Anda di halaman 1dari 63

MODUL TEORI

ETIKA HUKUM
KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN FAKULTAS


KEBIDANAN INSTITUT KESEHATAN PRIMA
NUSANTARA BUKITTINGGI
VISI KEILMUAN

VISI IKESPNB
Menjadi Institusi Yang Unggul Di Bidang Kesehatan Tingkat Nasional Berorientasi Global
Tahun 2031

VISI FAKULTAS KEBIDANAN


Menjadi Fakultas Kebidanan Yang Unggul Di Bidang Kebidanan Di Tingkat Nasional
Berorientasi Global Tahun 2031

VISI PRODI D III KEBIDANAN


Menjadi Program Studi D III Kebidanan Yang Unggul Di Bidang Kebidanan Komunitas
Berbasis Gender Di Tingkat Nasional Berorientasi Global
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Modul ini
akhirnya selesai di susun. Modul ini disusun untuk mahasiswa D-III Kebidanan
sebagai panduan dalam melaksanakan pembelajaran teori.
Sebagai calon bidan, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang
berhubungan dengan etika hukum kesehatan yang diharapkan nantinya dapat
memberikan asuhan kebidanan yang maksimal pada pasien dan juga mampu
berkolaborasi dengan baik dengan tim medis.
Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu di dalam penyusunan modul ini. Saran dan kritik kami harapkan
demi penyempurnaan modul ini. Semoga modul ini bermanfaat bagi mahasiswa
bidan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bukittinggi, Januari 2023

Penulis
BAGIAN 1
KONSEP ETIKA, MORAL, DISIPLIN DAN HUKUM

A. Pengertian Etika

Menurut K. Berten, kata “etika” berasal dari bahasa yunani kuno, yakni ethos
(bentuk kata tunggal) atau ta etha (bentuk kata jamak). Ethos berarti tempat tinggal,
padang rumput, kandang, kebiasaan atau adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Sedangkan kata ta etha berarti adat kebiasaan. Namun, secara umum etika
dimengerti sebagai ilmu apa yang biasa kita lakukan.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia (W.J.S Poerwandaminto, 2002) merupakan
ilmu pengetahuan tentang asas - asas akhlak (moral). Pengertian lain lagi mengenai
etika dari Prof. DR. FRANZ Magniz Suseno. Ia memberi pengertian bahwa etika adalah
ilmu yang mecari orientasi (ilmu yang member arah dan pijakan pada tindakan
manusia). Apabila manusia memiliki orientasi yang jelas, ia tidak akan hidup dengan
sembarang cara atau mengikuti berbagai pihak tetapi ia sanggup menentukan nasibnya
sendiri. Dengan demikian, etika dapat membantu manusia untuk bertanggung jawab
atas kehidupannya.
Berdasarkan pengertian tadi, dapat dirumuskan pengertian etika menjadi tiga,
pertama etika merupakan sistem nilai, yakni nilai - nilai atau norma - norma moral yang
menjadi pegangan (landasan, alasan, orientasi hidup) seseorang atau kelompok orang
dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kumpulan asas – asas akhlak (moral) atau
semacam kode etik. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang
buruk. Hal ini terjadi apabila nilai - nilai, norma - norma moral, asas - asas akhlak
(moral), atau kode etik yang terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat menjadi
bahan refleksi (pemikiran) secara menyeluruh (holisti), sistematis, dan metodis.
Etika merupakan pemikiran kritis tentang berbagai ajaran dan pandangan moral.
Etika sering disebut filsafat moral, karena berhubungan dengan adat istiadat, norma -
norma, dan nilai - nilai yang menjadi pegangan dalam suatu kelompok atau seseorang
untuk mengatur tingkah laku.

bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada


keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan
tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih
bersifat sosiologik.
a. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang
bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik
buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu
menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan
merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif
dan reflektif.

B. Pengertian Etiket
Dua istilah, yaitu etika dan etiket dalam kehidupan sehari-hari kadang-
kadang diartikan sama, dipergunakan silih berganti. Kedua istilah tersebut
memang hampir sama pengertiannya, tetapi tidak sama dalam hal titik berat
penerapan atau pelaksanaannya, yang satu lebih luas dari pada yang lain.
Istilah etiket berasal dari kata Prancis etiquette, yang berarti kartu
undangan, yang lazim dipakai oleh raja-raja Prancis apabila mengadakan pesta.
Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan
atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara
duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta
perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi. Sehingga
Dewasa ini istilah etiket lebih menitikberatkan pada cara-cara berbicara yang
sopan, cara berpakaian, cara menerima tamu dirumah maupun di kantor dan
sopan santun lainnya. Jadi, etiket adalah aturan sopan santun dalam pergaulan.
Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu
merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia
yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan
santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta
panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan
menyenangkan.
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000)
memberikan 4 (empat) macam etiket, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus
dilakukan manusia. Contoh: Ketika saya menyerahkan sesuatu
kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan
menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan
tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri
(ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar
kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Contoh:
Saya sedang makan bersama teman sambil meletakkan kaki saya di
atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi
kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka
saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Contoh: makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang
berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Contoh: Bisa saja
orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan
sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.
Etiket juga merupakan aturan - aturan konvensional melalui tingkah laku
individual dalam masyarakat beradab, merupakan tata cara formal atau tata
krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai dengan status sosial
masing- masing individu. Etiket didukung oleh berbagai macam nilai, antara lain;
1. Nilai-nilai kepentingan umum
2. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan kebaikan
3. Nilai-nilai kesejahteraan
4. Nilai-nilai kesopanan, harga-menghargai
5. Nilai diskresi (discretion: pertimbangan) penuh piker. Mampu
membedakan sesuatu yang patut dirahasiakan dan boleh dikatakan
atau tidak dirahasiakan.
C. Persamaan dan Perbedaaan Etika Dan Etiket
Mengenai Persamaan dan Perbedaan antara etika dan etiket, K. Bertens
menguraikannya sebagai berikut :
1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut
dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena
binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
2. Kedua - duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian
menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah
tersebut sering dicampuradukkan.

Adapun perbedaan antara etika dan etiket adalah


Etiket
1. Etiket selalu berhubungan dengan cara atau bagaimana suatu
perbuatan harus kita dilakukan, biasanya diharapkan dan
ditentukan oleh suatu masyarakat atau budaya tertentu. Contoh,
dalam masyarakat Sunda dan Jawa, apabila seseorang mau
memberi atau menerima sesuatu, ia harus menggunakan tangan
kanan. Ia akan dinilai tidak sopan bila kita melakukannya dengan
menggunakantangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan dan sangat tergantung pada
kehadiran orang lain.
3. Etiket bersifat relative, tidak mutlak dan tidak permanen. Etiket
tidak bisa diterapkan untuk semua tempat dan dalam semua
periode waktu. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah
kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
4. Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, bukan
dari sisi batiniah

Etika
1. Etika tidak terbatas pada cara dan bagaimana melakukan sebuah
perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.
Etika
menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.
2. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain.
3. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan
mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etika berbicara tentang manusia dari dalam. Etika menyangkut kondisi
batiniah seseorang.

D. Pengertian Hukum Kesehatan


Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan,
dalam mengatur pergaulan hidup masyarakat. Pengertian Hukum Kesehatan
menurut berbagai sumber yaitu :
1. UU RI NO. 23/1992 tentang Kesehatan
Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan. Hal
tersebut menyangkut hak dan
kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan
masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan medik dan lain-lain.
2. Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI)
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya.
Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek-aspeknya, organisasi,
sarana, pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan
hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kesehatan mencakup komponen–komponen hukum bidang
kesehatan yang bersinggungan satu dengan lainnya, yaitu Hukum
Kedokteran/Kedokteran Gigi, Hukum Kebidanan, Hukum Farmasi Klinik.
Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan
Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993)

3. Prof.H.J.J.Leenen
Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan
langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya pada hukum
perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan disini tidak
hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum
yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan
sumber hukum.

4. Prof. Van der Mijn


Hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengaturan yang
berkaitan dengan pemberian bidanan dan juga penerapannya kepada hukum
perdata, hukum pidana dan hukum administrasi. Hukum medis yang
mempelajari hubungan yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak, adalah
bagian dari hukum kesehatan.

E. Nilai – Nilai Etika


Teori Nilai membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika. Etika
membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika
membahas mengenai keindahan. Pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas
tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu
adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau
sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Dan oleh karena itu nilai
sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian
seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Perbedaan antara nilai
sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Jika kita kembali kepada ilmu
pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran
adalah persoalan logika dimana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan,
perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran
dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk,
senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai,
tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan
masalah etika dan estetika dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang
dikemukakan oleh beberapa golongan dan mepunyai pandangan yang tidak sama
terhadap nilai itu. Seperti nilai dikemukankan oleh agama, positifisme, fragmatisme,
fitalisme, hidunisme dan sebagainya.
Menurut Farelya (2015) Nilai merupakan sesuatu yang baik, sesuatu yang
menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai,
sesuatu yang diinginkan. Menurut filsuf Jerman Hanh Jonas nilai adalah the address
of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan ya kita. Sesuatu yang kita iyakan. NIlai
mempunyai konotasi yang positif. Nilai mempunyai tiga ciri:
1. Berkaitan dengan subjek
2. Tampil dalam suatu nilai yang praktis karena subjek ingin membuat
sesuatu
3. Nilai menyangkut pada sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat yang
dimiliki objek.
Nilai menjadi ukuran (standar) bagi manusia dalam menentukan pilihan
aktivitas yang “baik” dan akan dilakukannya sehari – hari di dalam masyarakat. Sutan
Takdir Alisyahbana (1982) ketika menjelaskan kebudayaan asli Indonesia
menyebutkan ada enam nilai yaitu nilai ekonomi, teori, kuasa, solidaritas, estetika dan
agama.
1. Nilai Ekonomi
Dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dibutuhkan biaya, alat produksi atau
imbalan jasa. Kebutuhan terhadap layanan medis atau obat, senantiasa
menyertakan kebutuhan akan biaya (ekonomi), pada konteks ini maka layanan
kesehatan mengandung nilai ekonomi.
2. Nilai Estetis
Lingkungan yang bersih serta ruangan yang nyaman dan harum memberikan
dukungan emosional terhadap proses penyembuhan kesehatan. Terlebih lagi bila
dikaitkan dengan adanya pengembangan aromaterapi untuk kesehatan, maka
masalah keindahan dan kenyamanan menjadi sangat penting untuk kesehatan.
3. Nilai Solidaritas
Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang bidan dapat bekerja sama dengan
pasien, keluarga pasien, dokter, atau pihak lain yang berkepentingan.
4. Nilai Kuasa
Seorang dokter memiliki peran dan fungsi yang berbeda, demikian pula bidan,
bidan maupun tenaga kesehatan yang lain. Terdapatnya struktur pengelolaan
rumah sakit.
5. Nilai teori
Sebelum melaksanakan praktik, setiap lulusan pendidikan kesehatan wajib
mengikuti pendidikan profesi.
6. Nilai Agama
Selaras dengan kode etik, ilmu pengetahuan dan keterampilan profesi yang
dimilikinya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pelayanan
kesehatan pun perlu dianggap sebagai bagian dari ibadah.
Berbeda dengan pandangan sutan takdir Alisyahbana, Sondang P.Siagian
menyebutkan bahwa ada tujuh nilai. Nilai reaktif (fisiologis), tribalistik (taat pada
norma atau pimpinan secara penuh), ego-sentrisme (diri sendiri), konformitas
(penyesuaian), manipulatif (menggunakan orang lain untuk kepentingan sendiri),
sosiosentris (kepentingan organisasi), eksistensial (fleksibel, bijak dan menghargai
orang lain).
1. Nilai Reaktif
Menunjukkan pada tindakan seseorang yang melakukan tindakan tertentu
karena bereaksi terhadap situasi tertentu yang dihadapinya. Pada dasarnya
ditujukan kepada pemuasan kebutuhan fisiologis seperti haus, lapar, dan
sebagainya.
2. Nilai Tribalistik
Sifat yang taat kepada norma social atau kelompok dan pimpinan formal.
Dengan kata lain, ketaatan kepada orang yang berkuasa dan kepada norma –
norma hidup yang telah disepakati bersama akan mengakibatkan hidup penuh
keserasian dan keseimbangan.
3. Nilai Ego-sentris
Sifat mementingkan diri sendiri. Mau bekerja sama dengan orang lain dalam
kelompok apabila yang bersangkutan yakin bahwa kebutuhan pribadinya dapat
terpenuhi.
4. Nilai Konformitas
Menerima nilai – nilai hidup orang lain yang berbeda disisi lain tidak
memaksakan nilai sendiri ke orang lain.
5. Nilai Manipulative
Berusaha mencapai tujuan pribadi dengan memanipulasi orang lain sehingga
orang itu membenarkan tindakannya.
6. Nilai Sosio-sentris
Penempatan kebersamaan jauh lebih penting ketimbang nilai materialistic,
manipulative atau konformitas.
7. Nilai Eksistensial
Tingkat toleransi tinggi terhadap pandangan orang lain yang berbeda dari
pandangan sendiri.

Jika kita berbicara tentang nilai dalam konteks etika, kita memaksudkan suatu
nilai spesifik yaitu nilai moral. Nilai lain merupakan sesuatu yang baik menurut aspek
tertentu saja sedangkan nilai moral mewujudkan sesuatu yang baik bagi manusia
sebagai manusia. Nilai moral bersifat normative. Nilai moral mengikat kita sebagai
manusia. Nilai moral wajib direalisasikan. Terhadap nilai moral kita tidak boleh tinggal
tak acuh saja. Sedangkan terhadap nilai lain, kita boleh bersikap netral.
Etika sebagai ilmu, berefleksi tentang perilaku moral. Etika membahas
kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk moral. Etika bersifat normative.
(Bertens, 2003). Tujuan etika adalah mengidentifikasi aturan yang mengatur perilaku
orang – orang dan “barang – barang” yang layak dicari. Keputusan etis ditentukan
oleh nilai – nilai yang mendasari seseorang. Etika akan menjadi persoalan yang
semakin rumit ketika sebuah situasi mengharuskan suatu nilai melampaui nilai yang
lain. Etika adalah system aturan yang mengatur tatanan nilai – nilai (Bateman, 2008).
BAGIAN 2
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KESEHATAN

Indonesia masih mengalami keterlambatan dalam proses realisasi pencapaian Tujuan


Pembangunan Millenium (TMP) / Millenium Development Goals (MDG’s). Terlihat pada masih
tingginya angka kematian ibu melahirkan, masih rendahnya kualitas sanitasi & air bersih, laju
penularan HIV/AIDS yang kian sulit dikendalikan, serta meningkatnya beban utang luar negeri yang
kian menumpuk. Permasalahan tersebut jelas memberikan pengaruh pada kualitas hidup manusia
Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia yang kian menurun pada Human
Development Growth Index. Pada tahun 2006 Indonesia menyentuh peringkat 107 dunia, 2008 di
109, hingga tahun 2009 sampai dengan 2010 masih di posisi 111. Posisi Indonesia ternyata selisih 9
peringkat dengan Palestina yang berada di posisi 101. Sulit dipungkiri, dan sungguh ironis (Progres
Report in Asia & The Pacific yang diterbitkan UNESCAP).
Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga dikenal paling rendah di
negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp. 171.511,
sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang dikeluarkan untuk
penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya mampu mencapai 2,2
persen dari GNP sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini masih jauh dibanding
Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003 (Adisasmito, 2008:78).
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s) tahun 2015, perlu upaya kerja keras
dalam pembangunan kesehatan, termasuk penyediaan SDM kesehatan.
Ketidakseimbangan kualifikasi, jumlah dan distribusi SDM kesehatan menyebabkan
rendahnya jumlah SDM kesehatan berkualitas terutama di daerah terpencil. Hal itu disebabkan
karena SDM kesehatan berkualitas enggan ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Karena itu, pemerintah memberikan perhatian serius pada pengembangan dan pemberdayaan
tenaga kesehatan melalui Inpres No: 1 Tahun 2010, yang mengamanatkan Kemenkes berkewajiban
menyebarkan lebih banyak staf medis di daerah terpencil. Selain itu, dengan Inpres No: 3 tahun
2010, Kemenkes harus mengembangkan pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan sedangkan
Kementerian PAN menjamin 30% total formasi tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah
terpencil dan sangat terpencil.
Dalam konteks sederhana ini, terlihat peran hukum dibidang kesehatan sangat penting dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Relevansi hukum dalam bidang kesehatan memiliki fungsi yang sangat strategis. Oleh karena
itu perumusan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang baik dan responsif,
yang memenuhi rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat, telah menjadi bagian integral
dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (RENSTRA) Tahun 2010 – 2014.
Berbicara tentang Peraturan perundang-undangan sangatlah luas karena pengertian
peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mencakup UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah/Perpu, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah (Pasal 7 ayat 1) serta berbagai jenis
peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat 4). Khusus Peraturan perundang-undangan dalam bidang
kesehatan kita ketahui ada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dll. Begitupun dalam
bentuk Peraturan Pemerintah juga sangat banyak diantaranya PP No 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan, PP No.51 Tahun 2009 tentang Tenaga Kefarmasian, dll
Mengingat waktu yang diberikan sangat singkat maka pada kesempatan ini secara sekilas
pandang akan lebih difokuskan hanya pada UU Kesehatan yang baru yakni UU No 36 Tahun 2009,
LN Tahun 2009 No. 144, TLN No.5063

1. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah undang-undang yang


relatif cukup lengkap

Undang-Undang Kesehatan merupakan landasan utama dan merupakan payung hukum


bagi setiap penyelenggara pelayanan kesehatan. Oleh karena itu ada baiknya setiap orang yang
bergerak dibidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang diatur
didalam undang-undang tersebut.
Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memiliki landasan hukum yang
telah disesuaikan dengan UUD 1945 hasil amandemen, seperti dalam konsideran mengingat;
sebagaimana dicantumkannya Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945. Selain itu, undang-undang ini juga memiliki jumlah pasal yang sangat
banyak yaitu terdiri dari 205 pasal dan 22 bab, serta penjelasannya. Jika dibandingan dengan
UU Kesehatan yang lama yaitu UU No 23 Tahun 1992, hanya terdiri dari 12 Bab dan 90 Pasal.
Undang-Undang kesehatan yang lama dari sisi substansi juga diaggap terlalu sentralistik,
disamping itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan dinamika
masyarakat serta dunia kesehatan kontemporer.
Meskipun disadari, UU Kesehatan yang baru 2009 dalam pembahasannya di DPR RI,
melahirkan beragam polimik di masyarakat, karena banyak pasal krusial yang sangat sensitif,
namun oleh beberapa kalangan diakui pula telah melahirkan terobosan baru dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembahasannya dilakukan melalui pendekatan yang
multidisipliner, dengan kerangka pemikiran yang lebih mendalam baik dari sisi substansi
maupun dari sisi cakupan pengaturannya yang lebih merespon tuntutan pelayanan kesehatan
untuk menjawab perkembangan dunia kesehatan di masa depan, seperti mengutamakan
prinsip jaminan pemenuhan hak asasi manusia di bidang kesehatan, pemberdayaan
masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, implementasi hak dan kewajiban
berbagai pihak serta meningkatkan peran organisasi profesi.

2. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membawa Paradigma Baru

Jika kita melihat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yang
baru yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur
kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan
berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-Undang
Kesehatan No 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka salah satu poin penting yang diatur dalam UU
kesehatan yang baru adalah adanya pengakuan yang lebih tegas tentang pentingnya melihat
kesehatan sebagai bagian dari HAM yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Pasal 4-8).
Pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan tercermin dalam alokasi anggaran Negara
(APBN/APBD) Dalam UU Kesehatan 2009 diatur secara konkrit, yaitu pemenuhan alokasi
anggaran kesehatan untuk pusat (APBN) sebesar 5% (Pasal 171 ayat 1) dan untuk daerah (APBD
Provinsi/Kabupaten/Kota) menyiapkan 10% dari total anggaran setiap tahunnya diluar gaji
pegawai (Pasal 171 ayat 2). Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk
kepentingan pelayanan publik (terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar) yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
(Pasal 171 ayat 3). Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup pelayanan kesehatan harus mencakup
setiap upaya kesehatan yang menjadi komitmen komunitas global, regional, nasional maupun
lokal.
Hal ini sebetulnya sudah memenuhi harapan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang
menyebutkan, jumlah alokasi anggaran di sektor kesehatan yaitu minimal sekitar lima persen
dari anggaran suatu negara. Mudah-mudahan dengan semakin membaiknya perekonomian
Indonesia, anggaran kesehatan di Indonesia bisa sama dengan di Amerika Serikat yang sudah
diatas 10 persen.
Dari sisi pelayanan kesehatan, Profesi tenaga kesehatan memang banyak berkaitan
dengan problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik. UU Kesehatan
2009 lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada pemberi layanan selaku
tenaga kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan kesehatan (Pasal 56-58).
Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain Bilamana dalam
hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, maka
kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29).
Untuk itu tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang sistem Alternative
Dispute Resolution (ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat diandalkan mengingat 90 % kasus
malpraktik yang dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)
dapat diselesaikan dengan baik.
UU ini juga menjamin keterjangkaun pembiayaan kesehatan bagi semua pasien. Pasal 23
ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama memberikan pelayanan
kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau meminta uang muka
apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang kerap terjadi adanya layanan
kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien tidak mampu menyediakan sejumlah
uang. Aturan semacam ini dibuat untuk mencegah cara-cara tidak manusiawi dalam
memperlakukan pasien.
Selain itu, bila kita melihat dari sisi perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan
seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan munculnya fenomena globalisasi telah
menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari
Undang-Undang Kesehatan yang lama. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi
informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang
kesehatan yang lama seperti pengaturan mengenai teknologi kesehatan dan produk teknologi
kesehatan (Pasal 42-45), transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau
alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Pasal 64-70). Hal-hal tersebut
mengharuskan pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan kesehatan dan
menuangkannya dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru.
Undang-Undang Kesehatan yang lama lebih menitikberatkan pada pengobatan (kuratif),
menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati
bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan
dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan
pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan. Selain itu, sudut
pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu
kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam pembangunan. Untuk itu, dalam pandangan
UU kesehatan yang baru, persoalan kesehatan telah dijadikan sebagai suatu faktor utama dan
investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa
dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi
paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan
undang-undang yang berwawasan sakit, mengingat upaya pencegahan adalah jauh lebih murah
dan lebih baik, olehnya itu sangat tepat jika pemerintah lebih menekankan kepada segi
preventif karena 80 persen masalah kesehatan sebenarnya bisa diatasi melalui pencegahan.
UU Kesehatan yang baru juga telah merubah wajah baru sistem kesehatan di tanah air,
dari yang tadinya sangat sentralistik menuju desentralisasi. Porsi peran pemerintah daerah
terasa lebih seimbang dengan pemerintah pusat, seperti dalam hal tanggung jawab atas
penyelenggaraan upaya kesehatan, yang dilaksanakan secara aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif. Begitupun juga dari segi pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dan meningkatan tenaga kesehatan yang bermutu melalui pendidikan dan pelatihan
dan mendayagunakannya sesuai dengan kebutuhan daerah. Disamping itu pemerintah dan
pemerintah daerah juga bersama-sama menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber
daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan, bukan hanya dalam kondisi aman tetapi juga pada saat bencana, tanggap
darurat dan pascabencana.
Pemerintah daerah juga diberi hak untuk menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Termasuk
penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
Pemerintah daerah juga wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya seperti
pada fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain;.
tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang
ditetapkan.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas identifikasi mayat yang tidak
dikenali, tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya serta menangung biaya
pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk
kepentingan hukum, Menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan menyediakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, kemudian wajib menyediakan tempat
dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat, melakukan upaya
pemeliharaan kesehatan remaja termasuk untuk reproduksi remaja agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi
secara sehat. Wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
kelompok lanjut usia dan penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis. Bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi masyarakat.
Menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk
menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja, Memberikan layanan edukasi dan informasi
tentang kesehatan jiwa, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa. Wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum, termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin,
Selain itu, bertanggung jawab juga dalam melakukan upaya pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya dengan berbasis
wilayah melalui koordinasi lintas sektor.
Secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan, Melakukan surveilans terhadap penyakit menular,
Menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
Melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa. Demikian
juga melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular
beserta akibat yang ditimbulkannya dan bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi,
informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup
seluruh fase kehidupan.
Menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi
kesehatan. Menyelenggarakan pengelolaan kesehatan melalui pengelolaan administrasi
kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Menyiapkan sumber pembiayaannya selain dari pemerintah pusat, masyarakat swasta
dan sumber lain. Untuk itu semua maka pemerintah daerah berwenang melakukan pembinaan
terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam
setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.
Mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan
upaya kesehatan. Serta mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan
fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan.

3. Hal Kontorversial
Ada beberapa hal menarik dari UU Kesehatan yang mengundang kontroversil misalnya
yang berkaitan dengan hak untuk melakukan tindakan aborsi. Dengan latar belakang angka
kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi atau berada di kisaran 228 per 100.000 angka
kelahiran hidup melahirkan pada tahun 2007 (SDKI 2007). Jumlah ini, lima kali lebih tinggi dari
negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. “Malaysia yang dulu pada tahun 1970-an sering
dibantu Indonesia dalam bidang kesehatan kini angka kematian ibu melahirkan sudah menurun
40 per 100.000 angka kelahiran hidup melahirkan. Masih tingginya angka kematian ibu hamil di
Indonesia, selain sebagai hasil dari kondisi yang terkait dengan kehamilan, persalinan, dan
komplikasi. Aborsi ternyata memberikan kontribusi 15 persen dari jumlah kematian ibu
melahirkan, bahkan menurut sumber lain bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai 20-25
persen. Hal tersebut, disebabkan pelaku aborsi kerap tidak mendapatkan pertolongan medis
secara baik dan profesional.
Dalam UU Kesehatan, tindakan aborsi dilarang (Pasal 75) Larangan dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan
Semuanya ini hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
Selanjutnya aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Isu lainnya yang cukup mendapat perhatian diantaranya, mengenai rokok. Dalam UU
Kesehatan ini rokok dimasukan sebagai zat adiktif yang penggunaannya diarahkan agar tidak
mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Oleh karena itu, produksi, peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
seperti tembakau harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan (Pasal 113).
Sedangkan bagi industry farmasi, UU Kesehatan 2009 pada beberapa pasalnya membatasi
ruang gerak bisnisnya. Pada pasal 40 ayat 6 disebutkan “Perbekalan kesehatan berupa obat
generik yang termasuk dalam daftar obat essensial nasional harus dijamin ketersediaan dan
keterjangkauannya sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah”. Adanya pasal
ini memaksa industri farmasi untuk menjual obat generik dengan harga yang telah ditetapkan
pemerintah, Namun apabila pemerintah tidak bijak dalam menetapkan harga obat generik
maka kemungkinan kelangkaan beberapa obat generik seperti yang terjadi belakangan ini bisa
terulang kembali.

4. Tantangan Hukum Bidang Kesehatan


Berbagai keberhasilan yang telah dicapai tidak lantas harus membuat kita cepat puas,
karena ada pula tantangan dan masalah kesehatan yang harus disikapi.
Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH pada Rapat Kerja Kesehatan
Nasional (Rakerkesnas) 21- 23 Februari 2011, di Jakarta mengatakan bahwa meskipun berbagai
keberhasilan yang telah dicapai, namun ada pula tantangan dan masalah kesehatan yang harus
disikapi. Tantangan tersebut diantaranya semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada
pelayanan kesehatan yang bermutu; beban ganda penyakit (di satu sisi, angka kesakitan
penyakit infeksi masih tinggi namun di sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan
yang cukup bermakna); disparitas status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di
wilayah timur (daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan/DTPK); peningkatan kebutuhan
distribusi obat yang bermutu dan terjangkau; jumlah SDM Kesehatan kurang, disertai distribusi
yang tidak merata; adanya potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim,
serta integrasi pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan lintas sektor di
lingkungan pemerintah, Pusat-Daerah, dan Swasta.
Agenda penting lainnya adalah Penguatan Peran Provinsi/Kabupaten/Kota dalam rangka
menuju good governance. Oleh karena itu pemerintah daerah khususnya jajaran Dinas
Kesehatan diharapkan lebih mampu memahami UU Tipikor agar dapat mengikis praktik-praktik
korupsi, kolusi dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap pengelolaan anggaran kesehatan
mulai dari proses perencanaan dan penganggaran serta monitoring dan evaluasi dalam
berbagai program kesehatan di wilayah kerjanya.
Selain itu, untuk mendukung percepatan pencapaian target MDGs; perlu dilakukan
pemberdayaan masyarakat, penanggulangan bencana dan krisis kesehatan melalui perluasan
penerapan sistem peringatan dini untuk penyebaran informasi terjadinya wabah, KLB dan
peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Peningkatan upaya kesehatan yang menjamin
terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier. Peningkatan kualitas
manajemen, pembiayaan kesehatan, sistem informasi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi
kesehatan melalui peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran, serta monitoring dan
evaluasi pembangunan kesehatan
Pemantapan rancangan arah kebijakan pembangunan kesehatan 2012 dan realisasinya,
telah ditetapkan sembilan rancangan meliputi peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita yang
menjamin continuum of care. Perbaikan status gizi masyarakat pada pencegahan stunting.
Melanjutkan upaya pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti
penyehatan lingkungan. Pengembangan SDM kesehatan dengan pemantapan standar
kompetensi. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan
obat serta pengawasan obat dan makanan melalui e-logistic, erta perluasan cakupan jaminan
kesehatan melalui jaminan kelas III RS.
Mengingat begitu banyak agenda yang harus dilaksanakan maka dukungan penguatan
peraturan perundangan bidang kesehatan, menjadi prioritas utama. Sebaiknya Kemenkes juga
mau berkaca pada kasus sebelumnya bahwa Indonesia dulu sudah mempunyai UU disektor
kesehatan yaitu UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, namun UU tersebut sulit dijalankan
disebabkan tidak diterbitkannya peraturan pemerintah sebagai petunjuk operasional. Untuk itu
tantangan berikutnya setelah disahkannya UU Kesehatan yang baru ini dan agar
pelaksanaannya berjalan dengan baik, perlu segera diterbitkan peraturan pelaksanaannya.
Kurang lebih ada 29 PP, 2 Perpres dan 19 Permenkes yang harus segera dibuat untuk
melaksanakan UU Kesehatan dimaksud. Sebuah UU mesti memperhatikan aspek teknis
pelaksanaan. Tanpa memperdulikan aspek teknis operasional pelaksanaan, Undang Undang
menjadi mandul dan tidak bisa berjalan dengan baik.
Semoga komitmen Kementerian Kesehatan untuk merumuskan peraturan perundang-
undangan dimaksud, sebagaimana telah tertuang dalam Kepmenkes No
021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kesehatan Tahun
2010 – 2014, yaitu terealisasinya setiap tahun, 9 buah Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan/Keputusan Presiden, Dan Peraturan/Keputusan
Menkes sebanyak 45 buah, bisa tercapai sehingga Visi Kementerian Kesehatan “MASYARAKAT
SEHAT YANG MANDIRI DAN BERKEADILAN “, dapat terlaksana dengan baik.
BAGIAN 3
PEDOMAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM, KEJADIAN TAK TERDUGA
(KTD) DAN KECELAKAAN MEDIC DAN PEDOMAN KLINIK

A. TATA CARA PELAPORAN KEJADIAN TIDAK DIINGINKAN (KTD)

Sistematika Alur Pelaporan Kejadian Tidak Dinginkan (KTD) Alat Kesehatan,


ditunjukkan pada Bagan 1.

1. Sumber Laporan

Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang berhubungan dengan alat kesehatan
dapat dibagi menjadi :
1. Laporan wajib oleh pelaku usaha/ pemilik izin edar
2. Laporan mandiri oleh pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Bagan 1 Alur Laporan KTD Alkes


2. Laporan Wajib oleh Pelaku Usaha/ pemilik izin edar
a) Semua pelaku usaha/ pemilik izin edar harus melaporkan Kejadian Tidak
Diinginkan (KTD) terkait alat kesehatan yang memenuhi kriteria
pelaporan
b) Pelaku Usaha/ pemilik izin edar bertanggung jawab melakukan
investigasi Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dan melakukan tindakan
korektif.
c) Pemilik Produk harus memastikan bahwa persyaratan ini diketahui oleh
perwakilan resmi mereka, orang yang bertanggung menempatkan alat
kesehatan di peredaran dan setiap orang yang berwenang untuk
bertindak atas nama mereka untuk tujuan yang berkaitan dengan
kewaspadaan alat kesehatan, sehingga tanggung jawab perusahaan
dapat dipenuhi.
d) Pemilik Produk harus memastikan bahwa perwakilan resmi dan orang-
orang yang bertanggung jawab untuk menempatkan alat kesehatan
dan setiap orang yang berwenang untuk bertindak atas nama mereka
untuk tujuan yang berkaitan dengan vigilance alat kesehatan, terus
diberitahu tentang laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD).
e) Jika terjadi Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dengan penggunaan
gabungan dari dua atau lebih alat kesehatan terpisah dan/ atau aksesori
dari perusahaan yang berbeda, maka setiap pemilik produk dan
perusahaan masing-masing harus membuat laporan kepada Pemerintah.
f) Dalam hal potensi kesalahan oleh pengguna atau pihak ketiga, pemilik
produk harus melakukan pengkajian pelabelan dan instruksi
penggunaan.
g) Pemilik Produk harus menginformasikan masalah yang terjadi pada saat
post produksi yang dapat mempengaruhi keamanan, mutu dan
kemanfaatan alat kesehatan. Hal ini termasuk perubahan berdasarkan
laporan sistem vigilance.

B. Laporan Mandiri oleh pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan melaporkan Insiden
Keselamatan Pasien yaitu Kejadian Sentinel dan Kejadian Potensial Cedera
Serius (KPCS) melalui aplikasi e-report ke Komite Nasional Keselamatan
Pasien (KNKP) dan melaporkan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) Alat
Kesehatan yang memenuhi kriteria pelaporan melalui aplikasi e- watch ke
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian
Kesehatan.

3. Jenis Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dilaporkan


Jenis Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dilaporkan telah
diklasifikasikan sesuai pada lampiran 7.
1. Pelaku Usaha/ pemilik izin edar
Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) alat kesehatan yang
dilaporkan oleh Pelaku Usaha jika memenuhi kriteria Kejadian Tidak
Diinginkan (KTD).
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) di fasyankes terbagi menjadi 2,
yaitu :
a) Internal adalah pelaporan secara tertulis di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan setiap Kejadian Tidak Diinginkan (KTD), yang menimpa
pasien.
b) Eksternal adalah pelaporan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara
anonim dan elektronik (e-report) kepada Komite Nasional Keselamatan
Pasien/ KNKP (jika terjadi pada pasien) dan (e-watch) ke Direktorat
Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan.

Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang berhubungan dengan alat kesehatan


yang dilaporkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara eksternal kepada
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, melalui e-watch
adalah KTD yang memenuhi tiga kriteria.

B. Media Laporan:
Pelaporan KTD Alkes dapat dilaporkan kepada Direktorat
Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian
Kesehatan, secara:
1. elektronik melalui e-watch atau
2. manual

Pelaporan KTD Alkes dari pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dapat


juga dilaporkan melalui Aplikasi Sarana Prasarana Alat Kesehatan (ASPAK)
yang terinterkoneksi dengan e watch.

C. Jangka Waktu Pelaporan


Semua Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) harus dilaporkan oleh pelaku
usaha/ pemiik izin edar kepada Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan dengan jangka waktu sebagai berikut, dapat dilihat pada
Lampiran 1 dan 2:
1. Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang menyebabkan ancaman serius
bagi kesehatan masyarakat atau memiliki potensi berdampak luas
harus dilaporkan dalam waktu paling lambat 48 (empat puluh delapan)
jam.
2. Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang telah menyebabkan kematian,
atau cedera serius pada pasien, pengguna atau orang lain harus
dilaporkan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari.
3. Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang jika berulang dapat menyebabkan
kematian, atau cedera serius pada pasien, pengguna atau orang lain
harus dilaporkan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.

D. Mekanisme Laporan
Pelaku Usaha/ pemilik izin edar harus melakukan investigasi dan menindak
lanjuti Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) serta membuat laporan hasil
investigasi awal dalam waktu paling lambat 7 hari sejak mendapat
informasi kejadian dan laporan investigasi akhir dengan mencantumkan
akar masalah dan tindak lanjutnya dalam waktu paling lambat 30 hari, sejak
laporan awal tindak lanjut diterima.
E. Tata Cara Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)

Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) Alat Kesehatan dilaporkan secara


elektronik dan manual, berisi data dan informasi, dapat dilihat pada
Lampiran 3.

1. Pelaku Usaha/ pemilik izin edar:


Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dari pelaku usaha/ pemilik
izin edar melalui aplikasi e-watch mengisi data berikut :
a) Informasi Umum
b) Informasi Pelaku Usaha
c) Informasi Alat Kesehatan
d) Kronologis Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)
e) Informasi Pasien / Pengguna
f) Hasil Investigasi dan Tindakan
2. Pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Laporan sentinel atau insiden keselamatan pasien dari pengguna di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan melalui aplikasi e-watch/e-report KNKP mengisi data
berikut:
a) Informasi Umum
b) Informasi Pelaku Usaha
c) Informasi Alat Kesehatan
d) Kronologis Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)
e) Informasi Pasien / Pengguna
f) Hasil Investigasi dan Tindakan

C. TINDAK LANJUT LAPORAN KTD

Tindak lanjut pelaporan KTD dilakukan oleh pemerintah dan Pelaku Usaha.

A. Tindak lanjut pemerintah


1. Pemerintah menindaklanjuti laporan KTD yang diterima dengan
melakukan penapisan, verifikasi, rekapan dan penelaahan laporan
dengan membentuk Tim Tanggap Laporan KTD Alkes, dapat dilihat pada
lampiran 7.
2. Hasil penelaahan akan dilakukan pengkajian dengan Tim Ahli (dapat
dilihat pada lampiran 6). Apabila direkomendasikan untuk dilakukan
investigasi, akan dibentuk Tim Investigator oleh Direktur Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
3. Penutupan laporan bila sudah dilakukan tindaklanjut oleh pelaku usaha/
pemilik izin edar.

B. Tindak lanjut pelaku usaha


Pelaku Usaha/ pemilik izin edar menindaklanjuti laporan KTD yang diterima
dari pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan melakukan
investigasi, analisa dan melaporkan hasil investigasi awal dan investigasi
akhir kepada pemerintah, termasuk konsultasi dengan pemerintah untuk
melakukan tindakan korektif.
Tahapan Tindaklanjut yang dilakukan pelaku usaha, sesuai Bagan 1:
1. Laporan Awal Tindaklanjut
2. CAPA
3. FSCA
4. FSN
5. Laporan Akhir Tindaklanjut

1. Laporan Awal Tindak Lanjut


Pelaku usaha/ pemilik izin edar harus melaporkan tindak lanjut kepada
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan sesuai batas waktu
yang diberikan.
Laporan awal tindak lanjut
Investigasi awal dilaporkan dalam waktu maksimal 7 hari sejak mendapat
informasi kejadian.

2. Tindakan korektif dan pencegahan (CAPA)


Berdasarkan hasil analisis akar masalah, tindakan korektif dan/atau
pencegahan harus dilakukan. Tindakan korektif/tindakan pencegahan
adalah perbaikan yang dilakukan pada proses produksi sebagai bagian dari
sistem manajemen mutu secara keseluruhan untuk menghilangkan
penyebab ketidaksesuaian.
Setiap proses tindakan korektif dan pencegahan harus fokus pada
investigasi ketidaksesuaian (kegagalan dan/atau penyimpangan) yang
sistematis dalam upaya untuk mencegah terulangnya kembali
ketidaksesuaian tersebut. Untuk memastikan bahwa tindakan korektif dan
pencegahan efektif, penyelidikan sistematis terhadap Kejadian Tidak
Diinginkan (KTD) sangat penting dalam mengidentifikasi tindakan korektif
dan pencegahan yang dilakukan. Tingkat tindakan yang diambil harus
tergantung pada risiko, besar dan sifat permasalahan dan pengaruhnya
pada mutu produk.
 Tindakan korektif harus ditangani sesuai dengan ISO 13485:2016,
tergantung pada ketidaksesuaian alat kesehatan yang terdampak
atau jika tindakan diambil untuk mencegah terulangnya alat
kesehatan yang tidak sesuai.
 Tindakan pencegahan adalah proses proaktif yang dilakukan oleh
pelaku usaha/ pemilik izin edar untuk mengidentifikasi peluang
perbaikan alat kesehatan di awal, sebelum masalah diidentifikasi.
Tindakan pencegahan dilakukan ketika potensi ketidaksesuaian
diidentifikasi sebagai hasil dari pengujian sampel, keluhan dari
lapangan, dan informasi sumber yang relevan.

Contoh-contoh tindakan pencegahan:


 Review kontrak (dengan pemasok utama), pembelian, proses, desain;
 Validasi dan verifikasi perangkat lunak (software) untuk analisis;
 Pengawasan pemasok;
 Preventive maintenance dan kontrol kalibrasi untuk analisis;
 Tinjauan manajemen sistem manajemen mutu;
 Program pelatihan pengguna, alat bantu pekerjaan;
 Analisis tren;
 Benchmarking
D. Manajemen risiko

Dokumen manajemen risiko yang harus diperbarui termasuk diantaranya yaitu :


 Identifikasi risiko
 Analisis risiko
 Evaluasi risiko
 Pengendalian risiko
 Evaluasi residual risk acceptability secara keseluruhan;
 Laporan manajemen risiko; dan Informasi produksi dan
 paska produksi.

3. Tindakan korektif terhadap keselamatan di lapangan (FSCA)


FSCA adalah adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha/
pemilik izin edar untuk mengurangi risiko kematian atau cedera serius atau
dampak yang luas terhadap masyarakat yang terkait dengan penggunaan
alat kesehatan.
Tindakan ini termasuk :
 pengembalian alat kesehatan ke pabrik atau perwakilannya;
 penarikan/ recall alat kesehatan;
 modifikasi alat;
 pertukaran alat;
 penghancuran alat;

 saran yang diberikan oleh pelaku usaha/ pemilik izin edar tentang
penggunaan alat (contoh alat tidak lagi di peredaran atau telah ditarik
tetapi masih mungkin digunakan, misal implant)

FSCA dilakukan jika ada informasi masalah pada alat kesehatan yang
sudah diedarkan yang menimbulkan peningkatan risiko tidak dapat
diterima (unacceptable increased risk) saat digunakan. Penilaian risiko
merupakan elemen kunci penentuan kebutuhan FSCA dengan
menentukan potensi bahaya dan risiko yang terjadi. Hal ini termasuk
kerusakan yang mempengaruhi kinerja atau karakteristik alat kesehatan,
serta semua kekurangan informasi dalam petunjuk penggunaan yang
mungkin menyebabkan kematian, cedera serius atau perburukan pada
kesehatan pasien, pengguna atau individu lain. Informasi tersebut antara
lain dapat terjadi saat post-market surveillance yaitu pre-distribution atau
post- distribution, pengujian sampel, laporan dari lapangan, tinjauan
desain alat kesehatan, perubahan dalam produksi atau spesifikasi
komponen.

Pemilik izin edar alat kesehatan bertanggung jawab menentukan


kebutuhan FSCA. Dalam mengakses kebutuhan FSCA, pemilik izin edar
harus melakukan penilaian risiko sesuai dengan ISO 14971. FSCA dapat
dipicu jika ada informasi terjadi keluhan atau Kejadian Tidak Diinginkan
(KTD) yang menunjukkan peningkatan risiko yang tidak dapat diterima.
FSCA dilakukan jika pemilik izin edar alat kesehatan perlu mengambil
tindakan (termasuk penarikan alatnya) untuk mencegah atau mengurangi
risiko bahaya yang teridentifikasi. FSCA mungkin masih diperlukan bahkan
ketika alat kesehatan tidak lagi ada di pasaran atau telah ditarik tetapi
masih bisa digunakan (misal implan).

FSCA hanya berlaku untuk alat kesehatan yang telah didistribusikan


oleh pemilik produk. Pemilik produk izin edar, pabrikan, perwakilan resmi,
importir dan/ atau distributor resmi bertanggung jawab untuk melakukan
dan menyelesaikan FSCA, termasuk alat kesehatan yang telah dijual,
dimodifikasi, atau untuk alasan komersial lainnya.

Laporan FSCA harus menyertakan informasi berikut:


 Nama pelaku usaha/ pemilik izin edar;
 Nama produk, kode produk, dan nomor sampel dari alat kesehatan
yang bermasalah: dalam hal FSCA yang terkait dengan sampel
tertentu saja;
 Daftar semua negara yang terkena dampak/ bermasalah;
 Informasi latar belakang dan alasan untuk FSCA:termasuk deskripsi
kekurangan atau kerusakan alat kesehatan, klarifikasi potensi bahaya
terkait dengan penggunaan alat kesehatan yang berkelanjutan dan
terkait dengan risiko terhadap pasien, pengguna atau orang lain dan
segala risiko yang mungkin terjadi pada pasien yang terkait dengan
penggunaan alat kesehatan yang bermasalah sebelumnya;
 Bagian-bagian yang relevan dari analisis risiko;
 Deskripsi dan justifikasi tindakan korektif dan /atau tindakan pencegahan;
 Saran tentang tindakan yang akan diambil oleh distributor dan pengguna:
 Mengidentifikasi dan mengkarantina alat kesehatan;
 Metode perbaikan, pembuangan atau modifikasi alat kesehatan;
 Rekomendasi tindak lanjut pasien;
 Permintaan untuk menyampaikan Pemberitahuan Keamanan
Lapangan/Field Safety Notice (FSN) kepada semua orang yang
perlu mewaspadainya.
Tindakan korektif dan pencegahan (CAPA) dan/ atau Tindakan korektif
keamanan lapangan (FSCA) jika dibutuhkan dapat segera dilakukan tanpa
menunggu investigasi akhir.
Laporan akhir FSCA harus diserahkan ke Direktorat Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan setelah pelaksanaan FSCA. Laporan
tersebut menjadi informasi tentang efektivitas tindakan dan persentase alat
kesehatan yang dilakukan FSCA. Jika FSCA mencakup pengembalian stok
yang bermasalah ke pabrik atau pembaruan petunjuk penggunaan atau
modifikasi/ pemutakhiran alat kesehatan yang ada di atau di luar lokasi,
pencatatan tindakan yang lengkap harus sepenuhnya dicocokkan dengan
catatan distribusi untuk mempertahankan pengendalian kemajuan dari
FSCA.

4. Pemberitahuan Keselamatan Lapangan/ Field Safety Notice (FSN)


Adalah suatu peringatan yang dikirim oleh pemilik produk atau
perwakilannya kepada pengguna sehubungan dengan FSCA.
Pemberitahuan Keselamatan Lapangan (FSN) harus dikirim dalam bahasa
yang dapat dimengerti pengguna. Pemberitahuan Keselamatan Lapangan
merupakan sarana penting untuk mengkomunikasikan FSCA dan
informasi keselamatan terkait kepada pengguna. Pemberitahuan
tersebut juga dapat digunakan untuk memberikan informasi terkini
tentang bagaimana Alat Kesehatan harus digunakan, dapat dilihat pada
lampiran 5.

E. Konfirmasi bahwa pengguna telah menerima FSN

Pelaku Usaha/ pemilik izin edar harus menginformasikan ke pengguna


yang terkena dampak dari FSCA apa pun melalui FSN, dengan salinan ke
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pelaku Usaha/
pemilik izin edar harus memastikan bahwa FSN didistribusikan ke semua
pengguna yang terkena dampak, dan harus melacak konfirmasi penerimaan
FSN. Daftar distribusi yang lengkap dengan nama kontak dan alamat email
untuk setiap penerima yang dituju harus disimpan.
Pengguna yang terkena dampak akan menerima FSN melalui
distributor yang berkewajiban untuk menginformasikan ke semua pengguna
dalam wilayah pasokannya. Distributor mungkin perlu menerjemahkan FSN
dari bahasa Inggris atau bahasa lainnya ke bahasa Indonesia, yang perlu
evaluasi untuk memastikan bahwa terjemahannya dapat dipahami dan
menafsirkan pesan dari FSN tersebut dengan benar.

F. Isi dan format

Pelaku Usaha/ pemilik izin edar harus menggunakan format


standar untuk FSN, sesuai Lampiran 4.
FSN harus menyertakan item-item berikut:
 Judul yang jelas seperti "Urgent Field Safety Notice" di pemberitahuan
itu sendiri, di amplop jika dikirim melalui surat dan di judul email jika
dikirim melalui email atau faks;

 Para pengguna dan pihak terkait yang dituju: pernyataan yang jelas
tentang penerima pemberitahuan yang dituju;
 Deskripsi singkat tentang produk, kode produk, nomor sampel;
 Pernyataan faktual yang menjelaskan alasan untuk Tindakan Korektif
Keselamatan Lapangan, termasuk uraian masalah;
 Deskripsi yang jelas tentang bahaya yang terkait dengan kegagalan
spesifik alat dan, kemungkinan terjadinya, menjadi perhatian pengguna
dan pihak terkait yang dituju;
 Tindakan yang direkomendasikan diambil melalui penerima FSN
termasuk setiap tindakan yang direkomendasikan untuk orang-orang
yang sebelumnya telah menggunakan atau telah diobati oleh diagnostik
yang bermasalah, termasuk penarikan kembali;
 Bila perlu, termasuk jangka waktu yang harus diambil tindakan oleh
Pelaku Usaha/ pemilik izin edar dan pengguna;
 Kontak yang ditunjuk sebagai penerima FSN untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut.
Pemberitahuan tersebut dapat berisi permintaan untuk memberitahu
pelanggan/atau pasien yang menerima produk atau untuk mengirimkan
surat kepada organisasi lain (jika perlu karena Pelaku Usaha/ pemilik izin
edar tidak memiliki akses langsung ke mereka).
Pemberitahuan Keselamatan Lapangan TIDAK boleh meliputi :
 Komentar dan deskripsi yang mengecilkan tingkat risiko
 Iklan

5. Laporan akhir tindak lanjut


Laporan akhir tindak lanjut dilaporkan dalam waktu maksimal 30
hari atau ditentukan lain oleh Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, sejak laporan awal tindak lanjut diterima. Laporan akhir
tindak lanjut mencakup hasil investigasi dan tindakan yang dilakukan
antara lain:
 Tidak perlu tindakan
 Diperlukan pengawasan khusus terhadap produk yang digunakan
 Tindakan korektif dan pencegahan (CAPA) pada proses produksi
 Hasil akhir dari rekonsiliasi FSCA, berupa tindakan untuk
mengurangi kemungkinan berulangnya masalah, antara lain
mendesain ulang, pembaharuan di lapangan, meningkatkan
petunjuk penggunaan.
 FSN
 Hasil investigasi akhir berupa penyebab akar masalah
(root cause analysis)

BAGIAN 4
INFORMED CONCENT DAN INFORMED CHOICE

Dapat dikatakan bahwa informed choice dan informed consent termasuk hak yang harus
diperoleh setiap pasien. Dengan adanya dua persetujuan tersebut, mereka bisa mendapat
perawatan atau tindakan medis sesuai dengan yang dibutuhkan.
Namun, sebagian orang belum memahami apa sebenarnya perbedaan informed choice dan
informed consent

A. Perbedaan Informed Choice dan Informed Consent


1. Informed Choice
Mengutip buku Etikolegal dalam Praktik Kebidanan tulisan Riyanti, S. SiT., M.Keb.,
informed choice adalah opsi atau pilihan yang diberikan kepada pasien mengenai
alternatif perawatan yang akan dialaminya.
Informed choice penting dilakukan agar pasien bisa memilih pelayanan yang dirasa
aman dan nyaman baginya. Karena itu, seorang bidan harus bisa menyampaikan
dengan jelas setiap pilihan yang diberikan kepada pasien.Hal tersebut sejalan dengan
kode etik internasional bidan yang menyatakan bahwa bidan harus menghormati hak
wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima
tanggung jawab dari hasil pilihannya.
Informed Choice adalah informasi untuk pasien memilih pilihan yang ada kepada
pasien dengan jelas mengenai tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, tata cara
tindakan yang akan dilakukan, risiko yang mungkin dihadapi, alternatif tindakan medis,
dan biaya medis guna mendukung proses kelahiran, Informed Consent adalah
kesepakatan/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh bidan
terhadap dirinya, setelah mendapatkan informasi dari bidan.
Contoh informed choice dalam pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
a. Gaya, bentuk pemeriksaan antenatal dan pemeriksaan laboratorium/screening
antenatal.
b. Tempat bersalin, apakah ingin dilakukan di rumah, polindes, rumah bersalin,
rumah sakit bersalin, atau rumah sakit. Ini juga mencakup kelas perawatan
yang ada di rumah sakit.
c. Pendampingan saat bersalin.
d. Percepatan persalinan.
e. Metode monitor denyut jantung janin.
f. Diet selama proses persalinan.
g. Pemakaian obat pengurang rasa sakit.
h. Mobilisasi selama proses persalinan.
i. Posisi ketika bersalin.
j. Keterlibatan suami saat bersalin (misalnya pemotongan tali pusar).
k. Klisma dan cukur daerah pubis.

Setelah memberikan informasi mengenai berbagai pilihan yang ada, bidan harus
memberikan kesempatan kepada klien dan keluarganya untuk mempertimbangkan
semua pilihan tersebut.

2. Informed Consent
Informed consent sejatinya memiliki tujuan yang serupa dengan informed choice,
yakni untuk mengedepankan hak-hak pasien selama masa perawatan. Mengutip buku
Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan oleh Widya Juliarti, informed
consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya setelah
mendapatkan informasi (informed choice).
Lebih lengkap, informed consent dapat didefinisikan sebagai suatu persetujuan
atau kesepakatan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
setelah pasien mendapatkan informasi mengenai hal tersebut lengkap dengan segala
risiko yang mungkin terjadi.
Dalam praktiknya, istilah informed consent kerap kali disamakan dengan surat izin
operasi (SIO) yang diberikan kepada pasien sebelum dirinya dioperasi sebagai bentuk
persetujuan tertulis.
Informed consent memungkinkan terjadinya kerja sama antara bidan dan pasien
sehingga memperlancar tindakan yang akan dilakukan. Dengan demikian, tindakan
medis yang dilakukan pun bisa berjalan lancar.
Di sisi lain, informed consent juga dilakukan dengan tujuan meningkatkan kehati-
hatian bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sehingga kejadian malpraktik
pun dapat dihindari.
BAGIAN 5
DEKLARASI HELSINKI

A. Pengantar
Sebagai hasil kerjasama penelitian etik antara Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)
dan Dewan Organisasi Ilmu-Ilmu Kedokteran Internasional (CIOMS)/ Asosiasi Medis Dunia
(WMA), diterbitkan Deklarasi Helsinki tentang Usulan Pedoman Internasional untuk
Penelitian Biomedis yang Melibatkan Subjek Manusia oleh CIOMS. Tujuannya untuk
memberikan pedoman tentang prinsip-prinsip etik fundamental yang mengatur pelaksanaan
penelitian biomedis yag melibatkan subjek manusia secara efektif. Pedoman tersebut
memastikan validitas dari informed consent dan melindungi hak-hak serta kesejahteraan
dari subjek-subjek penelitian. Sebagaimana tugas seorang dokter untuk menaikkan dan
menjaga kesehatan manusia dengan mendedikasikan pengetahuan dan hati nuraninya
untuk memenuhi tugas ini.
Kemajuan medis didasarkan pada penelitian yang melakukan percobaan dengan
melibatkan subjek manusia. Dalam penelitian medis pada subjek manusia, pertimbangan
kesejahteraan subjek manusia harus didahulukan di atas kepentingan ilmu dan masyarakat.
Tujuan utama dari penelitian medis yang melibatkan subjek manusia ialah memperbaiki
prosedur profilaktik, diagnostik, dan terapeutik dan pemahaman akan etiologi dan
patogenesis penyakit. Bahkan bila terbukti hasilnya baik, metode profilaktik, diagnostik, dan
terapeutik harus dievaluasi melalui penelitian untuk menjaga efektivitas, efisiensi,
aksesibilitas, dan mutunya.
Dalam praktik medis yang berlaku dan dalam penelitian medis melibatkan banyak
risiko dan beban. Penelitian medis harus sesuai dengan standar etika yang melindungi
kesejahteraan dan melindungi kesehatan serta hak-haknya. Peneliti harus mematuhi etika,
persyaratan hukum dan peraturan untuk penelitian dengan subjek manusia di negaranya
sendiri serta persyaratan internasional yang berlaku.

B. Prinsip Dasar Bagi Semua Penelitian Medis


1. Tugas dokter dalam penelitian medis untuk melindungi kehidupan, kesehatan,
privasi, dan martabat subjek manusia.
2. Penelitian medis yang melibatkan subjek manusia harus patuh pada prinsip ilmiah
yang diterima secara umum, yang didasarkan pada pengetahuan yang cermat dari
pustaka ilmiah, sumber informasi lain yang relevan, dengan laboratorium yang
memadai.
3. Kehati-hatian harus dijalankan dalam melaksanakan penelitian yang dapat
mempengaruhi lingkungan, dan menghargai kesejahteraan hewan yang digunakan
untuk penelitian.
4. Rancangan dan kinerja setiap prosedur percobaan yang melibatkan subjek manusia
harus dirumuskan dengan jelas dalam protokol percobaan. Protokol ini harus
diajukan untuk pertimbangan, komentar, petunjuk, dan bila mungkin, persetujuan
dari komisi telaah etik yang ditunjuk, yang harus independen dari peneliti, sponsor
atau pengaruh tak-semestinya. Komisi yang independen ini harus patuh pada hukum
dan peraturan di negara tempat percobaan penelitian dilakukan. Komisi ini berhak
memantau jalannya percobaan. Peneliti wajib memberikan informasi pemantauan
kepada komisi, terutama kejadian tak-diinginkan yang serius. Peneliti juga harus
mengajukan kepada komisi, untuk ditelaah, informasi yang menyangkut pendanaan,
sponsor, afiliasi kelembagaan, potensi benturan kepentingan lain, dan insentif bagi
subjek.
5. Protokol penelitian harus selalu mengandung pernyataan tentang pertimbangan
etikanya dan harus menyatakan bahwa ada kepatuhan dengan prinsip yang
diucapkan dalam deklarasi ini.
6. Penelitian medis yang melibatkan subjek manusia harus dilaksanakan hanya oleh
orang yang berkualifikasi ilmiah dan di bawah pengawasan petugas medis yang
kompeten secara klinis. Tanggung jawab atas subjek manusia harus selalu berada
pada orang yang berkualifikasi medis dan bukan pada subjek penelitian, meskipun
subjek telah memberikan izin.
7. Setiap proyek penelitian medis yang melibatkan subjek manusia harus didahului
dengan penilaian cermat mengenai resiko dan beban yang dapat diprediksi
dibandingkan dengan manfaat yang dapat terlihat bagi subjek atau pihak lainnya.
8. Dokter harus abstain dari proyek penelitian yang melibatkan subjek manusia kecuali
mereka percaya diri bahwa resiko yang terlibat diatasi. Dokter harus mundur dari
penelitian jika risiko ternyata melampaui potensi manfaat atau jika sudah ada bukti
kuat hasil dan manfaat yang positif.
9. Penelitian medis yang melibatkan subjek manusia hanya boleh dilakukan jika
kemanfaatan tujuan melampaui resiko dan beban yang inheren bagi subjek.
Terutama bila subjek manusia adalah sukarelawan sehat.
10. Penelitian medis hanya dibenarkan jika ada kecenderungan yang masuk akal bahwa
populasi yang diteliti dapat menerima manfaat dari hasil penelitian.
11. Subjek harus merupakan sukarelawan dan partisipan memaklumi proyek penelitian.
12. Hak subjek penelitian untuk menjaga integritasnya harus selalu dihormati. Setiap
tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghormati privasi subjek,
kerahasiaan informasi pasien, dan untuk meminimalisir dampak kajian pada
integritas fisik dan mental, dan pada kepribadian subjek.
13. Dalam penelitian dengan subjek manusia, setiap subjek yang potensial harus diberi
informasi secukupnya mengenai tujuan, metode, sumber dana, kemungkinan
benturan kepentingan, afiliasi kelembagaan dari peneliti, antisipasi manfaat dan
potensi risiko dari kajian, dan ketidaknyamanan yang mungkin terjadi. Subjek harus
diberi informasi mengenai hak untuk abstain dari kesertaan dalam kajian atau untuk
menarik izin berpartisipasi kapan saja tanpa tindakan pembalasan. Sesudah ada
jaminan bahwa subjek memahami informasi, dokter kemudian mendapatkan izin
yang diberikan sukarela oleh subjek, lebih baik dalam bentuk tertulis. Jika izin tidak
diperoleh secara tertulis, izin tak tertulis harus secara formal terdokumentasi dan
dihadiri saksi.
14. Ketika mendapat izin untuk proyek penelitian, dokter harus berhati-hati jika subjek
ada hubungan keluarga dengan dokter atau izin diberikan di bawah ancaman. Dalam
hal ini, izin harus didapatkan oleh dokter yang tidak terlibat dalam penelitian dan
yang benar-benar tidak ada hubungan keluarga.
15. Untuk subjek penelitian yang secara hukum tidak kompeten, secara fisik atau mental
tidak mampu memberikan izin atau yang secara hukum tidak kompeten karena
belum dewasa, peneliti harus mendapatkan izin dari wakil yang sah sesuai dengan
hukum yang berlaku. Kelompok ini tidak boleh dimasukkan ke dalam penelitian
kecuali penelitian itu diperlukan untuk menaikkan kesehatan dari populasi yang
diwakili dan penelitian ini tidak dapat dilakukan pada orang yang tidak kompeten
secara hukum.
16. Bila subjek dianggap tidak kompeten secara hukum, misalnya anak di bawah umur,
mampu memberikan persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian, peneliti
masih harus mendapatkan persetujuan selain izin dari wakil yang sah secara hukum.
17. Penelitian pada subjek yang tidak mungkin memberikan izin, misal pasien pingsan
dan memiliki keterbatasan fisik atau mental, Dokter harus meminta izin kepada wali
yang sah dari subjek tersebut. Bila tidak ada wali dan jika penelitian tidak bisa
ditunda, penelitian dapat berlanjut tanpa izin dengan alasan spesifik melibatkan
subjek dengan kondisi yang membuat mereka tidak mampu memberikan izin telah
dinyatakan dalam protokol penelitian dan penelitian sudah disetujui oleh komite etik
penelitian.
18. Baik penulis maupun penerbit mempunyai kewajiban etika. Dalam mempublikasikan
hasil penelitian, peneliti wajib menjaga akurasi hasilnya. Hasil yang negatif dan yang
positif harus dipublikasi atau sekurang-kurangnya terbuka bagi publik. Sumber dana,
afiliasi kelembagaan, dan benturan kepentingan yang mungkin harus dinyatakan
dalam publikasi. Laporan mengenai percobaan yang tidak sesuai dengan prinsip yang
diletakkan dalam deklarasi ini tidak boleh dimasukkan untuk publikasi.

C. Prinsip tambahan untuk penelitian medis yang digabung dengan perawatan medis
1. Dokter dapat menggabungkan penelitian medis dengan perawatan medis, hanya jika
penelitian itu dibenarkan berdasarkan nilai potensi profilaktik, diagnostik, atau
terapeutik. Bila penelitian medis digabungkan dengan perawatan medis, standar
tambahan berlaku untuk melindungi pasien yang menjadi subjek penelitian.
2. Manfaat, risiko, beban, dan efektivitas dari metode baru harus diuji terhadap yang
terbaik saat ini dalam metode profilaktik, diagnostik, dan terapeutik.
3. Di akhir kajian, setiap pasien yang masuk ke kajian harus terjamin aksesnya ke
metode profilaktik, diagnostik, dan terapeutik yang ternyata terbaik sebagaimana
diidentifikasi dalam kajian.
4. Catatan : WMA dengan ini menegaskan kembali bahwa selama proses perencanaan
studi untuk mengidentifikasi pasca-percobaan akses melalui belajar peserta untuk
profilaksis, prosedur diagnostik dan terapi diidentifikasi sebagai bermanfaat dalam
kajian atau akses ke perawatan lain yang sesuai. Pengaturan akses post-sidang atau
perawatan lainnya harus dijelaskan dalam protokol studi sehingga komite tinjauan
etis dapat mempertimbangkan pengaturan tersebut selama tinjauan
5. Dokter harus sepenuhnya memberi tahu pasien mengenai aspek perawatan mana
yang berkait dengan penelitian. Penolakan pasien untuk berpartisipasi dalam kajian
tidak pernah boleh dicampuri dengan hubungan pasien–dokter.
6. Dalam penanganan pasien, bila metode profilaktik, diagnostik dan terapeutik
terbukti tidak efektif, dokter dengan izin dari pasien, harus bebas menggunakan cara
lain atau cara baru profilaktik, diagnostik dan terapeutik, jika menurut putusan
dokter hal itu akan memberikan harapan terselamatkannya nyawa subjek, pulihnya
kesehatan atau terhindarnya penderitaan. Bila memungkinkan, cara-cara ini harus
membuat objek penelitian, dirancang untuk mengevaluasi keamananya dan
efektivitasnya. Dalam semua hal, informasi baru harus dicatat dan bila mungkin,
dipublikasikan. Panduan yang relevan lainnya dari deklarasi ini harus diikuti.
BAGIAN 6
HOSPITAL BY LAW

A. PENGERTIAN
Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata ‘Bylaw’
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford Illustrated
Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation. Pengertian lainnya,
Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a faculty, organization, or
specified group of persons to govern internal functions or practices within that group,
facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian, pengertian Bylaw tersebut
dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau
perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya. Keberadaan Hospital Bylaw
memegang peranan penting sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah
sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan dalam manajemen rumah sakit.
Berdasarakan keputusan menteri kesehatan nomor 772 tahun 2002 tentang pedoman
peraturan internal rumah sakit (hospital by laws) menyatakan bahwa hospital by laws
berasal dari dua buah kata yaitu hospital (rumah sakit) dan bylaws (pengaturan setempat
atau internal).
Pada hakekatnya hospital bylaws mempunyai bidang tersendiri dan juga mempunyai
fungsi penting di dalam mengadakan tata tertib dan kepastian hokum dan jalannya rumah
sakit. Ia adalah “aturan main” (rules of the game) dari manajemen rumah sakit dalam
melakukan fungsi dan tugasnya. Jika aturan dan disiplin manajemen sudah dibuat dengan
baik dan juga dipatuhi, maka hospital bylaws dapat merupakan alat untuk menjalankan
program manajemen risiko dan ‘good governance’ dengan baik dan berhasil.
Hospital by laws atau peraturan internal rumah sakit adalah suatu produk hokum yang
merupakan anggaran rumah tangga rumah sakit atau yang mewakili,peran,tugas dan
kewenangan pemilik atau yang mewakili ,peran,tugas dan kewenangan direktur rumah sakit
,organisasi staff medis, peran,tugas dan kewenangan staf medis.
B. Fungsi Hospital bylaws
Berdasarkan keputusan menteri no772 tahun 2002 tentang pedoman peraturan
internal rumah sakit (hospital by laws) menyatakan bahwa fungsinya :
1. Sebagai acuan bagi rumah sakit dalam melakukan pengawasan rumah sakitnya.
2. Sebagai acuan bagi direktur rumah sakit dalam mengelola rumah sakit dan
menyusun kebijakan yang bersifat teknis operasional.
3. Sebagai sarana untuk menjamin efektifitas,efisiensi dan mutu.
4. Sarana perlindungan hokum bagi semua pihak yang berkaitan dengan rumah
sakit.
5. Sebagai acuan bagi penyelesaian konflik di rumah sakit antara pemilik,direktur
rumah sakit, dan staff medis.
6. Untuk memenuhi persyarataan akreditasi rumah sakit.

C. Tujuan dan manfaat hospital by law


1. Tujuan hospital by laws
a) Umum : Dimilikinya suatu tatanan peraturan dasar yang mengatur pemilik rumah
sakit atau yang mewakili,direktur rumah sakit dan tenaga medis sehingga
penyelengaraan rumah sakit dapat efektif,efisien dan berkualitas.
b) Khusus : Dimilikinya pedoman oleh rumah sakit dalam hubungannya dengan
pemilik atau yang mewakili, direktur rumah sakit dan staff medis. Dimilikinya
pedoman dalam pembuatan kebijakan teknis operasional rumah sakit. Dimilikinya
pedoman dalam peraturan staff medis.
2. Manfaat Hoapital by laws
a) Untuk rumah sakit
1) Rumah sakit memiliki acuan hokum dalam bentuk anggaran rumah tangga.
2) Rumah sakit memiliki kepastian hukum dalam pembagian kewenangan dan
tanggung jawab baik eksternal maupun internal yang dapat menjadi alat/
sarana perlindungan hokum bagi rumah sakit atas tuntutan/gugatan.
3) Menunjang persyaratan akreditasi rumah sakit
4) Memilikinya alat/ sarana untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
5) Rumah sakit memiliki kejelasan arah dan tujuan dalam melaksanakan
kegiatannya.
b) Untuk pengelola rumah sakit
1) Memiliki acuan tentang batas kewenangan,hak,kewajiban dan tanggung
jawab yang jelas sehingga memudahkan dalam menyelesaikan masalah yang
timbul serta dapat menjaga hubungan yang serasi dan selaras.
2) Mempunyai pedoman resmi untuk menyusun kebijakan teknis operasional.
c)Untuk pemerintah
1) Mengetahi arah dan tujuan rumah sakit tersebut didirikan .
2) Acuan dalam menyelesaikan konflik di rumah sakit.
3) Untuk pemilik
4) Mengetahui tugas dan kewajibannya.
5) Acuan dalam menyelesaikan konflik internal.
6) Acuan kinerja direktur rumah sakit.

D. Ciri –ciri hospital by laws.


Guwandi (2004) berpendapat bahwa beberapa ciri dan sifat yang khas dari hospital by
laws :
1) Bahwa hospital by laws adalah tailor –made
Bahwa isi,substansi dan rumusan rinci dari hospital by laws tidaklah sama di semua
rumah sakit dan tidak mungkin sama. Masing- masing rumah sakit mempunyai
kekususan tersendiri. (faktor sejarah,maksud dan tujuan,kepemilikan,situasi dan
kondisi yang berlainan dalam setiap rumah sakit).
2) Hospital by laws dapat berfungsi sebagai “perpanjangan tangan dari hukum”
3) Fungsi hukum membuat peraturan –peraturan yang bersifat umum dan berlaku
umum. Sedangkan kasus hokum RS dan kedokteran bersifat kasuistis. Dengan
demikian diperlukan untuk mengukur ada tindaknya kelalaian /kesalahan yang
ditunduhkan.
4) Hospital by laws mengatur bidang yang berkaitan dengan seluruh manajemen
rumah sakit.
5) Rumusan hospital by laws harus tegas, jelas dan terperinci.
6) Hospital by laws bersifat sistematis dan tingkat-tingkatnya berjenjang.
E. Kerangka Hukum yang mengatur kehidupan rumah sakit
Peraturan –peraturan atas dasar mana penyelenggaraan rumah sakit berpijak adalah :
1. Landasan Korporasi
a) AD perseroan terbatas (PT)
b) AD Yayasan
c) PP Perusahaan Jawatan ( Perjan)
d) Peraturan lain yang terkait dengan bentuk badan hokum pemilik rumah sakit.

1) Peraturan perudangan tentang kesehatan dan perumahsakitan


a) Undang- undang tentang kesehatan dan undang-undang lain yang terkait.
b) Peraturan dan Perundang-undangan yang mengatur rumah sakit.
2) Kebijakan kesehatan pemerintah setempat
a) kebijakan perijinan
b) kebijakan pelaporan
c) Peraturan internal rumah sakit
3) Kebijakan teknis operasional rumah sakit
a. SOP (Standar Operating Procedure)
b. Job description
4) Aturan hukum umum
a) KUHP
b) Undang –undang tentang Lingkungan
c) Undang –undang tentang tenaga kerja
d) Undang –undang tentang perlindungan konsumen.

F. Tingkat dan jenis peraturan dalam rumah sakit


1. Peraturan internal rumah sakit
a. Mempunyai jenjang tertinggi karena merupakan anggaran dasar/ anggaran
rumah tangga suatu rumah sakit.
b. Disususn dan ditetapkan oleh pemilik rumah sakit atau yang mewakili.
c. Pada umumnya mengatur tentang visi,misi, tujuan organisasi rumah sakit dan
hubungan pemilik ,direktur rumah sakit dan staf medis.
2. Kebijakan teknis operasional
a. Acuan untuk menyusun adalah peraturan internal rumah sakit.
b. Disusun dan ditetapkan oleh direktur rumah sakit.
c. Pada umumnya terdiri dari kebijakan dan prosedur di bidang
administarsi,medis,penunjang medis, dan keperawatan.
d. Kebijakan teknis ada yang berupa surat keputusan.

G. Peraturan internal Rumah sakit Hubungan dengan Kode Etik Rumah Sakit.
Antara peraturan internal rumah sakit dan kode etik rumah sakit ada sebagian
saling menutupi (overlapping) ,sehingga dalam hal-hal tertentu kadangkala agak sukar
untuk membedakannya. Namun ciri khas dari Peraturan internal rumah sakit bahwa
selain harus tertulis perumusan dapat langsung dipakai (ready for use) sebagai
ketentuan serta berfungsi sebagai tolak- ukur . Sebaliknya kode etik rumah sakit
perumusannya masih bersifat umum dan tidak langsung siap pakai (not ready for use).
Dengan demikian maka dalam penerapan kode etik rumah sakit masih memerlukan
penafsiaran lagi.

Ciri Etik Peraturan internal RS


Sifat Seharusnya Wajib ditaati
Tolak Ukur Hati nurani (conscience) Ketentuan tertulis
Dibuat oleh Kelompok sendiri (self -Pemilik atau yang
imposed regulation) mewakili

Sanksi dari Organisasi - Pemilik atau yang


mewakili
- pemerintah
Berlaku Intern Intern dan dapat dipakai
sebagai peraturan bukti/
hukum
Atasan yang berwenang Atasan /instansi MKEK Atasan /peradilan
BAGIAN 7
PERLINDUNGAN KONSUMEN / PASIEN DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian dan Hak-Hak Konsumen


Berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis,
dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan
pasien yang merupakan konsumen jasa. Dan untuk itu, perlu diketahui apa yang
diinaksud dengan konsumen. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 (2) menyebutkan konsumen adalah “setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu
perusahaan yang menjadi pembeli atau memakai terakhir. Adapun yang menarik di
sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan
sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli (Setiawan, R., 1986).
Lain halnya pendapat dari Hondius (Pakar masalah Konsumen di
Belanda) menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat
mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah
“setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat umuk dimanfaatkan oleh konsumen”
Mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, pasal 4 menyebutkan, diantaranya :
a. Hak atas kenyamanzn, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mesdnya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang di atas, terlihat bahwa masalah
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling
pokok dan utama dalam perlindungann konsumen. Barang dan/atau jasa yang
penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau
membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam
masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalm
penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen
penggunanya, maka kt'nsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa yang
dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur.
Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar,
memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti
rugi (Shidarta, 2000).

B. Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Di Bidang Medis


Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga
kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima
jasa Delayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan (Shidarta, 2000).
Sebelumnya periu juga untuk diketahui akan pengertian dari pasien itu sendiri.
Menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, dalam bukunya, “Hukum Kedokteran”
bahwa Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk
menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang
sakit yang awam mengenai penyakitnya.
Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga
kesehatan memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam
hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan
mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang
awam dalam bidang kesehatan.
Pasien dalam ha. ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan,
yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian
pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan
nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan
aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya.
Keadaan demikian pada umumnya di dasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran
dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien.Situasi tersebut berakar pada dasar-
dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam
masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan
terhormat.
Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat
perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi
semakin tinggi. Oleh ka rena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan
pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga
memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur dalam
perundan J- undangan (Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987). Perlindungan
tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa dokter
melakukati kekeliruan karena kelalaian.

C. Pengertian dan Kategori Tenaga Kesehatan


Tenaga Kesehatan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32
Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah “setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 (3)
yang dimaksud Tenaga kesehatan adalah “setiap orang yang mengabdikan diri daiam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
Lain halnya menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1987 Tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan dalam Bidang Kesehatan Kepada Daerah,
disebutkan pada pasal 1, yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap
orang yang memperoleh pendidikan dan/atau latihan di bidang kesehatan dalam
rangka p'enyelenggaraan upaya kesehatan. Yang dimaksud dengan upaya kesehatan
menurut UU No. 23 /1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 (2) upaya kesehatan adalah
“setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan/ atau masyarakat.
Dari pengertian Tenaga Kesehatan di atas perlu untuk diketahui katagori dari
tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 262/
Men.Kes/Per/VII/1979 Tentang ketenagaan rumah sakit pemerintahan, ada empat
katagori yang dikenal, (Subekti, 1985), diantaranya :
1. Tenaga Medis, yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokterran gigi dan pasca
sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis.
Kategori ini mencakup : dokter ahli, dokter umum dokter gigi, dan lain-lain
2. Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat
kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan paripuma, yakni : penata
rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus dan lain-lain.
3. Tenaga Paramedis Mon Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang
kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan penunjang, yakni : analisis, penata
roentage, fioterapi, asisten analisis, asisten apoteker dan lain-lain.
4. Tenaga Nonmedis, yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu pengetahuan
yang tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas, yaitu apoteker,
pencatatan medis dan lain-lain.

D. Pelayanan Medis dan Perlindungan Hukum


1. Hubungan Hukum antara Pasien dengan Tenaga Kesehatan
Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dilihat dari aspek hukum adalah
hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum selalu
menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal-balik. Hak tenaga kesehatan (dokter
ataupun tenaga kesehatan lain) menjadi kewajiban pasien, dan hak pasien menjadi
kewajiban tenaga kesehatan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien adalah hubungan dalam jasa
pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Hubungan hukum
antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah apa yang dikenal sebagai perikatan
(verbintenis) (Wiijono Prodjodikoro, 1992). Dasar dari perikatan yang berbentuk
antara tenaga kesehatan, sebut saja (dokter) dengan pasien biasanya udalah
perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang. Apapun
dasar dari perikatan antara dokter dan pasien, selalu menimbulkan hak dan kewajiban
yang sama, karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berlandaskan kepada
apa yang di kenal sebagai profesi dokter, yaitu pedoman dokter untuk menjalankan
profesinya dengan baik.
Doktrin Hukum kesehatan menentukan ada dua bentuk perikatan, yaitu
perikatan ikhtiar(inspanning verbintenis), dan perikatan hasil (resultaat
verbintenis). Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan adalah ikhtiar,
yaitu upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, maka prestasi yang
harus diberikan berupa hasil tertentu.

Menurut Hukum perdata, Hubungan dokter dan pasien dapat terjadi karena
dua hal, (Yahya Harahap, 1999) yakni:
1. Berdasarkan Perjanjian (Ius Contractu)
Disini terbentuk suatu kontrak teraupetik secara sukarela antara dokter dengan
pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan apabila diduga
terjadi “wanprestasi”, yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar
tuntutan adalah tidak melakukan atau salah melakukan terhadap apa yang telah
diperjanjikan.
2. Berdasarkan Hukum (Ius Delicto)
Di sinilah berlaku prinsip barang siapa menimbulkan kerugian pada orang lain, harus
memberikan ganti rugi atas kerugian tersebut. Selanjutnya perjanjian sendiri dapat
dirumuskan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela
oleh dua orang/lebih yang bersepakat untuk memberikan “prestasi” satu kepada
lainnya.
Namun untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan
syarat-syaratnya, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan mereka yang mengikat dirinya, yaitu bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia
sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu. Mereka menghendaki
suatu yang sama secara timbal-balik. Tidak dianggap sah jika kesepakatan
itu diberikan karena, (Subekti, R dan Tjitro Sudibyo, 1996) :
a. Salah pengertian atau paksaan
b. Pemerasan atau paksaan
c. Adanya penipuan
Dalam hal ini pasien dengan dokter harus mempunyai kesepakatan mengenai
cara penanganan apa yang tepat diberikan untuk menangani penyakit tersebut.
Kepada pasien harus diberikan keterangan yang sejelas-jelasnya mengenai ha-
hal yang menyangkut penyakitnya agar timbul pengertian bagi pasien sehingga
pasien untuk mengambil keputusan. Setelah hal itu terpenuhi maka seorang
pasien harus memberikan sejumlah uang sebagai ongkos dari usaha dokter
tersebut.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan antara dokter dan
pasien. Orang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Pada dasamya orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat
pikirannya serta mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan mereka sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang berada di bawah pengampuan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang
dan semua orang kepada siapa siapa undang- undang telah melarang
membuat suatu perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, bahwa orang yang membuat mempunyai cukup
kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang
dipikulnya dengan perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum
berarti, orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh bebas
berbuat dengan harta kekayaannya. Dalam kontrak teraupetik, apabila
pasien tidak dapat memberikan persetujuannya terhadapnya, maka dapat
diwakilkan oleh wakil dari keluarganya.
3. Adanya suatu hal tertentu. Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan oleh hak-hak
dan kewajiban-kewajiban kedua belch pihak jika timbul suatu perselisihan.
Terhadap hal atau barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu
yang sudah tentu jenis atau halnya.
4. Adanya suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang dimaksud dalam
perjanjian adalah isi dari oerjanjian itu sendiri. Artinya perjanjian tersebut
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal
merupakan syarat obyektif dalam perjanjian sehingga bila syarat ini tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu dianggap tidak pemah lahir sehingga tidak
pemah ada akibat hukumnya. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat
subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedang syarat kedua terakhir dimana syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Selanjutnya apabila perjanjian itu memenuhi syarat subyektif
dan syarat obyektif yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka
(Undang-undang Kesehatan, 1992),:
a. Isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;
b. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
c. Perjanjian yang yang telah disepakati itu harus dilaksanakan dengan
baik, jujur dan rela;
d. Para pihak tidak saja terkait pada apa saja yang terancam dalam
perjanjian, tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
e. Dalam transaksi teraupetik, kedua belah pihak secara umum terikat
oleh syarat tersebut diatas, dan bila transaksi itu sudah terjadi maka
antara kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi (Koplogan, I. Wayan, 1990).
2. Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Adanya perkembangan hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan,
yang kemudian mengarah kepada suatu hubungan hukum, maka muncullah hak- hak
dan kewajiban dipihak pasien dengan tenaga kesehatan. Mengingat hak dan kewajiban
dari tenaga kesehatan sangat luas, maka penulis menyebutkan akan hak dan
kewajiban dari salah satu tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Untuk lebih jelasnya
sejauhmana hak dan kewajiban yang dimiliki masing- masing pihak, maka secara
singkat penulis dapat kemukakan;
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa secara profesional hak-hak tenaga
kesehatan, (dokter), adalah sebagai berikut (Fred Ameln, 1986):
1) Hak-hak Tenaga Medis
a. Hak untuk bekerja sesuai dengan stancar profesi medis
b. Hak untuk menolak melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara professional
c. Hak untuk menolak melakukan yang menurut hati nuraninya tidak baik
atau tidak benar
d. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien apabila menurut
penilaiannya kerjasama dengan pasien tidak ada lagi manfaatnya
e. Hak atas itikad baik dari pasien
f. Hak atas balas jasa
g. Hak atas keterbukaan dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap
dirinya
h. Hak untuk memilih pasien. Seorang dokter itu juga mempunyai hak untuk
menentukan secara bebas tentang pasien yang ingin ia terima, walaupun
hak tersebut bukanlah merupakan hak yang sifatnya mulak
i. Seorang dokter juga mempunyai hak yang bersifat pribadi (mempunyai hak
agar suasananya yang bersifat pribadi tidak diganggu
j. Seorang dokter mempunyai hak atas adanya suatu fair play mengenai
problema-problema yang dihadapi oleh seorang pasien. Jika ia ingin
berpegang pada fair play tersebut, maka sebaliknya, ia juga mengharapkan
agar seorang pasien itu berpegang pada hal yang sama.
k. Seorang dokter juga mempunyai hak untuk dapat membela diri.
2) Kewajiban-kewajiban Tenaga Medis
Kewajiban dokter menurut oleh Fred Ameln (1986) sebagai be :ikut:
a. Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis. Pengertian “stand ar
medis” dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis
dalam suatu kasus kongkrif menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkian
pada ilmu medis dan pengalaman.
b. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan. Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan
bukan kepentingan pasien. Sehingga dalam melakukan kewajibannya dokter
harus mempertimbangkan untuk tidak menulis resep obat-obatan yang
tidak begiti perlu
c. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.

Adapun tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut:


a. Menyembuhkan dan mencegah penyakit. Artinya, bahwa dokter harus
melakukan tindakan medis yang ada gunanya, yaitu mengandung
kemungkinan untuk menyembuhkan pasien, atau untuk menghentikan
proses penyakit.
b. Meringankan penderitaan
c. Mengantar pasien termasuk menghadapi akhir hidupnya.
d. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan
Dokter harus menjaga keseimbangan antara tindakan-tindakannya dengan
tujuan uang ingin dicapai dari tindakan tersebut. Misalnya melakukan
tindakan diagnostic yang berat terhadap suatu penyakit yang relative ringan
tidaklah meinenuhi prinsip keseimbangan. Dokter haruslah selalu
membandingkan tujuan tindakan medisnya dengan resiko dan tindakan
tersebut, dan ia harus berusaha mencapai tujuan itu dengan resiko yang
terkecil.
e. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
f. Seorang dokter ataupun tenaga keserhatan lainya mempunyai kewajiban
umum, misalnya untuk senantiasa memelihara pengetahuan dan ilmunya
dengan sebaik-baiknya. Terhadap pasien, seorang dokter haruslah membantu
sepenuhnya.
b. Dalam kode etik kedokteran juga dirumuskan mengenai kewajiban doklor terhadap
paasien yaitu pasal 10 sampai pasal 14 yang berbunyi :
Pasal 10 : “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewaj ibannya melindungi hidup
Makhluk insani”
Pasal 11 : “setiap dokter wajib bersikap tulus iklhas dan mempergunakan segala ilmu
dan ketrampilan untuk kepentingan penderita”
Pasal 12 : “setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat
dan atau dalam masalah lainnya”
Pasal 13 : ’’setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang penderita juga setelah penderita itu meninggal dunia”
Pasal 14 : “setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersecia dan mampu
memberikannya”.
Dalam pasal 2 kode etik kedokteran menyebutkan bahwa kewajiban seorang dokter
harus dilakukan menurut ukuran yang tertinggi, maksudnya adalah bahwa dalam
melakukan profesinya, dokter haruslah bertindak sesuai dengan ukuran ilmu
kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum, dan agama.

3. Hak dan Kewajiban Pasien sebagai Konsumen


Dalam kontrak teraupetik ada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar
manusia, yang mana hal ini erat hubungannya dengan pasien dalam mengambil sikap
yaitu:
a. Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Hak ini baru mempunyai efek apabila manusia sebagai individu mendapat kesempatan
secara mandiri untuk dengan bebas dan dengan tanggung jawab sendiri memutuskan
apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mandiri maksudnya, bahwa pasien bertanggung
jawab penuh atas apapun keputusan yang telah diambilnya. Kemandirian dalam
kaitannya dengan unsur pertanggung jawaban hanya Himiliki oleh mereka yang telah
dewasa. Hak untuk menentukan nasib sendiri dapat diartikan dalam dua hal, yaitu :
1) Hak untuk menentukan sejauh mungkin segala sesuatu yang berhubungan dengan
tubuh dan rohani,
2) Hak untuk merencanakan, membentuk dan mengembangkan dirinya sebagaimanan
yang dikehendakinya.
b. Hak atas informasi
Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak inungkin terwujud secara optimal bila tidak
didampingi oleh hak atas atas informasi, karena keputusan akhir mengenai penentuan
nasibnya itu sendiri itu dapat diberikan apabila pengambilan keputusan tersebut
memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya apabila suatu
keputusan tidak diambil.
Hak pasien menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi;
1) Hak atas informasi, adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter,
tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya,
2) Hak atas persetujuan yaitu hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan
medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi,
3) Hak atas rahasia kedokteran, yaitu keterangan yang diperoleh dokter dalam
melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia kedokteran. Dokter
berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang pasien (penyakit pasien).
Kewajiban dokter ini, menjadi hak pasien. Hak ini merupakan hak individu dari pada
pasien.
4) Hak atas pendapat kedua (second opinion), adalah kerjasama antara dokter pertama
dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya
kepada dokter kedua. Kerjasama ini atas inisiatif dari pasien. Dengan hak ini maka
keuntungan lebih besar. Pertama, pasien tidak peril mengulangi pemeriksaan ruti lagi.
Kedua, dokter yang pertama dapat berkomunikasi dengan dokter yang kedua,
sehingga dengan keterbukaan dari. para pakar, dapat menghasilkan pendapat yang
lebih baik.
5) Hak untuk melihat rekam medik. Pengertian dari rekam medik yaitu, menurut pasal 1
(a) PermenKes No.749 a/89, “rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan
lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan
6) Pasien juga memiliki hak konfidensialitas, yaitu yang menjamin didepan meja hijau
sekalipun bahwa semua informasi tentang dirinya, keadaan fisik dan penyakitnya,
harus dipercayakan kepada dokter.
Kewajiban-kewajiban Pasien
a) Pasien dalam hal ini mempunyai kewajiban yang paling penting adalah kewajiban
bahwa ia tidak menyalahgunakan haknya.
b) Selain itu pasien harus dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan apabila telah ada
persetujuan.
c) Pasien dalam hal ini juga harus mentaati aturan- aturin yang ada pada sarana
kesehatan.
d) Pasien juga mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi medik dan mentaati
nasehat dari tenaga kesehatan
e) Pasien berkewajiban memberikan imbalan jasa kepada tenaga kesehatan
f) Pasien mempunyai kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya.
Kewajiban ini sebenamya merupakan kesejajaran dengan hak pasien untuk sendiri,
yakni untuk rahasianya yang wajib disimpan oleh dokter.

4. Perlindungan Pasien atas Pelanggaran Di Bidang Pelayanan Medis


Banyak pihak yang berpendapat bahwa pasien di dalam pelayanan medis selalu
berada pada posisi yang lemah jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan. sehingga
akibat dari ketidakpuasan salah satu pihak, akan selalu mengakibatkar kerugian yang
lebih besar bagi pasien. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan atau masih awamnya
pengetahuan yang dimiliki pasien.
Dari tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan tidak tertutup kemungkinan
terjadi kelalaian yang lebih dikenal dengan istilah “malpraktek”. Malpraktek adalah
kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian
dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau atau orang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama
Yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap kurang hati-hati menurut ukuran
wajar. Karena, tidak melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar
akan melakukan, atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati
yang wajar tidak akan melakukan ii dalam situasi tersebut. Sedangkan kesalahan
diartikan sebagai kelalaian berat, tidak waspada, sangat tidak hati-hati. Kelalaian
dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh dibawah standar untuk ditentukan oleh
hukum untukperlindungan orang lain terhadap resiko cidera yang sewajamya tidak
harus terjadi”.
Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan
standar profesi dan tidak sesuai prosedur tindakan medik, dapat dikatakan telah
melakukan kesalahan ataupun kelalaian. Hal ini tercantum pada pasal 53 (2) UU No.
23 Tahun 1992 tenteng kesehatan, yang berbunyi ; “Tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati
hak pasien”. Dalam hal tindakan medis terjadi penyimpangan atau kelalaian dari pihak
tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan kelalaian tersebut. Dan
dapat dibuktikan dengan adanya Medical Repout (Laporan Tindakan Medik). Hukum
pembuktian, pasal 1865 KUH Perdata menentukan; ’’Setiap orang yang mendalilkan
bahwa mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peritiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hai; atas peristiwa tersebut”.
Perlindungan terhadap pasien, jika terjadi pelanggaran dalam pelayanan medis,
dalam hal ini, ada ketentuan yang mengatur. Yaitu sesuai dengan ketentuan UU
Kesehatan (UU No. 23 Tahun 1992).
Perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen juga diatur dalam Peraturan
Pemerintan RI No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, yaitu Pasal 23 yang
berbunyi;
1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan
terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau
kelalaian,
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
menentukan ada beberapa UU yang materinya melindungi kepentingan konsumen,
yang salah astunya adalah UU No, 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. UU No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa kedudukan
konsumen yang leoih lemah dari pelaku usaha, di samping itu konsumen tidak
mengetahui hak-haknya. Dalam UU tersebut tidak diatur dengan jelas mengenai
pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan konsumen. Pasal 4 UU No. 8 Tahun
1999 Butir (h) mengenai hak konsumen menentukan “hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimena mestinya”. Dilihat dari
sudut tenaga kesehatan, tenaga kesehatan tidak dapat diidentikkan dengan pelaku
usaha di dalam bidang ekonomi, sebab pekerjaan dalam bidang kesehatan banyak
mengandung unsur sosial.
Perlindungan konsumen terhadap pelanggaran seseorang terhadap orang
lainnya diatur juga dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1365 - 1366. Bahwa terhadap
akibat yang ditimbulkannya, seseorang tersebut wajib untuk mengganti kerugian.

Anda mungkin juga menyukai