Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biogi dan untuk memeperoleh data dosis respon yang khas dari
sedian uji.data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada
manusia, sehingga dapat ditentukan dosis pengujiannya demi keamanan
manusia.

Uji toksisitas merupakan uji yang dilakukan untuk memperkirakan resiko


yang berkaitan dengan pemaparan zat kimia dalam kondisi khusus karena
kita ketahui bahwa tidak ada satupun zat kimia yang dapat dikatakan aman
(bebas resiko) sepenuhnya, karena setiap zat kimia akan bersifat toksik
pada tingkat dosis tertentu (Lu, 2006).

Bahaya akibat pemaparan suatu zat pada manusia dapat diketahui dengan
mempelajari efek kumulatif dosis yang didapat menimbulkan efek toksik
pada manusia, efek karsinogenik, teragonik, dan mutangenik. Pada
umumnya informasi tersebut dapat diperoleh dari percobaan menggunakan
hewan uji sebagai model yang dirancang pada serangkaian uji toksisitas
nonklinik secara in vivo meliputi uji toksisitas akut oral, toksisitas
subkronis oral, dan toksisitas kronis oral, teratogenitas,sensitisasi kulit,
iritasi mata, iritasi akut dermal, iritasi mukosa vagina, tokisistas akut
dermal, dan toksisitas subkronis dermal. Pemilihan uji tersebut tergantung
dari tujuan penggunaan zat tersebut. Apabila penggunaanya ditujukan
untuk pemakaian secara topikal atau dermal, dilakukan uji toksisitas

1
dermal untuk mengetahui kemungkinan terjadi risiko akibat pemaparan
pada manusia. Uji toksisitas dermal berdasarkan waktu jenisnya bervariasi
yaitu uji toksisitas akut dermal, uji toksisitas subkronik dermal, dan uji
toksisitas kronik dermal, dan uji iritasi.

Uji toksisitas dapat dilakukan dengan dua cara, yakni uji kualitatif dan uji
kuantitatif, uji kualitatif biasanya dilakukan atas dasar gejala penyakit
yang timbul. Hal ini akibat dari tidak spesifiknya gejala atau penyakit
akibat suatu keracunan.

Respon tubuh terhadap racun disebut tidak spesifik karena tidak ada atau
belum didapat gejala yang khas (pathognomonic) bagi setiap keracunan,
dengan beberapa pengecualian, oleh Karena itu, sering kali keracunan
diklasifikasikan atas gejalanya yang timbul seperti Fibrosis penyebab atau
racunnya SiO2,Fe,CO, Granuloma penyebabnya Be, bakteri, Demam
penyebabnya Mn, Zn, Alergi penyebabnya Ni,Cr, TDI, Mutagenesis
penyebabnya radiasi pengion, Karsinogenesis penyebabnya Aminodifenil,
Teratogenesis penyebabnya As, F, metil-Hg, TEL, benzana, dan keracunan
sistemik penyebabnya Pb, Cd, Hg, F, Va. Keracunan sistemik racun
sengaja dibuat untuk meningkatkan ekonomi, yakni pestisida yang disebut
juga racun ekonomik.

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan


yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana memahami uji
toksisitas., perbedaan toksisitas akut, toksisistas subkronis, dan toksisitas
kronis yang merupakan respon tubuh terhadap bahaya akibat pemaparan
suatu zat pada manusia dapat diketahui dengan mempelajari efek
kumulatif dosis yang didapat menimbulkan efek toksik pada manusia, efek
karsinogenik, teragonik, dan mutangenik

C. Tujuan
1. Tujuan umum :
Untuk mengetahui uji toksisitas sebagai respon tubuh terhdap bahaya
pemaparan zat pada manusia

2. Tujuan khusus :
a. Untuk mengetahui pengertian uji toksisitas
b. Untuk mengetahui perbedaan uji toksiistas akut
c. Untuk mengetahui perbedaan uji toksisitas subkronis
d. Untuk mengetahui perbedaan uji toksisitas kronis

3
A. Manfaat

a. Bagi mahasiswa :
Agar mahasiswa mampu memahami uji toksisitas dan perbedaan
toksisitas sebagai respon tubuh terhadap bahaya pemaparan zat
pada manusia

b. Bagi institusi :
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas mengenai
pengertian uji toksisitas dan perbedaan toksisitas.

c. Bagi masyarakat :
Agar masyarakat lebih mampu mengerti dan memahami tentang uji
toksisitas dan perbedaan uji tersebut. data yang diperoleh dapat
digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya
sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga
dapat ditentukan dosis pengujiannya demi keamanan manusia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Toksikologi
Toksikologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang efek-
efek merugikan (toksik) dari suatu zat (Schmitz, 2008). Adapula yang
mendefenisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan
mekanisme efek toksik dari berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan
sistem biologik lainnya (Lu, 2006). Toksikologi tidak hanya
mempelajari sifat-sifat racun saja, tetapi juga mempelajari tentang
keamanan setiap zat kimia yang masuk kedalam tubuh. Toksikologi
juga mempelajari efek samping pada manusia akibat dari pemaparan
obat dan zat kimia sehingga dengan mempelajari toksikologi
diharapkan mampu melakukan evaluasi keamanan zat yang akan
digunakan untuk pengobatan (Schmitz, 2008).

B. Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang
khas dari sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara
mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/sediaan pada
manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif
dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada
manusia (Anonima, 2014).

Uji toksisitas merupakan uji yang dilakukan untuk memperkirakan


resiko yang berkaitan dengan pemaparan zat kimia dalam kondisi
khusus karena kita ketahui bahwa tidak ada satupun zat kimia yang

5
dapat dikatakan aman (bebas resiko) sepenuhnya, karena setiap zat
kimia akan bersifat toksik pada tingkat dosis tertentu (Lu, 2006).

Tujuan akhir dari uji toksisitas ini berkaitan dengan nilai keamanan
suatu zat kimia dalam penggunaannya pada manusia, dan idealnya data
yang dikumpulkan seharusnya berasal juga dari manusia itu sendiri.
Tetapi, karena hambatan tidak memungkinkan perlakuan langsung
pada manusia, maka uji toksikologi dilakukan pada binatang, hewan
sel tunggal dan sel kultur (Anonima, 2000).

Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kategori (Lu, 2006):

1. Uji Toksisitas Akut


Uji yang dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji
sebanyak satu kali, dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji Toksisitas Jangka Pendek (Subakut)


Uji yang dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-
ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu selama jangka
waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan.

3. Uji Toksisitas Jangka Panjang (Kronik)


Uji yang dilakukan dengan memberikan zat kimia secara berulang-
ulang selama masa hidup hewan percobaan.

Jadi, Uji toksisitas dapat dibagi ke dalam tiga kelompok menjadi uji
akut atau uji tingkat I, uji subkronik atau uji tingkat II, dan uji kronik
atau uji tingkat III. Penyebutan uji tingkat I, II, III menjadi lebih
relavan karena dalam tahun pertama juga sudah dilakukan uji kronis

6
seperti karsinogenisitas, tetapi pada bakteri. Oleh karena itu, istilah uji
akut sudah jarang digunakan lagi, kecuali kalau memang efek akut
yang ingin diketahui.

Uji toksisitas tingkat I sering kali disebut sebagai uji jangka pendek
atau short term test (STT), dilakukan dalam tahun pertama. Maksud uji
tahun pertama terutama ditujukan pada cara penanganan material
xenobiotic tadi. Uji toksisitas tingkat II dilakukan dalam 2,5 tahun
berikutnya dengan maksdu mengarakterisasi toksisitas xenobiotiknya.
Uji toksisitas tingkat III atau uji tingkat terakhir biasanya dilakukan
untuk menilai kemungkinan dampak pada manusia (Williams dan
Burson, 1985; Duffus, 1980).

C. Uji Tingkat I

a. Definisi
Toksisitas akut adalah efek berbahaya yang terjadi segera setelah
terpapar dosis tunggal atau berulang dalam waktu 24 jam (Priyanto,
2009). Sedangkan uji toksisitas akut itu adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah
pemberian sediaan uji yang diberikan dalam dosis tunggal dalam
waktu 24 jam (Anonima, 2014).

b. Prinsip
Prinsip uji ini adalah pemberiaan sediaan uji dalam beberapa tingkatan
dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis perkelompok (Anonima, 2014). Uji toksisitas akut ini dirancang
untuk menetukan efek yang terjadi dalam periode waktu yang singkat
setelah pemberian dosis uji (Timbrell, 2002).

7
c. Tujuan
Penelitian toksisitas akut ini bertujuan mengidentifikasi bahan kimia
yang toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya terhadap
manusia bila terpajan. Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan
nilai median Lethal Dose (LD50) dari suatu toksikan. LD50 bahan obat
mutlak harus ditentukan karena nilai ini digunakan dalam penilaian
resiko manfaat dan daya racun yang dinyatakan sebagai indeks terapi
obat. Dimana makin besar indeks terapi, maka makin aman obat
tersebut digunakan (Soemardji et al, 2002).

Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut sebenarnya bukan hanya untuk


menentukan dosis letal 50%, mengetahui mekanisme kerja dan target
organ dari toksik yang diuji, tetapi juga untuk (Priyanto, 2009) :

1. Menentukan range dosis (interval dosis) untuk uji berikutnya (uji


farmakologi, toksisitas subakut, subkonis dan toksisitas jangka panjang).
2. Untuk mengklasifikasi zat uji, apakah masuk kategori praktis tidak toksik,
supertoksik atau yang lain.
3. Mengindentifikasi kemungkinan target organ atau sistem fisiologi yang
dipengaruhi.
4. Mengetahui hubungan anatara dosis dengan timbulnya efek seperti
perubahan prilaku, koma, dan kematian.
5. Mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat untuk
membantu diagnosis adanya kasus keracunan.
6. Untuk memenuhi persyaratan regulasi, jika zat uji akan dikembangkan
menjadi obat.
7. Mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, cara pemberian dan faktor
lingkungan terhadap toksisitas suatu zat.
8. Mengetahui variasi respon antar spesies dan antar strain (hewan, mikroba),
serta memberikan informasi tentang reaktivitas suatu populasi hewan.

8
Uji tingkat pertama terdiri atas beberapa perlakuan yakni :
 Uji dosis respons untuk mencari LD/LC dan kemungkinan
berbagai kerusakan organ,
 Uji iritasi mata dan kulit, dan
 Skrining pertama terhadap mutagenesitas (SAL, ABS, SCE,
dan MOLY)

Uji dosis dan respons untuk mencari LD/LC dilakukan sesuai sifat
kimiawi da fisika xenobiotic serta pemilihan organisme uji (derajat
rendah) yang paling relavan digunakan dipandang dari segi portal
entri. Uji dapat dilakukan terhadap organisme akuatik atau terrestrial,
tergantung relavan. Dosis uji divariasikan dengan perkiraan
konsentrasi xenobiotic yang ada dalam media dan standar yang berlaku
bagi xenobiotic dalam lingkungan (kalau ada). Uji dilaksanakan dalam
waktu 24-96 jam. Respons tentunya kematian atau bila organisme
sangat kecil, hanya imoblisasi. Uji dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama untuk perkiraan rentang dosis kasar letal LD/LC 50/100 yang
dicari. Uji dilakukan dalam duplikat atau triplikat. Penentuan LD/LC
dilakukan dengan cara least square ataupun dengan metode probit.
Program perhitungan dengan kedua cara bias dibuat atau dibeli,
sehingga perhitungan tidak perlu dilakukan secara manual lagi ( Shaw
dan Chadwick, 1998; Hodgson dan Levi, 1997).

d. Lethal Dose 50 (LD50)


Lethal Dose 50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna
menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan menyebabkan
kematian atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan
percobaan setelah perlakuan (Hodgson, 2000). Biasanya, makin kecil nilai
LD50 maka semakin toksik senyawa tersebut. Demikian juga sebaliknya,
semakin besar nilai LD50 maka semakin rendah toksisitasnya. Potensi

9
toksisitas akut senyawa pada hewan percobaan dibagi menajadi beberapa
kelas, adalah sebagai berikut (Priyanto, 2009) :

Tabel 1. Klasifikasi Zat Berdasarkan Nilai LD50 nya


No Kategori Nilai LD50
1 Supertoksik < 5 mg/kg BB
2 Amat sangat toksik 5 – 50 mg mg/kg BB
3 Sangat toksik 50 – 500 mg/kg BB
4 Toksik sedang 0,5 – 5 g/kg BB
5 Toksik ringan 5 – 15 g/kg BB
6 Praktis tidak toksik >15 g/kg BB

Iritasi mata dan kulit juga dilakukan pada uji tingkat satu, dikenal
sebagai Draize test. Hewan uji yang paling disenangi adalah kelinci
albino. Zat yang akan diuji dimaksukan pada salah satu matanya,
sedangkan mata yang lain berfungsi sebagai control. Pemantauan
dilakukan setelah 24 jam, 48 jam, dan 96 jam. Hasil dinilai dari gejala
yang timbul pada mata, seperti edema, kekeruhan kornea, reaksi
terhadap cahaya, dan pelebaran vaskuler dan kemerahan.

Iritasi dermal atau kulit bias dilakukan langsung pada kulit. Yang
dicari adalah iritasi primer, sensitisasi kulit, fotoksisitas, dan
fotosensitisasi. Untuk uji iritasi, hewan uji terpilih adalah kelinci
albino juga. Uji dilakukan pada kulit punggungnya, evaluasi dilakukan
setelah 24, 48, dan 96 jam. Keparahan yang terjadi diberikan skor
secara numeric. Uji dapat juga dilakukan pada kulit telinga tikus atau
mencelupkan seluruh tubuh hewan kedalam cairan uji.

Uji sensitisasi kulit dilakukan untuk melihat apakah xenobiotic dapat


menganggu system imunitas. Orang menjadi tersensitisasi apa bila
pada kontak kedua dan seterusnya reaksi tubuhnya akan menjadi lebih

10
hebat terhadap racun tadi. Reaksi yang terjadi adalah reaksi antara
antigen dan antibody. Hewan uji biasanya adalah mencit (guinea pig)
yang diberi xenobiotic tiga hari sekali secara regular selama dua
minggu, dengan selang istirahat dua minggu. Evaluasi dilakukan pada
setiap 24 jam, dengan cara yang sama seperti pada uji iritasi.

D. Uji Tingkat II

Uji tingkat II mewakili uji subkronik. Waktu esei biasanya dilakukan


selama 30 hari untuk aplikasi pada kulit , 30-90 hari untuk studi
inhalasi, dan 90 hari untuk uji oral. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan nilai NOEL, atau NOAEL, dan seterusnya. Dosis yang
diujikan divariasi menjadi 3-4 variasi diharapkan dosis tinggi akan
menyebabkan kematian, sedangkan yang ringan akan menunjukan
NOEL. Hewan uji biasanya tikus, anjing, atau kera dilakukan kepada
keda jenis kelamin. Pada setiap level dosis digunakan sekitar 10-20
ekor jantan dan 10-20 ekor betina. Dalam uji seperti ini perlu
diperhatikan factor-faktor lingkungan penganggu dan perlu sangat hati-
hati. Observasi harus sering karena akan banyak melihat kelainan.
Observasi dilakukan terhadap berbagai organ tubuh, mulai dari
mortalitas, morbiditas, mata, konsumsi makan, berat badan, respons
neurologis, perilaku tidak normal, respirasi, elektro-kardiogram
(EKG), elektro-encefalogram (EEG), hematologi, biokimia darah,
analisi urine, dan tinja, serta kerusakan organ secara mikroskopis.
Semuanya ino dilakukan untuk :
 Skrining kedua terhadap mutagenisitas
 Uji teratology dan uji reproduktif
 Uji farmakokinetik
 Uji perilaku

11
 Uji interaksi, seperti sinergisme, antagonism, dan aditivisme,
semuanya diselesaikan dalam waktu dua setengah tahun

E. Uji Tingkat III

Uji tingakat tiga atau uji kronis dilakukan dalam jangka pamjang,
melebihi separuh usia hidup hewan percobaan, bahkan lebih dari satu
generasi. Efek suatu zat disebut kronis, apa bila dosis yang masuk
masih dalam unit mg/kg BB/h. efeknya dapat bervariasi dari yang
sangat ringan sampai sangat berat/fatal. Yang penting dilihat dalah
rentang dosis yang menyebabkan efek ringan dan berat. Bila rentang
itu sempit, maka zat tadi itu berbahaya, sebaliknya dengan rentang
yang lebar. Sebagai contoh adalah CO rentangnya antara 100 mg/m3-
250 mg/m3, sedangkan untuk kafein, rentangnya adalah anatara 100
mg- 10 gram. Maka, kafein dianggap kurang berbahaya.

Uji terpenting disini adalah uji karsinogenisitas, teratogenisitas, dan


reproduksi, kesemuanya ini untuk menguji :
 Mutagenesitas pada mamalia
 Karsinogenesitas terhadap tikus selama dua tahun
 Farmakokinetik pada manusi, bila relavan
 Klinis pada manusia
 Pengujian suatu zat, tergantung pada penggunaanya dan
kemungkinan eksposur yang dapat diterima
manusia/masyarakat. Umumnya, sebagian atau seluruh uji
dapat dikenakan terhadap suatu xenobiotic.

Untuk dapat melakukan ini perlu diperhatikan beberapa hal sebagai


berikut :

- Cari spesies yang cukup sensitive dan


- Ambil spesias dengan mutasi spontan yang moderat (1,5%)

12
Mutagenisis ini mendasari semua proses perubahan genetic, baik itu
pada sel genetic sendiri, sel somatic, maupun sel embrio. Hanya hasil
akhirnya yang berbeda. Bila terjadi mutasi pada sel gentik, maka akan
terjadi mutan pada sel somatic akan terjdi kanker dan pada sel embrio
akan terjadi monster atau cacat bawaan. Xenobiotic sering kali disebut
berbeda, yakni mutagen, karsinogen, dan teratogen.

Uji teratogenesitas biasa dilakukan pada mamalia,dan jenis pakis/ferns,


untuk karsinogenesis dilakukan pada mamalia, kedua jenis kelamin,
pada berbagai fase pertumbuhan (karena dikenal transplasental
karsinogenesis), dan berbagai portal entri. Telah dijelaskan pula uji
kronis pada uji tingkat I atau SST,

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa uji toksisitas lengkap ini
akan mahal dan memerlukan waktu cukup lama. Sekalipun demekian
hal ini akan sangat diperlukan bila eksposur suatu xenobiotic sangat
luas, sehingga memapari masyarakat banyak.

Diperlukan karena distribusi xenobiotic dalam organ dapat bersifat


local saja pada tempat ekspontur, ataupun beredar keselurh tubuh lewat
peredaran darah menuju organ target, sehingga distribusinya disebut
sismetik.

Beberapa contoh xenobiotic sedemikian adalah CCL= degreaser


(penghilang lemak) pelarut lemak, ia akan menimbulkan efek local
dalam bentuk iritasi, sedangkan efek sistematiknya berupa depresi
susunan saraf (SSP). Ia pun dapat menimbulakn efek kronis berupa
kerusakan hati dan ginjal.

13
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biogi dan untuk memeperoleh data dosis respon
yang khas dari sedian uji.data yang diperoleh dapat digunakan
untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji
tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis pengujiannya demi keamanan manusia.

Uji toksisitas dapat dibagi ke dalam tiga kelompok menjadi uji


akut atau uji tingkat I, uji subkronik atau uji tingkat II, dan uji
kronik atau uji tingkat III. Penyebutan uji tingkat I, II, III
menjadi lebih relavan karena dalam tahun pertama juga sudah
dilakukan uji kronis seperti karsinogenisitas, tetapi pada
bakteri. Oleh karena itu, istilah uji akut sudah jarang digunakan
lagi, kecuali kalau memang efek akut yang ingin diketahui.

14

Anda mungkin juga menyukai