Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 3


BLOK UROGENITAL 2
“KENCINGKU MERAH”

OLEH :

Anak Agung Gede Oka Satria Prabawa

021.06.0006

Kelompok SGD 2/ Kelas A

Fasilitator :

dr. Made Rika Anastasia Pratiwi, S.Ked

dr. Sahrun, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL- AZHAR
MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil
Laporan SGD LBM 3.
Dalam penyusunan Laporan SGD ini, penulis menyadari sepenuhnya masih
terdapat kekurangan di dalam penyusunannya. Hal ini disebabkan karena terbatasnya
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari bahwa tanpa
adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah mungkin hasil Laporan
SGD ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan dengan baik.
2. dr. Made Rika Anastasia Pratiwi, S.Ked dan dr. Sahrun, Sp. P selaku
fasilitator dalam SGD kelompok 2, atas segala masukan, bimbingan dan
kesabaran dalam menghadapi keterbatasan penulis.
3. Seluruh anggota SGD kelompok 2 yang telah membantu dan
memberikan masukan dalam penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata,
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 1 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................3

BAB 1 ............................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4

1.1 Skenario .............................................................................................................4

1.2 Deskripsi Masalah .............................................................................................4

BAB 2 ............................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ............................................................................................................6

2.1 Doagnosis Differentsial .....................................................................................6

2.2 Pembahasan Diagnosis Kerja ..........................................................................15

BAB 3 .......................................................................................................................... 27

PENUTUP ................................................................................................................... 27

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 28


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Skenario

Pak Anto usia 50 tahun memeriksakan diri ke Puskesmas mengeluhkan


BAK kemerahan sejak 1 bulan lalu. BAK kemerahan dirasakan tanpa diserta
nyeri. Dokter puskesmas memberikan pengantar untuk merujuk pasien ke RS
guna pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Pak Anto mencoba mencari
informasi di internet dan berpikir keluhan yang dirasakan berkaitan dengan
pola makanan yang siap saji dan kebiasaan merokok sejak 20 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan USG di RS ditemukan gambaran massa hyperechoic
dinding vesica urinaria.

1.2 Deskripsi Masalah

Berdasarkan skenario di atas, disebutkan bahwa Pak Anto berusia 50


tahun datang ke Puskemas dengan keluhan BAK yang kemerahan sejak 1
bulan yang lalu. Keluhan BAK kemerahan ini dirasakan tanpa disertai rasa
nyeri. Warna BAK kemerahan yang dialami oleh pak Anto kemungkinan
disebabkan karena adanya darah pada urinenya. Kondisi adanya darah dalam
urine ini disebut sebagai hematuria. Adanya darah di dalam urine akan
mengubah warna urine menjadi kemerahan atau sedikit kecokelatan. Urine
yang normal seharusnya tidak mengandung darah sedikit pun, akan tetapi jika
di dalam urine terdapat darah maka dapat menjadi tanda penyakit yang serius.
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya hematuria
seperti infeksi saluran kemih (ISK), penyakit ginjal, adanya batu saluran
kemih, tumor, kanker, ataupun karena trauma. Sehingga jika terdapat kondisi
hematuria maka perlu segera dilakukan pemeriksaan lanjutan baik fisik
maupun penunjang untuk mengetahui kondisi pasti yang menyebabkan
terjadinya hematuria.
Pada skenario, disebutkan bahwa BAK kemerahan dirasakan tanpa
disertai rasa nyeri. Pada kondisi seperti ini perlu diwaspadai bahwa kondisi
yang dialami oleh pak Anto adalah tanda dan gejala awal dari tumor atau
kanker pada saluran kemih. Hal ini dikarenakan pada kondisi hematuria yang
disebabkan oleh infeksi saluran kemih ataupun batu saluran kemih, penderita
akan mengalami nyeri ketika BAK sebagai tanda adanya proses inflamasi
akibat infeksi. Sedangkan pada kondisi tumor atau kanker biasanya tidak ada
tanda nyeri meskipun terkadang nyeri dapat dirasakan oleh penderita.
Selain itu, pada skenario disebutkan bahwa pak Anto memiliki
kebiasaan makan makanan cepat saji dan merokok selama 20 tahun,
kemungkinan kondisi yang dialami saat ini juga berkaitan dengan kebiasaan
pak Anto. Makanan cepat saji merupakan makanan yang cenderung tinggi
garam, gula serta lemak tetapi disisi lain rendah serat. Kondisi ini dapat
menyebabkan ketidakseimbangan asupan gizi, sehingga akan memicu
ketidaknormalan perkembangan sel jaringan tubuh yang salah satunya dapat
menjadi sel kanker. Selain itu, kebiasaan merokok selama 20 tahun juga dapat
menjadi penyebab keluhan yang dialami oleh pak Anto. Seperti yang kita
ketahui bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit pada tubuh
seperti penyakit pada paru-paru, saluran pernapasan, ataupun penyakit lainnya
di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan pada rokok maupun asap rokok terdapat
berbagai senyawa yang bersifat karsinogen, penyebab mutasi gen, dan sebagai
promotor tumor. Sehingga, kemungkinan kondisi yang dialami oleh pak Anto
disebabkan oleh 2 faktor tersebut.
Kemudian pak Anto melakukan pemeriksaan penunjang berupa USG
dan pada pemeriksaan USG di RS ditemukan gambaran massa hyperechoic
dinding vesica urinaria. Hiperechoic pada pemeriksaan USG menunjukan
daerah yang lebih terang dari jaringan sekitarnya, biasanya berwarna lebih
putih seperti tulang, lemak. Adanya massa hyperechoic ini dapat menunjukan
kemungkinan adanya tumor.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Doagnosis Differentsial

 Tumor Buli-Buli
Definisi
Tumor buli-buli atau biasa juga disebut tumor vesica urinaria (kandung
kemih) merupakan keganasan kedua setelah karsinoma prostat. Tumor ganas buli
sering diketahui pada fase awal dan masih terlokalisir tanpa metastasis, namun
rekurensinya cukup tinggi. Secara histologis, tumor ganas buli-buli terdapat
dalam bentuk karsinoma sel transisional (paling banyak), adenokarsinoma
dan karsinoma sel skuamosa (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014)
Epidemiologi
Salah satu penyakit yang termasuk masalah kesehatan masyarakat
adalah kanker system urogenitalia. Tumor buli-buli paling sering menyerang 3
kali lebih sering dari tumor urogenital lain. Sebagian besar (atau ±90%) tumor
buli-buli adalah karsinoma sel transisional.
Di Amerika Serikat keganasan ini merupakan penyebab kematian ke enam
dari seluruh penyakit kaganasan, dan padatahun 1996 yang lalu diperkirakan
ditemukan 52.900 kasus baru kanker buli-buli. Di Indonesiaberdasarkan
pendataan hasil pemeriksaan jaringan yang dilakukan selama 3 tahun diketahui
bahwa kanker buli-buli menempati urutan kesepuluh dari tumor ganas primer
pada pria. Di subbangian Urologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo darii 152
kasus keganasan urologi antara tahun 1995-1997, 36% diantaranya adalah kanker
buli-buli dan juga menempati urutan pertama.
Etiologi
Keganasan buli-buli ini terjadi karena induksi bahan
karsinogenyang banyak terdapat disekitar kita. Beberapa faktor risiko yang yang
mempengaruhi seseorang menderita tumor buli-buli menurut Farling (2017),
antara lain :
1.Merokok
Merokok merupakan faktor risiko yang paling utama terjadinya tumor
buli-buli. Di dalam rokok terdapat banyak zat karsinogenik. Jumlah
rokok yang dihisap per hari, lama merokok, dan usia ketika pertama
kali merokok meningkatkan risiko seseorang terkena tumor buli-buli.
2.Pekerjaan yang melibatkan bahan kimia
Faktor risiko kedua terbanyak yaitu terpajan anilinedyes, aromatic
amines, dan polycyclic aromatic hydrocarbon. Bahan kimia tersebut
sering terdapat pada kain, cat, plastik, dan industri lainnya.
3.Inflamasi
Pasien dengan chronic urinary tract infections (UTIs), menggunakan
kateter dalam waktu lama, dan batu kandung kemih meningkatkan
risiko terjadinya tumor buli-buli. Pasien terinfeksi parasit Schistosoma
haematobium yang meningkatkan risiko perkembangan sel kanker.
4.Radiasi
Pasien dengan penanganan radiasi panggul untuk kanker genitourinari
dan ginekologi seperti kanker prostat dan kanker serviks memiliki
risiko tinggi terkena tumor buli-buli.
5. Kemoterapi
Penggunaan cyclophosphamide pada pasien kanker dan penyakit imun
meningkatkan risiko terkena tumor buli-buli. Apalagi jika dosisnya
tinggi dan pemakainya sudah lama.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis seseorang yang menderita tumor buli-buli yang paling
sering dijumpai yakni mengalami hematuria tanpa rasa nyeri. Apabila muncul
gejala tersebut, harus segera dievaluasi untuk kemungkinan adanya kanker buli-
buli. Manifestasi klinis lainnya yaitu adanya:
1. Darah pada urin (hematuria makroskopis) yang bersifat tanpa disertai
nyeri (painless), (intermitten), terjadi pada seluruh proses miksi (hematuria
total).
2. Nyeri
saat proses mengeluaran urin (disuria), meskipun seringkali karsinoma buli-
buli tanpa disertai gejala disuria, tetapi pada karsinoma in situatau
karsinoma yang sudah infiltrasi luas tidak jarang menunjukkan gejala iritasi
buli-buli.
3. Nyeri pada pelvis atau pinggang.
4. Hematuria dapat menimbulkan retensi bekuan darah sehingga pasien
biasanya datang dengan keluhan tidak dapat miksi
 Batu Saluran Kemih
Definisi
Batu saluran kemih (BSK) atau yang disebut jugas sebagai urolithiasisi
merupakan pembentukan batu di saluran kemih yang meliputi batu ginjal, ureter,
buli, dan uretra. Urolithiasis dapat menimbulkan rasa nyeri, penyumbatan saluran
kemih dan dapat menyebabkan perdarahan. Batu saluran kemih pada umumnya
mengandung unsur: kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-
amonium-fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya. Data
mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting
untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif (Ikatan
Ahli Urologi Indonesia, 2018).

Epidemiologi
Pada negara maju seperti Amerika Serikat ditemui sekitar 5-10%
penduduknya pernah menderita penyakit urolithiasis. Angka kejadian urolithiasis
diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada wanita dewasa. Di
Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering di
antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran
kemih nasional di Indonesia. Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak di
bidang urologi di samping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.
Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan puncak
insiden terjadi pada usia 40- 50 tahun (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2018).

Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang, yakni faktor intrinsik suatu keadaan yang berasal
dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan di sekitarnya (Basuki, 2014).
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya geografi pada beberapa daerah
menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan
daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran
kemih, iklim dan temperature., kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral
kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih, diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih, penyakit ini sering dijumpai pada orang yang
pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life (Basuki,
2014).

Kelainan metabolisme seperti hiperkalciuria, hipoktraturia, hiperoksaluria,


hiperurikosuria, dan diatesesis asam urat dapat mengubah komposisi atau saturasi
urin sehingga dapat meningkatkan pembentukan batu. Setiap disfungsi seluler
yang dapat mempengaruhi berbagai ion urin dan zat lain juga dapat
mempengaruhi kejenuhan Ca oksalat dan kristalisasi di ginjal (Goswami et al.,
2014).

Manifestasi Klinis
▪ Batu Ginjal (Nefrolithiasis) dan Batu Ureter (Ureterolithiasis)
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan
gambaran menyerupaitanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Kelainan atau
obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis
ureteropelvik) mempermudah timbulnya batu saluran kemih (Basuki, 2012).

Batu yang terletak pada ureter maupun sistem pelvikalises mampu


menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur
saluran kemih sebelah atas. Obstruksi di ureter menimbulkan hidroureter dan
hidronefrosis, batu di pielum dapat menimbulkan hidronefrosis, dan batu di
kaliks mayor dapat menimbulkan kaliekstasis pada kaliks yang bersangkutan.
Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis,
abses ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada
keadaan yang lanjut dapat terjadi kerusakan ginjal, dan jika mengenai kedua sisi
mengakibatkan gagal ginjal permanen (Basuki, 2012).
Gambaran Klinis :

Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada: posisi atau letak
batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan
oleh pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri ini mungkin bisa berupa nyeri
kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot
polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan
batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan
intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang
memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul
ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Basuki, 2012).

Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu urosepsis dan ini merupakan
kedaruratan di bidang urologi. Dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak
kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsi dan
segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotika. Pada
pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra,
teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tandatanda gagal ginjal,
retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil (Basuki,
2012).

Pemeriksaan sedimen urine menunjukkan adanyaleukosituria, hematuria,


dan dijumpai berbagai kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine
mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan
faal ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi
ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto lVU. Perlu
juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya
batu saluran kemih (antara lain kadar: kalsium, oksalat, fosfat maupun urat di
dalam darah maupun di dalam urine) (Basuki, 2012).

▪ Batu Buli-Buli (Vesikolithiasis)

Batu buli-buli atau vesikolitiasis sering tejadi pada pasien yang menderita
gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi
pada pasien-pasien hiperplasia prostat, striktura uretra, divertikel buli-buli, atau
buli-buli neurogenik. Kateter yang terpasang pada buli-buli dalam waktu yang
lama, adanya benda asing lain yang secara tidak sengaja dimasukkan ke dalam
buli-buli seringkali menjadi inti untuk terbentuknya batu bulibuli. Selain itu batu
buli-buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke bulibuli. Di
negara-negara berkembang masih sering dijumpai batu endemik pada buli-buli
yang banyak dijumpai pada anak-anak yang menderita kurang gizi atau yang
sering menderita dehidrasi atau diare (Basuki, 2012).

Gejala khas batu buli-buli adalah berupa gejala iritasi antara lain: nyeri
kencing/disuria hingga stranguri, perasaan tidak enak sewaktu kencing, dan
kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan perubahan
posisitubuh. Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan (refered parn) pada ujung
penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki. Pada anak seringkali mengeluh
adanya enuresis nokturna, di samping sering menarik-narik penisnya (pada anak
laki-laki) atau menggosok-gosok vulva (pada anak perempuan) (Basuki, 2012).

Seringkali komposisi batu buli-buli terdiri atas asam urat atau struvit (jika
jika penyebabnya adalah infeksi), sehingga tidak jarang pada pemeriksaan foto
polos abdomen tidak tampak sebagai bayangan opak pada kavum pelvis. Dalam
hal ini pemeriksaan IVU pada fase sistogram memberikan gambaran sebagai
bayangan negatif. Ultrasonografi dapat mendeteksi batu radiolusen pada buli-buli.
Batu buli-buli dapat dipecahkan dengan litotripsi ataupun jika terlalu besar
memerlukan pembedahan terbuka (vesikolitotomi). Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah melakukan koreksi terhadap penyebab timbulnya stasis urine
(Basuki, 2012).

▪ Batu uretra (Uretrolithiasis)


Batu uretra biasanya berasal dari batu ginjal/ureter yang turun ke buli-buli,
kemudian masuk ke uretra. Batu uretra yang merupakan batu primer terbentuk di
uretra sangat jarang, kecuali jika terbentuk di dalam divertikel uretra. Angka
kejadian batu uretra ini tidak lebih 1% dari seluruh batu saluran kemih. Keluhan
yang disampaikan pasien adalah miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi
urine, yang mungkin sebelumnya didahului dengan nyeri pinggang. Jika batu
berasal dari ureter yang turun ke buli-buli dan kemudian ke uretra, biasanya
pasien mengeluh nyeri pinggang sebelum mengeluh kesulitan miksi. Batu yang
berada di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien berupa benjolan
keras di uretra pars bulbosa maupun pendularis, atau kadang-kadang tampak di
metus uretra eksterna. Nyeri dirasakan pada glans penis atau pada tempat batu
berada. Batu yang berada pada uretra posterior, nyeri dirasakan di perineum atau
rektum (Basuki, 2012).

 Carsinoma Buli-Buli
Definisi
Kanker buli (vesika urinaria) adalah kanker yang berasal dari mukosa
vesika urinaria. Kanker buli (vesika urinaria) juga merupakan keganasan pada
lapisan epitel bersifat heterogen yang paling sering muncul sebagai tumor
terbatas pada mukosa. Kanker buli ini adalah semua jenis tumor maligna yang
mengenai jaringan buli-buli atau vesika urinaria (Purnomo, 2012).

Karsinoma buli-buli merupakan 2% dari seluruh keganasan, dan


merupakan keganasan kedua terbanyak pada sistem urogenitalia setelah
karsinoma prostat. Tumor ini dua kali lebih sering menyerang pria daripada
wanita. Di daerah industri kejadian tumor ini meningkat tajam (Purnomo, 2012).

Sebagian besar (90%) tumor buli-buli adalah karsinoma sel transisional.


Tumor ini bersifat multifokol yaitu dapat terjadi di saluran kemih yang epitelnya
terdiri atas sel transisional yaitu di pielum, ureter, atau uretra posterior,
sedangkan jenis yang lainnya adalah karsinoma sel skuamosa (10%) dan
adenokarsinoma (2%) (Purnomo, 2012).

▪ Karsinoma Sel Skuamosa : Karsinoma sel skuamosa terjadi karena


rangsangan kronis pada buli-buli sehingga sel epitelnya mengalami metaplasia
berubah menjadi ganas. Rangsangan kronis itu dapat terjadi karena infeksi
saluran kemih kronis, batu buli-buli, kateter menetap yang dipasang dalam
jangka waktu lama, infeksi cacing Schistosomiasis pada buli-buli, dan pemakaian
obat-obatan siklofosfamid secara intravesika.
▪ Adenokarsinoma : Terdapat 3 grup adenokarsinoma pada buli-buli, di
antaranya adalah:
1) Primer terdapat di buli-buli, dan biasanya terdapat di dasar dan di
fundus bulibuli. Pada beberapa kasus sistitrs glandularis kronis dan
ekstrofia vesiko pada perjalannya lebih lanjut dapat mengalami degenerasi
menjadi adenokarsinoma bulibuli.
2) Urakhus persisten (yaitu merupakan sisa duktus urakhus) yang
mengalami degenerasi ma ligna menjadi adenokarsinoma
3) Tumor sekunder yang berasal dari fokus metastasis dari organ lain,
diantaranya adalah: prostat, rektum, ovarium, lambung, mamma, dan
endometrium
Epidemiologi
Kanker ini merupakan keganasan ketujuh paling sering pada pria dan ke-
17 pada wanita. Insidensi di seluruh dunia adalah 9 per 100.000 untuk laki-laki
dan 2 per 100.000 untuk perempuan. Di Eropa, insiden kanker buli mencapai 27
per 100.000 untuk laki-laki dan 6 per 100.000 untuk perempuan. Insidensi di
Indonesia belum diketahui dengan pasti. Menurut data GLOBOCAN 2008,
insidensi di Indonesia mencapai 5,8 per 100.000 penduduk. Data Rumah Sakit
Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dalam 7 tahun terakhir terdapat 351 kasus
kanker kandung kemih, 253 kasus (72%) adalah karsinoma sel transisional. Usia
rerata 60,8 tahun, dengan usia terbanyak > 60 tahun, dan rasio pria:wanita adalah
6:1. Angka kematian global akibat kanker kandung kemih adalah 3,2 per 100.000
dengan perbandingan 3 laki-laki berbanding 1 wanita per 100.000. Sedangkan
data di Indonesia, menurut GLOBOCAN 2008 mencapai 3,1 per 100.000
populasi dewasa (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

Etiologi & Faktor Resiko


Berdasarkan etiologinya, penyebab dari terjadinya kanker buli adalah
adanya induksi dari bahan karsinogen yang berlebihan. Adanya induksi bahan
karsinogen yang berlebihan berkaitan erat dengan beberapa faktor yang
merupakan faktor resiko terjadinya kanker buli.
Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab kanker buli adalah sebagai
berikut :

▪ Merokok

Resiko untuk mendapatkan karsinoma buli-buli pada perokok adalah 2-6


kali lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok. Rokok mengandung bahan
karsinogen berupa amin aromatik dan nitrosamine. Sedangkan, asap rokok
mengandung bahan karsinogen berupa amino aromatik dan hidrokarbon aromatik
polisiklik yang disekresikan melalui ginjal (Purnomo, 2012).

▪ Pekerjaan dan pajanan bahan kimia


Pekerja pabrik kimia, terutama pabrik cat, laboratorium, pabrik korek api,
tekstil, pabrik kulit, dan pekerja salon/ pencukur rambut sering terpapar oleh
bahan karsinogen berupa senyawa amin aromatik (2-naftilamin, benzidine, dan 4-
aminobifamil) (Purnomo, 2012).

Pajanan bahan kimia merupakan faktor risiko kedua paling penting untuk
terjadinya kanker buli. Pajanan bahan kimia ini menyebabkan 20-25 % dari
keseluruhan pasien kanker buli. Beberapa zat yang telah diketahui sebagai
karsinogen adalah amino aromatik, hidrokarbon aromatik polisiklik dan
hidrokarbon yang diklorinasi. Bahan-bahan ini berkaitan dengan pekerjaan yang
berhubungan dengan zat pewarna, industri karet, tekstil, cat, logam dan
penyamakan kulit (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

▪ Infeksi saluran kemih (ISK)

Insidensi kanker buli meningkat pada pasien dengan infeksi berulang,


infeksi schistosomiasis dan iritasi kronis oleh batu dengan ukuran yang besar.
Telah diketahui bahwa kuman-kuman E coli dan Proteus spp menghasilkan
nrtrosamin yang merupakan zat karsinogen (Purnomo, 2012).

▪ Kopi, pemanis buatan, dan obat-obatan

Kebiasaan mengkonsumsi kopi, pemanis buatan yang mengandung


sakarin dan siklamat, serta pemakaian obat-obatan siklofosfamid yang diberikan
intravesika, fenasetin, opium, dan obat antituberkulosa INH dalam jangka waktu
lama dapat meningkatkan resiko timbulnya karsinoma buli-buli (Purnomo, 2012).

▪ Radiasi

Radiasi ion, external beam radiotherapy (EBRT), dan brachytherapy pada


keganasan ginekologi dan prostat meningkatkan risiko kejadian kanker buli.
Penurunan risiko dapat dilakukan dengan cara teknik penyinaran intensity-
modulated radiotherapy (IMRT). Mengingat risiko ini, maka pada pasien-pasien
ini memerlukan pemantauan jangka panjang (Ikatan Ahli Urologi Indonesia,
2014).

Manifestasi klinis
Gejala klinis kanker buli 80-90% berupa hematuria dan 25% mengeluh
urgensi, frekuensi, disuri, dan nyeri pinggul setelah kencing. Lima persen dari
penderita yang telah terjadi metastasis mengeluhkan penurunan berat badan,
demam, nyeri tulang, dan gejala yang berhubungan dengan metastase di paru dan
hati (Senduk, 2010).

Hematuria tanpa nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan oleh
pasien. Oleh karena itu pasien dengan gejala tersebut harus dievaluasi secara
lengkap untuk kemungkinan adanya kanker buli. Gejala iritatif pada Lower
Urinary Tract Symptoms / LUTS yang menonjol dan tidak hilang dengan terapi
simtomatik dapat merupakan gejala dari karsinoma insitu (carcinoma in situ/CIS).
Gejala lain seperti nyeri panggul dan benjolan pada perut bagian bawah dapat
merupakan gejala dari kanker buli yang lanjut (Ikatan Ahli Urologi Indonesia,
2014).

Dokter perlu mewaspadai jika seorang pasien datang dengan mengeluh


hematuria yang bersifat: (1) tanpa disertai rasa nyeri (painless), (2) kambuhan
(intermittent), dan (3) terjadi pada seluruh proses miksi (hematuria total).
Meskipun seringkali karsinoma buli-buli tanpa disertai gejala disuri, tetapi pada
karsinoma in situ atau karsinoma yang sudah mengadakan infiltrasi luas tidak
jarang menunjukkan gejala iritasi buli-buli (Purnomo, 2012).

Hematuria dapat menimbulkan retensi bekuan darah sehingga pasien


datang meminta pertolongan karena tidak dapat miksi. Keluhan akibat penyakit
yang telah lanjut berupa gejala obstruksi saluran kemih bagian atas atau edema
tungkai. Edema tungkai ini disebabkan karena adanya penekanan aliran limfe
oleh massa tumor atau oleh kelenjar limfe yang membesar di daerah pelvis
(Purnomo, 2012).

2.2 Pembahasan Diagnosis Kerja

Patofisiologi
Karsinoma buli-buli yang masih dini merupakan tumor superfisial.
Tumor ini lama kelamaan dapat mengadakan infiltrasi ke lamina propria, otot,
dan lemak perivesika yang kemudian menyebar langsung ke jaringan sekitarnya.
Disamping itu tumor dapat menyebar secara limfogen maupun hemotogen
(Purnomo, 2012).
- Penyebaran limfogen menuju kelenjar limfe perivesika, obturator, iliaka
eksterna, dan iliaka komunis.
- Penyebaran hematogen paling sering ke hepar, paru-paru, dan tulang.
Tumor buli-buli memiliki patofisiologi yang kompleks dan
multifactorial. Banyak faktor lingkungan, molekuler, atau genetic yang terlibat
dalam perkembangan kanker sel urothelial. Kanker kandung kemih dimulai
ketika sel-sel yang menyusun kandung kemih mulai tumbuh di luar kendali
hingga membentuk massa/tumor yang bersifat ganas dan seiring waktu
menyebar ke bagian tubuh lainnya. Sel-sel urothelial yang melapisi kandung
kemih dan saluran kemih secara konstan terpapar ke lingkungan, agen
mutagenik yang disaring ke dalam urin oleh ginjal (Maharani, 2020).
Berbagai proses molekuler mempunyai peran penting dalam proses
karsinogenesis, seperti mutasi gen. Proses molekuler tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan fungsi sel yang berlanjut pada terjadinya pertumbuhan
mandiri (self-sufficient), hilangnya sensitivitas terhadap rangsangan anti
pertumbuhan (anti-growth), replikasi mandiri yang tidak terbatas, invasi organ,
serta metastasis (Maharani, 2020).
Kanker kandung kemih sering digambarkan sebagai mutasi poliklonial
yang berpotensi tinggi untuk transformasi ganas. Namun, kanker kandung
kemih juga implantasi dan imigrasi dari kanker lain. Kanker pada vesika urinari
dengan stadium awal biasanya tidak menimbulkan manifestasi klinis yang
berarti. Seiring dengan pertumbuhan jaringan sekitarnya sehingga menyebabkan
beberapa tanda dan gejala (nyeri, hematuri). Pada kondisi inilah pasien akan
merasakan pada pola eliminasinya (Maharani, 2020).
Gambar . Pathway Karsinoma Buli-buli
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terhadap penderita kanker buli biasanya jarang
ditemui adanya kelainan karena tumor tersebut merupakan tumor epitel
transisional kandung kemih yang letaknya superfisial dari buli-buli.Tumor
tersebut baru dapat diraba bila tumor tersebut sudah tumbuh keluar dari dinding
buli-buli. Mengingat pada kanker ini mudah terjadi metastasis ke kelenjar limfe
regional, hati dan paru-paru (Purnomo, 2012).

Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan colok dubur, palpasi bimanual


ginjal, dan palpasi kandung kemih. Pemeriksaan palpasi bimanual kandung
kemih dilakukan saat pasien dalam narkose sebelum dan sesudah reseksi
transuretra dari tumor (Purnomo, 2012).

Palpasi bimanual dikerjakan dengan narkose umum (supaya otot buli-buli


relaks) pada saat sebelum dan sesudah reseksi tumor TUR Buli-buli. Jari telunjuk
kanan melakukan colok dubur atau colok vagina sedangkan tangan kiri
melakukan palpasi buli-buli di daerah suprasimfisis untuk memperkirakan luas
infiltrasitumor (T) (Purnomo, 2012).

Pemeriksaan Penunjang
Langkah diagnostik kanker buli berdasarkan gejala dan keluhan,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, sistoskopi, biopsi dan diagnosis pasti
berdasarkan pemeriksaan Patologi Anatomi. Pemeriksaan penunjang merupakan
salah satu pemeriksaan yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
kanker buli-buli. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis kanker buli, yaitu (Ikatan Ahli Urologi
Indonesia, 2014) :

▪ Pemeriksaan Sitologi/Penanda Molekuler

Pasien dengan keluhan hematuria tanpa nyeri perlu dilakukan


pemeriksaan sitologi urin untuk mencari adanya sel ganas pada urin.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang tinggi pada kanker buli derajat tinggi.
Untuk meningkatkan sensitivitas diagnostik dapat dilakukan pemeriksaan
penanda molekuler seperti, Bladder Tumor Antigen (BTA) stat, Nuclear Matrix
Protein (NMP) 22, sitokeratin dan lain-lain (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

▪ Pemeriksaan Pencitraan

a) Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG dalam langkah diagnostik kanker buli memiliki


peranan yang penting. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk melihat massa
intravesika, mendeteksi adanya bekuan darah, dan melihat adanya obstruksi pada
traktus urinarius bagian atas. Selain itu, USG juga berperan dalam pemantauan
pasien kanker buli pasca terapi (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

b) Intravenous Urography (IVU)

IVU digunakan untuk mendeteksi tumor buli (berupa space occupying


lession (SOL), menentukan fungsi ginjal dan adanya bendungan saluran kemih
bagian atas (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).
Gambar. IVU menunjukkan SOL pada lateral kanker kandung kemih
disertai hidronefrosis dan hidrourreter kanan.

c) CT-scan & MRI

CT scan dengan kontras atau lazim disebut CT urografi memberikan


informasi yang lebih baik dari IVU. Penggunaan CT urografi atau MRI dapat
mengetahui derajat invasi tumor dan digunakan untuk mendeteksi adaya
pembesaran kelenjar getah bening regional serta dapat mendeteksi adanya
metastasis ke hati. CT atau MRI toraks juga merupakan pemeriksaan pilihan
yang digunakan untuk menilai adanya metastasis ke paru-paru. Adanya nodul
berbentuk bulat dan berbatas tegas yang ditunjukkan oleh pemeriksaan foto
toraks dapat menunjukkan adanya metastasis ke paru-paru apabila tidak tersedia
fasilitas CT Scan atau MRI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

▪ Sistoskopi

Sistoskopi harus dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan kanker buli.


Dengan sistoskopi, dapat diketahui lokasi, ukuran, jumlah, dan bentuk dari
kanker buli. Sistoskopi dilakukan bersamaan dengan biopsi/reseksi. Sistoskopi
juga dikerjakan untuk evakuasi bekuan darah jika terjadi retensi urin akibat
bekuan darah. Penatalaksanaan definitif kanker buli dilakukan berdasarkan hasil
sistoskopi dan patologi anatomi (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

▪ Reseksi Tumor Kandung Kemih Transuretra (TUR-BT)

Tujuan TUR-BT adalah untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana


kuratif yaitu dengan menghilangkan seluruh tumor yang terlihat, dan untuk
penentuan diagnosis histopatologi dan staging yang harus melibatkan lapisan otot
pada saat pengambilan jaringan (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).
Teknik baru dalam melakukan TUR-BT adalah dengan menggunakan
kauter bipolar. Keuntungan cara ini dibandingkan dengan kauter monopolar
adalah dapat mengurangi terjadinya komplikasi seperti perforasi kandung kemih
akibat stimulasi saraf obturator blok.Reseksi kedua dikerjakan 2-6 minggu
setelah reseksi awal bila reseksi awal tidak lengkap, tidak didapatkan spesimen
otot, tumor T1, dan kanker dengan diferensiasi derajat tinggi (Ikatan Ahli
Urologi Indonesia, 2014).

▪ Patologi Anatomi

Pemeriksaan patologi anatomi merupakan alat baku emas untuk


menentukan diagnosis pasti, jenis, derajat diferensiasi dan derajat invasi
(keterlibatan lapisan otot kandung kemih, apakah sudah atau belum mengenai
lapisan otot kandung kemih), adanya carsinoma in situ (CIS) dan invasi
limfovaskuler. Spesimen biopsi dasar tumor diperlukan untuk mengetahui adanya
invasi tumor pada lapisan otot (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2014).

Gambar. Gambaran histopatologi dari karsinoma transisional papiler kelas II


Tatalaksana
❖ Tatalaksana Awal
Pada pasien tumor buli-buli yang mengalami kondisi tertentu sebagai
komplikasi dari reaksi infeksi yang terjadi, maka perlu dilakukan
tatalaksana awal.
➢ Anemia
Anemia penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang dipengaruhi oleh
inflamasi dan pelepasan sitokin (interleukin-1, interleukin-6 dan tumor
necrosis factor). Protein inflamasi dari penyakit kronis akan
menghambat reutilisasi zat besi, menurunkan eritropoesis dan
menurunkan produksi eritropeitin (Junizar et al., 2018).
Anemia yang terjadi dapat memperlambat proses perbaikan
keadaan umum pasien dan meningkatka kejadian infeksi sehingga
penanganan anemia harus segera dilakukan pada pasien ini.
Penatalaksanaan yang tepat untuk anemia pada pasien ini yaitu
menangani penyakit kronis dan inflamasi yang terjadi, memberikan
transfusi darah dan memberikan dukungan nutrisi untuk pembentukan
hemoglobin (Junizar et al., 2018).
➢ Hipoalbuminemia
Penyebab paling umum dari menurunnya kadar albumin plasma
berhubungan dengan proses inflamasai (misalnya respon fase akut dan
gangguan inflamasi kronis). Pada proses inflamasi, ada 4 kemungkinan
faktor penyebab yang meliputi hemodilusi, kehilangan ruang
ekstravaskuler, meningkatnya konsumsi oleh sel secara lokal dan
menurunnya sintesis (Junizar et al., 2018).
Pada pasien ini didapatkan faktor inflamasi dan kurangnya
asupan. Deplesi protein melalui asupan dapat menyebabkan kurangnya
kadar protein dan albumin dalam serum. Dukungan nutrisi yang
diberikan adalah memberikan energi dalam jumlah yang cukup sehingga
tidak menggunakan protein sebagai sumber energi melainkan digunakan
sebagai zat pembangun untuk restorasi dan penggantian sel yang rusak
dan untuk sintesis albumin dan protein tubuh lainnya (Junizar et al.,
2018).
➢ Penurunan fungsi ginjal
Pemeriksaan laboratorium pada awal perawatan didapatkan
kadar ureum dan kreatinin yang mengalami peningkatan. Setelah 7 hari
dalam perawatan terdapat penurunan kadar ureum dan kreatinin sampai
dengan akhir perawatan (Junizar et al., 2018).
Pemicu penurunan fungsi ginjal pada kasus ini kemungkinan
karena kebutuhan cairan yang tidak tercukupi. Setelah dilakukan
pemeriksaan ulang dalam masa perawatan terdapat penurunan
dikarenakan kebutuhan cairan telah diatasi dan juga pemberian protein
disesuaikan (Junizar et al., 2018).
➢ Hiponatrium dan Hipokalemia
Pemeriksaan laboratorium pada awal perawatan didapatkan kadar
natrium dan kalium yang kurang dari normal, namun setelah 9 hari dalam
perawatan kadar kalium meningkat menjadi normal. Pemicu penurunan
kadar natrium dan kalium karena asupan yang menurun. Setelah
intervensi nutrisi diberikan kadar natrium dan kalium menjadi normal
(Junizar et al., 2018).

Asupan yang kurang mempengaruhi proses pump ion natrium


dan kalium melintasi membran sel. Proses pump ion natrium dan kalium
melintasi membran sel adalah proses transpor aktif yang melibatkan
hidrolisis ATP untuk menyediakan energi yang diperlukan. Ini
melibatkan enzim yang disebut sebagai Na + / K + -ATPase. Sel
mempertahankan energi untuk memompa natrium keluar dan
mempertahankan kalium untuk menetralisir muatan negatif protein dan
ion lainnya (Junizar et al., 2018).
❖ Tatalaksana Lanjut
Pasien dengan kecurigaan tumor ganas buli di rujuk ke dokter
spesialis urologi. Tatalaksana tumor ganas buli bergantung pada stadium.
Tindakan yang pertama kali dilakukan pada pasien karsinoma buli-buli yaitu
reseksi buli-buli transuretra atau TUR Bulibuli. Pada tindakan ini dapat
sekaligus ditentukan luas infiltrasi tumor. Terapi selanjutnya tergantung
pada stadiumnya, yaitu (Purnomo, 2012):
1. Tidak perlu terapi lanjutan akan tetapi selalu mendapat pengawasan
yang ketat atau wait and see (Purnomo, 2012).
2. Instilasi intravesika dengan obat-obat Mitomisin C, BCG, 5-Fluoro
Uracil, Siklofosfamid, Doksorubisin, atau dengan interferon (Purnomo,
2012).
➢ Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
Pemberian BCG intravesika bersifat imunoterapi dengan
menekan rekurensi serta progresifitas dari karsinoma kandung kemih
sehingga diindikasikan untuk penderita-penderita yang cenderung
mengalami kekambuhan setelah operasi reseksi transuretral. BCG
mengurangi kekambuhan 40% - 45%, dibanding obat intravesika
lain yang hanya sebesar 8-18% (Senduk, 2010).
➢ Mitomycin C (MMC)
Pada beberapa penelitian penggunaan MMC dosis minimal
sebagai kemoterapi intravesika telah menunjukkan efektifitas yang
sangat tinggi terhadap karsinoma kandung kemih. Selain itu tidak
mengakibatkan efek samping yang serius. MMC paling efektif
diberikan sesegera mungkin setelah operasi, dimana MMC akan
melapisi lapisan mukosa kandung kemih dan bekerja menghentikan
pertumbuhan menghentikan pertumbuhan serta pembelahan sel-sel
kanker tersebut (Senduk, 2010).
Dilakukan dengan cara memasukkan zat kemoterapeutik ke
dalam buli melalui kateter. Cara ini mengurangi morbidatas pada
pemberian secara sistemik. Terapi ini dapat sebagai profilaksis dan
terapi, mengurangi terjadinya rekurensi pada pasien yang sudah
dilakukan reseksi total dan terapi pada pasien dengan tumor buli
superfisial yang mana transuretral reseksi tidak dapat dilakukan. Zat ini
diberikan tiap minggu selama 6-8 minggu, lalu dilakukan maintenan
terapi sebulan atau dua bulan sekali. Walaupun toksisitas lokal sering
terjadi, toksisitas sistemik jarang terjadi karena ada pembatasan absorbsi
di lumen buli. Pada apsien gross hematuri sebaiknya menghindari cara
ini karena dapat menyebabkan komplikasi sistemik berat. Efisiensi obat
dapat dicapai dengan membatasi intake cairan sebelum terapi, pasien
dianjurkan berbaring dengan sisi berbeda, tidak berkemih 1-2 jam
setelah terapi (Satya, 2019).
3. Sistektomi radikal, parsial, atau total.
Sistektomi radikal merupakan pengangkatan buli-buli dan
jaringan sekitarnya (pada pria berupa sistoprostatektomi) dan
selanjutnya aliran urine dari ureter dialirkan melalui beberapa cara
diversi urine, antara lain (Purnomo, 2012):
• Ureterosigmoidostomi, yaitu membuat anastomosis kedua ureter ke
dalam sigmoid.
Cara ini sekarang tidak banyak dipakai lagi karena banyak
menyebabkan penyulit.
• Konduit usus, yaitu mengganti buli-buli dengan ileum sebagai
penampung urine, sedangkan untuk mengeluarkan urine dipasang
kateter menetap melalui sebuah stoma. Konduit ini diperkenalkan
oleh Bricker pada tahun 1950 dan saat ini tidak banyak dikerjakan
lagi karena tidak praktis.
• Diversi urine kontinen, yaitu mengganti buli-buli dengan segmen
ileum dengan membuat stoma yang kontinen (dapat menahan urine
pada volume tertentu). Urine kemudian dikeluarkan melalui stoma
dengan melakukan kateterisasi mandiri secara berkala. Cara diversi
urine ini yang terkenal adalah cara Kock pouch dan Indiana pouch.
• Diversi urine Orthotopic, yaitu membuat neobladder dari segmen usus
yang kemudian dilakukan anastomosis dengan uretra. Teknik ini
dirasa lebih fisiologis untuk pasien, karena berkemih melalui uretra
dan tidak memakai stoma yang dipasang di abdomen. Teknik ini
pertama kali diperkenalkan oleh Camey dengan berbagai
kekurangannya dan kemudian disempurnakan oleh Studer dan
Hautmann (Purnomo, 2012).
4. Radiasi eksterna
Radiasi eksterna diberikan selama 5-8 minggu. Merupakan
alternatif selain sistektomi radikal pada tumor ilfiltratif yang dalam.
Rekurensi lokal sering terjadi (Satya, 2019).
5. Rerapi ajuvan dengan kemoterapi sistemik antara lain regimen
Sisplatinum-Melotreksat (MTX)-Vinblastin (CMV) atau regimen
Metotreksat-Vinblastin DoksorubisinSisplatinum (MVAC) (Purnomo,
2012).

Tabel . Alternatif Terapi Setelah TUR Buli-buli


Komplikasi
Kanker kandung kemih dapat menyebar (metastasis) ke organ lain di
sekitarnya, seperti kelenjar getah bening di panggul, hati, paru-paru, dan tulang.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah (Purnomo, 2012) :

▪ Buang air kecil tidak terkontrol (inkontinensia urine).

▪ Pembengkakan ginjal dan ureter (hidronefrosis).

▪ Penyempitan uretra (striktur uretra).

▪ Infeksi sekunder kandung kemih yang parah bila terdapat ulserasi tumor.

Prognosis
Prognosis penderita karsinoma kandung kemih tergantung pada stadium
penyakit yang didasarkan pada pemeriksaan histopatologi. Progonosi karsinoma
buli-buli juga bergantung pada modalitas tindakan. Karsinoma yang telah
menginvasi jaringan perivesika dan bermetastasis ke jaringan limfe mempunyai
prognosis yang buruk. Angka harapan hidup lima tahun untuk karsinoma yang
invasif adalah 45-55%. Karsinoma kandung kemih kelas I yang soliter
mempunyai angka kekambuhan 30-35%, sedangkan untuk tumor multipel 65-
75%. 20 Pada karsinoma kandung kemih yang telah dilakukan sistektomi maka
penderita dengan tumor yang berdiferensiasi baik mempunyai angka harapan
hidup lima tahun sebesar 70- 80%, sedangkan yang berdiferensiasi buruk
sebesar 35-40%. Prognosis penderita ini baik oleh karena pada saat ditemukan
masih pada stadium yang superfisial dan non invasif (Ta), sehingga hanya
dilakukan reseksi tumor transuretral yang kemudian diikuti pemberian obat
kemoterapi intravesika (Senduk, 2010).

KIE
KIE yang dapat diberikan kepada pasien kanker prostat adalah
perubahan pola hidup menjadi pola hidup yang sehat, hal ini dikarenakan
terjadinya kanker prostat berkaitan dengan paparan faktor-faktor resiko.
Beberapa KIE yang dapat diberikan pada pasien kanker prostat adalah
(Purnomo, 2012) :

▪ Hentikan kebiasaan merokok dan jauhi paparan asap rokok.


▪ Hindari paparan kimia, yaitu dengan menggunakan alat pelindung diri
dan mengikuti prosedur keselamatan di lingkungan kerja.
▪ Hindari minum dan mandi dengan air sungai atau danau, untuk
menghindari skistosomiasis yang dapat berkembang menjadi kanker
kandung kemih.
▪ Cukupi kebutuhan minum air
▪ Perbanyak konsumsi buah-buahan dan sayuran yang kaya antioksidan.
▪ Lakukan olahraga rutin untuk menjaga kesehatan tubuh.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pak Anto


mengalami kondisi tumor buli. Tumor buli merupakan neoplasma jinak maupun
ganas yang berasal dari buli, baik dari jaringan epitel maupun jaringan mesenkim.
Keganasan buli-buli terjadi akibat induksi bahan karsinogen yang banyak terdapat di
sekitar kita. Beberapa faktor resiko seperti merokok, infeksi saluran kemih, radiasi,
kemoterapi, dan konsumsi kopi serta pemanis buatan dapat berkaitan dengan
tenjadinya tumor buli. Hematuria tanpa nyeri (painless) merupakan gejala yang
paling sering dikeluhkan oleh pasien. Pemeriksaan fisik dengan melakukan palpasi
bimanual untuk mengetahui penyebaran dari masa buli jika telah menginfiktrasi ke
jaringan sekitar. Pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan untuk membantun
penegakkan diagnosis dari tumor buli, berupa pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan foto polos abdomen dan Pielografi Intra Vena (PIV), sistoskopi dan
biopsi, CT Scan atau MRI, TUR-BT, dan pemeriksaan patologi anatomi. Jika sudah
ditegakkan diagnosisnya, maka perlu segera dilakukan tatalaksana, salah satu
tatalaksana awal yang dapat dilakukan yaitu transfuse darah jika pasien mengalami
anemia. Prognosis penderita karsinoma kandung kemih tergantung pada stadium
penyakit yang didasarkan pada pemeriksaan histopatologi. Edukasi perlu diberikan
kepada pasien seperti menghindari faktorfaktor resiko untuk mencegah terjadinya
rekurensi tumor buli.
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, B. P. (2012). Buku Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3.

Basuki B Purnomo. (2014). Dasar-Dasar Urologi. Malang: Fakultas Kedokteran


Universitas Brawijaya.

Farling, K. B. (2017). Bladder Cancer: Risk Factors, Diagnosis, and


Management. The Nurse Practitioner , 42(3), 26 – 33

Goswami, P. K. et al. (2014). Urolithiasis : An overview Urolithiasis : An Overview,


International Journal of Pharmaceutical & Biological Archives, 4(December
2013), pp. 1119–1123.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2014. Panduan Penanganan Kanker Kandung Kemih
Tipe Urotelial.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2018. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran
Kemih. Edisi I.

Junizar, J., Taslim, N., As ’ ad, S., Madjid, M. 2018. Kecukupan Kalori Menunjang
Perbaikan Imbalance Elektrolit Pada Pasien Dengan Karsinoma Buli.
Indonesian Journal of Clinical Nutrition Physician. Vol 1, No 1. Hal 26-36.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Maharani, N. 2020. Epidemiologi Dan Faktor Risiko Kanker Kandung Kemih.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Purnomo, B. 2012. Dasar-Dasar Urologi. Edisi III. Falkultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. Malang.
Satya, S. 2019. Chronic Kidney Disease Stage V Dengan Infeksi Saluran Kemih (Isk)
dan Tumor Buli. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Senduk, S. S., Rotty, L. 2010. Karsinoma Kandung Kemih. Jurnal Biomedik. 2(1):58-
66
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. A. ( 2014 ). Kapita Selekta
Kedokteran ( 4th ed.). Jakarta: Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai