Anda di halaman 1dari 41

2023

PANDUAN PRAKTIK KLINIS RU

PUSKESMAS GONDANGLEGI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan ridho-Nya telah tersusun Panduan
Praktik Klinis Ruang Pemeriksaan Umum UPT Puskesmas Gondanglegi.
Demi kelancaran Pelayanan Medis di Ruang Pemeriksaan Umum, maka perlu di buat
Panduan Praktik Klinis sebagai acuan dalam bertugas. Adanya panduan ini diharapkan menjadi
pedoman kerja bagi tenaga medis dan pihak terkait dalam meningkatkan pelayanan, selain itu
juga dapat menjadi bahan referensi.
Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada semua petugas medis atas
kerjasamanya yang baik dalam menyusun Panduan Praktik Klinis ini.
Kami berharap agar keberhasilan yang telah dicapai akan memacu kita semua untuk turut
menambah panduan yang berguna bagi peningkatan pelayanan di UPT Puskesmas Gondanglegi.
Semoga keberadaan Panduan Panduan Praktik Klinis ini dapat bermanfaat.

Gondanglegi, Januari 2023


Tim Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .....................................................................................................

Daftar Isi ...............................................................................................................

I. Hipertensi Esensial (I10) ............................................................................

II. Diabetes Melitus Tipe 2 (E11) ....................................................................

III. Gastritis (K29) ............................................................................................

IV. Dislipidemia (E78) ......................................................................................

V. Nasofaringitis Akut (J00) ………………………………………………………

1. Hipertensi Esensial
No ICPC-2 : K86 Hypertension uncomplicated
No ICD-10 : I10 Essential (primary) hypertension
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui
penyababnya. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik >140 mmHg dan/atau diastolik >90 mmHg yang
menjadi masalah karena meningkatnya prevalensi, masih banyak
pasien yang belum mendapat pengobatan, maupun yang telah
mendapat terapi tetapi target tekanan darah belum tercapai serta
adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.

Pada usia remaja penyebab tersering hipertensi adalah primer,


yaitu sekitar 85-95%. Hipertensi harus dideteksi sedini mungkin
agar dapat ditangani secara tepat, maka pemeriksaan tekanan
darah yang cermat harus dilakukan secara berkala setiap tahun
setelah anak berusia tiga tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Anamnesis dilakukan untuk menanyakan:
a. Riwayat perinatal dan keluarga
b. Riwayat asupan makan
c. Riwayat aktifitas fisik
d. Riwayat psikososial
e. Riwayat penggunaan obat-obatan dan faktor lingkungan
f. Keluhan hipertensi antara lain: Sakit atau nyeri kepala, Gelisah,
Jantung berdebar-debar, Pusing, Leher kaku,Penglihatan
kabur,
Rasa sakit di dada
g. Keluhan tidak spesifik antara lain kepala tidak nyaman, mudah
lelah dan impotensi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana(Objective)


a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan:
1) Pengukuran tinggi dan berat badan,
2) Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu)
3) Lingkar pinggang (waist circumference), dan
4) Tanda/gejala deteksi dini komplikasi kerusakan organ target
akibat hipertensi.
Pemeriksaan tanda dan gejala tersebut meliputi pemeriksaan
neurologis dan status kognitif, funduskopi untuk hipertensi
retinopati, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi jantung,
palpasi dan auskultasi arteri karotis, palpasi pada arteri perifer,
perbandingan TD pada kedua lengan atas kanan dan kiri, dan
pemeriksaan ABI (ankle brachial index).

Pemeriksaan tanda dan gejala hipertensi sekunder juga harus


dilakukan, yaitu: inspeksi kulit (café-au-lait patches pada
neurofibromatosis (phaechromocytoma)), palpasi ginjal pada
pembesaran ginjal karena penyakit ginjal polikistik, auskultasi
murmur atau bruit pada jantung dan arteri renalis, tanda dan
gejala yang mengarah adanya koarktasio aorta, atau hipertensi
renovaskular, tanda penyakit Cushing’s atau akromegali, serta
tanda penyakit tiroid.

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hypertension Mediated Organ Damage (HMOD)
merujuk pada perubahan struktural dan fungsional arteri pada
organ (jantung, pembuluh darah, otak, mata, dan ginjal). Pada
sebagian besar pasien, HMOD dapat asimtomatik. Beberapa
jenis HMOD dapat reversibel dengan terapi antihipertensi
khususnya pada hipertensi awitan dini, tetapi pada awitan lama
HMOD mungkin irreversibel meskipun TD kembali terkontrol.
Skrining direkomendasikan kepada semua pasien hipertensi
dengan interval waktu setiap 6 bulan atau minimal 1 tahun
sekali, sehingga terapi optimal dapat diberikan. Adapun
penapisan dasar HMOD terangkum dalam Tabel dibawah ini:
Tabel 1. Penapisan Dasar HMOD

Penapisan Indikasi dan Interpretasi


Dasar
HMOD
EKG 12 -lead Penapisan LVH dan kelainan kardiak lainnya,
direkomendasikan serta mendokumentasikan denyut jantung dan
pada usia 40 tahun irama jantung
ke atas Kriteria LVH:
Sokolow-Lyon: SV1 + RV5 >
35 mm Gelombang R di aVL
 11 mm
Cormell Voltage: SV3 + RaVL > 28 mm (laki-
laki)
> 20 mm (perempuan)
Profil Lipid Darah
Untuk deteksi kemungkinan dislipidemia
(Kolesterol total,
yang merupakan faktor terjadinya
LDL, HDL,
aterosklerosis pada pembuluh darah
Trigliserida)
direkomendasikan
pada
usia 40 tahun ke atas
Rasio albumin: Untuk deteksi peningkatan ekskresi albumin
yang
kreatinin urin
mengindikasikan kemungkinan penyakit ginjal
Kreatinin dan eGFR Untuk deteksi kemungkinan penyakit ginjal
darah
Funduskopi Untuk deteksi retinopati hipertensi, terutama
pada

Penapisan Indikasi dan Interpretasi


Dasar
HMOD
pasien dengan hipertensi derajat 2 atau 3
Semua derajat hipertensi yang disertai dengan
DM

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Hipertensi esensial pada orang dewasa
Hipertensi esensial pada orang dewasa memiliki klasifikasi
sebagaimana yang dijelaskan pada tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa

Klasifikasi TD TD
sistolik diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 dan <80
Normal 120- dan/ 80-84
129 atau
Normal tinggi 130- dan/ 85-89
139 atau
Hipertensi derajat 1 140- dan/ 90-99
159 atau
Hipertensi derajat 2 160- dan/ 100-109
179 atau
Hipertensi derajat 3 ≥180 dan/ ≥110
atau
Hipertensi sistolik ≥140 dan <90
terisolasi

Sedangkan klasifikasi Hipertensi berdasarkan derajat tekanan darah,


faktor risiko kardiovaskular, HMOD atau komorditas dikelompokkan
sebagai berikut:

Tabel 6. Klasifikasi risiko hipertensi berdasarkan derajat tekanan


darah, faktor risiko kardioserebrovaskular, HMOD atau komorbiditas

Penapisan hipertensi dapat dilakukan secara mandiri dengan


menggunakan alat ukur tekanan darah secara berkala maupun
pemeriksaan di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai berikut:
Gambar 1. Alur Penapisan dan diagnosis hipertensi

Disamping itu penilaian risiko penyakit kardiovaskular pada


hipertensi dewasa diperlukan untuk memperhitungkan efek berbagai
fakor risiko yang dimiliki pasien. Direkomendasikan untuk selalu
mencari faktor risiko metabolik (diabetes, gangguan tiroid dan lainnya)
pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa penyakit jantung dan
pembuluh darah untuk memudahkan klinisi dalam mengklasifikasi
risiko hipertensi. Pada individu dengan katagori risiko tinggi dan
sangat tinggi, hipertensi dengan komorbidnya perlu langsung diobati.
Penilaian risiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi yang
belum memiliki risiko tinggi atau sangat tinggi karena sudah
menyandang penyakit ginjal, diabetes, penyakit jantung atau
hipertrofi ventrikel kiri dapat dilakukan dengan menggunakan SCORE
sistem atau Tabel Prediksi risiko penyakit tidak menular yang
memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dalam 10 tahun berdasarkan
faktor risiko.

Tabel Prediksi Risiko PTM, diadaptasi dari “WHO Cardiovascular


Disease Risk Charts” yang dikeluarkan tahun 2020 yang digunakan
dalam pelayanan terpadu (PANDU) PTM di FKTP. Terdapat 2 jenis
tabel prediksi risiko PTM, yaitu berdasarkan hasil laboratorium
(memerlukan nilai kolesterol total dan diagnosis diabetes melitus) dan
tanpa hasil laboratorium (memerlukan nilai Indeks Massa Tubuh). Tabel
prediksi berdasarkan hasil laboratorium, memprediksi risiko seseorang
menderita penyakit kardiovaskuler 10 tahun mendatang, berdasarkan
status diabetes melitus, jenis kelamin, status merokok, umur, tekanan
darah sistolik, dan nilai kolesterol total. Sedangkan tabel prediksi tanpa
hasil laboratorium, memprediksi risiko seseorang menderita penyakit
kardiovaskuler 10 tahun mendatang, berdasarkan jenis kelamin, status
merokok, umur, tekanan darah sistolik, dan nilai Indeks Massa Tubuh
(IMT) yang dapat diakses melalui link
https://link.kemkes.go.id/tabelprediksirisikoptm

Diagnosis Banding
a. White collar hypertension,
b. Nyeri akibat tekanan intraserebral,
c. Ensefalitis,
d. Hipertensi sekunder (terutama bila hipertensi ditemukan pada
usia sangat muda atau lanjut usia),
e. Hiperaldostreonisme,
f. Koartio aorta,
g. Stenosis arteri renal,
h. Penyakit ginjal kronik,
i. Penyakit Katup aorta,
j. Cushing syndrome,
k. Hipertiroid

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Pada Hipertensi Essensial dewasa
1) Perubahan gaya hidup
Pola hidup sehat telah terbukti menurunkan tekanan darah
yaitu:
a) pembatasan konsumsi garam dan alkohol,
b) peningkatan konsumsi sayuran dan buah, penurunan
berat badan dan menjaga berat badan ideal (IMT 18,5 –
22,9 kg/m2),
c) aktivitas fisik teratur ringan sampai sedang (minimal 30
menit sehari, contohnya: mengepel lantai, menyapu
lantai, dan mencuci mobil), serta menghindari rokok.

Pola makan yang direkomendasikan untuk pasien


hipertensi adalah DASH diet dan pembatasan konsumsi
natrium. Pola diet DASH adalah diet kaya akan sayuran,
buah-buahan, produk susu rendah lemak / bebas lemak
(susu skim), unggas, ikan, berbagai macam variasi
kacang, dan minyak sayur nontropis (minyak zaitun),
serta kaya akan kalium, magnesium, kalsium, protein,
dan serat. Diet ini rendah gula, minuman manis, natrium,
dan daging merah, serta lemak jenuh, lemak total, dan
kolesterol.

d) Rekomendasi nutrisi dan perencanaan makanan sesuai


dengan DASH terangkum dalam Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi nutrisi berdasarkan rekomendasi DASH

Nutrien DASH
Karbohidrat (%) 55
Lemak (%) 27
Protein (%) 18
Lemak Jenuh (%) 6
Kolesterol (mg) 150
Serat (g) 30
Natrium (mg) <2300*
Kalium (mg) 4700
Kalsium (mg) 1250
Magnesium (mg) 500
*Natrium 1500 mg diketahui dapat menurunkan tekanan darah lebih
baik pada pasien dengan tekanan darah tinggi, Afro Amerika, usia
paruh baya, dan lanjut usia.

Tabel 8. Modifikasi gaya hidup untuk hipertensi

Rerata penurunan
Modifikasi Rekomendasi
TDS
Penurunan berat Jaga berat badan ideal (BMI: 5 – 20 mmHg/ 10 kg
badan 18,5 - 24,9 kg/m2)
Dietary Diet kaya buah, sayuran, 8 – 14 mmHg
Approaches to produk rendah lemak
Stop Hypertension dengan jumlah lemak total
(DASH) dan lemak
jenuh yang rendah
b.
Rerata penurunan
Modifikasi Rekomendasi
TDS
Pembatasan Kurangi hingga <100 mmol 2 – 8 mmHg
asupan natrium per hari (2.0 g natrium atau
6.5 g natrium klorida atau 1
sendok teh garam perhari)
Aktivitas fisik Aktivitas fisik aerobik 4 – 9 mmHg
aerobic yang teratur (mis: jalan
kaki)
30-45 menit (3 KM)/hari,
5 kali/hari dalam seminggu
Stop alkohol 2 – 4 mmHg

Salah satu pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa pada


hipertensi dewasa adalah nilai atau ambang tekanan darah, berikut ini
tabel ambang batas tekanan darah untuk inisiasi pengobatan:

Tabel 9. Ambang batas TD untuk inisiasi obat pada hipertensi dewasa

Dalam pemberian tatalaksana hipertensi dewasa maka diperlukan


monitoring pencapaian target penurunan tekanan darah di fasilitas
kesehatan yang disesuaikan dengan penyakit penyerta yang disandang
penderita hipertensi dewasa dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 10. Target tekanan darah di fasilitas pelayanan kesehatan

Tata laksana medikamentosa pada pasien hipertensi merupakan upaya


untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien, meskipun
demikian pemberian obat antihipertensi bukan selalu merupakan langkah
pertama dalam tata laksana hipertensi. Evaluasi intervensi gaya hidup dan
pengobatan dilakukan dalam 4-6 minggu.

Gambar 2. Alur panduan Inisiasi terapi obat sesuai dengan klasifikasi hipertensi
dewasa
Keterangan:
ACEi = angiotensin-converting enzyme inhibitor;
ARB = angiotensin receptor blocker;
CCB = calcium channel blocker;
MI = myocardial infarction.

Strategi kombinasi obat hipertensi


Terdapat berbagai macam strategi untuk memulai dan meningkatkan
dosis obat penurun TD.
a. Pemberian monoterapi pada tatalaksana awal,
b. meningkatkan dosisnya bila belum mencapai target penurunan
tekanan darah, atau
c. Penggantian dengan monoterapi lain.
Namun, strategi meningkatkan dosis monoterapi menghasilkan sedikit
penurunan TD dan memberikan efek yang merugikan. Sementara jika
beralih dari satu monoterapi ke yang lain akan memakan waktu dan
seringkali tidak efektif.
Untuk alasan-alasan tersebut, dilakukan pendekatan bertingkat, yaitu
memulai pengobatan dengan monoterapi yang berbeda dan kemudian
secara berurutan menambahkan obat lain sampai kontrol TD tercapai.
Strategi pengobatan berbasis bukti yang paling efektif untuk
meningkatkan kontrol TD adalah:
a. penggunaan pengobatan kombinasi terutama dalam konteks
target TD yang lebih rendah;
b. dianjurkan penggunaan terapi Single Pill Combination (SPC)
untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan; dan
c. mengikuti algoritma terapi dengan menggunakan terapi SPC
sebagai terapi awal, kecuali pada pasien dengan TD dalam
kisaran tinggi-normal dan pada pasien lanjut usia yang renta
(frail).
Gambar 3. Pilihan kombinasi obat anti hipertensi

Pertimbangkan terapi tuggal pada


Terapi initial ACEi atau ARB + CCB atau hipertensi derajat 1 risiko rendah
diuretik (TDS<150 mmHg, atau usia sangat
Kombinasi dua tua (≥80 tahun) atau ringkih
Langkah II ACEi atau ARB+ CCB + diuretik
Kombinasi tiga obat

Hipertensi Resisten
Tambah Spironoakton
(25-50 mg 1x/hari ) atau

diuretic lain, alfa bloker atau


beta bloker

Beta Bloker

Pertimbangkan beta bloker pada setiap Langkah, jika ada indikasi spesifik seperti gagal
jantung, angina, paska MI, fibrilasi atrial, atau perempuan muda dengan atau
merencanakan kehamian

Gambar 4. Strategi Pengobatan pada Hipertensi Tanpa Komplikasi


Gambar 5. Strategi Pengobatan pada Hipertensi dan Penyakit Arteri Koroner

Gambar 6. Strategi Pengobatan pada Hipertensi dan Penyakit Ginjal Kronis


Pemantauan serial kadar kalium darah

Gambar 7. Strategi Pengobatan pada Hipertensi dan Gagal jantung dengan


Fraksi Ejeksi Menurun

Gambar 8. Strategi Pengobatan pada Hipertensi dan Fibrilasi Atrial

Komplikasi
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
c. Aterosklerosis pembuluh darah
d. Retinopati
e. Stroke atau TIA
f. Gangguan jantung, misalnya infark miokard, angina pektoris,
serta gagal jantung

Konseling dan Edukasi


Edukasi tentang cara minum obat di rumah, perbedaan antara
obat-obatan yang harus diminum untuk jangka panjang
(misalnya untuk mengontrol tekanan darah) dan pemakaian
jangka pendek untuk menghilangkan gejala (misalnya untuk
mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat, dosis yang
digunakan untuk tiap obat dan berapa kali minum sehari.
a. Pemberian obat anti hipertensi merupakan pengobatan jangka
panjang. Kontrol pengobatan dilakukan setiap 2 minggu atau 1
bulan untuk mengoptimalkan hasil pengobatan.
b. Penjelasan penting lainnya adalah tentang pentingnya menjaga
kecukupan pasokan obat-obatan dan minum obat teratur seperti
yang disarankan meskipun tak ada gejala.
c. Individu dan keluarga perlu diinformasikan juga agar melakukan
pengukuran kadar gula darah, tekanan darah dan periksa urin
secara teratur. Pemeriksaan komplikasi hipertensi dilakukan
setiap 6 bulan atau minimal 1 tahun sekali.

Kriteria Rujukan
Time:
a. Tidak tercapainya target tekanan darah dalam 3 bulan dengan
antihipertensi tunggal/kombinasi
b. Hipertensi Krisis
c. Hipertensi Resistensi
d. Tekanan darah sistolik >140 mmHg, atau diastolik >90 mmHg
dalam 3 bulan berturut-turut
Age:
a. Hipertensi pada lansia
Comorbidity
a. Pasien yang disertai dengan dislipidemia, anemia, infeksi, TB
paru atau lainnya
b. Kehamilan dan gagal jantung
c. Hipertensi Sekunder
d. Hipertensi yang disertai dengan aritmia
Complication:
a. Gagal jantung
b. Retinopati
c. Hipertensi dengan kerusakan organ target

Tatalaksana Rujuk Balik


Peserta rujuk balik hipertensi dalam kondisi stabil tetap ke FKTP untuk
mendapatkan pengobatan selama 30 hari dan mendapatkan kegiatan
kelompok dalam bentuk edukasi dan senam serta mendapatkan
pemeriksaan fisik, pengobatan dan konseling factor risiko.
Peralatan
a. Sfigmomanometer
b. Stetoskop
c. Ophtalmoskop
d. Fotometri
e. Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan urinalisis
dan glukosa urin, glukosa darah, profil lipid, dan ureum-kreatinin
f. EKG

Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.

Deteksi Dini/Skrining
a. Hipertensi Dewasa
Penapisan dan deteksi hipertensi direkomendasikan untuk
semua pasien >18 tahun:
1) Pada pasien berusia > 50 tahun, frekuensi penapisan
hipertensi ditingkatkan sehubungan dengan peningkatan
angka prevalensi tekanan darah sistolik.
2) Perbedaan TDS >15 mmHg antara kedua lengan sugestif
suatu penyakit vaskular dan berhubungan erat dengan
tingginya risiko penyakit kardiovaskular.
3) Pada kecurigaan penyakit vaskuler (koartasio aorta, diseksi
aorta, atau penyakit arteri perifer) dilakukan pengukuran
tekanan darah pada ke empat ekstrimitas.
4) Skrining komplikasi hipertensi pada usia penderita hipertensi ≥
40 tahun. Skrining faktor resiko komplikasi yang dilakukan
adalah pemeriksaan proteinuria, gula darah, profil lipid, EKG,
foto thorax, dan funduskopi mata.

Referensi
a. Buku Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik Di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Tahun 2016.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 4634 Tahun 2021 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Hipertensi Dewasa.
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1936 Tahun 2022 tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
No. ICPC-2 : T90 Diabetes non-insulin dependent
No. ICD-10 : E11 Non-insulin-dependent diabetes mellitus
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes
Association (ADA) adalah kumulan gejala yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin)
dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, prevalensi DM berdasarkan
pemeriksaan darah penduduk ≥ 15 tahun, terjadi peningkatan
dari 6,9% (2013) menjadi 8,5% (2018). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation
(IDF) pada tahun 2021, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 643 juta pada tahun 2030 menjadi
sekitar 783 juta pada tahun 2045.
Hasil
Anamnesis(Subjective)
Keluhan klasik:

a. Polifagia
b. Poliuri
c. Polidipsi
d. Penurunan berat badan yang tidak jelas

Keluhan tidak khas:


a. Lemah
b. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
c. Gatal
d. Mata kabur
e. Disfungsi ereksi pada pria
f. Pruritus vulvae pada wanita
g. Luka yang sulit sembuh

Skrining/Deteksi Dini
Skrining/Deteksi Dini dilakukan untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko
tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM yaitu:
a. Kelompok dengan berat badan lebih (indeks
massa tubuh (IMT) ≥ 23 kg/m2) yang disertai
dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
1) First-degree relative DM (terdapat faktor
keturunan DM dalam keluarga).
2) Kelompok ras/etnis tertentu.
3) Obesitas sentral (Laki-laki > 90 cm dan
perempuan > 80 cm)
4) Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi)
5) HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
6) Riwayat penyakit kardio dan serebro-vaskular
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8) Aktivitas fisik yang kurang
9) Kondisi klinis yang berkaitan dengan
resistensi insulin, misalnya obesitas berat,
acanthosis nigricans
b. Deteksi dini diabetes dengan pemeriksaan gula
darah pada sasaran:
1) Usia 40 tahun ke atas
2) Usia 15 sampai 39 tahun dengan faktor risiko:
a) First-degree relative DM (terdapat faktor
keturunan DM dalam keluarga).
b) Obesitas dan/atau obesitas sentral
c) Penyandang hipertensi
c. Pasien prediabetes (HbA1c ≥ 5,7%, GDPT, TGT)
harus
dilakukan pemeriksaan setiap tahun
d. Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi
dengan BB > 4 kg atau mempunyai riwayat
diabetes melitus gestasional (DMG), harus
dilakukan pemeriksaan setiap 3 tahun selama
hidupnya
e. Apabila hasil pemeriksaan normal, pemeriksaan
harus diulang sekurang-kurangnya setiap 1 tahun
namun dapat dilakukan lebih sering tergantung
dari hasil pemeriksaan awal dan status risiko.

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
a. Pemeriksaan Fisik
1) Pengukuran berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, tekanan darah
2) Pemeriksaan funduskopi
3) Evaluasi nadi dan denyut jantung baik
secara palpasi maupun dengan stetoskop
4) Pemeriksaan kaki secara komprehensif:
evaluasi kelainan vaskular, neuropati, dan
adanya deformitas, pemeriksaan ankle-
brachial indeks (ABI) pada kedua tungkai
untuk mengetahui adanya komplikasi ulkus
maupun peripheral arterial disease (PAD)
5) Pemeriksaan kulit (achantosis nigricans, bekas
luka, hiperpigmentasi, necrobiosis
diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi
penyuntikan insulin
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Gula Darah Puasa
2) Gula Darah 2 jam Post Prandial
3) HbA1C
4) Urinalisis
5) Funduskopi
6) Pemeriksaan fungsi ginjal
7) EKG

Penegakan Diagnosis (Assessment)


a. Diagnosis Klinis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar
pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
b. Kriteria diagnosis DM
1) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126
mg/dL. (derajat rekomendasi B) Puasa adalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam;
atau
2) Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2
jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO)
dengan beban 75 gram. (derajat rekomendasi
B); atau
3) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200
mg/dL dengan keluhan klasik; atau
4) Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5% dengan
menggunakan metode Highperformance
Liquid Chromatography (HPLC) yang
terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP). (derajat rekomendasi B).

Tabel 1. Kadar Tes Laboratorium untuk Diagnosis DM dan


Prediabetes

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria


normal atau DM dapat digolongkan ke dalam
kelompok prediabetes. Prediabetes mencerminkan
kegagalan kompensasi sel beta pankreas pada
keadaan resistensi insulin. Pemeriksaan yang
dilakukan untuk mendiagnosis prediabetes adalah :
1) Glukosa darah puasa 100-125 mg/dL, atau
2) Glukosa darah 2 jam setelah TTGO 140-
200 mg/dL, atau 3) HbA1C 5,7-6,4%.

Prediabetes dapat dibedakan menjadi glukosa puasa


terganggu (GPT), toleransi glukosa terganggu (TGT)
dan campuran keduanya. Glukosa puasa terganggu
(GPT) bila hasil pemeriksaan glukosa puasa antara
100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa 2
jam < 140 mg/dL. Toleransi glukosa terganggu (TGT)
bila hasil pemeriksaan glukosa 2 jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dL.
Komplikasi
a. Akut
Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik,
Hipoglikemia
b. Kronik
Makroangiopati, Pembuluh darah jantung,
Pembuluh darah perifer, Pembuluh darah otak
c. Mikroangiopati:
Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler
renal
d. Neuropati
e. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi,
kaki diabetik, disfungsi ereksi.
Deteksi Komplikasi
Penapisan komplikasi sebaiknya dilakukan pada
setiap pasien yang baru terdiagnosis DM tipe 2
melalui pemeriksaan:
a. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total,
kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
b. Tes fungsi hati: albumin, globulin, SGOT, SGPT
c. Tes fungsi ginjal: ureum serum, kreatinin serum
dan laju filtrasi glomerulus (LFG)
d. Tes urin: urinalisa rutin, albumin urin
kuantitatif, rasio albumin-kreatinin
e. Elektrokardiografi (EKG)
f. Pemeriksaan funduskopi dan atau foto fundus
digital untuk melihat retinopati diabetik
g. Pemeriksaan klinis neurologis dengan
menggunakan michigan neuropathy score,
diabetic neuropathic symptom dan pemeriksaan
keseimbangan menggunakan berg balance scale.

Rencana Penatalaksanaan komprehensif


Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2 di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dilakukan secara
komprehensif. Tujuan penatalaksanaan adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes,
menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati,
menurunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil
lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
Evaluasi pemeriksaan fisik dan komplikasi dilakukan di
Pelayanan Kesehatan Primer. Jika fasilitas belum tersedia
maka pasien dapat dirujuk ke Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan/atau Tersier

Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM berdasarkan hasil pemeriksaan kadar HbA1C,


dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis
dan latihan fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus
segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder atau tersier
(sesuai gambar berikut).

Gambar 1. Tata Kelola Diabetes Melitus di PPK 1 atau Dokter


Umum

Penatalaksanaan
Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup dan pemberian obat
(algoritma pengelolaan DM tipe 2). Modifikasi gaya
hidup dengan memberikan konseling dan edukasi,
perencanaan makan, latihan fisik, dan terapi
farmakologis.

Konseling dan Edukasi


Konseling dan edukasi meliputi pemahaman tentang:
a. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat
dikontrol
b. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada
penderita misalnya olahraga, menghindari
rokok, dan menjaga pola makan.
c. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol
teratur setiap 2 minggu
Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi:
a. Karbohidrat 45 – 65 %
b. Protein 15 – 20 %
c. Lemak 20 – 25 %
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300
mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber
asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr,
diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari:
a. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
b. Wanita: 25 kal/kg
BB idaman Rumus
Broca:*
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 %
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 %
lagi.
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman
BB lebih : 110 – 120 % BB idaman
Gemuk : >120 % BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori


basal/hari):
a. Status gizi:
1) BB gemuk - 20 %
2) BB lebih - 10 %
3) BB kurang + 20 %
b. Umur > 40 tahun :- 5 %
c. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)
d. Aktifitas:

1) Ringan + 10 %
2) Sedang + 20 %
3) Berat + 30 %
e. Hamil:
1) trimester I, II + 300 kal
2) trimester III / laktasi + 500 kal

Latihan Fisik
a. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik
pada pasien DM yang relatif sehat bisa
ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu
dikurangi dan disesuaikan dengan masing-
masing individu.

Program latihan fisik secara teratur


dilakukan 3-5 hari seminggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit per minggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut.
b. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari
bukan termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah.
c. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik
yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang
(50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien.
d. Pada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh:
osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol,
retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2-3
kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup
sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Pemilihan jenis Obat Anti Diabetik
(OAD) dan insulin bersifat individual tergantung kondisi
pasien dan sebaiknya mengkombinasi obat.

Gambar 2. Algoritme pengelolaan DM Tipe 2

Cara Pemberian OAD, terdiri dari:


a. OAD dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
secara bertahap sesuai respons kadar glukosa
darah, dapat diberikansampai dosis optimal.
b. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.
c. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
d. Penghambat glukosidase (Acarbose):
bersama makan suapan pertama.

Tabel 2. Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di


Indonesia

GOLONG CARA KERJA EFEK PENURUN


UTAMA SAMPING
AN OBAT AN
HBA1C
Metformin Menurunkan Dispepsia, 1,0-1,3%
produksi glukosa diare,
hati dan asidosis
meningkatkan laktat
sensitifitas
terhadap insulin
Thiazolidine Meningkatkan Edema 0,5-1,4%
di sensitifitas
one terhadap insulin
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik, 0,4-1,2%
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik, 0,5-1,0%
insulin hipoglikemia
Penghambat Menghambat Flatulen, tinja
Alfa- absorpsi glukosa lembek 0,5-0,8%
Glukosid
ase
Pengham Meningkatkan Sebah, 0,5-0,9%
muntah
bat DPP-4 sekresi insulin dan
menghambat
sekresi glukagon
Pengham Menghambat Infeksi saluran 0,5-0,9%
bat reabsorbsi glukosa kemih
dan
SGLT-2 di tubulus dista
genital

Tata laksana rujuk balik


Pelayanan Program Rujuk Balik adalah Pelayanan
Kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit
kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan
pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang
yang dilaksanakan di Faskes Tingkat Pertama atas
rekomendasi/rujukan dari Dokter Spesialis/Sub Spesialis
yang merawat.
Pelayanan yang diberikan pada rujuk balik DM:
a. Pelayanan kesehatan yang mencakup akses
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
Kegiatan promotif dan preventif melalui
program prolanis
b. Meningkatkan hubungan dokter dengan
pasien dalam konteks pelayanan holistik
c. Evaluasi keluhan dan gejala klinis secara berkala
d. Pantau Gula Darah Puasa/2 Jam PP setiap
bulan dan Pemeriksaan HbA1C setiap[ 6
bulan
e. Jika ada kecurigaan komplikasi periksa, fungsi
ginja, lipid serum, EKG dan funduskopi

Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini
adalah penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah
dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan
sanationamnya adalah dubia ad malam.

Referensi
1. Buku Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik Di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Tahun 2016.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 603 Tahun 2020 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa.
3. Buku Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia Tahun 2021.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1936 Tahun 2022 tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama

5. 3. Gastritis

No ICPC-2 : D07 Dyspepsia/indigestion

No ICD-10 : K29.7 Gastritis, unspecified

Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa
lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi
bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis,
difus, atau lokal.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar
pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan
makan, mual, muntah dan kembung.

Faktor Risiko
a. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis
makanan pedas, porsi makan yang besar

b. Sering minum kopi dan the

c. Infeksi bakteri atau parasit

d. Pengunaan obat analgetik dan steroid


e. Usia lanjut

f. Alkoholisme

g. Stress

h. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit


autoimun, HIV/AIDS, Chron disease.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik Patognomonis
a. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
b. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran
cerna berupa hematemesis dan melena

c. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak


anemis.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan
pemeriksaan:

a. Darah rutin.
b. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan
Ureabreath test dan feses.
c. Rontgen dengan barium enema.

d. Endoskopi.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk


diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding

a. Kolesistitis

b. Kolelitiasis

c. Chron disease
d. Kanker lambung

e. Gastroenteritis

f. Limfoma
g. Ulkus peptikum

h. Sarkoidosis

i. GERD
Komplikasi
a. Pendarahan saluran cerna bagian atas

b. Ulkus peptikum

c. Perforasi lambung

d. Anemia

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari,
(Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-80, mg/kali),
PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida
dosis 3 x 500-1000 mg/hari.
Konseling dan Edukasi

Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya


keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi
kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.

Kriteria rujukan
a. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.

b. Terjadi komplikasi.

c. Terdapat alarm symptoms


Peralatan : -
Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi,


dan pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis adalah bonam,
namun dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah.

Referensi
a. Buku Panduan Tatalaksana 20 Kasus Non Spesialistik Di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Tahun 2016.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1936 Tahun 2022 tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama.

4. Lipidemia
No. ICPC-2 : T93 Lipid disorder
No. ICD-10 : E78.5 Hiperlipidemia
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa kelainan
fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol
LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL.
Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis sehingga
dapat menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK), Peripheral
Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut (SKA).

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan

Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan biasanya ditemukan pada


saat pasien melakukan pemeriksaan rutin kesehatan (medical check-up).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan tanda-tanda vital


b. Pemeriksaaan antropometri (lingkar perut dan IMT/Indeks
Massa Tubuh).
Cara pengukuran IMT(kg/m2)= BB(kg)/TB2(m)
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan


diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan:

a. Kadar kolesterol total

b. Kolesterol LDL

c. Kolesterol HDL
d. Trigliserida plasma
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


penunjang.
Tabel 12.3 Interpretasi kadar lipid plasma berdasarkan NECP
(National Cholesterol Education Program)

Kolesterol LDL
< 100 mg/Dl Optimal
100-129 mg/dL Mendekati optimal
130-159 mg/dL Borderline
160-189 mg/dL Tinggi
≥ 190 mg/dL Sangat tinggi
Kolesterol Total
< 200 mg/dL Diinginkan
200-239 mg/dL Borderline
≥ 240 mg/dL Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dL Rendah
≥ 60 mg/dL Tinggi
Trigeliserida
< 150 mg/dL Optimal
150-199 mg/dL Borderline
200-499 mg/dL Tinggi
≥ 500 mg/dL Sangat tinggi

Penilaian jumlah faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien untuk
menentukan kolesterol-LDL yang harus dicapai.

Berikut ini adalah tabel faktor risiko (selain kolesterol LDL) yang menentukan
sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-ATP III:

Tabel 12.4 Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL) yang


menentukan sasaran kolesterol LDL

Perokok sigaret

Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi)


Kolesterol HDL rendah ( <40 mg/dl). Jika didapatkan kolesterol HDL

≥60mg/dl maka mengurangi satu faktor risiko dari jumlah total

Riwayat keluarga PJK dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun

Umur pria ≥ 45 tahun dan wanita ≥ 55 tahun.


Terapi non farmakologis
1) Terapi nutrisi medis

Pasien dengan kadar kolesterol LDL tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan
lemak total dan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tak jenuh rantai
tunggal dan ganda. Pada pasien dengan trigliserida tinggi perlu dikurangi asupan
karbohidrat, alkohol, dan lemak

2) Aktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai kondisi dan
kemampuannya.

Tata laksana farmakologis


Terapi farmakologis dilakukan setelah 6 minggu terapi non farmakologis.

Tabel 12.6 Obat hipoglikemik dan efek terhadap kadar lipid plasma

Jenis Obat Kolesterol LDL Kolesterol Trigliserida

HDL

Statin ↓ 18 – 55 % ↑ 5- 15 % ↓ 7 – 30 % Resin
↓ 15 – 30 % ↑ 3- 5 % -

Fibrat ↓ 5 – 25 % ↑ 10 - 20 % ↓ 20 – 50 %

Asam ↓ 5 – 25 % ↑ 15- 35 % ↓ 20 – 50 %

Niko
tinat

Ezetimibe ↓ 17 – 18 % ↑ 3- 4 % -
Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik

Jenis Obat Dosis Efek Samping


Resin
Kolestiramin 4 – 16 gram/hari Konstipasi, gangguan

Golongan Asam Nikotinat

Asam Nikotinat Lepas cepat 1,5-3 Flushing,


gram/hari hiperglikemia,
hiperuricemia,
Lepas lambat 1-2
hepatotoksik,
gram/hari
gangguan saluran
cerna
Golongan Statin

Fluvastatin 20 – 80 mg malam Miopati, Peningkatan


Lovastatin hari SGOT/SGPT,
Pravastatin Rhabdomiolosis
5 – 40 mg malam hari
Simvastatin
Atorvastatin 5 – 40 mg malam hari
Rosuvastatin
Pitavastatin 5 – 40 mg malam hari

10 – 80 mg malam
hari

10 – 40 mg malam
hari

Golongan Asam
Fibrat
Fenofibrat Gemfibrozil 1 – 4 mg malam hari Dispepsia, miopati
Penghambat Kontraindikasi:
Absorbsi Kolesterol 145,160 mg 1x/hari gangguan fungsi hati
dan ginjal
600 mg 2x/hari

900 mg 1x/hari

Ezetimibe 10 mg 1x/ hari Dispepsia, sakit


kepala dan punggung
Konseling dan Edukasi
a. Perlu adanya motivasi dari pasien dan keluarga untuk mengatur diet
pasien dan aktivitas fisik yang sangat membantu keberhasilan
terapi.

b. Pasien harus kontrol teratur untuk pemeriksaan kolesterol lengkap


untuk melihat target terapi dan maintenance jika target sudah tercapai.

Kriteria Rujukan
a. Terdapat penyakit komorbid yang harus ditangani oleh spesialis.

b. Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK

Peralatan
Pemeriksaan kimia darah
Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka dapat dicegah terjadinya
komplikasi akibat dislipidemia.

Referensi
Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI.2009.
PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia, 2012)

5. Nasofaringitis Akut

No. ICPC-2 : R74. Upper respiratory infection acute

No. ICD-10 : J00. Acute nasopharyngitis (common cold)

Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan
Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung yang berlangsung akut
(<12 minggu). Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri,
ataupun iritan. Radang sering ditemukan karena manifestasi dari rinitis
simpleks (common cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili,
variola, varisela, pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal
atau trauma.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a. Keluar ingus dari hidung (rinorea)
b. Hidung tersumbat

c. Dapat disertai rasa panas atau gatal pada hidung

d. Bersin-bersin

e. Dapat disertai batuk


Faktor Risiko
a. Penurunan daya tahan tubuh.
b. Paparan debu, asap, atau gas yang bersifat iritatif.

c. Paparan dengan penderita infeksi saluran napas.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
a. Suhu dapat meningkat

b. Rinoskopi anterior:

1) Tampak kavum nasi sempit, terdapat sekret serous atau


mukopurulen, mukosa konka udem dan hiperemis.

2) Pada rinitis difteri tampak sekret yang bercampur darah.


Membran keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum
nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila diangkat mudah
berdarah.
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi berdasarkan etiologi:

a. Rinitis Virus
1) Rinitis simplek (pilek, selesma, common cold, coryza).
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi
melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan
antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti
rhinovirus, dan coxsackievirus. Masa inkubasinya 1-4 hari dan
berakhir dalam 2-3 minggu.
2) Rinitis influenza
Virus influenza A, Batau C berperan dalam penyakit ini. Tanda
dan gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi
berhubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.
3) Rinitis eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan
dengan rinitis, dimana didahului dengan eksantema sekitar 2-3
hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan
lebih berat.

b. Rinitis Bakteri
1) Infeksi non spesifik
a) Rinitis bakteri primer. Infeksi ini tampak pada anak dan
biasanya akibat dari infeksi pneumococcus,
streptococcus atau staphylococcus. Membran putih keabu-
abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, dan
apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan /
epistaksis.

b) Rinitis bakteri sekunder merupakan akibat dari infeksi bakteri


pada rinitis viral akut.

2) Rinitis Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat berbentuk
akut atau kronik dan bersifat primer pada hidung atau sekunder
pada tenggorokan. Harus dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang
ditemukan karena cakupan program imunisasi yang semakin
meningkat.

c. Rinitis Iritan
Disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif
seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Dapat juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa
manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus alienum.
Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut
dengan “immediate catarrhalreaction” bersamaan dengan bersin, rinore,
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan
menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa
hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung pada
kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.

Diagnosis Banding
Rinitis alergi pada serangan akut, Rinitis vasomotor pada serangan akut

Komplikasi
a. Rinosinusitis
b. Otitis media akut.
c. Otitis media efusi

d. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laringitis,


trakeobronkitis, pneumonia.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa
1) Istirahat yang cukup
2) Menjaga asupan yang bergizi dan sehat b.
Medikamentosa

1) Simtomatik: analgetik dan antipiretik (Paracetamol),


dekongestan topikal, dekongestan oral (Pseudoefedrin,
Fenilpropanolamin, Fenilefrin).

2) Antibiotik: bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri,


Amoksisilin, Eritromisin, Sefadroksil.

3) Untuk rinitis difteri: Penisilin sistemik dan anti-toksin difteri.

Rencana Tindak Lanjut

Jika terdapat kasus rinitis difteri dilakukan pelaporan ke dinas


kesehatan setempat.

Konseling dan Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat.
b. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.

c. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.

d. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.

e. Mengikuti program imunisasi lengkap, sepertivaksinasi


influenza, vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
eksantematosa.

f. Menghindari pajanan alergen bila terdapat faktor alergi sebagai


pemicu.

g. Melakukan bilas hidung secara rutin.


Peralatan
a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung

c. Suction

Prognosis

a. Ad vitam : Bonam

b. Ad functionam : Bonam

c. Ad sanationam : Bonam

Referensi

a. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6.
Jakarta: EGC. 1997.
b. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed.
ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Anda mungkin juga menyukai