diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan perkuliahan pendidikan profesi
guru prajabatan pada mata kuliah “Pemahaman tentang peserta didik dan pembelajaranya” yang
diampu oleh Dra. Emidar, M.Pd.
Disusun oleh :
FIONIE AYU SYAFITRI
1
Berdasarkan Profiling yang telah dibuat pada koneksi antar materi topik 3
peserta didik kelas X Fase E SMA Negeri 4 Sumatera Barat dapat disimpulkan
bahwa perkembangan fisiologis siswa sudah mengalami perubahan fisik,
begitupun dengan perkembangan psikologis yaitu secara kognitif siswa sudah
berpikir secara logis selanjutnya perkembangan emosi siswa juga cukup stabil
namun beberapa ada yang masih kurang stabil emosinya.
2
MODUL AJAR
KELAS 10 FASE E
Komponen awal
PERANGKAT AJAR MEMBACA CERPEN
Tujuan 11.5 Peserta didik menilai dan mengkritisi unsur intrinsik (karakterisasi dan alur
Pembelajaran cerita), otentisitas penggambaran masyarakat, serta dan memprediksi dinamika
pemikiran maupun tindakan tokoh
Deskripsi Fokus pembelajaran adalah menilai dan mengkritisi unsur intrinsik (karakterisasi, alur
umum cerita) gambaran realitas masyarakat, dan dinamika pemikiran tokoh
kegiatan
Materi ajar, Materi ajar: Membaca Cerpen
alat, dan
bahan Alat dan Bahan:
Kliping cerpen di koran
Buku kumpulan cerpen
Permainan “boom”
Aplikasi powerpoint versi 2013
Video pembacaan cerpen: misalnya
Komponen inti
PERANGKAT AJAR
MEMBACA CERPEN
PERSIAPAN PEMBELAJARAN
1. Guru membaca buku/pdf/PPT mengenai apresiasi cerpen
2. Guru membaca contoh teks cerpen dan membedah srtuktur, isi, dan kebahasaan teks cerpen.
3. Guru membuat analisis teks cerpen untuk memotivasi siswa dan dapat digunakan sebagai
contoh .
4. Guru menyiapkan berbagai referensi
Pertanyaan Inti:
1. Mengapa kita perlu membaca cerpen?
2. Adakah cerpen yang membuatmu terkesan? Jika ada, apa yang membuatmu terkesan?
3. Bagaimana penggambaran realitas kehidupan dalam cerpen yang pernah kalian baca?
4. Bagaimana dinamika pemikiran tokoh pada cerpen yang kalian baca?
5. Bagaimana peluang cerpen sebagai media edukasi bagi masyarakat?
Apakah pengetahuan latar yang perlu dimiliki siswa sebelum mempelajari topik ini?
Konsep unsur intrinsic cerpen
AKTIVITAS 1 ( 2 X 45 Menit)
MATERI: MENGIDENTIFIKASI, MENGANALISIS, DAN MENILAI
KARAKTERISASI DAN ALUR CERITA
Penunjukan siswa dapat menggunakan permainan “boom”, misalnya, “boom 3”. Siswa
diminta berhitung secara urut, tetapi mengganti angka kelipatan 3 atau yang
mengandung angka 3 dengan kata “boom”. Jika ada siswa yang salah, diminta
menyampaikan hasil pekerjaan atau diminta memberi tanggapan.
Penutup (5 1. Guru meminta siswa untuk menuliskan pemahaman siswa tentang materi
menit) yang sudah dipahami dan yang belum dipahami serta
kesan/masukan/kritikan selama pembelajaran
2. Guru menginformasikan materi yang akan dibahas pada pertemuan
berikutnya dan meminta siswa mempelajarinya.
3. Guru menutup pelajaran dengan mengucapkan salam.
AKTIVITAS 1 ( 2 X 45 Menit)
MATERI: MENGIDENTIFIKASI, MENGANALISIS, DAN MENILAI
KARAKTERISASI DAN ALUR CERITA
Menganalisis karya fiksi merupakan salah satu cara untuk memahami dengan jelas apa yang
terkandung di dalam karya itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, karya fiksi merupakan proses
pemikiran seorang pengarang yang belum tentu dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca apa
maksud yang disampaikannya. Dengan menganalisisnya, kesalahpahaman maksud yang ditujukan
dari pengarang kepada pembaca tentu dapat dihindari. Sehingga suatu karya fiksi akan dapat
dinikmati dengan mengutamakan tujuan adanya karya fiksi itu sendiri. Penokohan dan alur
merupakan salah satu cara yang digunakan pengarang untuk memberi kesan menarik pada
karyanya
A. Karakterisasi
Karakterisasi atau dalam bahasa Inggris charaterization berarti pemeranan, pelukisan watak.
Penciptaan tokoh-tokoh dengan karakter yang berbeda menambah hidup suatu
cerita. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, pengarang dapat menggambarkan karakter tokoh
dengan bermacam-macam.
Karakter dan sikap tokoh berkembang, dengan sendirinya akan mengalami perkembangan dan
perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara
kesuluruhan. Tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan karakter sejalan dengan alur
cerita. Sejalan dengan perkembangan alur yang menampilkan berbagai peristiwa dan konflik yang
juga semakin meningkat, karakter tokoh juga mengalami perubahan dan perkembangan untuk
menyikapi dan menyesuaikan dengan tuntutan alur. Dengan demikian, perubahan dan
perkembangan alur itu tetap berada dalam kaitannya dengan alur dan dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya, adanya perubahan dan perkembangan karakter itu tidak terjadi
begitu saja tanpa adanya konflik yang memicunya.
Perkembangan karakter tokoh dipengaruhi atau bahkan dibentuk oleh latar yang
melingkupinya. Hal itu sekaligus juga berarti bahwa karakter seorang tokoh dapat dipahami lewat
dan sekaligus diperjelas oleh kondisi latar yang membesarkannya. Misalnya, seorang anak yang
hidup di lingkungan komunitas panti asuhan, maka sejak kecil sudah dihadapkan pada fakta
kehidupan yang keras. Maka, karakter sang anak akhirnya berkarakter keras, pekerja keras, dan
tidak pantang menyerah. Tokoh statis tersebut sejak awal kemunculannya hingga akhir cerita terus
menerus bersifat hitam (tokoh jahat) atau putih (tokoh baik), yang hitam tak pernah berangsur
putih dan yang putih pun tidak diungkapkan unsure kehitamannya. Sedangkan yang dimaksud
dengan tokoh berkembang/dinamis adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang
dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan sosial, alam, maupun
yang lain yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Adanya
perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya, dan adanya hubungan antar manusia yang
memang saling mempengaruhi itu, dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya. Sikap dan watak tokoh berkembang,
dengan demikian akan mengalami perkembangan atau perubahan dari awal, tengah dan akhir cerita
sesuai dengan tuntutan koherensi secara keseluruhan.
Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan. Tokoh berkarakter
baik lazimnya menjadi tokoh protagonis karena pembaca akan cenderung berpihak pada tokoh-
tokoh jenis ini. Tokoh protagonis adalah tokoh pembawa misi kebenaran dan nilai-nilai moral yang
bersebrangan dengan tokoh antagonis yang justru pembawa kejahatan atau malapetaka. Tokoh
protagonis ini pulalah yang sering dijadikan hero, pahlawan karena bertugas membawakan nilai-
nilai yang menjadi idealisme pembaca. Sebaliknya, tokoh antagonis mering menjadi tokoh yang
disikapi secara antipasti oleh pembaca karena sifatnya yang jahat. Dengan demikian, penokohan
atau pelaku yang berperan dalam sebuah cerita dengan menampilkan karakter yang diperannya.
Tokoh-tokoh cerita fiksi hadir sebagai seseorang yang berjati diri bukan sebagai sesuatu yang tanpa
karakter. Tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokohtokoh lain,
ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Selalu hadir sebagai pelaku, atau
yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain,
permunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung dan tak langsung.
walaupun tokoh ceritanya hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan
tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah
dan daging, yang mempunyai pikiran dam perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan
dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan
perwatakan yang disandangnya.
secara garis besar tokoh dapat diungkapkan dua macam cara, yaitu cara langsung dan tidak
langsung. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
1. Cara analitik yaitu pengarang menjelaskan atau menceritakan secara langsung dengan diuraikan
oleh pengarang. Pengarang secara jelas menunjukkan atau mendeskripsikan watak tokoh.
2. Cara dramatik yaitu mengungkapkan watak tokoh secara tidak langsung lewat alur cerita. Jadi,
watak tidak diuraikan dan dideskripsikan secara serta merta begitu saja, melainkan
diungkapkan secara terselubung lewat cerita.
Bagaimana kita bisa mengenali karakter dalam sebuah cerita? Ada beberapa jalan yang dapat
menuntun kita sampai pada sebuah karakter.
1. Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap
dalam situasi kritis. Watak seseorang kerap kali tercermin dengan jelas pada sikapnya dalam
situasi gawat (penting), karena ia tak bisa berpura-pura, ia akan bertindak secara spontan
menurut karakternya: Situasi kritis di sini tak perlu mengandung bahaya, tapi situasi yang
mengharuskan dia mengambil keputusan dengan segera.
2. Melalui ucapan-ucapannya. Dari apa yang diucapkan oleh seorang tokoh cerita, kita dapat
mengenali apakah ia orang tua, orang dengan pendidikan rendah atau tinggi, sukunya, wanita
atau pria, orang berbudi halus atau kasar, dan sebagainya.
3. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penulis sering membuat deskripsi mengenai bentuk tubuh
dan wajah tokoh-tokohnya yaitu tentang cara berpakaian, bentuk tubuhnya, dan sebagainya.
Dalam fiksi lama penggambaran fisik kerap kali dipaia untuk memperkuat watak.
4. Melalui pikiran-pikirannya. Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah salah
satu cara penting untuk membentangkan perwatakkannya. Dengan cara ini pembaca dapat
mengetahui alasan-alasan tindakannya. Dalam kenyataan hidup, penggambaran yang demikian
memang mustahil. Tapi inilah konvensi fiksi.
5. Melalui penerangan langsung. Dalam hal ini, penulis membentangkan panjang lebar watak tokoh
secara langsung. Hal ini berbeda sekali dengan cara tidak langsung, yang pengungkapan watak
lewat perbuatannya,- apa yang diucapkannya, menurut jalan pikirannya, dan sebagainya.
B. Alur
Plot, alur atau struktur adalah bagian-bagian yang membentuk suatu cerita dan kisah dari
suatu cerpen, novel atau prosa fiksi lainnya. Misalnya, plot memiliki pengenalan tema dan tokoh,
awal mula konflik, puncak konflik hingga bagaimana penyelesaiannya. Plot atau alur yang biasa
terdapat dalam cerita prosa adalah sebagai berikut ini:
1. Abstraksi, Gambaran umum secara keseluruhan mengenai berbagai situasi, peristiwa dan
berbagai unsur lain dalam cerita disampaikan disini. Biasanya plot ini opsional dan jarang
digunakan pada cerpen.
2. Orientasi (Pengenalan), dimana cerpen dimulai dengan perkenalan tokoh (biasanya tokoh
utama) penjelasan latar dan mendetailkan tema secara keseluruhan cerpen.
3. Komplikasi, adalah awal mula munculnya konflik yang biasanya terjadi antara tokoh protagonis
dan antagonis. Bagian ini menyebabkan bagaimana sebab-akibat terjadinya konflik dari
antagonis dan protagonist.
4. Pencapaian Konflik, merupakan bagian dimana konflik semakin berkembang dan hampir menuju
puncaknya (klimaks).
5. Puncak Konflik (Klimaks), dimana konflik telah mencapai puncaknya, ketika pertentangan antar
protagonis dan antagonis dalam kondisi paling mendebarkan dan mencapai batasnya.
6. Evaluasi, adalah bagian dimana konflik mulai mendapatkan pencerahan untuk menuju ke proses
penyelesaian
7. Resolusi (Penyelesaian), merupakan penyelesaian dari konflik yang terjadi dalam suatu cerita.
8. Koda, adalah bagian penutup atau akhir dari keseluruhan cerita yang disajikan dalam sebuah
prosa fiksi / cerpen. Koda dapat berisi kesimpulan berupa amanat dari cerpen, meskipun
biasanya sastra serius menghindari ini karena ingin pembacanya yang menyimpulkan amanat
atau pesan dari cerpen sendiri. Terkadang koda juga dapat memuat berbagai kemungkinan-
kemungkinan baru untuk celah lanjutan kisah.
Terkadang alur yang tersedia dapat disederhanakan menjadi empat saja, yaitu: orientasi,
komplikasi, klimaks dan penyelesaian (resolusi). Karena, kenyataannya dalam cerpen kebanyakan
penulis hanya menggunakan keempat alur itu saja dengan pengaluran struktur yang variatif.
Sumber: Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Contoh Cerpen:
Mar Beranak di Limas Isa
Karya: Guntur Alam
(sumber: Kompas, 20 Maret 2011)
Ada sebuah hikayat yang hendak aku terakan, tentang Bi Maryam istrinya Mang Isa. Perempuan
yang telah melewati usia kepala empat, tetapi masih saja rajin beranak. Baiklah, untuk menuntaskan
keingintahuan yang telah bersarang, kita buka saja cerita ini.
Oya, sebelumnya kita buat kesepakatan: Untuk memudahkan aku bercerita, kita singkat saja nama
Bi Maryam menjadi Bi Mar, tersebab lidahku agak sulit menyebut namanya bila kuucapkan secara
panjang. Jadi ketika aku menyebutkan nama Bi Mar, kau pahamlah kalau yang kumaksud adalah Bi
Maryam istrinya Mang Isa, lantaran sangat banyak Bi Mar di dusun Tanah Abang.
Kita mulai cerita ini di suatu malam ingusan, ketika bulan tengah mati di kelam raya dan kesiuran
angin penanda hujan telah bertiup sejak langit mulai temaram, tepatnya di bilik pengap Bi Mar dan
Mang Isa, pada sebuah limas yang terpancang tak jauh dari bibir Sungai Lematang. Dan kisah ini dibuka
oleh ucapan Kajut Mis, dukun beranak di dusunku, Tanah Abang.
”Masih belum terlihat, Mar. Kau harus bertahan. Ambil napas lagi, lalu kau ejankan kuat-kuat.”
Bi Mar tersengal, kedua tangannya mencengkeram kuat seruas bambu yang tergantung tepat di
atasnya. Seruas bambu yang diikat kuat tali trap—tali yang terbuat dari kulit kayu bernama trap.
Keringat telah membanjir di pelipisnya, melucumkan seluruh tubuh dan merembes ke kasur kapuk yang
menampung tubuh kepayahannya. Ada rasa sakit yang mengili-ngili tubuhnya, merayap dari sendi-
sendi, lalu menjalar ke seluruh pori. Sakit yang bermuara dari satu titik: perut bengkaknya.
Mertua Bi Mar, emaknya Mang Isa, terlihat cemas di sebelahnya. Padahal, ini bukan kali pertama ia
mengawani menantunya ini bertaruh nyawa, melahirkan cucu-cucunya, hampir saban dua tahun sekali,
ia mengulangi adegan yang selalu membuat jantungnya berdebar lebih kencang ini. Bahkan, ia pun telah
berkali-kali melakoninya. Tetap saja, kernyit muka penuh nyeri Bi Mar tak urung membuat dadanya
mengempis.
”Sudahlah, Mar, tak usah beranak lagi. Kau datangi saja bidan di puskes sana, minta KB,” itulah
ucapan mertua Bi Mar dua tahun silam, ketika usai mengawaninya melahirkan Serina, anak gadisnya
yang baru saja dapat berlari dengan sempurna. Kata-kata serupa tak terluncur dari mulut mertua Bi Mar
saja, Kajut Mis, dukun beranak yang kian uzur itu, pun telah mengucapkannya empat tahun lalu, pun
dengan mulut-mulut karib-karib Bi Mar—tapi tidak dengan mulut orang-orang di Tanah Abang.
”Tak kau tengok, Mar, anakmu sudah macam rayap? Menyempal-nyempal sampai limasmu sesak.
Apa lagi yang nak kau ranakan? Gadis-gadismu sudah banyak. Empat belas orang. Apa kau buta hingga
tak dapat menghitungnya?”
Sejatinya, Bi Mar tak buta. Mata beloknya yang indah itu dapat dengan sempurna menghitung
jumlah anak perawannya. Pun jika hendak menuruti kemauan hatinya, ia sangat ingin untuk
menyudahinya. Tetapi, ucapan lakinya, Mang Isa, selalu saja membuatnya tak berdaya, ujung-ujungnya
kembali mengharuskan Bi Mar bertaruh nyawa, melahirkan anak-anaknya.
”Kita harus dapat anak bujang, Dik,” itulah kata-kata Mang Isa pada Bi Mar, ”Apa kata orang se-
Tanah Abang bila jurai limas kita tak tertegak lantaran kita hanya melahirkan anak-anak perawan saja?
Pada masanya, bila kita telah uzur dan anak-anak gadis kita telah diboyong laki mereka ke limas
seorang-seorang, kita hanya tinggal berdua di limas ini, tak ada yang mengurusi. Lalu, kita akan mati
bergilir dalam sepi. Nasib baik, jika kita mati bersama, hingga yang ditinggal tak merasa sunyi.”
Ucapan Mang Isa membuat mata Bi Mar menerawang, membayangkan dirinya ringkih dan
tertatih-tatih sendiri dalam limas. Menanak nasi, mandi ke Sungai Lematang, mengumpulkan kayu
bakar, merumputi lapangan sekitar limas, menyambangi kebun duku-durian, menyayatkan pahat pada
kulit balam di pagi kelam. Mendadak, tengkuk Bi Mar meriap. Alangkah menakutkan bayang itu di
matanya.
”Kalau kita ada anak bujang. Ada yang menunggu limas, memboyong istri dan anaknya di sini,
bersama kita. Mengurus kebun duku-durian, menyadap balam pagi-pagi kelam. Kita hanya tinggal di
rumah saja, bermain dengan cucu-cucu yang banyak. Tak usah risau bila ada yang sakit karena tua, tak
perlu cemas kalau-kalau kita mati tak ada yang tahu musababnya. Sebab, ada yang bersama kita. Anak
bujang dengan anak dan istrinya,” tambah Mang Isa membuat mata Bi Mar mengatup rapat. Alangkah
indah.
Sekelebat pula sebuah bayangan mengantar-kantar mata Bi Mar yang terpejam. Sebuah bayangan
yang mendadak menciutkan kembali nyalinya. Bi Mar teringat akan nasib buruk Mak Salit. Perempuan
tua itu kini hidup sendiri di limasnya yang megah setelah lakinya meninggal beberapa purnama silam.
Nasib malangnya bukan lantaran karena Mak Salit seorang perempuan mandul yang tak punya anak.
Anaknya banyak, hampir mencapai sepuluh orang. Sayangnya, semua perawan dan telah mengikuti laki-
lakinya di dusun-dusun tetangga.
Mungkin, bukan tak ada anak-anak perempuan Mak Salit yang tak iba melihat nasib malang Emak
mereka. Dapat pula sebenarnya mereka takut akan mendapatkan nasib serupa di masa tua lantaran
telah menelantarkan Emak mereka. Tapi, apa yang dapat mereka perbuat sebagai perempuan selain
tunduk kepada suami dan adat yang mengikat? Tak akan mertua mereka mengizinkan, bila anak
bujangnya menunggui limas mertua, mengikuti istri melangkah, menegakkan jurai perempuan sembari
membunuh jurai keluarga seorang lanang.
Itulah mengapa Bi Mar seolah-olah menulikan telinga dari ucapan mertuanya, ucapan Kajut Mis,
dan karib-karib sebayanya. Ia harus dapat anak bujang, tak peduli dengan ucapan segelintir orang.
Orang-orang Tanah Abang pun paham apa yang hendak ia capai dengan lakinya.
***
”Mungkin kau kurang syarat, Mar, jadinya selalu meranakkan perawan,” ucapan itu Bi Mar dapat
dari Kajut Muya ketika perempuan tua yang tak seorang pun memiliki anak perawan itu, sekali waktu
menyambangi limas Bi Mar seusai Bi Mar melahirkan anaknya yang keempat belas, Serina.
”Syarat apa, Jut?” kejar Bi Mar dengan mata berbinar. Ada semangat yang meluap dari dadanya
hingga Bi Mar seolah lupa dengan tubuhnya yang masih kepayahan sebab baru saja meranakkan anak
gadisnya yang kesekian. Di mata Bi Mar terlintas deret-deret bujang Kajut Muya yang elok-elok
parasnya.
”Kau malinglah sereket dari kayu ribu-ribu milik bibi atau saudara perempuan lakimu yang telah
beranak bujang. Usai itu, kau pakai sekali saja saat menanak nasi. Nah, nasi-nasi yang menempel di
sereket itu kau makan, lalu simpan sereketnya di bawah kasur kapuk kau dengan Isa. Insya Allah, kau
akan dapat anak bujang. Aku pun dulu demikian, Mar. Awal-awal menikah hingga anakku bujang
semua.”
Bibir Bi Mar mengembang, serupa kuntum bunga yang menemukan masanya mekar. Ada luap
keinginan yang rasanya hendak lekas-lekas ia tunaikan. Bila tak sadar dirinya masih terkulai di atas
lamat kapuknya, mungkin Bi Mar telah gegas meninggalkan Kajut Muya seorang saja bersama gadisnya
yang masih merah. Di matanya yang mendadak berbinar, Bi Mar telah dapat limas siapa yang akan ia
satroni, menggondol sereket kayu ribu-ribu penanak nasi: Limas Bi Jumar, adik mertuanya yang
memiliki banyak bujang.
Begitulah, seusai merasa dirinya telah sehat walafiat, Bi Mar melancarkan aksinya. Pada petang
yang kesekian di bilangan almanak rumah, Bi Mar berpura bertandang sembari memamerkan anak
gadisnya yang merah. Ketika Bi Jumar lengah, Bi Mar mengambil sereket kayu ribu-ribu yang terselip di
dinding limas samping periuk yang bergemerutup. Entah, apa Bi Jumar sebenarnya paham apa yang
dilakukan Bi Mar atau ia benar-benar tak mengetahuinya. Bi Mar melenggang pulang dengan sereket
kayu ribu-ribu yang terselip di balik besannya.
Di rumah, Bi Mar gegas menanak nasi seperti biasa, meletakkan perawannya yang masih merah
dalam ayunan. Lalu, melakukan petuah Kajut Muya padanya. Menggunakan sereket kayu ribu-ribu milik
Bi Jumar untuk mengaron nasinya hingga matang. Dan, memamah nasi yang tertinggal di sereket. Usai
itu, Bi Mar menyelipkan sereket itu di bawah kasur, tempat ia dan Mang Isa tidur.
***
Keinginan Bi Mar memiliki anak bujang kian menjadi saja. Sebab, ada berita yang tengah hangat
dibicarakan perempuan-perempuan di batang—tempat mencuci dan mandi di Sungai Lematang. Berita
tentang Mang Marwan yang berbini dua!
Kata berita yang lagi hangat-hangatnya itu, Mang Marwan berbini dua lantaran tak kunjung
mendapatkan anak bujang dari istrinya, Bi Murni. Bi Mar pun ingat, ada lima anak gadis Bi Murni itu.
Semua berparas elok, berbibir tipis dengan hidung bangir, kulit putih dan mata sipit, mirip Mang
Marwan yang memang termasuk lelaki rupawan.
Mendadak, degup di jantung Bi Mar terasa tak normal. Ada dag-dig-dug yang tak biasa. Ia seperti
merasa, mata-mata perempuan yang mencuci dan mandi di batang seolah-olah mencuri pandang.
Seperti perempuan-perempuan itu tengah meramalkan nasibnya pun akan seburuk Bi Murni yang
tengah dikisahkan. Dimadu oleh lakinya lantaran tak kunjung mengoekkan anak bujang dari
selakangannya. Tak kunjung menegakkan jurai limas dengan menetak burung bujang ingusan.
Gegas sekali Bi Mar menyikat baju cuciannya, membilas, dan menyabuni tubuhnya. Lalu,
membasuh diri dengan air Lematang yang mengalir. Setelah itu, ia terburu melangkah pulang. Dalam
hatinya yang kusut-masai, ia percaya, mata-mata perempuan di batang masih saja tertuju hingga
tubuhnya lenyap dari pandangan.
Bi Mar pun mulai waswas melihat tingkah pola Mang Isa. Bila lelaki itu tak kunjung pulang pada
malam yang kian larut saja, hatinya mendadak dibalur cemburu. Jangan-jangan Mang Isa tengah
memadu kasih dengan janda di dusun ini dan itu. Mengurai rencana dan sudah mulai menyusun kata,
bila ia menangis sembab ketika mendapati Mang Isa dikabarkan telah berbini dua kelak.
Bi Mar pun kian risau, bila ia mendapati dirinya masih saja datang bulan. Padahal, ia sangat
berharap ada sesuatu yang tumbuh di perutnya, buah dari cinta dengan Mang Isa. Sesuatu yang ia
harapkan membayar tunai kegalauannya.
Rupa-rupanya, Tuhan mendengar doa Bi Mar, atau ini hanyalah kebetulan semata. Pastinya, hal ini
memang sudah tersemat dalam kisah semesta. Bi Mar kembali hamil muda. Lalu, pelan-pelan perutnya
membengkak, menuju bilangan bulan demi bulannya, seiring anak gadis yang keempat belas belajar
berjalan. Segala syarat yang ia dapatkan dari tetua, orang-orang yang telah kenyang asam garam dunia,
ia lakonkan, tujuannya cuma satu saja: Kali ini ia beranak seorang bujang. Menyudahi pertarungan yang
sejatinya enggan ia ulang.
***
Angin kian mendedas di pelipir limas, meningkahi perjuangan Bi Mar dalam bilik pengap. Sesekali
terdengar rintik mengimbau di atas genting. Kajut Mis masih terus memberi aba-aba, menyemangati Bi
Mar yang kian kepayahan. Usia yang sudah lewat kepala empat, anak yang kata Kajut Mis sungsang,
membuat perjuangan Bi Mar kian berat. Sementara itu, di tengah limas, Mang Isa menunggu dengan
cemas, anak-anak perawannya meringkuk dalam senyap. Doanya cuma sebatang kalimat: Anak bujang!
(*)
C59, November 2010 – Januari 2011
.
LEMBAR KERJA SISWA AKTIVITAS Ke-1
MENGIDENTIFIKASI, MENGANALISIS, DAN MENILAI
KARAKTERISASI DAN ALUR CERITA
Nama: ………………………………
Kelas : ………………………………
Petunjuk:
1. Bacalah cerpen berjudul “Mar Beranak di Limas Isa” di atas.
2. Bagaimana karakterisasi pada cerita di atas? Berilah penilaian terhadap pemberian watak
tokoh dan cara pengarang menggambarkan watak tokoh?
3. Bagaimana alur cerita yang digunakan pada cerita di atas? Berilah penilaian terhadap alur
yang digunakan dan tahapan alur pada cerita?
4. Tuliskan hasil pada lembar berikut!
Karakte
risasi
Alur
cerita
Rubrik Penilaian
NO Kriteria Skor
1 Jika siswa menuliskan 4 hal (identifikasi dan analisis 76-100
karakterisasi, identifikasi dan analisis alur, penilaian
karakterisasi, dan penilaian alur) dengan lengkap dan tepat
2 Jika siswa menuliskan 3 hal (identifikasi dan analisis 51-75
karakterisasi, identifikasi dan analisis alur, penilaian
karakterisasi, dan penilaian alur) dengan lengkap dan tepat
3 Jika siswa menuliskan 2 hal (identifikasi dan analisis 26-50
karakterisasi, identifikasi dan analisis alur, penilaian
karakterisasi, dan penilaian alur) dengan lengkap dan tepat
4 Jika siswa menuliskan 1 (identifikasi dan analisis 1-25
karakterisasi, identifikasi dan analisis alur, penilaian
karakterisasi, dan penilaian alur) hal dengan lengkap dan
tepat
5 Jika siswa tidak menuliskan dengan lengkap dan tepat 0
AKTIVITAS KE-2 ( 2 X 45 MENIT)
Karya sastra merupakan hasil proses penyaringan sebuah pengalaman, baik yang nyata
maupun rekaan, yang dipenggal-penggal dan disatukan kembali dengan persepsi dan keahlian
pengarang (sastrawan) serta disajikan melalui media bahasa. Oleh karena itu, meskipun karya sastra
merupakan suatu hasil imajinasi seorang pengarang, tetapi akan selalu lahir berdasarkan realitas
yang ada dalam kehidupan nyata. Membaca karya sastra menjadi sama halnya dengan berjumpa
dengan berbagai persoalan dan pengalaman hidup orang lain.
Peristiwa kehidupan yang digambarkan dalam karya sastra adalah kehidupan rekaan yang
dibuat oleh sastrawan, tampak seperti sebuah realita hidup. Karya sastra juga menggambarkan
ekspresi dari kehidupan nyata. Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah
diwarnai dengan sikap penulisannya, latar belakang pendidikannya, keyakinan dan sebagainya
Sastra Indonesia tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam.
Oleh karena itu, keberadaan sastra di Indonesia pun beraneka ragam, mulai keragaman genre, gaya
ungkap, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik. Genre sastra di
Indonesia tidak hanya yang tampak general, seperti prosa, puisi, dan drama, tetapi juga yang
spesifik, seperti dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat,
karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman genre sastra tersebut juga menyebabkan
keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari,
serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya
tersebut.
Sastrawan yang mengangkat potensi budaya etnik, terutama budaya daerah ke dalam
sastra Indonesia modern, oleh banyak kritikus sastra sering disebut dengan warna lokal (local color)
atau warna setempat. Karya sastra yang mengangkat warna lokal martabat budaya derahnya telah
menjadi sebuah kecenderungan umum. Hal itu tidak mengherankan bagi kita karena sejak
kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia bersumber pada budaya sendiri, misalnya roman Balai
Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Cinta yang Membawa Maut (Nursinah Iskandar,
1925), Pertemuan (Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), Asmara
Jaya (Adinegoro, 1928), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar,
1928) mengangkat unsur adat masyarakat Minangkabau dalam sastra Indonesia modern
Selain daerah Minangkabau, penggalian nilai budaya sendiri ke dalam budaya Indonesia
terjadi pula pada budaya Jawa. Pengarang dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem,
1981; dan Tirta Kamandanu, 1994), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975; Para
Priyayi, 1992. Dari daerah lain di luar Sumatera dan Jawa pun kita temukan, misalnya dari Bali kita
temukan Oka Rusmini dalam novelnya Sagra (1996) dan beberapa cerpennya yang dimuat
dalam Horison, seperti "Sang Pemahat" (2000), menggali nilai budaya Bali ke dalam karya sastra
Indonesia modern.
Keberagaman sastra di Indonesia yang mulikultural itu tidak menyurutkan semangat
membangun keindonesia yang lebih baik, lebih beradab, dan lebih bermartabat. Perkembangan
sastra di Indonesia secara nyata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara itu pun berkaitan erat dengan kehidupan bersastra. Sastra Indonesia merefleksikan
kehidupan masyarakat Indonesia yang multimajemuk sehingga secara nyata dapat menjadi
cerminan hidup berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Di
negara yang sedang dalam keadaan krisis multidimensional seperti saat ini, kehidupan sastra kita
pun ikut terimbas dengan keadaan tersebut. Sastra yang bercorak reformasi dan keadaan negeri
yang dilanda berbagai kerusuhan, disintegrasi bangsa, teror bom, dan kekacauan politik ikut pula
mewarnai sastra Indonesia modern sehingga banyak orang mengatakan Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia (Taufiq Ismail, 1998).
Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/keberagaman-sastra-di-
indonesia-dalam-membangun-keindonesiaan
LEMBAR KERJA SISWA AKTIVITAS Ke-2
MATERI: MENILAI AKURASI PENGGAMBARAN KERAGAMAN MASYARAKAT
Nama: ………………………………
Kelas : ………………………………
Petunjuk:
1. Bacalah cerpen berjudul “Mar Beranak di Limas Isa” di atas.
2. Bagaimana gambaran realitas kehidupan pada cerita di atas? Berilah penilaian terhadap
akurasi penggambaran keragaman masyarakat?
3. Tuliskan hasil pada lembar berikut!
Rubrik Penilaian
NO Kriteria Skor
1 Jika siswa menuliskan 2 hal dengan lengkap 76-100
dan tepat
2 Jika siswa menuliskan 1 hal dengan lengkap 51-75
dan tepat
3 Jika siswa tidak menuliskan dengan lengkap 0
dan tepat
AKTIVITAS KE-3 ( 2 X 45 MENIT)
Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model kehidupan yang
diidealkan dan ditampilkan dalam cerita melalui pemikiran dan tindakan tokoh. Dengan karya
sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur
kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal,
artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan
kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut,
memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya
sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan,
mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang
memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan
kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang
mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra.
Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan
alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat,
kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.
Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasan-gagasan dan pengalamannya melalui pemikiran dan tindakan tokoh. Sebagai media, peran
karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan
kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap
berbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada
pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat
dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu, karya sastra
dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara yang
unik, yaitu menuliskannya dalam bentuk naratif. Sehingga pesan disampaikan kepada pembaca tanpa
berkesan mengguruinya.
Karya sastra adalah suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan
gambaran-gambaran pengalaman melalui pemikiran dan tindakan tokoh. Sastra menyuguhkan
pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan
hanya refleksi sosial melainkan merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang atau gagasan atas
realitas sosiologis yang melampaui waktunya. Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat
memberikan kontribusi bagi masyarakt. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai
kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri
atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Di samping itu, sastra berfungsi sebagai kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika
kehidupan masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial.
Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan
suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk
peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup Karya sastra menceritakan berbagai
masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya
sastra berisi penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan
belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh
kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni.
Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan
ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu
menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan
masukan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Para penguasa sering
melarang peredaran karya-karya sastra yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku
dimusnahkan dan sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah diasingkan ke
Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta juga pernah dilarang beredar oleh Sukarno.
Kekerasan ini terjadi karena sastrawan lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap
ketidakadilan penguasa.
Sumber: https://www.coretanzone.id/2017/10/sosiologi-sastra-dan-masyarakat-dalam-karya-
sastra.html
LEMBAR KERJA SISWA AKTIVITAS Ke-3
MATERI: MEMPREDIKSI DINAMIKA
PEMIKIRAN MAUPUN TINDAKAN TOKOH
Nama: ………………………………
Kelas : ………………………………
Petunjuk:
1. Bacalah cerpen berjudul “Mar Beranak di Limas Isa” di atas!
2. Sebutkan nama tokoh dan prediksilah bagaimana pemikiran dan tindakan tokoh?
3. Tuliskan hasil pada lembar berikut!
1 Bi Mar
2 Mang Isa
3 Kajut Mis
4 Kajut Muya
5 Mertua Bi Mar
Rubrik Penilaian
NO Kriteria Skor
1 Jika siswa menuliskan 5 hal dengan lengkap 81-100
dan tepat
REFLEKSI SISWA
1. Bagaimana perasaan kamu saat belajar materi membaca teks cerpen?
2. Manfaat apa yang kamu dapatkan dari belajar materi membaca teks cerpen
3. Materi apa yang sulit dipahami selama pembelajaran berlangsung?
5. Solusi apa yang Anda harapkan dari materi yang sulit agar Anda dapat memahaminya?
DAFTAR PUSTAKA
A. Berupa buku:
B. Situs online
1. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/keberagaman-sastra-di-
indonesia-dalam-membangun-keindonesiaan
2. https://www.coretanzone.id/2017/10/sosiologi-sastra-dan-masyarakat-dalam-karya-
sastra.html
1. Apakah materi yang kalian pelajari saat ini bermanfaat untuk kehidupan Anda?
2. Apakah ada materi yang Anda harapkan ada, tetapi tidak disampaikan oleh guru?
Jika ada, sebutkan materi tersebut dan alasan mengapa materi tersebut penting!
Lembar Kerja Siswa Berpencapaian Tinggi
Nama :
Kelas :
Petunjuk:
1. Carilah cerpen “Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon” karya Faisal Odang!
2. Identifikasilah, analisislah, dan berilah penilaian terhadap karakterisasi dan alur; berilan penilaian
akurasi penggambaran masyarakat; dan berilan penilaian prediksi dinamika pemikiran maupun
tindakan tokoh!
34
Materi Remedial
Remedial dilakukan oleh guru dengan memperhatikan tingkat ketercapaian siswa pada materi ini. Siswa yang
dikatagorikan akan mendapat remedial adalah yang belum mencapai ketuntasan. Adapun remedial dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Tutor sebaya oleh siswa yang berpencapaian tinggi
2. Latihan soal berdasarkan analisis kelemahan siswa pada materi tertentu
3. Kelompok diskusi
Daftar Pustaka
Dewayani, Sofie. Dkk.. 2021. Buku Panduan Guru Bahasa Indonesia Kelas XI.
Jakarta: Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia.
Subarna, Rakhma .2021. Buku Panduan Guru Bahasa Indonesia SMA Kelas XI.
Jakarta: Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia.
Subarna, Rakhma .2021. Buku Panduan Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas XI
. Jakarta: Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia.
35
36