Anda di halaman 1dari 4

KEPERAWATAN JIWA

Perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan (asuhan keperawatan) dalam praktiknya melakukan
penilaian klinis mengenai respon atau reaksi pasien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialami, baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Penilaian klinis ini
dinamakan diagnosis keperawatan yang merupakan dasar pengembangan rencana intervensi
keperawatan dalam rangka mencapai peningkatan, pencegahan, dan penyembuhan penyakit, serta
pemulihan kesehatan.

Dalam praktik asuhan keperawatan jiwa ada berbagai respon (diagnosis keperawatan) yang
ditemukan. Respon perilaku individu terhadap stressor bervariasi sesuai dengan kondisi masing-
masing. Berdasarkan pengalaman penulis dalam berpraktik di area keperawatan jiwa ada beberapa
respon perilaku (diagnosis keperawatan) yang sering ditemukan pada pasien-pasien dengan
gangguan jiwa berat, diantaranya :

Perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang.
Respon ini dapat menimbulkan kerugian, baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.
Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu perilaku kekerasan saat sedang
berlangsung atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan). Dalam Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) ada 2 label diagnosis terkait hal ini, yaitu Perilaku
Kekerasan dan Resiko Perilaku Kekerasan.

Perilaku kekerasan (0132) adalah kemarahan yang diekspresikan secara berlebihan dan tidak
terkendali secara verbal sampai dengan mencederai orang lain dan / atau merusak lingkungan.
Secara subjektif (symptom) biasanya disertai dengan mengancam, mengumpat dengan kata-kata
kasar, suara keras, bicara ketus. Sedangkan secara objektif (sign) ditandai dengan menyerang
orang lain, melukai diri sendiri / orang lain, merusak lingkungan, perilaku agresif / amuk. Selain itu
biasanya juga ditandai dengan mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah, dan postur tubuh kaku.

Resiko perilaku kekerasan (0146) secara definisi berarti beresiko membahayakan secara fisik,
emosi, dan / atau seksual pada diri sendiri atau orang lain. Adapun indikator diagnostik (faktor
resiko) dari diagnosa ini sendiri, antara lain pemikiran waham / delusi, curiga pada orang lain,
halusinasi, berencana bunuh diri, kerusakan kognitif, disorientasi atau konfusi, kerusakan kontrol
impuls,alam perasaaan depresi, riwayat kekerasan pada hewan, kelainan neurologis, penganiayaan
atau pengabaian anak, riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain atau
destruksi prorperti orang lain, impulsif, dan ilusi.

Faktor seseorang dapat melakukan perilaku kekerasan beragam diantaranya adalah psikologis,
perilaku yang dilakukan orang lain, control social yang pasif dan bioneurologis (kerusakan pada
system limbik, lobus frontal dan lobus temporal). Selain itu, ada faktor prespitasi seperti kelemahan
fisik, keputusaan dan percaya diri kurang sehingga memunculkan perilaku kekerasan.

Langkah dalam penanganan klien dengan perilaku kekerasan beragam salah satu diantaranya
adalah metode assertive training atau terapi tingkah laku dimana klien diminta mengungkapkan
perasaan marah secara tepat atau asertif sehingga mampu berhubungan dengan orang lain.
Mampu menyatakan apa yang disukai, yang ingin dikerjakan dan merasa nyaman berbicara tentang
dirinya.

Gangguan sensori persepsi : halusinasi

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai denagn perubahan
sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Secara subjektif (symptom)
biasanya pasien mengatakan mendengar suara bisikan atau melihat bayangan, merasakan sesuatu
melalui indera perabaan, penciuman,atau pengecapan. Secara objektif (sign) ditandai dengan
adanya distorsi sensori, respon tidak sesuai, bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap,
meraba, atau mencium sesuatu. Selain itu juga ditandai dengan perilaku menyendiri, melamun,
konsentrasi buruk, disorientasi (waktu, tempat, orang atau situasi), curiga, melihat ke satu arah,
mondar mandir, dan bicara sendiri.

Ada banyak faktor penyebab seseorang mengalami gangguan sensori : halusinasi yaitu tugas masa
perkembangan yang terhambat, masalah sosial seperti kemiskinan, kondisi lingkungan seperti
adanya stressor lingkungan, kerusuhan, faktor biologi, faktor psikologis seperti hubungan
interpersonal yang tidak harmonis dan kondisi kesehatan (gizi buruk atau infeksi).

Isolasi sosial

Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien dengan isolasi sosial
biasanya merasa ingin sendirian, merasa tidak aman di tempat umum. Pada beberapa kasus
biasanya pasien juga mengungkapkan merasa berbeda dengan orang lain, merasa asyik dengan
pikiran sendiri, dan merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas. Perilaku yang sering ditunjukan
ditandai dengan menarik diri, tidak berminat / menolak berinteraksi dengan orang lain atau
lingkungan, jarang berkomunikasi, tidak ada kontak mata, malas, tidak beraktifitas dan menolak
hubungan dengan orang lain. Dampak dari isolasi social yang tidak tertangani adalah penurunan
produktifitas seseorang.

Gangguan proses pikir : waham

Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat / terus menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. Secara subjektif biasanya pasien mengungkapkan isi waham,
seperti waham kebesaran (“saya ini pejabat presiden..” atau “Saya punya tambang emas..”), waham
curiga (“saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan
kesuksesan saya..”). Biasanya juga ditandai dengan menunjukkan perilaku sesuai isi waham, isi
pikir tidak sesuai realitas, isi pembicaraan sulit dimengerti. Selain itu pasien juga terlihat curiga
berlebihan, waspada berlebihan, bicara berlebihan, sikap menentang atau permusuhan, wajah
tegang, pola tidur berubah, tidak mampu mengambil keputusan, flight of idea, produktifitas kerja
menurun, tidak mampu merawat diri, dan menarik diri.

Penyebab seseorang mengalami waham antara lain faktor biologi seperti kerusakan neurologis yang
mempengaruhi system limbic dan ganglia basalis dan faktor psikodinamika.

Resiko bunuh diri


Secara definisi resiko bunuh diri berarti beresiko melakukan upaya menyakiti diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan. Faktor resiko nya antara lain gangguan perilaku (mis. euforia mendadak
setelah depresi, perilaku mencari senjata berbahaya, membeli obat dalam jumlah banyak, membuat
surat warisan), demografi (mis. lansia, status perceraian, janda / duda, ekonomi rendah,
pengangguran), gangguan fisik (mis. nyeri kronis, penyakit terminal), masalah sosial (mis. berduka,
tidak berdaya, putus asa, kesepian, kehilangan hubungan yang penting, isolasi sosial), dan
gangguan psikologis (mis. penganiayaan masa kanak-kanak, riwayat bunuh diri sebelumnya, remaja
homoseksual, gangguan psikiatrik, penyalahgunaan zat).

Berdasarkan data WHO (2015), bunuh diri menjadi penyebab utama kedua kematian pada usia
produktif 15-29 tahun dan rata-rata kematian karena bunuh diri di Indonesia adalah satu orang pada
setiap satu jam. Tidak semua tindakan bunuh diri disebabkan oleh gangguan jiwa, tetapi 80-90%
remaja yang meninggal karena bunuh diri mempunyai psikopatologi signifikan seperti gangguan
mood, gangguan cemas, problem perilaku dan penyalahgunaan NAPZA. Menurut WHO Global
Health Estimates 2017, kematian global tertinggi akibat bunuh diri adalah pada usia 20 tahun di
negara low- and-middle income. Lebih lanjut menurut Global School Based Health Survey
2015 keinginan untuk bunuh diri pada pelajar SMP dan SMA lebih banyak remaja perempuan
daripada remaja laki-laki. Data Riskesdas 2013 memaparkan angka bunuh diri di kota lebih banyak
daripada di desa. Dan kejadian ini lebih banyak menimpa remaja dengan masalah emosional
dengan gejala mempunyai pikiran mengakhiri hidup, merasa tidak mampu melaksanakan hal-hal
yang bermanfaat dalam hidup, merasa tidak berharga, kehilangan minat pada berbagai hal,
pekerjaan sehari-hari terganggu.

Defisit perawatan diri

Defisit perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan, berhias diri,
dan eliminasi (buang air besar dan buang air kecil) secara mandiri. Tanda dan gejala yang tampak
pada pasien yang mengalami defisit perawatan diri adalah sebagai berikut :

Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, serta
kuku panjang dan kotor.

Ketidakmampuan berhias / berpakaian, ditandai dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan
tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien perempuan tidak
berdandan.

Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh ketidakmampuan mengambil makan sendiri,
makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya.

Ketidakmampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan buang air besar (BAB) atau buang air
kecil (BAK) tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB / BAK.
Harga diri rendah

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri. Secara subjektif
pasien menilai diri negatif (mis. tidak berguna, tidak tertolong), merasa malu / bersalah, merasa tidak
mampu melakukan apapun, meremehkan kemampuan mengatasi masalah, merasa tidak memiliki
kelebihan atau kemampuan positif, melebih-lebihkan penilaian negatif tentang diri sendiri, menolak
penilaian positif tentang diri sendiri. Secara objektif ditandai dengan enggan mencoba hal baru,
berjalan menunduk, postur tubuh menunduk. Selain itu bisa juga dilihat dari kontak mata yang
kurang, lesu dan tidak bergairah, berbicara pelan dan lirih, pasif, perilaku tidak asertif, mencari
penguatan secara berlebihan, bergantung pada pendapat orang lain, sulit membuat keputusan, dan
seringkali mencari penegasan.

Masalah harga diri rendah perlu mendapatkan penanganan yang tepat karena jika tidak hal ini dapat
menyebabkan timbulnya masalah psikologis lain yang lebih serius. Morton, Louise, Reid, dan
Stewart (2011) menyebutkan bahwa masalah harga diri rendah dapat berkembang menjadi
gangguan jiwa seperti depresi, ansietas dan panik.

Anda mungkin juga menyukai