Anda di halaman 1dari 20

3

TEOLOGI PENDIDIKAN
ISLAM

Term Allah dan derivasinya disebutkan sebanyak 2.702 kali dalam


1.913 ayat.1 Ayat yang pertama kali turun memuat term Allah adalah
Surat Al-Ikhlas [112]: 1, sedangkan ayat yang terakhir kali turun
memuat term Allah adalah Surat Al-Taubah [9]: 129. Surat Al-Ikhlas
[112]: 1 menegaskan ketauhidan Allah Swt., selaras dengan Surat Al-
Taubah [9]: 129 yang menyatakan bahwa manusia cukup bergantung
kepada Allah Swt. Dengan kata lain, manusia cukup menjadi ‘hamba
Allah’, tidak perlu menjadi hamba selain-Nya. Inilah yang disebut
tauhid.
Merujuk Al-Qur’an, para nabi dan rasul selalu membawa ajaran
tauhid. Misalnya, Surat Al-Anbiya’ [21]: 25 dan Al-A’raf [7]: 59, 65, 73,
85. Kendati semua nabi dan rasul membawa ajaran tauhid, tetapi ada
perbedaan dalam pemaparan tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa
Nabi Muhammad Saw. melalui Al-Qur’an diperkaya oleh Allah Swt.

1
Term allahu disebutkan 980 kali; term allaha disebutkan 592 kali; term allahi
disebutkan 1.125; dan term allahumma disebutkan 5 kali.
dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam
siapa pun yang mempersekutukan Allah Swt.2
Ketauhidan Allah Swt. mencakup empat macam sebagai berikut.3
Pertama, Keesaan Zat-Nya. Seseorang harus percaya bahwa Allah
Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian, karena bila
Zat Yang Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih –betapa pun
kecilnya unsur atau bagian itu– berarti Dia membutuhkan unsur atau
bagian itu. Allah Swt. adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri
tidak bersumber dari sesuatu pun. Keragaman dan bilangan lebih dari
satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri Khaliq (Pencipta).
Itulah sebagian makna Keesaan dalam Zat-Nya.
Kedua, Keesaan Sifat-Nya. Allah Swt. memiliki sifat yang tidak
sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk,
walaupun dari segi bahasa, kata yang digunakan untuk menunjuk sifat
tersebut sama. Menurut sebuah hadis, ada 99 sifat Allah Swt., namun
setelah menelusuri Al-Qur’an, Muhammad Husain al-Thabathaba’i
menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allah Swt. yang
ditemukan dalam Al-Qur’an, kesemuanya merupakan al-Asma’ al-Husna.
Ketiga, Keesaan Perbuatan-Nya. Segala sesuatu yang ada di alam
raya ini, baik sistem kerja maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya
adalah hasil perbuatan Allah Swt. semata. Apa yang dikehendaki-Nya
terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Namun,
ini bukan berarti Allah Swt. berlaku sewenang-wenang atau “bekerja”
tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan
dengan hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya.
Sementara itu, dalam mewujudkan kehendak-Nya, Allah Swt. tidak
membutuhkan apa pun.
Keempat, Keesaan dalam Beribadah Kepada-Nya. Kalau ketiga
keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini
maka keesaan keempat merupakan perwujudan dari ketiga makna
keesaan terdahulu. Mengesakan Allah Swt. dalam beribadah menuntut
manusia untuk melaksanakan segala sesuatu karena Allah Swt. Alhasil,

2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 23-25.
3
Ibid., hlm. 43-48.

Ilmu Pendidikan Islam


keesaan Allah Swt. dalam beribadah adalah melaksanakan apa yang
tergambar dalam Surat Al-An’am [6]: 162.
َ ųَɉĵšَ ْů‫ِ َر ّب ا‬Ĭğ ِ ƫĵųَ Ɋَ ‫ي َو‬ĵ
Σ ‫م‬ĵšŵƁ‫ ا‬ǻ َ žَ ْƤَ ‫ َو‬ǒŏُ ُ ȸ‫ َو‬ƫƆَ Ŕَ ‫ن‬ğ ‫ إ‬Ůْ ũُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS Al-An’am [6]: 162).

Di satu sisi, tauhid merupakan esensi iman kepada Allah Swt.


Sementara itu, iman kepada Allah Swt. itu mendorong pada perbaikan
perilaku hidup dan penjernihan jiwa karena orang mukmin itu
meyakini bahwa Allah Swt. Maha Melihat amal perbuatannya, Maha
Mengetahui apa yang terbersit dalam jiwanya, dan Maha Membalas
amal perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat Ali ‘Imran [3]:
29—30.4 Di sisi lain, iman kepada Allah Swt. adalah esensi akidah
karena berimplikasi pada keniscayaan iman kepada para malaikat, kitab
suci, para rasul, hari akhir, dan qadha’-qadar.
Lebih dari itu, akidah merupakan pokok dan substansi, sedangkan
ibadah merupakan cabang dan tampilan fisik. Jadi, ibadah adalah
manifestasi empiris dari kejujuran iman dan bagusnya akidah yang
bersemayam di hati seorang mukmin. Oleh sebab itu, ibadah tidak
bisa dilepaskan dari akidah, sebagaimana pohon tidak bisa dilepaskan
dari akarnya. 5 Lalu, akidah dan ibadah harus dilengkapi dengan
akhlak. Kombinasi akidah, ibadah, dan akhlak adalah cerminan dari
iman, Islam, dan ihsan yang merupakan inti ajaran Islam. Dalam
konteks Al-Qur’an, lekatnya hubungan iman, Islam, dan ihsan kerap
disinggung dengan redaksi: “Orang-orang yang beriman dan beramal
ِ ّ dz‫ا ا‬ȂُǴǸِ ‫ا وع‬ȂǼǷَ‫ آ‬Ǻȇǀِ ّdz‫)ا‬.
ِ ūƢ
saleh” (‫ت‬Ƣ َ ‫ص‬ َ َُ
َ َ
Seorang ulama menegaskan hubungan harmonis antara tauhid,
iman, Islam, dan ihsan melalui pernyataan berikut:6

4
‘Umar Ahmad ‘Umar, Manhaj al-Tarbiyyah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1996), hlm. 78-79.
5
‘Abd al-Majid Tha’mah Halbi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah li al-Aulad: Manhaj wa
Hadaf wa Uslub (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2004), hlm. 141.
6
Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendidikan Karakter Khas Pesantren, Penerjemah
Rosidin (Tangerang: TiraSmart, 2017), hlm. 2-3.

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


ُ Łźْ ُŽ
Ķ
ُ
‫ن‬ĵųَ Ȭْ ƃ‫ا‬ َ Ȕُ َ ʼnَ ْžِńźْ َĻ ƅ
‫و‬
َ َُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ
Ȕ ‫ن‬ĵ ų Ȭ ‫إ‬ ƅ Ŵ ų ȯ ‫ن‬ĵ ų Ȭ ƃ‫ا‬ ُ Łźْ ُŽ ʼnُ ْžِńźْ ȋğ َ ‫ا‬
Ķ
ِ ِ ِ ، ِ ِ
ُ Łźْ ُĻ ُ َ
ğ َ ُ َْ َْ َ ُ َ َْ َ َ َ َ َ َ
ُ َ ْ َ ƅ Ŵْ ųَ ȯَ ،Ĺَ šَ ْɆǬɉ‫ا‬ ğ
Ķ ِ Ĺšَ ْɆǬɉ‫ا‬
ِ ‫ و‬Ȕ ʼnžِńźĻ ƅ‫ و‬Ȕ ‫ن‬ĵųȬِ‫ إ‬ƅ Ȕ ĹšɆǨ ِ ِ
َ َ َُ َ َ ْ َ َ َُ َ َ ْ َ َ َُ َ َ َ َ ْ َ َ َ ََ
ُȔَ ʼnَ ْžِńźْ َĻ ƅ ‫ و‬Ȕ ‫ن‬ĵųȬِ‫ إ‬ƅ‫ و‬Ȕ ĹšɆǨ ِ ƅ ،Ȕ ‫ أدب‬ƅ Ŵųȯ ،‫دب‬Ɓ‫ا‬
Tauhid mengharuskan Iman [Dimensi Iman], maka barangsiapa tidak memiliki
Iman, berarti tidak memiliki Tauhid. Iman mengharuskan Syariat [Dimensi
Islam], barangsiapa tidak memiliki Syariat, berarti tidak memiliki Iman dan
Tauhid. Syariat mengharuskan Akhlak [Dimensi Ihsan], maka barangsiapa tidak
memiliki Akhlak, berarti tidak memiliki Syariat, Iman dan Tauhid.

Agar tauhid, iman, Islam, dan ihsan terinternalisasi pada diri


setiap insan maka diperlukan ilmu pengetahuan. Itulah mengapa Al-
Qur’an mengisyaratkan berulang-ulang bahwa ilmu dan agama itu
saling melengkapi dan bahu-membahu dalam menyingkap realitas
dan meluruskan perilaku hidup.7 Dalam konteks inilah, pendidikan
menemukan signifikansinya.
Tauhid bukan sekadar ungkapan akidah, syariat, dan akhlak,
melainkan juga ungkapan pendidikan. Adapun implikasi tauhid dalam
konteks pendidikan Islam antara lain:
a. Tauhid memerdekakan manusia dari segala bentuk penghambaan
selain kepada Allah Swt.; membebaskan akalnya dari khurafat;
membebaskan hati dari perasaan hina; serta membebaskan hidup
dari kekuasaan manusia.
b. Tauhid adalah asas untuk menetapkan persaudaraan antarumat
manusia (Ukhuwwah al-Insaniyyah) dan kesetaraan manusia
(Musawah al-Basyariyyah) karena persaudaraan dan kesetaraan
tidak akan terwujud dalam kehidupan ini jika sebagian manusia
menjadi “hamba” sebagian yang lain; persaudaraan dan kesetaraan
baru terwujud jika manusia sama-sama memosisikan diri sebagai
hamba Allah.

7
‘Abd al-Wahhab ‘Abd al-Salam Thawilah, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Fann
al-Tadris (Kairo: Dar al-Salam, 2003), hlm. 14.

Ilmu Pendidikan Islam


c. Pemahaman tauhid merepresentasikan keselarasan nilai-nilai
rohani dengan materi, keterikatan hati dengan akal, serta dunia
dengan akhirat.8
Dari sini dapat dipahami bahwa tauhid menempati posisi sentral
dalam pendidikan Islam.
a. Visi dan misi pendidikan Islam adalah mendidik manusia agar
menauhidkan Allah Swt. semata.
b. Kurikulum pendidikan Islam harus memuat dimensi iman, Islam,
dan ihsan yang merupakan implikasi dari menauhidkan Allah
Swt.
c. Menauhidkan Allah Swt. merupakan jalur utama terciptanya
pendidikan Islam yang “memanusiakan manusia”, karena semua
manusia dipandang setara dari segi kemanusiaannya.
Dari perspektif Maqashid Syariah, Hifzh al-Din (religius) terealisasikan
pada pelaksanaan ibadah yang dilandasi tauhid, sehingga ikhlas karena
Allah Swt., bukan riya’ karena manusia.
Hifzh al-Nafs (fisik-psikis) terealisasikan pada iman yang terletak
dalam kalbu yang berdimensi psikis; dan amal saleh yang umumnya
dilakukan melalui perbuatan fisik.
Hifzh al-‘Aql (intelektual) terealisasikan pada Sunnatullah atau
hukum Allah Swt. di alam semesta, yang harus dipelajari oleh manusia,
agar dapat mengembangkan IPTEK.
Hifzh al-Nasl (sosial) terealisasikan pada implikasi tauhid yang
meniscayakan persaudaraan antarumat manusia, karena sama-sama
merupakan hamba Allah Swt.
Hifzh al-Mal (ekonomi) terealisasikan pada sifat Allah Swt. yang
berhubungan erat dengan rezeki manusia. Misalnya, al-Razzaq (Maha
Pemberi Rezeki). Oleh sebab itu, umat Muslim dituntut untuk ikhtiar
mencari rezeki melalui kerja dan berdoa kepada Allah Swt. agar
dianugerahi rezeki.
Hifzh al-‘Irdh (prestasi) terealiasikan pada tingkatan umat Muslim
yang didasarkan pada kualitas hubungannya dengan Allah Swt.

8
Sa’id Isma’il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 65-66.

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


Misalnya, Allah Swt. mencintai orang-orang yang berbuat ihsan,
bertakwa, bersuci, bertaubat, dan sebagainya.

Ada tiga patron kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk


kepada manusia. Pertama, kata yang terdiri dari huruf Alif, Nun dan
Sin, semacam Insan, Ins, Nas atau Unas. Kedua, kata Basyar. Ketiga, kata
Bani Adam dan Dzurriyat Adam.9
Pertama, al-Basyar. Manusia disebut al-Basyar, karena kulitnya
tampak; berbeda dengan binatang yang kulitnya ditutupi bulu. 10
Baharuddin menyimpulkan bahwa al-Basyar adalah sisi fisik manusia
yang secara biologis memiliki persamaan di antara seluruh umat
manusia, misalnya: makan, minum, tumbuh, berkembang, mati, dan
sebagainya.11
Kedua, al-Insan. Manusia disebut al-Insan (dari akar kata al-unsu)
karena memiliki sifat jinak dan harmonis.12 Sebagai al-Insan, manusia
dibekali berbagai potensi, antara lain sebagai hamba Allah yang selalu
berbuat baik; namun berpotensi menjadi pembangkang.13 Inilah yang
kemudian mengantarkan pada dua kutub manusia, yaitu Ahsan Taqwim
dan Asfal al-Safilin. Semua manusia diciptakan dari debu tanah dan roh
Ilahi; apabila daya tarik debu mengalahkan roh Ilahi, maka manusia
akan jatuh tersungkur ke tempat yang serendah-rendahnya, bahkan
lebih rendah dari binatang (Asfal al-Safilin). Sebaliknya, bila roh Ilahi
yang memenangkan tarik-menarik tersebut, maka manusia akan
menjadi seperti malaikat (Ahsan Taqwim).14 Sementara itu, Quraish
Shihab menyimpulkan bahwa kata al-Insan digunakan Al-Qur’an

9
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 129.
10
Samih ‘Athif al-Zain, Mu’jam Tafsir Mufradat Alfazh Al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Kutub al-Lubanani, 2001), hlm. 111-112.
11
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 65-69.
12
Loc. Cit., hlm. 76.
13
Loc. Cit., hlm. 70-74.
14
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 102-103.

Ilmu Pendidikan Islam


untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa
dan raga.15
Hakim Muda Harahap menukil pandangan Musa Asy’ari yang
relatif komprehensif tentang pengertian al-Insan dalam Al-Qur’an
sebagai berikut.
1) Jika dilihat dari asal kata anasa dalam pengertian melihat,
mengetahui dan meminta izin; term al-Insan bermakna kemampuan
penalaran. Dengan penalarannya, manusia dapat mengambil
pelajaran dari apa yang dilihat, mengetahui benar-salah serta
mendorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan
miliknya.
2) Jika dilihat dari akar kata nasiya yang berarti lupa, maka term al-
Insan berkaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap suatu
hal disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.
3) Jika dilihat dari akar kata al-Uns yang artinya jinak, maka al-Insan
berkaitan dengan kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya
jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan
lingkungan. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang cukup
tinggi dengan perubahan dalam kehidupannya, baik perubahan
sosial maupun alamiah. Manusia menghargai kode etik, sopan
santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik
secara sosial maupun alamiah.16
Ketiga, al-Nas. Manusia sebagai al-Nas bermakna spesies manusia
secara umum.17 Kata lainnya adalah al-Uns, bentuk jamak dari al-
Insan. Al-Uns bermakna kelompok manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia itu makhluk berkelompok, baik suku, wilayah, sosial,
politik.18
Keempat, Bani Adam. Manusia sebagai Bani Adam berarti makhluk
yang memiliki keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya.

15
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 131.
16
Rosidin, Konsep Andragogi dalam Al-Qur’an: Sentuhan Islami pada Teori dan
Praktik Pendidikan Orang Dewasa (Malang: Litera Ulul Albab, 2013), hlm. 72.
17
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, hlm. 88.
18
Ibid., hlm. 74-76.

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


Keistimewaan tersebut meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan
kemampuan memanfaatkan alam.19
Berdasarkan hasil telaah terhadap istilah-istilah manusia dalam
Al-Qur’an, Baharuddin berkesimpulan bahwa manusia adalah makhluk
pilihan; semi samawi-duniawi; multi aspek dan dimensi; serta di
dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui wujud dan Keesaan Allah
Swt. (tauhid), memiliki kebebasan berkehendak, terpercaya (amanah),
serta bertanggung jawab atas dirinya, alam dan kepada Tuhannya. Jadi,
wajar jika manusia diberi tugas ganda, sebagai Khalifah dan ‘Abdullah.20
Penulis sendiri mengajukan simpulan yang dapat dipetik dari
bahasan tentang manusia dalam Al-Qur’an:
Pertama, manusia sebagai al-Basyar memiliki kebutuhan biologis,
seperti sandang, pangan, papan dan pasangan hidup. Oleh sebab itu,
manusia perlu dididik keterampilan hidup yang membuatnya dapat
memenuhi kebutuhan biologis tersebut sesuai dengan aturan syariat
Allah Swt.
Kedua, manusia sebagai al-Insan memiliki potensi positif dan
negatif. Oleh sebab itu, pendidikan bertanggung jawab mengoptimalkan
potensi positif tersebut dan meredam potensi negatif, sehingga terbina
manusia paripurna (insan kamil).
Ketiga, manusia sebagai al-Nas memiliki kebutuhan sosial. Oleh
sebab itu, pendidikan Islam berperan penting membina manusia
agar berinteraksi sosial secara positif, bermanfaat bagi orang lain dan
mampu memobilisasi orang lain untuk bersama-sama menuju ke
arah yang lebih baik (Khaira Ummah). Pada saat itu, dia bukan semata
menyandang status saleh, melainkan juga mushlih. Saleh menyangkut
kualitas individual, sedangkan mushlih menyangkut kualitas sosial.
Keempat, manusia sebagai Bani Adam dituntut untuk mengopti-
malkan keistimewaan yang diberikan Allah Swt. Oleh sebab itu,
pendidikan Islam bertanggung jawab mendidik manusia agar dapat
menjadi pribadi yang mampu mengkreasi dan mengembangkan

19
Ibid., hlm. 88-90.
20
Ibid., hlm. 411.

Ilmu Pendidikan Islam


peradaban manusia yang semakin canggih, namun tetap dalam koridor
syariat Allah Swt.

Pertama, Materialisme (Naturalisme). Esensi manusia bersifat materiil


atau fisik; tidak memiliki sifat spiritual. Karena manusia menempati
ruang dan waktu, maka manusia bisa diukur, dihitung dan diobservasi.
Gerakan manusia merupakan respons dari bagian tertentu dalam
sistem saraf pusat manusia terhadap stimulus tertentu (disebut
hukum stimulus-respons). Kaum materialis pada umumnya sangat
deterministik, tidak mengakui independensi manusia. Tidak ada
perilaku yang ditimbulkan oleh faktor internal, semuanya digerakkan
faktor eksternal manusia.
Kedua, Idealisme (Spiritualisme). Hakikat manusia bersifat
spiritual; maka sumber atau penggerak utama perilaku adalah kekuatan
internal, yakni jiwa. Para idealis tidak menolak kekuatan yang bersifat
fisik maupun hukum alam. Menurut Hegel, kekuatan fisik dan hukum
alam adalah manifestasi dari Roh Absolut atau Tuhan. Hal-hal yang
bersifat ideal dan normatif, seperti agama, hukum, nilai, ide, memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia, sehingga berfungsi sebagai
panduan sekaligus tujuan hidup manusia. Sejumlah besar penganut
idealisme berpandangan deterministik mengenai manusia, yakni
manusia tidak memiliki kebebasan terhadap dirinya, karena setiap
tindakan manusia sudah diatur dan ditentukan sebelumnya oleh Roh
Absolut atau Tuhan.
Ketiga, Dualisme. Manusia terdiri dari dua substansi, yakni materi
dan roh atau tubuh dan jiwa. Akal sehat dan ilmu tentang organisme
menjelaskan bahwa sebagian perilaku manusia pada dasarnya
merupakan fungsi dari tubuh yang bersifat res extensa (berkeluasan),
menempati ruang dan waktu; dengan demikian, materi atau tubuh itu
ada dan bersifat niscaya atau tidak bisa ditolak. Sedangkan keberadaan
jiwa yang karakteristiknya adalah res cogitans (berpikir) justru lebih

21
Seluruh materi ini disarikan dari Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006).

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


jelas dan tegas dibandingkan keberadaan tubuh. Meskipun tidak
bisa dibuktikan secara indrawi, tetapi bisa dibuktikan melalui rasio
(pikiran).
Keempat, Vitalisme. Seluruh aktivitas atau perilaku manusia pada
dasarnya merupakan perwujudan dari energi atau kekuatan yang tidak
rasional dan instingtif. Acuan vitalisme adalah ilmu biologi dan sejarah.
Biologi mengajarkan bahwa kehidupan tidak ditentukan oleh rasio,
melainkan oleh kekuatan untuk bertahan hidup yang sifatnya irasional
dan liar (instingtif). Sejarah mencatat bahwa peristiwa-peristiwa penting
yang menentukan jalannya sejarah dan peradaban manusia—seperti
revolusi—hampir semuanya digerakkan oleh dorongan atau energi
yang sangat tidak rasional dan liar.
Kelima, Eksistensialisme. Eksistensialisme tidak membahas esensi
manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik meneliti kenyataan
konkret yang dialami oleh manusia di dunia ini, seperti kebebasan,
kematian, kehidupan yang autentik, ketiadaan, dan lain-lain. Hanya
manusia yang bereksistensi, karena hanya manusia yang sanggup keluar
dari dirinya; melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya,
serta berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang
dimilikinya. Para eksistensialis menyebut manusia sebagai proses
“menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis. Jadi, manusia adalah makhluk
bebas; kebebasan adalah modal dasar hidup sebagai individu yang
autentik dan bertanggung jawab.
Keenam, Strukturalisme. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk
yang tidak bebas, yang terstruktur oleh sistem bahasa dan budaya
yang mengungkungnya. Aliran ini secara tegas menolak humanisme,
menolak pandangan tentang kebebasan dan keluhuran manusia; tidak
mengakui “ego”, “aku” (individu) atau “kesadaran”.
Ketujuh, Postmodernisme. Pandangan postmodernisme tentang
manusia hampir sama dengan strukturalisme, namun diskusi
postmodernisme masuk ke dalam aspek kehidupan manusia yang lebih
beragam dan faktual. Para postmodernis menantang dominasi “aku”,
sekaligus menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian,
ekonomi, arsitektur, bahkan gender yang timpang dan menyeragamkan
manusia.

Ilmu Pendidikan Islam


Walaupun aliran-aliran filsafat di atas tampak saling bertolak
belakang, sebenarnya masing-masing pandangan dapat dipadukan
menjadi kesatuan yang relatif komprehensif untuk menilai manusia
dari perspektif filsafat. Konklusi yang penulis ajukan adalah manusia
memiliki dimensi jasmani dan rohani. Kedua dimensi ini bersifat
dinamis, yaitu berkembang secara kontinu akibat interaksi aspek
internal manusia (nurture, bawaan) dengan aspek eksternal manusia
(nature, lingkungan). Perbedaan kualitas perkembangan dimensi
jasmani dan rohani manusia menimbulkan perbedaan eksistensi
manusia, misalnya “sukses” atau “gagal”, menurut perspektif sistem
bahasa dan kebudayaan manusia secara umum; kendati secara khusus
ada yang keberatan dengan label “sukses” atau “gagal” tersebut.

Pertama, Makhluk Termulia. Allah Swt. memberi berbagai keistimewaan


kepada manusia sehingga berhak mendapat penghormatan dari seluruh
makhluk di jagat raya. Keutamaan manusia didasarkan iman, takwa,
kualitas akal, dan imannya.
Kedua, ‘Abdullah dan Khalifatullah. Tugas utama manusia adalah
menyembah Allah Swt. (sebagai ‘Abdullah) sekaligus menjalankan
fungsinya sebagai Khalifatullah (wakil Allah) yang bertugas
memakmurkan bumi. Sebagai Khalifatullah, manusia dibekali berbagai
elemen penunjang, baik faktor internal (akal, kekuatan fisik) maupun
eksternal (keberadaan binatang dan tumbuhan, turunnya hujan).
Ketiga, Makhluk Berpikir. Melalui akal pikirannya, manusia dapat
menjadikan alam sebagai arena perenungan (tafakur), pengamatan
(observasi) serta eksplorasi alam sesuai idealismenya. Sebagai
makhluk berpikir, manusia memiliki empat ciri utama: (1) daya
bertutur kata (berbahasa); (2) kecenderungan beragama (religius);
(3) kecenderungan berakhlak (moralis); dan (4) kecenderungan
bermasyarakat (sosial).

22
Seluruh materi disarikan dari Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani,
Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang,
1979).

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


Keempat, Makhluk Tiga Dimensi. Manusia terdiri dari tiga unsur
pokok: badan, akal dan roh; yang saling melengkapi. Komposisi
kepribadian manusia saling kait-mengait, melalui jalinan ‘aqliyyah
(akal), qalbiyah (hati), dan nuzu’iyyah (emosi).
Kelima, Makhluk yang Tumbuh. Pertumbuhan manusia merupakan
pencapaian faktor warisan budaya dan lingkungan. Faktor warisan
meliputi ciri dan sifat yang diwarisi dari orangtua; sedangkan faktor
lingkungan meliputi lingkungan alam, seperti air, udara, tanah, langit;
dan lingkungan sosial, seperti masyarakat, institusi, undang-undang.
Keenam, Makhluk yang Memiliki Motivasi dan Kebutuhan. Setiap
perilaku manusia tidak lepas dari arahan motivasi. Manusia juga
memiliki kebutuhan psikologis dan sosial, seperti kedamaian, kasih
sayang, penghargaan, kebebasan, rasa kepemilikan, dan sebagainya.
Ketujuh, Makhluk yang Memiliki Identitas Berbeda-Beda. Tidak
ada manusia yang sama persis, karena manusia bisa berbeda dalam hal
tenaga, perawakan, sikap, dorongan, tujuan dan jalan hidup yang dilalui
untuk mencapai tujuan. Manusia bukanlah sekumpulan binatang yang
tunduk pada satu corak perilaku, serta terkungkung dalam satu bentuk
acuan umum seperti halnya makhluk lain; karena setiap manusia
merupakan satu “alam” yang tersendiri.
Kedelapan, Makhluk yang Luwes dan Dinamis. Watak manusia itu
luwes, sehingga kelakuan, kebiasaan, keahlian dan pemikiran manusia
dapat diubah-ubah. Dinamika tingkah laku manusia merupakan
hasil dari proses pengajaran yang dilalui manusia; hasil interaksi
faktor internal manusia dengan faktor eksternal (lingkungan alam
dan sosial).
Simpulan penulis terkait manusia dari perspektif filsafat
pendidikan Islam adalah: Manusia merupakan makhluk yang
dimuliakan oleh Allah Swt. melalui pemberian amanat sebagai
‘Abdullah dan Khalifatullah. Agar dapat mengemban amanat tersebut
dengan sebaik-baiknya, manusia harus senantiasa berusaha
menumbuhkembangkan segenap potensinya –baik jasmani maupun
rohani– melalui pendidikan yang dinamis, sesuai dengan motivasi,
kebutuhan dan karakteristiknya.

Ilmu Pendidikan Islam


Dari perspektif Maqashid Syariah, Hifzh al-Din (religius) terealisasikan
pada peran manusia sebagai ‘Abdullah yang harus beribadah kepada
Allah Swt. dan Khalifatullah yang harus memakmurkan bumi, sebagai
amanat Allah Swt.
Hifzh al-Nafs (fisik-psikis) terealisasikan pada posisi manusia
sebagai al-Basyar yang mencerminkan kebutuhan fisik, terutama
sandang, pangan dan papan; serta terealisasikan pada posisi manusia
sebagai Insan yang mencerminkan kondisi psikis manusia yang
cenderung pada nilai-nilai kebaikan (fitrah), namun berpotensi
terjerumus pada keburukan. Tugas pendidikan adalah mengoptimalkan
potensi kebaikan dan meredam potensi keburukan pada diri manusia.
Hifzh al-‘Aql (intelektual) terealisasikan pada manusia sebagai
makhluk berpikir yang dapat mengembangkan akalnya melalui jalur
pendidikan, agar berhasil melaksanakan tugas sebagai ‘Abdullah dan
Khalifatullah.
Hifzh al-Nasl (sosial) terealisasikan pada posisi manusia sebagai
al-Nas yang mencerminkan watak sosial pada diri manusia. Termasuk
keinginan membina keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Hifzh al-Mal (ekonomi) terealisasikan pada kebutuhan hidup
manusia yang harus dipenuhi melalui jalur ekonomi. Misalnya, manusia
bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan papan.
Hifzh al-‘Irdh (prestasi) terealisasikan pada posisi manusia sebagai
Bani Adam yang mencerminkan kelebihan manusia dibandingkan
makhluk lainnya. Antara lain melalui tingkat kebudayaan dan
peradaban yang berhasil diraih. Dari sini muncul tingkatan manusia,
antara manusia berperadaban tinggi dengan berkebudayaan rendah.

Term ‘Alam disebutkan Al-Qur’an sebanyak 73 kali dengan redaksi


al-‘alamin (ś ِ ). Ayat yang pertama kali turun memuat term ‘Alam
َْ ǸَdzƢǠdz‫ا‬
َ
adalah Surat Al-Qalam [68]: 52, sedangkan ayat yang terakhir kali
turun memuat term ‘Alam adalah Surat Al-Ma’idah [5]: 115. Surat
Al-Qalam [68]: 52 mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an berperan sebagai

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


al-Dzikr (pengingat) bagi alam semesta (makrokosmos), khususnya bagi
umat manusia (mikrokosmos). Di samping itu, Al-Qur’an memiliki
hubungan erat dengan alam semesta. Al-Qur’an adalah ayat-ayat
Allah yang tertulis (verbal), sedangkan alam semesta adalah ayat-ayat
Allah yang terhampar (nonverbal). Jika manusia tidak mengindahkan
apalagi mengingkari kedua jenis ayat tersebut, niscaya Allah Swt. akan
menimpakan azab yang tidak disangka-sangka, sebagaimana yang
diindikasikan Surat Al-Ma’idah [5]: 115.
Sejalan dengan itu, al-Nahlawi menilai bahwa penalaran islami
terhadap alam semesta bukan sekadar penalaran rasional, melainkan
penalaran yang berfungsi menggerakkan perasaan manusia terhadap
keagungan Sang Pencipta, yakni Allah Swt., betapa kecilnya manusia di
hadapan Allah Swt., serta keniscayaan manusia untuk tunduk kepada-
Nya, melalui ibadah dan ketauhidan.23
Mayoritas apa yang terdapat di alam semesta ini, telah
ditundukkan (taskhir) Allah Swt. bagi kepentingan manusia, mulai
dari benda besar seperti matahari hingga benda kecil seperti lebah dan
biji. Manusia juga diberi kekuasaan untuk mengelola alam semesta
atas izin-Nya.24 Hanya saja Allah Swt. mengatur alam semesta dengan
hukum-hukum-Nya yang bersifat pasti dan tidak berubah. Inilah yang
disebut Hukum Alam atau Sunnatullah. Hukum alam ini dipelajari
manusia sehingga mampu memahami dan menguasainya. Dengan
menguasai hukum alam, manusia menguasai alam, bukan lagi alam
yang menguasai manusia. Contoh: manusia membuat kapal yang
terdiri dari besi dan beratnya mencapai ribuan ton, namun dapat
berlayar di atas samudra luas.25
Agar manusia tidak menyimpang dari syariat Allah Swt. ketika
mengelola alam semesta, maka Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an
yang berfungsi melembutkan hati dan mendidik jiwa manusia agar
takut kepada-Nya, merasakan rahmat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.

23
‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha:
fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 38-39.
24
Ibid., hlm. 41-44.
25
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 29.

Ilmu Pendidikan Islam


Al-Qur’an juga mendidik akal tentang dasar teoretis dan praktis, agar
manusia dapat memanfaatkan kaidah ilmiah dan potensi alam semesta
demi kemakmuran umat manusia. Selain itu, manusia dituntut tidak
melampaui batas dengan melakukan perilaku yang merusak lingkungan
alam maupun hubungan sosial.26 Dengan demikian, terciptalah relasi
yang harmonis antara manusia dengan alam semesta.
Apalagi hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan
yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam, dan alam
membutuhkan manusia. Dalam konteks ini, manusia bertugas
memelihara, merawat, melestarikan dan memanfaatkan alam untuk
kesejahteraan umat manusia.27 Misalnya, manusia mengolah alam
pertama menjadi alam kedua dalam bentuk teknologi. Kemampuan
berkarya ini diungkapkan Sir Muhammad Iqbal dalam untaian
syairnya:28

Kau yang menciptakan malam


Dan aku yang membuat pelita
Kau yang menciptakan tanah liat
Dan aku yang membuat piala.

Relasi manusia dengan alam semesta juga mengandung sekian


banyak nilai edukatif. Pertama, mendidik manusia untuk selalu tunduk
secara mutlak kepada Allah Swt., sebagaimana ketundukan seluruh
makhluk di alam semesta. Kedua, mendidik manusia agar berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui berbagai Sumber Daya
Alam (SDA) yang terhampar maupun tersimpan di alam semesta,
kemudian berusaha menguasai keterampilan untuk memanfaatkan
SDA tersebut demi kemaslahatan umat manusia. Ketiga, mendidik
manusia untuk meneliti rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah Allah
Swt. pada setiap makhluk-Nya, baik makhluk yang besar maupun
makhluk yang kecil, di seluruh alam semesta. Keempat, menghubungkan
perasaan manusia kepada Allah Swt. secara kontinu, dengan mengingat

26
‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha,
hlm. 45-46.
27
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, hlm. 30-31.
28
Ibid., hlm. 50.

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


keagungan kuasa Allah Swt. yang menundukkan langit dan bumi untuk
kepentingan manusia.29
Walhasil, salah satu tanggung jawab pendidikan Islam adalah
membina generasi umat Muslim agar memiliki kualitas SDM yang
mumpuni untuk mengemban amanat sebagai khalifah Allah Swt. yang
bertugas mengelola, memanfaatkan dan memakmurkan alam semesta
yang sudah ditundukkan (taskhir) oleh Allah Swt., demi kemaslahatan
umat manusia.
Dari perspektif Maqashid Syariah, Hifzh al-Din (religius) terealisasikan
pada posisi alam semesta sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.,
sehingga dapat dimanfaatkan manusia sebagai sarana meningkatkan
keimanan kepada Allah Swt.
Hifzh al-Nafs (fisik-psikis) terealisasikan pada ikhtiar manusia
untuk mengelola alam semesta yang membutuhkan kinerja fisik
dan psikis. Misalnya, membersihkan lingkungan dari sampah yang
dilakukan secara istikamah.
Hifzh al-‘Aql (intelektual) terealisasikan pada ikhtiar manusia untuk
meningkatkan kualitas SDM-nya, agar dapat mengelola alam semesta
dengan sebaik-baiknya. Misalnya, manusia ber-SDM rendah, akan
merusak lingkungan sekitar; manusia ber-SDM tinggi, akan merawat
lingkungan sekitar.
Hifzh al-Nasl (sosial) terealisasikan pada kerja sama antarmanusia
dalam rangka mengelola alam semesta; karena tidak mungkin manusia
berhasil mengelola alam semesta secara individual, melainkan harus
secara kolektif dan kolaboratif.
Hifzh al-‘Irdh (prestasi) terealisasikan pada tingkat keberhasilan
yang diraih manusia dalam konteks mengelola alam semesta. Misalnya,
manusia di negara maju berhasil mencapai bulan; sedangkan manusia
di negara berkembang, masih sibuk berpolemik mengenai ru’yatul hilal
(melihat bulan).

29
Sa’id Isma’il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 74-75.

Ilmu Pendidikan Islam


Hubungan antara Allah Swt., manusia, dan alam semesta dapat penulis
simpulkan dalam visualisasi berikut.

Gambar 2 Relasi Allah, Manusia, dan Alam Semesta

Nomor 1 dan 3: Allah Swt. adalah Zat Yang Menciptakan


(Khaliq) manusia dengan memberi dua tugas utama: ‘ibadah dan
‘imarah. Artinya, sebagai ‘Abdullah bertugas beribadah kepada Allah
Swt. yang dilandasi ketauhidan; dan sebagai Khalifatullah bertugas
memakmurkan alam semesta yang dilandasi ketauhidan. Untuk itu,
Allah Swt. berposisi sebagai Rabb, yaitu Zat Yang Maha Mendidik
manusia secara langsung maupun tidak langsung, sehingga manusia
berpeluang meraih kesuksesan dalam menjalankan dua tugas utama
tersebut. Kemudian manusia harus mempertanggungjawabkan amanat
yang diemban melalui tiga bentuk hubungan positif: (a) Habl min Allah
(hubungan positif antara manusia dengan Allah Swt.); (b) Habl min
al-Nas (hubungan positif antara manusia dengan sesama manusia,
termasuk diri sendiri); (c) Habl min al-‘Alam (hubungan positif antara
manusia dengan alam semesta).
Nomor 2 dan 4: Allah Swt. adalah Zat Yang Menciptakan (Khaliq)
alam semesta dengan dua fungsi utama, yaitu sebagai tanda-tanda
kekuasaan Allah (Ayat) dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


semesta, baik yang statis atau tidak bisa diubah-ubah lagi (Sunnatullah)
maupun yang dinamis atau bisa diubah-ubah lagi (Masyi’atullah).
Nomor 3 dan 6: manusia bertugas sebagai Khalifatullah yang
memakmurkan (‘Imarah) alam semesta melalui upaya pelestarian dan
pengembangan Sumber Daya Alam yang sesuai dengan Sunnatullah
maupun Syariatullah. Sementara itu, alam semesta memainkan
peran sebagai Ayat yang memantulkan tanda-tanda kekuasaan Allah
Swt., sehingga dapat ditelaah oleh manusia untuk meningkatkan
kualitas kinerjanya sebagai ‘Abdullah; serta memainkan peran sebagai
Sunnatullah yang tunduk pada hukum-hukum Allah Swt., sehingga
dapat ditundukkan (taskhir) oleh manusia, demi meningkatkan kualitas
kinerjanya sebagai Khalifatullah.

Allah Swt. merupakan Tuhan yang menciptakan dan mendidik manusia,


sehingga wajar jika manusia diperintah agar beribadah dan bertakwa
kepada-Nya.
ُ ğََ ْ ُ َْ ْ َ ğ َ ْ ُ ََ َ
ْűȲ ğ ُ ُ ğَ ُ ُْ ُ ğ َ Ġَ َ
Űšů űȲِ ŰĸȰ ŴِŲ ŴŽِȑ‫ وا‬űȲŪŰ‫ِي خ‬ȑ‫ ا‬űȲɅ‫وا ر‬ʼnĸȭ‫س ا‬ĵȍ‫ ا‬ĵŹȬɁ ĵŽ
َ ُ َ
̖ ‫ن‬źŪļğ ȩ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah [2]: 21).

Pertama, “Wahai umat manusia”. Sesuai uraian ayat-ayat sebelumnya, ada


tiga jenis manusia dalam konteks penerimaan Al-Qur’an: (1) orang
mukmin (QS Al-Baqarah [2]: 2-5); (2) orang kafir (QS Al-Baqarah [2]:
6-7); dan (3) orang munafik (QS Al-Baqarah [2]: 8-20). Semua diseru
beribadah kepada Allah Swt., kendati tidak semua mematuhinya.
Kedua, “Beribadahlah”. Arti asli ibadah adalah kepatuhan. Tidak
semua kepatuhan disebut ibadah. Agar disebut ibadah, kepatuhan
harus ditujukan pada: (1) sesuatu (Zat) yang tidak diketahui

Ilmu Pendidikan Islam


hakikatnya; (2) sesuatu (Zat) yang diyakini menguasai jiwa raga
seseorang. Oleh sebab itu, kepatuhan kepada raja yang paling berkuasa
sekalipun, tidak disebut ibadah, karena raja adalah manusia yang
diketahui hakikatnya.
Ketiga, ada tiga tanda orang yang sungguh-sungguh beribadah
kepada Allah Swt.: (1) meyakini bahwa segala sesuatu yang ada
pada dirinya, bukan miliknya, melainkan milik Allah Swt.; (b) segala
aktivitasnya selalu dalam koridor ketakwaan, yaitu melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt.; (c) tidak memastikan
melakukan sesuatu, kecuali atas izin Allah Swt. (mengucapkan
insyaallah).
Keempat, “Tuhan kalian” (Rabbakum). Kata Rabb setidaknya memuat
empat makna: (a) Tuhan yang menciptakan. Misalnya, menciptakan kita
dan orangtua kita; (b) Tuhan yang memproses. Allah Swt. menciptakan
manusia tidak langsung jadi, melainkan berproses, selaras dengan
redaksi kun fayakun yang berarti, “jadilah, lalu berproses menjadi”.
Misalnya, manusia berproses dari nuthfah (sperma), segumpal
darah, segumpal daging, janin utuh lalu terlahir sebagai manusia
(QS Al-Mu’minun [23]: 13-14); (c) Tuhan yang menghentikan dan
menghancurkan (mudammir). Misalnya, napas manusia dihentikan
(diwafatkan) pada usia tertentu, atau aneka bangunan dihancurkan
melalui gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami; (d) Tuhan
yang berkuasa dan berkehendak membuat aturan berupa Sunnatullah
dan Masyi’atullah.
Kelima, Sunnatullah adalah kehendak Allah Swt. berupa hukum
alam (nyata maupun gaib) yang bersifat permanen dan tidak bisa
diubah manusia, kecuali atas kehendak Allah Swt. sendiri. Misalnya,
manusia pasti meninggal dunia, namun manusia kekal abadi di akhirat;
matahari terbit dari timur, namun matahari akan terbit dari barat jelang
hari kiamat.
Keenam, Masyi’atullah adalah kehendak Allah Swt. berupa hukum
alam (nyata maupun gaib) yang bersifat sementara dan manusia
dapat mengubahnya melalui ikhtiar dan doa. Misalnya, Allah Swt.
berkehendak menciptakan manusia lahir dalam keadaan belum berilmu

Bab 3| Teologi Pendidikan Islam


(tidak langsung pandai), namun membekali manusia dengan aneka
instrumen ilmu (QS Al-Nahl [16]: 78) yang membuat manusia dapat
menjadi pandai.
Ketujuh, ikhtiar manusia diawali dengan mempelajari ilmu; lalu
ilmu dipraktikkan menjadi pengalaman; sehingga muncul aneka
kreativitas yang bersifat personal; yang dapat dikembangkan menjadi
produk yang berfungsi sosial; lalu produktivitas tersebut mengantarkan
pada prestasi hidup.
Kedelapan, doa manusia harus selaras dengan ikhtiar. Misalnya,
berdoa ke selatan, harus disertai melangkahkan kaki ke selatan; berdoa
ingin pandai, harus belajar sungguh-sungguh, tidak tidur di kelas.
Kesembilan, agar lebih mustajab, doa sebaiknya disertai dua
tawasul: (a) tawasul dengan amal saleh (tawassul bi al-a’mal). Misalnya,
setelah mendirikan salat fardu, dianjurkan berzikir dan berdoa; (b)
tawasul dengan orang saleh (tawassul bi al-ashkhash). Misalnya, berdoa
kepada Allah Swt. atas rekomendasi Nabi Muhammad Saw. (li jahi
Nabiyyina Muhammadin) atau waliyullah, seperti Walisongo.
Kesepuluh, “Agar kalian bertakwa”. Ayat ini mengisyaratkan manfaat
ibadah pasti kembali kepada pribadi manusia sendiri. Misalnya,
keaktifan beribadah menumbuhkan hati yang bertakwa, sehingga
berhati-hati dalam menjalani hidup, layaknya berjalan di ladang ranjau.
Sekali teledor, nyawa menjadi taruhan. Di sisi lain, takwa itu ada dua:
(a) takwa duniawi. Misalnya, mengonsumsi makanan bergizi agar tidak
terkena penyakit; (b) takwa ukhrawi. Misalnya, istikamah menjalankan
salat, agar kelak meraih surga.

Ada dua tugas utama yang dibebankan oleh Allah Swt. kepada umat
manusia: (1) sebagai ‘abdullah yang harus beribadah kepada Allah
Swt. (QS Al-Dzariyat [51]: 56); (b) sebagai khalifatullah yang harus
memakmurkan bumi (‘imarah) (QS Al-Baqarah [2]: 30) dengan kualitas
terbaik (ihsan) (QS Al-Baqarah [2]: 195).

Ilmu Pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai