanaskan selama 5 menit kemudian
disaring. Hasil saringan ditambahkan dengan 5 tetes pereaksi Dragendorff. Hasil positif
adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan oranye/jingga.
b. Uji Flavonoid
Uji flavonoid menurut Depkes (1995) dilakukan dengan cara 1 mL ekstrak dilarutkan
dengan 1 mL etanol 95%. Kemudian ditambahkan dengan 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes
4
HCl pekat, kemudian dikocok kuat-kuat. Uji positif ditunjukan dengan terbentuknya
warna merah, kuning atau jingga.
c. Uji Steroid
Uji steroid dan terpenoid dilakukan menggunakan metode LiebermanBurchard (Juwati
1998). Sebanyak 50 Mg ekstrak ditambahkan dengan 5 tetes asam asetat anhidrat lalu
dikocok. Kemudian, ditambahkan 2 tetes H2SO4 pekat, kocok dan diamati. Hasil positif
ditunjukkan oleh terbentuknya warna hijau biru menandakan adanya steroid, sedangkan
warna merah adanya terpenoid.
d. Uji Saponin
Uji saponin dilakukan dengan menambahkan 1 mL ekstrak yang diencerkan
menggunakan aquades dengan volume sama. Dituangkan ke dalam tabung reaksi, lalu
dikocok selama 15 menit. Hasil positif ditunjukkan adanya buih yang stabil selama 5
menit (Depkes, 1987).
e. Uji Tanin
Uji tanin dilakukan dengan mengencerkan 1 mL ekstrak dengan 2 mL aquades.
Kemudian, ditambahkan 3 tetes larutan FeCl3. Hasil positif ditunjukkan oleh terjadinya
perubahan warna larutan menjadi biru kehitaman atau hijau kehitaman (Depkes, 1987).
f. Uji Fenol
Uji fenol menurut Depkes (1987) dilakukan dengan menambahkan 1 mL ekstrak dengan
3 tetes FeCl3 1%. Ekstrak positif mengandung fenol apabila menghasilkan warna hijau,
merah, ungu.
5
B. Uji tahapan Fitofarmaka Fase 2
Uji toksisitas Merupakan suatu sifat relative yang biasa digunakan untuk membandingkan
apakah zat kimia yang satu lebih toksik dari zat kimia yang lain. Perbandingan antara zat kimia
seperti itu tidak informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang
mekanisme biologi yang dipermasalahkan dan dalam kondisi dimana zat kimia tersebut
berbahaya (Loomis, 1978).Uji toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik
atau untuk menilai batas keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan suatu senyawa
Pengukuran toksisitas dapat ditentukan dengan suatu cara kuantitatif yang bermanfaat untuk
menyatakan tingkat keamanan dan tingkat keberbahayaan zat tersebut.
Sumber zat toksik banyak dan bervariasi serta terdiri dari beberapa klasifikasi. Zat toksik
dapat dibedakan secara sederhana menjadi dua, yaitu zat toksik yang berasal dari sumber alam
dan zat toksik buatan atau sintetis.Prosedur awal untuk menentukan toksisitas senyawa baru
adalah dengan membuat satu kisaran dosis kasar untuk diberikan pada hewan uji Takaran dosis
yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang belum
memberikan efek kematian seluruh hewan uji sampai dosis tertinggi yang dapat mematikan
seluruh atau hampir seluruh hewan uji (Donatus, 1990).
Pengamatan aktivitas biologi yang dilakukan pada un toksisitas dapat berupa Pengamatan
aktivitas biologi yang dilakukan pada uji toksisitas dapat berupa pengamatan gejala-gejala
klinis, kematian hewan uji atau pengamatan histopatologi organ. Adapun data yang diperoleh
pada uji toksisitas dapat berupa data kuantitatif yang dinyatakan dengan LDso (median lethal
dose) atau LCso (median lethal konsentrasi ). Harga LDs dan LC50 suatu senyawa harus
dilaporkan sesuai dengan lamanya pengamatan. Bilamana lama pengamatan tidak ditunjukkan
dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).
Uji toksisitas dengan hewan uji Artemia salina Leach dapat digunakan sebagai uji
pendahuluan pada penelitian yang mengarah ke uji sitotoksik karena ada kaitan anatara uji
toksisitas dan uji sitotoksik jika harga LCso dari uji toksisitas lebih kecil dari 1000
µg/ml.Parameter yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas biologi suatu senyawa pada
Artemia salina Leach adalah kematian. Keuntungan penggunaan Artemia salina Leach sebagai
hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat dan konsentrasi yang
kecil untuk menimbulkan aktivitas biologi (Meyer et al., 1982).
6
1. METODE DAN BAHAN
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), adalah metode yang biasa digunakan dalam
pengujian toksisitas akut karena senyawa – senyawa yang memiliki bioaktivitas tertentu
sering kali bersifat toksik terhadap larva udang (Kristanti, dkk, 2008). Prinsip dari metode
ini berdasarkan pada tingkat mortalitas larva udang Artemia salina Leach terhadap ekstrak
uji. Hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LC50 ekstrak uji, yaitu jumlah dosis atau
konsentrasi ekstrak yang dapat menyebabkan sejumlah 50% kematian larva udang setelah
masa inkubasi 24 jam. Ekstrak uji dikatakan toksik apabila nilai LC50 < 1000 mcg/ml.
metode ini sering digunakan karena relatif murah, cepat, dan hasilnya dapat dipercaya.
Oven pengering, blender, rotary vacuum evaporator, thermometer, pH meter, neraca
analitik, frezze drying, wawah kaca transparan, alat – alat gelas. Etanol 70%, aquadest,
NaCl, MgSO4, MgCl2, KCl, CaCl2, NaHCO3, batang seledri, telur udang Artemia salina
L.
a. Ekstraksi simplisia batang seledri Sebanyak 1 kg simplisia seledri kering dimaserasi
dengan pelarut tanol 70% selama 3 x 24 jam, setiap 24 jam maserasi disaring dan
diganti pelarutnya. Hasil maserasi selanjutnya di pekatkan dengan rotary evaporator
dan dilanjutkan dengan frezze driying hingga didapatkan ekstrak kering.
b. Pembuatan larutan uji ekstrak seledri Dibuat larutan induk dengan konsentrasi
1000mcg/ml sebanyak 100 dengan cara melarutkan 100mg ekstrak kedalam 100ml air
laut buatan. Setelah itu dibuat seri kadar 1000 mcg/ml; 500mcg/ml; 100mcg/ml;
50mcg/ml; 25mcg/ml.
c. Penyiapan larva uji Artemia salina L. Pembuatan Air Laut Buatan Pembuatan air laut
buatan menurut Mudjiman (1989) dilakukan dengan cara mencampurkan NaCl
sebanyak 5 gram, MgSO4 sebanyak 1,3 gram, MGCl2 sebanyak 1 gram, CaCl2
sebanyak 0,3 gram, KCl sebanyak 0,2 gram, NaHCO3 sebanyak 2 gram. Bahan –
bahan tersebut dilarutkan dalam 1 liter aquadest, sehingga jadilah air laut buatan
dengan kadar garam 5 permil. Khusus untuk MGSo4 sebelum dicampur dengan bahan
– bahan lainnya harus dilarutkan dalam air panas terlebih dahulu. Penetasan telur
Artemia salina L Penetasan telur dilakukan dalam wadah bening dengan
7
menggunakan media air laut. Wadah yang digunakan dibagi menjadi dua bagian oleh
sekat berlubang, yaitu bagian gelap dan bagian terang. Sekat berlubang menjadi jalan
untuk larva yang telah menetas untuk bergerak secara alamiah kearah terang. Wadah
diisi dengan 1 liter air laut buatan. Kemudian pada bagian gelap dimasukkan telur
artemia yang sebelumnya sudah direndam dengan aquadest selama 1 jam. Pada wadah
bagian gelap ditutupi dengan alumunium foil atau kain hitam. Pada wadah bagian
terang diberi penerangan dengan cahaya lampu agar suhu penetasan ±25oC tetap
terjaga. Telur udang dibiarkan terendam selama 48 jam sampai telur menetas. Telur
akan menetas dalam waktu 24 – 36 jam dan akan bergerak secara alamiah menuju
daerah terang sehingga larva udang terpisahkan dari bagian telur atau kulit telur. Larva
yang telah aktif bergerak siap digunakan.
d. Uji toksisitas akut ekstrak batang seledri Pada uji toksisitas dengan metode BSLT
menggunakan larva Artemia salina L. yang berumur 48 jam. Jumlah larva yang
digunakan sebanyak 180 ekor larva terbagi dalam 6 kelompok yang masing – masing
terdiri dari 10 ekor larva dengan replikasi atau pengulangan sebanyak 5 kali.
Kelompok 1 diberi larutan uji 1000mcg/ml; kelompok 2 diberi larutan uji 500mcg/ml;
kelompok 3 diberi larutan uji 100mcg/ml; kelompok 4 diberi larutan uji 50mcg/ml;
kelompok 5 diberi larutan uji 25 mcg/ml; kelompok 6 diberi air laut buatan tanpa
ekstrak sebagai kontrol. Selanjutnya semua wadah uji diletakkan dibawah lampu
selama 24 jam. Diamati kematian larva tiap kelompok perlakuan dalam 24 jam.
Kriteria standar untuk mengukur kematian larva udang yaitu apabila larva udang tidak
menunjukkan pergerakaan selama 10 detik pengamatan.
e. Analisis Data Data kematian larva Artemia salina selanjutnya dihitung nilai persentase
kematian pada tiap konsentrasi. Selanjutnya dilakukan analisis probit secara manual.
Setelah mendapatkan persentase kematian, nilai probit dari tiap kelompok hewan uji
ditentuakan melalui tabel probit. Kemudian menentukan nilai log konsentrasi dan
dibuat grafi persamaan garis linier hubungan antara nilai probit dengan log
konsentrasi. Data yang didapat selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai LC50.
Yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
8
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
BSLT merupakan uji pendahuluan atau praskrining aktivitas biologis yang sederhana
untuk menentukan toksisitas suatu senyawa atau ekstrak secara akut dengan menggunakan
hewan coba larva Artemia salina. Uji toksisitas terhadap larva udang Artemia salina L.
dengan metode BSLT ini dapat digunakan sebagai uji pendahuluan atau pra skrining pada
penelitian senyawa – senyawa yang mengarah pada senyawa yang mengarah pada uji
aktivitas sitotosik. Korelasi antara uji toksisitas akut ini dengan uji sitotoksik adalah jika
mortalitas terhadap artemia salina yang ditimbulkan memiliki harga LC50 < 1000mcg/ml.
parameter yang ditunjukkan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologi pada suatu
senyawa pada artemia salina adalah jumlah kematian larva udang karena pengaruh
pemberian senyawa dengan dosis yang telah ditentukan. Salah satu organisme yang sangat
sesuai sebagai hewan uji untuk mengetahui bioaktivitas senyawa melalui uji toksisitas
adalah Brine shrimp (udang laut) dari jenis Artemia salina.
Uji toksisitas akut dilakukan dilakukan terhadap larva Artemia salina yang berusia 24 – 48
jam pada media air laut buatan. Jumlah kematian larva uji setelah pengamatan 24 jam dapat
9
Suatu senyawa dapat dikatakan mempunyai potensi toksik jika mempunyai nilai LC50
kurang dari 1000 mcg/ml. Nilai LC50 yang didapat pada ekstrak batang seledri yaitu 178,58
mcg/ml. hal ini menunjukkan bahwa ekstrak batang seledri mempunyai potensi toksik
terhadap Artemia salina. Hal tersebut berkaitan dengan senyawa yang terdapat didalam
batang seledri yaitu flavonoid, saponin, dan tannin. Dimana pada kadar tertentu memiliki
potensi toksisitas akut dan dapat menyebabkan kematian larva Artemia salina. Mekanisme
kematian larva Artemia salina diperkirakan berhubungan dengan fungsi senyawa flavonoid,
saponin dan tannin pada batang seledri yang dapat menghambat daya makan larva. Cara
kerja senyawa – senyawa tersebut salah satunya bertindak sebgai stomach poisoning atau
racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa – senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat
pencernaannya akan terganggu. Menurut racun perut menyerang organ utama pencernaan
serangga, yaitu bagian vertikulus. Menurut flavonoid dapat menghambat saluran
pencernaan serangga dan juga bersifat toksik, saponin dapat menurunkan aktivitas enzim
pencernaan dan penyerap makan pada serangga. Tannin dapat menghambat serangga
mencerna makanan. Selain itu senyawa ini juga menghambat reseptor perasa pada daerah
mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga
tidak mampu mengenali makanannya sehingga larva mati kelaparan .
10
C. Uji tahapan Fitofarmaka Fase 3
Uji klinik adalah pengujian khasiat dan keamanan obat pada manusia yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hasil pada hewan coba sama dengan pada manusia. Uji
klinik terdiri dari 4 fase(Rahmatini, 2010) – 5 fase , yaitu Uji klinik fase 0, (Thorat et al.,2010;
Mahan,2014) uji klinik fase I.Uji klinik fase II, uji klinik fase III dan uji klinik fase IV (Mahan,
2014). Penyiapan Hewan Percobaan. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih
jantan sebanyak 18 ekor yangdikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok.
1. Uji Fase 3 pada hewan
a. Pembuatan Sediaan
Dosis ekstrak etanol yang digunakan berturut-turut : 75mg/KgBB, 150mg/KgBB dan
300mg/KgBB. Dibuat suspensi ekstrak etanolseledri (Apium graveolens L.) dengan 3
perbandingan dosis, ditimbang ekstrak seledri lalu dimasukkan kedalam labu ukur
kemudian disuspensikan dengan Na CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit hingga homogen
lalu cukupkan masing-masing hingga volumenya 100 ml.
11
= (18mg/5mg) x jumlah berat serbuk 1 tablet
= (18mg/5mg) x 0,146825 gram
= 0,52857
Serbuk prednison yang diambil dimasukkan kedalam labu ukur
kemudiandisuspensikan dengan Na CMC 0,5% b/v dan tambahkan 2,5 gr NaCl
yangtelah dilarutkan dalam aq destilata lalu dicukupkan volumenya hingga
100ml.
c. Pembuatan Bahan Pembanding Captopril
Ambil kaptopril 90mg /100ml pada tablet 25mg, dengan cara : Ambil 20 tablet,
Kemudian di gerus, Timbang berat serbuk tablet, Kemudian hitung berat serbut untuk
1 tablet
= berat serbuk 20 tablet / Jumlah tablet
= 3,1796 gram / 20
= 0,1589 gram
Maka berat serbuk katopril yang akan diambil untuk mendapatkan katopril
sebanyak 90 mg :
= (90 mg/25mg) x jumlah berat serbuk 1 tablet
= (90 mg/25mg) x 0,1589 gram
= 0,572 gram
Serbuk kaptopril dimasukkankedalam labu ukur kemudian disuspensikan dengan Na CMC
0,5% b/v sedikit demi sedikit hingga homogen, dicukupkan volumenya hingga 100 mL.
1. Perlakuan Hewan Uji. Hewan percobaan diaklimatisasi selama 7 hari. Hewan
percobaan terdiri dari 18 ekor yang dibagi menjadi 6 kelompok:
a. Kelompok I sebagai kontrol negatif tanpa diberikan penginduksi dan ekstrak ,
hanya diberikan NaCMC 0,5% selama 7 hari.
b. Kelompok II sebagai kontrol positif yang diberikan penginduksi prednison 1,5
mg/kgBB dan NaCl 2,5% selama 7 hari.
c. Kelompok III sebagai pembanding yang diberikan penginduksi prednison dan NaCl
2,5% selama 7 hari dan katopril selama 7 hari.
d. Kelompok IV sebagai kelompok uji yang diberikan penginduksi selama 7 hari dan
ekstrak etanol daun seledri 75 mg/kgBB selama 7 hari.
12
e. Kelompok V sebagai kelompok uji yang diberikan penginduksi selama 7 hari dan
ekstrak etanol daun seledri 150 mg/kgBB selama 7 hari.
f. Kelompok VI sebagai kelompok uji yang diberikan penginduksi selama 7 hari dan
ekstrak etanol daun seledri 300 mg/kgBB selama 7 hari.
13
pemberian sediaan dalam bentuk suspensi ekstrak etanol seledri dapat terdispersi secara
merata didalam cairan pembawa. Suspending agent yang digunakan adalah NaCMC 0,5%.
NaCMC bersifat inert (tidak mempengaruhi khasiat zat aktif), resistensinya baik terhadap
mikroba, kejernihan tinggi dan pada konsentrasi ini telah terbentuk suspensi yang baik
(Wade, 1994).
Sediaan uji suspensi diberikan melalui rute peroral karena cara pemberiannya
cukup mudah dan juga merupakan rute umum yang biasa dipakai untuk penggunaan
ekstrak. Kemudian untuk penggunaan daun seledri ini oleh masyarakat pada umumnya
diberikan melalui rute oral. Volume pemberian sediaan uji yang diberikan adalah
berdasarkan berat badan hewan percobaan (Frank, 1995).
Untuk memastikan tikus putih jantan pada penelitian ini memiliki tekanan darah yang
normal, maka dilakukan pengukuran tekanan darah awal. Didapatkan hasil pengukuran
tekanan darah normal untuk sistol pada kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dosis
75mg/KgBB, dosis 150mg/KgBB, dosis 300mg/KgBB dan pembanding secara berurutan
adalah : 103,55mmHg; 107,77mmHg; 116,89mmHg; 110,00mmHg; 102,22mmHg; dan
104,23mmHg.
Sedangkan tekanan darah normal untuk diastol pada kelompok kontrol positif, kontrol
negatif, dosis 75mg/KgBB, dosis 150mg/KgBB, dosis 300mg/KgBB dan pembanding
secara berurutan adalah : 68,44mmHg; 71,89mmHg; 72,89mmHg; 78,33mmHg;
72,00mmHg; 66,55mmHg. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah awal dapat
disimpulkan bahwa tikus putih jantan yang digunakan pada penelitian ini dalam keadaan
normal dan tidak hipertensi.
Sebelum pemberian suspensi ekstrak seledri, hewan percobaan terlebih dahulu di
induksi. Penginduksi yang digunakan pada penelitian ini adalah prednison dan NaCl 2,5%.
Prednison merupakan obat golongan kortikosteroid yang dapat menyebabkan hipertensi
melalui efek mineralkortikoid yaitu dengan cara meningkatkan retensi natrium dan air
diginjal sehingga volume darah bertambah dan curah jantung meningkat, hipertensi akibat
pemberian kortikosteroid bergantung pada dosis dan lama pemberian (Betram,2013).
Sedangkan NaCl 2,5% dapat meningkatkan tekanan darah karena asupan garam yang
berlebihan akan merangsang pembentukan rennin yang akhirnya menimbulkan
vasokontriksi dan meningkatkan volume darah, vasokontriksi dan peningkatan volume
14
darah akan menyebabkan hipertensi (Betram,2013). Rute yang digunakan untuk pemberian
ini adalah rute oral sama halnya dengan pemberian sediaan uji, pemberian induksi ini
diberikan dalam bentuk suspensi menggunakan NaCMC karena diduga prednison sukar
larut didalam air.
Dilakukan pengukuran tekanan darah pada hari ke 7 setelah pemberian induksi
didapatkan hasil tekanan darah sistol pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif,
kelompok uji 75mg/KgBB, kelompok uji 150mg/KgBB, kelompok uji 300mg/KgBB dan
pembanding secara berurutan adalah : 100,10 mmHg, 147,33 mmHg, 153,00 mmHg,
161,44 mmHg, 144,32 mmHg, dan 139,33 mmHg. Sedangkan tekanan darah diastol
setelah induksi pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif, kelompok uji 75mg/KgBB,
kelompok uji 150mg/KgBB, kelompok uji 300mg/KgBB dan pembanding di dapatkan
hasil secara berurutan sebagai berikut : 69,22 mmHg, 109,44 mmHg, 113,88 mmHg,
122,44 mmHg, 99,66 mmHg, dan 102,77 mmHg dapat dilihat pada tabel 8.
Setelah pemberian penginduksi selama 7 hari lalu diberikan ektstrak etanol seledri dan
dilakukan pengukuran tekanan darah pada hari ke 14 setelah pemberian ekstrak etanol
seledri menggunakan Adinstrumen CODA NIBP. Sebelum digunakan, alat ini dikalibrasi
terlebih dahulu untuk memastikan bahwa alat ini bekerja dengan baik. Alat ini
menggunakan metoda pengukuran tekanan darah tidak langsung terhadap hewan tidak
dianastesi, dimana tekanan darah direkam melalui pembuluh darah arteri ekor hewan
percobaan. Keunggulan dengan menggunakan alat ini pengukuran tekanan darah hewan
coba lebih akurat,tidak dipengaruhi oleh gelap terangnya lingkungan, pergerakan hewan
coba sebagian besar dapat dikurangi, dapat menggunakan banyak hewan coba dan waktu
yang tidak lama.
Didapatkan hasil pengukuran tekanan darah sistolik setelah pemberian ekstrak etanol
seledri padakelompok kontrol negatif, kontrol positif, kelompok uji 75mg/KgBB,
kelompok uji 150mg/KgBB, kelompok uji 300mg/KgBB dan pembanding di dapatkan
hasil pengukuran secara berurutan sebagai berikut : 119,22 mmHg, 141,33 mmHg, 119,77
mmHg, 111,44 mmHg, 122,11 mmHg, dan 119,00 mmHg. Sedangkan tekanan darah
diastol setelah pemberian ekstrak etanol seledri pada kelompok kontrol negatif, kontrol
positif, kelompok uji 75mg/KgBB, kelompok uji 150mg/KgBB, kelompok uji
15
300mg/KgBB dan pembanding di dapatkan hasil secara berurutan sebagai berikut : 85,44
mmHg, 113,00 mmHg, 81,77 mmHg, 80,55 mmHg, 93,33 mmHg, dan 85,33 mmHg
Dari data tekanan darah sistol dan diastol tikus yang diperoleh setelah pengukuran
menunjukkan bahwa tekanan darah tikus kelompok uji 1 (75mg/kgBB) hasilnya mendekati
kelompok kontrol negatif. Pemberian sediaan uji ekstrak etanol daun seledri dan kaptopril
dapat menurunkan tekanan darah tikussedangkan pada penelitian sebelumnya yg dilakukan
oleh Muztika (2018) menggunakan ekstrak etanol daun seledri terhadap tikus yang
diinduksi dengan prednison 1,5mg/KgBB dan NaCl 2,5% diperoleh hasil dosis efektif yang
dapat menurunkan tekanan darah mendekati tekanan darah normal adalah dosis
100mg/kgBB.Pada penelitian ini digunakan kelompok pembanding menggunakan
katorpril. Kaptopril bertujuan untuk melihat apakah sediaan uji memiliki efek yang sama
dengan sediaan pembanding, diketahui bahwa kaptopril merupakan sediaan beredar yang
digunakan oleh masyarakat sebagai terapi antihipertensi.
Setelah didapatkan data tekanan darah, dilakukan analisa uji statistik ANOVA satu
arah (p <0,05) dan dilanjut Analisa denganuji Duncan (SPPS 23.0). Pada penelitian
ini menggunakan ANOVA satu arah karena hanya terdapat satu variabel bebas dan satu
variabel terikat. Hasil pengujian statistik anova satu arah terhadap tekanan darah sistol dan
diastol menunjukkan bahwa ekstrak etanol seledri mempunyai efek antihipertensi yang
ditandai dengan nilai signifikan p< 0,05. Setelah dilakukan uji ANOVA dilanjutkan dengan
uji duncan. Uji duncan adalah uji lanjutan untuk menguji perbedaan diantara semua
pasangan perlakuan apabila (P≤0,05), Maka hasil analisa dari uji Duncan terhadap tekanan
darah sistol dan diastol tikus putih jantan dapat dikatakan bahwa,kelompok kontrol negatif
(119,22 mmHg) berbeda nyata dengan kelompok kontrol positif (141,66 mmHg) karena
kelompok kontrol positif lebih tinggi dari pada kelompok kontrol negatif, pada penelitian
ini dapat dikatakan bahwa pemberian kombinasi penginduksi prednison dan NaCl 2,5%
dapat meningkatkan tekanan darah, sedangkan kelompok uji dosis 75mg/KgBB (119,77
mmHg), dosis 150mg/KgBB (111,44 mmHg), dosis 300mg/KgBB (122,11 mmHg) dan
pembanding (119,00 mmHg), dibandingkan dengan kontrol negatif tidak berbeda nyata
karena P>0,05. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian variasi dosis ektrak
etanol seledri yang diberikan selama 7 hari tidak memperlihatkan perbedaan dalam
menurunan tekanan darah tikus putih jantan
16
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan anova satu arah, seledri diduga
berkhasiat sebagai antihipertensi. Adapun efek antihipertensi dari ekstrak etanol daun
seledri disebabkan karna terdapatnya senyawa flavonoid. Dimana senyawa flavonoid yang
telah diisolasi dari tanaman seledri terdapat apigenin dan apiin. Apigenin yang terkandung
dalam seledri bersifat vasodilator yang dapat melebarkan pembuluh darah dengan
mekanisme penghambatan kontraksi yang disebabkan oleh pelepasan kalsium yang dapat
menurunkan tekanan darah dengan memblokade masuknya kalsium ke dalam darah. Jika
kalsium memasuki sel otot, maka akan berkontraksi. Dengan menghambat kontraksi otot
yang melingkari pembuluh darah, pembuluh darah akan melebar sehingga darah mengalir
dengan lancar dan tekanan darah akan menurun. Apiin membantu ginjal mengeluarkan
kelebihan cairan dan garam dari dalam tubuh, sehingga berkurangnya cairan dalam darah
akan menurunkan tekanan darah.
b. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan design eksperimental.
Penelitian ini menggunakan one-group prepost tes design. Ciri tipe penelitian ini
adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok
subyek. Kelompok subyek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian
diobservasi lagi setelah intervensi. Responden dilakukan pre-test yakni melakukan
pengukuran tekanan darah sebelum diberikan air rebusan seledri dan setelah diberikan
air rebusan seledri, satu jam kemudian responden diperiksa kembali tekanan darahnya
sebagai hasil post-test.
17
c. HASIL
18
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Daun Seledri (Apium graveolens L) sebagai tanaman asli Indonesia yang tumbuh di
berbagai penjuru, dapat dimanfaatkan sebagai obat berbagai penyakit salah satunya darah
tinggi atau hipertensi. Tanaman ini mengandung berbagai macam zat aktif yaitu apigenin yang
sangat bermanfaat untuk mencegah penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi.
Selain itu, seledri juga mengandung flavonoid, vitamin C, apiin, kalsium, dan magnesium yang
dapat membantu menurunkan tekanan darah tinggi.
Pada pemanfaatan tanaman ini perlu dilakukan uji-uji mengenai kelayakan simplisia
menjadi salah satu obat Fitofarmaka. Dengan dilakukan uji tersebut baru mengetahui apakah
simplisia ini layak menjadi obat Fitofarmaka. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan
yang di himpun dari beberapa jurnal Ilmiah diketahui bahwa Daun seleri (Apium graveolens
L) adalah salah satu sediaan obat fitofarmaka yang telah lulus uji, dan saat ini telah terdaftar
di BPOM sebagai salah satu daftar obat Fitofarmaka di Indonesia dan telah di perjualbelikan
di pasaran. Saat ini daun seledri dapat di jumpai dipasaran dalam bentuk sediaan Fitofarmaka
dalam jenis kapsul dengan nama dagang H2. Heatlth & happiness Celery yang di produksi PT.
Kalbe Farma.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Yuantini, S. 2001.Toksisitas fraksi aktif daun seledri (Apium graveolens Linn.) terhadap larva
Artemia salina LEACH,
2. Priatna, M. 2018. Uji Teratogenitas Infusa Daun seledri pada tikus betina Galur Wistar.
Sainstech farma 8 (2)
3. Muntamah, U. 2014. Pengaruh pemberian air rebusan Seledri pada lansia Penderita hipertensi
di dusun Gogodalam Barat. Jurnal keperawatan komunitas 2 (1) : 46-51
4. Aria, M. 2021. Uji efek Antihipertensi eksytra etanol seledri selama 7 hari pada tikus putih
jantan.. Prosiding Seminar kesehatan perintis 4 (2)
5. Hadiningrat, 2017, Uji efek Antihiperglikemik Ekstrak etanol 70% daun seledri pada tikus putih
jantan dengan metode Induksi aloksan, skripsi,UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
.
20