ETIKA HUKUM
KESEHATAN
VISI IKESPNB
Menjadi Institusi Yang Unggul Di Bidang Kesehatan Tingkat Nasional Berorientasi Global
Tahun 2031
Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Modul ini
akhirnya selesai di susun. Modul ini disusun untuk mahasiswa D-III Kebidanan
sebagai panduan dalam melaksanakan pembelajaran teori.
Sebagai calon bidan, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang
berhubungan dengan etika hukum kesehatan yang diharapkan nantinya dapat
memberikan asuhan kebidanan yang maksimal pada pasien dan juga mampu
berkolaborasi dengan baik dengan tim medis.
Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu di dalam penyusunan modul ini. Saran dan kritik kami harapkan
demi penyempurnaan modul ini. Semoga modul ini bermanfaat bagi mahasiswa
bidan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
BAGIAN 1
KONSEP ETIKA, MORAL, DISIPLIN DAN HUKUM
A. Pengertian Etika
Menurut K. Berten, kata “etika” berasal dari bahasa yunani kuno, yakni ethos
(bentuk kata tunggal) atau ta etha (bentuk kata jamak). Ethos berarti tempat tinggal,
padang rumput, kandang, kebiasaan atau adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Sedangkan kata ta etha berarti adat kebiasaan. Namun, secara umum etika
dimengerti sebagai ilmu apa yang biasa kita lakukan.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia (W.J.S Poerwandaminto, 2002) merupakan
ilmu pengetahuan tentang asas - asas akhlak (moral). Pengertian lain lagi mengenai
etika dari Prof. DR. FRANZ Magniz Suseno. Ia memberi pengertian bahwa etika adalah
ilmu yang mecari orientasi (ilmu yang member arah dan pijakan pada tindakan
manusia). Apabila manusia memiliki orientasi yang jelas, ia tidak akan hidup dengan
sembarang cara atau mengikuti berbagai pihak tetapi ia sanggup menentukan nasibnya
sendiri. Dengan demikian, etika dapat membantu manusia untuk bertanggung jawab
atas kehidupannya.
Berdasarkan pengertian tadi, dapat dirumuskan pengertian etika menjadi tiga,
pertama etika merupakan sistem nilai, yakni nilai - nilai atau norma - norma moral yang
menjadi pegangan (landasan, alasan, orientasi hidup) seseorang atau kelompok orang
dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kumpulan asas – asas akhlak (moral) atau
semacam kode etik. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang
buruk. Hal ini terjadi apabila nilai - nilai, norma - norma moral, asas - asas akhlak
(moral), atau kode etik yang terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat menjadi
bahan refleksi (pemikiran) secara menyeluruh (holisti), sistematis, dan metodis.
Etika merupakan pemikiran kritis tentang berbagai ajaran dan pandangan moral.
Etika sering disebut filsafat moral, karena berhubungan dengan adat istiadat, norma -
norma, dan nilai - nilai yang menjadi pegangan dalam suatu kelompok atau seseorang
untuk mengatur tingkah laku.
B. Pengertian Etiket
Dua istilah, yaitu etika dan etiket dalam kehidupan sehari-hari kadang-
kadang diartikan sama, dipergunakan silih berganti. Kedua istilah tersebut
memang hampir sama pengertiannya, tetapi tidak sama dalam hal titik berat
penerapan atau pelaksanaannya, yang satu lebih luas dari pada yang lain.
Istilah etiket berasal dari kata Prancis etiquette, yang berarti kartu
undangan, yang lazim dipakai oleh raja-raja Prancis apabila mengadakan pesta.
Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan
atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara
duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta
perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi. Sehingga
Dewasa ini istilah etiket lebih menitikberatkan pada cara-cara berbicara yang
sopan, cara berpakaian, cara menerima tamu dirumah maupun di kantor dan
sopan santun lainnya. Jadi, etiket adalah aturan sopan santun dalam pergaulan.
Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu
merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia
yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan
santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta
panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan
menyenangkan.
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000)
memberikan 4 (empat) macam etiket, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus
dilakukan manusia. Contoh: Ketika saya menyerahkan sesuatu
kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan
menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan
tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri
(ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar
kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Contoh:
Saya sedang makan bersama teman sambil meletakkan kaki saya di
atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi
kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka
saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Contoh: makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang
berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Contoh: Bisa saja
orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan
sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.
Etiket juga merupakan aturan - aturan konvensional melalui tingkah laku
individual dalam masyarakat beradab, merupakan tata cara formal atau tata
krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai dengan status sosial
masing- masing individu. Etiket didukung oleh berbagai macam nilai, antara lain;
1. Nilai-nilai kepentingan umum
2. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan kebaikan
3. Nilai-nilai kesejahteraan
4. Nilai-nilai kesopanan, harga-menghargai
5. Nilai diskresi (discretion: pertimbangan) penuh piker. Mampu
membedakan sesuatu yang patut dirahasiakan dan boleh dikatakan
atau tidak dirahasiakan.
C. Persamaan dan Perbedaaan Etika Dan Etiket
Mengenai Persamaan dan Perbedaan antara etika dan etiket, K. Bertens
menguraikannya sebagai berikut :
1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut
dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena
binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
2. Kedua - duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian
menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah
tersebut sering dicampuradukkan.
Etika
1. Etika tidak terbatas pada cara dan bagaimana melakukan sebuah
perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.
Etika
menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.
2. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain.
3. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan
mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etika berbicara tentang manusia dari dalam. Etika menyangkut kondisi
batiniah seseorang.
3. Prof.H.J.J.Leenen
Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan
langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya pada hukum
perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan disini tidak
hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum
yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan
sumber hukum.
Jika kita berbicara tentang nilai dalam konteks etika, kita memaksudkan suatu
nilai spesifik yaitu nilai moral. Nilai lain merupakan sesuatu yang baik menurut aspek
tertentu saja sedangkan nilai moral mewujudkan sesuatu yang baik bagi manusia
sebagai manusia. Nilai moral bersifat normative. Nilai moral mengikat kita sebagai
manusia. Nilai moral wajib direalisasikan. Terhadap nilai moral kita tidak boleh tinggal
tak acuh saja. Sedangkan terhadap nilai lain, kita boleh bersikap netral.
Etika sebagai ilmu, berefleksi tentang perilaku moral. Etika membahas
kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk moral. Etika bersifat normative.
(Bertens, 2003). Tujuan etika adalah mengidentifikasi aturan yang mengatur perilaku
orang – orang dan “barang – barang” yang layak dicari. Keputusan etis ditentukan
oleh nilai – nilai yang mendasari seseorang. Etika akan menjadi persoalan yang
semakin rumit ketika sebuah situasi mengharuskan suatu nilai melampaui nilai yang
lain. Etika adalah system aturan yang mengatur tatanan nilai – nilai (Bateman, 2008).
BAGIAN 2
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KESEHATAN
Jika kita melihat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yang
baru yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur
kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan
berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-Undang
Kesehatan No 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka salah satu poin penting yang diatur dalam UU
kesehatan yang baru adalah adanya pengakuan yang lebih tegas tentang pentingnya melihat
kesehatan sebagai bagian dari HAM yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Pasal 4-8).
Pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan tercermin dalam alokasi anggaran Negara
(APBN/APBD) Dalam UU Kesehatan 2009 diatur secara konkrit, yaitu pemenuhan alokasi
anggaran kesehatan untuk pusat (APBN) sebesar 5% (Pasal 171 ayat 1) dan untuk daerah (APBD
Provinsi/Kabupaten/Kota) menyiapkan 10% dari total anggaran setiap tahunnya diluar gaji
pegawai (Pasal 171 ayat 2). Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk
kepentingan pelayanan publik (terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar) yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
(Pasal 171 ayat 3). Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup pelayanan kesehatan harus mencakup
setiap upaya kesehatan yang menjadi komitmen komunitas global, regional, nasional maupun
lokal.
Hal ini sebetulnya sudah memenuhi harapan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang
menyebutkan, jumlah alokasi anggaran di sektor kesehatan yaitu minimal sekitar lima persen
dari anggaran suatu negara. Mudah-mudahan dengan semakin membaiknya perekonomian
Indonesia, anggaran kesehatan di Indonesia bisa sama dengan di Amerika Serikat yang sudah
diatas 10 persen.
Dari sisi pelayanan kesehatan, Profesi tenaga kesehatan memang banyak berkaitan
dengan problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik. UU Kesehatan
2009 lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada pemberi layanan selaku
tenaga kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan kesehatan (Pasal 56-58).
Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain Bilamana dalam
hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, maka
kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29).
Untuk itu tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang sistem Alternative
Dispute Resolution (ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat diandalkan mengingat 90 % kasus
malpraktik yang dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)
dapat diselesaikan dengan baik.
UU ini juga menjamin keterjangkaun pembiayaan kesehatan bagi semua pasien. Pasal 23
ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama memberikan pelayanan
kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau meminta uang muka
apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang kerap terjadi adanya layanan
kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien tidak mampu menyediakan sejumlah
uang. Aturan semacam ini dibuat untuk mencegah cara-cara tidak manusiawi dalam
memperlakukan pasien.
Selain itu, bila kita melihat dari sisi perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan
seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan munculnya fenomena globalisasi telah
menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari
Undang-Undang Kesehatan yang lama. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi
informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang
kesehatan yang lama seperti pengaturan mengenai teknologi kesehatan dan produk teknologi
kesehatan (Pasal 42-45), transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau
alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Pasal 64-70). Hal-hal tersebut
mengharuskan pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan kesehatan dan
menuangkannya dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru.
Undang-Undang Kesehatan yang lama lebih menitikberatkan pada pengobatan (kuratif),
menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati
bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan
dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan
pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan. Selain itu, sudut
pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu
kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam pembangunan. Untuk itu, dalam pandangan
UU kesehatan yang baru, persoalan kesehatan telah dijadikan sebagai suatu faktor utama dan
investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa
dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi
paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan
undang-undang yang berwawasan sakit, mengingat upaya pencegahan adalah jauh lebih murah
dan lebih baik, olehnya itu sangat tepat jika pemerintah lebih menekankan kepada segi
preventif karena 80 persen masalah kesehatan sebenarnya bisa diatasi melalui pencegahan.
UU Kesehatan yang baru juga telah merubah wajah baru sistem kesehatan di tanah air,
dari yang tadinya sangat sentralistik menuju desentralisasi. Porsi peran pemerintah daerah
terasa lebih seimbang dengan pemerintah pusat, seperti dalam hal tanggung jawab atas
penyelenggaraan upaya kesehatan, yang dilaksanakan secara aman, bermutu, serta merata dan
nondiskriminatif. Begitupun juga dari segi pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dan meningkatan tenaga kesehatan yang bermutu melalui pendidikan dan pelatihan
dan mendayagunakannya sesuai dengan kebutuhan daerah. Disamping itu pemerintah dan
pemerintah daerah juga bersama-sama menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber
daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan, bukan hanya dalam kondisi aman tetapi juga pada saat bencana, tanggap
darurat dan pascabencana.
Pemerintah daerah juga diberi hak untuk menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Termasuk
penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
Pemerintah daerah juga wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya seperti
pada fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain;.
tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang
ditetapkan.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas identifikasi mayat yang tidak
dikenali, tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya serta menangung biaya
pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk
kepentingan hukum, Menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan menyediakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, kemudian wajib menyediakan tempat
dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat, melakukan upaya
pemeliharaan kesehatan remaja termasuk untuk reproduksi remaja agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi
secara sehat. Wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
kelompok lanjut usia dan penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis. Bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi masyarakat.
Menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk
menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja, Memberikan layanan edukasi dan informasi
tentang kesehatan jiwa, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa. Wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum, termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin,
Selain itu, bertanggung jawab juga dalam melakukan upaya pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya dengan berbasis
wilayah melalui koordinasi lintas sektor.
Secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan, Melakukan surveilans terhadap penyakit menular,
Menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
Melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa. Demikian
juga melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular
beserta akibat yang ditimbulkannya dan bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi,
informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup
seluruh fase kehidupan.
Menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi
kesehatan. Menyelenggarakan pengelolaan kesehatan melalui pengelolaan administrasi
kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Menyiapkan sumber pembiayaannya selain dari pemerintah pusat, masyarakat swasta
dan sumber lain. Untuk itu semua maka pemerintah daerah berwenang melakukan pembinaan
terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam
setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.
Mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan
upaya kesehatan. Serta mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan
fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan.
3. Hal Kontorversial
Ada beberapa hal menarik dari UU Kesehatan yang mengundang kontroversil misalnya
yang berkaitan dengan hak untuk melakukan tindakan aborsi. Dengan latar belakang angka
kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi atau berada di kisaran 228 per 100.000 angka
kelahiran hidup melahirkan pada tahun 2007 (SDKI 2007). Jumlah ini, lima kali lebih tinggi dari
negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. “Malaysia yang dulu pada tahun 1970-an sering
dibantu Indonesia dalam bidang kesehatan kini angka kematian ibu melahirkan sudah menurun
40 per 100.000 angka kelahiran hidup melahirkan. Masih tingginya angka kematian ibu hamil di
Indonesia, selain sebagai hasil dari kondisi yang terkait dengan kehamilan, persalinan, dan
komplikasi. Aborsi ternyata memberikan kontribusi 15 persen dari jumlah kematian ibu
melahirkan, bahkan menurut sumber lain bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai 20-25
persen. Hal tersebut, disebabkan pelaku aborsi kerap tidak mendapatkan pertolongan medis
secara baik dan profesional.
Dalam UU Kesehatan, tindakan aborsi dilarang (Pasal 75) Larangan dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan
Semuanya ini hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
Selanjutnya aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Isu lainnya yang cukup mendapat perhatian diantaranya, mengenai rokok. Dalam UU
Kesehatan ini rokok dimasukan sebagai zat adiktif yang penggunaannya diarahkan agar tidak
mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Oleh karena itu, produksi, peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
seperti tembakau harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan (Pasal 113).
Sedangkan bagi industry farmasi, UU Kesehatan 2009 pada beberapa pasalnya membatasi
ruang gerak bisnisnya. Pada pasal 40 ayat 6 disebutkan “Perbekalan kesehatan berupa obat
generik yang termasuk dalam daftar obat essensial nasional harus dijamin ketersediaan dan
keterjangkauannya sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah”. Adanya pasal
ini memaksa industri farmasi untuk menjual obat generik dengan harga yang telah ditetapkan
pemerintah, Namun apabila pemerintah tidak bijak dalam menetapkan harga obat generik
maka kemungkinan kelangkaan beberapa obat generik seperti yang terjadi belakangan ini bisa
terulang kembali.
1. Sumber Laporan
Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang berhubungan dengan alat kesehatan
dapat dibagi menjadi :
1. Laporan wajib oleh pelaku usaha/ pemilik izin edar
2. Laporan mandiri oleh pengguna di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
B. Media Laporan:
Pelaporan KTD Alkes dapat dilaporkan kepada Direktorat
Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian
Kesehatan, secara:
1. elektronik melalui e-watch atau
2. manual
D. Mekanisme Laporan
Pelaku Usaha/ pemilik izin edar harus melakukan investigasi dan menindak
lanjuti Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) serta membuat laporan hasil
investigasi awal dalam waktu paling lambat 7 hari sejak mendapat
informasi kejadian dan laporan investigasi akhir dengan mencantumkan
akar masalah dan tindak lanjutnya dalam waktu paling lambat 30 hari, sejak
laporan awal tindak lanjut diterima.
E. Tata Cara Laporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)
Tindak lanjut pelaporan KTD dilakukan oleh pemerintah dan Pelaku Usaha.
saran yang diberikan oleh pelaku usaha/ pemilik izin edar tentang
penggunaan alat (contoh alat tidak lagi di peredaran atau telah ditarik
tetapi masih mungkin digunakan, misal implant)
FSCA dilakukan jika ada informasi masalah pada alat kesehatan yang
sudah diedarkan yang menimbulkan peningkatan risiko tidak dapat
diterima (unacceptable increased risk) saat digunakan. Penilaian risiko
merupakan elemen kunci penentuan kebutuhan FSCA dengan
menentukan potensi bahaya dan risiko yang terjadi. Hal ini termasuk
kerusakan yang mempengaruhi kinerja atau karakteristik alat kesehatan,
serta semua kekurangan informasi dalam petunjuk penggunaan yang
mungkin menyebabkan kematian, cedera serius atau perburukan pada
kesehatan pasien, pengguna atau individu lain. Informasi tersebut antara
lain dapat terjadi saat post-market surveillance yaitu pre-distribution atau
post- distribution, pengujian sampel, laporan dari lapangan, tinjauan
desain alat kesehatan, perubahan dalam produksi atau spesifikasi
komponen.
Para pengguna dan pihak terkait yang dituju: pernyataan yang jelas
tentang penerima pemberitahuan yang dituju;
Deskripsi singkat tentang produk, kode produk, nomor sampel;
Pernyataan faktual yang menjelaskan alasan untuk Tindakan Korektif
Keselamatan Lapangan, termasuk uraian masalah;
Deskripsi yang jelas tentang bahaya yang terkait dengan kegagalan
spesifik alat dan, kemungkinan terjadinya, menjadi perhatian pengguna
dan pihak terkait yang dituju;
Tindakan yang direkomendasikan diambil melalui penerima FSN
termasuk setiap tindakan yang direkomendasikan untuk orang-orang
yang sebelumnya telah menggunakan atau telah diobati oleh diagnostik
yang bermasalah, termasuk penarikan kembali;
Bila perlu, termasuk jangka waktu yang harus diambil tindakan oleh
Pelaku Usaha/ pemilik izin edar dan pengguna;
Kontak yang ditunjuk sebagai penerima FSN untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut.
Pemberitahuan tersebut dapat berisi permintaan untuk memberitahu
pelanggan/atau pasien yang menerima produk atau untuk mengirimkan
surat kepada organisasi lain (jika perlu karena Pelaku Usaha/ pemilik izin
edar tidak memiliki akses langsung ke mereka).
Pemberitahuan Keselamatan Lapangan TIDAK boleh meliputi :
Komentar dan deskripsi yang mengecilkan tingkat risiko
Iklan
BAGIAN 4
INFORMED CONCENT DAN INFORMED CHOICE
Dapat dikatakan bahwa informed choice dan informed consent termasuk hak yang harus
diperoleh setiap pasien. Dengan adanya dua persetujuan tersebut, mereka bisa mendapat
perawatan atau tindakan medis sesuai dengan yang dibutuhkan.
Namun, sebagian orang belum memahami apa sebenarnya perbedaan informed choice dan
informed consent
Setelah memberikan informasi mengenai berbagai pilihan yang ada, bidan harus
memberikan kesempatan kepada klien dan keluarganya untuk mempertimbangkan
semua pilihan tersebut.
2. Informed Consent
Informed consent sejatinya memiliki tujuan yang serupa dengan informed choice,
yakni untuk mengedepankan hak-hak pasien selama masa perawatan. Mengutip buku
Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan oleh Widya Juliarti, informed
consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya setelah
mendapatkan informasi (informed choice).
Lebih lengkap, informed consent dapat didefinisikan sebagai suatu persetujuan
atau kesepakatan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
setelah pasien mendapatkan informasi mengenai hal tersebut lengkap dengan segala
risiko yang mungkin terjadi.
Dalam praktiknya, istilah informed consent kerap kali disamakan dengan surat izin
operasi (SIO) yang diberikan kepada pasien sebelum dirinya dioperasi sebagai bentuk
persetujuan tertulis.
Informed consent memungkinkan terjadinya kerja sama antara bidan dan pasien
sehingga memperlancar tindakan yang akan dilakukan. Dengan demikian, tindakan
medis yang dilakukan pun bisa berjalan lancar.
Di sisi lain, informed consent juga dilakukan dengan tujuan meningkatkan kehati-
hatian bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sehingga kejadian malpraktik
pun dapat dihindari.
BAGIAN 5
DEKLARASI HELSINKI
A. Pengantar
Sebagai hasil kerjasama penelitian etik antara Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)
dan Dewan Organisasi Ilmu-Ilmu Kedokteran Internasional (CIOMS)/ Asosiasi Medis Dunia
(WMA), diterbitkan Deklarasi Helsinki tentang Usulan Pedoman Internasional untuk
Penelitian Biomedis yang Melibatkan Subjek Manusia oleh CIOMS. Tujuannya untuk
memberikan pedoman tentang prinsip-prinsip etik fundamental yang mengatur pelaksanaan
penelitian biomedis yag melibatkan subjek manusia secara efektif. Pedoman tersebut
memastikan validitas dari informed consent dan melindungi hak-hak serta kesejahteraan
dari subjek-subjek penelitian. Sebagaimana tugas seorang dokter untuk menaikkan dan
menjaga kesehatan manusia dengan mendedikasikan pengetahuan dan hati nuraninya
untuk memenuhi tugas ini.
Kemajuan medis didasarkan pada penelitian yang melakukan percobaan dengan
melibatkan subjek manusia. Dalam penelitian medis pada subjek manusia, pertimbangan
kesejahteraan subjek manusia harus didahulukan di atas kepentingan ilmu dan masyarakat.
Tujuan utama dari penelitian medis yang melibatkan subjek manusia ialah memperbaiki
prosedur profilaktik, diagnostik, dan terapeutik dan pemahaman akan etiologi dan
patogenesis penyakit. Bahkan bila terbukti hasilnya baik, metode profilaktik, diagnostik, dan
terapeutik harus dievaluasi melalui penelitian untuk menjaga efektivitas, efisiensi,
aksesibilitas, dan mutunya.
Dalam praktik medis yang berlaku dan dalam penelitian medis melibatkan banyak
risiko dan beban. Penelitian medis harus sesuai dengan standar etika yang melindungi
kesejahteraan dan melindungi kesehatan serta hak-haknya. Peneliti harus mematuhi etika,
persyaratan hukum dan peraturan untuk penelitian dengan subjek manusia di negaranya
sendiri serta persyaratan internasional yang berlaku.
C. Prinsip tambahan untuk penelitian medis yang digabung dengan perawatan medis
1. Dokter dapat menggabungkan penelitian medis dengan perawatan medis, hanya jika
penelitian itu dibenarkan berdasarkan nilai potensi profilaktik, diagnostik, atau
terapeutik. Bila penelitian medis digabungkan dengan perawatan medis, standar
tambahan berlaku untuk melindungi pasien yang menjadi subjek penelitian.
2. Manfaat, risiko, beban, dan efektivitas dari metode baru harus diuji terhadap yang
terbaik saat ini dalam metode profilaktik, diagnostik, dan terapeutik.
3. Di akhir kajian, setiap pasien yang masuk ke kajian harus terjamin aksesnya ke
metode profilaktik, diagnostik, dan terapeutik yang ternyata terbaik sebagaimana
diidentifikasi dalam kajian.
4. Catatan : WMA dengan ini menegaskan kembali bahwa selama proses perencanaan
studi untuk mengidentifikasi pasca-percobaan akses melalui belajar peserta untuk
profilaksis, prosedur diagnostik dan terapi diidentifikasi sebagai bermanfaat dalam
kajian atau akses ke perawatan lain yang sesuai. Pengaturan akses post-sidang atau
perawatan lainnya harus dijelaskan dalam protokol studi sehingga komite tinjauan
etis dapat mempertimbangkan pengaturan tersebut selama tinjauan
5. Dokter harus sepenuhnya memberi tahu pasien mengenai aspek perawatan mana
yang berkait dengan penelitian. Penolakan pasien untuk berpartisipasi dalam kajian
tidak pernah boleh dicampuri dengan hubungan pasien–dokter.
6. Dalam penanganan pasien, bila metode profilaktik, diagnostik dan terapeutik
terbukti tidak efektif, dokter dengan izin dari pasien, harus bebas menggunakan cara
lain atau cara baru profilaktik, diagnostik dan terapeutik, jika menurut putusan
dokter hal itu akan memberikan harapan terselamatkannya nyawa subjek, pulihnya
kesehatan atau terhindarnya penderitaan. Bila memungkinkan, cara-cara ini harus
membuat objek penelitian, dirancang untuk mengevaluasi keamananya dan
efektivitasnya. Dalam semua hal, informasi baru harus dicatat dan bila mungkin,
dipublikasikan. Panduan yang relevan lainnya dari deklarasi ini harus diikuti.
BAGIAN 6
HOSPITAL BY LAW
A. PENGERTIAN
Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata ‘Bylaw’
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford Illustrated
Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation. Pengertian lainnya,
Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a faculty, organization, or
specified group of persons to govern internal functions or practices within that group,
facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian, pengertian Bylaw tersebut
dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau
perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya. Keberadaan Hospital Bylaw
memegang peranan penting sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah
sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan dalam manajemen rumah sakit.
Berdasarakan keputusan menteri kesehatan nomor 772 tahun 2002 tentang pedoman
peraturan internal rumah sakit (hospital by laws) menyatakan bahwa hospital by laws
berasal dari dua buah kata yaitu hospital (rumah sakit) dan bylaws (pengaturan setempat
atau internal).
Pada hakekatnya hospital bylaws mempunyai bidang tersendiri dan juga mempunyai
fungsi penting di dalam mengadakan tata tertib dan kepastian hokum dan jalannya rumah
sakit. Ia adalah “aturan main” (rules of the game) dari manajemen rumah sakit dalam
melakukan fungsi dan tugasnya. Jika aturan dan disiplin manajemen sudah dibuat dengan
baik dan juga dipatuhi, maka hospital bylaws dapat merupakan alat untuk menjalankan
program manajemen risiko dan ‘good governance’ dengan baik dan berhasil.
Hospital by laws atau peraturan internal rumah sakit adalah suatu produk hokum yang
merupakan anggaran rumah tangga rumah sakit atau yang mewakili,peran,tugas dan
kewenangan pemilik atau yang mewakili ,peran,tugas dan kewenangan direktur rumah sakit
,organisasi staff medis, peran,tugas dan kewenangan staf medis.
B. Fungsi Hospital bylaws
Berdasarkan keputusan menteri no772 tahun 2002 tentang pedoman peraturan
internal rumah sakit (hospital by laws) menyatakan bahwa fungsinya :
1. Sebagai acuan bagi rumah sakit dalam melakukan pengawasan rumah sakitnya.
2. Sebagai acuan bagi direktur rumah sakit dalam mengelola rumah sakit dan
menyusun kebijakan yang bersifat teknis operasional.
3. Sebagai sarana untuk menjamin efektifitas,efisiensi dan mutu.
4. Sarana perlindungan hokum bagi semua pihak yang berkaitan dengan rumah
sakit.
5. Sebagai acuan bagi penyelesaian konflik di rumah sakit antara pemilik,direktur
rumah sakit, dan staff medis.
6. Untuk memenuhi persyarataan akreditasi rumah sakit.
G. Peraturan internal Rumah sakit Hubungan dengan Kode Etik Rumah Sakit.
Antara peraturan internal rumah sakit dan kode etik rumah sakit ada sebagian
saling menutupi (overlapping) ,sehingga dalam hal-hal tertentu kadangkala agak sukar
untuk membedakannya. Namun ciri khas dari Peraturan internal rumah sakit bahwa
selain harus tertulis perumusan dapat langsung dipakai (ready for use) sebagai
ketentuan serta berfungsi sebagai tolak- ukur . Sebaliknya kode etik rumah sakit
perumusannya masih bersifat umum dan tidak langsung siap pakai (not ready for use).
Dengan demikian maka dalam penerapan kode etik rumah sakit masih memerlukan
penafsiaran lagi.
Menurut Hukum perdata, Hubungan dokter dan pasien dapat terjadi karena
dua hal, (Yahya Harahap, 1999) yakni:
1. Berdasarkan Perjanjian (Ius Contractu)
Disini terbentuk suatu kontrak teraupetik secara sukarela antara dokter dengan
pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan apabila diduga
terjadi “wanprestasi”, yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar
tuntutan adalah tidak melakukan atau salah melakukan terhadap apa yang telah
diperjanjikan.
2. Berdasarkan Hukum (Ius Delicto)
Di sinilah berlaku prinsip barang siapa menimbulkan kerugian pada orang lain, harus
memberikan ganti rugi atas kerugian tersebut. Selanjutnya perjanjian sendiri dapat
dirumuskan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela
oleh dua orang/lebih yang bersepakat untuk memberikan “prestasi” satu kepada
lainnya.
Namun untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan
syarat-syaratnya, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan mereka yang mengikat dirinya, yaitu bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia
sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu. Mereka menghendaki
suatu yang sama secara timbal-balik. Tidak dianggap sah jika kesepakatan
itu diberikan karena, (Subekti, R dan Tjitro Sudibyo, 1996) :
a. Salah pengertian atau paksaan
b. Pemerasan atau paksaan
c. Adanya penipuan
Dalam hal ini pasien dengan dokter harus mempunyai kesepakatan mengenai
cara penanganan apa yang tepat diberikan untuk menangani penyakit tersebut.
Kepada pasien harus diberikan keterangan yang sejelas-jelasnya mengenai ha-
hal yang menyangkut penyakitnya agar timbul pengertian bagi pasien sehingga
pasien untuk mengambil keputusan. Setelah hal itu terpenuhi maka seorang
pasien harus memberikan sejumlah uang sebagai ongkos dari usaha dokter
tersebut.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan antara dokter dan
pasien. Orang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Pada dasamya orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat
pikirannya serta mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan mereka sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang berada di bawah pengampuan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang
dan semua orang kepada siapa siapa undang- undang telah melarang
membuat suatu perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, bahwa orang yang membuat mempunyai cukup
kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang
dipikulnya dengan perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum
berarti, orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh bebas
berbuat dengan harta kekayaannya. Dalam kontrak teraupetik, apabila
pasien tidak dapat memberikan persetujuannya terhadapnya, maka dapat
diwakilkan oleh wakil dari keluarganya.
3. Adanya suatu hal tertentu. Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan oleh hak-hak
dan kewajiban-kewajiban kedua belch pihak jika timbul suatu perselisihan.
Terhadap hal atau barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu
yang sudah tentu jenis atau halnya.
4. Adanya suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang dimaksud dalam
perjanjian adalah isi dari oerjanjian itu sendiri. Artinya perjanjian tersebut
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal
merupakan syarat obyektif dalam perjanjian sehingga bila syarat ini tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu dianggap tidak pemah lahir sehingga tidak
pemah ada akibat hukumnya. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat
subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedang syarat kedua terakhir dimana syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Selanjutnya apabila perjanjian itu memenuhi syarat subyektif
dan syarat obyektif yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka
(Undang-undang Kesehatan, 1992),:
a. Isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;
b. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
c. Perjanjian yang yang telah disepakati itu harus dilaksanakan dengan
baik, jujur dan rela;
d. Para pihak tidak saja terkait pada apa saja yang terancam dalam
perjanjian, tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
e. Dalam transaksi teraupetik, kedua belah pihak secara umum terikat
oleh syarat tersebut diatas, dan bila transaksi itu sudah terjadi maka
antara kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi (Koplogan, I. Wayan, 1990).
2. Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Adanya perkembangan hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan,
yang kemudian mengarah kepada suatu hubungan hukum, maka muncullah hak- hak
dan kewajiban dipihak pasien dengan tenaga kesehatan. Mengingat hak dan kewajiban
dari tenaga kesehatan sangat luas, maka penulis menyebutkan akan hak dan
kewajiban dari salah satu tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Untuk lebih jelasnya
sejauhmana hak dan kewajiban yang dimiliki masing- masing pihak, maka secara
singkat penulis dapat kemukakan;
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa secara profesional hak-hak tenaga
kesehatan, (dokter), adalah sebagai berikut (Fred Ameln, 1986):
1) Hak-hak Tenaga Medis
a. Hak untuk bekerja sesuai dengan stancar profesi medis
b. Hak untuk menolak melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara professional
c. Hak untuk menolak melakukan yang menurut hati nuraninya tidak baik
atau tidak benar
d. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien apabila menurut
penilaiannya kerjasama dengan pasien tidak ada lagi manfaatnya
e. Hak atas itikad baik dari pasien
f. Hak atas balas jasa
g. Hak atas keterbukaan dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap
dirinya
h. Hak untuk memilih pasien. Seorang dokter itu juga mempunyai hak untuk
menentukan secara bebas tentang pasien yang ingin ia terima, walaupun
hak tersebut bukanlah merupakan hak yang sifatnya mulak
i. Seorang dokter juga mempunyai hak yang bersifat pribadi (mempunyai hak
agar suasananya yang bersifat pribadi tidak diganggu
j. Seorang dokter mempunyai hak atas adanya suatu fair play mengenai
problema-problema yang dihadapi oleh seorang pasien. Jika ia ingin
berpegang pada fair play tersebut, maka sebaliknya, ia juga mengharapkan
agar seorang pasien itu berpegang pada hal yang sama.
k. Seorang dokter juga mempunyai hak untuk dapat membela diri.
2) Kewajiban-kewajiban Tenaga Medis
Kewajiban dokter menurut oleh Fred Ameln (1986) sebagai be :ikut:
a. Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis. Pengertian “stand ar
medis” dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis
dalam suatu kasus kongkrif menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkian
pada ilmu medis dan pengalaman.
b. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan. Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan
bukan kepentingan pasien. Sehingga dalam melakukan kewajibannya dokter
harus mempertimbangkan untuk tidak menulis resep obat-obatan yang
tidak begiti perlu
c. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.