Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AGAMA

“ BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN ”

Dosen Pengampu :

ST. MUTHMAINNAH, S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh:

Nama : - Nur Andhini (

- Della Afrilia (

- Siti Nurhaliza A. (

Kelas : Sastra Inggris A

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

JURUSAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS BAHASA INGGRIS

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan
karunianyalah makalah ini dapat menyelesaikan dengan tepat pada waktunya. Adapun judul dari
makalah ini adalah "Bagaimana Manusia Bertuhan".

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnyakepada


dosen pengampu mata kuliah Agama yang telah memberikan tugas terhadap kami.

Pembuatan makalah yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, keterbatasan waktu
dan kemampuan kami, makakritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga
makalah inidapat berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada
umumnya.

Makassar, 2 September 2023

Tertanda

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................2

DAFTAR ISI........................................................................................................................3

BAB I...................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...............................................................................................................4

A. Latar Belakang............................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................4

C. Tujuan..........................................................................................................................4

BAB II..................................................................................................................................5

PEMBAHASAN..................................................................................................................5

1. KONSEP SPIRITUALITAS SEBAGAI LANDASAN KEBERTUHANAN.........5

2. ALASAN MENGAPA MANUSIA MEMERLUKAN SPIRITUALITAS.............6

3. SUMBER PSIKOLOGIS, SOSIOLOGIS, FILOSOFIS, DAN TEOLOGIS

4. TENTANG KONSEP KETUHANAN....................................................................8

5. ARGUMEN TENTANG CARA MANUSIA MEYAKIN DAN MENGIMANI

TUHAN....................................................................................................................9

6. ESENSI DAN URGENSI VISI ILAHI UNTUK MEMBANGUN DUNIA YANG

DAMAI..................................................................................................................11

BAB III..............................................................................................................................13

KESIMPULAN..................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ..………………………………………….....................................14


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Spiritualitas merupakan upaya manusia dalam menemukan harapan, arti, dan ketenangan
dalam hidup. Spiritualitas berkaitan dengan roh, batin, jiwa, dan keyakinan atau kepercayaan
seseorang kepada Tuhan. Spiritualitas menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia
karena mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan menemukan esensi
dalam memaknai hidup. Kebermaknaan hidup akan membuat kehidupan menjadi lebih tentram,
damai, indah, dan bahagia. Kebahagiaan tertinggi dapat diraih ketika manusia berhasil
mengendalikan hawa nafsu, pikiran dan tindakan serta senantiasa merasakan kedekatannya
dengan Tuhan.
Setiap orang mempunyai tingkat spiritualitas yang berbeda-beda. Adakalanya seseorang
mengalami peningkatan dan penurunan spiritualitas. Ketika seseorang mengalami tingkat
spiritualitas yang tinggi di dalam dirinya maka mereka akan merasakan ketenangan jiwa, yaitu
mampu menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan, terhindar dari penyakit hati atau kejiwaan,
mampu menghadapi setiap masalah, serta dapat memanfaatkan potensi yang ada dalam diri
dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, ketika tingkat spiritualitas seseorang menurun maka akan
menimbulkan kehampaan hati, yaitu ketidak ingatan akan tujuan hidup yang benar. Dan,
biasanya akan menimbulkan sifat-sifat yang negative. (Sari, Wajdi, and Narulita 2018).
Melemahhnya spiritualitas disebabkan karena hilangnya hubungan baik antara diri
seseorang dengan Tuhannya yang akan menimbulkan dampak negative terhadap hubungan baik
kepada sesama manusia dan bahkan kepada dirinya sendiri. Melemahnya spiritualitas umat Islam
dapat dilihat dari semakin krisisnya pengetahuan tentang Tuhan. Keadaan seperti banyak terjadi
pada manusia yang hidup di zaman globalisasi dan modernisasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep spiritualitas?
2. Mengapa manusia memerlukan Tuhan?
3. Bagaimana konsep ketuhanan dan sumbernya?
4. Bagaimana manusia meyakini dan mengimani Tuhan?
C. Tujuan
1. Mengetahui konsep spiritualitas
2. Mengetahui mengapa manusia memerlukan Tuhan
3. Mengetahui konsep ketuhanan dan sumbernya
4. Mengetahui cara manusia meyakini dan mengimani Tuhan
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP SPIRITUAL SEBAGAI LANDASAN BERTUHAN


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Spiritual berhubungna dengan atau bersifat
kejiwaan (rohani, batin) spiritualisasi pembentukan jiwa; penjiwaan spiritualisme 1 aliran
filsafat yang mengutamakan kerohanian: ia menumpahkan perhatian pada ilmu-ilmu gaib,
seperti mistik dan kepercayaan untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal; spiritisme
Menurut Zohar, spirtitualitas adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia,
yang sumber terdalamnya adalah inti alam semestta sendiri. Menurt Ahmad Suendy,
spiritualitas adalah dorongan bagi seluruh tindakan manusia, maka spiritualitas baru bisa
dikatakan dorongan bagi respons terhadap problem-problem masyarakat konkret dan
kontemporer. Adapun Ginanjar (2004:107-109) berpendapat spiritualitas merupakan energi
dalam diri yang menimbulkan rasa kedamaian dan kebahagiaan tidak terperi yang senantiasa
dirindukan.
Dalam perspektif Islam, ‘spirit’ sering diartikan sebagai jiwa halus yang ditiupkan oleh
Tuhan ke dalam diri manusia. Al-Qusyairi dalam tafsirnya Lathaa’if al-Isyaarat menunjukkan
bahwa roh memang lathifah (jiwa halus) yang ditempatkan oleh Tuhan dalam diri manusia
sebagai potensi untuk membentuk karakter yang terpuji. Roh merupakan fitrah manusia, yang
dengan roh manusia mampu berhubungan dengan Tuhan seagai kebenaran sejati (al-haqiqah).
Karena adanya roh, manusia mempunya bakat untuk bertuhan, artinya roh-lah yang membuat
manusia mampu mengenal Tuhan sebagai potensi bawaan sejak lahir. Dengan adanya roh,
manusia mampu merasakan dan meyakini keberadaan Tuhan dan kehadiran-Nya dalam setiap
fenomena di alam semesta ini. Atas dasr itulah, sebenarnya manusia memiliki fitrah sebagai
manusia yang bertuhan.
Meskipun pada hakikatnya spiritualitas adalah fitrah yang diberikan Tuhan kepada setiap
manusia, namun tidak semua manusia memiliki kecerdasan spiritual. Tidak jarang, di antara
kita bahkan ada yang mengidap penyakit spiritual. Penyakit spiritual adalah kondisi diri yang
terfragmentasi ( a condition of being fragmented), terutama dari pusat diri. Sebaliknya,
“kesehatan spiritual” (spiritual helath) adalah kondisi keutuhan yang terpusat (a conditional of
centred wholeness). Jika seseorang ingin mengalami kesehatan secara spiritual, sudah
sewajarnya ia menjalani kehidupan ini dengan mengambil lokus dalam pusat diri, pusat
spiritual, dan pusat hakiki sense of security yang sebenarnya ada dan bersemayan dalam
diriya.
Lokus kesadaran manusia terletak di hati. Ia adalah hakikat terdalam kemanusiaan.
Sebagai hakikat manusia yang terdalam, hati selalu berada di sisi Tuhan. Demikian juga
sebaliknya, Tuhan berada di dalam hati orang-orang suci. Apabila kita ingin mudah
merasakan kehadiran Tuhan, maka kita hendaknya berawal dari penyucian hati. Melalui
penyucian hati, potensi roh akan semakin menguat dan mengalahkan semua dorongan
intingtif materialistis yang berlebihan (dalam istilah agama disebut dengan hawaa an-nafs).
Ketika hati telah suci, maka jiwa manusia akan menerima pancaran rahmat Tuhan sehimgga
darinya terpancar energy positif yang kemudian mempengaruhi penilaian dan sikapnya.
Perhatikan ayat berikut ini.

B. ALASAN MENGAPA MANUSIA MEMERLUKAN SPIRITUALITAS


Pengalaman bertuhan (spiritual) adalah pengalaman yang unik dan autentik Setaip orang
memiiki pengalaman yang khas dalam hal merasakan kehadiran Tuhan. Pengalaman bertihan
dapat menjadi bagian yang sangat erat dan mempengaruhi kepribadian seseorang. Meskipun
demikian, dalam kehidupan modern saat ini, orientasi kehidupan yang lebih menekankan
aspek fisik-material telah menjadikan aspek keberagaman dan spiritualitas terpojok ke
wilayah pinggiran. Modernisasi di segala bidang sebagai akibat dari kemajuan ilmu teknologi
melahirkan sikap hidup yang materialitas, hedonis, konsumtif, mekanis, dan individualistis.
Akibatnya modern banyak kehilangan kehangatan spiritual, ketenangan, dan kedamaian.
Maslow sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa ketenangan
dan kedamaian merupakan kebutuhan masyarakat yang palling penting. Akan tetapi,
disinyalir bahwa manusia pada zaman ini cenderung tidak mengetahui lagi cara mengenali diri
sendiri dan menjalani kehidupan di dunia secara benar dan bermakna. Kegagalan memaknai
hidup secara benar mengakibatkan manusia modern jauh dari rasa aman, damai, dan tentram.
Menurut Carl Gustav Jung, manusia modern mengalami keterasingan diri dari sendiri dan
ligkungan sosial, bahkan jauh dari Tuhan.
Modernisasi dan globalisasi membuat ruang spiritual dalam diri kita mengalami krisis
yang luar biasa hebat. Kita tidak lagi sempat untuk mengisi ruang spiritual itu dengan “hal-
hal yang baik” dalam hidup kita. Justru sebaliknya, kita lebih terbiasa mengisinya dengan
“hal-hal buruk”, yang menjadikan ekespresi kehidupan kita tampak ekstrem dan beringas. Hal
itu, dengan sendirinya menjadikan hidup kita terpental jauh ke pinggiran eksistensi diri, yang
dalam bahasa teologi keagamaan dinisbatakan dengan “terpentalnya diri kita dari Tuhan
sebagai asal dan orientasi akhir kehidupan kita”.
Peradaban modern yang dibangun oleh premis positivism-empirisme membawa
konsekuensi pada penolakan realitas yang berada di luar jangkauan indra dan rasio. Realitas
simbolik dan metafisik seperti Tuhan dianggap sebagai realitas semu sebagai hasil dari
evolusi realitas materi. Dengan kata lain, epistemology modernitas telah menggeser bahkan
mencabut realitas ilahi sebagai fokus bagi kesatuan dan arti kehidupan. Ketercabutan realitas
ilahi tersebut ditandai dengan peminggiran aspek rohani yang pada muaranya menghiangkan
dimensi paling asasi dari eksistensi dirinya, yaitu spiritualitas.
Hilangnya realitas ilahi ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya
kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme
tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu
kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Akibat dari itu, maka tidak
heran kalau akhir-akhir ini banyak dijumpai orang yang stress dan gelisah, karena tidak
mempunyai pegangan hidup. Dari mana, akan kemana dan untuk apa hidup ini?
Sayyed Hossein Nasr melihat fenomena hilangnya spiritualitas sebagai ketercabutan
manusia dari akar tradisi (sesuatu yang sakral/ Tuhan) sehingga manusia hidup di luar
eksistensinya, maka ia akan mengalami kehilangan makna hidup dan disorientasi tujuan
hidup. Disorientasi tujuan hidup sering kali membuat manusia modern terjebak pada budaya
instan dan jalan pintas untuk mengejar kesenangan materi dan fisik. Wajar jika kemudian
muncul sikap hidup yang materialistis, hedonis, konsumtif, mekanis, dan individualitas.
Persaingan untuk meraup kesengangan-kesenangan di atas, pada akhirnya menimbulkan
benih-benih konflik yang menimbulkan hilangnya rasa aman dan damai.
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk yang termulia karena dibekali dengan
akal budi. Namun, Al-Qur’an juga memperingatkan umat , manusia, bahwa mereka akan
mengalami kejatuhan manakala perilakunya lebih didominasi oleh hawa nafsu. Kejatuhan
manusia tersebut dapat dilihat manifestasinya pada tatanan pribadi dan sosial. Dalam ranah
pribadi belbagai bentuk penyelewengan moral dan etika menjadi indicator konkret jatuhnya
martabat manusia. Dalam tatanan sosial hawa nafsu menggerogoti empati manusia sehingga
alih-alih untuk membangun relasi yang harmonis antar sesama umat manusia justru lebih
mengedepankan egosentrismenya masing-masing.
Agar manusia kembali memiliki etika moral dan sentuhan manusiawi dalam
kehidupannya, maka penguatan spiritualitas perlu dilakukan. Penguatan spiritualitas ini secara
filosofis dikatakan sebagai penguatan visi ilahi, potensi bertuhan, dan keburtuhanan. Untuk
mencapai visi ilahi yang kokoh, diperlukam proses pengaktualisasian akhlak Tuhan yanga ada
dalam diri setiap manusia. Untuk itu, diperlukan pelatihan jiwa secara sistematis, dramatis,
dan berkesinambungan dengan memadukan antara olah piker (tafakkur wa ta’ammuf), olah
rasa (tadzawwuq), olah jiwa (riyaadhah), dan olahraga (rihlah wa jihaad).

C. SUMBER PSIKOLOGIS, SOSIOLOGIS, FILOSOFIS, DAN TEOLOGIS


TENTANG KONSEP KETUHANAN
Pembahasan tentang spiriualitas tidak pernah bisa dilepaskan dari pembahasan tentang
Tuhan. Hal itu mengingat spirit, yang dalam bahasa Al-Qur’an sering disebut dengan roh,
merupakan anugerah Tuhan yang dilekatkan dalam diri manusia mengenal Tuhan dan dapat
merasakan nikmatnya patuh pada sesuatu yang dianggap suci dan luhur.
Pembahasan tentang spiritualitas tidak pernah bisa dilepaskan dari pembahasan tentang
Tuhan. Hal itu mengingat spirit, yang dalam bahasa Al-Quran sering disebut dengan roh,
merupakan anugerah Tuhan yang dilekatkan dalam diri manusia. Adanya roh atau spirit
membuat manusia mengenal Tuhan dan dapat merasakan nikmatnya patuh pada sesuatu yang
dianggap suci dan luhur.
Tuhan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata lord dalam bahasa
Inggris, segnor dalam bahasa Latin, senhor dalam bahasa Portugis, dan maulaya / sayyidi
dalam bahasa Arab. Semua kosakata di atas menyaran pada makna “tuan”. Kata ‟Tuhan‟
disinyalir berasal dari kata tuan yang mengalami gejala bahasa paramasuai sehingga
diberi tambahan bunyi “h”, seperti ‘empas’, menjadi ‘hempas’, ‘embus’ menjadi, ‘hembus’.
Lalu apakah sejatinya Tuhan itu? Pertanyaan “apakah Tuhan itu?” telah memusingkan
umat manusia selama berabad-abad, dan akan terus-menerus menantang pemahaman logis,
dengan konsep bahwa di atas sana ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Tuhan, raja yang
akan memberikan ganjaran kepada mereka yang berbuat baik dan akan memberikan hukuman
kepada mereka yang berbuat salah. Dalam khazanah pemikiran umat Islam, diskusi tentang
Tuhan adalah pembicaraan yang tidak pernah tuntas dan selalu menjadi polemik. Itulah
sebabnya ilmu yang membicarakan Tuhan disebut ilmu kalam dan pengkajinya disebut
dengan mutakalim, karena ilmu kalam selalu diperbincangkan dan diperdebatkan tanpa kata
tuntas.
1. Bagaimana Tuhan dirasakan kehadiranya dalam Perspektif Psikologis?
Adanya keterbukaan pada Yang Adikodrati adalah fithrah manusia sejak dia lahir ke
dunia (fithrah mukhallaqah). Manusia secara nature dapat merasakan Yang Gaib karena
di dalam dirinya ada unsur spirit. Spirit sering digambarkan dengan jiwa halus yang
ditiupkan oleh Tuhan ke dalam diri manusia. Al- Qusyairi dalam tafsirnya Lathā`if al-
Isyārat menunjukkan bahwa roh memang lathīfah (jiwa halus).yang ditempatkan Tuhan
dalam diri manusia sebagai potensi untuk membentuk karakter yang terpuji. Roh
merupakan semacam sim card ketuhanan yang dengannya manusia mampu berhubungan
dengan Tuhan sebagai kebenaran sejati (al-ḫaqīqah). Karena adanya roh, manusia
mempunyai bakat bertuhan, artinya roh-lah yang membuat manusia mengenal Tuhan
sebagai potensi bawaan lahir. Dengan adanya roh, manusia mampu merasakan dan
meyakini keberadaan Tuhan dan kehadiran-Nya dalam setiap fenomena di alam semesta
ini.
Keterbukaan pada Yang Gaib semakin menguat dengan adanya pengalaman
ketidakberdayaan dan pengalaman mistik. Pengalaman ketidakberdayaan adalah
pengalaman hidup yang membuat seseorang merasakan bahwa dirinya memiliki
kekurangan dalam memahami fenomena alam, sosial, budaya, dan psikis. Pendek kata,
pengalaman seperti ini menyadarkan manusia bahwa ada aspek-aspek dari realitas yang
dihadapi, yang masih menjadi misteri dan belum dipahaminya. Pengalaman seperti ini
disebut dengan pengalaman eksistensial.
Selain pengalaman nyata sehari-hari, ada pengalaman lain yang membuat manusia
terbuka kepada sesuatu yang gaib. Pengalaman ini adalah pengalaman batin, ketika
seseorang berada dalam kondisi fokus sehingga seolah-olah ia menyatu dengan peristiwa
atau fenomena yang dialaminya. Ia bukanlah pengalaman rasional melainkan pengalaman
dengan otak super- sadar (intuisi). Pengalaman seperti ini disebut dengan pengalaman
mistik.
2. Bagaimana Tuhan Disembah oleh Masayarakat dalam Perspektif Sosiologis?
Konsep tentang kebertuhanan sebagai bentuk ekspresi kolektif suatu komunitas
beragama merupakan wilayah pembahasan sosiologi agama. Sosiologi agama merupakan
cabang ilmu sosiologi yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama. Objek dari
penelitian sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-
kelompok keagamaan. Seperti, kelompok Kristen, Islam, Buddha, dan lain-lain. Sosiologi
agama memang tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-
agama itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat
yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat
dipandang sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang
muncul tersebut.
Tuhan dalam perspektif sosiologis digambarkan sebagai sumber kebenaran dan
kebajikan universal yang diyakini dan dipahami oleh umat manusia. Sedangkan,
Agama dipandang sebagai system kepercayaaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial
tertentu. Berkaitan demgan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan system
keyakinan dari ajaran Agama yang dianut.
3. Bagaimana Tuhan Dirasionalisasikan dalam Perspektif Filosofis?
Pembahasan tentang cara manusia bertuhan melalui rasio akan menjadi fokus
utama pokok bahasan ini. Banyak argumen yang diajukan oleh para filsuf Islam, sebagai
kaum pemikir / rasionalis untuk menjelaskan hakikat Tuhan dan cara bertuhan yang
benar. Menurut Mulyadhi Kartanegara, paling tidak terdapat tiga argumen filsafat untuk
menjelaskan hal tersebut, yaitu: 1) dalil al-ḫudūts, 2) dalil al-īmkān, dan 3) dalil
al-‘ināyah. Argumen pertama diperkenalkan oleh al-Kindi (w. 866), yang kedua oleh Ibn
Sina (w.1037), dan yang ketiga oleh Ibn Rusyd (w.1198).
Inti dari pendapat para filsuf muslim klasik tersebut bahwa Tuhan adalah pencipta
dari segala sesuatu yang ada di alam nyata ini. Tuhan menjadi sebab pertama dari segala
akibat yang kita lihat saat ini. Tuhan merupakan wājib al-wujūd atau wujud yang niscaya,
artinya Allah adalah wujud yang ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan
sesuatu pun untuk mengaktualkannya.
Mengambil argumen ketiga tentang Tuhan adalah argumen teleologis (dalil
al-‘ināyah) sebagai acuan bagaimana Tuhan dirasionalisasikan dalam perspektif filosfis.
Argumen ini didasari oleh pengamatan atas keteraturan dan keterpaduan alam semesta.
Berdasarkan pengamatan tersebut ditarik kesimpulan bahwa alam ini pasti karya seorang
perancang hebat. Menurut Ibn Rusyd, sebagai tokoh pemikiran ini, penyelidikan
terhadap alam semesta tidak bisa berjalan sendiri tanpa mengikuti metode penyelidikan
yang digariskan Al-Quran. Berdasarkan pengamatan terhadap alam, Ibn Rusyd mencoba
membuktikan Tuhan dengan dua penjelasan. Pertama, bahwa fasilitas, yang dibuat untuk
kenyamanan dan kebahagiaan manusia, dibuat untuk kepentingan manusia dan menjadi
bukti akan adanya rahmat Tuhan. Kedua, keserasian alam seharusnya ditimbulkan oleh
sebuah agen yang sengaja melakukannya dengan tujuan tertentu dan bukan karena
kebetulan.
Ibn Rusyd memperkuat tesisnya di atas dengan mengutip beberapa ayat Al-
Quran. Menurutnya, ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang keberadaan Allah ada
tiga macam: 1) ayat yang mengandung bukti dan rahmat Tuhan, 2) ayat yang
mengandung bukti penciptaan yang menakjubkan, dan 3) ayat yang mengandung
keduanya.
4. Konsep tentang Tuhan dalam Perspektif Teologis
Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan
harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena
dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang
Tuhan, baik-buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri.
Tuhan memperkenalkan diri- Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada
manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum,
seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk,
maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci,
penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam
dogma Kristen.
Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat
beragama. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan;
manusia mengetahui cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan.
Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan
(monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri
terlebih dulu dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan memanggil Nabi
Nuh kemudian Abraham dan keturunan- keturunannya sehingga mereka dapat
membentuk suatu bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi
petunjuk mengenai cara untuk menyembah dan beribadah kepada Tuhan. Kita dapat
melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi karena Tuhan yang
memulainya. Tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan), manusia tidak dapat beriman,
beribadah, dan beragama.

D. ARGUMEN TENTANG CARA MANUSIA MEYAKINI DAN MENGIMANI


TUHAN
Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden atau ghaib sehingga manusia hanya dapat
mempersepsikantajalliyatTuhan.TajalliyatTuhan merupakan perwujudan atau manifestasi –
manifestasi Tuhan di alam semesta yang menjadi batasanagar manusia dapat menangkap
sinyal ketuhanan itu sendiri. Adanya persepsi dantajalliyatmenghasilkan suatu keyakinan
tentang Tuhan. Jadi dapat dikatakan bahwa keyakinan merupakan pembatasan wujud mutlak
Tuhan yang gaib yang dilakukan oleh manusia melalui kreasi akalnya menjadi sebuah ide
ataupun konsep tentang Tuhan.TajalliTuhan yang Esa akan ditangkap oleh segala sesuatu
yang berbeda – beda tergantung dari tingkat kesiapan dan pengetahuan dari setiap individu
penerimanya. Ada perbedaan ini kemudian akhirnya dapat berpengaruh juga terhadap tingkat
keyakinan dan keimanan dari setiap hamba-Nya.
Keimanan memiliki dua aspek yakni keyakinan dan indikator praktis. Keyakinan
dimaknai sebagai suatu pembenaran terhadap suatu konsep (ketuhan) sehingga menjadi
aturan yang menumbuhkan hokum sebab akibat dan komitmen dalam diri. Sedangkan
indikator praktis merupakan suatu tanda – tanda keimanan yang dibuktikan dengan perilaku
yang dilakukan oleh hamba-Nya. Dengan kata lain indikator merupakan bentuk penilaian
apakah ia termasuk orang yang baik ( beriman ) atau tidak. Nabi mengisyaratkan bahwa
indikator keimanan minimal ada 73, yang paling sederhana yaitu menyingkirkan duri di jalan
hingga sampai pada indikator abstrak seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada
hal lainnya. Namun perlu diketahui juga bahwa tingkat keimanan seseorang tidak dapat
ditafsirkan langsung dari keyakinannya, karena keyakinan tidak bisa dilihat. Yang bisa di
jadikan tolok ukur dalam menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah amalnya,
sebagai indikator praktis yang bias diukur. Oleh karena itu sangat dilarang apabila kita
menuduh kekafiran orang lain jika hanya dilandasi oleh asumsi dan persepsi sepihak.
Iman menjadi salah satu karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Allah menciptakan
kita dengan disertai akal dan roh sebagai potensi untuk mengimaninya. Namun, mengingat
potensi tersebut harus ditafsirkan dengan cara tertentu sehingga menjadi sebuah keyakinan,
maka keimanan pun membutuhkan peran manusia. Proses pembelajaran, pembiasaan,
pengalaman, dan indoktrinisasi dari orang – orang disekitar juga dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi pembentukan iman setiap individu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan iman merupakan
pembentukan karakter. Artinya orang yang beriman adalah orang yang berkarakter atau
akhlak. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap
spontanitas dan disetai perasaanenjoyketika melakukannya. Oleh karena itu, orang yang
beriman kepada Tuhan adalah seseorang dengan meyakini Tuhan sebagai sumber kebenaran
dan mengimplementasikannya dalam komitmen untuk menjalankan nilai – nilai dari akhlak
yang baik

E. ESENSI DAN URGENSI VISI ILAHI UNTUK MEMBANGUN DUNIA YANG


DAMAI
Dalam perspektif Islam, manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.
Kesempurnaan manusia ditandai dengan kesiapannya untuk berbakti kepada Tuhan karena
dalam dirinya telah ditiupkan salah satu tajalli Tuhan yaitu roh. Ketika manusia masih
menjaga dan memelihara fithrah-nya itu, manusia hidup dekat dengan Tuhan. Dengan kata
lain, manusia lebih bisa mendengar dan mengikuti tuntunan hati nurani, karena nuansa
spiritualitasnya begitu maksimal. Namun,karena godaan materi, yang dalam kisah Adam
disimbolkan dengan syajarah al-khuldi (pohon keabadian),maka manusia sedikit demi sedikit
mulai kehilangan nuansa spiritual dan kehilangan superioritas roh sebagai penggerak
kehidupan manusia dalam koridor visi Ilahi.
Dalam perspektif tasawuf, kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari Tuhan
(diibaratkan dalam kisah Adam sebagai ketergelinciran manusia dari Surga yang luhur dan
suci ke dunia yang rendah dan penuh problematika). Ketika manusia makin jauh dari
Tuhan,maka ia semakin jauh dari kebenaran dan kebaikanTuhan.
Tampak dari uraian di atas bahwa manusia adalah makhluk yang menyimpan kontradiksi
di dalam dirinya. Di satu sisi, manusia adalah makhluk spiritual yang cenderung kepada
kebajikan dan kebenaran. Namun di sisi lain, keberadaan unsur materi dan ragawi dalam
dirinya memaksanya untuk tunduk pada tuntutan kesenangan jasmaniah. Seringkali terjadi
konflik internal dalam diri manusia, antara dorongan spiritual dan material sehingga dalam
khazanah Islam dikenal paling tidak ada tiga tipologi jiwa manusia, yaitu: annafs al-ammārah
bis sū`(jiwa yang selalu tergerak melakukan keburukan), annafs al-lawwāmah (jiwa yang
selalu mencela diri), dan an-nafs almuthma`innah(jiwa yang tenang).
Agar manusia dapat tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan, maka manusia
dituntut untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan. Apabila manusia telah mampu
mengasah spiritualitasnya sehingga ia dapat merasakan kehadiran Tuhan, maka ia akan dapat
melihat segala sesuatu dengan visi Tuhan (Ilahi).Visi Ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan
oleh umat manusia sehingga setiap tindak tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan
semangat kecintaan kepada Tuhan sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian
serta pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan dengan begitu akan terciptanya dunia yang
damai.
BAB III
KESIMPULAN

1. Menurut Zohar, spirtitualitas adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia,
yang sumber terdalamnya adalah inti alam semestta sendiri. Menurt Ahmad Suendy,
spiritualitas adalah dorongan bagi seluruh tindakan manusia, maka spiritualitas baru bisa
dikatakan dorongan bagi respons terhadap problem-problem masyarakat konkret dan
kontemporer. Adapun Ginanjar (2004:107-109) berpendapat spiritualitas merupakan
energi dalam diri yang menimbulkan rasa kedamaian dan kebahagiaan tidak terperi yang
senantiasa dirindukan.
2. Maslow sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa ketenangan
dan kedamaian merupakan kebutuhan masyarakat yang palling penting. Akan tetapi,
disinyalir bahwa manusia pada zaman ini cenderung tidak mengetahui lagi cara
mengenali diri sendiri dan menjalani kehidupan di dunia secara benar dan bermakna.
Kegagalan memaknai hidup secara benar mengakibatkan manusia modern jauh dari rasa
aman, damai, dan tentram. Menurut Carl Gustav Jung, manusia modern mengalami
keterasingan diri dari sendiri dan ligkungan sosial, bahkan jauh dari Tuhan.
3. Tuhan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata lord dalam bahasa
Inggris, segnor dalam bahasa Latin, senhor dalam bahasa Portugis, dan maulaya / sayyidi
dalam bahasa Arab. Semua kosakata di atas menyaran pada makna “tuan”. Kata ‟Tuhan‟
disinyalir berasal dari kata tuan yang mengalami gejala bahasa paramasuai sehingga
diberi tambahan bunyi “h”, seperti ‘empas’, menjadi ‘hempas’, ‘embus’ menjadi,
‘hembus’.
Belbagai tesis, teori, argument, baik yang bersifat psikologis, filosofis, sosiologis, dan
teologis untuk mengenali konsep ketuhnanan dan kebertuhanan.
4. Pembentukan iman merupakan pembentukan karakter. Artinya orang yang beriman
adalah orang yang berkarakter atau akhlak. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah bentuk
jiwa yang darinya muncul sikap spontanitas dan disetai perasaanenjoyketika
melakukannya. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Tuhan adalah seseorang
dengan meyakini Tuhan sebagai sumber kebenaran dan mengimplementasikannya dalam
komitmen untuk menjalankan nilai – nilai dari akhlak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai