Anda di halaman 1dari 13

B.

Diagram Fasa Sistem Dua Komponen


Sistem dua komponen disebut sistem biner. Untuk
sistem dua komponen, c =2, sehingga aturan fasa:
f = c-p +2
f = 4-p
Untuk sistem satu fasa p = 1 dan f menjadi sama dengan
3, jadi ada 3 variabel intensif independen yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem tersebut,
yaitu T, P, dan fraksi mol.
Biasanya, satu dari ketiga variabel tersebut dibuat
tetap, sehingga dua variabel lainnya dapat digambarkan
dalam diagram fasa dua dimensi. Variabel yang biasa
dibuat tetap adalah P atau T.
1. Diagram Fasa Sistem Dua Komponen Cair-cair
Dua cairan dikatakan misibel sebagian jika A larut dalam
B dalam jumlah yang terbatas, dan demikian pula
dengan B, larut dalam A dalam jumlah yang terbatas.
Bentuk yang paling umum dari diagram fasa T-X cair-cair
pada tekanan tetap, dapat dilihat pada Gambar 3 :
T

Tc satu fasa

dua fasa

C D E F G
T1
L1 L2

B XA,1 XA,3 XA,2 A

Gambar 4 Diagram fasa T-X cair-cair untuk dua cairan


yang misibel sebagian
Diagram ini dapat diperoleh secara eksperimen dengan
menambahkan suatu zat cair ke dalam cairan murni
lainnya pada tekanan tertentu dengan variasi suhu.
Sebagai contoh kita mulai dengan cairan B murni yang
ke dalamnya secara bertahap ditambahkan sedikit demi
sedikit cairan A pada suhu tetap, T1. Sistem dimulai dari
titik C (murni zat B) dan bergerak ke arah kanan secara
horizontal sesuai dengan penambahan cairan A. Dari
titik C ke D diperoleh satu fasa, artinya A yang
ditambahkan larut dalam B. Di titik D diperoleh
kelarutan maksimum cairan A dalam cairan B pada suhu
T1. Penambahan A selanjutnya akan menghasilkan
sistem dua fasa (dua lapisan), yakni lapisan pertama (L1)
larutan jenuh A dalam B dengan komposisi XA,1, dan
lapisan kedua (L2) larutan jenuh B dalam A dengan
komposisi XA,2. Kedua lapisan ini disebut lapisan
konyugat, terdapat bersama-sama dalam daerah antara
D dan F. Komposisi keseluruhan ada di antara D dan F.
Di titik E komposisi keseluruhan adalah XA,3. Jumlah
relatif kedua fasa dalam kesetimbangan ditentukan
dengan aturan Lever.

Aturan Lever (Lever-rule)


Panjang segmen garis antara titik E dan D dalam Gambar
4 kita nyatakan dengan ̅̅̅̅ED dan antara titik E dan F
dinyatakan dengan ̅EF ̅̅̅. 𝑛𝐴,𝐿1 dan 𝑛𝐴,𝐿2 merupakan
jumlah mol komponen A dalam masing-masing lapisan,
maka 𝑛𝐴,3 = 𝑛𝐴,𝐿1 + 𝑛𝐴,𝐿2 . Jika 𝑛𝐿1 dan 𝑛𝐿2 merupakan
jumlah mol total lapisan pertama dan kedua, maka 𝑛 =
𝑛𝐿1 + 𝑛𝐿2 , maka dari Gambar 4 diperoleh :
̅̅̅̅
ED = XA,3 - XA,1 dan ̅EF
̅̅̅ = XA,2 - XA,3
𝑛 𝑛
̅̅̅̅
ED = 𝐴,3 − 𝐴,𝐿1 dan ̅̅̅ = 𝑛𝐴,𝐿2 − 𝑛𝐴,3
̅EF
𝑛 𝑛𝐿1 𝑛𝐿2 𝑛

Kalikan ̅̅̅̅
ED dengan 𝑛𝐿1 dan EF dengan 𝑛𝐿2 lalu
dikurangkan sehingga :
(̅̅̅̅ ̅̅̅)𝑛𝐿2 = (𝑛𝐿1 + 𝑛𝐿2 ) 𝑛𝐴,3 − ( 𝑛𝐴,𝐿1 +
ED)𝑛𝐿1 − (̅EF 𝑛
𝑛𝐴,𝐿2 )
(̅̅̅̅
ED)𝑛𝐿1 − (̅EF
̅̅̅)𝑛𝐿2 = 𝑛𝐴,3 − 𝑛𝐴,3 = 0
𝑛𝐿1 ̅EF
̅̅̅
(̅̅̅̅
ED)𝑛𝐿1 = (̅EF
̅̅̅)𝑛𝐿2 atau = ̅̅̅̅ 2.26)
𝑛𝐿2 ED

Persamaan (2.26) disebut sebagai aturan Lever. Jika titik


E lebih dekat ke titik D maka jumlah relatif L1 lebih
banyak daripada L2. Sebaliknya, jika titik E lebih dekat ke
titik F maka jumlah relatif L2 lebih banyak daripada L1.
Di E, lapisan pertama lebih banyak daripada lapisan
kedua. Penambahan selanjutnya akan mengubah
komposisi keseluruhan semakin ke kanan, sementara
komposisi kedua lapisan tetap XA,1 dan XA,2. Perbedaan
akibat penambahan A secara terus-menerus terletak
pada jumlah relatif lapisan pertama dan kedua. Semakin
ke kanan jumlah relatif lapisan pertama akan berkurang
sedangkan lapisan kedua bertambah. Di titik F, A yang
ditambahkan cukup untuk melarutkan semua B dalam A
dan membentuk suatu larutan jenuh B dalam A. Dengan
demikian sistem di F menjadi satu fasa. Dari F ke G,
penambahan A hanya merupakan pengenceran larutan
B dalam A. Untuk mencapai titik G diperlukan
penambahan jumlah A yang tidak terhingga banyaknya,
atau bisa saja dilakukan percobaan yang dimulai dari A
murni pada suhu T1, titik G, selanjutnya dilakukan
penambahan sedikit demi sedikit B sampai dicapai titik
F dan seterusnya.
Jika percobaan dilakukan pada suhu yang lebih
tinggi akan diperoleh batas kelarutan yang berbeda.
Semakin tinggi suhu, kelarutan masing-masing
komponen satu sama lain meningkat, sehingga daerah
dua fasa semakin menyempit. Kurva kelarutan akhirnya
bertemu di satu titik pada suhu konsolut atas,atau
disebut dengan suhu kelarutan kritis, TC. Di atas TC
cairan saling melarut sempurna dalam berbagai
komposisi. Contoh sistem yang mengikuti kurva seperti
ini adalah sistem air-fenol dengan TC = 65,85 oC.
Ada juga pasangan cairan yang kelarutannya
bertambah dengan turunnya suhu. Untuk sistem ini
diperoleh suhu konsolut bawah. Contoh sistem ini
adalah air-trietilamina. Diagram fasanya dapat dilihat
pada Gambar 4.a. Suhu konsolut bawah air-trietilamina
adalah 18,5 oC.
Ditemukan juga sistem yang mempunyai suhu
kelarutan kritis atas dan bawah sekaligus, meskipun
sangat jarang, contohnya adalah sistem nikotin-air yang
diagram fasanya dapat dilihat pada Gambar 4.b. Suhu
konsolut atasnya sekitar 210 oC dan suhu konsolut
bawahnya sekitar 61 oC.

Gambar 5 Diagram fasa T-X cair-cair


(a) sistem air-trietilamina (b) sistem air-nikotin
2. Diagram Fasa Sistem Dua Komponen Cair-Uap Ide
Pada bagian ini akan dibahas sistem dua komponen
yang membentuk larutan ideal, dan diagram fasa yang
ditinjau hanya cair-uapnya saja.
Larutan ideal adalah larutan yang memenuhi hukum
Raoult pada semua rentang konsentrasi.
𝑃𝑖 = 𝑋𝑖 𝑃𝑖𝑜 (2.27)
𝑃𝑖 menyatakan tekanan uap (jenuh) i di atas larutan
pada suhu T ,𝑋𝑖 menyatakan fraksi mol i dalam larutan
ideal, dan 𝑃𝑖𝑜 menyatakan tekanan uap (jenuh) pelarut
murni i pada suhu T.
Pada suhu tertentu (tetap) kita dapat menggambarkan
diagram fasa tekanan, P, terhadap fraksi mol, X.
Pertama-tama mari kita tinjau usatu larutan ideal yang
terdiri dari cairan A dan B dengan komposisi tertentu
yang ada dalam suatu silinder yang dilengkapi dengan
piston dan dimasukkan ke dalam suatu penangas
bersuhu tetap. Mula-mula tekanan luar pada piston
diatur cukup tinggi sehingga sistem seluruhnya ada
dalam keadaan cair ( titik C pada Gambar 6).
Kemudian tekanannya diturunkan di bawah titik C. Pada
suatu ketika akan dicapai suau tekanan yang
menyebabkan tekanan tepat mulai menguap (titik D). Di
titik D, cairan mempunyai komposisi yang sama dengan
komposisi cairan semula , karena cairan yang menguap
masih sangat sedikit sekali (tak hingga kecilnya).
Komponen uapnya dapat dinyatakan dengan :
𝑃𝐴 𝑃𝐵
𝑋𝐴,𝑉 = dan 𝑋𝐵,𝑉 = (2.28)
𝑃 𝑃
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.27) ke
persamaan (2.28) diperoleh hubungan antara fraksi mol
uapnya dengan komposisi larutannya.
𝑃𝐴𝑜 𝑜
𝑃𝐵
𝑋𝐴,𝑉 = 𝑋𝐴,𝑙 dan 𝑋𝐵,𝑉 = 𝑋𝐵,𝑙 (2.29)
𝑃 𝑃

dengan P = PA + PB
dari persamaan (2.29) diperoleh :
𝑋𝐴,𝑉 𝑋𝐴,𝑙 𝑃𝐴𝑜
=𝑋 𝑜 (2.30)
𝑋𝐵,𝑉 𝐵,𝑙 𝑃𝐵

Jika A lebih mudah menguap, maka 𝑃𝐴𝑜 > 𝑃𝐵𝑜 dengan


𝑋𝐴,𝑉 𝑋
demikian > 𝑋𝐴,𝑙 . Jadi uap di ataslarutan lebih kaya
𝑋𝐵,𝑉 𝐵,𝑙

akan zat A, yang lebih mudah menguap, dibandingkan


cairannya.
Jika tekanan diturunkan lagi (secara isotermal) di bawah
titik D, maka cairan yang menguap akan lebih banyak
lagi dan pada akhirnya cairan tepat habis menguap di
titik F. Di bawah titik F hanya terdapat uap saja. Setiap
titik antara D dan
C. Diagram Fasa untuk Sistem Tiga Komponen
Untuk sistem tiga komponen, derajat kebebasan f =
3 – p + 2 = 5 – p. Untuk p = 1, ada 4 derajat kebebasan.
Tak mungkin menyatakan sistem seperti ini dalam
bentuk grafik yang lengkap dalam tiga dimensi, apalagi
dalam dua dimensi. Oleh karena itu biasanya sistem
dinyatakan pada suhu dan tekanan yang tetap, dan
derajat kebebasannya menjadi f = 3 – p, jadi derajat
kebebasannya paling banyak adalah dua, dan dapat
dinyatakan dalam suatu bidang. Pada suhu dan tekanan
tetap, variabel yang dapat digunakan utnuk menyatakan
keadaan sistem tinggal komposisi, yaitu XA, XB, dan XC
yang dihubungkan dengan XA + XB + XC = 1. Komposisi
salah satu komponen sudah tertentu jika dua komponen
lainnya diketahui. Untuk menyatakannya dalam suatu
grafik, Gibbs dan Rozenboom menggunakan suatu
segitiga samasisi. Titik A,B,C pada setiap sudut segitiga
masing-masing menyatakan 100 % A, 100 % B, dan 100
% C (Gambar 6). Setiap titik dalam segitiga tersebut jika
dihubungi secara tegak lurus ke sisi-sisinya akan
diperoleh penjumlahan ketiga garis ini selalu konstan,
sama dengan tinggi segitiga tersebut, yaitu h.
Gambar 6. Sistem koordinat segitiga yang
digunakan dalam diagram fasa terner

Pada Gambar 3, 𝐷̅ 𝐸̅ + 𝐷
̅ 𝐹̅ + 𝐷 ̅ 𝐺̅ = ℎ. Dalam hal
ini, tinggi segitiga dinyatakan dalam 100 satuan,
sehingga panjang garis 𝐷 ̅ 𝐸̅ , 𝐷
̅ 𝐹̅ dan 𝐷 ̅ 𝐺̅ masing-
masing sama dengan persentase dari A, B, dan C (bisa
dalam persen mol dan dalam persen berat). Jadi setiap
komposisi dari sistem dapat dinyatakan oleh suatu titik
di dalam segitiga atau pada segitiga tersebut. Untuk
memudahkan, pada Gambar 6 digambarkan garis-garis
yang sejajar dengan sisi-sisi segitiga dengan rentang
jarak yang sama. Pada suatu garis yang sejajar dengan
AB, komposisi C tetap. Titik H yang ada pada gambar
menyatakan 25 % A, 50 % B, dan 25 % C. Sepanjang garis
AB, persentase C nol, artinya setiap titik pada AB sesuai
dengan sistem biner A dan B.

Contoh : tempatkanlah ttitik-titik berikut dalam diagram


fasa terner berikut :
XA = 0,2 ; XB = 0,3 dan XC = 0,5

Gambar 7. Diagram fase tiga komponen A,B, dan C


Garis yang sejajar ke sisi BC menunjukkan komposisi A
(a), sejajar ke CA merupakan komposisi B (b), dan sejajar
AB menunjukkan komposisi C (c). Mulai dari titik a,
bergeraklah sepanjang aA sampai 0,2. Gambarlah
sebuah garis horizontal sejajar ke BC. Mulai dari titik b,
bergeraklah sepanjang bB sampai 0,3 dan gambarkan
sebuah garis sejajar CA. Mulai dari titik c, bergeraklah
sepanjang cC sampai 0,5 dan gambarkan sebuah garis
sejajar dengan AB. Perpotongan dari tiga garis sejajar
adalah titik XA = 0,2 ; XB = 0,3 dan XC = 0,5 yaitu titik O.
Untuk sistem tiga komponen ini, pembahasan
dibatasi hanya pada sistem terner cair-cair saja. Salah
satu contoh sistem ini adalah aseton-air-dietil eter pada
1 atm dan 30 oC. Pada keadaan ini, air dan etanol
misibel, demikian pula eter dan etanol misibel, akan
tetapi air dan eter misibel sebagian. Diagram fase sistem
ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 8. Diagram fasa cair-cair sistem aseton-


air-eter pada 30 oC dan 1 atm. Koordinat merupakan
persen mol

Daerah di atas kurva CFHD merupakan daerah satu


fasa. Setiap titik yang ada di bawah kurva menyatakan
adanya dua fasa cair dalam kesetimbangan. Garis-garis
yang ada dalam daerah ini merupakan garis dasi yang
ujungnya menyatakan komposisi kedua fasa.
Kedudukan garis dasi ditentukan melalui analisis kimia
dari setiap fasa. Pada Gambar 7, sistem dengan
komposisi G terdiri dari dua fasa, yaitu fasa α, eter yang
larut dalam air dengan komposisi F, dan fasa β, air yang
larut dalam eter dengan komposisi H. Kemiringan garis
dasi FGH menyatakan bahwa aseton dalam fasa β lebih
banyak daripada di fasa α. Titik K adalah titik batas yang
didekati oleh garis dasi dimana kedua fasa dalam
kesetimbangan menjadi semakin mirip. Titik K disebut
dengan “plait point”, dan kurva CFKHD disebut dengan
kurva “binodal”.

Anda mungkin juga menyukai