POLKET
POLKET
ISLAM
Dosen Pembimbing :
Iwan Satriawan, S.H., MCL. Ph.D.
Disusun Oleh :
Muhammad Tasyirul Afkar (20190610220)
Ryandana Prayoga (20190610367)
POLITIK DAN KETATANEGARAAN ISLAM
Kelas E
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakim adalah entitas penegak hukum di pengadilan dengan peran yang lebih
penting daripada jaksa, pengacara, dan panitera. Setelah diterapkan, hukum mulai
memasuki wilayah das sein (itu) dan meninggalkan wilayah das sollen (seharusnya).
Hukum bukan sekedar rangkaian benda mati yang menjadi bagian dari hukum, tetapi
telah “diaktifkan” oleh seorang penafsir hidup yang diangkat sebagai hakim.1
1
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Jakarta: ELSAM.2004, hlm 178
2
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, hlm
1.
suatu negara hukum.3 Pengadilan sebagai penopang utama terpeliharanya hukum dan
keadilan serta pembangunan peradaban bangsa, terpeliharanya hukum dan keadilan,
serta penghormatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dituntut untuk
menjaga harkat dan martabat serta integritasnya. negara. Dan hakim, sebagai aktor
kunci dalam proses peradilan, selalu dituntut untuk menumbuhkan kepekaan hati
nurani, guna menjaga integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan
profesionalisme, dengan tetap menghormati hukum dan keadilan bagi masyarakat
pada umumnya.4
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ibid, hlm 3.
4
Ibid, hlm 4-5.
5
Ibid.
dengan hakim, al-Mawardi menuliskan dalam al-ahkam as-sulthoniyyah tentang
adanya syarat-syarat tertentu untuk memilih seorang hakim.
Menurut al-Mawardi, ada tujuh syarat untuk dipilih sebagai seorang hakim:
3. Bebas merdeka.
4. Islam
5. Laki-laki
6. Keadilan
Syarat Pertama, sehat jasmani dan rohani, adalah syarat mutlak seorang hakim,
karena tugas utama seorang hakim adalah menyelesaikan masalah dan sengketa,
untuk menjawab sebuah masalah atau menyelesaikan sengketa, langkah pertama yang
harus ditempuh adalah proses tashowwur, yang dalam istilah hukum sekarang dikenal
dengan proses konstatir, yaitu mencari gambaran utuh tentang masalah yang
dihadapi. Untuk proses awal ini, yang paling dibutuhkan adalah selamatnya atau
sehatnya jasmani dan rohani seorang hakim agar mendapatkan gambaran yang benar
atas suatu masalah.
Syarat Kedua, seorang hakim harus mempunyai kecerdasan akal dan kemampuan
menghadapi permasalahan. Seorang hakim menurut al-Mawardi, tidak cukup hanya
mempunyai akal yang mampu mengetahui hal yang baik dan buruk, tapi lebih dari
itu, seorang hakim harus mempunyai kecerdasan akal sehingga bisa menjelaskan hal
yang sulit, memberikan solusi pada hal yang masih janggal, dan memberikat putusan
pada suatu yang diperselisihkan. Hal ini penting dalam tahap pemeriksaan yang kini
kita kenal dengan kwalifisir.
Syarat Ketiga, seorang hakim haruslah bebas dan merdeka, dalam artian tidak
boleh berstatus sebagai seorang budak. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak
mempunyai kekuasaan pada diri sendiri, bisa mengurusi urusan orang lain.
Syarat Keempat, seorang hakim harus beragama Islam, dalam Islam, salah satu
hal yang paling penting dalam peradilan adalah kesaksian dalam proses pembuktian.
Dan salah satu syarat kesaksian adalah yang bersaksi harus beragama Islam, jadi
seorang hakim yang menerima dan mempertimbangkan kesaksian tersebut juga lebih
utama untuk disyaratkan keIslamannya.
Syarat Keenam, sifat adil. Seorang hakim harus mempunyai sifat adil, namun sifat
adil disini tidak sebatas menempatkan sesuatu pada tempatnya, akan tetapi syarat ini
lebih luas daripada hal tersebut. Dimana adil disini mencakup selamatnya seseorang
dari sifat tercela yang meruntuhkan integritasnya baik dalam perkataan dan tingkah
laku atau perbuatan hal ini seperti makna adil yang disyaratkan oleh para ahli hadist.
Syarat Ketujuh, menguasai sumber hukum Islam. Yang dimaksud dengan sumber
hukum disini adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mengetahui tentang al-
Qur’an dalam tataran seorang hakim mengetahui mana yang masuk dalam kategori
nasikh, Mansukh, muhkam mutasyabih, aam, khas, mutlak muqayyad. Mengetahui
tentang Sunnah sehingga bisa mengetahui status hadist yang dipergunakan, serta bisa
menggunakannya sesuai dengan keadaan, dilihat dari asbabul wurud hadist tersebut.
Mengetahui tentang Ijma’ sehingga seorang hakim tidak keluar dari sebuah
kesepakatan yang telah mencapai derajat Ijma’, serta mampu berijtihad dalam hal
yang masih masuk dalam tataran hal yang diperselisihkan (belum masuk kategori
ijma’). Mengetahui Qiyas agar seorang hakim bisa dengan benar mengikutkan
ketentuan masalah baru yang belum ada ketentuannya kepada masalah yang telah ada
ketentuannya. Keempat hal ini tidak boleh lepas dari seorang hakim, agar bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik. Berlandaskan pada pijakan yang kuat, serta
mengakomodir keadaan zaman.
Empat diantara tujuh syarat diatas, disepakati bersama oleh ulama dari berbagai
madzhab. Keempat syarat tersebut adalah Sehat jasmani rohani, Kecerdasan dan
kemampuan, Bebas merdeka, dan Islam. Sedangkan tiga syarat lainnya masih
diperdebatkan oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah laki-laki, keadilan dan
penguasaan sumber hukum (dan Ijtihad).
6
Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, h. 29. Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-
Islâm, h.30-32.12