Anda di halaman 1dari 11

Jakarta, 3 November 2009

Nomor : 108/ DIN.-KH/ XI/2009


Lampiran : 1 (satu) item.

Kepada Yth,
MENTERI HUKUM DAN HAM
BAPAK PATRIALIS AKBAR, S.H., M.H.
Di-
Jl. Rasuna Said, Kuningan,
Jakarta Selatan

Perihal : Perlindungan Hukum

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami, DANU I. NUGRAHA, S.H, M.H., GATRA E.


RAHARDIAN, S.H., M.H. dan TODDY SEBASTIAN, S.H., M.H, Advokat
dan Konsultan Hukum pada “D.I.NUGRAHA & PARTNERS LAW OFFICE”
berkedudukan di Jalan Dewi Sartika No.44, Cawang, Jakarta Timur, bertindak
untuk dan atas nama klien kami JONATHAN I. KINE berdasarkan Surat
Kuasa Khusus No. 070/DIN.Pidana/X/2009, tertanggal : 20 Oktober 2009
(terlampir), dengan ini mengajukan surat permohonan perlindungan hukum
kepada Bapak Menteri Departemen HUKUM & HAM sehubungan dengan
permasalahan hukum terhadap klien kami yang telah diperiksa di Kepolisian,
dan telah dituntut di Pengadilan (posisi terakhir sebagai Pemohon Kasasi di
Mahkamah Agung Republik Indonesia) dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2004
Tentang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menurut kami
telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga tidak sesuai
dengan maksud dan tujuan dibentuknya UU tersebut yang kemudian
berakibat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (klien kami) berdasarkan hal-
hal sebagai berikut:

1. Bahwa klien kami warga negara Amerika telah melangsungkan


pernikahan di Amerika pada tahun 1997 dengan seorang perempuan
bernama Purnima Ralhan (Keturunan India, berkewarganegaraan
Amerika), dan pada tahun 2000 telah menetap dan bekerja di
Indonesia sebagai guru di Jakarta Internasional School (JIS). Dari
perkawinan tersebut, klien kami telah dikarunai seorang anak
perempuan (Lara Rose Kine) lahir di Indonesia dengan pasport
Amerika dan berkebangsaan Amerika, dan di Bulan Desember 2009 ini
akan berusia berumur 8 tahun, dan klien kami hingga sekarang masih
tinggal dan berkarir di Indonesia, bahkan klien kami telah merasa
Indonesia sebagai tanah air yang kedua;

1
2. Bahwa pada awalnya kehidupan rumah tangga klien kami sangat
bahagia, namun setelah memasuki tahun 2007 kehidupan rumah
tangganya mulai sedikit bermasalah karena orang tua Purnima Ralhan
Kine (mertua klien kami) sering ikut campur dalam urusan rumah
tangga klien kami sehingga pada tanggal 20 Agustus2007 Punima
Ralhan Kine meninggalkan rumah dan hidup bersama orang tuanya
(Jaya Shree dan KK Ralhan). Perlu diketahui bahwa rumah mertua
Pemohon Kasasi terletak di Jl. Taman Patra II No. 17, Kuningan,
Jakarta Selatan, sedangkan rumah tinggal Pemohon Kasasi dengan
istrinya di jalan Jl. Taman Patra II No. 15 Kuningan Jakarta Selatan
(persis bersebelahan).

Bahwa pada tanggal 23 Spetember 2007 Purnima Ralhan Kine


melaporkan klien kami di Polda Metro Jaya dituduh melakukan KDRT
berdasarkan peristiwa pada tanggal 19 Agustus 2007, 30 Agustus
2007, 8 September 2007 dan tanggal 22 September 2007 hal mana
peristiwa-peristiwa a quo telah direkayasa sedemikian rupa
(memutarbalikan fakta) dengan maksud untuk mengkriminalisasi klien
kami, dengan menggunakan prosedur hukum yang berlebihan untuk
mencapai suatu tujuan lain dari hukum itu sendiri (misbruik onrecht),
sehingga penerapan UU No. 23 Tahun 2004 terkesan sangat
dipaksakan, untuk mencapai tujuan yang tersembunyi dari Purnima
Ralhan Kine bersama orang tuanya (Mertua Pemohon Kasasi),
berdasarkan fakta-fakta sebagai berikut:

2.1. Bahwa sebelum Purnima Ralhan Kine melakukan laporan


polisi, pada awalnya permasalahan antara Jonathan I. Kine
dengan Purnima Ralhan Kine dilatarbelakangi persoalan rumah
tangga biasa antar suami dan istri. Peristiwa pada tanggal 19
Agustus 2007, 30 Agustus 2007, 8 September 2007 dan 22
September 2007 yang dilaporkan oleh Purnima Ralhan Kine
adalah sebagai bagian rekayasa atas fakta – fakta yang terjadi
sebenarnya

Bahwa rangkaian fakta-fakta yang telah telah diputarbalikan


oleh Purnima Ralhan Kine telah menunjukan bahwa Purnima
Ralhan Kine ADALAH PEMBOHONG BESAR dengan maksud
semata-mata agar klien kami (Jonathan I. Kine) tidak berhak
atas pengasuhan anak, bahkan tujuannya lebih dari itu, yaitu
pembunuhan karakter dan secara sistematis akan memisahkan
Jonathan I. Kine sebagai bapak biologis dari anaknya,
berdasarkan fakta-fakta sebagai berikut:

2.1.1. Bahwa peristiwa tanggal 19 Agustus 2007 yang


dinyatakan oleh Purnima Ralhan Kine bahwa klien kami
telah membanting gelas hingga pecah dan melakukan
pengancaman akan melakukan pembunuhan adalah
bohong besar, karena fakta yang sebenarnya adalah

2
gelas tersebut lepas dari tangan klien kami secara tidak
sengaja akibat dari jari tangan Jonathan I. Kine yang
sedang sakit. Adalah tidak mungkin sebagai seorang
kepala sekolah JIS Jonathan I. Kine melakukan hal
tersebut di depan anaknya, apalagi rumah klien kami
sangat berdekatan dengan rumah mertuanya. Jika hal
tersebut benar-benar Klien Kami lakukan, maka
semestinya pada saat itu juga Purnima Ralhan
meninggalkan rumah, namun yang terjadi Purnima
Ralhan meninggalkan rumah pada tanggal 20 Agustus
2007, hal tersebut dikarenakan Purnima telah
memindahkan barang Lara Rose Kine sedikit demi sedikit
ke rumah orang tuanya.

2.1.2. Bahwa pada peristiwa 30 Agustus 2007 yang dinyatakan


oleh Pelapor bahwa Jonathan I. Kine telah melempar
tubuh Purnima Ralhan Kine hingga 8 s/d 10 meter.
Faktanya peristiwa tersebut tidak dapat dibuktikan pada
saat persidangan berlangsung, maka sangat terlihat jika
pernyataan tersebut adalah rekayasa. Kebohongan
Purnima semakin terbukti, karena keesokan harinya
Purnima beraktifitas seperti biasa sebagai guru di JIS
(Jakarta International School) dan tidak ada tanda-tanda
Purnima dalam keadaan sakit.

Bahwa fakta yang sebenarnya Purnima Ralhan Kine


terjatuh bukan karena dilempar tubuhnya oleh klien kami,
tetapi jatuh terpleset karena licin akibat genangan air
bekas Lara Rose Kine mandi dan bermain air, itupun
karena Purnima mencoba menendang kemaluan klien
kami namun tidak kena;
2.1.3. Bahwa pada peristiwa tertanggal 8 September 2007
dimana Purnima Ralhan Kine merasa keamanannya
terancam oleh keberadaan sebuah pisau dan sebuah
tongkat baseball di kamar tidur utama, dan membuat
pernyataan sedemikian rupa seolah-olah kedua benda
tersebut ada di kamar tidur utama. Hal ini tidak benar,
didasarkan pada fakta bahwa:
Pertama, Purnima Ralhan Kine mempunyai kunci kamar
sendiri, Kedua, Keberadaan Purnima Ralhan Kine di
rumah itu pada hari itu cukup lama, sebelum tiba-tiba dia
keluar kamar dan memanggil saksi dan mengatakan
“lihat ini“. Ketiga, sebelum Purnima memanggil saksi,
Purnima mengambil Hand Phone nya kemudian
memanggil saksi (dua pembantunya) diajak masuk ke
dalam untuk melihat pisau dan tongkat baseball tersebut.
Keempat, buffet/laci meja tempat pisau terletak adalah

3
milik saksi pelapor sendiri yang kunci lacinya dipegang
oleh Purnima Ralhan Kine. Sedangkan tongkat baseball
memang sebelumnya sudah biasa diletakan tergeletak di
bawah tempat tidur.

2.2.4 Bahwa peristiwa tanggal 22 September 2007 yang


dilaporkan oleh Purnima Ralhan Kine dimana klien kami
dituduh melakukan mendorong Purnima Ralhan Kine
sampai terjatuh adalah peristiwa yang direkayasa dan
memutarbalikan fakta yang sebenarnya. Peristiwa yang
sebenarnya klien kami datang kerumah mertua karena
diundang untuk membicarakan persoalan rumah tangga
klien kami, namun sesampainya dirumah mertuanya
pertemuan tersebut pembicaraannya lebih banyak
didominasi oleh mertuanya dengan bahasa yang kasar
dan tidak layak dihadapan Lara Rose Kine, oleh karena
itu klien kami mengambil Lara Rose Kine dari pangkuan
mertuanya dengan maksud supaya Lara Rose Kine tidak
mendengar perkataan buruk yang dilontarkan oleh
mertuanya, dan kemudian klien kami “diselengkat” oleh
mertuanya sehingga jatuh terkena meja kaca dan
menyebabkan tangan klien kami berdarah, lalu klien kami
pergi kearah pintu rumah yang dihalangi oleh Purnima
Ralhan Kine dengan keadaan tangan yang berdarah dan
Lara Rose Kine menangis, maka klien kami menepis
tangan Purnima Ralhan Kine tetapi pada akhirnya
mengalah untuk menyerahkan Lara Rose Kine ke Purnima
Ralhan Kine dan pergi meninggalkan rumah mertuannya;
Peristiwa tersebut kemudian dilaporkan oleh Purnima
tetapi tidak mengakibatkan tanda-tanda yang fatal /
parah. Bahkan tidak ada konsistensi dari Purnima
mengenai letak sakit sebenarnya, selalu berpindah-
pindah, pada saat di BAP mengatakan sakit berada pada
bagian pinggang sedangkan, pada visum pada bagian
leher dan tulang belakang sementara dalam persidangan
Purnima Ralhan Kine menyatakan bahwa bagian yang
sakit adalah pinggang dan pinggul. Sementara yang valid
hanyalah gejala nyeri, bukan merupakan diagnosa
dokter, tetapi adalah gejala yang dinyatakan Purnima
Ralhan Kine saja.

2.2.5 Bahwa Purnima Ralhan Kine telah mengelabui pembantu


rumah tangganya Riska (pendidikan terakhir SMP), yaitu
dengan mengajak Riska untuk pergi ke dokter gigi Lara,
namun ternyata Riska dibawa ke Kantor Kuasa Hukum
Purnima untuk diperiksa oleh para penyidik dengan baju
preman. Atas pertanyaan-pertanyaan para penyidik

4
semua dijawab oleh Purnima, sedangkan Riska hanya
diberi perintah oleh majikanya untuk menjawab YA.
Setelah selesai pemeriksaan, Riska diberikan uang
sebesar Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus rupiah) oleh
Purnima.

Bahwa indikasi adanya konspirasi penyidik dengan


Purnima sangat nyata, di mana BAP Tambahan
Purnima , Riska, dan Lara, diperiksa dan dibuat pada hari
yang sama yaitu pada tanggal 10 Oktober 2007 di kantor
kuasa hukum Pemohon, namun dalam BAP RISKA dibuat
pada tanggal 10 Oktober 2007, BAP LARA dibuat pada
tanggal 31 Oktober 2007, dan BAP Purnima dibuat pada
tanggal 9 Oktober 2007, dan hal tersebut telah diakui
oleh penyidik pada saat sidang sebagai saksi di
pengadilan.

Bahwa karena saksi-saksi adalah para pembantu yang


telah dipengaruhi dan Ibu mertua Jonathan I. Kine,
akhirnya mereka memberikan keterangan berdasarkan
pada apa yang dijawab oleh Purnima, sedangkan saksi-
saksi hanya disuruh menjawab “ya”. Hal tersebut terbukti
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena saksi-saksi
tersebut mencabut keterangannya dan mengakui pada
saat di BAP mereka telah diarahkan oleh Purnima dan
Kuasa Hukumnya.

2.2.6 Bahwa oleh karena Purnima dan orang tuanya melarang


Jonathan berhubungan dengan Lara yang menyebabkan
Jonathan I. Kine tidak dapat berjumpa dengan anaknya,
akhirnya Jonathan I. Kine mengajukan surat kepada
Komisi Nasional Perlindungan Anak, yang ditindak lanjuti
oleh KOMNASPA dilakukan mediasi. Pada saat mediasi
tersebut Komnaspa meminta Lara untuk dibawa serta,
namun ditolak oleh Purnima. Berdasarkan hal tersebut
Komnaspa meminta hasil konseling LARA dengan
psikiaternya, dan disanggupi oleh Purnima untuk
menyerahkan. Namun karena hasil konseling Lara dari
psikiater tersebut tidak kunjung diserahkan, kemudian
Komnaspa mengirimkan surat untuk segara
menyerahkan, tetapi kemudian surat tersebut dijawab
oleh Kuasa Hukum Purnima yang berisi penolakan atas
permintaan hasil konseling dari Psikiater ;

Bahwa perlu kami sampaikan berdasarkan Surat dari


Komisi Nasional Perlindungan Anak No.
074/Komnaspa/II/2007 tertanggal 11 Februari 2008,
yang pada intinya menyatakan bahwa apa yang

5
diputuskan oleh Hakim tentang penetapan kuasa/hak
asuh di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
menciderai Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan fakta
tersebut maka sudah terlihat dengan jelas jika Purnima
ingin menguasai secara keseluruhan hak asuh terhadap
LARA dengan upaya menghalalkan segala cara, dimana
peristiwa tersebut saling berkaitan antara satu dengan
yang lain yaitu termasuk kasus KDRT yang
dilaporkannya;

2.2.7 Bahwa pada sekitar bulan Oktober 2008, Bapak Mertua


Jonathan I. Kine berkirim surat kepada Imigrasi yang
berisi Jonathan I. Kine adalah seorang yang sangat
berbahaya karena telah melakukan pembunuhan
terhadap 200 orang, dan atas dasar surat tersebut
Jonathan I. Kine memperoleh status cekal sejak tanggal
20 Oktober 2007. Tidak cukup sampai disitu, Bapak
Mertua Jonathan I. Kine juga berkirim surat kepada
Manajemen Jakarta International yang isi suratnya sama
dengan surat yang telah dikirim ke Imigrasi. Atas hal
tersebut Jonathan I. Kine telah melaporkan ke POLRES
Jakarta Selatan, berdasarkan Laporan No.
LP/448/VIII/Siaga-III tertanggal 08 Agustus 2008, dan
Bapak mertuanya telah ditetapkan sebagai tersangka
dalam dugaan terjadinya tindak pidana pencemaran
nama baik;

Atas cekal tersebut Jonathan I. Kine telah melakukan


klarifikasi ke Dirjend Imigrasi dan telah ditindak lanjuti
secara baik dan bijaksana, sehingga status cekal tersebut
telah dicabut.

Bahwa berdasarkan hal tersebut patut diduga bahwa


seluruh proses hukum tersebut merupakan proses
rekayasa yang dengan tujuan untuk membinasakan hak
asasi Jonathan I. Kine, memisahkan Jonathan I. Kine
dengan Lara (Putri kandungnya), menghilangkan
pekerjaan Jonathan I. Kine, pencekalan terhadap
Jonathan I. Kine, dan ditargetkan untuk memasukan
Jonathan I. Kine kedalam penjara dengan sebuah
konspirasi.

2.2.8 Bahwa motif Purnima semakin jelas dan terang apa yang
menjadi latar belakang untuk mengkriminalisasi Jonathan
I. Kine, karena sebelum pemeriksaan perkara pidananya
di Pengadilan, Purnima telah mengajukan permohonan

6
kuasa asuh anaknya berdasarkan peristiwa-peristiwa
bohong yang dilaporkan ke kepolisian. Kemudian keluar
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
tanggal 20 Januari 2008. Berdasarkan hal tersebut sangat
terlihat bahwa Purnima memang bertujuan memisahkan
Lara (anak) dengan Jonathan I. Kine (ayah) yang sangat
menyiksa Jonathan I. Kine dari segi bathiniah dengan
dilarangnya Jonathan I. Kine untuk bertemu dengan Lara
(anak kandung), kecuali pertemuan terakhir pada tanggal
22 September 2007, dan hingga sekarang Jonathan I.
Kine tidak dapat menjumpai anaknya.
Bahwa sebelum terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diklaim oleh Purnima sebagai perbuatan pidana, pada
awalnya memang Purnima sudah lama ingin mengakhiri
pernikahannya dengan Jonathan I. Kine. Hal itu terbukti
Purnima mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam perkara No.47/Pdt.G/2008/PN.Jkt-
Sel. dengan dasar gugatan peristiwa-perisiwa bohong
yang dilaporkan ke kepolisian.
3 Bahwa berdasarkan pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 menyebutkan: “(1)
Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi: a) suami,
isteri dan anak, b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud dalam hurup karena hubungan
darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga, dan atau, c) orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut” .
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka syarat (unsur) yang utama
(primer) dalam suatu rumah tangga adalah diawali dengan adanya
suatu hubungan perkawinan, yang kemudian dengan kualifikasi
tertentu berdasarkan UU, maka pihak tertentu dapat dikualifikasikan
dalam lingkup rumah tanggga.
Di lain pihak, konsideran menimbang dalam UU No. 23 Tahun 2004
dalam hurup a menyatakan: “bahwa setiap warga Negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Selanjutnya dalam konsideran hurup d menyatakan: “bahwa dalam
kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi,
sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban kekekarasan dalam rumah tangga”.
Bahwa Latar belakang dibentuknya UU No. 23 Tahun 2004 adalah
sebagai sebuah upaya affirmative action terhadap perlindungan
perempuan Indonesia, yang kemudian dipahami oleh para penggagas
gerakan gender di Indonesia bahwa kaum perempuan Indonesia
mempunyai resistensi tinggi sebagai korban KDRT oleh karena

7
disebabkan beberapa faktor, seperti: kultur patriarkhi yang sangat
kuat, pemahaman yang keliru tentang ajaran agama, dan akses
terhadap ekonomi/SDA lebih banyak dikuasai laki-laki, dll. Hal tersebut
nampak jelas dan nyata digambarkan dalam Penjelasan UU No. 23
Tahun 2004 Ketentuan Umum pada alenia ke-7 (tujuh) yang berbunyi:
“Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena
undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan tentang tindak pidana kekarasan dalam rumah tangga
secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
penganiayan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu
diberikan dan kehidupan”.
Bahwa Pemohon Kasasi adalah seorang warga negara Amerika dan
mempunyai isteri seorang warga negara Amerika, menikah di Amerika
berdasarkan ketentuan hukum perkawinan negara Amerika, serta
mempunyai kultur yang sangat menghormati kesetaraan gender,
sehingga tidak ada relevansi penerapan asas teritorial dalam doktrin
hukum pidana terhadap kasus konflik rumah tangga Pemohon Kasasi,
apalagi kemudian dikriminalisasi berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004,
karena yurisdiksi perkawinan Pemohon Kasasi tidak tunduk dengan UU
No.1 Tahun 1974 dan tidak dalam kualifikasi lingkup pengertian rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2004. Atau
setidak-tidaknya, hanya melanggar ketentuan Pasal 152 KUHP.
Sehingga konsekuensi asas teritorial dalam doktrin pemidanaan di
Indonesia tidak serta merta secara mutatis mutandis berlaku terhadap
kasus dugaan pelanggaran KDRT orang asing, karena UU No. 23
Tahun 2004 mempunyai sifat yang khas berbeda dengan undang-
undang lainnya, sehingga terhadap kasus dugaan pelanggaran KDRT
bagi orang asing cukup diterapkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
4 Bahwa atas laporan tertanggal 23 September 2007, penyidik tidak
melaksanakan ketentuan pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 23
Tahun 2004 yang berbunyi:
”(1) Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib
segera memberikan perlindungan sementara pada korban;(2)
Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau
ditangani;(3) Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.”

8
Bahwa seandainya apa yang dilaporkan oleh Purnima Ralhan Kine
benar, maka langkah pertama yang dilakukan penyidik semestinya
adalah memberikan perlindungan sementara kepada korban. Artinya,
laporan tersebut baru dianggap sebagai sebuah “petunjuk” awal
adanya peristiwa KDRT. Jika pelaku KDRT tetap melakukan
perbuataannya, maka dimintakan perlindungan berdasarkan
penenetapan pengadilan. Apabila dilakukan lagi, barulah pengadilan
melakukan penahanan (pasal 38 UU No. 23 Tahun 2004).
Dalam kasus ini, penyidik langsung memproses penyidikannya dan
melimpahkan ke pengadilan. Apabila mengacu pada ketentuan acara
yang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004, maka peristiwa
tersebut harus dianggap baru pertama kali dilakukan, karena baru
pertama kali dilaporkan ke penyidik. Dengan demikian “anggapan
hukum” dalam peristiwa KDRT dapat diartikan apabila pelaku telah
melakukan perbuatannya sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dengan
kuantitas dan kualitas perbuatan yang mengakibatkan sangat
parah/berat dari segi fisik dan psikis bagi kondisi korban.
Apalagi bukti psikis yang dijadikan dasar oleh penyidik sangat tidak
berdasar hukum, karena Surat Keterangan dari Konselor Dra. Evita
Adnan M.Psi. hanya memuat keterangan sepihak Purnima Ralhan Kine,
dan secara yuridis Dra. Evita Adnan, M.Psi. hanya merupakan konselor,
bukan psikolog, sehingga tidak berhak membuat pernyataan yang
bernilai hukum, karena konselor hanya merupakan relawan
pendamping bagi korban KDRT sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 17 UU No. 23 Tahun 2004.
Penyidikpun telah mengabaikan ketentuan Pasal 17 UU No.23 Tahun
2004, dimana penyidik hanya meminta keterangan dari Dra. Evita
Adnan, M.Psi. tentang kondisi psikis korban, ternyata yang
dilaksanakan adalah hanya sebatas wawancara, tidak ada pemulihan
(recovery) kondisi psikis korban. Atas dasar wawancara tersebut
kemudian dibuat surat keterangan tanpa melalui metodelogi ilmu
psikologi yang benar.
Selain ketentuan tersebut diatas penyidik wajib melaksanakan
ketentuan Pasal 22 UU No. 23 Tahun 2004, namun dalam hal ini
penyidik tidak melaksanakan ketentuan tersebut, sehingga dapat
disimpulkan bahwa peristiwa tersebut tidak berakibat pada kondisi
phisik dan psikis yang fatal/berat.
Bahwa berbagai aturan mengenai ketentuan acara dalam UU No. 23
Tahun 2004 dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada
korban, dan dilain pihak adanya penghormatan atas ketentuan
Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(asas praduga tak bersalah) dan penghormatan atas hukum
privat antara suami istri yang terikat dalam suatu perkawinan,
maka tidak semua konflik rumah tangga dapat langsung dikriminalisasi
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004. Berdasarkan hal tersebut
pembuat undang-undang telah mengatur ketentuan acaranya bersifat
9
spesialis (khusus)/khas, sehingga wajib dilaksanakan mengingat
adanya penghormatan atas asas praduga tidak bersalah dan hukum
privat dalam perkawinan.
Pemahaman tentang hal tersebut diatas tidak dipahami secara baik
oleh JPU dan Hakim, dimana mereka hanya memahami proses pidana
secara konvensional saja. Hal itu terbukti JPU menerima begitu saja
perkara yang dilimpahkan dari penyidik, sedangkan hakim menerima
begitu saja atas perkara yang dilimpahkan oleh JPU.
Pada saat persidangan klien kami dinyatakan terbukti bersalah hanya
berdasarkan keterangan saksi Jaya Shree (mertua perempuan)
sedangkan saksi-saksi lain (2 pembantu) mencabut keterangannya di
BAP dan 2 (dua) pembantu menyatakan tidak pernah melihat peristiwa
yang dituduhkan terhadap klien kami. Artinya, klien kami dipidana
berdasarkan suatu bukti yang cacat hukum yaitu surat keterangan Dra.
Evita Adnan, M.Psi. (Psikolog palsu) dan visum et repertum yang hanya
menerangkan “nyeri”.
Dan atas kedua bukti tersebut telah terbantahkan berdasarkan
keterangan saksi ahli Dra. Hatma Sapar Shinto Sukirna, MSC. (anggota
Himpunan Psikolog Indonesia/HIMPSI) yang pada intinya menyatakan
tidak semua sarjana psikologi adalah Psikolog, dan Konselor tidak
berhak membuat pernyataan untuk kepentingan hukum, serta untuk
mengukur tingkat depresi korban digunakan alat ukur (metodelogi), tidak
dengan cara menginventaris persepsi orang (korban).
Sedangkan visum et repertum telah terbantahkan berdasarkan
keterangan Saksi Ahli Dr. H. Nazral Nazar, SPB. FINACS yang pada
intinya “nyeri” bersifat umum (subyektif) dan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar diagnose sehingga perlu dicari apa yang menjadi
penyebab “nyeri” tersebut dengan ronsen. Dalam fakta persidangan
telah terbukti dan tidak terbantahkan bahwa Purnima Ralhan Kine
mempunyai riwayat menderita penyakit Rheumatoid Arthritis sejak
lama, penyakit tersebut merupakan penyakit yang berkelanjutan dan
menyebabkan nyeri pada persendian.
5 Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan berdasarkan pada
pertimbangan bahwa telah terjadi penyimpangan dari maksud dan tujuan
dibentuknya UU No. 23 Tahun 2004 dalam penegakan hukumnya (law
enforcement), sehingga telah melanggar hak asasi klien kami, dan dapat
berpotensi menimbulkan citra negatif terhadap penegakan hukum di
Indonesia, mengingat klien kami adalah WNA dengan ”kultur” sangat
menghormati hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, serta
percaya bahwa penegakan hukum di Indonesia masih dapat berjalan
sesuai dengan rule of law.
6 Bahwa berhubung dengan hal-hal diatas, Kami mohon perkenan Bapak
Mentri Hukum dan HAM R.I. memberikan perlindungan Hukum kepada
Klien Kami.

10
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan perkenannya kami haturkan terima
kasih.

Hormat Kami,

DANU I. NUGRAHA, S.H., M.H.

GATRA ELLMY RAHARDIAN, S.H., M.H.

TODDY SEBASTIAN, S.H., M.H.

Tembusan:

1. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;


2. Ketua Komnas Ham;
3. Klien
4. Arsip.

11

Anda mungkin juga menyukai