Anda di halaman 1dari 34

ANALISIS DETERMINAN AUDITOR INTERNAL PADA EFEKTIVITAS

AUDIT INTERNAL SEKTOR PUBLIK

(STUDI PADA INSPEKTORAT PROVINSI DKI JAKARTA)

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk penyusunan skripsi pada program sarjana (S1)
Akuntansi

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro

Disusun Oleh:

CHRISTOPHER SEPTIAN NAINGGOLAN

NIM. 12030115140097

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Auditing merupakan sebuah proses sistematik untuk memperoleh dan

mengevaluasi bukti secara objektif berkaitan dengan pernyataan-pernyataan tentang

kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian

antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang sudah ditetapkan, serta

menyampaikan hasil kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi dan Puradireja,

1998). Auditing juga merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang

independen terhadap laporan keuangan yang disusun oleh manajemen dan catatan

akuntansi dan bukti pendukung dalam rangka memberikan pendapat atas kewajaran

laporan keuangan (Agoes, 2012).

Audit sendiri terdiri dari audit internal dan audit eksternal. Berdasarkan

Insititute Of Internal Auditors – IIA, audit internal merupakan kegiatan yang

independen dan objektif yang disusun untuk meningkatkan nilai dan opersional

organisasi atau perusahaan. Internal audit dapat mendukung organisasi atau

perusahaan dalam pencapaian tujuan dengan pendekatan yang terstruktur dan disiplin.

Menurut Bastian (2014) audit internal merupakan pengawasan manajerial yang

berfungsi mengukur dan mengevaluasi sistem pengendalian dengan tujuan membantu

semua anggota manajemen dalam mengelola secara keefektifan pertanggungjawaban


dengan cara menyediakan analisis, penilaian, rekomendasi, dan komentar-komentar

yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang ditelaah.

Pada awalnya, kegiatan audit internal hanya terbatas pada pengawasan

pengendalian internal dan kepatuhan keuangan dalam suatu organisasi atau

perusahaan. Seiring berjalannya waktu, fungsi seorang auditor mulai bergeser

menjadi konsultan intern yang memberi masukan atas perbaikan sistem yang telah

ada dan sudah berjalan. Fungsi konsultan intern adalah peran yang relatif baru yang

turut serta menuntut auditor internal untuk selalu meningkatkan pengetahuan tentang

profesi auditor dan aspek bisnis untuk dapat memecahkan suatu masalah yang ada.

Dalam sektor publik, fungsi audit internal dilaksanakan oleh Aparat

Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Hal ini sesuai dengan Standar Audit Intern

Pemerintah Indonesia yang diterbitkan oleh Asosiasi Auditor Intern Pemerintah

Indonesia (AAIPI) dalam KEP- 005/AAIPUDPN/2014 tentang Pemberlakuan Kode

Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia, Standar Audit Intern Pemerintah

Indonesia, dan Pedoman Telaah Sejawat Auditor Intern Pemerintah Indonesia

menyatakan bahwa Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) terdiri dari instansi

pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern di

lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, yang terdiri dari Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen,

Inspektorat Unit pengawasan intern pada Kementerian Negara, Inspektorat

Utama/lnspektorat Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Unit


pengawasan intern pada Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga

Negara, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota, dan unit pengawasan intern pada

Badan Hukum Pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Inspektorat sendiri merupakan instansi sektor publik yang secara umum

bertugas untuk mengawasi pemerintah dalam pelaksanaan program kerja, anggaran

dan sistem pemerintahan. Inspektorat Provinsi dalam hal ini ikut menjadi bagian dari

Aparat Pengawasan Internal Pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor

41 Tahun 2007, inspektorat adalah perangkat daerah dibawah gubernur yang

mempunyai mandat untuk melakukan pengawasan fungsional atas kinerja organisasi

pemerintah daerah. Dalam tugasnya Inspektorat sama halnya dengan auditor internal

dalam sebuah perusahaan. Peran dan fungsi Inspektorat provinsi/kabupaten/kota

secara umum diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun

2007. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas

pengawasan urusan pemerintahan, inspektorat provinsi/kabupaten/kota mempunyai

beberapa fungsi seperti perencanaan program pengawasan, perumusan kebijakan dan

fasilitasi pengawasan, pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas

pengawasan.

Masalah yang sering muncul berkaitan dengan tata kelola yang berada di

instansi sektor publik adalah permasalahan mengenai korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Korupsi merupakan kategori fraud yang menyalahgunakan kewenangan atau

kepercayaan dengan melakukan tindakan yang melanggar ketentuan hukum dan


regulasi untuk memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung bagi pelaku

(ACFE, 2016). Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa

terdapat 567 kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2017, dengan total kerugian

negara mencapai 6,5 triliun rupiah. Sejumlah 222 kasus diantaranya terjadi pada

lembaga pemerintah kabupaten, 106 kasus di pemerintah desa, 45 kasus di

pemerintah kota, 23 kasus di sektor BUMN, serta 19 kasus di kementrian. Jumlah ini

jauh meningkat dari tahun lalu. Pada tahun 2016, kasus korupsi yang terjadi hanya

sejumlah 482 kasus, dengan total kerugian negara sebesar 1,4 triliun rupiah. Dari data

tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi pengawasan dan pengendalian di tingkat

daerah yang masih lemah berakibat praktik tindak pidana korupsi yang tinggi.

Fungsi pengawasan dan pengendalian yang lemah merupakan akibat dari

sistem audit internal yang tidak bekerja efektif. Keberhasilan penyelenggaraan

pemerintahan untuk meminimalisir praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme akan

terwujud jika sistem pengawasannya dapat berfungsi dengan baik, efektif, dan efisien.

Dengan demikian, sistem pengawasan mempunyai peran yang strategis dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Suatu organisasi yang memiliki fungsi audit internal

yang efektif cenderung lebih baik untuk mendeteksi dan mencegah terhadap

kecurangan dibandingkan suatu organisasi yang tidak memiliki fungsi tersebut. Selain

itu dengan adanya fungsi audit internal yang efektif dapat membantu dalam

pencapaian tujuan organisasi (Badara dan Saidin, 2014). Jika fungsi audit internal
berjalan dengan baik, maka hal tersebut dapat membantu terwujudnya praktik good

governance di dalam suatu organisasi.

Efektivitas adalah ukuran keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuan

Mardiasmo (2009). Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka

organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Efektivitas dalam tata

kelola perusahaan sektor publik adalah tercapainya tujuan pemerintah yang berkaitan

dengan pengelolaan sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan

pembangunan masyarakat. Menurut United Nation Development Programme,

karakteristik good governance ditandai dengan partisipasi, kerangka hukum yang

adil, transparansi, sikap cepat tanggap dalam melayani stakeholder, sikap berorientasi

pada kepentingan masyarakat, sikap adil, efisiensi dan efektivitas, akuntabilitas serta

memiliki visi kedepan Mardiasmo (2009). Audit internal dapat memainkan peran

penting dalam proses pemerintahan dan akuntabilitas lembaga-lembaga sektor publik

melalui penilaian auditor internal pemerintah pada efektivitas pengendalian

organisasi kunci, tata kelola dan proses manajemen risiko (Asare, 2009). Oleh karena

itu, efektivitas dalam tata kelola perusahaan sektor publik juga tercermin dari

aktivitas yang dilakukan oleh auditor internal.

Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Semakin besar presentase target yang

dicapai, makin tinggi kefektivitasan (Hidayat, 1986). Dengan kata lain, jika ingin

mengukur efektivitas auditor, maka perlu diketahui sejauh mana seorang auditor
dapat mencapai target. Alzeban dan Gwilliam (2014) dalam penelitiannya

menyebutkan indikator dalam mengukur efektivitas audit internal. Efektivitas dapat

diukur dengan melihat kemampuan auditor dalam merencanakan, peningkatan

produktivitas organisasi, penilaian konsistensi hasil dengan tujuan yang ditetapkan,

pelaksanaan rekomendasi audit internal, evaluasi dan peningkatan manajemen resiko,

evaluasi sistem pengendalian internal, dan rekomendasi dalam rangka perbaikan.

Permasalahan mengenai praktik tindak pidana korupsi yang tinggi tidak

lepas dari permasalahan efektivitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) saat ini dinilai tidak mampu

menanggulangi praktik tindak pidana korupsi. Secara spesifik pada praktek audit

internal di daerah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo

dikutip oleh Bayu (2017) mengungkapkan pihaknya tak pernah mendapatkan laporan

pengawasan dari inspektorat pengawas pemerintahan, baik tingkat kabupaten/kota

hingga kementerian/lembaga. Padahal, selama ini banyak terjadi kasus korupsi yang

dilakukan oleh pejabat di lingkungan pemerintah. Sebagai pengawas, seharusnya

APIP yang terlebih dahulu mengetahui indikasi tersebut. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh APIP belum

berjalan secara efektif.

Berdasarkan Standar kinerja dari The Institute of Internal Auditors (IIA),

auditor internal harus memiliki kompetensi yang memadai baik secara individu

maupun kolektif, independen, dan patuh pada standar audit dan kode etik. Wakil
Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla dikutip oleh Ihsanuddin (2017) menyatakan

bahwa jabatan-jabatan di inspektorat atau lembaga pengawasan internal di suatu

instansi pemerintahan kerap diisi oleh pejabat yang tidak memiliki kompetensi di

bidang pengawasan, dan kadang-kadang di banyak tempat, inspektorat menjadi

tempat pembuangan. Disamping itu, faktor subjektivitas menjadi penyebab

inspektorat kerap tidak efektif menjalankan peran sebagai lembaga pengawasan

internal. Kompetensi yang memadai, ditandai dengan pengetahuan yang luas,

keterampilan yang baik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dapat

menjadi ukuran efektivitas suatu kinerja audit internal, khususnya dalam lingkungan

tata kelola sektor publik.

Standar audit internal yang diterima secara umum menyatakan bahwa

auditor internal tidak dituntut untuk memiliki keahlian dalam investigasi fraud,

namun kepala bagian audit internal tetap bertanggungjawab untuk mengembangkan

dan meningkatkan kompetensi auditor internalnya pada keahlian khusus yang

memungkinkan auditor internal melakukan investigasi fraud. Bila auditor internal

memiliki keyakinan bahwa korupsi atau fraud secara umum telah terjadi, maka dia

harus segera melaporkan temuan kecurangan tersebut kepada manajemen yang

memiliki kewenangan untuk melakukan langkah tindak lanjut yang diperlukan,

seperti melakukan investigasi fraud. Bila auditor internal memiliki kompetensi untuk

melakukan investigasi fraud, maka manajemen dapat memberikan penugasan khusus

kepada auditor internal untuk melakukan investigasi yang dimaksud.


Namun demikian, meskipun auditor internal memiliki kompetensi yang

memadai untuk melakukan investigasi fraud, pada kenyataannya terdapat masalah

independensi auditor internal. Faktor independensi auditor sangat penting sebab

korupsi secara umum mungkin melibatkan level manajemen yang lebih tinggi.

Pihak yang terlibat biasanya memiliki kemampuan untuk menekan atau

mengintimidasi auditor, dan hasil investigasi dapat berkaitan dengan masalah hukum

sehingga proses litigasi memerlukan saksi ahli yang independen dan memahami

aspek hukum secara memadai.

APIP sebagai fungsi auditor internal pemerintahan perlu menjalankan

tanggung jawab tanpa tekanan kepentingan dari pihak lain termasuk pemerintah

sendiri sebagai pelaku penentu kebijakan, menghindari konflik kepentingan, memiliki

akses yang tak terbatas terhadap catatan keuangan instansi, serta tidak melakukan

pekerjaan lain selain pekerjaan audit. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Agus Rahardjo dikutip oleh Bayu (2017) menduga tidak adanya laporan dari

inspektorat pengawas kepada KPK disebabkan oleh struktur kelembagaan yang

berada di bawah pimpinan pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga, Sehingga

inspektorat takut untuk melaporkan tindak pidana korupsi yang dilakukan atasannya.

Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia yang diterbitkan oleh Asosiasi Auditor

Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) dalam KEP- 005/AAIPUDPN/2014

menyatakan bahwa Independensi merupakan kebebasan dari kondisi yang

mengancam kemampuan aktivitas audit internal untuk melaksanakan tanggung jawab


audit intern secara objektif. Untuk mencapai tingkat independensi yang diperlukan

dalam melaksanakan tanggung jawab aktivitas audit internal secara efektif, ancaman

terhadap independensi harus dikelola pada tingkat individu auditor, penugasan audit

intern, fungsional, dan organisasi.

Masalah lain yang muncul mengenai efektivitas auditor internal adalah

kurangnya dukungan auditee terhadap proses audit internal. Badara dan Saidin (2014)

menyebutkan bahwa setiap auditor internal organisasi dalam prosesnya untuk

mencapai tujuan memerlukan dukungan dari auditee. Dukungan dari auditee dapat

menentukan kualitas dan efesiensi dari audit internal. Auditee adalah pihak

organisasi yang diaudit. Auditee dalam lingkungan pemerintahan adalah manajemen

dari sebuah organisasi yang menerima jasa audit oleh auditor pemerintah daerah.

Sesuai dengan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia yang diterbitkan oleh

Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) dalam KEP-

005/AAIPUDPN/2014, auditee yang dimaksud adalah instansi pemerintah, lembaga

dan/atau pihak lain yang di dalamnya terdapat kepentingan negara sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil dengan hak

dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Dengan

dukungan dari auditee, auditor internal dapat memperoleh sumber yang mencukupi

untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Manajemen organisasi yang

diaudit (auditee) harus mempertimbangkan input dari audit internal serta

menyediakan laporan yang relevan untuk kepentingan perencanaan audit internal.


Selain dukungan dari auditee, koordinasi dan kerjasama yang baik antara

auditor internal dan eksternal perlu untuk dilakukan. Dengan adanya koordinasi dan

kerjasama yang baik antara keduanya baik yang dilakukan dengan cara bertukar

informasi atau opini dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas dan dapat

mempercepat sekaligus membuat efektif kerja audit secara keseluruhan. Auditor

eksternal untuk sektor publik dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23E ayat (1) Undang-undang Dasar

1945 yang berisi tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pemeriksa pengelolaan

dan tanggung jawab yang bebas dan mandiri. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) periode 2009-2014, Hadi Poernomo ketika menjadi pembicara dalam Seminar

bertema “Peran Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” pada 19 Desember 2012 di

Kantor Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta menyatakan bahwa Sinergi antara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)

sangat diperlukan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dengan sinergi tersebut, diharapkan masing–masing lembaga melakukan pengecekan

dan pengujian sejak dini untuk mengetahui apabila terjadi penyimpangan dalam

penyelenggaraan dan pengeloaan tanggung jawab keuangan negara.

1.2 Rumusan Masalah

Efektivitas audit internal menjadi tantangan yang harus dihadapi baik oleh

instansi pemerintah maupun swasta. Efektivitas adalah ukuran keberhasilan suatu


organisasi mencapai tujuan Mardiasmo (2009). Salah satu tujuan dari fungsi audit

internal adalah mencegah dan mendeteksi fraud. Moeller (2009) mengemukakan

bahwa auditor internal sering berada dalam posisi yang lebih baik daripada auditor

eksternal untuk mencegah dan mendeteksi fraud dengan pertimbangan:

1. Auditor internal melakukan audit secara terus-menerus sehingga pencegahan dan

pendeteksian fraud lebih mudah dilakukan.

2. Auditor internal dipandang lebih mengenal dan menguasai aktivitas dan

sistem organisasi, sehingga melalui observasi dapat berada dalam posisi yang

lebih baik untuk mendeteksi red flags dari suatu fraud.

3. Auditor internal dapat melakukan review secara lebih terinci dan berulang

terhadap transaksi dan dokumen terkait selama fase audit berjalan, sehingga

potensi fraud lebih dapat dideteksi.

Ketika suatu aktivitas audit internal yang didalamnya terdapat unsur sistem

pengawasan pengendalian internal berjalan dengan efektif, maka resiko, celah atau

upaya untuk melakukan tindakan korupsi serta hal yang dapat merugikan instansi

tersebut semakin dapat diminimalisir. Untuk dapat menjalankan aktivitas audit

internal secara efektif, maka perlu dilakukan proses audit oleh seorang auditor

internal. Dalam konteks sektor publik, pejabat yang bertugas untuk menjalankan

proses audit internal adalah Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP).

Efektivitas dalam tata kelola perusahaan sektor publik tercermin dari aktivitas yang

dilakukan oleh auditor internal. Kompetensi auditor, independensi yang dimiliki

auditor, dukungan dari auditee serta faktor hubungan dengan eksternal auditor adalah
beberapa faktor yang dapat menentukan berjalannya proses audit internal secara

efektif.

Kompetensi menurut Wibowo (2007) adalah kemampuan untuk

melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi oleh

keterampilan dan pengetahuan kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut.

Kompetensi auditor artinya auditor harus mempunyai kemampuan, ahli dan

berpengalaman dalam memahami kriteria dan dalam menentukan jumlah bahan bukti

yang dibutuhkan untuk dapat mendukung kesimpulan yang akan diambil (Suhayati &

Rahayu, 2010). Untuk melaksanakan audit di sektor pemerintahan, auditor tidak

hanya membutuhkan keahlian dan pengalaman, melainkan harus memahami seluruh

aspek yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti struktur organisasi, fungsi

program, dan kegiatan pemerintah sehingga akan lebih memudahkan auditor dalam

melaksanakan pekerjaannya (Efendy, 2010). Seorang auditor yang memiliki

kompetensi yang baik akan memudahkan fungsi audit dalam mencapai tujuannya.

Laporan keuangan hasil audit auditor internal yang dikerjakan oleh sumber daya yang

berkompeten akan memudahkan auditor eksternal dalam membuat opini yang lebih

konkrit.

Independensi menurut Sawyer (2009) merupakan suatu sikap yang harus

bebas dari hambatan, memberikan opini yang objektif, tidak bias, tidak dibatasi, dan

melaporkan masalah yang sebenarnya, bukan berdasarkan keinginan eksekutif atau

lemabaga. Dalam fungsi audit internal pemerintah, independensi merupakan

kebebasan dari kondisi yang mengancam kemampuan aktivitas audit internal untuk
melaksanakan tanggung jawab audit internal secara objektif. Independensi merupakan

faktor yang mempengaruhi efektivitas fungsi audit. Cohen dan Sayag (2010) dalam

penelitiannya meyatakan bahwa independensi auditor berhubungan positif pada

efektivitas fungsi auditor internal. Auditor internal dengan independensi yang baik

menjalankan tanggungjawab tanpa campur tangan pihak manapun termasuk

pemerintah sebagai pelaku penentu kebijakan, menghindari konflik kepentingan, serta

tidak melakukan pekerjaan lain selain pekerjaan audit.

Dukungan dari auditee merupakan salah satu faktor fungsi audit internal

berjalan dengan efektif. Auditee adalah organisasi yang sedang diaudit. Dukungan

auditee terhadap kegiatan audit internal diwujudkan dengan memberikan kebebasan

terhadap auditor internal untuk memperoleh sumber yang mencukupi untuk

melaksanakan tanggung jawab audit internal.

Selain dari dukungan auditee, hubungan yang baik antara auditor internal

dan eksternal merupakan faktor fungsi audit internal berjalan dengan efektif. Auditor

eksternal untuk sektor publik dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Koordinasi yang baik akan memudahkan fungsi audit internal dalam pertukaran

informasi, perencanaan audit, membuat laporan audit yang berkualitas, serta

menghindari duplikasi kerja diantara mereka sehingga fungsi audit internal akan

semakin efektif.

Penelitian ini bermaksud untuk menguji apakah auditor internal pada

Pemerintah Daerah di DKI Jakarta sudah berlangsung dengan efektif dalam


pelaksanaan tugas APIP. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Apakah semakin baik kompetensi auditor internal berpengaruh positif kepada

efektivitas auditor ?

2. Apakah semakin baik hubungan antara auditor internal dan eksternal akan

berpengaruh positif kepada efektivitas auditor?

3. Apakah semakin baik dukungan dari auditee akan berpengaruh positif kepada

efektivitas auditor ?

4. Apakah independensi auditor internal yang lebih besar akan berpengaruh positif

kepada efektivitas auditor ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis

secara empiris pengaruh kompetensi auditor internal, hubungan dengan auditor

eksternal, dukungan auditee dan independensi terhadap efektivitas auditor internal.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan

bahan acuan penelitian selanjutnya. Khususnya tentang efektivitas auditor di

Pemerintah Daerah.
b. Bagi penulis, penelitian ini dapat memberikan wawasan, ilmu, dan pengetahuan

dalam sistem pengendalian internal pemerintah daerah, khususnya tentang

auditor internal di Pemerintah Daerah.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah pusat dan daerah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

kontribusi untuk menjadi suatu bahan referensi dalam meningkatkan kualitas dan

mutu audit internal di pemerintahan dan membantu pemerintah dalam

melaksanakan pemerintahan dengan prinsip good governance.

b. Bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal pemerintahan,

penelitian ini dapat membantu memberikan informasi tentang pentingnya

hubungan auditor internal dan eksternal dalam mencapai audit internal yang

efektif.

c. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai

pembuktian empiris mengenai tingkat efektivitas audit di Pemerintah Daerah di

DKI Jakarta

1.4 Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, dan sistematika penelitian.


BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang landasan teori yang digunakan dan

berhubungan dengan penelitian ini, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran

teoritis.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini memaparkan tentang variabel penelitian, definisi operasional

variabel, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan

metode analisis.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang deskripsi objek penelitian, analisis data, dan

interpretasi hasil.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir sekaligus menjadi penutup dalam penelitian

ini. Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil dan pembahasan penilitian,

keterbatasan penelitian, dan saran – saran terhadap pengembangan teori maupun

aplikasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu

2.1.1 Teori Agensi

Teori agensi pertama kali dideskripsikan oleh Jensen dan Meckling (1976).

Mereka mendefinisikan teori keagenan sebagai hubungan keagenan yang terikat

dengan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain

(agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang

kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal.

Teori agensi pada dasarnya merupakan teori antara pihak pemberi wewenang

dan pihak yang menerima wewenang. Teori agensi menjelaskan mengenai hubungan

antara prinsipal dengan agen, dimana prinsipal memberikan kepercayaan terhadap

agen untuk melakukan suatu pekerjaan, serta memberikan wewenang bagi agen untuk

menentukan keputusan yang paling baik. Prinsipal biasanya merupakan pemilik

perusahaan maupun pemegang saham perusahaan, atau biasa disebut dengan

shareholders. Sedangkan agen adalah manajer perusahaan. Meskipun terikat pada

suatu kontrak, menurut teori agensi, sebenarnya hubungan antara kedua belah pihak

sulit terwujud. Hal tersebut dikarenakan masing-masing pihak memiliki kepentingan

yang sering kali tak sejalan.


Peran agen yang dijalani oleh manajer ialah pihak yang dikontrak

shareholders untuk mengelola perusahaannya. Oleh karena itu, manajer wajib untuk

mempertanggungjawabkan semua yang berkaitan dengan pekerjaannya kepada

shareholders berupa informasi. Sedangkan shareholders menggunakan hasil

pertanggungjawaban manajer untuk mengevaluasi kinerja perusahaan serta untuk

menentukan langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh perusahaan.

Hubungan antara prinsipal dan agen seringkali tidak berjalan dengan baik.

Pada umumnya, hal tersebut dikarenakan adanya asymmetric Information diantara

keduanya. Asymmetric Information adalah suatu keadaan dimana manajemen sebagai

pihak yang lebih menguasai informasi tidak menyampaikan informasi yang sesuai

dengan kondisi perusahaan kepada pemilik (prinsipal) (Ujiyantho dan Pramuka,

2007). Agen sebagai seorang pengendali perusahaan memiliki seluruh informasi

dalam perusahaan. Hal ini tentu berbeda dengan prinsipal dimana sebagai pemilik

perusahaan, prinsipal sangat jarang berada di perusahaannya sehingga akses untuk

memperoleh informasi sangat minim. Hal ini akan memicu agen untuk melakukan

disfunctional behavior, yaitu tindakan agen yang memanfaatkan aset perusahaan

untuk kepentingan pribadinya. Contoh eksplisit asymmetric information adalah ketika

seorang agen memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal, maka agen akan

memiliki hasrat untuk melakukan manipulasi laporan keuangan untuk

kepentingannya sendiri.
Asymmetric information juga dapat terjadi ketika pemilik perusahaan tidak

dapat mengamati tindakan manajer secara keseluruhan. Tindakan tersebut mungkin

dapat berbeda dari apa yang diharapkan pemilk karena manajen memiliki preferensi

yang berbeda. Hal inilah kemudian yang memunculkan moral hazard. Scott (2000)

mendefinisikan moral hazard sebagai tindakan manajer diluar pengetahuan

pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma

mungkin tidak layak dilakukan akibat ketidaktahuan pemegang saham maupun

kreditur atas kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer. Salah satu solusi yang

mungkin tepat untuk dilakukan adalah dengan memperkerjakan seorang auditor untuk

memeriksa hasil kinerja manajemen.

Selain masalah yang yang berkaitan dengan moral hazard, masalah

mengenai adverse selection juga sering muncul. Scott (2000) menjelaskan definisi

mengenai adverse selection. Menurutnya, para manajer biasanya mengetahui lebih

banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan pemegang saham dan

informasi yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh

pemegang saham tidak disampaikan kepada pemegang saham. Adverse selection

terjadi ketika proses seleksi yang dilakukan mendapat hasil yang tidak sesuai

sehingga cenderung merugikan.

Di dalam penelitian ini terjadi hubungan agensi antara auditor internal

pemerintah, yaitu Inspektorat Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bertindak sebagai prinsipal, yaitu sebagai
pihak yang memberi wewenang kepada agen. Sedangkan Inspektorat Provinsi DKI

Jakarta bertindak sebagai agen yang diberikan wewenang untuk memberikan jasa

audit bagi instansi pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Hubungan agensi antara Inspektorat Provinsi DKI Jakarta dengan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seringkali menimbulkan konflik kepentingan dan

juga pelanggaran kontrak agensi antara agen dan prinsipal. Inspektorat provinsi

sebagai agen bekerja dibawah pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan

fungsi audit internal kepada prinsipal. Koordinator Indonesia Corruption Watch

(ICW) Adnan Topan Husodo dalam Polycarpus (2018) mengatakan bahwa kinerja

inspektorat Provinsi DKI Jakarta yang kurang efektif dalam hal pemberantasan

korupsi saat ini dapat terjadi karena inspektorat justru menjadi bagian dari korupsi

tersebut atau melindungi instansi dan pimpinannya yang melakukan korupsi. Hal

tersebut sangat berkaitan dengan independensi yang dimiliki oleh Aparat Pengawas

Internal Pemerintah (APIP) yang bekerja di inspektorat Provinsi DKI Jakarta.

Sebagai pihak yang menjalankan fungsi audit internal, independensi merupakan suatu

hal yang harus dimiliki APIP. APIP harus bekerja sesuai dengan tujuannya yaitu

mengawasi kinerja instansi pemerintah secara objektif walaupun mendapatkan

tekanan dari prinsipal untuk melanggar hubungan agensi.

Untuk meminimalisir pelanggaran kontrak agensi antara agen dan prinsipal,

seorang agen yang diberi wewenang dari prinsipal untuk menjalankan suatu

pekerjaan membutuhkan kompetensi dan kapabilitas yang baik untuk melakukan


pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Kompetensi juga perlu dimiliki oleh APIP dalam

hubungan agensi inspektorat dan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. APIP berfungsi

menjalankan peran audit internal dalam instansi pemerintahan. Salah satu tujuan dari

audit internal adalah meminimalisir terjadinya praktik fraud dalam lingkungan

pemerintah. Apabila APIP tidak tidak berkompeten dalam melakukan fungsi audit,

maka pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai prinsipal tidak mendapat manfaat dari

hubungan agensi tersebut dan akan memiliki celah untuk melakukan tindakan fraud.

Hubungan agensi antara agen dan prinsipal perlu dipahami dengan baik oleh

kedua pihak. Dalam kasus ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu megetahui

kepentingan lembaga inspektorat serta sebaliknya. Inspektorat memiliki kepentingan

untuk melakukan pengawasan internal terhadap pemerintah dan Pemerintah memiliki

kepentingan untuk menjaga kredibilitas sebagai instansi yang dimiliki oleh publik.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan auditee bagi inspektorat. Untuk dapat

menjalankan fungsinya dengan baik, inspektorat memerlukan dukungan dari

pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan proses audit internal. Dukungan

yang dapat diberikan adalah kemudahan akses dan transparansi bagi inspektorat

untuk mendapatkan sumber audit. Dengan adanya dukungan tersebut, fungsi ausit

internal akan berjalan dengan efektif dan tepat sasaran. Keterbukaan pemerintah

dalam menanggapi rekomendasi pengawasan internal oleh inspektorat juga menjadi

bentuk dukungan pemerintah terhadap fungsi audit internal. Hal tersebut tidak
terlepas dari kepentingan pemerintah yang berupaya untuk memperbaiki sistem

pengendalian internal.

Selain dukungan auditee, hubungan yang baik dengan auditor eksternal

pemerintah akan meningkatkan efektivitas fungsi audit internal (Alzeban dan

Gwilliam, 2014). Auditor eksternal bagi pemerintah adalah Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK). UU No. 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa BPK harus berposisi

sebagai lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri dan dalam rangka upaya

menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam kaitannya dengan teori agensi, BPK merupakan agen dari Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR). Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan pertimbangan dari Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) (UU No. 15 Tahun 2006 pasal 5). BPK bersama dengan

inspektorat Provinsi DKI Jakarta menjalankan fungsi audit bagi instansi

pemerintahan. Akan tetapi, kedua lembaga tersebut memiliki prinsipal yang berbeda.

Hal tersebut dapat memicu konflik kepentingan ketika kedua lembaga tersebut sedang

menjalankan fungsi audit bagi pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Konflik yang terjadi

dapat mengganggu proses audit internal sehingga efektivitas audit internal menurun.

2.1.2 Auditor Internal

Menurut Sukirno (2000) audit internal adalah suatu penilaian yang dilakukan

oleh pegawai perusahaan yang terlatih, mengenai ketelitian, dapat dipercayai,

efisiensi, dan kegunaan dari catatan (akuntansi) perusahaan dan pengendalian intern

yang terdapat dalam perusahaan. Arens, et al. (2008) meyatakan bahwa audit internal
memiliki 5 kategori, yaitu lingkungan kendali, penilaian resiko, aktivitas

pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pengawasan. Lima kategori ini

merupakan komponen pengendalian yang dirncang dan diimplementasikan oleh

manajemen untuk memberikan jaminan bahwa sasaran hasil pengendalian

manajemen akan terpenuhi.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat diketahui bahwa audit internal

merupakan fungsi penilaian independen yang memberikan jasanya bagi organisasi

dengan cara mengevaluasi kegiatan organisasi tersebut. Peran auditor internal

menurut Tunggal (2008) adalah sebagai Compliance Auditor. Dalam hal ini auditor

internal bertanggung jawab kepada direktur utama dan mempunyai akses kepada

komite, memonitor pelaksanaan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur

organisasi, mengevaluasi sistem pengendalian internal, memelihara dan

mengamankan aktiva perusahaan dengan meminimalisir resiko yang terjadi, serta

menelaah kinerja korporat melalui mekanisme audit keuangan dan audit operasional.

Selain itu, audit internal juga berperan sebagai Internal Business Consultant dalam

hal ini audit internal membantu komite audit dalam menilai resiko dengan memberi

nasihat pada pihak manajemen, melaksanakan fungsi konsultan dan memastikan

pelaksanaan corporate governance.

2.1.3 Efektivitas Auditor Internal

Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target
yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya Hidayat (1986). Pengukuran efektivitas

merupakan aspek kunci dalam memahami kualitas auditor internal. Efektifitas

merupakan suatu ukuran untuk menentukan apakan tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya oleh organisasi dapat dicapai.

Dari pengertian tersebut, efektivitas sangat berkaitan dengan target. Suatu

organisasi pasti memiliki target, yang mana tercermin dari kuantitas mengenai jumlah

pencapaian, kualitas mengenai hasil terbaik selama proses berlangsung, serta waktu

yang ditempuholeh perusahaan untuk mencapai target tersebut. Sehingga semakin

besar kuantitas, semakin tinggi kualitas, dan semakin singkat waktu yang ditempuh

oleh perusahaan untuk mencapai targetnya, maka semakin efektif pula kinerja

organisasi tersebut. Dalam implementasinya, efektivitas departemen audit internal

ditandai dengan hasil laporan audit yang berkualitas dan memuaskan serta ketepatan

waktu dalam menyelesaikan laporan tersebut.

Menurut Tugiman (1997), terdapat 5 faktor yang mempengaruhi efektivitas

fungsi audit internal, yaitu akses, objektifitas, kebebasan berpendapat, ketekunan, dan

ketanggapan. Faktor pertama yaitu akses, berkaitan dengan jumlah informasi yang

mencukupi untuk membantu auditor dalam melaksanakan kegiatan audit. Apabila

auditor dapat memperoleh akses informasi dengan mudah, maka kegiatan audit akan

berjalan lancer tanpa hambatan atau kendala yang berarti. Faktor yang kedua adalah

objektifitas. Ketika seorang audior mengerjakan pekerjaan audit, ia harus bersikap

objektif dalam melakukan penilaian. Objektif artinya auditor menilai pekerjaan audit
berdasarkan kenyataan yang terjadi dan bebas dari kepentingan organisasi yang

bersangkutan. Faktor yang ketiga yaitu kebebasan berpendapat. Kebebasan

berpendapat berarti seorang auditor diharapkan mampu untuk menyatakan segala

sesuatu berdasarkan kenyataan yang ada tanpa adanya perasaan takut akan segala

konsekuensi yang mungkin akan diterima. Faktor keempat yaitu ketekunan.

Ketekunan berkaitan secara langsung dengan kualitas diri auditor. Semakin tekun

maka hasil laporan dari auditor akan semakin berkualitas. Faktor terakhit yang dapat

meningkatkan efektivitas fungsi audit adalah ketanggapan. Seorang auditor harus

memiliki sikap tanggap dalam menghadapi berbagai temuan serta tanggap dalam

pengambilan keputusan yang tepat.

2.1.4 Kompetensi Auditor Internal

Standar kinerja dari The Institute of Internal Auditors (IIA) membutuhkan

auditor untuk merencanakan dan melaksanakan pekerjaan audit sehingga mampu

menghasilkan temuan yang berguna serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan

kedepan. Untuk menghasilkan hasil audit yang maksimal, diperlukan kompetensi

yang cukup baik untuk seorang auditor. Kompetensi itu tersebut mencakup

pengetahuan, keterampilan serta kompetensi lainnya yang diperlukan untuk

melakukan tugas dan tanggung jawab internal audit.

Audit membutuhkan staf professional yang secara kolektif memiliki

pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan kualifikasi professional untuk melakukan

berbagai macam audit yang dilakukan untuk mandatnya (Al-Twaijry, Brierley, dan
Gwilliam, 2003). Dari sudut pandang pendidikan, seorang auditor diharapkan

memiliki pendidikan tinggi untuk menunjang profesinya. Kemudian pelatihan juga

diperlukan untuk meningkatkan kualitas diri auditor. Pelatihan diukur dengan jumlah

jam pelatihan yang telah dilewati oleh auditor. Semakin banyak jumlah pelatihan

yang diikuti, auditor diharapkan semakin memiliki kualitas yang memadai.

Selanjutnya, pengalaman yang diukur dengan jumlah tahun lamanya auditor bekerja

juga menjadi salah satu poin untuk menilai kompetensi. Selain itu, kualifikasi

professional diperlukan untuk meyakinkan pihak yang berkepentingan bahwa auditor

memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melakukan profesinya.

2.1.5 Hubungan Antara Auditor Internal Dengan Auditor Eksternal

Auditor internal sangat berbeda dengan auditor eksternal baik dari segi

tanggung jawab maupun pelaksanaan audit yang dilakukan. Auditor internal

bertanggung jawab terhadap manajemen, sedangkan auditor eksternal bertanggung

jawab terhadap pengguna laporan keuangan yang mengandalkan auditor untuk

memberikan keyakinan akan kredibilitas dari laporan keuangan yang bersangkutan.

Koordinasi dan kerjasama antara auditor internal dan eksternal dianggap

penting untuk proses audit yang akan dilaksanakan, baik untuk kegunaan audit untuk

organisasi yang bersangkutan maupun bagi pemangku kepentingan eksternal. Salah

satu bentuk koordinasi yang dilakukan ialah saling bertukar informasi, opini dan

laporan agar dapat menghasilkan laporan audit dengan kualitas yang tinggi serta

mempercepat kerja audit.


Dari perspektif auditor internal, informasi dari auditor internal akan

membantu dalam hal menghasilkan laporan audit yang dapat diandalkan. Selanjutnya,

dengan adanya informasi dari auditor internal, auditor eksternal tentu akan sangat

terbantu dalam penyelesaian laporan, seperti tidak perlu untuk mencari kesalahan

yang mana telah ditemukan oleh auditor internal, sehingga waktu yang dibutuhkan

untuk menyelesaikan pekerjaan audit juga akan semakin singkat.

Standar audit APIP menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan audit,

auditor internal dan eksternal sebaiknya melakukan koordinasi yang bertujuan untuk

mengetahui cakupan yang tepat serta menghindari dua kali kerja. Koordinasi yang

dilakukan dapat berupa saling bertukar informasi tentang rencana audit yang akan

dilakukan, baik rencana pengawasan beserta hasilnya kepada auditor eksternal,

dengan harapan bahwa hasil tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengurangi

lingkup audit eksternal.

2.1.6 Dukungan Auditee terhadap Audit Internal

Auditee adalah organisasi yang sedang diaudit. Dengan adanya dukungan

dari auditee, maka proses audit akan berjalan dengan lancar. Dengan dukungan dari

auditee, auditor internal dapat memperoleh sumber yang mencukupi untuk

melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka. Selain itu, tim audit internal dapat

memperkerjakan staf dan menyediakan pelatihan serta pengembangan bagi para

stafnya. Dukungan tersebut dapat ditunjukan melalui anggapan bahwa audit internal

merupakan suatu hal yang penting bagi organisasi.


Selain itu, keterlibatan auditee dalam rencana audit juga dibutuhkan.

Masukan serta rekomendasi dari audit internal sebaiknya dapat dikaji oleh auditee

sehingga dapat diimplementasikan oleh auditee dalam rangka memperbaiki kinerja

serta mengurangi kesalahan di masa depan.

Sesuai dengan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia, auditee dalam

inspektorat pemerintah daerah adalah instansi pemerintah, lembaga dan/atau pihak

lain yang di dalamnya terdapat kepentingan negara sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil dengan hak dan

kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang.

2.1.7 Independensi Auditor Internal

Van Peursem dalam Cohen dan Sayag (2010) menjelaskan bahwa auditor

internal bertugas untuk membantu manajemen, dan pada saat bersamaan, auditor

harus bekerja secara independen dalam mengevaluasi manajemn. Auditor internal

dibebankan dengan menegakkan kepentingan terbaik manajer mereka, tetapi mereka

mungkin enggan untuk melawan manajemen, terlepas dari konsekuensi yang akan

dihadapinya.

Pada konsepnya, auditor harus cukup independen dalam melaksanakan

kegiatan auditnya, termasuk bersikap independen dari pihak yang mewajibkan

mereka untuk melakukan pekerjaan audit. Namun pada kenyataannya auditor sering

mengalami dilema diantara memilih untuk bersikap professional dengan konsekuensi


hasil audit yang tidak sesuai dengan keinginan atasannya atau auditor bekerja sesuai

dengan perintah dari atasnnya dengan konsekuensi hasil audit yang tidak sesuai

dengan keadaan organisasi yang sebenarnya.

Terlepas dari segala konflik kepentingan yang ada, auditor pada hakikatnya

harus bersikap objektif ketika mempertimbangkan berbagai fakta yang ada untuk

dijadikan dasar dalam memberikan pendapatnya. Dengan memiliki akses terhadap

kliennya, sorang auditor dapat dinyatakan bersikap tidak independen karena akan

timbul prasangka bahwa auditor akan cenderung memihak kliennya tersebut.

Untuk mencapai independensi, diperlukan pelaksanaan tugas dan tanggung

jawab sebagai auditor internal secara efektif. Kepala tim audit harus memiliki akses

langsung kepada manajemen senior. Ancaman terhadap independensi harus dikelola

pada setiap tingkatan individual, fungsional, dan tingkat organisasi.

Setiap auditor internal harus memiliki sikap independen dalam menjalankan

aktivitas auditnya, termasuk dalam mengungkapkan pandangan dan pemikirannya

sesuai dengan profesi serta standar audit yang berlaku. Independensi tersebut

merupakan salah satu bagian dari kode etik profesi auditor internal terhadap

profesinya serta terhadap masyarakat. Independensi sangat penting untuk

menghasilkan output yang memiliki manfaat optimal bagi seluruh pemangku

kepentingan. Dengan kata lain, auditor harus bersikap independen dari seluruh

kegiatan yang diperiksanya.


2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang menguji efektivitas audit internal telah

dilakukan oleh Cohen dan Sayag (2010) di Israel, Mihret dan Yismaw (2007) di

Ethiopia, Halimah, et al. (2009) di Malaysia dan Alzeban dan Gwilliam (2014) di

Arab Saudi.

Tabel 2.1

Ringkasan penelitian terdahulu

No Peneliti Tahun Variabel Hasil


Dependen Independen
1 Mihret dan 2007 Efektivitas Dukungan Dukungan
Yismaw auditor internal manajemen, manajemen,
Organizational Organizational
setting, setting, Kualitas
Kualitas audit audit internal
internal, berpengaruh
auditee signifikan terhadap
atribute efektivitas auditor
internal, tetapi
auditee attributes
tidak berpengaruh
signifikan.
2 Cohen dan 2010 Efektivitas Jenis sektor, Jenis sektor,
Sayag auditor internal profesionalitas profesionalitas
internal internal auditor,
auditor, kualitas pekerjaan
kualitas audit, independensi,
pekerjaan kesempatan karir
audit, internal auditor
independensi, berpengaruh
kesempatan signifikan terhadap
karir internal efektivitas auditor
auditor, serta internal. Akan tetapi,
dukungan dukungan
manajemen manajemen tidak
berpengaruh
signifikan
3 Halimah, et 2009 Efektivitas Ukuran Ukuran departemen,
al. auditor internal departemen, dukungan
dukungan manajemen,
manajemen, kompetensi auditor
kompetensi internal, efesiensi
auditor departemen audit,
internal, pengetahuan audit
efesiensi internal berpengaruh
departemen positif terhadap
audit, efektivitas auditor
pengetahuan internal
audit internal
4 Alzeban dan 2014 Efektivitas Kompetensi Kompetensi audit
Gwilliam audit internal audit internal, internal, ukuran tim
ukuran tim audit internal,
audit internal, hubungan antara
hubungan auditor internal
antara auditor dengan auditor
internal eksternal, dukungan
dengan auditor auditee dan
eksternal, independensi auditor
dukungan internal berpengaruh
auditee dan positif terhadap
independensi efetivitas auditor
auditor internal internal
2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh kompetensi auditor

internal, independensi auditor internal, hubungan antara auditor eksternal, serta

dukungan auditee terhadap efektivitas audit internal.

Kompetensi auditor internal mempengaruhi efektivitas auditor internal sebab

dalam kompetensi terdapat unsur-unsur seperti pendidikan, kualifikasi profesional,

pengalaman di bidang audit yang diukur dengan tahun serta jumlah jam pelatihan

audit yang dilalui oleh auditor. Semakin berpengalaman serta semakin banyak jam

pelatihan yang dimiliki auditor akan semakin meningkatkan kompetensi auditor.

Hubungan antara auditor internal dan eksternal berpengaruh terhadap

efektivitas auditor internal karena kerjasama dan koordinasi diantara keduanya akan

mendorong kedua pihak menghasilkan laporan audit yang berkualitas sehingga dapat

berpengaruh terhadap efektivitas auditor internal.

Dukungan auditee terhadap audit internal berpengaruh terhadap efektivitas

audit internal sebab dengan adanya dukungan dari auditee, maka auditor akan diberi

keleluasaan untuk melaksanakan audit dengan baik sehingga dapat meningkatkan

efektivitas auditor internal.

Independensi auditor internal mempengaruhi efektivitas auditor internal

karena pada hakikatnya, independensi merupakan suatu kewajiban yang harus


dipenuhi oleh seorang auditor. Semakin baik independensi auditor maka akan

semakin tinggi efektivitas audit internal.

Anda mungkin juga menyukai