Anda di halaman 1dari 3

Dilema Kantin Sekolah dalam Putaran Minuman Kemasan Bergula

Akhir-akhir ini, gula menjadi perbincangan hangat di kalangan media sosial. Termasuk juga di
dunia ibu-ibu pencari ilmu medsos. Asupan gula harian hingga maraknya berbagai makanan
penuh gula menjadi perbincangan yang tak henti dibicarakan.

Memang, gula yang begitu lekat dengan keseharian, yang tampaknya tidak berbahaya, menjadi
salah satu pemicu penyakit diabetes, salah satu penyakit yang umum dijumpai belakangan ini.

Pola makan memang menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi gula sehari-
hari. Termasuk dalam konsumsi minuman dan makanan kemasan. Sejauh ini, sepertinya
sebagian besar dari kita memang cukup abai terhadap apa-apa yang terkandung dalam
makanan atau minuman kemasan tersebut. Asal ada di iklan tv, kemudian berlabel BPOM, ya
berati aman lah untuk dikonsumsi.

Dibalik keabaian kita dan kegemaran konsumsi makanan atau minuman kemasan, saya pikir
ada pihak yang cukup dilema berada di antara keduanya. Siapa itu? Pengelola kantin sekolah.
Dilema apanya? Coba kita tengok sebentar.

Sebagai seseorang yang pernah menjadi -sampai sekarang, sih- pengelola kantin sekolah,
saya menyadari hal yang cukup miris tapi tidak terhindarkan. Sehari-hari, di kantin sekolah
saya, ada anak-anak yang biasà membeli minuman kemasan 2 botol sekali beli. Sekali beli lo
ya!

Padahal, biasanya anak semacam itu tergolong anak dengan uang saku yang cukup, jadi pasti
lebih dari sekali membeli. Kalau untuk anak yang beruang saku terbatas, biasanya mereka
memilih untuk tidak ke kantin sekalian.

Coba kita bayangkan, jika dalam satu botol minuman kemasan tersebut mengandung gula 20
gram, misalnya, berarti dia sudah mengkonsumsi 40 gram gula dalam sekali minum. Padahal
ambang batas asupan gula untuk orang dewasa sekitar 50 gram sehari. Minuman yang diklaim
rendah gula sekalipun masih memiliki kadar gula di atas 10 gram dalam tiap kemasannya.

Itu hanya dari minuman. Belum lagi kalau dia membeli berbagai kudapan yang memang sudah
mengandung gula. Belum konsumsi gula di luar sekolah.

Di titik inilah dilema itu bermula. Perputaran uang karena penjualan minuman kemasan itu
cukup tinggi. Tingkat penjualan yang cukup tinggi ditambah dengan margin keuntungan yang
tinggi pula membuat penghasilan dari penjualan minuman tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kantin sekolah sebenarnya menyadari dua hal tersebut. Kantin sadar bahwa penjualan
minuman kemasan memiliki keuntungan sekaligus risiko yang tinggi bagi kesehatan sisanya
untuk kurun waktu yang panjang.
Pengelola kantin sekolah, yang biasanya terdiri dari para guru, sebenarnya cukup sadar tentang
bahaya minuman bergula bagi para siswa. Tapi, meniadakan seluruh minuman kemasan
bergula tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Karena kantin berkewajiban
menyediakan alternatif makan dan minum bagi para siswa, terutama bagi yang tidak membawa
bekal.

Coba kita bayangkan saja. Kalau kantin sekolah tidak menyajikan atau menjual minuman
kemasan, berarti kantin tersebut harus menyediakan jenis minuman lain, semacam jus buah
atau minuman racikan lain dengan kandungan gula yang bisa diminimalisir sejumlah kebutuhan
minuman siswa dalam sehari. Mungkin sekitar sepertiga dari jumlah siswa sekolah tersebut.

Dengan pengelola kantin yang semuanya sudah memiliki tugas dan tanggung jawab utama
masing-masing, menyediakan minuman racikan dengan jumlah yang banyak tentu bukan hal
yang mudah. Kalau sekedar menyediakan alternatif atau pilihan lain tentu bisa dilakukan. Tapi
menyediakannya sebagai menu utama tentu beda cerita.

Di sinilah letak dilema berikutnya. Sebagai sebuah usaha yang dituntut untuk menghasilkan
profit, sebuah kantin sekolah tentu berorientasi untuk memperoleh keuntungan semaksimal
mungkin. Apalagi jika yang mengelola adalah sekolah yang dilarang menarik pungutan
terhadap siswanya. Keberadaan kantin sekolah tentu bisa membantu mencukupi kebutuhan
sekunder ataupun tersier sekolah tersebut.

Dan tentu saja, untuk mendapatkan keuntungan maksimal, kantin sekolah mau tidak mau harus
menyesuaikan dengan selera siswa sekolah tersebut. Yaa, paling tidak supaya tidak rugi lah.
Sebagai contoh, di kantin tempat saya, pernah menyediakan galon kejujuran. Di mana para
siswa dapat mengisi air mineral sendiri sesuai dengan wadah yang mereka bawa dari rumah
dan dengan harga di bawah semua minuman kemasan yang dijual di kantin.

Pada waktu itu, sudah disiapkan beberapa galon air dan disebar di sekitar area kantin sekolah.
Dan hasilnya? Tidak laku. Jarang sekali melihat siswa mengambil minuman di galon-galon
tersebut walaupun sudah diberi harga yang lebih rendah. Galon-galon air tersebut utuh selama
berhari-hari. Mereka tetap memilih membeli minuam kemasan, terutama yang memiliki aneka
rasa.

Dalam menyediakan makanan, pernah juga, pengelola kantin menyediakan menu makanan
dengan sayur berkuah semacam sop ditambah dengan potongan ikan atau ayam sebagai
lauknya, sebagai usaha menyediakan menu lengkap bagi para siswa. Dan lagi-lagi sepi
peminat. Anak-anak lebih memilih ayam krispi ataupun ayam geprek sebagai menu favorit
mereka.

Keberadaan minuman kemasan bergula memang sesuatu yang tidak bisa terpisahkan bagi
kantin sekolah. Dalam segala dilemanya, meniadakan minuman tersebut masih terasa sulit
untuk dilakukan. Menyediakan alternatifnya memang bisa sedikit mengurangi meskipun tidak
cukup signifikan.
Sepertinya, tidak ada salahnya bagi masing-masing kita untuk mengedukasi diri kita maupun
orang sekitar kita untuk tidak abai tentang makanan ataupun minuman kemasan yang
bertebaran di sekitar kita. Tidak perlu edukasi yang njlimet, mungkin kita bisa belajar membaca
dan memperhatikan label kecukupan gizi dan komposisi dalam produk kemasan, misalnya.

Karena, ya itu tadi. Berharap lingkungan sekitar kita pada kondisi yang ideal sesuai dengan
ekspektasi kita tentu adalah hal yang sulit. Jadi, daripada kita ngedumel tapi terbawa arus, diam
tapi berjalan pelan sesuai dengan prinsip pribadi, tidak ada salahnya untuk dicoba, bukan?

Anda mungkin juga menyukai