PUSKESMAS GONDANGLEGI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan ridho-Nya telah tersusun Panduan
Praktik Klinis Ruang Pemeriksaan Umum UPT Puskesmas Gondanglegi.
Demi kelancaran Pelayanan Medis di Ruang Pemeriksaan Umum, maka perlu di buat
Panduan Praktik Klinis sebagai acuan dalam bertugas. Adanya panduan ini diharapkan menjadi
pedoman kerja bagi tenaga medis dan pihak terkait dalam meningkatkan pelayanan, selain itu
juga dapat menjadi bahan referensi.
Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada semua petugas medis atas
kerjasamanya yang baik dalam menyusun Panduan Praktik Klinis ini.
Kami berharap agar keberhasilan yang telah dicapai akan memacu kita semua untuk turut
menambah panduan yang berguna bagi peningkatan pelayanan di UPT Puskesmas Gondanglegi.
Semoga keberadaan Panduan Panduan Praktik Klinis ini dapat bermanfaat.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .....................................................................................................
1. Hipertensi Esensial
No ICPC-2 : K86 Hypertension uncomplicated
No ICD-10 : I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui
penyababnya. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik >140 mmHg dan/atau diastolik >90 mmHg yang
menjadi masalah karena meningkatnya prevalensi, masih banyak
pasien yang belum mendapat pengobatan, maupun yang telah
mendapat terapi tetapi target tekanan darah belum tercapai serta
adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hypertension Mediated Organ Damage (HMOD)
merujuk pada perubahan struktural dan fungsional arteri pada
organ (jantung, pembuluh darah, otak, mata, dan ginjal). Pada
sebagian besar pasien, HMOD dapat asimtomatik. Beberapa
jenis HMOD dapat reversibel dengan terapi antihipertensi
khususnya pada hipertensi awitan dini, tetapi pada awitan lama
HMOD mungkin irreversibel meskipun TD kembali terkontrol.
Skrining direkomendasikan kepada semua pasien hipertensi
dengan interval waktu setiap 6 bulan atau minimal 1 tahun
sekali, sehingga terapi optimal dapat diberikan. Adapun
penapisan dasar HMOD terangkum dalam Tabel dibawah ini:
Tabel 1. Penapisan Dasar HMOD
Klasifikasi TD TD
sistolik diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 dan <80
Normal 120- dan/ 80-84
129 atau
Normal tinggi 130- dan/ 85-89
139 atau
Hipertensi derajat 1 140- dan/ 90-99
159 atau
Hipertensi derajat 2 160- dan/ 100-109
179 atau
Hipertensi derajat 3 ≥180 dan/ ≥110
atau
Hipertensi sistolik ≥140 dan <90
terisolasi
Diagnosis Banding
a. White collar hypertension,
b. Nyeri akibat tekanan intraserebral,
c. Ensefalitis,
d. Hipertensi sekunder (terutama bila hipertensi ditemukan pada
usia sangat muda atau lanjut usia),
e. Hiperaldostreonisme,
f. Koartio aorta,
g. Stenosis arteri renal,
h. Penyakit ginjal kronik,
i. Penyakit Katup aorta,
j. Cushing syndrome,
k. Hipertiroid
Nutrien DASH
Karbohidrat (%) 55
Lemak (%) 27
Protein (%) 18
Lemak Jenuh (%) 6
Kolesterol (mg) 150
Serat (g) 30
Natrium (mg) <2300*
Kalium (mg) 4700
Kalsium (mg) 1250
Magnesium (mg) 500
*Natrium 1500 mg diketahui dapat menurunkan tekanan darah lebih
baik pada pasien dengan tekanan darah tinggi, Afro Amerika, usia
paruh baya, dan lanjut usia.
Rerata penurunan
Modifikasi Rekomendasi
TDS
Penurunan berat Jaga berat badan ideal (BMI: 5 – 20 mmHg/ 10 kg
badan 18,5 - 24,9 kg/m2)
Dietary Diet kaya buah, sayuran, 8 – 14 mmHg
Approaches to produk rendah lemak
Stop Hypertension dengan jumlah lemak total
(DASH) dan lemak
jenuh yang rendah
b.
Rerata penurunan
Modifikasi Rekomendasi
TDS
Pembatasan Kurangi hingga <100 mmol 2 – 8 mmHg
asupan natrium per hari (2.0 g natrium atau
6.5 g natrium klorida atau 1
sendok teh garam perhari)
Aktivitas fisik Aktivitas fisik aerobik 4 – 9 mmHg
aerobic yang teratur (mis: jalan
kaki)
30-45 menit (3 KM)/hari,
5 kali/hari dalam seminggu
Stop alkohol 2 – 4 mmHg
Gambar 2. Alur panduan Inisiasi terapi obat sesuai dengan klasifikasi hipertensi
dewasa
Keterangan:
ACEi = angiotensin-converting enzyme inhibitor;
ARB = angiotensin receptor blocker;
CCB = calcium channel blocker;
MI = myocardial infarction.
Hipertensi Resisten
Tambah Spironoakton
(25-50 mg 1x/hari ) atau
Beta Bloker
Pertimbangkan beta bloker pada setiap Langkah, jika ada indikasi spesifik seperti gagal
jantung, angina, paska MI, fibrilasi atrial, atau perempuan muda dengan atau
merencanakan kehamian
Komplikasi
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
c. Aterosklerosis pembuluh darah
d. Retinopati
e. Stroke atau TIA
f. Gangguan jantung, misalnya infark miokard, angina pektoris,
serta gagal jantung
Kriteria Rujukan
Time:
a. Tidak tercapainya target tekanan darah dalam 3 bulan dengan
antihipertensi tunggal/kombinasi
b. Hipertensi Krisis
c. Hipertensi Resistensi
d. Tekanan darah sistolik >140 mmHg, atau diastolik >90 mmHg
dalam 3 bulan berturut-turut
Age:
a. Hipertensi pada lansia
Comorbidity
a. Pasien yang disertai dengan dislipidemia, anemia, infeksi, TB
paru atau lainnya
b. Kehamilan dan gagal jantung
c. Hipertensi Sekunder
d. Hipertensi yang disertai dengan aritmia
Complication:
a. Gagal jantung
b. Retinopati
c. Hipertensi dengan kerusakan organ target
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Deteksi Dini/Skrining
a. Hipertensi Dewasa
Penapisan dan deteksi hipertensi direkomendasikan untuk
semua pasien >18 tahun:
1) Pada pasien berusia > 50 tahun, frekuensi penapisan
hipertensi ditingkatkan sehubungan dengan peningkatan
angka prevalensi tekanan darah sistolik.
2) Perbedaan TDS >15 mmHg antara kedua lengan sugestif
suatu penyakit vaskular dan berhubungan erat dengan
tingginya risiko penyakit kardiovaskular.
3) Pada kecurigaan penyakit vaskuler (koartasio aorta, diseksi
aorta, atau penyakit arteri perifer) dilakukan pengukuran
tekanan darah pada ke empat ekstrimitas.
4) Skrining komplikasi hipertensi pada usia penderita hipertensi ≥
40 tahun. Skrining faktor resiko komplikasi yang dilakukan
adalah pemeriksaan proteinuria, gula darah, profil lipid, EKG,
foto thorax, dan funduskopi mata.
Referensi
a. Buku Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik Di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Tahun 2016.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 4634 Tahun 2021 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Hipertensi Dewasa.
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1936 Tahun 2022 tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
No. ICPC-2 : T90 Diabetes non-insulin dependent
No. ICD-10 : E11 Non-insulin-dependent diabetes mellitus
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes
Association (ADA) adalah kumulan gejala yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin)
dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, prevalensi DM berdasarkan
pemeriksaan darah penduduk ≥ 15 tahun, terjadi peningkatan
dari 6,9% (2013) menjadi 8,5% (2018). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation
(IDF) pada tahun 2021, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 643 juta pada tahun 2030 menjadi
sekitar 783 juta pada tahun 2045.
Hasil
Anamnesis(Subjective)
Keluhan klasik:
a. Polifagia
b. Poliuri
c. Polidipsi
d. Penurunan berat badan yang tidak jelas
Skrining/Deteksi Dini
Skrining/Deteksi Dini dilakukan untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko
tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM yaitu:
a. Kelompok dengan berat badan lebih (indeks
massa tubuh (IMT) ≥ 23 kg/m2) yang disertai
dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
1) First-degree relative DM (terdapat faktor
keturunan DM dalam keluarga).
2) Kelompok ras/etnis tertentu.
3) Obesitas sentral (Laki-laki > 90 cm dan
perempuan > 80 cm)
4) Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi)
5) HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
6) Riwayat penyakit kardio dan serebro-vaskular
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8) Aktivitas fisik yang kurang
9) Kondisi klinis yang berkaitan dengan
resistensi insulin, misalnya obesitas berat,
acanthosis nigricans
b. Deteksi dini diabetes dengan pemeriksaan gula
darah pada sasaran:
1) Usia 40 tahun ke atas
2) Usia 15 sampai 39 tahun dengan faktor risiko:
a) First-degree relative DM (terdapat faktor
keturunan DM dalam keluarga).
b) Obesitas dan/atau obesitas sentral
c) Penyandang hipertensi
c. Pasien prediabetes (HbA1c ≥ 5,7%, GDPT, TGT)
harus
dilakukan pemeriksaan setiap tahun
d. Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi
dengan BB > 4 kg atau mempunyai riwayat
diabetes melitus gestasional (DMG), harus
dilakukan pemeriksaan setiap 3 tahun selama
hidupnya
e. Apabila hasil pemeriksaan normal, pemeriksaan
harus diulang sekurang-kurangnya setiap 1 tahun
namun dapat dilakukan lebih sering tergantung
dari hasil pemeriksaan awal dan status risiko.
Penatalaksanaan
Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup dan pemberian obat
(algoritma pengelolaan DM tipe 2). Modifikasi gaya
hidup dengan memberikan konseling dan edukasi,
perencanaan makan, latihan fisik, dan terapi
farmakologis.
1) Ringan + 10 %
2) Sedang + 20 %
3) Berat + 30 %
e. Hamil:
1) trimester I, II + 300 kal
2) trimester III / laktasi + 500 kal
Latihan Fisik
a. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik
pada pasien DM yang relatif sehat bisa
ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu
dikurangi dan disesuaikan dengan masing-
masing individu.
Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini
adalah penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah
dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan
sanationamnya adalah dubia ad malam.
Referensi
1. Buku Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik Di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Tahun 2016.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 603 Tahun 2020 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa.
3. Buku Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia Tahun 2021.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1936 Tahun 2022 tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama
5. 3. Gastritis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa
lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi
bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis,
difus, atau lokal.
Faktor Risiko
a. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis
makanan pedas, porsi makan yang besar
f. Alkoholisme
g. Stress
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan
pemeriksaan:
a. Darah rutin.
b. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan
Ureabreath test dan feses.
c. Rontgen dengan barium enema.
d. Endoskopi.
Diagnosis Banding
a. Kolesistitis
b. Kolelitiasis
c. Chron disease
d. Kanker lambung
e. Gastroenteritis
f. Limfoma
g. Ulkus peptikum
h. Sarkoidosis
i. GERD
Komplikasi
a. Pendarahan saluran cerna bagian atas
b. Ulkus peptikum
c. Perforasi lambung
d. Anemia
Kriteria rujukan
a. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.
b. Terjadi komplikasi.
Referensi
a. Buku Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik Di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Tahun 2016.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1936 Tahun 2022 tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama.
4. Lipidemia
No. ICPC-2 : T93 Lipid disorder
No. ICD-10 : E78.5 Hiperlipidemia
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa kelainan
fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol
LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL.
Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis sehingga
dapat menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK), Peripheral
Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut (SKA).
b. Kolesterol LDL
c. Kolesterol HDL
d. Trigliserida plasma
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Kolesterol LDL
< 100 mg/Dl Optimal
100-129 mg/dL Mendekati optimal
130-159 mg/dL Borderline
160-189 mg/dL Tinggi
≥ 190 mg/dL Sangat tinggi
Kolesterol Total
< 200 mg/dL Diinginkan
200-239 mg/dL Borderline
≥ 240 mg/dL Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dL Rendah
≥ 60 mg/dL Tinggi
Trigeliserida
< 150 mg/dL Optimal
150-199 mg/dL Borderline
200-499 mg/dL Tinggi
≥ 500 mg/dL Sangat tinggi
Penilaian jumlah faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien untuk
menentukan kolesterol-LDL yang harus dicapai.
Berikut ini adalah tabel faktor risiko (selain kolesterol LDL) yang menentukan
sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-ATP III:
Perokok sigaret
Riwayat keluarga PJK dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun
Pasien dengan kadar kolesterol LDL tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan
lemak total dan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tak jenuh rantai
tunggal dan ganda. Pada pasien dengan trigliserida tinggi perlu dikurangi asupan
karbohidrat, alkohol, dan lemak
2) Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai kondisi dan
kemampuannya.
Tabel 12.6 Obat hipoglikemik dan efek terhadap kadar lipid plasma
HDL
Statin ↓ 18 – 55 % ↑ 5- 15 % ↓ 7 – 30 % Resin
↓ 15 – 30 % ↑ 3- 5 % -
Fibrat ↓ 5 – 25 % ↑ 10 - 20 % ↓ 20 – 50 %
Asam ↓ 5 – 25 % ↑ 15- 35 % ↓ 20 – 50 %
Niko
tinat
Ezetimibe ↓ 17 – 18 % ↑ 3- 4 % -
Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik
10 – 80 mg malam
hari
10 – 40 mg malam
hari
Golongan Asam
Fibrat
Fenofibrat Gemfibrozil 1 – 4 mg malam hari Dispepsia, miopati
Penghambat Kontraindikasi:
Absorbsi Kolesterol 145,160 mg 1x/hari gangguan fungsi hati
dan ginjal
600 mg 2x/hari
900 mg 1x/hari
Kriteria Rujukan
a. Terdapat penyakit komorbid yang harus ditangani oleh spesialis.
Peralatan
Pemeriksaan kimia darah
Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka dapat dicegah terjadinya
komplikasi akibat dislipidemia.
Referensi
Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI.2009.
PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia, 2012)
5. Nasofaringitis Akut
Tingkat Kemampuan: 4A
Masalah Kesehatan
Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung yang berlangsung akut
(<12 minggu). Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri,
ataupun iritan. Radang sering ditemukan karena manifestasi dari rinitis
simpleks (common cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili,
variola, varisela, pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal
atau trauma.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a. Keluar ingus dari hidung (rinorea)
b. Hidung tersumbat
d. Bersin-bersin
b. Rinoskopi anterior:
a. Rinitis Virus
1) Rinitis simplek (pilek, selesma, common cold, coryza).
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi
melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan
antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti
rhinovirus, dan coxsackievirus. Masa inkubasinya 1-4 hari dan
berakhir dalam 2-3 minggu.
2) Rinitis influenza
Virus influenza A, Batau C berperan dalam penyakit ini. Tanda
dan gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi
berhubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.
3) Rinitis eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan
dengan rinitis, dimana didahului dengan eksantema sekitar 2-3
hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan
lebih berat.
b. Rinitis Bakteri
1) Infeksi non spesifik
a) Rinitis bakteri primer. Infeksi ini tampak pada anak dan
biasanya akibat dari infeksi pneumococcus,
streptococcus atau staphylococcus. Membran putih keabu-
abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, dan
apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan /
epistaksis.
2) Rinitis Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat berbentuk
akut atau kronik dan bersifat primer pada hidung atau sekunder
pada tenggorokan. Harus dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang
ditemukan karena cakupan program imunisasi yang semakin
meningkat.
c. Rinitis Iritan
Disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif
seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Dapat juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa
manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus alienum.
Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut
dengan “immediate catarrhalreaction” bersamaan dengan bersin, rinore,
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan
menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa
hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung pada
kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.
Diagnosis Banding
Rinitis alergi pada serangan akut, Rinitis vasomotor pada serangan akut
Komplikasi
a. Rinosinusitis
b. Otitis media akut.
c. Otitis media efusi
c. Suction
Prognosis
a. Ad vitam : Bonam
b. Ad functionam : Bonam
c. Ad sanationam : Bonam
Referensi
a. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6.
Jakarta: EGC. 1997.
b. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed.
ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas