Anda di halaman 1dari 44

KEPERAWATAN HEMODIALISA

ELEMEN 1 = MELAKUKAN PENGKAJIAN ANALISIS DATA DAN MENENTUKAN


PERENCANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

KUK 1.1 = MELAKUKAN ANAMNESIS PASIEN DIALISIS RUTIN


a. Riwayat medis :
 Apakah Anda memiliki penyakit ginjal kronis?
 Apakah Anda telah menjalani transplantasi ginjal sebelumnya?
 Apakah Anda sedang menjalani perawatan dialisis? Jika ya, jenis dialisis apa yang Anda
jalani (hemodialisis atau dialisis peritoneal)?
 Berapa lama Anda sudah menjalani perawatan dialisis ini?
 Apakah Anda memiliki riwayat penyakit jantung, diabetes, hipertensi, atau penyakit
lainnya
b. Riwayat gejala
 Apakah Anda mengalami kelelahan yang berlebihan atau kurang energi?
 Apakah Anda mengalami peningkatan tekanan darah atau masalah jantung?
 Apakah Anda sering mengalami kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki?
 Apakah Anda mengalami kram otot atau kejang saat atau setelah dialisis?
 Apakah Anda mengalami kesulitan tidur atau perubahan nafsu makan?
c. Riwayat obat:
 Apakah Anda mengonsumsi obat-obatan tertentu secara teratur? Jika ya, tolong sebutkan
obat-obatan tersebut.
 Apakah Anda mengalami efek samping dari obat-obatan yang Anda konsumsi?
d. Riwayat diet dan cairan:
 Apakah Anda sedang mengikuti diet khusus untuk pasien dialisis? Jika ya, bagaimana
pola makan Anda?
 Berapa banyak cairan yang Anda konsumsi setiap hari?
e. Riwayat infeksi:
 Apakah Anda pernah mengalami infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya sebelumnya?
 Apakah Anda mengalami gejala infeksi saat ini, seperti demam, nyeri saat buang air
kecil, atau adanya darah dalam urin?

KUK 1.2 = MELAKUKAN PENGKAJIAN FISIK CAIRAN DAN ELEKTROLIT : HEAD


TO TOE YANG BERHUBUNGAN DENGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT)
Pengkajian fisik head to toe yang berhubungan dengan cairan dan elektrolit pada pasien dialisis:

1. Kepala:
 Periksa tanda-tanda dehidrasi, seperti bibir kering atau pecah-pecah, lidah kering, dan
kulit tidak elastis.
 Periksa tanda-tanda edema di sekitar mata, wajah, atau leher.
 Perhatikan tanda-tanda kebingungan atau perubahan kesadaran yang dapat
mengindikasikan ketidakseimbangan elektrolit.
2. Mata:
 Cek konjungtiva untuk melihat apakah ada tanda anemia atau dehidrasi.
 Periksa mata untuk melihat adanya edema periorbital.
3. Mulut dan Tenggorokan:
 Perhatikan kelembaban mulut dan lidah yang dapat menunjukkan status hidrasi.
 Periksa tanda-tanda ulkus mulut atau stomatitis yang dapat berkaitan dengan
ketidakseimbangan elektrolit.
4. Leher:
 Periksa tanda-tanda pembesaran kelenjar tiroid atau tanda-tanda penyakit tiroid yang
mungkin mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Dada:
 Dengarkan suara napas untuk mendeteksi tanda-tanda gagal jantung atau edema paru.
 Periksa tanda-tanda distensi vena pada leher yang dapat mengindikasikan gagal jantung.
6. Jantung:
 Periksa denyut jantung, irama, dan kualitas bunyi jantung.
 Perhatikan adanya gallop, murmur, atau tanda-tanda gagal jantung.
7. Abdomen:
 Periksa ukuran dan tekstur hati untuk melihat adanya hepatomegali yang mungkin terkait
dengan gagal ginjal.
 Cek tanda-tanda distensi abdomen atau edema yang dapat mengindikasikan retensi
cairan.
8. Ekstremitas:
 Periksa adanya edema di tangan, kaki, atau kaki untuk mengevaluasi retensi cairan.
 Periksa denyut nadi dan turgor kulit untuk mengevaluasi status hidrasi.

Selain pengkajian fisik, juga penting untuk memeriksa tanda-tanda vital seperti tekanan darah,
denyut nadi, suhu tubuh, dan frekuensi pernapasan. Pengukuran berat badan sebelum dan
sesudah dialisis juga merupakan bagian penting dari evaluasi cairan pasien.

Ingatlah bahwa pengkajian fisik ini hanya sebagai panduan umum, dan penting untuk
melengkapi dengan hasil pemeriksaan laboratorium, seperti elektrolit darah, kadar kreatinin, dan
lain-lain, untuk mendapatkan gambaran yang lengkap tentang keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien dialisis.
KUK 1.3 = MELAKUKAN PENGKAJIAN INTEGRITAS KULIT PADA AREA AKSES
DIALISIS
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pengkajian integritas kulit pada area akses
dialisis:
1. Persiapan: Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum memulai pengkajian. Pastikan
Anda memiliki peralatan yang steril dan diperlukan, seperti sarung tangan, alat pemeriksa,
kain steril, dan cairan pembersih antiseptik.
2. Inspeksi: Periksa visual kulit di sekitar area akses dialisis. Perhatikan apakah ada tanda-
tanda peradangan, kemerahan, pembengkakan, atau tanda-tanda infeksi seperti nanah atau
bau tidak sedap.
3. Palpasi: Gunakan tangan atau jari dengan perlahan untuk meraba area akses dialisis.
Perhatikan adanya nyeri, benjolan, atau kelainan lainnya yang mungkin terasa pada kulit.
4. Observasi: Amati keberadaan fistula atau graft pada area akses dialisis. Periksa apakah
ada tanda-tanda penyumbatan atau pembekuan darah yang dapat mempengaruhi aliran
darah.
5. Perawatan dan Kebersihan: Pastikan bahwa area akses dialisis tetap bersih dan kering.
Jaga kebersihan kulit dengan membersihkannya secara teratur menggunakan cairan
pembersih antiseptik yang direkomendasikan oleh tenaga medis.
6. Catat dan laporkan temuan: Pastikan untuk mencatat semua temuan pengkajian kulit
secara rinci dalam catatan medis pasien. Jika Anda menemukan tanda-tanda infeksi atau
perubahan yang mencurigakan, segera laporkan kepada tenaga medis yang bertanggung
jawab.

KUK 1.4 = MELAKUKAN INTERPRETASI PADA PASIEN BARU : SCREENING


INFORMED CONSENT, AKSES DIALYSIS DAN TRAVELING DIALYSIS
1. Screening Informed Consent: Informed consent adalah proses di mana pasien diberikan
informasi tentang suatu prosedur medis atau intervensi, termasuk manfaat, risiko, dan
alternatifnya. Screening informed consent mengacu pada proses ini khususnya dalam
konteks penyaringan (screening) untuk suatu kondisi medis. Sebelum menjalani suatu
penyaringan, pasien harus mendapatkan penjelasan yang memadai tentang tujuan,
prosedur, manfaat, risiko, dan konsekuensi dari penyaringan tersebut. Pasien kemudian
memberikan persetujuan informasional (informed consent) secara sukarela setelah
mereka memahami informasi tersebut.
2. Akses Dialisis: Dialisis adalah proses penggantian fungsi ginjal untuk menghilangkan
limbah dan kelebihan cairan dari tubuh ketika ginjal tidak dapat melakukannya secara
efektif. Akses dialisis adalah tempat di tubuh pasien yang dihubungkan dengan mesin
dialisis dan digunakan untuk mengalirkan darah ke mesin tersebut. Akses dialisis
biasanya dapat berupa arteriovenous fistula (AVF), arteriovenous graft (AVG), atau
kateter vena sentral.

AVF adalah hubungan langsung antara arteri dan vena yang dibuat melalui operasi bedah.
AVG adalah tabung sintetis yang menghubungkan arteri dan vena. Keduanya
membutuhkan waktu untuk penyembuhan sebelum dapat digunakan secara efektif.
Kateter vena sentral adalah tabung yang dimasukkan ke dalam vena besar, biasanya di
leher atau dada, dan dapat digunakan segera setelah pemasangan.

Akses dialisis yang baik sangat penting untuk memastikan bahwa pasien dapat menjalani sesi
dialisis dengan aman dan efektif. Pemilihan akses dialisis yang sesuai akan bergantung
pada kondisi pasien dan evaluasi medis yang dilakukan oleh dokter.

3. Traveling Dialysis: Traveling dialysis mengacu pada situasi ketika seseorang yang
menjalani dialisis perlu melakukan perjalanan jauh atau bepergian ke luar daerah tempat
dia tinggal. Ini bisa menjadi tantangan karena dialisis adalah prosedur yang
membutuhkan perawatan rutin dan terjadwal.
KUK 1.5 = MELAKUKAN PENGKAJIAN PSIKO, SOSIAL, SPIRITUAL
Berikut ini adalah beberapa aspek yang dapat dipertimbangkan dalam pengkajian pada pasien
dialysis tersebut:

1. Pengkajian Psikologis:
 Riwayat kesehatan mental: Menilai riwayat masalah kesehatan mental pasien sebelumnya,
seperti depresi, kecemasan, atau gangguan mood, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
emosional mereka selama menjalani dialisis.
 Gejala psikologis saat ini: Menilai gejala seperti kecemasan, depresi, kelelahan, perubahan
suasana hati, atau kesulitan tidur yang mungkin dialami pasien sehubungan dengan
kondisi dialisis mereka.
 Adaptasi terhadap perawatan dialisis: Menilai sejauh mana pasien beradaptasi dengan
perawatan dialisis, termasuk tingkat keterlibatan dan kepatuhan terhadap jadwal dialisis,
serta pemahaman mereka tentang kondisi dan proses perawatan dialisis.
2. Pengkajian Sosial:
 Dukungan sosial: Menilai tingkat dukungan sosial yang diterima oleh pasien dari keluarga,
teman, atau komunitas. Hal ini dapat meliputi tingkat keterlibatan keluarga dalam
perawatan dialisis, dukungan emosional, dan dukungan praktis seperti dukungan
transportasi atau bantuan dalam mengatur jadwal dialisis.
 Faktor sosial ekonomi: Menilai kondisi sosial dan ekonomi pasien, seperti pekerjaan,
akses terhadap fasilitas kesehatan, dukungan keuangan, dan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
 Perubahan sosial: Menilai dampak perawatan dialisis terhadap kehidupan sosial pasien,
termasuk perubahan dalam interaksi sosial, partisipasi dalam kegiatan sosial, dan
kemampuan untuk menjalani gaya hidup yang diinginkan.
3. Pengkajian Spiritual:
 Keyakinan agama atau spiritual: Menilai keyakinan agama atau spiritual pasien, sejauh
mana keyakinan tersebut mempengaruhi persepsi mereka tentang penyakit dan
penyembuhan, dan apakah keyakinan tersebut memberikan dukungan dan ketenangan
selama perawatan dialisis.
 Praktik spiritual: Menilai apakah pasien terlibat dalam praktik spiritual atau agama
tertentu, seperti doa, meditasi, atau partisipasi dalam kegiatan keagamaan yang mungkin
membantu mereka dalam menjalani perawatan dialisis.
 Dukungan spiritual: Menilai apakah pasien merasa memiliki dukungan dan koneksi
dengan dimensi spiritual atau agama, dan apakah hal tersebut memberikan kekuatan dan
ketenangan dalam menghadapi tantangan yang terkait dengan dialisis.

KUK 1.6 = MENENTUKAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN PADA PASIEN DIALYSIS


BIOPSIKOSOSIAL SPIRITUAL
Berikut adalah beberapa contoh diagnosis keperawatan yang mungkin relevan:

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh:


 Alasan: Kondisi dialisis yang mempengaruhi penyerapan nutrisi, batasan diet, gangguan
mual/muntah, atau kehilangan nafsu makan.
 Intervensi: Monitor status nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyusun rencana diet
yang sesuai, memberikan edukasi tentang pentingnya nutrisi yang adekuat.
2. Ansietas berhubungan dengan perawatan dialisis:
 Alasan: Proses dialisis yang menimbulkan kecemasan, perasaan terbatasnya kendali, atau
kekhawatiran terhadap komplikasi.
 Intervensi: Memberikan dukungan emosional, melibatkan pasien dalam perencanaan
perawatan, edukasi tentang proses dialisis, teknik relaksasi, dan mengarahkan pasien ke
sumber dukungan lainnya.
3. Kurangnya pengetahuan tentang perawatan dialisis:
 Alasan: Pasien mungkin belum memahami prosedur dialisis, risiko dan manfaatnya, atau
perawatan yang tepat setelah dialisis.
 Intervensi: Memberikan edukasi yang komprehensif tentang perawatan dialisis,
menjelaskan prosedur, memberikan informasi tentang tanda-tanda komplikasi yang perlu
diperhatikan, dan menawarkan panduan tertulis jika diperlukan.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan dialisis:
 Alasan: Pasien mungkin mengalami kesulitan tidur akibat perasaan tidak nyaman selama
prosedur dialisis, perubahan rutinitas tidur, atau kekhawatiran terkait penyakit ginjal.
 Intervensi: Membantu menciptakan lingkungan tidur yang nyaman, memberikan dukungan
psikososial, memberikan edukasi tentang pentingnya tidur yang cukup, dan mengajarkan
teknik relaksasi sebelum tidur.
5. Koping yang tidak efektif berhubungan dengan perubahan dalam kesehatan:
 Alasan: Pasien mungkin mengalami kesulitan dalam mengatasi perubahan gaya hidup,
stres, atau kecemasan yang terkait dengan kondisi dialisis.
 Intervensi: Membantu pasien mengidentifikasi strategi koping yang efektif, memberikan
dukungan emosional, mengajarkan teknik relaksasi atau meditasi, dan mengarahkan
pasien ke sumber dukungan yang tepat.

Diagnosis keperawatan yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan
karakteristik individu pasien dialisis.

KUK 1.7 = MERENCANAKAN ASUHAN KEPERAWATAN TERKAIT PENGKAJIAN


PSIKO, SOSIO, SPIRITUAL DAN KULTURAL PADA PASIEN DIALYSIS
Berikut adalah contoh perencanaan asuhan keperawatan yang dapat berkaitan dengan pengkajian
psiko, sosial, spiritual, dan kultural pada pasien dialisis:

1. Tujuan:
 Meningkatkan kesejahteraan psikologis pasien dengan meningkatkan mekanisme koping
dan pengelolaan stres.
 Meningkatkan dukungan sosial pasien dengan memperluas jaringan dukungan dan
keterlibatan keluarga.
 Meningkatkan kesejahteraan spiritual pasien dengan menghormati dan mendukung
keyakinan dan praktik spiritual mereka.
 Menghormati dan memahami nilai-nilai dan kepercayaan budaya pasien dalam perawatan
mereka.
2. Intervensi:

A. Psikologis:

 Lakukan evaluasi kesejahteraan psikologis secara berkala dan identifikasi perubahan gejala
atau penurunan koping.
 Berikan pendidikan dan dukungan emosional kepada pasien dalam menghadapi perubahan
hidup yang disebabkan oleh kondisi dialisis.
 Ajarkan teknik relaksasi, meditasi, atau pernapasan dalam untuk membantu mengurangi
kecemasan dan meningkatkan kesejahteraan psikologis.
 Kolaborasi dengan tim perawatan untuk memastikan pasien mendapatkan perawatan
psikologis tambahan jika diperlukan.

B. Sosial:

 Identifikasi dan jalin hubungan dengan jaringan dukungan sosial pasien, termasuk keluarga,
teman, atau kelompok dukungan.
 Berikan dukungan dan edukasi kepada keluarga pasien tentang penyakit ginjal dan perawatan
dialisis.
 Bantu pasien dalam mengakses sumber daya komunitas yang relevan, seperti kelompok
dukungan pasien dialisis atau program pendidikan kesehatan.
 Kembangkan rencana pemulangan yang mempertimbangkan dukungan sosial yang
diperlukan pasien setelah keluar dari rumah sakit atau pusat dialisis.

C. Spiritual:

 Dengarkan dan hargai keyakinan agama atau spiritual pasien dan berikan dukungan yang
sesuai dengan kepercayaan mereka.
 Bantu pasien dalam menemukan sumber dukungan spiritual yang tepat, seperti imam, pendeta,
atau pemimpin spiritual lainnya.
 Sediakan lingkungan yang tenang dan nyaman untuk refleksi atau doa pribadi pasien.
 Kolaborasi dengan tim perawatan untuk memastikan kebutuhan spiritual pasien terpenuhi.

D. Kultural:

 Kenali dan hormati nilai-nilai, kepercayaan, dan praktik budaya pasien dalam perawatan
mereka.
 Libatkan keluarga pasien dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan perawatan.
 Berkomunikasi dengan pasien dengan bahasa dan penjelasan yang sesuai dengan latar
belakang budaya mereka.
 Jika perlu, fasilitasi konsultasi dengan penasihat budaya atau penyedia layanan interpretasi.
3. Evaluasi:
 Monitor perubahan dalam kesejahteraan psikologis, sosial, spiritual, dan kultural pasien
secara teratur.
 Evaluasi keefektifan intervensi yang dilakukan dan lakukan penyesuaian jika diperlukan.
 Dapatkan umpan balik dari pasien dan keluarga mengenai kepuasan dan keefektifan
perawatan yang diberikan.
 Kolaborasi dengan tim perawatan lainnya untuk memantau dan mengevaluasi aspek-aspek
non-medis dari perawatan pasien.

Perencanaan asuhan keperawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi individu
pasien, serta mempertimbangkan kondisi dan sumber daya yang tersedia. Penting untuk
berkolaborasi dengan tim perawatan multidisiplin, termasuk dokter, perawat, ahli gizi, dan
tenaga kesehatan lainnya, untuk memberikan perawatan yang holistik dan terkoordinasi kepada
pasien dialisis.

ELEMEN 2 =
MELAKUKAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM
MELAKSANAKAN TINDAKAN KEPERAWATAN
KUK 2.1 Melakukan dukungan pengambilan keputusan
strategi untuk memberikan dukungan pengambilan keputusan kepada pasien dan menjalankan
komunikasi interpersonal yang efektif dalam praktik keperawatan:

1. Dukungan Pengambilan Keputusan:


 Berikan informasi yang jelas dan komprehensif kepada pasien tentang pilihan perawatan
yang tersedia, manfaat, risiko, dan konsekuensinya.
 Dorong pasien untuk berbagi kekhawatiran, nilai-nilai, dan preferensi mereka terkait
dengan perawatan yang akan diambil.
 Bantu pasien memahami implikasi dari setiap pilihan, serta bantu mereka memperoleh
pengetahuan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang informasional.
 Berikan waktu yang cukup bagi pasien untuk mempertimbangkan pilihan perawatan dan
diskusikan bersama keluarga atau orang-orang yang mereka percayai.
 Dukung pasien dalam mengambil keputusan yang konsisten dengan nilai-nilai dan
preferensi mereka sendiri.
2. Komunikasi Interpersonal:
 Gunakan pendekatan yang empatik dan terbuka dalam berkomunikasi dengan pasien.
Dengarkan dengan cermat dan tunjukkan minat pada kekhawatiran dan kebutuhan
mereka.
 Gunakan bahasa yang jelas dan sederhana dalam menjelaskan informasi medis atau
perawatan yang kompleks.
 Sediakan lingkungan yang nyaman dan privasi bagi pasien untuk berbicara dengan jujur
dan terbuka.
 Berikan kesempatan bagi pasien untuk mengajukan pertanyaan dan berikan tanggapan
yang jelas dan jujur.
 Bekerja sama dengan pasien dan keluarga dalam menyusun rencana perawatan yang
mencerminkan preferensi dan kebutuhan mereka.
3. Kolaborasi Tim:
 Libatkan tim perawatan multidisiplin, termasuk dokter, perawat, ahli gizi, dan spesialis
lainnya dalam diskusi dan pengambilan keputusan perawatan.
 Komunikasikan informasi yang relevan dan penting kepada tim perawatan secara teratur,
baik secara lisan maupun tertulis.
 Aktif terlibat dalam pertukaran informasi dan pembaruan status pasien dengan anggota
tim perawatan lainnya.
 Kembangkan hubungan kerja yang saling menghormati dan mendukung dengan tim
perawatan untuk meningkatkan perawatan pasien secara keseluruhan.

KUK 2.2 Melakukan peningkatan keterlibatan keluarga


Berikut adalah beberapa strategi untuk meningkatkan keterlibatan keluarga dan menjalankan
komunikasi interpersonal yang efektif dalam melaksanakan tindakan keperawatan :
1. Membangun Hubungan:
 Kenali dan hargai keluarga sebagai anggota penting dalam perawatan pasien. Sambut
mereka dengan ramah, hormati, dan empati.
 Sediakan waktu yang cukup untuk mendengarkan keluhan, pertanyaan, atau
kekhawatiran yang mereka miliki.
 Bangun hubungan saling percaya dengan keluarga pasien, dan tekankan bahwa
kolaborasi adalah kunci dalam perawatan pasien yang terbaik.
2. Komunikasi Terbuka:
 Sediakan informasi yang jelas dan komprehensif kepada keluarga tentang kondisi pasien,
rencana perawatan, dan kemajuan yang dicapai.
 Gunakan bahasa yang mudah dipahami dan hindari menggunakan terminologi medis
yang rumit.
 Jadwalkan waktu reguler untuk bertemu dengan keluarga, baik secara langsung maupun
melalui komunikasi elektronik atau telepon, untuk memperbarui informasi dan
mendengarkan pertanyaan atau kekhawatiran mereka.
3. Edukasi Keluarga:
 Berikan edukasi kepada keluarga tentang perawatan harian yang diperlukan, termasuk
perawatan luka, pengelolaan obat, atau perubahan diet.
 Latih keluarga dalam keterampilan perawatan khusus yang diperlukan untuk mendukung
pasien, seperti pemasangan kateter atau perawatan akses dialisis.
 Sediakan materi edukatif tertulis atau sumber daya tambahan yang dapat membantu
keluarga dalam memahami dan menjalankan peran perawatan mereka.
4. Libatkan Keluarga dalam Pengambilan Keputusan:
 Undang keluarga untuk berpartisipasi dalam diskusi dan pengambilan keputusan terkait
perawatan pasien.
 Berikan penjelasan yang jelas tentang opsi perawatan yang tersedia dan manfaat serta
risikonya.
 Dengarkan dan hormati pandangan, nilai-nilai, dan preferensi keluarga dalam
pengambilan keputusan perawatan.
5. Dukungan Emosional:
 Berikan dukungan emosional kepada keluarga pasien yang mungkin mengalami stres,
kekhawatiran, atau perasaan cemas terkait kondisi pasien.
 Sediakan ruang untuk mereka berbagi perasaan dan pengalaman, dan tawarkan dukungan
melalui sumber daya kesehatan mental atau kelompok dukungan jika diperlukan.
 Tunjukkan empati dan perhatian kepada keluarga, dan berikan dorongan serta penguatan
dalam peran mereka sebagai pendukung pasien.

KUK 2.3 Melakukan pemberian dukungan emosional


strategi untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien dalam praktik keperawatan:
1. Dengarkan dengan Empati:
 Dengarkan pasien dengan penuh perhatian dan empati. Berikan waktu yang cukup bagi
mereka untuk berbicara dan berbagi perasaan, kekhawatiran, atau kekhawatiran yang
mereka miliki.
 Gunakan bahasa tubuh yang menunjukkan ketertarikan, seperti kontak mata, anggukan
kepala, dan ekspresi wajah yang mendukung.
 Hindari interupsi atau menggeser topik pembicaraan yang tidak relevan. Biarkan pasien
mengekspresikan diri sepenuhnya.
2. Beri Dukungan dan Penguatan:
 Validasi perasaan dan pengalaman pasien. Tunjukkan bahwa Anda memahami dan
menghargai apa yang mereka rasakan.
 Gunakan kata-kata yang mendukung dan positif untuk menguatkan pasien. Berikan
pujian dan dorongan saat mereka menghadapi tantangan atau mencapai tujuan dalam
perawatan mereka.
 Sampaikan harapan dan keyakinan Anda pada kemampuan pasien untuk menghadapi dan
mengatasi kesulitan.
3. Sediakan Informasi dan Edukasi:
 Berikan informasi yang akurat dan jelas kepada pasien tentang kondisi mereka dan
prosedur atau perawatan yang akan dilakukan. Hal ini dapat mengurangi kecemasan dan
memberikan rasa kontrol kepada pasien.
 Ajarkan pasien tentang tanda-tanda dan gejala yang harus diperhatikan, serta cara
mengelola efek samping atau komplikasi yang mungkin muncul.
 Berikan sumber daya atau materi edukatif tertulis yang dapat membantu pasien dan
keluarga dalam memahami kondisi dan perawatan yang terkait.
4. Jaga Komunikasi Terbuka:
 Sediakan waktu untuk menjawab pertanyaan dan kekhawatiran pasien dengan jelas dan
jujur.
 Beri tahu pasien bahwa mereka dapat menghubungi Anda jika ada perubahan atau
kekhawatiran tambahan yang muncul setelah perawatan.
 Pastikan pasien merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah emosional atau
psikologis yang mungkin timbul akibat kondisi atau perawatan mereka.
5. Rujuk ke Sumber Dukungan Tambahan:
 Jika perlu, rujuk pasien ke layanan dukungan psikososial, konselor, atau kelompok
dukungan untuk mendapatkan dukungan tambahan.
 Bekerja sama dengan tim perawatan multidisiplin, termasuk tenaga medis dan profesional
kesehatan mental, untuk memberikan perawatan yang holistik kepada pasien.

ELEMEN 3 : MENERAPKAN PRINSIP ETIKA DALAM KEPERAWATAN


KUK 3.1 Apa yang dilakukan untuk melakukan advokasi pada pasien dialysis ?
Advokasi pada pasien dialisis adalah proses memberikan dukungan, melindungi hak-hak, dan
memperjuangkan kepentingan pasien yang menjalani terapi dialisis. Pasien dialisis seringkali
menghadapi tantangan fisik, emosional, dan finansial yang kompleks, oleh karena itu, advokasi
menjadi sangat penting untuk membantu mereka mendapatkan perawatan yang terbaik dan
mendukung kualitas hidup yang lebih baik. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat
dilakukan untuk melakukan advokasi pada pasien dialisis:

1. Pendidikan dan Informasi: Edukasi pasien tentang kondisi mereka, prosedur dialisis, dan pilihan
perawatan lainnya adalah langkah awal yang penting. Pastikan pasien memahami kondisinya,
risiko, manfaat, dan alternatif perawatan yang mungkin tersedia.
2. Dukungan Emosional: Dukungan emosional sangat penting untuk pasien dialisis karena kondisi
mereka bisa mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Dengarkan perasaan dan
kekhawatiran mereka, dan berikan dukungan secara penuh.
3. Pemenuhan Hak-Hak Pasien: Pastikan hak-hak pasien dialisis dihormati dan dilindungi. Ini
mencakup hak untuk mendapatkan perawatan yang tepat, privasi, akses informasi medis, dan
konsultasi kedokteran yang tepat.
4. Membantu Navigasi Sistem Kesehatan: Bantu pasien dialisis dalam menghadapi birokrasi sistem
kesehatan. Bisa jadi mereka membutuhkan bantuan untuk mengajukan klaim asuransi,
mendapatkan izin rawat inap, atau mengakses program bantuan keuangan.
5. Berkomunikasi dengan Tim Medis: Jalin hubungan yang baik dengan tim medis yang merawat
pasien dialisis, termasuk dokter, perawat, ahli gizi, dan spesialis lainnya. Pastikan ada
komunikasi yang lancar dan terbuka mengenai kondisi pasien dan rencana perawatan.
6. Mengatasi Masalah Perawatan: Jika ada masalah dalam perawatan atau kekhawatiran terkait
kualitas perawatan, ajukan pertanyaan atau sampaikan keluhan kepada tim medis. Bantu pasien
untuk mengatasi hambatan dalam mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
7. Edukasi Masyarakat: Ikut serta dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang
kondisi dialisis dan pentingnya dukungan bagi pasien. Edukasi publik dapat membantu
mengurangi stigmatisasi dan meningkatkan dukungan sosial untuk pasien dialisis.
8. Mendorong Advokasi Diri: Dorong pasien dialisis untuk menjadi advokat diri mereka sendiri.
Ajarkan mereka cara bertanya, mencari informasi, dan berbicara dengan jelas tentang kebutuhan
perawatan mereka.
9. Mendukung Kebijakan dan Undang-Undang yang Pro-Pasien: Bergabung dengan kelompok
advokasi atau mendukung kebijakan dan undang-undang yang mendukung hak-hak dan
kepentingan pasien dialisis.

Advokasi pada pasien dialisis merupakan upaya kolaboratif untuk meningkatkan perawatan dan
kualitas hidup pasien. Dalam melakukan advokasi, selalu prioritaskan kepentingan dan
kesejahteraan pasien di atas segalanya.

KUK 3.2 Mengidentifikasi dilemma etik pada pasien dialisis


Pengobatan pasien dialisis menghadapi sejumlah dilema etik yang kompleks dan menantang.
Berikut adalah beberapa contoh dilemma etik yang sering muncul pada pasien dialisis:

1. Akses Terbatas: Salah satu dilema etik yang umum dalam perawatan pasien dialisis adalah
keterbatasan sumber daya dan akses terhadap layanan dialisis. Di beberapa negara atau wilayah,
ada keterbatasan fasilitas dialisis, sumber daya medis, atau jaminan kesehatan yang
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mendapatkan perawatan yang optimal. Hal ini
menyebabkan pertanyaan moral tentang distribusi sumber daya dan keadilan dalam akses
perawatan bagi pasien dengan penyakit ginjal.
2. Penghentian Perawatan: Saat pasien dialisis mengalami kondisi kesehatan yang semakin buruk
dan prognosisnya tidak menguntungkan, pertanyaan etis muncul mengenai apakah perawatan
dialisis harus diteruskan atau dihentikan. Keputusan ini melibatkan pertimbangan berat antara
menjaga hidup pasien dan menghormati kehendak pasien dalam hal penghentian perawatan.
3. Opsi Pengganti Ginjal: Pasien dialisis seringkali menghadapi keputusan tentang apakah mereka
akan mencari donor ginjal untuk transplantasi atau tetap bergantung pada dialisis. Keputusan ini
melibatkan pertimbangan etis tentang pilihan terbaik bagi pasien, risiko dan manfaat
transplantasi, serta isu-isu terkait keadilan dalam distribusi organ donor.
4. Kualitas Hidup vs. Kuantitas Hidup: Pasien dialisis mungkin dihadapkan pada dilema antara
meningkatkan kualitas hidup mereka melalui perawatan paliatif atau mempertahankan kuantitas
hidup melalui perawatan dialisis yang intensif. Keputusan ini sering kali melibatkan diskusi etis
tentang nilai hidup dan preferensi pasien.
5. Keputusan atas Nama Pasien: Pasien dialisis mungkin menghadapi situasi di mana mereka tidak
mampu berkomunikasi atau membuat keputusan medis sendiri. Ini menimbulkan dilema etis bagi
keluarga atau wali untuk memutuskan tentang perawatan dan keputusan medis atas nama pasien.
6. Etika Pencatatan Transplantasi: Di beberapa wilayah, masalah etika muncul terkait pendaftaran
dan penilaian calon penerima transplantasi ginjal. Pertanyaan tentang kriteria prioritas,
diskriminasi, dan keterwakilan etnis dalam daftar tunggu menjadi perhatian penting.
7. Pemberdayaan Pasien: Dalam perawatan dialisis, penting untuk menghargai otonomi dan
pemberdayaan pasien dalam pengambilan keputusan terkait perawatan mereka. Namun, ada
situasi di mana pasien mungkin menghadapi tekanan dari keluarga atau tim medis dalam
membuat keputusan, sehingga menghadirkan pertanyaan etis tentang keadilan dan kebebasan
dalam pengambilan keputusan.

Dilema etik ini menunjukkan betapa kompleksnya perawatan pasien dialisis dan pentingnya
penerapan pendekatan etis yang cermat dalam mengatasi masalah-masalah ini. Tim medis,
keluarga, dan pasien harus berkolaborasi untuk menemukan solusi yang terbaik dengan
mempertimbangkan nilai-nilai etis dan kepentingan pasien.

ELEMEN 4 : MENERAPKAN PRINSIP-PRINSIP PENCEGAHAN INFEKSI RUMAH


SAKIT
KUK 4.1 Melaksanakan bundle HAIs di ruang hemodialisa
Melaksanakan bundle HAIs pada pasien hemodialisis adalah langkah penting untuk mencegah
infeksi yang terkait dengan prosedur dialisis. Pasien hemodialisis berisiko tinggi mengalami
infeksi karena mereka seringkali memiliki akses vaskular yang dapat menjadi pintu masuk bagi
kuman. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk melaksanakan bundle HAIs
pada pasien hemodialisis:

1. Kebersihan Tangan: Pastikan semua petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien
hemodialisis selalu mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau peralatan
medis. Penggunaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) juga dapat dilakukan jika mencuci
tangan dengan sabun dan air tidak memungkinkan.
2. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Petugas kesehatan harus menggunakan alat pelindung
diri, seperti sarung tangan, masker, dan pelindung wajah, saat melakukan tindakan yang
berhubungan dengan darah atau cairan tubuh pasien.
3. Aseptik saat Pemasangan dan Perawatan Akses Vaskular: Pastikan aseptik yang ketat
dipraktikkan saat memasang kateter vaskular atau merawat akses vaskular pasien, seperti kateter
AV fistula atau AV graft. Pemeliharaan dan pemeriksaan rutin terhadap akses vaskular harus
dilakukan untuk menghindari infeksi.
4. Penggunaan Cairan Dialisis yang Aman: Pastikan cairan dialisis yang digunakan adalah steril
dan bebas kontaminasi. Gunakan cairan dialisis yang telah diuji dan disetujui oleh otoritas
terkait.
5. Penggunaan Cairan Desinfeksi: Bersihkan permukaan peralatan dialisis dan area kerja dengan
cairan desinfeksi yang tepat dan aman untuk mengurangi risiko kontaminasi silang.
6. Penggunaan Antibiotik Secara Rasional: Pastikan penggunaan antibiotik untuk pasien
hemodialisis didasarkan pada pedoman dan panduan penggunaan antibiotik yang rasional. Hal
ini dapat membantu mencegah resistensi bakteri dan infeksi terkait antibiotik.
7. Pengendalian Infeksi Lingkungan: Lakukan pembersihan dan disinfeksi rutin pada lingkungan
sekitar tempat dialisis untuk menjaga kebersihan dan mencegah penyebaran kuman.
8. Edukasi Pasien: Edukasi pasien dan keluarga tentang tindakan pencegahan infeksi, tanda-tanda
infeksi yang perlu diwaspadai, dan pentingnya kepatuhan terhadap protokol bundle HAIs.
9. Pemantauan dan Pelaporan: Lakukan pemantauan secara rutin terhadap angka infeksi dan
kepatuhan bundle HAIs di unit hemodialisis. Lakukan pelaporan setiap kali terjadi infeksi atau
kegagalan dalam melaksanakan tindakan pencegahan.
10. Kolaborasi Tim Medis: Seluruh tim medis yang terlibat dalam perawatan pasien hemodialisis
harus bekerja sama untuk memastikan penerapan bundle HAIs yang efektif dan mengidentifikasi
area perbaikan jika diperlukan.

Melaksanakan bundle HAIs pada pasien hemodialisis akan membantu menjaga keselamatan
pasien dan mengurangi risiko infeksi yang seringkali menjadi komplikasi serius pada populasi
pasien ini.
4. 2 Melakukan kontrol infeksi akses dialisis
Kontrol infeksi akses dialisis merupakan langkah penting dalam upaya mencegah infeksi pada
pasien yang menjalani terapi dialisis. Akses dialisis adalah jalur yang digunakan untuk
menghubungkan tubuh pasien dengan mesin dialisis. Akses ini bisa berupa kateter vaskular
(central venous catheter), arteriovenous (AV) fistula, atau AV graft.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan kontrol infeksi pada
akses dialisis:

1. Kebersihan Tangan: Petugas kesehatan yang menangani akses dialisis harus selalu mencuci
tangan dengan sabun dan air atau menggunakan cairan pembersih tangan (hand sanitizer)
sebelum dan setelah melakukan prosedur pada akses dialisis.
2. Sterilisasi Peralatan: Pastikan semua peralatan yang digunakan untuk merawat atau memasang
akses dialisis telah disterilkan dengan benar sebelum digunakan. Peralatan yang tidak steril dapat
menjadi sumber infeksi.
3. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan,
masker, dan pelindung wajah saat merawat atau memasang akses dialisis untuk mencegah
penyebaran kuman.
4. Pemeliharaan Rutin: Lakukan pemeliharaan rutin dan perawatan akses dialisis sesuai dengan
panduan dan protokol yang telah ditetapkan. Periksa akses secara teratur untuk mendeteksi
perubahan atau masalah yang mungkin.
5. Cegah Kontaminasi: Pastikan area sekitar akses dialisis tetap bersih dan steril. Hindari
menyentuh akses dengan tangan yang kotor atau benda-benda lain yang berpotensi kontaminasi.
6. Edukasi Pasien: Berikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan akses
dialisis, perawatan yang benar, dan tanda-tanda infeksi yang perlu segera dilaporkan kepada tim
medis.
7. Antibiotik Proflaksis: Dalam beberapa situasi tertentu, seperti pemasangan kateter vaskular,
pemberian antibiotik profilaksis dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko infeksi.
8. Penggunaan Cairan Desinfeksi: Gunakan cairan desinfeksi yang tepat untuk membersihkan kulit
sekitar akses dialisis sebelum melakukan prosedur.
9. Pemantauan dan Pelaporan: Lakukan pemantauan rutin terhadap akses dialisis untuk mendeteksi
infeksi atau perubahan yang mencurigakan. Selalu laporkan infeksi atau masalah terkait akses
kepada tim medis.
10. Kepatuhan Protokol: Pastikan semua petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan akses
dialisis mengikuti protokol dan pedoman yang telah ditetapkan untuk kontrol infeksi.

Kontrol infeksi akses dialisis merupakan upaya kolaboratif yang melibatkan seluruh tim medis,
pasien, dan keluarga. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan dapat mengurangi
risiko infeksi dan meningkatkan keselamatan pasien selama terapi dialisis.
ELEMEN 5. MENCIPTAKAN DAN MEMELIHARA LINGKUNGAN KEPERAWATAN
YANG AMAN DAN NYAMAN MELALUI JAMINAN KUALITAS DAN MANAJEMEN
RISIKO
KUK 5.1 MELAKUKAN MANAJEMEN INFEKSI PADA PERITONEAL DIALISIS:
PERAWATAN EXIT SITE, PENGAMBILAN DARAH SEMPEL CAIRAN DIANEAL,
PEMBERIAN ANTIBIOTIC
Manajemen infeksi pada peritoneal dialisis (PD) melibatkan serangkaian tindakan untuk
mencegah dan mengobati infeksi terkait prosedur PD. Beberapa langkah penting dalam
manajemen infeksi PD meliputi:

1. Perawatan Exit Site:


 Rutin membersihkan dan merawat exit site (tempat keluar kateter PD) dengan cairan
pembersih antiseptik yang sesuai, seperti povidone iodine atau klorheksidin. Hal ini
membantu mencegah infeksi di sekitar exit site.
 Mengganti perban exit site secara teratur dan mengawasi tanda-tanda infeksi, seperti
kemerahan, bengkak, atau keluar cairan berwarna atau berbau tidak biasa.
2. Pengambilan Sampel Cairan Dianeal:
 Pastikan semua peralatan yang digunakan untuk pengambilan sampel cairan Dianeal
bersih dan steril.
 Ambil sampel cairan Dianeal sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, hindari
kontaminasi selama proses pengambilan sampel.
3. Pemberian Antibiotik:
 Penggunaan antibiotik dalam PD dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan atau
pengobatan tergantung pada kondisi pasien.
 Jika ada tanda-tanda infeksi atau peritonitis (infeksi pada rongga perut), dokter mungkin
meresepkan antibiotik untuk mengobati infeksi tersebut. Pastikan antibiotik diberikan
sesuai dosis dan jangka waktu yang tepat.
4. Kebersihan Tangan:
 Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air atau menggunakan cairan pembersih tangan
sebelum melakukan prosedur PD, seperti mengganti cairan dialisis atau merawat exit site.
5. Sterilisasi Cairan Dialisis:
 Pastikan cairan dialisis yang digunakan dalam PD adalah steril dan bebas kontaminasi
untuk menghindari infeksi yang disebabkan oleh cairan yang terkontaminasi.
6. Kepatuhan Terhadap Protokol:
 Seluruh tim medis dan pasien harus patuh terhadap protokol dan pedoman yang
ditetapkan untuk manajemen infeksi PD. Edukasi pasien tentang langkah-langkah
pencegahan infeksi juga penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pasien.
7. Pemantauan dan Pelaporan:
 Lakukan pemantauan secara rutin terhadap exit site, cairan Dianeal, dan tanda-tanda
infeksi pada pasien PD. Laporkan setiap kejadian infeksi atau masalah terkait pada tim
medis untuk penanganan lebih lanjut.

Manajemen infeksi yang baik pada peritoneal dialisis sangat penting untuk memastikan
keselamatan dan kualitas hidup pasien PD. Dengan menjaga kebersihan, menerapkan tindakan
pencegahan infeksi, dan memberikan perawatan yang tepat, risiko infeksi dapat diminimalkan
dan perawatan PD dapat berjalan lebih efektif.

Melakukan dekontaminasi mesin hemodialisa


Dekontaminasi mesin hemodialisis adalah proses penting untuk membersihkan dan
menghilangkan kontaminan atau kuman dari mesin hemodialisis guna mencegah penyebaran
infeksi dan memastikan keselamatan pasien. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam
melakukan dekontaminasi mesin hemodialisis:
1. Baca Panduan dan Petunjuk Mesin: Pastikan Anda telah membaca dan memahami
petunjuk dan panduan pabrik dari mesin hemodialisis yang Anda gunakan. Setiap mesin
mungkin memiliki prosedur dekontaminasi yang sedikit berbeda.
2. Persiapkan Peralatan dan Bahan: Siapkan semua peralatan dan bahan yang diperlukan
untuk dekontaminasi, termasuk bahan kimia pembersih yang sesuai, sarung tangan,
masker, dan pelindung wajah.
3. Matikan dan Bersihkan Mesin: Pastikan mesin hemodialisis dalam kondisi mati sebelum
memulai proses dekontaminasi. Bersihkan permukaan mesin dengan lap bersih atau kain
yang telah dibasahi dengan pembersih yang sesuai untuk menghilangkan debu atau
kotoran.
4. Pembersihan Internal Mesin: Ikuti petunjuk pabrik untuk membersihkan bagian dalam
mesin hemodialisis. Ini mungkin melibatkan penggunaan larutan pembersih khusus dan
alat bantu untuk membersihkan saluran atau bagian tertentu.
5. Sterilisasi Bagian yang Kontak Darah: Pastikan bagian mesin yang berhubungan
langsung dengan darah, seperti filter, selang, dan perangkat lainnya, dibersihkan dan
disterilkan sesuai dengan panduan pabrik.
6. Cuci dan Bilas Mesin: Setelah membersihkan mesin, lakukan proses cuci dan bilas
menggunakan air steril atau larutan pembersih untuk memastikan tidak ada sisa bahan
kimia yang berbahaya bagi pasien.
7. Verifikasi Kembali: Pastikan semua langkah dekontaminasi telah dilakukan dengan benar
dan sesuai panduan pabrik mesin hemodialisis.
8. Pelaporan dan Dokumentasi: Setelah selesai melakukan dekontaminasi, pastikan untuk
mencatat semua langkah yang telah dilakukan dalam proses dekontaminasi. Ini penting
untuk tujuan pelaporan dan audit.
9. Pemeriksaan Rutin: Lakukan pemeriksaan rutin dan pemeliharaan mesin hemodialisis
untuk memastikan mesin tetap berfungsi dengan baik dan aman untuk digunakan.
10. Edukasi Tim Medis: Berikan pelatihan dan edukasi yang sesuai kepada tim medis yang
bertanggung jawab atas perawatan dan dekontaminasi mesin hemodialisis.
Dekontaminasi mesin hemodialisis harus dilakukan dengan cermat dan tepat sesuai prosedur
yang telah ditetapkan. Ini membantu memastikan bahwa pasien menerima perawatan yang aman
dan bebas dari risiko infeksi yang dapat berasal dari mesin hemodialisis.
Melakukan monitoring dan tindak lanjut hasil pemeriksaan kualitas air R0 (fisika, kimia,
mikrobiologi, dan endotoksin)

Monitoring dan tindak lanjut hasil pemeriksaan kualitas air R0 (Reverse Osmosis) pada sistem
hemodialisis sangat penting untuk memastikan bahwa air yang digunakan dalam prosedur
dialisis aman dan bebas dari kontaminan yang dapat membahayakan kesehatan pasien. Berikut
adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam melakukan monitoring dan tindak lanjut
terhadap hasil pemeriksaan kualitas air R0:

1. Penjadwalan Pemeriksaan Rutin: Tentukan jadwal pemeriksaan rutin untuk menguji kualitas
air R0 sesuai dengan pedoman dan panduan yang telah ditetapkan. Pemeriksaan ini harus
dilakukan secara teratur untuk memantau kondisi air secara konsisten.

2. Pemantauan Fisika Air: Lakukan pengukuran fisika air R0, seperti suhu, konduktivitas, dan
pH, untuk memastikan bahwa parameter fisika air berada dalam kisaran yang sesuai untuk
dialisis.

3. Analisis Kimia Air: Lakukan analisis kimia air R0 untuk mengukur tingkat kontaminan seperti
logam berat, klorida, nitrat, dan senyawa kimia lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas air.

4. Pengujian Mikrobiologi: Lakukan pengujian mikrobiologi untuk mengidentifikasi bakteri atau


mikroorganisme lain yang mungkin ada dalam air. Pastikan bahwa air R0 bebas dari mikroba
patogen yang berpotensi menyebabkan infeksi.

5. Pengujian Endotoksin: Endotoksin adalah zat yang dilepaskan dari dinding sel bakteri yang
dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada pasien. Pastikan bahwa air R0 bebas dari endotoksin.

6. Interpretasi Hasil: Setelah pemeriksaan selesai, interpretasikan hasilnya untuk memastikan air
R0 memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan atau lembaga pengatur
lainnya.

7. Tindakan Perbaikan: Jika hasil pemeriksaan menunjukkan adanya masalah atau


ketidaksesuaian dengan standar kualitas, segera ambil tindakan perbaikan yang sesuai. Misalnya,
membersihkan atau memperbaiki sistem R0 jika diperlukan.
8. Catatan dan Pelaporan: Selalu catat hasil pemeriksaan dan tindakan perbaikan yang telah
diambil. Lakukan pelaporan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

9. Edukasi dan Pelatihan: Edukasi tim medis tentang pentingnya monitoring kualitas air R0 dan
pentingnya melakukan tindakan perbaikan jika ditemukan masalah.

10. Audit dan Revisi: Lakukan audit secara teratur untuk memastikan bahwa sistem pemantauan
dan tindak lanjut hasil pemeriksaan kualitas air R0 berjalan dengan baik. Revisi prosedur jika
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan keselamatan.

Melakukan monitoring dan tindak lanjut hasil pemeriksaan kualitas air R0 secara rutin dan
teratur akan membantu memastikan bahwa air yang digunakan dalam prosedur dialisis aman dan
memenuhi standar kualitas yang diperlukan untuk melindungi kesehatan pasien.

ELEMEN 6. MENGGUNAKAN TINDAKAN PENCEGAHAN (LANGKAH / TINDAKAN)


UNTUK MENCEGAH CEDERA PASIEN
KUK 6.1 MELAKUKAN MONITORING PEMBERIAN ANTIKOAGULAN

Monitoring pemberian antikoagulan pada pasien hemodialisis sangat penting untuk memastikan
bahwa dosis antikoagulan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan individu pasien. Penggunaan
antikoagulan pada prosedur hemodialisis bertujuan untuk mencegah pembekuan darah di dalam
sistem dialisis, sehingga aliran darah selama dialisis tetap lancar dan efektif. Berikut adalah
beberapa langkah yang dapat diambil dalam melakukan monitoring pemberian antikoagulan pada
pasien hemodialisis:
1. Evaluasi Awal Pasien: Lakukan evaluasi awal terhadap pasien untuk menilai riwayat
medis, kondisi kesehatan, dan profil risiko pembekuan darah pasien. Hal ini akan
membantu menentukan dosis dan jenis antikoagulan yang tepat untuk digunakan.
2. Pemilihan Antikoagulan: Pilih antikoagulan yang sesuai berdasarkan kondisi medis
pasien dan rekomendasi dari tim medis. Beberapa antikoagulan yang umum digunakan
dalam hemodialisis adalah heparin, low molecular weight heparin (LMWH), dan citrate.
3. Pengawasan Dosis: Tentukan dosis antikoagulan yang tepat berdasarkan berat badan dan
status klinis pasien. Setiap pasien mungkin memerlukan dosis yang berbeda sesuai
dengan kondisi medisnya.
4. Monitoring Koagulasi: Lakukan monitoring koagulasi secara rutin, seperti pengujian
aktivitas koagulasi atau waktu perdarahan, untuk memantau respons pasien terhadap
antikoagulan dan menyesuaikan dosis jika diperlukan.
5. Pemantauan Selama Dialisis: Selama prosedur dialisis, perawat atau petugas kesehatan
yang bertugas harus mengawasi pasien dengan cermat untuk mendeteksi tanda-tanda
komplikasi, seperti perdarahan atau reaksi alergi terhadap antikoagulan.
6. Reaksi Advers: Jika terjadi reaksi advers atau efek samping dari antikoagulan, segera
hentikan pemberian dan laporkan kepada tim medis untuk tindakan lebih lanjut.
7. Edukasi Pasien: Edukasi pasien tentang pentingnya pemberian antikoagulan, pemantauan
dosis, dan pentingnya melaporkan gejala atau efek samping yang tidak diinginkan.
8. Revisi Terapi: Lakukan revisi terapi antikoagulan jika diperlukan berdasarkan hasil
monitoring dan respons pasien. Dosis dapat disesuaikan berdasarkan perubahan dalam
status kesehatan atau respons tubuh pasien.
9. Kolaborasi Tim Medis: Selalu berkolaborasi dengan tim medis yang merawat pasien
untuk memastikan pemberian antikoagulan yang tepat dan pemantauan yang tepat selama
prosedur hemodialisis.
10. Catatan dan Pelaporan: Selalu catat dosis antikoagulan yang diberikan, hasil monitoring,
dan tindakan yang diambil dalam catatan medis pasien. Lakukan pelaporan jika ada
perubahan dosis atau kejadian yang signifikan terkait antikoagulan.
Melakukan monitoring pemberian antikoagulan dengan cermat dan tepat akan membantu
meningkatkan efektivitas prosedur hemodialisis dan mencegah komplikasi terkait pembekuan
darah atau perdarahan pada pasien.
KUK 6.2 Melakukan pemeliharaan akses dialisis

Pemeliharaan akses dialisis pada pasien hemodialisis sangat penting untuk memastikan akses
tersebut tetap berfungsi dengan baik dan meminimalkan risiko komplikasi. Akses dialisis adalah
jalur yang digunakan untuk menghubungkan tubuh pasien dengan mesin dialisis. Berikut adalah
beberapa langkah yang dapat diambil dalam melakukan pemeliharaan akses dialisis pada pasien
hemodialisis:
1. Perawatan Exit Site (untuk kateter vaskular):
 Rutin membersihkan dan merawat exit site (tempat keluar kateter vaskular)
dengan cairan pembersih antiseptik yang sesuai, seperti povidone iodine atau
klorheksidin. Hal ini membantu mencegah infeksi di sekitar exit site.
 Mengganti perban exit site secara teratur dan mengawasi tanda-tanda infeksi,
seperti kemerahan, bengkak, atau keluar cairan berwarna atau berbau tidak biasa.
2. Perawatan Akses AV Fistula atau AV Graft:
 Selalu memeriksa akses AV fistula atau AV graft untuk memastikan aliran darah
lancar dan tidak ada pembengkakan atau gejala lain yang mencurigakan.
 Jaga kebersihan akses dengan rajin mencuci tangan sebelum menyentuhnya dan
menjaga area sekitarnya tetap bersih.
3. Pemantauan Aliran Darah:
 Selama prosedur hemodialisis, perawat atau petugas kesehatan harus memantau
aliran darah melalui akses untuk memastikan aliran darah yang lancar dan sesuai
dengan rencana perawatan.
4. Pemantauan Tekanan Darah:
 Pantau tekanan darah pasien secara teratur selama dialisis untuk memastikan
tekanan darah berada dalam rentang yang aman.
5. Penghindaran Trauma:
 Pastikan akses dialisis terhindar dari trauma atau cedera yang dapat menyebabkan
kerusakan pada akses, seperti tekanan berlebih atau tusukan tajam.
6. Penghindaran Pencemaran:
 Jaga kebersihan dan sterilisasi saat melakukan pemasangan atau perawatan akses
dialisis untuk menghindari risiko infeksi.
7. Edukasi Pasien:
 Berikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya pemeliharaan akses dialisis,
tanda-tanda komplikasi yang perlu diwaspadai, dan tindakan yang harus
dilakukan jika mengalami masalah dengan akses.
8. Pengukuran Pembesaran Akses (untuk AV Fistula):
 Lakukan pengukuran rutin pembesaran akses AV fistula untuk memastikan bahwa
akses berkembang dengan baik dan cocok untuk prosedur hemodialisis.
9. Pemantauan Rutin:
 Selalu lakukan pemantauan rutin atas kondisi akses dialisis selama prosedur
hemodialisis dan selama kunjungan follow-up pasien.
10. Kolaborasi Tim Medis:
 Berkolaborasi dengan tim medis yang merawat pasien untuk mendiskusikan masalah atau
perubahan dalam kondisi akses dan membuat rencana pemeliharaan yang sesuai.
Melakukan pemeliharaan akses dialisis yang baik membantu memastikan bahwa pasien dapat
menjalani terapi hemodialisis dengan aman dan efektif. Hal ini juga dapat membantu mencegah
komplikasi dan meminimalkan risiko gangguan dalam terapi dialisis.

ELEMEN 7 : MENGUKUR TANDA VITAL, EWSS, DAN TATALAKSANA PASIEN


EMERGENSI DI RUANG HEMODIALISA
KUK 7.1 MELAKUKAN MANAJEMEN KOMPLIKASI HD : PRURITUS

Pruritus, atau gatal-gatal, adalah komplikasi umum yang dialami oleh beberapa pasien yang
menjalani hemodialisis (HD). Pruritus dapat sangat mengganggu kualitas hidup pasien, dan
manajemen yang tepat diperlukan untuk mengurangi gejala dan membantu pasien merasa lebih
nyaman. Berikut adalah beberapa langkah dalam manajemen komplikasi pruritus pada pasien
hemodialisis:

1. Evaluasi Penyebab: Identifikasi penyebab pruritus pada pasien hemodialisis sangat penting
untuk merencanakan penanganan yang tepat. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
pruritus pada pasien HD meliputi penumpukan toksin uremia, gangguan kelenjar keringat,
penggunaan obat-obatan tertentu, dan gangguan metabolisme kalsium dan fosfor.
2. Kontrol Kualitas Dialisis: Pastikan bahwa pasien menerima dialisis yang adekuat dan efektif
untuk menghilangkan toksin uremia dari tubuh. Jika dialisis tidak optimal, akumulasi toksin
dalam darah dapat menyebabkan pruritus.

3. Manajemen Gaya Hidup: Ajarkan pasien untuk menjaga kulit tetap bersih dan kering. Hindari
penggunaan sabun yang keras atau produk pembersih kimia yang dapat mengiritasi kulit.
Gunakan air hangat daripada air panas saat mandi, dan hindari menggaruk area yang gatal.

4. Pengaturan Gizi: Kontrol asupan fosfor dan kalsium dalam diet pasien dengan mematuhi
rekomendasi dokter atau ahli gizi. Gangguan metabolisme fosfor dan kalsium dapat
berkontribusi pada pruritus.

5. Penggunaan Krim atau Lotion: Terkadang, penggunaan krim atau lotion yang mengandung
aloe vera, calamine, atau mentol dapat membantu mengurangi gatal-gatal pada kulit.

6. Obat Antihistamin: Dalam beberapa kasus, obat antihistamin tertentu dapat membantu
mengurangi gejala pruritus. Namun, penggunaan obat-obatan harus diawasi dan
dikonsultasikan dengan dokter.

7. Perhatikan Obat-obatan: Tinjau obat-obatan yang sedang digunakan pasien, karena beberapa
obat, seperti zat besi atau obat penenang tertentu, dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit.

8. Cuci Darah (Dialisis) dengan Air Bicarbonate: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cuci
darah menggunakan air yang mengandung bikarbonat dapat membantu mengurangi pruritus
pada pasien hemodialisis.

9. Terapi Fototerapi: Dalam beberapa kasus, fototerapi dengan sinar ultraviolet B (UVB) dapat
membantu mengurangi pruritus pada pasien hemodialisis.

Penting untuk berbicara dengan dokter atau tim medis yang merawat pasien HD tentang gejala
pruritus yang dialami. Manajemen komplikasi pruritus pada pasien hemodialisis harus
dipersonalisasi sesuai dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan masing-masing pasien.

MELAKUKAN MANAJEMEN KOMPLIKASI HD : UDARA DALAM DIALISER DAN


SIRKULASI EKSTRAKORPOREAL

Manajemen komplikasi yang melibatkan udara dalam dialiser dan sirkulasi ekstrakorporeal
(dalam konteks hemodialisis) sangat penting untuk mencegah risiko komplikasi serius yang
dapat membahayakan pasien. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk
mengatasi masalah ini:
1. Pemeriksaan Sebelum Dialisis: Sebelum memulai sesi hemodialisis, teknisi atau perawat harus
melakukan pemeriksaan yang cermat pada perangkat dialisis untuk memastikan tidak ada
udara yang masuk ke dalamnya. Memeriksa selang, konektor, dan semua bagian lain dari
sistem sirkulasi sangat penting untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum prosedur
dimulai.

2. Pengelolaan Pengisian Cairan: Ketika mempersiapkan cairan untuk mengisi sistem sirkulasi
ekstrakorporeal, pastikan untuk mengeluarkan semua udara dari cairan tersebut. Memompa
cairan ke dalam dialiser secara perlahan dan menghilangkan udara sebelum dialisis dimulai
akan mengurangi risiko udara masuk ke dalam sistem sirkulasi.

3. Pemeriksaan Rutin Selama Sesi Dialisis: Selama sesi hemodialisis, monitor sistem sirkulasi
secara teratur untuk mendeteksi adanya udara yang masuk. Beberapa mesin dialisis modern
memiliki fitur yang dirancang untuk mendeteksi dan mengeluarkan udara secara otomatis.

4. Penggunaan Perangkat Penghilang Udara: Beberapa perangkat atau filter udara dapat dipasang
pada sistem sirkulasi untuk membantu menghilangkan udara yang mungkin masuk ke dalam
dialiser. Penggunaan perangkat ini dapat membantu mencegah risiko emboli udara.

5. Pelatihan Tenaga Medis: Semua staf medis dan teknisi yang terlibat dalam prosedur
hemodialisis harus mendapatkan pelatihan yang memadai dalam penggunaan dan pengelolaan
perangkat dialisis, termasuk cara mengatasi masalah udara dalam sistem sirkulasi.

6. Pencatatan dan Pelaporan: Seluruh insiden udara dalam dialiser atau sirkulasi ekstrakorporeal
harus dicatat secara tepat dan dilaporkan kepada tim medis yang bertanggung jawab.
Pencatatan dan pelaporan yang baik akan membantu identifikasi masalah dan memastikan
langkah-langkah pencegahan yang sesuai diambil di masa depan.

7. Berkoordinasi dengan Pasien: Jelaskan kepada pasien tentang risiko udara dalam dialiser dan
sirkulasi ekstrakorporeal serta tindakan pencegahan yang diambil oleh tim medis. Pasien juga
perlu diberitahu tentang gejala yang harus diwaspadai, seperti kesulitan bernapas atau nyeri
dada, yang dapat muncul jika emboli udara terjadi.

Perlu diingat bahwa komplikasi yang melibatkan udara dalam dialiser dan sirkulasi
ekstrakorporeal adalah masalah serius yang dapat membahayakan nyawa pasien. Oleh karena itu,
pencegahan, pengawasan, dan tindakan yang tepat sangat penting dalam manajemen komplikasi
ini.
MELAKUKAN MANAJEMEN KOMPLIKASI HD : KRAM OTOT

Kram otot adalah komplikasi yang umum terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD).
Kram otot dapat menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan yang signifikan selama atau
setelah sesi dialisis. Berikut adalah beberapa langkah dalam manajemen komplikasi kram otot
pada pasien hemodialisis:

1. Pemanasan dan Peregangan: Sebelum memulai sesi hemodialisis, pastikan pasien melakukan
pemanasan ringan dan peregangan otot. Pemanasan membantu meningkatkan aliran darah ke
otot-otot dan mengurangi risiko kram. Peregangan otot juga membantu meningkatkan
fleksibilitas dan mengurangi ketegangan otot.

2. Cukup Cairan dan Elektrolit: Pastikan pasien tetap terhidrasi dengan baik sebelum, selama,
dan setelah sesi hemodialisis. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit, seperti kadar
natrium, kalium, kalsium, dan magnesium yang tidak seimbang, dapat menyebabkan kram otot.

3. Pengaturan Cairan Selama Dialisis: Selama sesi hemodialisis, pastikan bahwa cairan tubuh
pasien diatur dengan cermat. Terlalu cepat atau terlalu banyak cairan yang dihapus selama
dialisis dapat menyebabkan dehidrasi dan meningkatkan risiko kram otot. Dokter dan tim
medis yang merawat pasien harus memantau dengan cermat jumlah cairan yang dihapus
selama sesi dialisis.

4. Suplemen Elektrolit: Jika hasil tes laboratorium menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit,


seperti rendahnya kadar natrium, kalium, atau magnesium, maka suplemen elektrolit mungkin
diperlukan. Tetapi, pemberian suplemen elektrolit harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai
dengan rekomendasi dokter atau ahli gizi.

5. Kompres Hangat: Jika pasien mengalami kram otot selama atau setelah sesi dialisis, kompres
hangat dapat diterapkan pada area yang terkena untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit.

6. Perhatikan Obat-obatan: Beberapa obat yang digunakan pada pasien hemodialisis dapat
berkontribusi pada kram otot. Jika ada kecurigaan bahwa obat tertentu menyebabkan kram,
bicarakan dengan dokter untuk mempertimbangkan penggantian obat atau penyesuaian dosis.

7. Pencatatan dan Pelaporan: Penting untuk mencatat setiap insiden kram otot yang dialami oleh
pasien selama atau setelah dialisis. Pencatatan yang baik membantu dokter dan tim medis
dalam menganalisis penyebabnya dan mengambil tindakan pencegahan yang sesuai di masa
depan.
8. Pendidikan Pasien: Berikan pendidikan kepada pasien tentang pencegahan kram otot,
termasuk pentingnya hidrasi yang baik, mengikuti rekomendasi diet dan suplemen elektrolit,
serta melakukan peregangan otot secara teratur.

Penting untuk berbicara dengan dokter atau tim medis yang merawat pasien HD tentang
komplikasi kram otot yang dialami. Manajemen komplikasi ini harus dipersonalisasi sesuai
dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan masing-masing pasien.

MELAKUKAN MANAJEMEN KOMPLIKASI HD : JARUM AVF TERCABUT

Ketika jarum akses vaskular arteriovenous fistula (AVF) tercabut selama sesi hemodialisis,
tindakan segera diperlukan untuk menghentikan perdarahan dan mencegah masalah serius.
Berikut adalah langkah-langkah untuk melakukan manajemen komplikasi jarum AVF tercabut:

1. Tetap Tenang: Jaga ketenangan Anda sebagai tenaga medis atau pasien. Reaksi cepat dan
tenang sangat penting dalam situasi darurat ini.

2. Hentikan Aliran Darah: Cegah aliran darah dengan menekan atau menutup luka tempat jarum
tercabut. Anda dapat menggunakan kain steril atau sarung tangan sekali pakai untuk
menghentikan perdarahan.

3. Desinfeksi: Pastikan area di sekitar luka steril dengan menggunakan alkohol atau cairan
antiseptik yang sesuai jika memungkinkan.

4. Kompresi: Berikan kompresi ringan pada luka untuk mengurangi perdarahan. Jangan terlalu
keras melakukan kompresi karena dapat merusak jaringan.

5. Panggil Tim Medis: Segera panggil tim medis yang merawat pasien hemodialisis atau hubungi
tenaga medis yang bertugas untuk mendapatkan bantuan segera.

6. Perbaiki atau Ganti Jarum: Jika mungkin dan dalam kondisi darurat, coba perbaiki jarum akses
vaskular atau pasang jarum yang baru jika ada jarum cadangan. Namun, ini harus dilakukan
oleh petugas medis yang terlatih.

7. Evaluasi Kondisi Pasien: Setelah langkah-langkah pertolongan pertama diambil, evaluasi


kondisi pasien untuk memastikan bahwa dia stabil. Pantau tanda-tanda vital seperti tekanan
darah, detak jantung, dan pernapasan.

8. Perhatian pada Kejadian: Catat semua kejadian yang terjadi, termasuk langkah-langkah yang
telah diambil, dan laporkan kepada tim medis yang lebih tinggi.
9. Pencegahan di Masa Depan: Untuk mencegah kejadian serupa, pastikan bahwa jarum akses
vaskular ditempatkan dengan benar dan aman. Latih staf dan pasien tentang tindakan
pencegahan dan tindakan darurat jika jarum tercabut.

Komplikasi seperti jarum AVF tercabut adalah kejadian darurat yang memerlukan tindakan
segera. Segera memanggil bantuan medis profesional adalah langkah yang kritis untuk
memastikan keamanan dan kesehatan pasien.

MELAKUKAN MANAJEMEN KOMPLIKASI HD : DIALISER BOCOR

Ketika dialiser bocor selama sesi hemodialisis, tindakan cepat dan tepat diperlukan untuk
mengatasi masalah ini dan memastikan keamanan pasien serta kelancaran prosedur hemodialisis.
Berikut adalah langkah-langkah dalam manajemen komplikasi dialiser bocor:

1. Hentikan Dialisis: Jika dialiser bocor, hentikan prosedur hemodialisis segera. Matikan mesin
dialisis dan hentikan aliran darah antara pasien dan dialiser.

2. Isolasi Area Bocor: Lindungi pasien dan staf medis dengan mengisolasi area yang bocor.
Hindari kontak langsung dengan larutan dialisis yang keluar dari dialiser.

3. Kenakan Perlengkapan Pelindung: Pastikan staf medis yang menangani bocor mengenakan
perlengkapan pelindung pribadi, seperti sarung tangan, mantel, dan kacamata pelindung,
untuk mencegah kontak langsung dengan larutan dialisis yang bocor.

4. Cegah Kontaminasi Lain: Pastikan area sekitar dialiser bocor dibersihkan dari benda atau
perangkat lain yang dapat menyebabkan kontaminasi lebih lanjut.

5. Hentikan Bocoran: Lakukan upaya untuk menghentikan bocoran jika memungkinkan. Jika
bocoran disebabkan oleh retak pada dialiser atau konektor yang tidak pas, cobalah mengganti
dialiser atau konektor dengan yang baru.

6. Jaga Cairan dalam Dialiser: Jika bocoran tidak dapat segera diperbaiki atau jika perlu
menunggu penggantian dialiser, usahakan agar cairan dalam dialiser tetap dalam kondisi steril
dan terkontrol.

7. Hubungi Teknisi Medis: Panggil teknisi medis atau petugas yang berpengalaman dalam
menghadapi masalah dialiser bocor. Mereka akan dapat melakukan perbaikan atau
penggantian dialiser dengan aman.
8. Pindahkan Pasien Jika Diperlukan: Jika bocoran terjadi pada mesin dialisis yang digunakan
oleh beberapa pasien, pastikan pasien yang terpengaruh dipindahkan ke mesin dialisis yang
berfungsi dengan baik dengan aman.

9. Evaluasi Pasien: Setelah situasi terkendali, evaluasi kondisi pasien untuk memastikan bahwa
dia stabil dan tidak mengalami masalah kesehatan yang lebih serius akibat bocoran.

10. Laporkan Insiden: Catat semua kejadian dan langkah-langkah yang telah diambil untuk
menangani dialiser bocor. Laporkan insiden ini kepada tim medis yang lebih tinggi agar
tindakan pencegahan yang tepat dapat diambil di masa depan.

Penting untuk memiliki prosedur darurat dan rencana tindakan untuk menghadapi komplikasi
seperti dialiser bocor selama sesi hemodialisis. Semua staf medis harus dilatih untuk mengenali
dan menangani situasi darurat ini dengan cepat dan efisien. Keamanan pasien harus menjadi
prioritas utama dalam manajemen komplikasi dialiser bocor.

Melakukan manajemen komplikasi HD : Kloting pada dialiser

Komplikasi berupa pembentukan kloting atau gumpalan darah pada dialiser adalah masalah
serius yang harus ditangani dengan cepat untuk mencegah konsekuensi yang lebih buruk. Berikut
adalah langkah-langkah dalam manajemen komplikasi kloting pada dialiser:

1. Hentikan Dialisis: Jika terdeteksi adanya kloting pada dialiser, hentikan prosedur hemodialisis
segera. Matikan mesin dialisis dan hentikan aliran darah antara pasien dan dialiser untuk
mencegah pergerakan gumpalan ke dalam tubuh pasien.

2. Lakukan Pemeriksaan: Periksa secara seksama dialiser dan sistem sirkulasi ekstrakorporeal
untuk mengidentifikasi lokasi dan ukuran kloting. Jangan mencoba mengambil gumpalan
darah dengan cara-cara yang tidak tepat karena dapat menyebabkan risiko komplikasi lebih
lanjut.

3. Hubungi Tim Medis: Panggil tim medis atau teknisi medis yang terlatih untuk menangani
masalah ini. Mereka akan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menangani
komplikasi kloting dengan aman.

4. Evaluasi Pasien: Selama tindakan darurat, evaluasi kondisi pasien untuk memastikan bahwa
dia stabil dan tidak mengalami masalah kesehatan yang lebih serius akibat kloting.

5. Dekatkan Pasien ke Fasilitas Medis: Jika diperlukan, dekatkan pasien ke fasilitas medis
terdekat untuk penanganan lebih lanjut dan intervensi medis yang tepat.
6. Pencatatan dan Pelaporan: Catat semua kejadian dan langkah-langkah yang telah diambil
untuk menangani kloting pada dialiser. Laporkan insiden ini kepada tim medis yang lebih
tinggi agar tindakan pencegahan yang tepat dapat diambil di masa depan.

7. Pemeliharaan Rutin: Lakukan pemeriksaan dan pemeliharaan rutin pada dialiser dan sistem
sirkulasi ekstrakorporeal untuk menghindari terjadinya kloting. Pastikan perangkat tersebut
berfungsi dengan baik sebelum dan selama prosedur hemodialisis.

8. Tindakan Pencegahan: Berikan edukasi kepada pasien dan staf medis tentang tindakan
pencegahan untuk menghindari pembentukan gumpalan darah pada dialiser. Ini termasuk
menjaga kebersihan dan kesterilan perangkat, memastikan aliran darah yang tepat, dan
memonitor pasien dengan cermat selama sesi hemodialisis.

Manajemen komplikasi kloting pada dialiser harus dilakukan oleh tim medis yang terlatih dan
berpengalaman dalam prosedur hemodialisis. Keamanan pasien harus menjadi prioritas utama
dalam menghadapi komplikasi ini, dan tindakan darurat harus diambil untuk mengatasi situasi
yang mengancam jiwa.

ELEMEN 8 MEMFASILITASI PEMENUHAN KEBUTUHAN BERSIHAN JALAN NAPAS


DAN OKSIGEN
MENGINTERPRETASIKAN HASIL ANALISA GAS DARAH

Kasus: Seorang pasien lansia dengan gagal ginjal stadium akhir yang telah menjalani
hemodialisa selama beberapa bulan terakhir. Hasil analisa gas darah setelah sesi hemodialisa
terakhir menunjukkan nilai sebagai berikut:

pH: 7.25
PaO2: 75 mmHg
PaCO2: 55 mmHg
HCO3- (bikarbonat): 22 mEq/L
BE (base excess): -3 mEq/L
O2 Saturasi: 90%

Bagaimana perawat akan menilai hasil analisa gas darah ini dan mengambil tindakan yang sesuai

Jawabannya : Perawat akan menilai hasil analisa gas darah ini sebagai hasil yang menunjukkan
adanya asidosis respiratorik dengan kompensasi metabolik yang kurang adekuat. pH yang rendah
menandakan asidosis, dan PaCO2 yang tinggi mengindikasikan upaya pernapasan untuk
mengompensasi masalah tersebut. Nilai base excess (BE) yang negatif juga mengonfirmasi
adanya asidosis metabolik yang sedikit tidak terkompensasi dengan baik. Oksigenasi dalam
darah dengan O2 saturasi sebesar 90% juga sedikit rendah. Perawat akan segera melaporkan
temuan ini kepada tim medis dan ahli nefrologi untuk mengevaluasi penyebab asidosis
respiratorik dan mengambil tindakan yang sesuai. Selain itu, perawat akan memastikan
pemenuhan kebutuhan bersihan jalan nafas dan oksigenasi pasien selama sesi hemodialisa
berikutnya dengan memberikan ventilasi yang adekuat dan memastikan pemantauan yang lebih
ketat terhadap status pernapasan pasien.

ELEMEN 9 : MEMFASILITASI PEMENUHAN CAIRAN & ELEKTROLIT

Manajemen keperawatan pemberian cairan CAPD (Countinous ambulatory Peritoneal Dialysis)

Manajemen keperawatan dalam pemberian cairan untuk pasien CAPD (Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis) melibatkan beberapa aspek penting. CAPD adalah prosedur dialisis
peritoneal yang memungkinkan pasien untuk membersihkan darah dengan menggunakan
membran peritoneum di perutnya. Cairan dialisis disuntikkan ke dalam perut dan dibiarkan
beberapa waktu sebelum dikeluarkan kembali. Berikut adalah beberapa poin penting dalam
manajemen keperawatan pemberian cairan CAPD:

1. Penilaian Pasien:
 Sebelum memulai CAPD, perawat harus melakukan penilaian menyeluruh terhadap
kondisi pasien, termasuk kondisi medis, riwayat kesehatan, dan status nutrisi.
 Identifikasi kemungkinan kontraindikasi atau komplikasi yang dapat mempengaruhi
prosedur CAPD.
2. Pendidikan Pasien:
 Edukasi pasien dan keluarga tentang prosedur CAPD, termasuk cara menyuntikkan
cairan dialisis, perawatan peralatan, dan tata laksana yang benar.
 Pastikan pasien memahami pentingnya menjaga kebersihan dan mengikuti jadwal dialisis
yang telah ditentukan.
3. Persiapan Cairan Dialisis:
 Sterilisasi area sebelum menyuntikkan cairan dialisis untuk mencegah infeksi.
 Memastikan ketersediaan dan kesesuaian cairan dialisis yang dibutuhkan oleh pasien.
4. Teknik Pemberian Cairan:
 Memastikan bahwa pasien menyuntikkan cairan dialisis dengan benar.
 Mengajarkan teknik yang tepat untuk memasukkan dan mengeluarkan cairan dialisis dari
peritoneum.
 Memantau kemajuan dan memberikan umpan balik kepada pasien mengenai tekniknya.
5. Pengawasan dan Monitoring:
 Memantau tanda-tanda vital dan status kesehatan pasien secara teratur.
 Melakukan pemantauan terhadap berat badan, produksi urine, dan kadar elektrolit secara
berkala.
 Memantau potensi komplikasi, seperti infeksi peritoneum, perdarahan, atau hernia.
6. Perawatan Luka Operasi:
 Jika pasien memiliki bekas luka operasi pada perut (stoma), lakukan perawatan yang
tepat untuk mencegah infeksi dan mempromosikan penyembuhan.
7. Pemberian Obat dan Nutrisi:
 Jika diperlukan, perawat harus memberikan obat-obatan dengan tepat sesuai dengan
rekomendasi dokter.
 Memastikan pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat dan menjaga status gizi yang baik.
8. Aspek Psikososial:
 Dukung pasien secara emosional dalam menghadapi prosedur CAPD.
 Diskusikan perubahan gaya hidup dan peran keluarga dalam mendukung keberhasilan
CAPD.
9. Dokumentasi:
 Mencatat semua proses dan hasil pemantauan, termasuk jumlah cairan dialisis yang
diinfuskan dan dikeluarkan, perubahan dalam status kesehatan pasien, dan respons
terhadap tindakan keperawatan.

Penting untuk mencatat bahwa manajemen keperawatan pemberian cairan CAPD harus
dilakukan secara individual sesuai dengan kondisi pasien. Kerjasama tim medis yang terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi, dan ahli lainnya juga krusial dalam mencapai hasil yang optimal bagi
pasien yang menjalani CAPD.
Melakukan keperawatan pertukaran cairan CAPD (Countinous ambulatory Peritoneal Dialysis)
Keperawatan pertukaran cairan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) melibatkan
beberapa langkah penting untuk memastikan prosedur dialisis peritoneal berjalan dengan aman
dan efektif. Berikut adalah langkah-langkah yang umum dilakukan dalam melakukan
keperawatan pertukaran cairan CAPD:

1. Persiapan Cairan Dialisis:

- Pastikan ketersediaan dan kesesuaian cairan dialisis yang diperlukan untuk pertukaran
tersebut.
- Periksa tanggal kadaluarsa dan kejernihan cairan sebelum digunakan.
- Verifikasi resep dokter dan jumlah cairan yang harus diinfuskan pada pertukaran tersebut.
2. Persiapan Peralatan:
- Pastikan peralatan CAPD dalam kondisi bersih dan steril sebelum digunakan.
- Periksa selang, kateter, dan perangkat lainnya untuk memastikan tidak ada kerusakan atau
kebocoran.
3. Persiapan Pasien:
- Ajarkan pasien mengenai prosedur pertukaran cairan CAPD, termasuk teknik penyuntikan dan
pengeluaran cairan dari peritoneum.
- Pastikan pasien mencuci tangan dengan benar sebelum melakukan prosedur dan memakai
masker jika diperlukan.
4. Proses Pertukaran Cairan:
- Bersihkan area sekitar stoma atau kateter dengan antiseptik dan lap bersih sebelum
menyuntikkan cairan dialisis.
- Gunakan teknik aseptik untuk menyuntikkan cairan dialisis ke dalam peritoneum melalui
kateter.
- Setelah cairan masuk, pastikan kateter tertutup dan biarkan cairan berada di peritoneum selama
periode waktu tertentu (dwell time) sesuai rekomendasi dokter.
- Setelah dwell time selesai, buka kateter dan biarkan cairan dialisis mengalir keluar dari
peritoneum ke dalam kantong atau wadah pembuangan.
- Ulangi proses pertukaran hingga jumlah pertukaran cairan yang diinginkan tercapai.
5. Pemantauan dan Pengawasan:
- Selama proses pertukaran cairan, perhatikan tanda-tanda komplikasi seperti perubahan warna
atau kejernihan cairan dialisis yang dikeluarkan, perdarahan, atau nyeri pada pasien.
- Pantau tanda-tanda vital pasien selama dan setelah prosedur.
- Catat jumlah cairan yang masuk dan dikeluarkan pada setiap pertukaran, serta catat kondisi
pasien dan respons terhadap prosedur tersebut.
6. Perawatan Luka Operasi (jika ada):
- Jika pasien memiliki bekas luka operasi pada perut (stoma), lakukan perawatan yang tepat
untuk mencegah infeksi dan mempromosikan penyembuhan.
7. Psikososial:
- Berikan dukungan emosional kepada pasien dalam menghadapi prosedur CAPD.
- Diskusikan perubahan gaya hidup dan peran keluarga dalam mendukung keberhasilan CAPD.
8. Edukasi Pasien:
- Berikan edukasi yang terus-menerus kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya kepatuhan
terhadap prosedur dan jadwal pertukaran cairan CAPD.
- Jelaskan tanda-tanda komplikasi yang harus diwaspadai dan langkah-langkah yang harus
diambil jika terjadi masalah.
Setiap langkah dalam keperawatan pertukaran cairan CAPD harus dilakukan dengan seksama
dan mengikuti protokol yang telah ditetapkan oleh tim medis. Perawat harus senantiasa
memantau dan memastikan bahwa pasien mendapatkan perawatan yang tepat dan aman selama
menjalani CAPD.

Melakukan SLED (Sustained Low Efficiency Dialysis)

SLED (Sustained Low Efficiency Dialysis) adalah salah satu metode dialisis yang digunakan
untuk mengobati gagal ginjal akut atau kondisi-kondisi darurat lainnya. SLED adalah bentuk
hibrida antara hemodialisis dan dialisis kontinyu yang bertujuan untuk memberikan pengobatan
yang lebih aman dan stabil bagi pasien dengan gagal ginjal akut. Berikut adalah penjelasan
tentang bagaimana SLED dilakukan:

1. Persiapan Peralatan:
 Sebelum memulai SLED, perlu dipastikan bahwa seluruh peralatan dialisis dalam kondisi
steril dan siap digunakan.
 Persiapkan mesin SLED dan pastikan semua komponen terhubung dengan baik.
2. Persiapan Vaskular:
 SLED dapat dilakukan melalui akses vaskular, seperti kateter vena sentral, yang telah
ditempatkan sebelumnya pada pasien untuk tujuan dialisis.
 Pastikan kateter atau akses vaskular lainnya bersih dan tidak mengalami obstruksi
sebelum digunakan.
3. Koneksi ke Mesin SLED:
 Hubungkan kateter vena sentral atau akses vaskular lainnya ke mesin SLED.
 Pastikan seluruh koneksi terpasang dengan benar untuk mencegah kebocoran atau
infeksi.
4. Pengaturan Parameter SLED:
 Sebelum memulai prosedur SLED, perawat atau tenaga medis yang bertanggung jawab
akan mengatur parameter mesin sesuai dengan kebutuhan pasien.
 Parameter yang dapat diatur meliputi laju aliran darah, laju aliran dialisis, dan jenis cairan
dialisis yang digunakan.
5. Pelaksanaan SLED:
 Proses SLED berlangsung secara lambat dan lebih lama daripada hemodialisis standar.
Ini berarti mesin SLED mengeluarkan cairan dialisis dalam laju yang lebih rendah namun
dilakukan dalam waktu yang lebih lama.
 Pasien biasanya harus tetap berada di bawah pengawasan medis selama prosedur ini.
6. Pemantauan dan Pengawasan:
 Selama SLED, perawat atau tim medis akan memantau kondisi pasien dengan seksama,
termasuk pemantauan tanda-tanda vital dan respons tubuh terhadap prosedur.
 Pengawasan yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa kondisi pasien tetap stabil
dan tidak ada efek samping yang serius.
7. Pemberian Obat dan Cairan:
 Selama SLED, pasien mungkin membutuhkan pemberian obat dan cairan tambahan
untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan dalam tubuh.
8. Penyelesaian SLED:
 Setelah prosedur SLED selesai, perawat akan memastikan bahwa pasien dalam kondisi
stabil dan bahwa mesin SLED telah terputus dengan benar.
SLED memiliki keuntungan dalam memberikan pengobatan yang lebih aman bagi pasien yang
mengalami gagal ginjal akut, terutama jika kondisi klinisnya tidak stabil. Metode ini
memungkinkan pengobatan yang lebih lembut dan perubahan yang lebih lambat dalam kondisi
tubuh dibandingkan dengan hemodialisis konvensional. Meskipun demikian, SLED tetap
memerlukan pemantauan yang ketat dan dilakukan di bawah pengawasan tenaga medis yang
berpengalaman. Setiap langkah dalam prosedur SLED harus sesuai dengan protokol yang telah
ditetapkan oleh tim medis yang merawat pasien.

ELEMEN 10 : MELAKUKAN PERAWATAN LUKA


Melakukan perawatan exit site CAPD
Perawatan luka pada exit site CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) sangat
penting untuk mencegah infeksi dan masalah kesehatan lainnya. Exit site merupakan area di
mana kateter CAPD keluar dari perut pasien. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam
melakukan perawatan luka pada exit site CAPD:

1. Cuci Tangan: Sebelum melakukan perawatan, pastikan tangan Anda bersih. Cuci tangan dengan
sabun dan air mengalir selama minimal 20 detik, kemudian keringkan dengan handuk bersih atau
tisu.
2. Persiapan Peralatan:
 Siapkan peralatan yang diperlukan, seperti sarung tangan steril, kasa steril, antiseptik atau
alkohol, dan perban atau plester luka steril.
 Pastikan semua peralatan dalam keadaan steril sebelum digunakan.
3. Bersihkan Area Exit Site:
 Bersihkan area exit site secara lembut dengan menggunakan kasa steril yang dibasahi
dengan antiseptik atau alkohol.
 Usapkan kasa secara perlahan dari area sekitar exit site ke arah kateter untuk
menghilangkan kotoran dan bakteri.
4. Perhatikan Tanda-tanda Infeksi:
 Periksa exit site untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi, seperti kemerahan,
pembengkakan, nyeri, atau keluarnya cairan.
 Jika ada tanda-tanda infeksi atau masalah lain, laporkan segera kepada tim medis yang
merawat pasien.
5. Pemakaian Obat Antiseptik (Jika Direkomendasikan):
 Jika tim medis telah meresepkan obat antiseptik khusus untuk exit site, ikuti petunjuk
penggunaan dengan tepat.
 Oleskan obat antiseptik sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tim medis.
6. Penutupan Exit Site:
 Setelah membersihkan area exit site, gunakan perban atau plester luka steril untuk
menutup exit site dengan rapat.
 Pastikan perban atau plester tidak terlalu ketat sehingga mengganggu aliran darah atau
menyebabkan tekanan berlebih pada exit site.
7. Cek Periode Penggantian Perban:
 Pastikan untuk mengganti perban atau plester luka sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan oleh tim medis.
 Jika ada perubahan warna atau keadaan exit site, laporkan segera kepada tim medis.
8. Jaga Kebersihan dan Sterilitas:
 Selalu jaga kebersihan area exit site dan pastikan tangan Anda dalam keadaan bersih
ketika menyentuhnya.
 Hindari menyentuh exit site dengan tangan yang kotor atau tidak steril.
9. Edukasi Pasien:
 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya perawatan luka pada exit
site dan bagaimana melakukannya dengan benar.
 Ajarkan pasien untuk memantau tanda-tanda infeksi atau masalah lainnya dan
melaporkannya kepada tim medis.

Perawatan luka pada exit site CAPD harus dilakukan secara rutin dan teliti untuk mencegah
terjadinya komplikasi dan infeksi. Jika ada perubahan atau masalah dengan exit site, segera
hubungi tim medis untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Merawat akses vaskuler (HD dan CAPD) yang teinfeksi
erawat akses vaskuler yang terinfeksi pada pasien dengan HD (Hemodialisis) atau CAPD
(Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) merupakan tindakan yang penting untuk mencegah
penyebaran infeksi yang lebih serius. Infeksi pada akses vaskuler dapat menyebabkan komplikasi
serius seperti sepsis dan mengancam nyawa pasien. Berikut adalah langkah-langkah umum
dalam merawat akses vaskuler yang terinfeksi:

1. Identifikasi Infeksi:
 Perawat atau tenaga medis harus dapat mengenali tanda-tanda dan gejala infeksi pada
akses vaskuler, seperti kemerahan, pembengkakan, nyeri, demam, atau keluarnya cairan
dari akses vaskuler.
 Pastikan untuk memantau kondisi akses vaskuler secara teratur dan lakukan inspeksi
visual dengan seksama.
2. Konsultasi dengan Tim Medis:
 Jika ada tanda-tanda infeksi pada akses vaskuler, segera hubungi tim medis yang
merawat pasien untuk mendapatkan penilaian lebih lanjut dan pengobatan yang tepat.
3. Pemeriksaan Laboratorium:
 Dalam kasus infeksi yang lebih serius, tim medis mungkin akan melakukan tes darah dan
kultur darah untuk memastikan jenis bakteri atau mikroorganisme penyebab infeksi.
 Hasil pemeriksaan ini akan membantu dalam menentukan pengobatan yang paling
efektif.
4. Pengobatan Antibiotik:
 Jika infeksi disebabkan oleh bakteri, pemberian antibiotik akan menjadi bagian penting
dari perawatan.
 Tim medis akan meresepkan antibiotik yang sesuai berdasarkan hasil tes dan sensitivitas
bakteri terhadap obat.
5. Perawatan Lokal:
 Bersihkan akses vaskuler yang terinfeksi secara lembut dengan menggunakan antiseptik
atau larutan garam fisiologis.
 Jaga area akses vaskuler tetap bersih dan kering.
6. Pencegahan Infeksi Sekunder:
 Hindari kontak akses vaskuler yang terinfeksi dengan tangan yang tidak bersih.
 Pastikan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan akses
vaskuler.
7. Edukasi Pasien dan Keluarga:
 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya merawat akses vaskuler
dengan benar dan tanda-tanda infeksi yang perlu diwaspadai.
 Jelaskan langkah-langkah pencegahan infeksi yang harus diikuti oleh pasien untuk
mengurangi risiko infeksi lebih lanjut.
8. Pemantauan dan Tindak Lanjut:
 Selama proses perawatan, perawat atau tim medis akan memantau respons pasien
terhadap pengobatan dan memastikan bahwa infeksi semakin membaik.
 Jika tidak ada perbaikan atau infeksi semakin memburuk, tim medis akan melakukan
tindakan lanjut yang sesuai.

Perawatan akses vaskuler yang terinfeksi harus dilakukan dengan hati-hati dan segera untuk
mencegah komplikasi yang lebih serius. Penting bagi pasien untuk tetap mengikuti instruksi dan
rencana perawatan yang telah ditetapkan oleh tim medis agar perawatan berjalan dengan baik
dan infeksi dapat diatasi dengan efektif.

ELEMEN 11 : Memberikan obat secara aman dan tepat


Memberikan obat pada pasien hemodialisis
Memberikan obat pada pasien hemodialisis memerlukan perhatian khusus karena proses
hemodialisis dapat mempengaruhi penyerapan, distribusi, dan eliminasi obat dalam tubuh.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika memberikan obat pada pasien
hemodialisis:

1. Konsultasi dengan Tim Medis:


 Sebelum memberikan obat, pastikan untuk berkomunikasi dengan tim medis yang
merawat pasien hemodialisis.
 Diskusikan jenis obat yang akan diberikan, dosis yang tepat, serta waktu pemberian obat
yang sesuai dengan jadwal hemodialisis pasien.
2. Penyesuaian Dosis Obat:
 Beberapa obat mungkin memerlukan penyesuaian dosis pada pasien hemodialisis karena
proses hemodialisis dapat menghapus obat dari tubuh lebih cepat.
 Tim medis akan menentukan dosis obat yang tepat berdasarkan kondisi medis pasien,
tingkat kerusakan ginjal, dan faktor-faktor lain yang relevan.
3. Pemberian Obat Sesuai Jadwal Hemodialisis:
 Jika memungkinkan, berikan obat segera setelah sesi hemodialisis selesai, sehingga
pasien dapat mendapatkan manfaat optimal dari obat tersebut.
 Hindari memberikan obat selama sesi hemodialisis, kecuali jika diperlukan darurat dan
diperbolehkan oleh tim medis.
4. Monitoring Efek Obat:
 Setelah memberikan obat, perhatikan respon pasien terhadap obat tersebut dengan
seksama.
 Pantau adanya efek samping atau interaksi obat yang mungkin terjadi pada pasien
hemodialisis.
5. Jenis Obat yang Dapat Menyebabkan Masalah:
 Beberapa obat tertentu mungkin tidak disarankan untuk diberikan kepada pasien
hemodialisis karena efek samping atau risiko yang tinggi.
 Pastikan untuk mengetahui kontraindikasi atau peringatan khusus yang terkait dengan
obat-obatan yang akan diberikan kepada pasien hemodialisis.
6. Perhatikan Interaksi Obat:
 Pastikan untuk memeriksa adanya potensi interaksi obat dengan obat-obatan lain yang
sedang diberikan kepada pasien.
 Jika terdapat kemungkinan interaksi obat, diskusikan dengan tim medis tentang langkah-
langkah yang harus diambil.
7. Edukasi Pasien:
 Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang obat-obatan yang diberikan, tujuan
pengobatan, dosis, dan cara penggunaannya.
 Jelaskan pentingnya kepatuhan dalam mengonsumsi obat sesuai dengan instruksi tim
medis.

Pemberian obat pada pasien hemodialisis harus dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan
rencana perawatan yang telah ditetapkan oleh tim medis. Penting untuk selalu berkoordinasi
dengan tim medis untuk memastikan pasien mendapatkan manfaat maksimal dari obat dan
menghindari potensi risiko atau masalah kesehatan yang mungkin timbul akibat penggunaan obat
yang tidak tepat.

Melakukan manajemen pemberian terapi selama CAPD: elektrolit (kalium)


Penting untuk diingat bahwa setiap pasien memiliki kondisi kesehatan yang unik, dan rencana
terapi harus disesuaikan oleh dokter atau ahli medis yang merawatnya. Di bawah ini adalah
beberapa hal umum yang perlu diperhatikan dalam manajemen elektrolit (kalium) pada pasien
dengan GGK yang menjalani CAPD:

1. Monitoring elektrolit: Penting untuk secara teratur memantau kadar kalium dalam darah
pasien selama CAPD. Pemeriksaan darah ini biasanya dilakukan beberapa kali dalam sebulan
atau sesuai dengan rekomendasi dokter.

2. Diet yang tepat: Pengendalian asupan kalium melalui makanan dapat membantu mengatur
kadar kalium dalam darah. Beberapa makanan kaya kalium yang perlu dihindari atau dibatasi
adalah pisang, jeruk, tomat, kentang, kacang-kacangan, dan sayuran hijau berdaun. Pastikan
pasien berkonsultasi dengan ahli gizi atau dietitian yang berpengalaman dalam merencanakan
diet yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

3. Suplemen atau obat: Terkadang, pasien mungkin membutuhkan suplemen atau obat untuk
mengatur kadar kalium dalam darah. Penggunaan obat-obatan yang mengikat kalium di usus
atau mempengaruhi eliminasi kalium melalui urine dapat direkomendasikan oleh dokter sesuai
dengan kondisi pasien.

4. Pantauan tekanan osmotik larutan dialisis: Larutan dialisis yang digunakan dalam CAPD
mengandung elektrolit tertentu, termasuk kalium. Penting untuk memastikan tekanan osmotik
larutan dialisis disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memperhitungkan kadar kalium
dalam darahnya.

5. Pemantauan gejala: Pasien dan keluarga perlu waspada terhadap gejala perubahan kadar
kalium yang berlebihan dalam darah, seperti lemah, denyut jantung yang tidak teratur, atau
kesemutan. Jika ada gejala seperti ini, segera hubungi tim medis yang merawat pasien.

6. Konsultasi rutin dengan tim medis: Pasien dengan GGK yang menjalani CAPD harus
melakukan konsultasi rutin dengan dokter, ahli ginjal, atau ahli medis lainnya yang merawat
mereka. Ini memungkinkan pemantauan yang baik terhadap perkembangan kesehatan pasien
dan penyesuaian terapi yang diperlukan.

Ingatlah bahwa manajemen pemberian terapi pada pasien dengan GGK yang menjalani CAPD
sangatlah individual, dan hanya dokter yang merawat pasien yang memiliki pemahaman lengkap
tentang kondisi spesifik pasien dan dapat memberikan rekomendasi yang tepat.

ELEMEN 12 : MEMFASILITASI KEBUTUHAN NUTRISI


MELAKUKAN MANAJEMEN PADA PASIEN MALNUTRISI
Pasien dengan gagal ginjal kronik memiliki risiko tinggi mengalami malnutrisi karena berbagai
faktor seperti hilangnya protein dalam urin, penurunan nafsu makan, pembatasan diet, dan
gangguan metabolisme. Untuk mengatasi masalah ini, manajemen pasien malnutrisi pada pasien
gagal ginjal kronik melibatkan beberapa langkah, di antaranya:

1. Evaluasi gizi: Dilakukan penilaian gizi menyeluruh untuk mengidentifikasi kekurangan


nutrisi dan menilai status gizi pasien.
2. Diet yang tepat: Pasien dengan gagal ginjal kronik memerlukan diet yang tepat sesuai tingkat
keparahan penyakit ginjal mereka. Diet ini seringkali melibatkan pengurangan konsumsi
protein, natrium, kalium, dan fosfor, sambil tetap mempertahankan asupan kalori yang
memadai.
3. Suplemen nutrisi: Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan suplemen nutrisi untuk
memastikan asupan nutrisi yang cukup.
4. Manajemen kondisi yang mendasari: Selain masalah ginjal, pasien juga dapat menderita
kondisi kesehatan lainnya yang menyebabkan malnutrisi. Penting untuk mengelola dan
mengobati kondisi ini dengan tepat.
5. Konsultasi dengan ahli gizi dan tim medis: Kolaborasi dengan ahli gizi dan tim medis
membantu dalam merencanakan diet yang tepat dan memantau status gizi pasien secara
berkala.
6. Pantauan dan perawatan jangka panjang: Pasien dengan gagal ginjal kronik memerlukan
pemantauan dan perawatan jangka panjang untuk mengatasi perubahan dalam kebutuhan
nutrisi mereka seiring perkembangan penyakit ginjal.

Setiap kasus pasien unik dan memerlukan pendekatan yang disesuaikan. Oleh karena itu, sangat
penting bagi pasien untuk berkonsultasi dengan tenaga medis terampil dan berpengalaman dalam
manajemen gagal ginjal kronik dan masalah gizi untuk mendapatkan perawatan yang optimal.
Melakukan manajemen hiperglikemia pada pasien gagal ginjal kronik

Manajemen hiperglikemia pada pasien gagal ginjal kronik merupakan langkah penting untuk
mengendalikan kadar gula darah yang tinggi dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pasien
dengan gagal ginjal kronik cenderung memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah dengan
pengendalian gula darah karena ginjal berperan penting dalam pengeluaran zat-zat sisa, termasuk
insulin. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil dalam manajemen hiperglikemia
pada pasien gagal ginjal kronik:

1. Konsultasi dengan dokter: Pasien perlu berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis terampil
yang berpengalaman dalam merawat pasien dengan gagal ginjal dan diabetes. Tim medis akan
membantu menentukan rencana pengobatan yang tepat untuk mengendalikan gula darah.
2. Diet yang tepat: Diet yang seimbang dan sesuai dengan kondisi gagal ginjal dan diabetes sangat
penting. Pasien perlu memperhatikan asupan karbohidrat, protein, dan lemak dalam diet mereka.
Biasanya, diet rendah garam, rendah protein, dan rendah gula dianjurkan.
3. Obat anti-diabetes: Pasien mungkin memerlukan obat anti-diabetes untuk membantu
mengendalikan gula darah. Pilihan obat akan disesuaikan dengan tingkat keparahan gagal ginjal
dan kondisi kesehatan lainnya yang mungkin dimiliki pasien.
4. Pemantauan gula darah: Pasien harus secara teratur memantau kadar gula darah mereka, baik di
rumah maupun di fasilitas medis. Pemantauan ini membantu dalam mengidentifikasi fluktuasi
kadar gula darah dan memastikan pengobatan yang tepat.
5. Kontrol tekanan darah: Hipertensi (tekanan darah tinggi) seringkali menyertai gagal ginjal dan
diabetes. Mengendalikan tekanan darah dengan obat atau perubahan gaya hidup yang tepat dapat
membantu mengurangi risiko komplikasi yang terkait dengan hiperglikemia.
6. Pendidikan dan dukungan: Pasien perlu mendapatkan edukasi mengenai manajemen diabetes dan
gagal ginjal, serta mendapatkan dukungan dalam menghadapi perubahan gaya hidup yang
diperlukan.
7. Kolaborasi dengan tim medis: Penting untuk berkolaborasi dengan tim medis, termasuk dokter,
ahli gizi, dan tenaga medis lainnya, untuk merencanakan perawatan yang holistik dan efektif.

Ingatlah bahwa manajemen hiperglikemia pada pasien gagal ginjal kronik memerlukan
pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien dan sebaiknya dilakukan di bawah
bimbingan dan pengawasan tenaga medis yang berkompeten.

Melakukan manajemen hipoglikemia

Manajemen hipoglikemia pada pasien gagal ginjal kronik juga merupakan hal yang penting,
karena pasien dengan gangguan ginjal tersebut dapat memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami rendahnya kadar gula darah. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil
dalam manajemen hipoglikemia pada pasien gagal ginjal kronik:

1. Pemantauan gula darah: Pasien perlu secara rutin memantau kadar gula darah mereka. Ini
membantu dalam mendeteksi penurunan kadar gula darah secara dini sehingga langkah-langkah
pencegahan dapat diambil.
2. Revisi pengobatan anti-diabetes: Jika pasien menggunakan obat-obatan anti-diabetes tertentu
yang dapat menyebabkan hipoglikemia, maka dosis atau pilihan obat mungkin perlu disesuaikan.
Ini harus dilakukan dengan bimbingan dokter atau tenaga medis terampil.
3. Diet yang tepat: Diet yang tepat sangat penting dalam mencegah hipoglikemia pada pasien gagal
ginjal kronik. Pasien perlu mengikuti diet seimbang dengan asupan karbohidrat yang teratur dan
sesuai dengan rekomendasi dari ahli gizi.
4. Pola makan yang teratur: Makan secara teratur dengan jadwal yang konsisten membantu
mencegah fluktuasi kadar gula darah yang tiba-tiba.
5. Edukasi pasien dan keluarga: Penting untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga
tentang gejala hipoglikemia, tindakan yang harus diambil jika terjadi, dan pencegahannya.
6. Kolaborasi dengan tim medis: Pasien perlu bekerja sama dengan tim medis mereka, termasuk
dokter dan ahli gizi, untuk mengelola diabetes dan gagal ginjal secara efektif.
7. Perubahan dosis obat: Pada beberapa kasus, pasien mungkin perlu mengubah dosis obat anti-
diabetes mereka tergantung pada kondisi kesehatan dan tingkat fungsi ginjal mereka.
8. Perencanaan darurat: Pasien perlu memiliki rencana darurat untuk mengatasi hipoglikemia jika
terjadi saat mereka sedang sendiri. Rencana ini bisa mencakup langkah-langkah yang harus
diambil dan kontak darurat yang harus dihubungi.

Penting untuk selalu berkonsultasi dengan tim medis terlatih dan berpengalaman dalam
manajemen diabetes dan gagal ginjal untuk memastikan langkah-langkah yang diambil sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan khusus pasien.
ELEMEN 13 : Memfasilitasi pemeriksaan penunjang dan diagnostik
Memfasilitasi dan menginterpretasi pemeriksaan laboratorium: hematologi lengkap, kimia darah,
elektrolit darah, PTH, AGD dan skreening

Berikut adalah beberapa pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan pada pasien gagal
ginjal kronik:

1. Hematologi Lengkap (Complete Blood Count/CBC):


 Hemoglobin (Hb): Menilai jumlah hemoglobin dalam darah, yang penting untuk
memahami status anemia.
 Hematokrit (Hct): Persentase volume sel darah merah dalam darah, juga digunakan untuk
menilai anemia.
 Jumlah sel darah merah (Red Blood Cell/RBC count): Menilai jumlah sel darah merah
dalam darah.
 Jumlah sel darah putih (White Blood Cell/WBC count): Menilai jumlah sel darah putih
dalam darah, yang dapat meningkat saat ada infeksi.
 Jumlah trombosit (Platelet count): Menilai jumlah trombosit dalam darah, yang penting
untuk fungsi pembekuan darah.
2. Kimia Darah (Blood Chemistry):
 Kreatinin: Menilai fungsi ginjal, karena kreatinin adalah produk sisa metabolisme yang
diekskresikan oleh ginjal.
 Urea atau BUN (Blood Urea Nitrogen): Menilai fungsi ginjal dan metabolisme protein.
 Asam urat: Menilai tingkat asam urat dalam darah, yang dapat terkait dengan gagal ginjal
dan masalah metabolisme lainnya.
3. Elektrolit Darah:
 Natrium (Na+), Kalium (K+), Klorida (Cl-), Kalsium (Ca2+), Fosfat (PO43-): Menilai
kadar elektrolit dalam darah, yang penting untuk keseimbangan elektrolit dan fungsi
tubuh yang normal.
4. Paratiroid Hormone (PTH):
 Hormon yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid yang mengatur kadar kalsium dan fosfat
dalam darah. Peningkatan PTH dapat terjadi pada gagal ginjal kronik dan dapat
menyebabkan masalah kesehatan lainnya.
5. Anion Gap (AGD):
 Menilai perbedaan antara kation dan anion dalam serum. Nilai AGD yang tinggi atau
rendah dapat mengindikasikan adanya gangguan metabolik.
6. Skrining Umum:
 Glukosa darah: Menilai kadar gula darah, yang penting untuk penderita diabetes atau
risiko diabetes.
 Profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida): Menilai kadar lemak dalam darah,
yang berkaitan dengan risiko penyakit kardiovaskular.

Hasil pemeriksaan laboratorium harus diinterpretasikan bersama dengan riwayat medis lengkap
dan kondisi klinis pasien. Penting bagi pasien untuk berkonsultasi dengan dokter atau tenaga
medis terlatih untuk pemahaman yang lebih baik tentang hasil pemeriksaan laboratorium dan
implikasinya terhadap kesehatan pasien dengan gagal ginjal kronik.

ELEMEN 14 : Mendokumentasikan asuhan keperawatan


Melengkapi dan memverifikasi dokumen asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik

Dokumen asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik harus disusun oleh tim perawatan
medis yang berwenang dan berkompeten, seperti dokter dan perawat yang merawat pasien
tersebut. Dokumen ini harus berisi informasi terperinci tentang kondisi pasien, riwayat medis,
rencana perawatan, perkembangan pasien, dan tindakan yang telah dilakukan untuk merawat
pasien.

Jika Anda adalah profesional medis yang merawat pasien dengan gagal ginjal kronik, pastikan
untuk melengkapi dan memverifikasi dokumen asuhan keperawatan sesuai dengan standar
praktik dan kebijakan rumah sakit atau fasilitas kesehatan tempat Anda bekerja. Jika Anda
adalah keluarga atau penanggung jawab pasien, pastikan untuk berkomunikasi dengan tim
perawatan medis untuk mendapatkan pembaruan dan memastikan asuhan keperawatan yang
tepat bagi pasien.

Melakukan monitoring dokumentasi informed concent dan pemeriksaan skrining pada


hemodialisa
Monitoring dokumentasi informed consent dan pemeriksaan skrining pada pasien hemodialisis
merupakan tanggung jawab tenaga medis dan tim perawatan yang merawat pasien.

Namun, saya dapat memberikan informasi umum mengenai dua hal tersebut:

1. Monitoring Dokumentasi Informed Consent:


 Informed consent adalah proses di mana pasien memberikan persetujuan informasional
dan sukarela untuk menerima perawatan atau prosedur medis setelah mendapatkan
penjelasan yang jelas tentang risiko, manfaat, dan alternatif perawatan.
 Dokumentasi informed consent harus dilakukan secara cermat, terutama untuk pasien
yang menjalani hemodialisis, karena ini merupakan prosedur medis yang melibatkan
intervensi pada sistem vaskular.
 Setiap pasien harus mendapatkan formulir informed consent yang sudah ditandatangani
sebelum menjalani sesi hemodialisis.
 Tim perawatan medis harus memastikan bahwa pasien benar-benar memahami informasi
yang diberikan dan memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan yang tepat.
2. Pemeriksaan Skrining pada Pasien Hemodialisis:
 Pasien hemodialisis harus menjalani pemeriksaan skrining secara teratur untuk memantau
kondisi kesehatan mereka dan memastikan hemodialisis berjalan dengan aman.
 Pemeriksaan skrining dapat mencakup pengukuran berbagai parameter klinis, termasuk
fungsi ginjal, tingkat elektrolit, hemoglobin, dan parameter lain yang relevan dengan
kondisi pasien.
 Monitoring ini membantu memastikan bahwa hemodialisis dilakukan sesuai dengan
kebutuhan medis pasien dan membantu mengidentifikasi perubahan dalam kondisi
kesehatan yang mungkin memerlukan tindakan lebih lanjut.

Penting untuk mencatat bahwa monitoring dokumentasi dan pemeriksaan skrining harus
dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih dan berpengalaman dalam merawat pasien dengan
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Jika Anda memiliki pertanyaan atau keprihatinan
tentang perawatan pasien, sebaiknya Anda berbicara dengan tim perawatan medis yang merawat
pasien secara langsung.
ELEMEN 15 : Memberikan informasi dan edukasi
Memberikan edukasi individu dan keluarga tentang: proses penyakit, obat-obatan,
prosedur/perawatan akses dialisis, perawatan exit site, keterampilan psikomotor
Monitoring dokumentasi informed consent dan pemeriksaan skrining pada pasien hemodialisis
merupakan tanggung jawab tenaga medis dan tim perawatan yang merawat pasien.

Namun, saya dapat memberikan informasi umum mengenai dua hal tersebut:

1. Monitoring Dokumentasi Informed Consent:


 Informed consent adalah proses di mana pasien memberikan persetujuan informasional
dan sukarela untuk menerima perawatan atau prosedur medis setelah mendapatkan
penjelasan yang jelas tentang risiko, manfaat, dan alternatif perawatan.
 Dokumentasi informed consent harus dilakukan secara cermat, terutama untuk pasien
yang menjalani hemodialisis, karena ini merupakan prosedur medis yang melibatkan
intervensi pada sistem vaskular.
 Setiap pasien harus mendapatkan formulir informed consent yang sudah ditandatangani
sebelum menjalani sesi hemodialisis.
 Tim perawatan medis harus memastikan bahwa pasien benar-benar memahami informasi
yang diberikan dan memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan yang tepat.
2. Pemeriksaan Skrining pada Pasien Hemodialisis:
 Pasien hemodialisis harus menjalani pemeriksaan skrining secara teratur untuk memantau
kondisi kesehatan mereka dan memastikan hemodialisis berjalan dengan aman.
 Pemeriksaan skrining dapat mencakup pengukuran berbagai parameter klinis, termasuk
fungsi ginjal, tingkat elektrolit, hemoglobin, dan parameter lain yang relevan dengan
kondisi pasien.
 Monitoring ini membantu memastikan bahwa hemodialisis dilakukan sesuai dengan
kebutuhan medis pasien dan membantu mengidentifikasi perubahan dalam kondisi
kesehatan yang mungkin memerlukan tindakan lebih lanjut.

Penting untuk mencatat bahwa monitoring dokumentasi dan pemeriksaan skrining harus
dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih dan berpengalaman dalam merawat pasien dengan
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Jika Anda memiliki pertanyaan atau keprihatinan
tentang perawatan pasien, sebaiknya Anda berbicara dengan tim perawatan medis yang merawat
pasien secara langsung.

Memberikan edukasi individu dan keluarga tentang: proses penyakit, obat-obatan,


prosedur/perawatan akses dialisis, perawatan exit site, keterampilan psikomotor pada pasien
hemodialisa
Memberikan edukasi kepada pasien hemodialisis dan keluarganya sangat penting untuk
membantu mereka memahami dan mengatasi kondisi medis dengan lebih baik. Berikut adalah
beberapa poin penting yang dapat disampaikan dalam edukasi individu dan keluarga:

1. Proses Penyakit Gagal Ginjal Kronik:


 Jelaskan tentang gagal ginjal kronik, penyebabnya, dan bagaimana ginjal yang rusak
tidak lagi dapat menyaring limbah dan kelebihan cairan dari darah dengan efektif.
 Diskusikan tanda dan gejala gagal ginjal kronik, seperti kelelahan, sesak napas,
penurunan berat badan, edema (pembengkakan), dan perubahan pola buang air kecil.
2. Obat-obatan:
 Berikan informasi tentang obat-obatan yang biasanya diberikan kepada pasien
hemodialisis, termasuk obat-obatan untuk mengendalikan tekanan darah, mengatur kadar
fosfat dan kalsium, serta merangsang produksi sel darah merah.
 Jelaskan pentingnya kepatuhan dalam mengonsumsi obat sesuai dengan resep dokter dan
menghindari penggunaan obat tanpa resep.
3. Proses Hemodialisis dan Perawatan Akses Dialisis:
 Gambarkan secara menyeluruh tentang bagaimana proses hemodialisis berlangsung, apa
yang harus diharapkan selama sesi, dan berapa sering dialisis akan dilakukan.
 Jelaskan tentang jenis akses dialisis (misalnya, fistula arteriovenosa, kateter, atau graft)
dan pentingnya merawat akses tersebut dengan baik.
 Sampaikan bagaimana memantau akses dialisis untuk mendeteksi tanda-tanda infeksi
atau komplikasi lainnya.
4. Perawatan Exit Site (untuk Pasien dengan Kateter):
 Jelaskan tentang exit site, yaitu tempat di kulit di mana kateter keluar dari tubuh.
 Ajarkan teknik perawatan exit site yang baik, termasuk cara membersihkan exit site
secara tepat dan mengganti perban dengan benar.
 Berikan informasi tentang tanda-tanda infeksi pada exit site yang perlu segera dilaporkan
kepada tim medis.
5. Keterampilan Psikomotor:
 Latih pasien dan keluarga dalam keterampilan psikomotor yang diperlukan untuk
merawat diri sendiri atau membantu pasien hemodialisis.
 Contohnya, latih mereka dalam mengenali tanda-tanda hipoglikemia dan bagaimana
mengatasi situasi tersebut, serta cara mengukur tekanan darah, suhu tubuh, atau berat
badan yang diperlukan untuk memantau kondisi kesehatan.

Pastikan bahwa edukasi diberikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien dan
keluarga, dan berikan kesempatan bagi mereka untuk bertanya dan mendapatkan klarifikasi
tentang informasi yang disampaikan. Ingat bahwa setiap pasien memiliki kebutuhan edukasi
yang berbeda, oleh karena itu, pendekatan edukasi harus disesuaikan dengan kebutuhan individu
dan kondisi kesehatan pasien hemodialisis.
ELEMEN 16 : MELAKUKAN TRANSFER PASIEN
panduan umum tentang transfer pasien dengan kategori NEWSS orenge dan merah pada pasien
hemodialisis.

1. NEWSS (National Early Warning Score): NEWSS adalah sistem penilaian klinis yang
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi terhadap perburukan kondisi klinis
mereka. Skor NEWSS terdiri dari beberapa parameter, seperti tekanan darah, frekuensi
pernapasan, denyut jantung, suhu tubuh, dan tingkat kesadaran. Nilai-nilai parameter ini
digunakan untuk menghitung skor NEWSS, yang dapat menunjukkan tingkat kedaruratan pasien.
2. Kategori NEWSS Orenge dan Merah: Biasanya, ada berbagai kategori risiko NEWSS, seperti
hijau, kuning, orenge, dan merah, yang menunjukkan tingkat keparahan klinis pasien. Kategori
NEWSS orenge dan merah mengindikasikan bahwa pasien sedang mengalami masalah serius
dan memerlukan intervensi segera.
3. Transfer Pasien Hemodialisis: Pasien yang sedang menjalani hemodialisis memiliki kondisi
kesehatan yang kompleks. Jika pasien hemodialisis memiliki skor NEWSS orenge atau merah,
mereka kemungkinan menghadapi masalah klinis yang signifikan yang memerlukan perhatian
segera. Dalam kasus seperti ini, langkah-langkah berikut mungkin diperlukan:
 Laporkan segera kondisi pasien kepada tim medis yang terlibat dalam perawatan mereka,
termasuk dokter, perawat, dan ahli hemodialisis.
 Jika di fasilitas hemodialisis, mintalah bantuan dan dukungan tim medis di sana.
 Jika diperlukan, persiapkan transfer pasien ke unit perawatan intensif atau unit yang lebih tepat
untuk menangani masalah medis yang mendesak.
 Pastikan informasi medis lengkap dan riwayat hemodialisis pasien siap dan tersedia untuk
memudahkan perawatan di tempat tujuan.

Perlu diingat bahwa tindakan yang tepat dalam situasi medis darurat seperti ini sangat
bergantung pada kasus individu dan tingkat keparahannya. Satu-satunya orang yang memiliki
wewenang dan pengetahuan medis untuk menentukan langkah-langkah yang tepat adalah tenaga
medis yang merawat pasien secara langsung.

Jika Anda berada dalam situasi darurat atau mendesak, segera hubungi tim medis atau layanan
darurat setempat untuk mendapatkan bantuan segera.

Anda mungkin juga menyukai