Anda di halaman 1dari 17

Seperti di ketahui, Al-Qur’an di turunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Dengan cara sedikit demi sedikit (tanjim) dan berurutan (tartil),1 dalam proses waktu
yang cukup panjng yakni kurang- lebih 23 Tahun. Tepatnya menurut sebagian ulama di
antaranya Syaik Muhammad al-Khudhari Bek, turunnya Al-Qur’an memakan waktu 22
tahun, 2 bulan, 22 hari. Dimulai tanggal 17 Ramadhan tahun ke-14 dari kenabian
Muhammad saw.,dan berakhir pada tanggal 9 dzulhijjah tahun 10 Hijrah (bertepatan
dengan tahun 610-632 M).

Mengingat Nabi Muhammad Saw. Pernah bertempat tinggal di dua kota


ternama, yakni Makkah dan Madinah, maka mudah di pahami jika para ahli ilmu-ilmu
Al-Qur’an membedakan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an antara yang turun pada
fase Makkah dengan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan pada periode
Madinah. Periode Makkah memakan waktu 12 tahun, 5 bulan, dan 13 hari; yakni sejak
tanggal 17 Ramadhan tahun ke-14 hingga awal Rabi’ul-Awwal tahun ke-54 dari
kelahiran Nabi Muhammad Saw. Sedangkan periode Madinah, menghabiskan waktu 9
tahun, 9 bulan, dan 9 hari, yakni sejak awal Rabi’ul-Awwal 54 hingga tanggal 9
Dzulhijjah tahun ke-63 dari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Atau tahun ke-10 Hijrah.2

Dari sini (Makkah-Madinah tempat kediaman Nabi Muhammad Saw. ), lahirlah


salah satu cabang ilmu pengetahuan dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yaitu ilmu al-Makki Wa
al-Madani. Ilmu ini memiliki kedudukan yang cukup penting dalam mempelajari ulum
Al-Qur’an .

1
Muhammad al-Khudari Bek, Tarikhul-Tasyri’al-islami, 1387 H/1976 M, hlm. 5.

2
Ibid., hlm. 7-8.

1
A.Pengertian Makiyyah dan Madaniyah

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an


tentang batasan al-makki wa al-madani. Secara garis besar,perbedaan mereka itu dapat
di bedakan ke dalam tiga kelompok yaitu:

Pertama, sebagian mereka menformulasikan Makkiyah dengan surat-surat dan


ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan di makkah dan sekitarnya; sedangkan madani
mereka gunakan untuk menjuluki surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan
di Madinah dan sekitarnya.

Kedua, ada ulama yang mendefinisikan al-makki dengan surat-surat dan ayat-
ayat Al-Qur’an yang titik berat khithab (arah pembicaranya) lebih di tujukan kepada
penduduk makkah; sedangkan al-madani adalah surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an
yang titik tekan arah pembicaraan (khithabnya) lebuh di tujukan kepada penduduk
madinah.

Ketiga, dan inilah yang di sebut-sebut sebagai pendapat yang paling mansyhur
dari ketiga pendapat yang ada, yaitu pendapat para ulama yang mendefinisikan al-makki
sebagai sebutan untuk surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebelum
Nabi Muhammad Saw. Hijrah ke Madinah, tanpa peduli apakah ayat itu turun di
makkah atau tempat lain. Sedangkan apa yang disebut dengan al-madani ialah
kelompok surat dan ayat Al-Qur’an yang di turunkan sesudah Nabi Muhammad Saw.
Hujrah ke Madinah walaupun turunnya di makkah.3

3
Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasy, al-Burban fi ulumil-Qur’an,
1379 H/1957 M, hlm. 187.

2
Ketiga pendapat di atas tampat berangkat dari persepi yang berbeda-beda.
Pendapat pertama lebih menekankan pemikirannya kepada tempat tinggal nabi semata-
mata, sementara pendapat kedua, lebih menitikberatkan kepada penduduk yang di
jadikan objek pembicaraan Al-Qur’an; dan pendapat ketiga lebih mengutamakan
peristiwa sejarah yang amat besar, yakni waktu sebelum dan sesudah Nabi Muhammad
Saw. Hijrah dari Makkah ke Madinah.

Pendapat terakhir inilah agaknya yang lebih kuat dan akurat. Alasannya, selain
karena didasarkan pada peritiwa besar dan bersejarah yakni kepindahan (hijrah) Nabi
Muhammad Saw. dari Mekkah ke Madinah juga terutama disebabkan standar ini dapat
mengakomodasi tempat-kediaman Nabi Muhammad Saw. seperti yang dijadikan titik
tolak oleh kelompok pertama; dan juga sekaligus menampung kelompok kedua yang
lebih mengandalkan pendapatnya pada perbedaan penduduk Makkah yang kebanyakan
non Muslim seta penduduk Madinah yang pada umumnya telah memeluk agama Islam.
Alasan ini akan semakin argumentatif ketika menyaksikan kenyataan bahwa bagian
terbesar dari surat dan ayat Makiyah seperti dikenali dengan beberapa ciri khususnya
lebih diarahkan kepada umat manusia (penduduk makkah) yang sesuai dengan kondidi
objektif masyarakat makkah waktu itu yang pada umumnya belum beriman (kafir).
Sedangkan bagian terbesar surat dan ayat Madinah lebih banyak berdialog dengan
orang-orang mukmin yang menjadi nagian terbesar dari penduduk Madinh kala itu.

3
B. Ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyah

Para ulama menyimpulkan bahwa hanya ada dua cara untuk mengetahui ayat-
ayat makkiyah dan madaniyah, yaitu dengan cara sima’ (mendengar riwayat dari
sahabat dan tabi’in) dan qiyas (analogi).210 Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Yang dimaksud dengan sima’ adalah riwayat yang dinukil dari Nabi Saw. Dan
sahabat yang melihat proses penurunan Al-Qur’an. Cara seperti ini menjadi
perhatian sangat serius dari generasi sahabat dan tabi’in. Buktinya, banyak riwayat
sahabat yang menyebutkan proses penurunan ayat atau surah.211

Imam Bukhari dan Muslim misalnya, telah melansir sebuah riwayar dari
Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: “demi Dzat yang tiada Tuhan selain-Nya, tidak
ada satu surat pun yang saya tidak ketahui proses penurunannya, dan tidak ada
satu ayat pun yang tidak saya ketahui dalam konteks apa ia diturunkan…” (HR
Bukhari dan Muslim)212

210
Muhammad al-Shadiq Qamhawi, al-Ijaz wa al-Bayan fi ulum al-Qur’an,
(Bairut:’Alam al-Kutub, 2006), hlm. 32, Manna al-Qatthan, Mabahits fi ulum Al-
Qur’an, (Riyadh:Daar al-Rasyid, t.th), hlm. 60.

211
Lihat Manna al-Qatthan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Daar al-
Rasyid, t.th), hlm. 60, Lihat Muhammad al-Shadiq Qamhawi, al-Ijaz wa al-bayan Fi
Ulum al-Qur’an, (Bairut: ‘Alam al-Kutub, 2006), hlm. 32.

212
Ahmad al-Sayyid al-Kumi, Ulum al-Qur’an, (Cairo: Kulliyatu Ushul al-Din,
1982), hlm. 82.

4
Ayyub as-Sakhtiyani juga meriwayatkan, ada seseorang bertanya kepada
Ikrimah tentang satu ayat Al-Qur’an, Ikrimah menjawab: “Ayat tersebut diturunkan di
lereng gunung itu (ikrimah sambil memberi isyarat ke gunung sila’).” (HR Abu
Nu’aim)213

2. Dengan cara qiyas. Yang dimaksud dengan qiyas di sini adalah ciri-ciri umum yang
mendominasi ayat-ayat makkiyah dan madaniyah. Untuk menentukan ciri-ciri
tersebut para ulama menganalisisnya melalui penelitian induktif (istiqra’). Cara
kedua ini biasa dilakukan ulama klasik. Di antara ciri-ciri tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Ciri-ciri ayat Makiyyah adalah:
1) Setiap surah yang terdapat kata
2) Setiap surah yang mengandung kata
3) Setiap surah yang dibuka dengan huruf hijaiyah.
4) Setiap surah yang terdapat surah Adam dan iblis, kecuali surah Al-Baqarah
karena ia termasuk Madaniyah.
5) Setiap surah yang terdapat kata
6) Surah yang di dalamnya terdapat cerita para Nabi dan umat terdahulu kecuali
surah Al-Baqarah.
7) Setiap surah yang terdapat kata kecuali surah Al-Baqarah ayat 21 dan 168
dan surah An-Nisa’ ayat 1, 133, 170 dan 174.
8) Ayat-ayat pendek walaupun ada juga yang disebut Madaniyah seperti surah
An-Nashr.
9) Mengajak untuk beriman kepada Allah dan mengesakannya, iman kepada
risalah Nabi Saw. Dan para nabi sebelumnya, iman kepada para Malaikat,
iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada hari akhir, hari kebangkitan,
hari pembalasan, nikmat dan siksaan-nya.

213
Ibid., hlm. 82.

5
10) Surah yang bercerita tentang kebiasaan orang kafir yang ingkar, mengubur
anak perempuan secara hidup-hidup, pemakan harta anak yatim secara batil,
pemakan riba, peminum khamr.
11) Anjuran terhadap orang Arab untuk menghiasa diri dengan pokok-pokok
kebaikan seperti, jujur dalam perkataan, sabar, amanah, adil, pergaulan yang
baik, perhatian terhadap tetangga, memenuhi janji berbuat baik kepada
kedua orang tua, tawadu, ilmu, ikhlas, cinta pada orang lain, hati yang
bersih, amar ma’ruf, nahi mungkar dan perbuatan yang baik lainnya.
b. Ciri-ciri ayat madaniyah yaitu:
1) Setiap surah yang mengandung kata…
2) Ayat-ayatnya panjang.
3) Terdapat ajakan kepada ahli kitab seperti kaum Yahudi dan Nasrani di
bawah panji Islam, memberikan bukti-bukti kesesatan akidah mereka.
4) Terdapat izin untuk berjihad.
5) Terdapat kaidah-kaidah hukum secara rinci seperti ibadah, muamalat
faraid, Pidan, perdata, kriminal, perang, sosial, perkawinan, peraturan
keluarga, dan lain-lain.
6) Berbicara tentang kondisi tentang orang munafik dan sikap dia terhadap
dakwah Nabi Muhammad Saw.214

214
Lihat manna al-Qatthan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, (Riyadh: Daar al-
Rasyid, t.th), hlm 63-64, lihat Muhammad al-Shadiq Qamhawi, al-Ijad wa al-Bayan Fi
Ulum al-Qur’an, (Bairut: ‘Alam al-Kutub, 2006), hlm. 34-35, Lihat Musa’id Bin
Sulaiman Bin Nashir al-Thayya, al-Muharrir Fi Ulum al-Qur’an (Jeddah: Markaz al-
Dirasat wa al-Ma’lumat al-Qur’aniyah, 2008), hlm. 113-114.

6
C.Kelompok Surat Makiyyah dan Surat Madaniyah

Menurut perkiraan sebagai ulama, di antaranya Syaikh Muhammad al-Khudhari


Bek, surat ayat Al-Qur’an yang tergolong ke dalam kelompok makiyyah berjumlah
sekitar 13/30% dari keseluruhan Al-Qur’an; sementara jumlah surat dan ayat yang do
golongkan ke dalam kelompok madaniyah hanya berjumlah sekitar 11/30%.4 Jadi,
kelompok surat makkyah lebih banyak jumlahnya dari pada kelompok surat madaniyah.

Yang tergolong ke dalam kelompok surat Madaniyah ialah:

1) Al-Baqarah 12) Al-Fath


2) Ali Imran 13) Al-Mujadalah
3) An-Nisa 14) Al-Hasyr
4) Al-Ma’idah 15) Al-Mumtahanah
5) Al-Anfal 16) As-Shaffat
6) At-Taubat 17) Al-Jumu’ah
7) An-Nur 18) Al-Munafiqun
8) Al-Ahzab 19) At-Taghabun
9) Al-Qital 20) At-Thalaq
10) Al-Fath 21) At-Tahrim
11) Al-Hujurat 22) An-Nashr

Kecuali yang disebutkan ini, semua surat dan ayat Al-Qur’an yang lainnya tergolong ke
dalam kelompok surat-surat Makkiyah.

4
syekh Muhammad Khudhari Bek, op. cit., hlm.8.

7
D. Cara-cara Mengenali Surat Makkiyah dan Surat Madaniyah

Agaknya terdapat perbedaan pendapat di kalang para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an


mengenai cara-cara mengenali surat-surat dan ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Az-
Zarqani, miasalnya, menegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali al-makki
(surat/ayat Makkiyah) dan al-mad ani (surat/ayat madaniyyah) kecuali hanya
berdasarkan informasi yang sampai dari para sahabat dan tabi’in. Dengan kalimat lain,
pengetahuan tentang al-makki wal al-madani tergolong ke dalam kelompok ilmu-ilmu
sima’I (pendengaran/periwayatan) yang tidak bisa di rekayasa selain apa adanya.

Alasannya, kata az-Zarqani, karena Nabi Saw. Sendiri tidak pernah menjelaskan
perihal ilmu al-makki wal al-madani. Yang demikian itu terjadi (ketiadaan ilmu-ilmu al-
makki wal al-madani) kata az-Zarqani, karena kaum muslimin yang waktu itu tidak
membutuhkan keberadaan ilmu semacam ini. Bagaimana mungkin ilmu ini di butuhkan,
toh mereka (para sahabat) menyaksikan langsung penyampaian wahyu dan proses
penurunan Al-Qur’an. Mereka juga mengetahui tempat, waktu, dan penyebab (latar
belakang) turun ayat-ayat Al-Qur’an dengan gamblang. Berkenaan dengan kejadian ini
ada ungkapan yang menyatakan:

Tidak (perlu) ada penjelasan (lebih lanjut) setelah sesuatu itu sendiri terang
adanya.

Demikian ungkapan az-Zarqani seraya mengutip komentar Abdullah bin Mas’ud


(w. 32 H/652 M) radhiyallahu ‘anhu:

8
”Demi Allah! Dzat yang tiada Tuhan selain Dia. Tidak ada satu surat pundari kitab
Allah (Al-Qur’an) yang turun, kecuali aku mengetahui (benar) di mana ayat itu di
turunkan? Juga tidak di turunkan satu puna ayat Al-Qur’an dari kitab Allah, kecuali
aku juga mengetahui dalam persoalan apa ayat Al-Qur’an itu di turunkan? Dan
sekiranya aku tahu bahwa ada seseorang yang pengetahuannya tentang Al-Qur’an
malebihi aku, dan (tempat tinggalnya) dapat di jangkau dengan (kendaraan) onta,
niscaya aku akan mengendarai ontaku untuk mengejarnya ke sana.”9

Masih kata az-Zarqani, alasan yang di kemukakannya itu jauh lebih tegas dan
rinci dari sekedar argumentasi yang di kedepankan al-Qadhi Abi Bakr yang juga
mengatakan ketidakadaan teks (nash) dari Rasulullah Saw. Yang merangkaikan ilmu-
ilmu al-makki wa al-madani. Atas dasar ini pula maka al Qadhi Abi Bakr kelihatannya
tiak memandang urgen peranan ilmu al-makki wa al-madani dalam menafsirkan Al-
Qur’an.

Berlainan dengan az-Zarqani, yang menggolongkan ilmu al-makki wa al-madani


ke dalam kelompok ilmu-ilmu sima’i, sebagian ulama yang lain di antaranya al-Ja’bari
memungkinkan seseorang untuk mengenali ilmu al-makki wa al-madani melalui
pendekatan analogi di samping pendengaran (riwayat). Menurutnya, ada dua cara untuk
mengenali kelompok surat makkiyah dan madaniyah, yaitu dengan cara sima’i dan
cara qiyasi. Atau menurut istilah yang di gunakan Manna’ al-Qaththan, dua cara di
maksudkan ialah cara as-sima’i an-naqli dan cara al-qiyasi al-aqli. Cara sima’i ialah
proses penurunan dan penyampaian Al-Qur’an itu sendiri kepada kita berjalan apa
adanya; sementara yang melalui qiyasi seperti di tegaskan ‘Alqamah bin Qays an-
Nakha’i (w. 62 H/681 M) ialah berdasarkan sejumlah ciri-ciri khusus yang telah di
sebutkan sebelum ini.10

9
Muhammad Abdul-Azhim Az-Zarqani, op.cit.,hlm. 196.

9
10
Badruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, op. cit., hlm. 189

Lebih vokal dari al-Ja’bari, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi meyakinkan


kita tentang kemungkinan seseorang dapat membedakan antara kelompok surat
makkiyah dan kelompok surat madaniyah tanpa harus merujuk kepada berbagai riwayat
para ulama dan mufassirin.11 Tentang kemungkinan menelusuri kelompok surat
makkiyah dan surat madaniyah berdasarkan ijtihat,sesungguhnya telah di dorong pula
oleh sejumlah ulama lain. Di antaranya adalah Jalaluddin as-Suyuthi yang
menggolongkan ilmu al-makki wa al madani ke dalam bagian ilmu al-ijtihadi.12

Para ulama memandang ilmu al-makki wa al-madani sebagai ilmu sima’i atau
ilmu riwayat, kelihatannya juga sama sekali tidak mengingkari kemungkinan
penelusuran ilmu al-makkki wa al-madani berdasarkan ijtihat atau qiyas. Az-Zarqani,
secara implisit memberikan beberapa kaidah untuk mengenali ciri-ciri khusus surat
makkiyah dan ciri-ciri tertentu surat madaniyah di bawah sub topik al-dawabith allati
yu’rafu bihal-yu wal-madaniyyu

Yang maksudnya “kaidah-kaidah untuk mengenali al-makki wal-madani”.13

E. Kedudukan dan Kegunaan Ilmu al-Makki wa al-Madani

Lepas dari perbedaan pendapat para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an tentang sattus
ilmu al-makki wal-madani apakah dia sebagai ilmu sima’i atau ilmu ijtihat, yang pasti
ilmu ini memiliki kedudukan penting dan strategis sekaligus mempunyai nilai guna
yang sangat berarti dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ilmu al-makki wal-madani
mempunyai kedudukan yang signifikan bagi mufassir,

11
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, op. cit., hlm. 102.

12
Jalaluddin As-Sayuthi, al-itqan fi Ulumil-Qur’an, j. 1, (t.t), hlm. 23; Subhi As-Shalih,
Mabahits fi Ulumil-Qur’an, 1998, hlm. 179.

10
13
Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani, op. cit., hlm. 196.

paling sedikit sebagai ilmu penopang/pendukung atau ilmu bantuan. Bahkan, bagi
mufassir yang mengakui keberadaan konsep nasakh mansukh dalam Al-Qur’an, hampir
dapat di pastikan harus menjadikan ilmu al-makki wal-madani sebagai salah satu
perangkat bagi mereka. Sebab, seperti di ketahui umum, di antara prasyarat nasikh-
mansukh ialah bahwa ayat mansukhah (yang di nasakh) harus di turunkan lebih dulu
dari pada ayat yang me-nasakh (nasikhakh). Demikian pula ketika di hubungkan dengan
penafsiran ayat-ayat ‘am dengan ayat-ayat khash dan lain-lain yang sejenis.

Itulah sebabnya mengapa ada di antara ulama tafsira yang memandang


eksistensi ilmu al-makki wal-madani jauh lebih di perlukan di bandingkan dengan ilmu
sebab nuzul misalnya. Di antara alasannya, kata mereka, mengingat ilmu al-makki wal-
madani lebih luas ruang lingkupnya di bandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul. Ilmu al-
makki wal-madani, ujar Subhi as-Shalih, jauh lebih luas dan bersifat menyeluruh
dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul yang bersifat pertikal (jus’i) dan
berorientasikan masa lalu sedangkan ilmu al-makki wal-madani bisa juga berorentasi ke
masa-masa depan.14

Alasan lain yang juga layak di kemukakan ialah bahwa penggolongan ilmu
asbabinl-nuzul ke dalam ilmu-ilmu riwayat yang dengan demikian maka sifatnya
menjadi terbatas; sedangkan ilmu al-makki wal-madani bisa juga di golongkan ke dalam
kelompok ilmu-ilmu ijtihat di samping ada juga yang lebih tepat di golongkan ke dalam
lingkun gan ilmu-ilmu sami’i (riwayat).

Berkenaan dengan kelebiihan ilmu al-makki wal-madani, Abu Qasim al-Hasan


bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi misalnya mengungkapkan demikian: “di antara
tanda dari kebesaran ilmu-ilmu Al-Qur’an ialah ilmu tentang turunnya, ilmu tentang
berbagai seginya, serta ilmu tentang tertib trurnnya di makkah pada saat permulaan,
pertengahan dan penghabisan;

11
14
Subhi as-Shalih, op. cit., hlm. 167.

demikian pula ketika di madinah pada saat permulaan, pertengahan dan masa-masa
akhirnya.15 yang mengisyaratkan keluasan ruang lingkup jangkauan ilmu al-makki wal-
madani.

Adapun mengenai faedah (kegunaan) mempelajari ilmu al-makki wal-madani,


terdapat rumusan yang bervariasi di kalangan ahli-ahli ilmu Al-Qur’an. Yang terpenting
dari padanya ialah:

1. Ilmu al-makki wal-madani sangat di butuhkan dan bermanfaat bagi klasifikasi


berbagai periwayatan, pembenaran teks-teks (an-nushush) dan pembelaan
terhadap pelurusan kebenaran sejarah. Itulah sebabnya mengapa dalam banyak
atau bahkan hampir dalam keseluruhannya ilmu al-makki wal-madani lebih di
butuhkan dari pada ilmu asbabin-nuzul16 yang pernah di jelaskan sebelum ini.
2. Dengan ilmu al-makki wal-madani, seorang mufassi atau yang lainnya dapat
mengenali dan sekaligus menelusuri jejak (napak tilas) rangkaian fase-fase
dakwah islamiah dari awal hingga akhir dan sekaligus akan memperoleh
inspirasi dalam memunculkan cara-cara yang prima dalam membangun sistem
berfikir keislaman sepanjang zaman dan dalam seantero keadaan.17
3. Dengan megenai ilmu al-makki wal-madani, seseorang mampu menghayati
proses turunnya Al-Qur’an surat demi surat dan ayat demi ayat, dari satu tempat
ke tempat lain dan dari waktu ke waktu serta dari kelompok sosialyang satu
kepada kelompok sosial yang lain.18 ilmu al-makki wal-madani laksana cuplikan
miniature dan lorong-lorong potret Al-Qur’an yang proses turunnya seakan-akan
baru saja kita saksikan.

15
Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, op. cit., hlm. 192
16
Subhi as-Shalih, lot. cit.

12
17
Ibid, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, op. cit., hlm. 103

18
Manna’ Al-Qur’an, Mabahits fi Ulumil-Qur’an, 1393 H/1972 M, hlm. 53.

4. Dengan ilmu al-makki wal-madani, kita dapat mengetahui pensyariatan hukum


islam (tasyri’ul-islami) dan perkembangannya yang sangat bijaksana serta
bersifat umum. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan keyakinan akan
peyebaran islam termasuk hukum yang ada di dalamnya yang demikian
bijaksana dalam mendidik umat manusia baik secara perorangan maupun
kolektif.19 Gerakan sosialisasi rancangan undang-undang (RUU) yang di
lakukan masyarakat sekarang, sudah di perkenalkan Al-Qur’an dari 14 abad
yang silam melalui dialog terbuka antara nabi Muhammad Saw. Dengan
masyarakat dunia khususnya masyarakat Madinah (Madani). Perhatikan
misalnya ayat-ayat hukum tentang pengharaman khamar (minuman keras) dan
maisir (perjudian).
5. Dengan ilmu al-makki wal-madani, seseorang dapat mengetahui sejarah
perjalanan Nabi Muhammad Saw. Dari celah-celah ayat-ayat Al-Qur’an.
Turunnya Al-Qur’an yang demikian rapi, teratur dan di lakukan secara bertahap
namun juga tuntas dapat di jadikan landasan dalam menapak tilas sejauh
perjalanan dan sepak terjang perjuangan Nabi Muhammad Saw.20 Betapa indah
menelusuri Al-Qur’an dengan melalui pendekatan ilmu al-makki wal-madani.
6. Dengan ilmu al-makki wal-madani, umat islam dapat meningkatkan keyakinan
akan kebenaran, kebesaran, kesucian dan kemurnian (originalitas) Al-Qur’an;
mengingat betapa besar perhatian umat islam terhadap Al-Qur’an sejak di masa-
masa awal penurunannya sampai perkembangan berikutnya; dan sejak dari
masalah-masalah besar sampai dengan masalah-masalah yang kecil. Pendeknya,
apapun yang berhubungan dengan Al-Qur’an, mereka bahas dengan tidak henti-
hentinya.21 Semakin Al-Qur’an dibahas, semakin luas yang perlu di wawas; dan
semakin dalam Al-Qur’an digali semakin berderang dapat diuji.

19
Muhammad Amin Suma, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an 1, op. cit., hlm. 87.

13
20
Manna’ Al-Qaththan, op.cit., hlm. 97. 21Ibid.

7. Bagi para ulama yang menerima konsep nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, ilmu
al-makki wal-madani di anggap memiliki peran penting dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Hanya saja teori tentang keberadaan nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an
ada juga ulama yang mengingkarinya.
8. Ilmu al-makki wal-madani dapat menghindarkan atau sekurang-kurangnya
memperkecil (meminimais) seseorang dari kemungkinan salah dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Ilmu makki wa al-madani, ibarat GPS (Global
Positioning System) yang selalu mengarahkan sang sopir (mufassir) menuju
suatu tempat (penafsiran) yang dituju.

Kegunaan kedelapan inilah yang paling urge dari keberadaan ilmu al-makki wa al-
madani dalam kanca penafsiran Al-Qur’an. Betapa banyak orang yang kurang tepat atau
malahan salah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya karena tidak mengetahui ilmu al-
makki wa al-madani. Sebagai ilustrasi, tidak jarang orang mengesankan islam dan
umatnya sebagai orang atau ajaran yang berpenampilan lembut dan bahkan lembek
hanya karena mengacu kepada ayat:

Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai (pembawa) rahmat
bagi semua orang. (QS Al-Anbiya’ [21]: 107)

Bahwa Nabi Muhammad Saw. Pembawa rahmat, itu tidak perlu di ragukan lagi
mengingat Nabi Muhammad Saw. Sendiri mengaku dirinya sebagai nabi rahmat
(innama ana nabiyyu al-rahmati). Dan penafsiran ini betul adanya. Tetapi tidak berarti
sikap santun dan kasih sayang yang di miliki serta di ajarkan Nabi kepada umatnya itu
tanpa batas sehingga mengesankan umat islam identic dengan umat yang lembek dan
loyo ketika di hadapkan pada situasi yang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya.
Selain karena ayat di atas (Al-Anbiya’ [21]: 107) tergolong kedalam kelompok surat
dan ayat makkiyah, juga terlalu banyak ayat yang terpaksa mewajibkan umat islam
bersikap tegas dan jika perlu bahkan harus konfortatif melalui peperangan sekalipun.
Perhatikan misalnya ayat 216 surat Al-Baqarah [2] dan sejumlah ayat senada lainnya

14
baik dalam surat Al-Baqarah maupun surat-surat lainnya. Intinya, ayat-ayat Al-Qur’an
itu tidak boleh di pahami secara parsial dan marjinal; melainkan harus juga
komprehensif dan bersifat sistematik meski tidak menafikan ayat-ayat tentang yang
bersifat spesifik.

Jika kelompok surat makkiyah dan surat Madaniyah ini disamapaikan secara
benar, adil dan berimbang bahkan saling melengkapi, maka niscaya ghirah umat Islam
terhadap agamanya pada satu sisi akan tetap continue dan lestari; sebaliknya, pada sisi
yang lain juga tidak akan lahir orang-orang ekstrem yang tidak memberi tempat dan
kebebasan bagi orang-orang yang berlainan agama. Di sinilah antara lain terletak arti
penting dari kemampuan seorang mufassir menguasai ilmu al-makki wa al-madani
dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Atas dasar ini pula maka penafsiran Al-Qur’an yang bersifat holistik itu sangat
perlu memethatikan keserasian dan keselarasan antara ayat yang satu dengan ayat lain,
baik di dalam surat yang berbeda dan lebih-lebih dalam surat yang sama. Guna
mewujudkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara serasi dan selaras ini sudah tentu
seseorang memerlukan pengetahuan tentang ayat-ayat yang tergolong ke dalam
kelompok surat dan ayat Makkiayah serta mengetahui surat dan ayat-ayat yang
tergolong ke dalam kelompok Madaniyah. Jelasnya, ilmu makki wal-madani tetap
bermanfaat dan penting adanya.

F. Manfaat Makkiyah dan Maaniyah

Adapun faidah mengetahui makkiyah dan madaniyah, yaitu:

1. Untuk mengetahui ayat yang turun terlebih dahulu dan yang turun belakangan,
sehingga dapat menentukan ayat nasikh dAn mansukh, seperti bila ada 2 ayat
yang berbeda dalam menentukan suatu hukum, sementara diketahui bahwa yang
satu termasuk ayat makkiyah dan yang lain termasuk ayat madaniyah. Maka
dapat disimpulkan bahwa ayat madaniyah menghapus hukum ayat makkiyah,
karena ayat madaniyah dating belakangan.

15
2. Untuk mengetahui sejarah penurunan dan proses pentahapan suatu hukum dari
satu situasi ke situasi yang lain. Karena setiap kaum mempunyai bahasa dan
karakteristik kejiwaan yang berbeda-beda, maka penerapan hukum harus
memerhatikan situasi kondisi mereka.
3. Untuk mengukuhkan keauntetiakan AL-Qur’an, dan untuk mengukuhkan
sampainya Al-Qur’an kepada kita dengan selamat tanpa mengalami perubahan
dan pemalsuan. Kategorisasi makkiyah dan madaniyah ini juga menunjukkan
perhatian yang serius dari kaum muslimin, sehingga mereka mengetahui ayat
yang turun sebelum hijrah dan sesudahnya, turun pada saat tidak bepergian dan
pada saat bepergian, turun di langit dan turun di bumi. Perhatian kaum muslimin
yang sangat serius terhadap Al-Qur’an ini menjadikan musuh-musuh Islam
berpikir berulang kali sebelum melakukan serangan/celaan terhadap Al-Qur’an
atau terhadap Islam.215

215
Ahmad al-sayyid al-Kumi, Ulum al-Qur’an, (Cairo:Kulliyatu Ushul al-
Din, 1982), hlm. 83-84.

16
17

Anda mungkin juga menyukai