Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION

PEMBIMBING
dr. Amanukarti Resi Oetomo, Sp.PD-KGH

OLEH
Ilman Rahaswin Bolkiah
NIM. 017.06.0005

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR


MATARAM
2021

 
1  
 
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan segala
limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan case based discussion.
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan, bimbingan,
masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan penjelasan tentang tata cara
penulisan laporan ini.
Saya menyadari penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang menjalani
preklinik di RSUD Kota Mataram.

Mataram, 20 Agustus 2021

Penulis

  ii  
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB 1 ..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

BAB 2 ..................................................................................................................... 2

LAPORAN KASUS ................................................................................................ 2

2.1 Identitas Pasien........................................................................................ 2

2.2 Anamnesa ................................................................................................ 2

2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 3

2.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 7

2.5 Assesment awal ..................................................................................... 11

2.6 Planing .................................................................................................. 11

2.7 Follow up .............................................................................................. 12

BAB 3 ................................................................................................................... 16

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 16

3.1 Definisi .................................................................................................. 16

3.2 Epidemiologi ......................................................................................... 16

3.3 Klasifkasi .............................................................................................. 16

3.4 Faktor risiko .......................................................................................... 17

3.5 Patofisiologi .......................................................................................... 18

3.6 Manifestasi klinis .................................................................................. 22

3.7 Diagnosis ............................................................................................... 22

3.8 Tatalaksana............................................................................................ 24

  iii  
3.9 Komplikasi ............................................................................................ 29

BAB IV ................................................................................................................. 33

PEMBAHASAN ................................................................................................... 33

BAB V................................................................................................................... 36

PENUTUP ............................................................................................................. 36

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 37  

  iv  
BAB 1
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu
polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
sebabnya. International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi
Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab
kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes
melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus
(Fatimah, 2015). Menurut International Diabetes Federation pada tahun 2017
menempatkan Indonesia pada peringkat ke 6 dalam jumlah penderita DM sebanyak
10.3 juta (Perkeni, 2019).
Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor risiko
yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang
kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat
pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol,
Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang dan umur. Penyakit yang akan ditimbulkan
antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal,
impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru,
gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Untuk menurunkan kejadian dan
keparahan dari Diabetes Melitus tipe 2 maka dilakukan pemahaman dan
pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan pengobatan seperti obat oral
hiperglikemik dan insulin sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
(Fatimah, 2015).

  1  
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1   Identitas Pasien


Nama : Ny. M
Tanggal lahir/umur : 31-12-1979
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Suku/Bangsa : WNI
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat KTP : Dasan Sari
No. Rekam Medis : 260049
Tanggal masuk RS : 06-08-2021

2.2   Anamnesa
•   Keluhan Utama
Mual dan muntah
•   Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit umum daerah (RSUD) Kota Mataram
pada tanggal 6 Agustus 2021 sadar diantar oleh keluarganya dengan keluhan
mual dan muntah. Mual dan muntah dirasakan sejak satu minggu yang lalu.
Mual dan muntah dirasakan terus menerus. Mual muntah dirasakan
terutama setelah makan. Pasien mengatakan keluhan yang ia rasakan
muncul dengan tiba-tiba tanpa mengetahui penyebabnya. Paseien
menjelakan bahwa ia memiliki penyakit kencing manis sejak sekitar 15
tahun. Ia juga mengeluhkan rasa cepat lapar, cepat haus, serta banyak
kencing. Keluhan pasien tidak membaik sehingga dibawa ke rumah sakit.
Pasien memiliki keluhan lain yaitu lemas (+), nyeri uluh hati (+), dan rasa
  2  
panas di dada (+).
•   Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : (-)
Riwayat kencing manis : (+) 15 tahun yang lalu namun sudah
lama tidak pernah kontrol
Riwayat kolesterol : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
Riwayat gastritis : (-)
Riwayat penyakit autoimun : (-)
Riwayat penyakit ginjal : (-)
Riwayat  penurunan  berat  badan   :  (+)  
•   Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : (+) Bibi pasien
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
•   Riwayat Pengobatan : Riwayat pengobatan DM
•   Riwayat Sosial
o   Merokok : (+)
o   Minum alkohol : (-)
o   Narkoba : (-)
o   Aktivitas fisik : Kurang
•   Riwayat Gizi : Diet buruk

2.3   Pemeriksaan Fisik


•   Keadaan Umum : Sakit sedang
•   Kesadaran/GCS
Kualitatif : Composmentis
  3  
Kuantitatif : E4V5M6
•   Tanda Vital
Tekanan Darah : 190/100 mmHg
Laju respirasi : 19x/menit
Denyut Nadi : 89x/menit
Suhu Aksila : 36,3 Co
Saturasi Oksigen : 99%
•   Antopometri
BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23.4 kg/m2
•   Status Generalis
Kepala normochepali

Mata konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-


), refleks pupil (+/+), isokor.
Telinga serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri tekan
tragus, nyeri tarik aurikula (- /-). Nyeri
ketok mastoid (-/-).
Hidung discharge (-/-), deformitas (-/-), deviasi
septum nasi (-), nafas cuping hidung (-),
mukosa hiperemi (-)
Mulut sianosis (-), lidah kotor (-), tidak ditemukan
pembesaran tonsil, tonsil T1/T1.
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-).
Pembesaran kelenjar tiroid (-), deviasi
trakea (-), nyeri tekan (-), bruit arteri karotis
(-)

  4  
Pulmo Inspeksi bentuk normochest, simetris dengan warna
(depan) sawo matang, massa (-), peradangan (-).

Palpasi Nyeri tekan (-) dan fremitus vocal simetris


antara hemithoraks kanan dan kiri
Perkusi Sonor Redup Pekak
+ + - - - -

+ + - - - -

+ + - - - -

Auskultasi
Vasikuler Ronkhi Wheezing
+ + - - - -

+ + - - - -

+ + - - - -

Pulmo Inspeksi bentuk normochest, simetris dengan warna


(belakang) sawo matang, massa (-), peradangan (-).

Palpasi nyeri tekan (-) dan fremitus vocal simetris


antara hemithoraks kanan dan kiri
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi
Vasikuler Ronkhi Wheezing
+ + - - - -

+ + - - - -

+ + - - - -

  5  
Cor Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea


midclavicula sinistra, kuat angkat
Perkusi •   Batas atas jantung di ICS 2 linea
parasternalis sinistra
•   Batas pinggang jantung di ICS3
linea parasternalis sinistra
•   Batas kiri jantung di ICS 5 linea
midclavicula sinistra
•   Batas kanan jantung di ICS 5
linea parasternalis dextra

Auskultasi S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi Distensi (-),masa (-), peradangan, Asites (-)

Auskultasi Bising usus (+) Sembilan regio 11x/menit

Perkusi Timpani

+ + +

+ + +

+ + +

Shifting dullnes (-)

Palpasi Nyeri tekan epigastrik

- + -

- - -

  6  
- - -

Hepar : tidak teraba, Lien : tidak teraba,


ginjal : tidak teraba, Undulasi (-)

Ekstremitas Akral hangat (+), edema (-), capillary refill


time < 2 detik

2.4   Pemeriksaan Penunjang


Tabel 1. Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 6 Agustus 2021
pukul 18.36 WITA
PEMERIKSAAN HASIL Unit NILAI
NORMAL
Hematologi
WBC 6.71 x10˄3/uL 3.60-11.0
Neo% 74.0 % 50.0-70.0
Lym% 20.8 % 18.0-42.0
Mon% 4.7 % 2.0-11.0
Eos% 0.3 % 1.0-3.0
Bas% 0.2 % 0.0-2.0
Neu# 4.97 x10˄3/uL 2.30-6.10
Lym# 1.40 x10˄3/uL 0.80-4.80
Mon# 0.32 x10˄3/uL 0.45-1.30
Eos# 0.01 x10˄3/uL 0.00-0.40
Bas# 0.01 x10˄3/uL 0.00-0.10
NLR 3.56 0.00-3.13
PLR 0.00-
9999.99

  7  
RBC 5.02 x10˄6/uL 4.00-5.40
HGB 14.2 g/dL 11.7 -15.5
HCT 44.2 % 35.0 – 47.0
MCV 88.1 fL 80.0-100.0
MCH 28.4 pg 26.0-34.0
MCHC 32.2 g/dL 32.0-36.0
RDW-CV 11.5 % 11.5-14.5
RDW-SD 42.4 fL 37.0-54.0

PLT 262 x10˄3/uL 150-450


MPV 9.8 fL 6.8-10.2
PDW 16.0 9.0-17.0
PCT 0.258 % 0.170-
0.350

ALY% 0.5 % 0.0-2.0


LIC% 0.0 % 0.0-2.5
ALY# 0.03 x10˄3/uL 0.00-0.20
LIC# 0.00 x10˄3/uL 0.00-0.20

Tabel 2. Pemeriksaan kimia darah pada tanggal 6 Agustus 2021 pukul


18.41 WITA
PEMERIKSAAN HASIL Unit NILAI
NORMAL
Kimia darah
SGPT 15 u/L 10-40
SGOT 25 u/L 14-40
Glukosa Sewaktu 433 Mg/dL <200
Urea darah 43.4 Mg/dL 17.0-43.0

  8  
Kreatinin darah 1.35 Mg/dL 0.90-1.30
Na, K, Cl
Natrium darah 139 Mmol/L 136-145
Kalium darah 2.4 Mmol/L 3.5-5.1
Klorida darah 96 Mmol/L 98-107
LFG : 52 ml/menit/1,73m2

Tabel 3. Pemeriksaan urinalisa pada tanggal 7 Agustus 2021 pukul


09.11 WITA
PEMERIKSAAN HASIL Unit NILAI
NORMAL
Urinalisa
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak Keruh Jernih
Blood (+) 1 Negative
Berat jenis 1.025 1.000-
1.030
PH 6.0 5.0-9.0
Lekosit esterase Negative Negative
Nitrit Negative Negative
Protein (+) 3 Negative
Glukosa (+) 3 Normal
Keton Negative Negative
Urobilinogen Negative Mg/dL Negative
(<1.0)
Bilirubin Negative Negative
Sedimen
Jamur Positif

  9  
Eritrosit 5-10 /1pb 0-2
Lekosit 15-20 /1pb 0-5
Sel epitel 3-6 /1pb 0-2
Kristal Negative
Bakteri Negative Negative
Silinder Negative Negative

Gambar 1. Foto Thorax AP tanggal 6 Agustus 2021 pukul 19.01 WITA

Cor : Tampak pembesaran pada ventrikel kiri


Pulmo :
•   Ispirasi kurang
•   Corakan bronkovaskuler kedua paru normal, tidak ada proses aktif maupun
tanda-tanda metastasis.
•   Kedua sinus costophrenicus lancip
•   Diafragma normal
•   Gambaran apex tertanam
•   CTR : 70%
  10  
Skeletal : Tidak tampak fraktur
Kesan : Cardiomegaly (LVH)

2.5   Assesment awal


•   Mual dan muntah DD/ Gastropati Diabetikum, Dispepsia sindrom
•   Hipertensi grade II
•   ACKD suspek prerenal on CKD ec. Suspek DKD
•   Hipokalemia

2.6   Planing
Pemeriksaan
-   Pemeriksaan fisik sensibilitas
-   ABI
-   Gula darah puasa
-   HbA1C
-   Profil lipid
-   Asam urat
-   Analisa gas darah
-   EKG
-   Funduskopi
Tatalaksana
-   IVFD NS 0.9% 20 tpm
-   Lantus 1 x 12 IU (malam)
-   Apidra 3 x 6 IU
-   Candesartan 1 x 8 mg
-   Amlodipin 1 x 5 mg
-   Tab Spironolaktone 1 x 25 mg
-   Bisprolol 1 x 2,5 mg
-   Tab KSR 2 x 1 tab

  11  
2.7   Follow up
Catatan kemajuan hari ke-4 tanggal 10 Agustus 2021
S Mual (+), Muntah (+)

O KU: Sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tanda Vital :
TD : 190/100 mmHg
Nadi : 85x/menit
Laju respirasi : 19x/menit
Suhu : 36,3oC
SpO2 : 99%
GDP : 104
Kalium : 2.3 mmol/L
Pemeriksaan fisik
Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : bentuk normochest, simetris dengan warna sawo matang,
massa (-), peradangan (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-) dan fremitus vocal simetris antara hemithoraks
kanan dan kiri
Perkusi : Sonor Redup Pekak
+ + - - - -

+ + - - - -

+ + - - - -

  12  
+ + - - - -

+ + - - - -

+ + - - - -

Auskultasi : Vasikuler Ronkhi Wheezing

Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari kuat angkat di ICS V midclavicula line
Perkusi :
•   Batas  atas  jantung  di  ICS  2  linea  parasternalis  sinistra  
•   Batas pinggang jantung di ICS3 linea parasternalis sinistra
•   Batas kiri jantung di ICS 5 linea midclavicula sinistra
•   Batas kanan jantung di ICS 5 linea parasternalis dextra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-),masa (-), peradangan, Asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Sembilan regio 11x/menit
Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Shifting dullnes (-)

  13  
Palpasi :
Nyeri tekan
- + -
- - -
- - -
Hepar : tidak teraba, Lien : tidak teraba, ginjal : tidak teraba, Undulasi
(-)
Estremitas : Akral hangat (+), edema (-), capillary refill time < 2 detik
A •   Observasi mual muntah DD/ Gastropati Diabetikum, Dispepsia
sindrom
•   Hipertensi grade II
•   ACKD suspek prerenal on CKD ec. Suspek DKD
•   Hipokalemia

P Pemeriksaan
-   Pemeriksaan sensibilitas
-   ABI
-   Gula darah puasa
-   HbA1C
-   Profil lipid
-   Asam urat
-   Keton urin
-   Analisa gas darah
-   Antigen SARS COV-2
-   EKG
-   Funduskopi
Tatalaksana
-   IVFD NS 0.9% 20 tpm
-   Lantus 1 x 12 IU (malam)

  14  
-   Apidra 3 x 6 IU
-   Candesartan 1 x 8 mg
-   Amlodipin 1 x 5 mg
-   Tab Spironolaktone 1 x 25 mg
-   Bisprolol 1 x 2,5 mg
-   Tab KSR 2 x 1 tab

  15  
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA  

3.1   Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo et al, 2014).
3.2   Epidemiologi
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa dimana
prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM
sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia tahun 2012 angka kejadian
diabetes me litus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa proporsi kejadian diabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus.
Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di
Indonesia meningkat sampai 57%. Tingginyasebab prevalensi Diabetes Melitus
tipe 2disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis
kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor risiko yang dapat
diubah, misalnya kebiasaan meningkatkan pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh , lingkar pinggang dan
umur. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh
Departemen Kesehatan, terjadi peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5%. (Yaturu,
S. 2018).
3.3   Klasifkasi
Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), klasifikasi diabetes
dibagi menjadi empat kelas klinis, yaitu, DM tipe 1, hasil dari kehancuran sel β
pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang absolut, DM tipe 2, hasil
dari gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang terjadinya
resistensi insulin, Diabetes tipe spesifik lain, misalnya gangguan genetik pada
fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
(seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam

  16  
pengobatan HIV/AID atau setelah transplantasi organ), dan gestational Diabetes
Mellitus (Rahmasari dan Wahyuni, 2019).

3.4   Faktor risiko


Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa
yaitu :
•   Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
§   Ras dan etnik
§   Riwayat keluarga dengan DM
§   Umur: risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan skrining DM.
§   Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
§   Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
yang lahir dengan BB normal.
•   Faktor risiko yang bisa dimodifikasi
o   Berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m2).
o   Kurangnya aktivitas fisik
o   Hipertensi (> 140/90 mmHg)
o   Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan/atau trigliserida >250 mg/dL)
o   Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat
akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM
tipe 2.
•   Faktor lain yang terkait dengan risiko Diabetes Melitus
o   Penyandang sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
o   Penyandang yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,
PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).

  17  
3.5   Patofisiologi
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan
gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru
dari ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven)
perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep :
•   Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
•   Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat
sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
•   Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu : (PERKENI, 2019).
Kegagalan sel beta pancreas.
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid,
agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil peptidase-4
(DPP-4).

Disfungsi sel alfa pancreas.


Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam
  18  
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi agonis
GLP-1, penghambat DPP-4 dan amilin.

Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA))
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.

Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin sehingga terjadi
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidinedion.

Hepar
Pada penyandang DM tipe 2terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar
(hepatic glucose production)meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.

Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
  19  
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat
yang bekerja di jalur Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.

Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe
2, danobesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai
mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.

Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu responsinsulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide- 1(GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastricinhibitory polypeptide(GIP).
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP- 4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan
memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus
sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja
untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.

Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
  20  
akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa
di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat
yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin dan
canaglifozin adalah contoh obatnya.

Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel
beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.

Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun
bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2ditandai dengan
resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi
kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.
Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas dan
resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting
inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai kelainan imun
(immune disorder). Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan inflamasi juga
banyak terjadi pada DM tipe 2 (PERKENI, 2019).

  21  
3.6   Manifestasi klinis
•   Gejala klasik : poliuria, polipagi, polidipsi dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaaskan sebabnya.
•   Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi,
letih lesu, cepat lelah, Luka sukar sembuh, gatal-gatal, Keputihan , Infeksi
saluran kencing, gelisah, gangguan tidur.

3.7   Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti :
•   Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan beratbadan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
•   Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena dengan sistem


enzimatik dengan hasil :
•   Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
•   Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
•   Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
•   Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
•   Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
•   Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
•   HbA1c ≥ 6.5%

  22  
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan
gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994) :


•   Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
•   Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
•   diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
•   diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit berpuasa
kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
•   diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
•   selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi tiga
yaitu :
•   <140 mg/dl = normal
•   140-<200 mg/dL = toleransi glukosa terganggu
•   >200 mg/dL = diabetes

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus


Tipe 2 (DM tipe 2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu: (PERKENI, 2019)
•   Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
o   Aktivitas fisik yang kurang.
  23  
o   First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
o   Kelompok ras/etnis tertentu.
o   Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
o   Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
o   HDL <35 mg/dLdan atau trigliserida >250 mg/dL.
o   Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
o   Riwayat prediabetes.
o   Obesitas berat, akantosis nigrikans.j.Riwayat penyakit kardiovaskular.
•   Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan : Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang setiap 1 tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM
(PERKENI, 2019).

3.8   Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
o   Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
o   Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulitmikroangiopati dan makroangiopati.
o   Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif (PERKENI, 2019).

  24  
Terapi non farmaklogi
Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal (cth : materi penjelasan tentang perjalanan penyakit DM) dan materi edukasi
tingkat lanjutan ( mengenal dan mencegah Penyulit akut DM) (PERKENI, 2019).

Terapi Nutrisi Medis (TNM)


Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya). Terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM agar mencapai sasaran. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbangdan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (PERKENI, 2019).
Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari :
o   Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45–65%total asupan energi. Terutama
karbohidrat yang berserat tinggi. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila
perlu dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5%
total asupan energi.
o   Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 –25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan makanan yang perlu
  25  
dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara
lain yaitu daging berlemak dan susu fullcream. Konsumsi kolesterol yang
dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
o   Protein
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi. Penyandang DM yang sudah menjalani
hemodialisis asupan protein menjadi 1 –1,2 g/kg BB perhari. Sumber protein
yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang- kacangan, tahu dan tempe. Sumberbahan
makanan protein dengan kandungan saturated fatty acid (SAFA) yang tinggi
seperti daging sapi, daging babi, daging kambing danproduk hewani olahan
sebaiknya dikurangi konsumsi.
o   Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu < 1500 mg perhari. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi
perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual.
o   Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang- kacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Jumlah konsumsi serat
yang disarankan adalah 14 gram/1000 kal atau 20 –35 gram per hari, karena
efektif (PERKENI, 2019).

Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25–30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah
sebagai berikut :
  26  
o   Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi : Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg. Bagi
pria dengan tinggi badan di bawah160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) =(TB dalam cm –100) x 1
kg.
o   BB normal : BB ideal ± 10 %
o   Kurus: kurang dari BB ideal –10%
o   Gemuk : lebih dari BB ideal + 10% Perhitungan berat badan ideal menurut
Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan
rumus : IMT = BB (kg)/TB (m2)
o   Klasifikasi IMT :
§   BB kurang <18,5
§   BB normal 18,5 –22,9
§   BB lebih ≥23, Dengan risiko 23,0 –24,9
§   Obese I 25,0 –29,9
§   Obese II ≥30

Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3–5 hari seminggu selama sekitar 30
– 45 menit,dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan fisik. Latihanfisik selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah (PERKENI, 2019).

Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
  27  
•   Obat Hipoglikemik Oral :
o   Sulfonilurea
o   Glinid
o   Metformin
o   Tiazolidinedion (TZD)
o   Penghambat Alfa Glukosidase
o   Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor
o   Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2
inhibitor).

•   Terapi Injeksi
Obat Antihiperglikemia Suntik Insulin digunakan pada keadaan :
o   HbA1c saat diperiksa 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
o   HbA1c saat diperiksa > 9% Penurunan berat badan yang cepat
o   Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o   Krisis Hiperglikemia
o   Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
o   Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
o   Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
o   Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o   Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
o   Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.

Jenis dan Lama Kerja InsulinBerdasarkan lama kerja, insulin terbagi


menjadi : 1) Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin) ; 2) Insulin kerja pendek
(Short-acting insulin) ; 3) Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
; 4) Insulin kerja panjang (Long-acting insulin) ; 5) Insulin kerja ultra panjang
(Ultra long-acting insulin) ; 6) Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan
  28  
menengah dan kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin) ; 7) Insulin
campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat.

•   DM dan hipertensi
Untuk mendapatkan tekanan darah yang sebaik-baiknya guna mencegah
komplikasi kronik DM, Obat penghambat sistem renin angiotensin (lnhibitor
ACE, ARB atau pun kombinasi keduanya) dapat dipergunakan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya dan kemungkinan semakin bertambah beratnya
mikroal buminuria. Bila hipertensi tidak berkomplikasi (uncomplicoted
hypertension) maka rata-rata semua guideline sepakat targetnya ialah 140/90
mmHg. Akan tetapi bila hipertensi disertai diabetes mellitus atau penyakit
ginjal kronis target tekanan darah harus kurang dari 130/80 mmHg.

3.9   Komplikasi
•   Komplikasi Akut
o   Ketoasidosis Diabetik (KAD), Komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300- 600
mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.
o   Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH), Pada keadaan ini terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330 -
380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat.
•   Komplikasi Kronis
o   Retinopati Diabetik
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai
dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina,
kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan
  29  
kebutaan. Diagnosis Cini retinopati dapat diketahui melalui
pemeriksaan retina secara rutin. Pada praktik pengeloaan DM sehari-
hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan
pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap
tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan
kelainan retinanya.
o   Nefropati Diabetik
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM mulai
dengan adanya microalbuminuria, kemudian berkembang menjadi
proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju
filtrasi glomerular dan terakhir dengan keadaan gagal ginjal yang
memerlukan oengelolaan dengan pengobatan substitusi. Penyandang
DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin <30
mL/menit dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk kemungkinan dan
persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya berupa dialisis
maupun transplantasi ginjal.
o   Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi
konis paling sering ditemukan pada diabetes melitus (DM). Risiko
yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi
berulang, ulkus yang tidak sembuh_sembuh dan amputasi jari/ kaki.
Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan
kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya pengobatan pasien
DM dengan ND.
o   Kardiomiopati Diabetik
Kardiomiopati diabetik adalah kelainan kardiovaskular yang
terjadi pada pasien Diabetes Melitus, ditandai dengan dilatasi dan
hipertrofi miokardium, penurunan fungsi sistolik dan diastolik dari
ventrikel kiri serta proses terjadinya tidak berhubungan dengan
penyebab-penyebab umum dari penyakit jantung seperti penyakit
  30  
jantung korone; penyakit jantung katup dan penyakit jantung
hipertensif. Kardiomiopati diabetik dapat terjadi tanpa gejala selama,
beberapa tahun sebelum timbul gejala- gejala dan tanda-tanda klinis
yang nyata. Stadium awal dari kardiomiopati diabetik ditandai dengan
perubahan patologik didalam interstisium miokardium.
o   Kaki diabetes
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM
yang paling ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering
mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun penyandang DM
dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kbcacatan dan
kematian.
o   Gastropati Diabetikum
Gastropati diabetik merupakan komplikasi diabetes melitus
yang menyebabkan berbagai masalah pencernaan, khususnya pada
lambung. Salah satu masalah pencernaan dari gastropati diabetik yang
sering dialami adalah gastroparesis. Gastroparesis merupakan
gangguan kontraksi lambung yang menyebabkan makanan sulit
dikeluarkan dari lambung.
Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas
lambung yang terjadi pada penderita diabetes yang dapat
dimanisfestasikan oleh berbagai macam gejala serta dijumpainya
kelainan pada uji pengosongan lambung. Meskipun belum sepenuhnya
dimengerti, yang dianggap sebagai faktor patogenetik terpenting
dalam terjadinya gastroparesis diabetika adalah terjadinya neuropati
diabetika yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik
lambung (Lestari, 2019).
Hiperglikemia pada lambung dapat menyebabkan
gastroparesis yang artinya kelumpuhan lambung. Kelumpuhan
lambung dapat memperlambat pengosongan lambung yang mengarah
kondisi dispepsia dengan adanya keluhan mual, muntah dan rasa penuh
  31  
setelah makan. Gastroparesis, salah satu komplikasi gastointestinal
yang terkait dengan penyakit DM, menghasilkan gejala retensi
lambung tanpa adanya obstruksi fisik. Beberapa wilayah lambung
dapat menunjukkan beberapa derajat disfungsi, seperti: kegagalan
relaksasi fundus, kelemahan kontraksi antrum post-prandial, spasme
pilorus dan sebagainya. Gastroparesis diabetik adalah salah satu jenis
neuropati otonom yang dapat disebabkan oleh DM tipe 2 tidak
terkontrol dalam waktu lama (Lestari, 2019).
Gejala umumnya terkait dengan gastroparesis termasuk rasa
penuh postprandial, mual, muntah, anoreksia dan penurunan berat
badan, dengan atau tanpa sakit perut. Pengosongan lambung yang
tertunda dapat mengakibatkan kontrol glikemik yang buruk, nutrisi
dan dehidrasi, sehingga perlu dirawat di rumah sakit dan kualitas hidup
yang buruk (Krishnasamy & Abell, 2018). Neuropati bertanggung
jawab atas sebagian besar mortalitas dan morbiditas pada diabetes dan
dapat dikelompokkan ke dalam berbagai kelainan seperti neuropati
perifer dan neuropati otonom. Diabetes menimbulkan saraf otonom
memiiki sturktur mielin yang tipis atau tidak ada sama sekali, sehingga
rentan terhadap gangguan vaskular dan metabolic. Gejala gangguan
gastrointestinal relatif umum terlihat pada penderita dengan DM dan
sering merefleksikan adanya neuropati otonom gastrointestinal
diabetes. Pengosongan lambung sangat bergantung kepada fungsi saraf
yang dapat mengalami gangguan parah pada kondisi DM (Lestari,
2019).

  32  
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien mengeluh mual dan muntah. Mual
dan muntah dirasakan sejak satu minggu yang lalu. Mual dan muntah dirasakan
terus menerus. Mual muntah dirasakan terutama setelah makan. Pasien juga
menjelakan bahwa ia memiliki penyakit kencing manis sejak sekitar 15 tahun. Ia
juga mengeluhkan rasa cepat lapar, cepat haus, serta banyak kencing. Pasien juga
mengeluhkan lemas (+), nyeri uluh hati (+), dan rasa panas di dada (+). Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan glukosa darah sewaktu yaitu 433 mg/dL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien di
diagnosis diabetes melitus karena telah memenuhi kriteria yaitu adanya gejala
klasik diabetes melitus ditambah dengan kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL
(Sudoyo et al, 2014).
Pasien mengeluhkan rasa mual dan muntah terutama setelah makan sejak
satu minggu dan memiliki riwayat DM yang tidak terkontrol. Komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien DM dengan gejala mual dan muntah adalah gastropati
diabetikum. Salah satu masalah pencernaan dari gastropati diabetik yang sering
dialami adalah gastroparesis. Gastroparesis merupakan gangguan kontraksi
lambung yang menyebabkan makanan sulit dikeluarkan dari lambung. Gejala
umumnya terkait dengan gastroparesis termasuk rasa penuh postprandial, mual,
muntah, anoreksia dan penurunan berat badan, dengan atau tanpa sakit perut.
Pengosongan lambung yang tertunda dapat mengakibatkan kontrol glikemik yang
buruk, nutrisi dan dehidrasi, sehingga perlu dirawat di rumah sakit dan kualitas
hidup yang buruk (Krishnasamy & Abell, 2018).
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah pasien yaitu
190/100 mmHg. Seperti yang diketahui bahwa tekanan darah tinggi merupakan
salah satu faktor risiko dari DM. Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada

  33  
dua kali pengukuran atau lebih dalam keadaan tenang (Sudoyo et al, 2014).
Peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan dan berlangsung lama
menyebabkan perubahan pada struktur otot jantung, arteri koroner,dan konduksi
jantung antara lain gagal jantung, penyakit arteri koroner dan aritmia yang dikenal
sebagai penyakit jantung hipertensi dengan manifestasinya berupa left ventricle
hypertrophy (LVH) (Moningka et al, 2021).
Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa tatalaksana untuk diabetes
melitus dan juga hipertensi. Tatalaksana yang diberikan untuk mengontrol kadar
gula darah pada pasien yaitu pemberian Lantus dan apidra. Pemberian insulin pada
pasien berdasarkan riwayat DM yang dimiliki pasien, hiperglikemia yang dialami
berdasarkan pemeriksaan penunjang, serta kemungkinan komplikasi. Pemberian
insulin long acting dan rapid acting diharapkan dapan menurunkan gula darah basal
dan juga gula darah post prandial. Dosis pemberian insulin berdasarkan kebutuhan
insulin harian total. Untuk tatalaksana hipertensi pada pasien diberikan obat
antihipertensi golongan angiotensin II receptor blocker (ARB), Calsium channer
blocker (CCB), diuretik tipe hemat kalium, dan beta blocker. Pemberian terapi
kombinasi didasarkan pada kondisi pasien yang kemungkinan mengalami
komplikasi pada ginjal. Pemberian diuretic hemat kalium dikarenakan pasien
mengalami hipokalemi sehingga diharapkan dengan pemberian diuretic tipe hemat
kalium menghindari perburukan hipokalemi. Beta bloker tipe selektif diberikan atas
indikasi hipertensi resisten serta hipertropi pada ventrikel kiri jantung. Target
tekanan darah pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal adalah <130/80
mmHg. Tatalaksasana lain yang diberikan pada pasien adalah pemeberian KSR.
KSR merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi kondisi hipokalemi pada
pasien.
Pada pasein didapatkan adanya proteinuria (+3) pada pemeriksaan urinalisis
maksroskopis. Proteinuria mengindikasikan adanya gangguan pada ginjal pasien.
selain itu, terdapat penurunaan laju filtrasi glomerulus pada pasien dengan
perkiraan adalah 52 ml/menit/1,73m2 dengan kadar kreatinin darah 1.35 mg/dL dan
urea darah 43.4 mg/dL. Temuan tersebut mengarahkan pada kemungkinan adanya
  34  
komplikasi yang diakibatkan oleh kondisi DM pada pasien. untuk memastikan hal
tersebut perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut.

  35  
BAB V
PENUTUP
5.1   Kesimpulan
Pasien adalah wanita dengan usia 41 tahun. Datang ke rumah sakit dengan
keluhan mual dan muntah. Mual dan muntah dirasakan sejak satu minggu. Mual
dan muntah dirasakan terus menerus terutama setelah makan. Pasien juga
mengeluhkan lemas (+), nyeri uluh hati (+), dan rasa panas di dada (+). Pasien
memiliki riwayat DM. Pada hasil pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah
pasien 190/100 mmHg. Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dimana diagnosis pada pasien
adalah diabetes melitus dan juga hipertensi dengan hipokalemi.

  36  
DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, R. N. (2015). DIABETES MELITUS TIPE 2. 4, 93–101.

Krishnasamy, S., & Abell, T. L. (2018). Diabetic Gastroparesis: Principles and Current
Trends in Management. Diabetes Therapy, 9(s1), 1–42.

Lestari, D. P. (2019). Hubungan antara Kadar Glycosylated Hemoglobin (HbA1c) dan


Angka Kejadian Sindrom Dispepsia pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. 5(7),
21–36.

Moningka, B. L. M., Rampengan, S. H., & Jim, E. L. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana
Terkini Penyakit Jantung Hipertensi. E-CliniC, 9(1), 96–103.

PERKENI, 2019. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2


Dewasa di Indonesia. PB PERKENI

Rahmasari, I., & Wahyuni, E. S. (2019). Efektivitas Memordoca Carantia (Pare)


Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah. Infokes: Jurnal Ilmiah Rekam
Medis dan Informatika Kesehatan, 9(1), 57-64.

Sudoyo, Aru W., et. al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi VI.
Interna Publishing: Jakarta

  37  

Anda mungkin juga menyukai