Uji pre klinik merupakan uji yang dilakukan setelah tahap seleksi obat tradisional
yang akan dikembangkan menjandi fitofarmaka. Uji pre klinik dapat dilakukan secara
in vitro maupun in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas (keamanannya) dan
efek farmakologis, farmakodinamik dan farmakokinetiknya untuk melihat efek pada
manusia. Bentuk sediaan yg akajn diberikan disesuaikan dengan rencana pemberian
ada manusia.
Dewoto, Hedi R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Departemen Farmakologi, FK UI, Jakarta
- Uji toksisitas
Untuk mengetahui keamanan dari calon obat yang dilakukan pada hewan coba.
Terdapat 2 uji toksisitas
a. Uji toksisitas umum, terdiri dari:
- Uji toksisitas akut
- Uji toksisitas subakut
- Uji toksisitas kronik
b. Uji toksisitas, terdiri dari:
- Teratogenik
- Mutagenik
- Karsinogenik
- Uji farmakokinetik
a. Definisi
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari
tentang kinetik absorbsi, distribusi, dan eliminasi (yakni ekskresi dan
metabolisme) obat. (Shargel, 2012)
b. Proses Farmakokinetik
1. Absorbsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian
ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian
obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan
lain-lain. Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke
dalam tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. (Gunawan, 2009)
2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi
sistemik kejaringan dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah
diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
Aliran darah
Permeabilitas kapiler
Ikatan protein
3. Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang
keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
bisa dimetabolisme lanjutan.
4. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat
dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui
paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik IndonesiaNomor 7 Tahun
2014. Pengawas Obat dan Makanan Indonesia Republik Indonesia
- Uji farmakodinamik
Uji yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh farmakologi pada berbagai sistem
biologi baik secara in vitro maupun in vivo.
Setyorini, Rachmi. 2010. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Jamu
Menjadi Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka Di Provinsi Dki Jakarta Tahun
2010. FKM UI. Depok
Bagaimana urutan uji pre klinik?
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)
(PerKBPOM, 2014).
Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis tunggal
dipaparkan kedalam salah satu mata pada beberapa hewan uji dan mata
yang tidak diberi perlakuan digunakan sebagai kontrol. Derajat
iritasi/korosi dievaluasi dengan pemberian skor terhadap cedera pada
konjungtiva, kornea, dan iris pada interval waktu tertentu.
(PerKBPOM, 2014).
(PerKBPOM, 2014)
Prinsip uji iritasi mukosa vagina adalah sediaan uji dibuat ekstrak
dalam larutan NaCl 0,9% atau minyak zaitun dan selanjutnya ekstrak
dipaparkan kedalam lapisan mukosa vagina hewan uji selama tidak kurang
dari 5 kali pemaparan dengan selang waktu antar pemaparan 24 jam.
Selama pemaparan, jaringan mukosa vagina diamati dan diberi skor
terhadap kemungkinan adanya eritema, eksudat dan udema. Setelah selesai
pemaparan hewan uji dikorbankan dan diambil jaringan mukosa vaginanya
untuk dievaluasi secara histopatologi.
(PerKBPOM, 2014).
Prinsip uji toksisitas akut dermal adalah beberapa kelompok hewan uji
menggunakan satu jenis kelamin dipapar dengan sediaan uji dengan dosis
tertentu, dosis awal dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan. Selanjutnya
dipilih dosis yang memberikan gejala toksisitas tetapi yang tidak
menyebabkan gejala toksik berat atau kematian.
2. Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi terhadap
toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai untuk itu
adalah mencit.Kekurangannya adalah kesulitan memperoleh darah dalam jumlah yang
cukup untuk rangkaian pemeriksaan hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat badannya
dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau dapt diambil
darahnya dalam jumlah yang relative besar.
Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi.Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara dibutuhkan 4
minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-hewan lain,
terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang menyerupai manusia. Postur
seperti ini memungkinkan untuk mencatat observasi penting terutama bila neurophaty
perifer merupakan manifestasi toksik.Kerugiannya perlu banyak hewan yang dibutuhkan
untuk uji fertilitas karena produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press)
2) Persyaratan kandang
Hewan laboratorium harus dikandangkan dengan kondisi secara biologis optimal dan
keperluan hidupnya memadai (nyaman fisik, fisiologis dan biologis).
Ada 2 sistem hygiene untuk perkandangan HL, yaitu:
§ Sistem terbuka
Tidak memerlukan persyararatan dan hygiene yang ketat untuk mencegah masuknya agen
infeksius.
§ Sistem tertutup
Dalam system Barier/SPF (Spesific Pathogen Free) hewan diisolasi secara “Kedap udara
luar” untuk mencegah agen infeksius (Mangkoewidjojo, 2006).
Ukuran panjang dan lebar kandang sebaiknya lebih panjang dari panjang tubuh hewan
termasuk ekornya. Agar tidak berdesakan, pengisian kandang hendaknya tidak lebih dari
20 ekor hewan coba berukuran kecil(Kusumawati,2004).
Lokasi kandang hendaknya tidak mengganggu kehidupan masyarakat sekitar sehingga
limbahnya tidak menimbulkan polusi.selain itu perlu dipertimbangkan pula kenyamanan
hidup hewan agar kandang bebas dari kebisingan , polusi, air yang menggenang dan
banjir. Konatruksi bangunan harus memiliki ventilasi yang baik sehingga suhu dan
kelembabannya sesuai dengan kebutuhan hewan (Kusumawati,2004).
Bisa dipelihara secara individual atau kelompok. Sebaiknya kandang dibuat dari logam
tahan karat, logam divalganisasi atau plastik.
Hewan Berat badan(g) Luas Tinggi
lantai/ekor(cm2) kandang(cm)
Mencit <10 39 12,7
10-15 52 12,7
15-20 77 12,7
>25 97 12,7
Tikus <100 110 17,8
100-200 148 17,8
200-300 187 17,8
300-400 258 17,8
400-500 387 17,8
>500 452 17,8
Kelinci (kg) (m2) (cm)
<2 0,14 35,6
2-4 0,28 35,6
4-5,4 0,37 35,6
>5,4 0,46 35,6
(Mangkoewidjojo, 2006)
3) Faktor lingkungan
Suhu, kelembaban relatif, kualitas udara harus dipertahankan stabil. Harus diperhitungkan
daya tampung maksimal ruang.
Hewan Suhu Kelembapan relatif
0
Mencit 18-26 C 40-70℅
0
Tikus 18-26 C 40-70℅
Kelinci 16-260C 60℅
Ventilasi ruang mampu mengalirkan udara 15-20 kali setiap menit. Penerangan bisa
diatur terang gelap 12 jam bergantian. Hewan harus terhindar dari suara bising baik yang
terdengar ataupun tidak (ultrasonik) (Mangkoewidjojo, 2006).
2) Air minum
Air minum tersedia tanpa dibatasi dan dapat diberikan dalam botol dengan pipa yang
dilengkapi ”klep” peluru bulat yang terletak di ujung pipa. Untuk mencegah pertumbuhan
kuman, air minum dapat diasamkan atau dikhlorisasi (Mangkoewidjojo, 2006).
3) PAKAN
Makanan yang harus diberikan untuk mempertahankan kondisi fisik ayam dan itik yang
baik, produksi telur, dan daya tetas normal, ransum makanan harus mengandung semua
zat makanan esensial. Umumnya lebih murah membeli makanan daripada membeli alat
untuk membuat pellet dan berbagai bahan makanan, serta menghabiskan waktu untuk
membuat ransum di bagian penelitian. Kandungan protein dalam makanan ayam dan itik
yang diinginkan sangat erat hubungannya dengan kandungan energi. Keperluan protein
untuk unggas naik jika kandungan energi makanan meningkat. Itik dan anak itik dapat
hidup baik dengan makanan mengandung protein 2-3% lebih rendah dibanding dengan
kadar yang diperlukan untuk ayam dan anak ayam. Seekor ayam dan itik dewasa makan
85-115 gram tiap hari.
5) PENGENDALIAN PENYAKIT
Prinsip yang membantu kesehatan dan efisiensi tubuh, yaitu : keseimbangan badan, dan
kekuatan dan ketegapan biakan, cukup makanan, lingkungan yang cocok, pemberantasan
dan pengendalian penyakit menular (Mangkoewidjojo,1988).
Pengambilan darah dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu:
- vena lateral dari ekor
- sinus orbitalis mata
- vena saphena
- langsung dari jantung
- vena pectoralis externa yang ada di bagian ventral sayap (unggas)
Apabila hewan mati atau sekarat sebalum penelitian berakhir maka harus dinekropsi dan
diambil sampel jaringannya untuk pemeriksaan lebih lanjut sesuai dengan protokol
penelitian, termasuk pemeriksaan histopatologik(Mangkoewidjojo, 2006).
Pada akhir eksperimen, dokter hewan atau orang berkompeten harus memutuskan hewan
dibiarkan hidup atau harus dieutanasi. Tidak boleh ada hewan dibiarkan hidup jika
sekiranya menunjukkan nyeri permanen atau menderita, hewan tidak dibenarkan
digunakan lebih dari satu kali eksperimen yang dapat menimbulkan nyeri atau menderita
(Mangkoewidjojo, 2006).
c. Euthanasi
1. Metode yang digunakan harus berperikemanusiaan
2. Tidak berpengaruh pada pemeriksaan organ atau jaringan yang memang tertulis dalam
protokol eksperimen
3. Metode harus terpecaya, efektif, ekonomis, mudah dilaksanakan dan harus aman bagi
petugas laboratorium
4. Harus dilakukan oleh petugas yang mendapat perlatihan yang memadai
5. Hewan harus ditangani dengan hati-hati untuk meminimalkan penderitaan “berteriak”
atau teramon yang dapat menyebabkan takut hewan lain
Metode yang dipakai pada euthnasi adalah metode fisik-mekanik atau metode farmako-
kimia termasuk inhalasi. Sesudah hewan mati dilakukan mikropsi jika eksperimen perlu
pemeriksaan lebih lanjut, sampel jaringan diambil dan dofiksas dalam formalin bufer 10%
untuk pemeriksaan histopatologik. Pemeriksaan histopatologik sangat penting dalam
ekspentasi mengevaluasi uji keamanan suatu obat/uji toksikologik, karena bukti
morfologik jaringan dalam proses patologik merupakan perubahan paling konsisten yang
dapat diidentifikasi akibat prosestoksik jaringan untuk pemeriksaan lain non-
histopatologik, disiapkan sesuai prosedur yang diperlukan tanpa disfiksasi dalam formalin
(Mangkoewidjojo, 2006).
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Departemen RI. 2006. Pedoman Nasional Etik
Penelitian Kesehatan Suplemen II Etik Penggunaan Hewan Coba. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
6. Apa saja prinsip etika dalam menggunakan hewan coba ?