Kepada Yth,
MENTERI HUKUM DAN HAM
BAPAK PATRIALIS AKBAR, S.H., M.H.
Di-
Jl. Rasuna Said, Kuningan,
Jakarta Selatan
Dengan Hormat,
1
2. Bahwa pada awalnya kehidupan rumah tangga klien kami sangat
bahagia, namun setelah memasuki tahun 2007 kehidupan rumah
tangganya mulai sedikit bermasalah karena orang tua Purnima Ralhan
Kine (mertua klien kami) sering ikut campur dalam urusan rumah
tangga klien kami sehingga pada tanggal 20 Agustus2007 Punima
Ralhan Kine meninggalkan rumah dan hidup bersama orang tuanya
(Jaya Shree dan KK Ralhan). Perlu diketahui bahwa rumah mertua
Pemohon Kasasi terletak di Jl. Taman Patra II No. 17, Kuningan,
Jakarta Selatan, sedangkan rumah tinggal Pemohon Kasasi dengan
istrinya di jalan Jl. Taman Patra II No. 15 Kuningan Jakarta Selatan
(persis bersebelahan).
2
gelas tersebut lepas dari tangan klien kami secara tidak
sengaja akibat dari jari tangan Jonathan I. Kine yang
sedang sakit. Adalah tidak mungkin sebagai seorang
kepala sekolah JIS Jonathan I. Kine melakukan hal
tersebut di depan anaknya, apalagi rumah klien kami
sangat berdekatan dengan rumah mertuanya. Jika hal
tersebut benar-benar Klien Kami lakukan, maka
semestinya pada saat itu juga Purnima Ralhan
meninggalkan rumah, namun yang terjadi Purnima
Ralhan meninggalkan rumah pada tanggal 20 Agustus
2007, hal tersebut dikarenakan Purnima telah
memindahkan barang Lara Rose Kine sedikit demi sedikit
ke rumah orang tuanya.
3
milik saksi pelapor sendiri yang kunci lacinya dipegang
oleh Purnima Ralhan Kine. Sedangkan tongkat baseball
memang sebelumnya sudah biasa diletakan tergeletak di
bawah tempat tidur.
4
semua dijawab oleh Purnima, sedangkan Riska hanya
diberi perintah oleh majikanya untuk menjawab YA.
Setelah selesai pemeriksaan, Riska diberikan uang
sebesar Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus rupiah) oleh
Purnima.
5
diputuskan oleh Hakim tentang penetapan kuasa/hak
asuh di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
menciderai Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan fakta
tersebut maka sudah terlihat dengan jelas jika Purnima
ingin menguasai secara keseluruhan hak asuh terhadap
LARA dengan upaya menghalalkan segala cara, dimana
peristiwa tersebut saling berkaitan antara satu dengan
yang lain yaitu termasuk kasus KDRT yang
dilaporkannya;
2.2.8 Bahwa motif Purnima semakin jelas dan terang apa yang
menjadi latar belakang untuk mengkriminalisasi Jonathan
I. Kine, karena sebelum pemeriksaan perkara pidananya
di Pengadilan, Purnima telah mengajukan permohonan
6
kuasa asuh anaknya berdasarkan peristiwa-peristiwa
bohong yang dilaporkan ke kepolisian. Kemudian keluar
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
tanggal 20 Januari 2008. Berdasarkan hal tersebut sangat
terlihat bahwa Purnima memang bertujuan memisahkan
Lara (anak) dengan Jonathan I. Kine (ayah) yang sangat
menyiksa Jonathan I. Kine dari segi bathiniah dengan
dilarangnya Jonathan I. Kine untuk bertemu dengan Lara
(anak kandung), kecuali pertemuan terakhir pada tanggal
22 September 2007, dan hingga sekarang Jonathan I.
Kine tidak dapat menjumpai anaknya.
Bahwa sebelum terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diklaim oleh Purnima sebagai perbuatan pidana, pada
awalnya memang Purnima sudah lama ingin mengakhiri
pernikahannya dengan Jonathan I. Kine. Hal itu terbukti
Purnima mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam perkara No.47/Pdt.G/2008/PN.Jkt-
Sel. dengan dasar gugatan peristiwa-perisiwa bohong
yang dilaporkan ke kepolisian.
3 Bahwa berdasarkan pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 menyebutkan: “(1)
Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi: a) suami,
isteri dan anak, b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud dalam hurup karena hubungan
darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga, dan atau, c) orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut” .
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka syarat (unsur) yang utama
(primer) dalam suatu rumah tangga adalah diawali dengan adanya
suatu hubungan perkawinan, yang kemudian dengan kualifikasi
tertentu berdasarkan UU, maka pihak tertentu dapat dikualifikasikan
dalam lingkup rumah tanggga.
Di lain pihak, konsideran menimbang dalam UU No. 23 Tahun 2004
dalam hurup a menyatakan: “bahwa setiap warga Negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Selanjutnya dalam konsideran hurup d menyatakan: “bahwa dalam
kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi,
sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban kekekarasan dalam rumah tangga”.
Bahwa Latar belakang dibentuknya UU No. 23 Tahun 2004 adalah
sebagai sebuah upaya affirmative action terhadap perlindungan
perempuan Indonesia, yang kemudian dipahami oleh para penggagas
gerakan gender di Indonesia bahwa kaum perempuan Indonesia
mempunyai resistensi tinggi sebagai korban KDRT oleh karena
7
disebabkan beberapa faktor, seperti: kultur patriarkhi yang sangat
kuat, pemahaman yang keliru tentang ajaran agama, dan akses
terhadap ekonomi/SDA lebih banyak dikuasai laki-laki, dll. Hal tersebut
nampak jelas dan nyata digambarkan dalam Penjelasan UU No. 23
Tahun 2004 Ketentuan Umum pada alenia ke-7 (tujuh) yang berbunyi:
“Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena
undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan tentang tindak pidana kekarasan dalam rumah tangga
secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
penganiayan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu
diberikan dan kehidupan”.
Bahwa Pemohon Kasasi adalah seorang warga negara Amerika dan
mempunyai isteri seorang warga negara Amerika, menikah di Amerika
berdasarkan ketentuan hukum perkawinan negara Amerika, serta
mempunyai kultur yang sangat menghormati kesetaraan gender,
sehingga tidak ada relevansi penerapan asas teritorial dalam doktrin
hukum pidana terhadap kasus konflik rumah tangga Pemohon Kasasi,
apalagi kemudian dikriminalisasi berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004,
karena yurisdiksi perkawinan Pemohon Kasasi tidak tunduk dengan UU
No.1 Tahun 1974 dan tidak dalam kualifikasi lingkup pengertian rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2004. Atau
setidak-tidaknya, hanya melanggar ketentuan Pasal 152 KUHP.
Sehingga konsekuensi asas teritorial dalam doktrin pemidanaan di
Indonesia tidak serta merta secara mutatis mutandis berlaku terhadap
kasus dugaan pelanggaran KDRT orang asing, karena UU No. 23
Tahun 2004 mempunyai sifat yang khas berbeda dengan undang-
undang lainnya, sehingga terhadap kasus dugaan pelanggaran KDRT
bagi orang asing cukup diterapkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
4 Bahwa atas laporan tertanggal 23 September 2007, penyidik tidak
melaksanakan ketentuan pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 23
Tahun 2004 yang berbunyi:
”(1) Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib
segera memberikan perlindungan sementara pada korban;(2)
Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau
ditangani;(3) Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.”
8
Bahwa seandainya apa yang dilaporkan oleh Purnima Ralhan Kine
benar, maka langkah pertama yang dilakukan penyidik semestinya
adalah memberikan perlindungan sementara kepada korban. Artinya,
laporan tersebut baru dianggap sebagai sebuah “petunjuk” awal
adanya peristiwa KDRT. Jika pelaku KDRT tetap melakukan
perbuataannya, maka dimintakan perlindungan berdasarkan
penenetapan pengadilan. Apabila dilakukan lagi, barulah pengadilan
melakukan penahanan (pasal 38 UU No. 23 Tahun 2004).
Dalam kasus ini, penyidik langsung memproses penyidikannya dan
melimpahkan ke pengadilan. Apabila mengacu pada ketentuan acara
yang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004, maka peristiwa
tersebut harus dianggap baru pertama kali dilakukan, karena baru
pertama kali dilaporkan ke penyidik. Dengan demikian “anggapan
hukum” dalam peristiwa KDRT dapat diartikan apabila pelaku telah
melakukan perbuatannya sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dengan
kuantitas dan kualitas perbuatan yang mengakibatkan sangat
parah/berat dari segi fisik dan psikis bagi kondisi korban.
Apalagi bukti psikis yang dijadikan dasar oleh penyidik sangat tidak
berdasar hukum, karena Surat Keterangan dari Konselor Dra. Evita
Adnan M.Psi. hanya memuat keterangan sepihak Purnima Ralhan Kine,
dan secara yuridis Dra. Evita Adnan, M.Psi. hanya merupakan konselor,
bukan psikolog, sehingga tidak berhak membuat pernyataan yang
bernilai hukum, karena konselor hanya merupakan relawan
pendamping bagi korban KDRT sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 17 UU No. 23 Tahun 2004.
Penyidikpun telah mengabaikan ketentuan Pasal 17 UU No.23 Tahun
2004, dimana penyidik hanya meminta keterangan dari Dra. Evita
Adnan, M.Psi. tentang kondisi psikis korban, ternyata yang
dilaksanakan adalah hanya sebatas wawancara, tidak ada pemulihan
(recovery) kondisi psikis korban. Atas dasar wawancara tersebut
kemudian dibuat surat keterangan tanpa melalui metodelogi ilmu
psikologi yang benar.
Selain ketentuan tersebut diatas penyidik wajib melaksanakan
ketentuan Pasal 22 UU No. 23 Tahun 2004, namun dalam hal ini
penyidik tidak melaksanakan ketentuan tersebut, sehingga dapat
disimpulkan bahwa peristiwa tersebut tidak berakibat pada kondisi
phisik dan psikis yang fatal/berat.
Bahwa berbagai aturan mengenai ketentuan acara dalam UU No. 23
Tahun 2004 dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada
korban, dan dilain pihak adanya penghormatan atas ketentuan
Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(asas praduga tak bersalah) dan penghormatan atas hukum
privat antara suami istri yang terikat dalam suatu perkawinan,
maka tidak semua konflik rumah tangga dapat langsung dikriminalisasi
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004. Berdasarkan hal tersebut
pembuat undang-undang telah mengatur ketentuan acaranya bersifat
9
spesialis (khusus)/khas, sehingga wajib dilaksanakan mengingat
adanya penghormatan atas asas praduga tidak bersalah dan hukum
privat dalam perkawinan.
Pemahaman tentang hal tersebut diatas tidak dipahami secara baik
oleh JPU dan Hakim, dimana mereka hanya memahami proses pidana
secara konvensional saja. Hal itu terbukti JPU menerima begitu saja
perkara yang dilimpahkan dari penyidik, sedangkan hakim menerima
begitu saja atas perkara yang dilimpahkan oleh JPU.
Pada saat persidangan klien kami dinyatakan terbukti bersalah hanya
berdasarkan keterangan saksi Jaya Shree (mertua perempuan)
sedangkan saksi-saksi lain (2 pembantu) mencabut keterangannya di
BAP dan 2 (dua) pembantu menyatakan tidak pernah melihat peristiwa
yang dituduhkan terhadap klien kami. Artinya, klien kami dipidana
berdasarkan suatu bukti yang cacat hukum yaitu surat keterangan Dra.
Evita Adnan, M.Psi. (Psikolog palsu) dan visum et repertum yang hanya
menerangkan “nyeri”.
Dan atas kedua bukti tersebut telah terbantahkan berdasarkan
keterangan saksi ahli Dra. Hatma Sapar Shinto Sukirna, MSC. (anggota
Himpunan Psikolog Indonesia/HIMPSI) yang pada intinya menyatakan
tidak semua sarjana psikologi adalah Psikolog, dan Konselor tidak
berhak membuat pernyataan untuk kepentingan hukum, serta untuk
mengukur tingkat depresi korban digunakan alat ukur (metodelogi), tidak
dengan cara menginventaris persepsi orang (korban).
Sedangkan visum et repertum telah terbantahkan berdasarkan
keterangan Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, SPB. FINACS yang pada
intinya “nyeri” bersifat umum (subyektif) dan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar diagnose sehingga perlu dicari apa yang menjadi
penyebab “nyeri” tersebut dengan ronsen. Dalam fakta persidangan
telah terbukti dan tidak terbantahkan bahwa Purnima Ralhan Kine
mempunyai riwayat menderita penyakit Rheumatoid Arthritis sejak
lama, penyakit tersebut merupakan penyakit yang berkelanjutan dan
menyebabkan nyeri pada persendian.
5 Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan berdasarkan pada
pertimbangan bahwa telah terjadi penyimpangan dari maksud dan tujuan
dibentuknya UU No. 23 Tahun 2004 dalam penegakan hukumnya (law
enforcement), sehingga telah melanggar hak asasi klien kami, dan dapat
berpotensi menimbulkan citra negatif terhadap penegakan hukum di
Indonesia, mengingat klien kami adalah WNA dengan ”kultur” sangat
menghormati hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, serta
percaya bahwa penegakan hukum di Indonesia masih dapat berjalan
sesuai dengan rule of law.
6 Bahwa berhubung dengan hal-hal diatas, Kami mohon perkenan Bapak
Mentri Hukum dan HAM R.I. memberikan perlindungan Hukum kepada
Klien Kami.
10
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan perkenannya kami haturkan terima
kasih.
Hormat Kami,
Tembusan:
11