Anda di halaman 1dari 3

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) strategis adalah pendekatan dalam mengelola

sumber daya manusia di suatu organisasi dengan mempertimbangkan tujuan strategis dan
visi perusahaan. MSDM strategis berfokus pada bagaimana sumber daya manusia dapat
menjadi aset yang berharga dalam mencapai tujuan jangka panjang dan keberlanjutan
perusahaan. Berikut adalah beberapa dasar MSDM strategis:

1. Keterkaitan dengan Strategi Bisnis: Dasar MSDM strategis menggambarkan pentingnya


menyelaraskan kebijakan dan praktik manajemen sumber daya manusia dengan tujuan dan
strategi bisnis organisasi. Ini berarti bahwa setiap keputusan dan tindakan dalam MSDM
harus mendukung pencapaian tujuan bisnis perusahaan.

2. Identifikasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia: MSDM strategis menekankan


identifikasi, pengembangan, dan pemeliharaan sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi. Ini mencakup rekrutmen, pelatihan, pengembangan karyawan, serta retensi talenta
yang berkontribusi pada pertumbuhan perusahaan.

3. Analisis Lingkungan Eksternal dan Internal: MSDM strategis memerlukan pemahaman


yang mendalam tentang faktor-faktor eksternal (seperti persaingan pasar, regulasi, dan tren
industri) dan faktor internal (seperti budaya organisasi dan kekuatan dan kelemahan
internal) yang dapat mempengaruhi pengelolaan sumber daya manusia.

4. Pengukuran Kinerja: Kinerja MSDM harus diukur dan dievaluasi secara teratur untuk
memastikan bahwa strategi ini efektif. Ini mencakup penggunaan metrik seperti tingkat
retensi karyawan, produktivitas, kepuasan karyawan, dan lainnya.

5. Manajemen Perubahan: MSDM strategis juga mengakui bahwa organisasi akan


mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Manajemen perubahan yang baik harus
menjadi bagian integral dari strategi MSDM, termasuk komunikasi yang efektif, pelibatan
karyawan, dan dukungan dalam mengatasi perubahan.

6. Budaya Organisasi: Dasar MSDM strategis juga menggarisbawahi peran budaya organisasi
dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung visi dan nilai-nilai perusahaan. Ini
melibatkan pembentukan budaya yang memotivasi, inovatif, dan berorientasi pada prestasi.

7. Fleksibilitas dan Adaptasi: Organisasi harus bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi
dengan perubahan eksternal yang cepat. Ini berarti bahwa strategi MSDM harus dapat
berubah sesuai dengan tuntutan pasar dan lingkungan bisnis yang berubah.

8. Keterlibatan Pemimpin: Pemimpin organisasi memiliki peran kunci dalam


mengimplementasikan MSDM strategis. Mereka harus memimpin dengan contoh,
mendukung inisiatif MSDM, dan memastikan bahwa visi dan strategi perusahaan terkait
dengan pengelolaan sumber daya manusia.

Dengan menerapkan dasar MSDM strategis, sebuah organisasi dapat menciptakan


keunggulan kompetitif dengan memanfaatkan potensi penuh dari sumber daya manusia
mereka untuk mencapai tujuan bisnis jangka panjang. Ini membantu organisasi menjadi
lebih responsif terhadap perubahan pasar dan menjaga daya saing yang kuat.
Perubahan budaya organisasi telah menjadi hal penting dan urgensi dalam menghadapinya.

Sehingga hal ini justru menimbulkan plus dan minus dari masing2 perubahan yang ada.

1) Konflik Antara Organisasi yang Bergabung: Ketika dua atau lebih organisasi bergabung,
perbedaan budaya organisasi mereka dapat menjadi sumber konflik yang berkepanjangan.
Ini dapat merusak kinerja organisasi yang baru terbentuk. Penting untuk mengelola konflik
dengan bijak dan menciptakan budaya yang inklusif.

2) Hambatan Terhadap Perubahan: Ada situasi di mana organisasi memiliki budaya yang
menghalangi kemampuannya untuk berubah dan bersaing dengan efektif. Ini bisa menjadi
tantangan serius karena mungkin diperlukan perubahan signifikan untuk tetap relevan di
pasar yang berubah cepat.

3) Respons Terhadap Tantangan Ekonomi: Saat organisasi menghadapi penurunan ekonomi


atau tantangan ekonomi lainnya, perubahan budaya dapat diperlukan untuk membantu
organisasi beradaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi dan menghindari krisis.

4) Penundaan Dalam Perubahan Budaya: Penundaan dalam mengenali kebutuhan untuk


perubahan budaya organisasi dapat memiliki dampak negatif seperti moral staf yang
rendah, tingkat pergantian staf yang tinggi, keluhan pelanggan yang meningkat, kehilangan
bisnis, dan penurunan produktivitas.

5) Implikasi Penundaan: Penundaan dalam perubahan budaya organisasi dapat berdampak


buruk pada organisasi, termasuk kinerja yang rendah, respon yang lambat terhadap
perubahan, dan praktik yang tidak sehat di tempat kerja.

Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi kebutuhan akan perubahan budaya
organisasi sejak awal dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memfasilitasi
perubahan tersebut. Ini mungkin melibatkan perencanaan strategis, komunikasi yang
efektif, pelatihan, dan pengembangan karyawan, serta dukungan dari kepemimpinan dan
pemangku kepentingan utama lainnya. Perubahan budaya organisasi yang sukses dapat
membantu organisasi tetap relevan, kompetitif, dan responsif terhadap perubahan
lingkungan eksternal dan internal.
1) Culture of Denial (Pengingkaran): Ini terjadi ketika anggota organisasi menganggap bahwa
perubahan budaya hanyalah retorika atau tidak akan benar-benar terjadi. Mereka mungkin
merasa bahwa komitmen organisasi terhadap perubahan hanya kosmetik dan tidak tulus.

2) Culture of Fear (Ketakutan): Ketakutan adalah reaksi emosional umum terhadap


perubahan. Karyawan mungkin khawatir tentang ketidakpastian yang disebabkan oleh
perubahan, seperti kemungkinan kehilangan pekerjaan, perubahan tugas, atau
ketidakpastian dalam hal peran mereka dalam organisasi yang baru.

3) Culture of Cynicism (Sinisme): Sinisme muncul ketika anggota organisasi merasa bahwa
perubahan budaya hanya untuk kepentingan tertentu atau sebagai upaya manipulatif dari
pihak manajemen. Mereka mungkin meragukan integritas dan niat dari perubahan tersebut.

4) Culture of Self-Interest (Mementingkan Diri Sendiri): Beberapa karyawan mungkin lebih


fokus pada bagaimana perubahan akan memengaruhi mereka secara pribadi daripada
bagaimana perubahan tersebut memengaruhi organisasi secara keseluruhan. Mereka
mencari peluang di luar organisasi.

5) Culture of Distrust (Ketidakpercayaan): Ketidakpercayaan dapat berkembang dalam


situasi di mana karyawan merasa tidak dapat mempercayai manajemen atau rekan kerja
mereka dalam menjalankan perubahan budaya. Ini dapat merusak kerja sama dan
komunikasi.

6) Culture of Anomie (Ketidakstabilan Sosial): Anomie mengacu pada ketidakstabilan sosial


yang dapat terjadi akibat perubahan budaya. Perubahan dalam kepemimpinan, pola pikir,
dan perilaku dapat menyebabkan perasaan ketidakstabilan dalam organisasi.

Anda mungkin juga menyukai