Anda di halaman 1dari 25

1. Apa yang dimaksud uji pre klinik?

Uji pre klinik merupakan uji yang dilakukan setelah tahap seleksi obat tradisional
yang akan dikembangkan menjandi fitofarmaka. Uji pre klinik dapat dilakukan secara
in vitro maupun in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas (keamanannya) dan
efek farmakologis, farmakodinamik dan farmakokinetiknya untuk melihat efek pada
manusia. Bentuk sediaan yg akajn diberikan disesuaikan dengan rencana pemberian
ada manusia.
Dewoto, Hedi R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Departemen Farmakologi, FK UI, Jakarta

2. Apa saja tujuan dalam uji pre klinik?


Tujuan penelitian terhadap uji pra klinik antara lain adalah untuk mengidentifikasi
potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai uji untuk menetapkan
mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling
relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai tambahan berbagai penelitian
yang tercantum dalam tabel I, diperlukan pula beberapa perkiraan kuantitatif seperti
‘no effect’ dose – dosis maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis
letal minimum – dosis terkecil yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila
perlu, dosis letal median (LD50) – dosis yang mematikan sekitar 50% hewan.
Dewoto, Hedi R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Departemen Farmakologi, FK UI, Jakarta

3. Apa saja tahapan dalam uji pre klinik?


- Uji farmakologi
Uji yang ditujukan untuk melihat adanya kerja farmakologik pada sistem biologi
yang dapat merupakan petunjuk terhadap khasiat terapeutik baik secara in vitro
maupun in vivo. Kegunaan uji farmakologi untuk menghindari pemborosan dalam
tahap uji lebih lanjut, dapat digunakan kemungkinan efek pada manusia

- Uji toksisitas
Untuk mengetahui keamanan dari calon obat yang dilakukan pada hewan coba.
Terdapat 2 uji toksisitas
a. Uji toksisitas umum, terdiri dari:
- Uji toksisitas akut
- Uji toksisitas subakut
- Uji toksisitas kronik
b. Uji toksisitas, terdiri dari:
- Teratogenik
- Mutagenik
- Karsinogenik

- Uji farmakokinetik

a. Definisi
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari
tentang kinetik absorbsi, distribusi, dan eliminasi (yakni ekskresi dan
metabolisme) obat. (Shargel, 2012)

b. Proses Farmakokinetik
1. Absorbsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian
ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian
obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan
lain-lain. Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke
dalam tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. (Gunawan, 2009)

2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi
sistemik kejaringan dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah
diabsorpsi tergantung beberapa faktor:

 Aliran darah
 Permeabilitas kapiler
 Ikatan protein
3. Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang
keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
 Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
 Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
bisa dimetabolisme lanjutan.
4. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat
dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui
paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik IndonesiaNomor 7 Tahun
2014. Pengawas Obat dan Makanan Indonesia Republik Indonesia

- Uji farmakodinamik
Uji yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh farmakologi pada berbagai sistem
biologi baik secara in vitro maupun in vivo.
Setyorini, Rachmi. 2010. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Jamu
Menjadi Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka Di Provinsi Dki Jakarta Tahun
2010. FKM UI. Depok
Bagaimana urutan uji pre klinik?
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)

Apakah uji toksisitas hanya untuk obat oral saja ?

A. Uji Sensitisasi Kulit


Uji sensitisasi kulit adalah suatu pengujian untuk mengidentifikasi suatu
zat yang berpotensi menyebabkan sensitisasi kulit. Prinsip uji sensitisasi
kulit adalah hewan uji diinduksi dengan dan tanpa Freund’s Complete
Adjuvant (FCA) secara injeksi intradermal dan topikal untuk membentuk
respon imun, kemudian dilakukan uji tantang (challenge test). Tingkat dan
derajat reaksi kulit dinilai berdasarkan skala Magnusson dan Kligman.

(PerKBPOM, 2014).

B. Uji Iritasi Mata


Uji iritasi mata adalah suatu uji pada hewan uji (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada
mata.

Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis tunggal
dipaparkan kedalam salah satu mata pada beberapa hewan uji dan mata
yang tidak diberi perlakuan digunakan sebagai kontrol. Derajat
iritasi/korosi dievaluasi dengan pemberian skor terhadap cedera pada
konjungtiva, kornea, dan iris pada interval waktu tertentu.

Tujuan uji iritasi mata adalah untuk memperoleh informasi adanya


kemungkinan bahaya yang timbul pada saat sediaan uji terpapar pada mata
dan membran mukosa mata.

(PerKBPOM, 2014).

C. Uji Iritasi Akut Dermal


Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino)
untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji
pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip uji iritasi akut dermal
adalah pemaparan sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji
dengan area kulit yang tidak diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol.
Derajat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu yaitu pada jam ke 1, 24,
48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji dan untuk melihat reversibilitas,
pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari. Tujuan uji iritasi akut dermal
adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit serta untuk menilai
dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit.

(PerKBPOM, 2014)

D. Uji Iritasi Mukosa Vagina


Uji iritasi mukosa vagina adalah suatu uji yang digunakan untuk
menguji sediaan uji yang kontak langsung dengan jaringan vagina dan
tidak dapat diuji dengan cara lain.

Prinsip uji iritasi mukosa vagina adalah sediaan uji dibuat ekstrak
dalam larutan NaCl 0,9% atau minyak zaitun dan selanjutnya ekstrak
dipaparkan kedalam lapisan mukosa vagina hewan uji selama tidak kurang
dari 5 kali pemaparan dengan selang waktu antar pemaparan 24 jam.
Selama pemaparan, jaringan mukosa vagina diamati dan diberi skor
terhadap kemungkinan adanya eritema, eksudat dan udema. Setelah selesai
pemaparan hewan uji dikorbankan dan diambil jaringan mukosa vaginanya
untuk dievaluasi secara histopatologi.

Tujuan uji iritasi mukosa vagina adalah untuk mengevaluasi keamanan


dari alat-alat kesehatan yang kontak dengan mukosa vagina.

(PerKBPOM, 2014).

E. Uji Toksisitas Akut Dermal


Uji toksisitas akut dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi
efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu
sediaan uji dalam sekali pemberian melalui rute dermal.

Prinsip uji toksisitas akut dermal adalah beberapa kelompok hewan uji
menggunakan satu jenis kelamin dipapar dengan sediaan uji dengan dosis
tertentu, dosis awal dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan. Selanjutnya
dipilih dosis yang memberikan gejala toksisitas tetapi yang tidak
menyebabkan gejala toksik berat atau kematian.

Tujuan uji toksisitas akut dermal adalah untuk mendeteksi toksisitas


intrinsik suatu zat, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu
zat melalui kulit secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang
dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis dan merancang uji
toksisitas selanjutnya serta untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat,
penentuan penggolongan zat, menetapkan informasi pada label dan
informasi absorbsi pada kulit.
(PerKBPOM, 2014).

F. Uji Toksisitas Subkronis Dermal


Uji toksisitas subkronis dermal adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan
dosis berulang yang diberikan melalui rute dermal pada hewan uji selama
sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan.

Prinsip uji toksisitas subkronis dermal adalah sediaan uji dalam


beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari yang dipaparkan melalui kulit
pada beberapa kelompok hewan uji. Selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.
Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum
melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi, organ dan jaringan
diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi
selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ
maupun jaringan, serta dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis,
histopatologi.

Tujuan uji toksisitas subkronis dermal adalah untuk mendeteksi efek


toksik zat yang belum terdeteksi pada uji toksisitas akut dermal,
mendeteksi efek toksik setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara
berulang dalam jangka waktu tertentu, mempelajari adanya efek kumulatif
dan efek reversibilitas setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara
berulang jangka waktu tertentu. (PerKBPOM, 2014).

G. Uji Toksisitas Kronis Oral


Uji toksisitas kronis adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai
seluruh umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji
toksisitas subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari
12 bulan. Tujuan dari uji toksisitas kronis adalah untuk mengetahui profil
efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu
yang panjang, untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan
efek toksik (NOAEL). (PerKBPOM, 2014).
BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik IndonesiaNomor 7 Tahun 2014. Pengawas Obat dan
Makanan Indonesia Republik Indonesia

Bagaimana cara uji farmakodinamik untuk obat tradisional?

4. Apa saja macam dari uji toksisitas?


5. Apa saja hewan yang dapat dijadikan sebagai hewan coba dan syarat hewan coba?
Hewan uji
1. Syarat
Kesehatan hewan bebas dari penyakit
Disesuaikan dengan tujuan penelitian
Kebutuhan bahan makanan

(Bersahabat dengan hewan coba UGM)

2. Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi terhadap
toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai untuk itu
adalah mencit.Kekurangannya adalah kesulitan memperoleh darah dalam jumlah yang
cukup untuk rangkaian pemeriksaan hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat badannya
dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau dapt diambil
darahnya dalam jumlah yang relative besar.
Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi.Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara dibutuhkan 4
minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-hewan lain,
terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang menyerupai manusia. Postur
seperti ini memungkinkan untuk mencatat observasi penting terutama bila neurophaty
perifer merupakan manifestasi toksik.Kerugiannya perlu banyak hewan yang dibutuhkan
untuk uji fertilitas karena produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press)

Perlakuan teradap hewan coba sesuai dengan animal walfare


a. Manajemen Pemeliharaan Hewan Coba (mencit,tikus,kelinci)
Ruang Hewan Laboratorium
1) Persyaratan ruang
Standar ruang hewan percobaan adalah luas lantai ± 20 m 2 berbentuk segiempat siku-siku,
dengan tinggi 2,5-3,0 m. Ruang ini memberi kemudahan pemeliharaan lingkungan,
pengawasan hewan dan tidak mengganggu hewan yang dipiara di dalamnya
(Mangkoewidjojo, 2006).

2) Persyaratan kandang
Hewan laboratorium harus dikandangkan dengan kondisi secara biologis optimal dan
keperluan hidupnya memadai (nyaman fisik, fisiologis dan biologis).
Ada 2 sistem hygiene untuk perkandangan HL, yaitu:
§ Sistem terbuka
Tidak memerlukan persyararatan dan hygiene yang ketat untuk mencegah masuknya agen
infeksius.
§ Sistem tertutup
Dalam system Barier/SPF (Spesific Pathogen Free) hewan diisolasi secara “Kedap udara
luar” untuk mencegah agen infeksius (Mangkoewidjojo, 2006).
Ukuran panjang dan lebar kandang sebaiknya lebih panjang dari panjang tubuh hewan
termasuk ekornya. Agar tidak berdesakan, pengisian kandang hendaknya tidak lebih dari
20 ekor hewan coba berukuran kecil(Kusumawati,2004).
Lokasi kandang hendaknya tidak mengganggu kehidupan masyarakat sekitar sehingga
limbahnya tidak menimbulkan polusi.selain itu perlu dipertimbangkan pula kenyamanan
hidup hewan agar kandang bebas dari kebisingan , polusi, air yang menggenang dan
banjir. Konatruksi bangunan harus memiliki ventilasi yang baik sehingga suhu dan
kelembabannya sesuai dengan kebutuhan hewan (Kusumawati,2004).
Bisa dipelihara secara individual atau kelompok. Sebaiknya kandang dibuat dari logam
tahan karat, logam divalganisasi atau plastik.
Hewan Berat badan(g) Luas Tinggi
lantai/ekor(cm2) kandang(cm)
Mencit <10 39 12,7
10-15 52 12,7
15-20 77 12,7
>25 97 12,7
Tikus <100 110 17,8
100-200 148 17,8
200-300 187 17,8
300-400 258 17,8
400-500 387 17,8
>500 452 17,8
Kelinci (kg) (m2) (cm)
<2 0,14 35,6
2-4 0,28 35,6
4-5,4 0,37 35,6
>5,4 0,46 35,6
(Mangkoewidjojo, 2006)
3) Faktor lingkungan
Suhu, kelembaban relatif, kualitas udara harus dipertahankan stabil. Harus diperhitungkan
daya tampung maksimal ruang.
Hewan Suhu Kelembapan relatif
0
Mencit 18-26 C 40-70℅
0
Tikus 18-26 C 40-70℅
Kelinci 16-260C 60℅
Ventilasi ruang mampu mengalirkan udara 15-20 kali setiap menit. Penerangan bisa
diatur terang gelap 12 jam bergantian. Hewan harus terhindar dari suara bising baik yang
terdengar ataupun tidak (ultrasonik) (Mangkoewidjojo, 2006).

Pakan dan air minum


1) Pakan
Pakan bervariasi tergantung hewan itu. Hewan briding, hewan muda atau hewan yang
lebih tua. Pakan berbentuk pelet sering digunakan daripada tepung untuk mengurangi
perubahan komposisi dan diperlukan untuk membuat aus gigi.Pakan sebaiknya disimpan
pada suhu 15-160C dan dihabiskan paling lama 4-6 minggu.
Hewan g/hewan/hari
Mencit 3-4
Tikus 15-20
Kelinci 30-300(40g/kg bb)
(Mangkoewidjojo, 2006)

2) Air minum
Air minum tersedia tanpa dibatasi dan dapat diberikan dalam botol dengan pipa yang
dilengkapi ”klep” peluru bulat yang terletak di ujung pipa. Untuk mencegah pertumbuhan
kuman, air minum dapat diasamkan atau dikhlorisasi (Mangkoewidjojo, 2006).

Alas tidur dan kebersihan


1) Alas tidur
Alas tidur harus dapat menyerap kebasahan dan bau dengan baik, serta bebas dari bahan
kimia pencemar. Meskipun alas tidur harus bersifat higroskopis, tetapi tidak boleh sampai
menimbulkan dehidrasi terutama pada anak mencit/tikus. Alas tidur harus lunak, tidak
tajam, murah, mudah diganti, dan dapat digunakan untuk sarang. Bahan-bahan alas tidur
yang bermanfaat misalnya kayu pasahan, sekam, tongkol jagung yang digerus. Untuk
hewan SPF harus disterilkan dengan autoklaf (Mangkoewidjojo, 2006).
2) Pembersihan dan disinfeksi
Disinfektan yang dapat bekerja baik misalnya:
Na hipochlorid 0,1 ℅, Larutan etanol 25 ℅, Larutan Na hidroksida 30 mM, Larutan
glutaraldehid 0,01 ℅.
Kandang, rak kandang, botol, dan alat lain harus dibersihkan paling sedikit sekali
seminggu. Alas tidur harus diganti kurang lebih dua kali seminggu (Mangkoewidjojo,
2006).

a. Manajemen pemeliharaan (Mangkoewidjojo,1988)


hewan coba: ayam&itik
1) KANDANG
§ Jika dipelihara di dalam laboratorium dalam jumlah sedikit ditempatkan dalam kandang
kecil atau dalam “batere”.
§ Kandang batere mempunyai lantai dari anyaman kawat dan miring sehingga setiap telur
yang keluar menggelinding menjauhi ayam.
§ Terdapat tempat air pada satu sisi dan tempat makan di sisi lain.
§ Kandang dapat menampung sampai 6 ekor dewasa, tergantung pada besarnya.
§ Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi, lebih baik menggunakan kandang dari kayu
atau bambu.
§ Jika ayam dikandangkan di dalam suatu bangunan, tinja dikumpulkan di baki yang
digantungkan di bawah kandang.
§ Teknik pengandangan menggunakan deep litter dengan atap dan ventilasi merupakan
suatu cara yang kurang cocok untuk itik karena itik menghasilkan tinja yang sangat encer.
§ Untuk kandang deep litter yang sering menggunakan kawat sebaiknya jangan sampai
menonjol sehingga dapat melukai ayam/ itik.
§ Untuk pemeliharaan ayam dan itik yang di laboratorium jangan sampai ada hewan liar
yang dapat masuk.

CARA MEMBERSIHKAN KANDANG


§ Baki yang digantungkan di bawah harus dibersihkan dan disikat setiap hari atau setiap
tinja yang terkumpul pada kawat harus segera disikat supaya tidak terbentu kerak yang
keras.
§ Kandang harus steril, dengan memasaknya dalam bak besar sesudah dipakai dan
sebelum ditempati ayam ataupun itik baru.
§ Jika itik dipelihara di laboratorium, cairan tinja tersebut harus disemprot setiap hari
untuk menghilangkan tinja sebelum kering dan membentuk kerak keras. Sehingga lantai
perlu pembuangan air yang sangat baik agar lantai cepat kering dan kotoran mudah
dibersihkan.

2) ALAT-ALAT MAKAN DAN MINUM


§ Itik minum banyak air dibandingkan dengan ayam.
§ Itik menggunakan air untuk mencelupkan makanannya sehingga air cepat kotor dan
tempat air harus dibersihkan tiap hari lalu diisi dengan air bersih.
§ Ayam yang dikandangkan dalam kandang kawat “batere” untuk tempat makan dan
minumnya harus cukup besar untuk keperluan ayam, dan mudah dilepas untuk
dibersihkan. Air harus disediakan terus-menerus.

3) PAKAN
Makanan yang harus diberikan untuk mempertahankan kondisi fisik ayam dan itik yang
baik, produksi telur, dan daya tetas normal, ransum makanan harus mengandung semua
zat makanan esensial. Umumnya lebih murah membeli makanan daripada membeli alat
untuk membuat pellet dan berbagai bahan makanan, serta menghabiskan waktu untuk
membuat ransum di bagian penelitian. Kandungan protein dalam makanan ayam dan itik
yang diinginkan sangat erat hubungannya dengan kandungan energi. Keperluan protein
untuk unggas naik jika kandungan energi makanan meningkat. Itik dan anak itik dapat
hidup baik dengan makanan mengandung protein 2-3% lebih rendah dibanding dengan
kadar yang diperlukan untuk ayam dan anak ayam. Seekor ayam dan itik dewasa makan
85-115 gram tiap hari.

4) CARA MENTERNAKKAN (Mangkoewidjojo,1988)


§ Biasanya tidak perlu menternakkan ayam atau itik di laboratorium, kecuali ada
persyaratan untuk memperoleh kualitas tinggi, misalnya telur fertil hamper SPF atau SPF.
§ Jika perlu menternakkan unggas di laboratorium, lebih baik memelihara kelompok
kecil. Satu kelompok terdiri dari satu jantan dan 9-15 betina tergantung besarnya bangsa
unggas yang dipakai makin kecil jumlahnya.
§ Telur untuk ayam yang ditetaskan secara alami, baik bangsa besar maupun ayam kate
mudah mengeram. Sedangkan untuk telur itik biasanya dierami oleh entok.
§ Telur ayam menetas pada hari ke-21, telur itik pada hari ke-28, dan telur entok pada
hari ke-35 pengeraman.

5) PENGENDALIAN PENYAKIT
Prinsip yang membantu kesehatan dan efisiensi tubuh, yaitu : keseimbangan badan, dan
kekuatan dan ketegapan biakan, cukup makanan, lingkungan yang cocok, pemberantasan
dan pengendalian penyakit menular (Mangkoewidjojo,1988).

b. Sebelum atau selama penelitian


Hewan laboratorium yang akan digunakan untuk penelitian harus yang memiliki kualitas
standart agar hasil penelitian valid. Oleh karena itu harus diperhatikan dan dipenuhi
persyaratan standar meliputi fasilitas hewan laboratorium, ransum makanan,
perkembangbiakan dan reproduksi, pemeliharaan dan lingkungan penelitian juga harus
disebutkan secara khusus kondisi suhu, cahaya, kelembapan udara ruang penelitian
Sebelum memulai eksperimen, hewan laboratorium harus diamati, dicatat penampilan
hewan sehari-hari pada umumnya catatan ini mencakup
§ Berat badan, umur, kelamin, konsumsi makanan, kondisi waktu dtang dan tanggal
kedatangan
§ Kesehatan hewan
§ Pengobatan yang pernah diberikan (jika ada)
§ Pemasok hewan
Hewan harus diamati dengan teratur selama penelitian berlangsung. Sewaktu hewan dapat
mengalami peubahan fisik, fisiologik atau metabolika, kebiasaan sehari-hari bahkan
kematian. Semua data harus dicatat. Data yang penting meliputi:
§ Kelainan umum, fisik, tingkah laku, konsumsi makan dan minum
§ Kelainan mata baik diperiksa dengan atau tanpa alat
§ Kulit dan rambut
§ Mulut, gigi, tenggorkan (pada hewan besar)
§ Adanya lesi dan benjolan
§ Adanya infeksi, abses
§ Kesakitan,dare, batuk, muntah
§ Leleran dari mata hidung atau dari bagian badan yang lain
Lebih baik jika diambil sampel darah, urin, tinja untuk mengevaluasi pengaruh prosedur
uji. Pengambilan sampel lebih baik dilakukan pada siang hari untuk menghindari
perubahan karena ritme diurnal (Mangkoewidjojo, 2006).
Apabila hewan mati atau sekarat sebalum penelitian berakhir maka harus dinekropsi dan
diambil sampel jaringannya untuk pemeriksaan lebih lanjut sesuai dengan protokol
penelitian, termasuk pemeriksaan histopatologik(Mangkoewidjojo, 2006).
Pada akhir eksperimen, dokter hewan atau orang berkompeten harus memutuskan hewan
dibiarkan hidup atau harus dieutanasi. Tidak boleh ada hewan dibiarkan hidup jika
sekiranya menunjukkan nyeri permanen atau menderita, hewan tidak dibenarkan
digunakan lebih dari satu kali eksperimen yang dapat menimbulkan nyeri atau menderita
(Mangkoewidjojo, 2006).

Cara handling dan restraint


§ Mencit: Pertama-tama tempatkan pada
permukaan kasar agar mencit dapat
berpegangan, lalu untuk mengambilnya,
tarik mundur ekornya dengan pelan dan
lembut. Pegang bagian kulit longgar di
belakang leher dengan ibu jari dan
telunjuk, sementara jari kelingking
membelit ekor, seperti ditunjukkan oleh
gambar di samping (Nichols, 2006).
§ Tikus: Genggam bagian bahu, dengan ibu jari dan telunjuk pada leher sehingga kepala
tikus menghadap atas.
§ Marmut: Dengan tangan kanan, senggam daerah bahu sehingga jemari mengelilingi
dada. Sementara tangan kiri mensupport bagian bawah tubuh marmut.
§ Kelinci Jangan pernah membawa kelinici dengan memegang telinganya. Pegang bagian
kulit longgar pada belakang leher dan tangan kiri mensupport bagian bawah tubuh
kelinci. Atau cara menggendongnya dengan menempatkan kepala kelinci diantara siku
dan bagian tubuh kita, sementara tangan hingga pergelangan menjaga tubuhnya, dan
dengan tangan kiri memegang bagian kaki. Cara ini membuat kelinci diam dan tidak
meronta.
· Ayam dan itik: Anak ayam dan itik harus dipegang erat tetapi hati-hati dengan
meletakkan tangan dipunggung dan melingkari badan. Jika unggas dewasa atau sedang
tumbuh ada di dalam kandang, harus ditangkap dengan menggunakan kedua tangan.
Untuk menangkap tangan ditempatkan di kedua sisi ungas dengan ibu jari di atas
sayapuntuk menekan sayap dan mencegah kibasan dari sayap. Unggas harus dipegan erat
tetapi hati-hati. Unggas yang dipelihara di dalam kandang harus digiring perlahan-lahan
ke satu sisi dengan membuat sekat di satu sudut. Dengan unggas menghadap ke arah
pemegang, satu tangan ditempatkan di bawah dada dan memegang kaki erat-erat. Tangan
lain diletakkan di atas punggung untuk mencegah unggas berkibas-kibas
(Mangkoewidjojo,1988)
§ Kucing: Pegang kaki depan kucing dengan tangan kanan sementara tubuhnya “dikunci”
dengan menempatkan diantara siku dan bagian tubuh kita. Tangan kiri emngontrol kepala
denga memegang mandibula (Sonsthagen, 1991).

Penandaan (identifikasi) hewan laboratorium


Beberapa cara penandaan hewan lab. Dilakukan untuk mengetahui kelompok hewan yang
diperlakukan berbeda dengan kelompok lain. Penandaan ini dapat dilakukan secara
permanen untuk penelitian jangka panjang (kronis), sehingga tanda tersebut tidak mudah
hilang. Yaitu : dengan ear tag (anting bernomor), tatoo pada ekor, melubangi daun telinga
dan elektronik transponder.
Pengambilan darah
Pada umumnya pengambilan darah terlalu banyak pada hewan kecil dapat menyebabkan
shok hipovolemik, stress dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Tetapi bila dilakukan
pengambilan sedikit darah tetapi sering, juga dapat menyebabkan anemia. Pada umumnya
pengambilan darah dilakukan sekitar 10% dari total volume darah dalam tubuh dan dalam
selang waktu 2-4 minggu. Atau sekitar 1% dengan interval 24 jam. Total darah yang
diambil sekitar 7,5% dari bobot badan. Diperkirakan pemberian darah tambahan
(exsanguination) sekitar setengah dari total volume darah. Contohnya: Bobot 25g, total
volume darah 1,875 ml, maksimum pengambilan darah 0,1875 ml, maka pemberian
exsanguination 0,9375 ml.

Pengambilan darah dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu:
- vena lateral dari ekor
- sinus orbitalis mata
- vena saphena
- langsung dari jantung
- vena pectoralis externa yang ada di bagian ventral sayap (unggas)
Apabila hewan mati atau sekarat sebalum penelitian berakhir maka harus dinekropsi dan
diambil sampel jaringannya untuk pemeriksaan lebih lanjut sesuai dengan protokol
penelitian, termasuk pemeriksaan histopatologik(Mangkoewidjojo, 2006).
Pada akhir eksperimen, dokter hewan atau orang berkompeten harus memutuskan hewan
dibiarkan hidup atau harus dieutanasi. Tidak boleh ada hewan dibiarkan hidup jika
sekiranya menunjukkan nyeri permanen atau menderita, hewan tidak dibenarkan
digunakan lebih dari satu kali eksperimen yang dapat menimbulkan nyeri atau menderita
(Mangkoewidjojo, 2006).

c. Euthanasi
1. Metode yang digunakan harus berperikemanusiaan
2. Tidak berpengaruh pada pemeriksaan organ atau jaringan yang memang tertulis dalam
protokol eksperimen
3. Metode harus terpecaya, efektif, ekonomis, mudah dilaksanakan dan harus aman bagi
petugas laboratorium
4. Harus dilakukan oleh petugas yang mendapat perlatihan yang memadai
5. Hewan harus ditangani dengan hati-hati untuk meminimalkan penderitaan “berteriak”
atau teramon yang dapat menyebabkan takut hewan lain
Metode yang dipakai pada euthnasi adalah metode fisik-mekanik atau metode farmako-
kimia termasuk inhalasi. Sesudah hewan mati dilakukan mikropsi jika eksperimen perlu
pemeriksaan lebih lanjut, sampel jaringan diambil dan dofiksas dalam formalin bufer 10%
untuk pemeriksaan histopatologik. Pemeriksaan histopatologik sangat penting dalam
ekspentasi mengevaluasi uji keamanan suatu obat/uji toksikologik, karena bukti
morfologik jaringan dalam proses patologik merupakan perubahan paling konsisten yang
dapat diidentifikasi akibat prosestoksik jaringan untuk pemeriksaan lain non-
histopatologik, disiapkan sesuai prosedur yang diperlukan tanpa disfiksasi dalam formalin
(Mangkoewidjojo, 2006).
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Departemen RI. 2006. Pedoman Nasional Etik
Penelitian Kesehatan Suplemen II Etik Penggunaan Hewan Coba. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
6. Apa saja prinsip etika dalam menggunakan hewan coba ?

Demi tercapainya kesejahteraan hewan, maka prinsip hewan coba selayaknya


dilakukan 3R yaitu:
a. Replacement: suatu usaha meminimalkan penggunaan hewan coba yang dapat
diganti dengan media lain seperti media kultur atau sejenisnya maupun dengan
metode statistik,
b. Reduction: usaha meminimalkan jumlah atau pengurangan pemakaian hewan
coba, dan
c. Refinement: perlakuan yang pantas terhadap semua organisme agar bebas dari 5R
yaitu rasa lapar dan haus (hunger & thirst), rasa sakit (discomfort pain), rasa takut
dan tekanan (injury fear & distress), rasa bebas untuk
mengekspresikan/menunjukkan perilaku alamiahnya (to express natural behavior)
serta pengkayaan lingkungan.
Klasifikasi Animal Model
Exploratory (penyelidikan) : untuk memahami mekanisme biologis, apakah
termasuk mekanisme dasar yang normal atau mekanisme yang berhubungan
dengan fungsi biologis yang abnormal.
Explanatory (penjelasan) : untuk memahami lebih banyak masalah biologis
yang kompleks.
Predictive (perkiraan) : bertujuan untuk menentukan dan mengukur akibat dari
perlakuan, apakah sebagai cara untuk pengobatan penyakit atau untuk
memperkirakan tingkat toksisitas suatu senyawa kimia yang diberikan.
Syarat Hewan Coba
 Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas dari
mikroorganisme patogen, karena adanya mikroorganisme patogen pada tubuh
hewan sangat mengganggu jalannya reaksi pada pemeriksaan penelitian,
sehingga dari segi ilmiah hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh
karenanya, berdasarkan tingkatan kontaminasi mikroorganisme patogen,
hewan percobaan digolongkan menjadi hewan percobaan konvensional,
specified pathogen free (SPF) dan gnotobiotic.
 Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik. Hal
ini ada hubungannya dengan persyaratan pertama.
 Kepekaan terhadap sesuatu penyakit. Hal ini menunjukkan tingkat
suseptibilitas hewan terhadap penyakit.
 Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan sifat
genetiknya.
(PerKBPOM, 2014).

Anda mungkin juga menyukai