Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh :
Frayoga, S.Tr., Kep.

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN


STIKES SUMBER WARAS
2023
BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1 Definisi Apendisitis


Penyakit usus buntu adalah saluran usus yang terjadinya pembusukan dan menonjol
dari bagian awal usus besar atau seku. Penyakit usus buntu timbul ketika usus buntu
tersumbat benda keras didalam tinja atau bengkaknya cabang kelenjar getah bening pada usus
yang dapat terjadi oleh karena berbagai macam infeksi. Penyakit usus buntu sering pula
disebut apendisistis atau ujung usus.
Penyakit usus buntu terjadi karena tersumbatnya muara usus buntu oleh berbagai hal
seperti cacing, kotoran penderita yang mengering atau biji jambu batu. Apendisitis adalah
penyakit pembedahan abdominal yang paling umum dan merupakan inflamasi apendiks
vermiform akibat adanya obstruksi.

1.2 Prevalensi Apendisitis


Kejadian apendisitis di indonesia menurut data yang dirilis oleh Kementerian
Kesehatan RI pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan persentase 3.36% dan
meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase 3.53%. Apendisitis
merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua di Indonesia pada rawat inap di rumah
sakit pada tahun 2009 dan 2010.
Penelitian Indri U, dkk (2014), mengatakan risiko jenis kelamin pada kejadian penyakit
apendisitis terbanyak berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 72,2% sedangkan berjenis
kelamin perempuan hanya 27,8% [6] . Hal ini dikarenakan laki-laki lebih banyak
menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja dan lebih cenderung mengkonsumsi
makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi
pada usus yang bisa menimbulkan masalah pada sistem pencernaan salah satunya yaitu
apendisitis.
2.1 Klasifikasi Apendisitis
A. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut
ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney.
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat.
B. Apendistis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut
apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya
pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

2.2 Etiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan
penekanan pembuluh darah lumen dan menyebabkan suplai darah ke saluran
apendiks menurun. Penurunan suplai darah ini menyebabkan iskemia jaringan
pada apendiks yang berujung pada kematian sel (nekrosis)/ kerusakan jaringan.
Selain obstruksi/penyumbatan lumen apendiks, apendisitis juga dapat
disebabkan oleh infeksi kuman dari usus seperti E. Coli. Infeksi ini menyebabkan
apendiks mengalami inflamasi dan pembentukan ig A pada pandiksi mengalami
penurunan/terhambat. Lalu kuman atau antigen bereaksi dengan Ig A, kemudian
Ig A gagal dalam melawan antigen kuman sehingga dapat menyebabkan
apendisitis.

2.3 Faktor Penyebab Penyakit Apendisitis


1. Usia
Hasil penelitian menunjukan anak yang berusia 15-25 tahun 4x lebih besar
untuk menderita apendisitis. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan yang
umumnya merupakan pelajar atau mahasiswa. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu di sekolah atau kampus sehingga asupan tiap jam hanya
berdasar kantin sekolah atau kampus. Kantin yang ada di sekolah lebih
menjual makanan yang bersifat instan atau cepat saji. Mereka memiliki pola
asupan serat yang buruk, karena kurangnya konsumsi buah dan sayur.
2. Jenis kelamin
Laki-laki bepotensi menderita apendisitis lebih besar dari perempuan. Hal itu
dikaitkan dengan kegiatan laki-laki lebih banyak dilakukan di luar rumah, dan
cenderung mengonsumsi makanan fast food yang dapat menyebabkan
obsruksi pada usus.
3. Pola makan / Diet
Penelitian menunjukan peran kebiasan makan makanan yang rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendiks. Konstipasi akan menaikan
tekanan intrasekl yang berakibat obstruksi fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.

2.4 Patofisiologi
Apendisitis dimulai dengan adanya obstruksi pada lumen apendiks,
dimana penyebab tersering ialah obstruksi karena masa fecalith. Obtruksi lumen
apendiks akan merangsang mukosa apendiks untuk mensekresi mukus dengan
jumlah yang lebih banyak. Hal ini akan meningkatkan tekanan intralumen
sehingga menstimulus serabut saraf eferen visceral sehingga menimbulkan rasa
nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada abdomen dibawah epigastrium.
Obstruksi pada apendiks yang diikuti kenaikan sekresi mukus membuat lumen
apendiks menjadi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Kenaikan proliferasi bakteri yang diiringi dengan colaps vena drainase dan
juga gangguan aliran limfatik akibat kenaikan tekanan intralumen, memudahkan
bakteri untuk menginvasi dinding mukosa jaringan apendiks. Invasi bakteri akan
membuat aktivasi mediator inflamasi pada jaringan apendiks. Dan saat eksudat
inflamasi dari dinding apendiks terhubung dengan peritoneum parietal, serabut
saraf somatik akan teraktivasi sehingga menyebabkan nyeri yang terlokalisir.
Menurut Robin (2006) pada stadium dini apendisitis hanya ditemukan
sedikit eksudat neutrofil diseluruh mukosa, submukosa, dan muskularis proparia.
Pembuluh subserosa mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofil
perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah gambaran lapisan serosa
dinding apendiks yang tampilannya berkilap menjadi merah, granular, dan suram,
perubahan ini merupakan suatu penanda adanya apendisitis akut dini. Pada
stadium selanjutnya eksudat neutrofilik yang hebat selanjutnya menghasilkan
reaksi fibrinopurulen di atas lapisan serosa.
Proses peradangan yang terus berlanjut menyebabkan pembentukan abses
di dinding usus disertai ulserasi dan fokus nekrosis di mukosa yang
mencerminkan keadaan apendisitis supuratif akut. Semakin buruknya peradangan
menyebabkan timbulnya daerah ulkus hijau hemorargik di mukosa, dan nekrosis
gangrenosa hijau tua diseluruh ketebalan dinding hingga ke serosa, hal ini yang
dikenal sebagai apendisitis gangrenosa akut, yang akan cepat diikuti ruptur dan
peritonitis supurativ.
2.5 Pathway Fekalit, Bolus Akaris, Benda Asing, dan Jaringan Parut

Obstruksi Pada Lumen Appendiks

Ketidakseimbangan antara pruduksi dan eksresi


mucus

Peningkatan Intra

Arteri Terganggu Terhambatnya Aliran Limfe Obstruksi Vena

Edema dan Ulserasi


Edema dan Peningkatan
Tekanan Tekanan Intra
Terjadinya Infark Pada Usus Nyeri Epigastrium Lumen

Nyeri Akut

Peradangan pada dinding


appendiks

Perdangan Meluas Ke Mual dan Muntah


Peritonium

Pembedahan

Cemas Pasien dan Keluarga Luka Insisi Post Bedah Resiko Tinggi Infeksi

Nyeri saat Aktivitas


Ansietas

Nyeri Akut Pada Luka Post Intolerasi Aktivitas


Bedah
2.6 Tanda dan Gejala
Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu nyeri atau perasaan tidak enak
sekitar umbilicus diikuti oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini umumnya
berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke
kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan sekitar Mc. Burney,
kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri lepas. Biasanya ditemukan demam
ringan dan leukosit meningkat bila rupture apendiks terjadi nyeri sering sekali
hilang secara dramatis untuk sementara.

Menurut Wijaya A.N dan Yessie (2013) tanda dan gejala apendisitis adalah:

1. Distensi abdomen, pada pasien apendisitis terjadi reaksi inflamasi yang


menyebabkan peningkatan vaskularisasi. Hal ini menyebabkan permeabilitas
pembuluh darah menjadi meningkat dan terjadi kebocoran cairan dari
intravaskuler ke intertisial. Kebocoran cairan ini menyebabkan abdomen
menjadi edema dan tampak seperti menggembung (distensi abdomen). Selain
itu otot-otot abdomen pun menjadi kaku dan membuat abdomen terasa nyeri.
Hal ini menyebabkan mobilisasi menjadi terganggu karena nyeri yang
dirasakan.

2. Mual dan muntah, abdomen yang membengkak menyebabkan terjadinya


penekanan pada abdomen. Akibatnya terjadi penekanan gaster yang
merangsang nervus vagus atau saraf simpatis untuk memproduksi hcl.
Produksi hcl yang meningkat menyebabkan pasien merasa mual dan muntah.
Akibatnya pasien mengalami anoreksia.
3. Pada penderita apendisitis terjadi kerusakan lumen-lumen yang ada di usus.
Hal ini menyebabkan sisa-sisa makanan di usus tidak dapat di keluarkan.
Akibatnya feses menjadi menumpuk di kolon asenden dan sulit untuk
dikeluarkan. Hal ini membuat penderita mengalami konstipasi.
4. Malaise, Pada klien penderita apendisitis akan terjadi inflamasi dan respon
peradangan, maka tubuh akan meningkatkan metabolisme. Saat metabolisme
meningkat tersebut kerja sel pun ikut meningkat, sel-sel yang bekerja
membutuhkan energi. Ketika protein dan lemak yang berperan sebagai
cadangan makanan tidak cukup dalam memenuhi.
2.7 Penatalaksanaan Medis dan Non-
medis
TERAPI FARMAKOLOGIS

1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena
tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis.
Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah
timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik,
kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan
tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
preforasi.
c. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik

d. Operasi

Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.


Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi. Bila
diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

Pencegahan Tersier Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah


terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra- abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila
diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau
antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian
antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan


abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode
terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010). Apendiktomi dapat
dilakukan dengn menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik
terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi
yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru
yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).
1). Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam
rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan
organ dalam untuk membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik
diagnosa yang tidak invasif, laparatomi semakin kurang digunakan
dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua prosedur
lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti laparoskopi yang
seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat laparatomi tidak
sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam
dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera
dilakukan. Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut.
Operasi laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang
berat pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh
nyeri hebat dan gejala- gejala lain dari masalah internal yang serius dan
kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak peptik
yang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan operasi untuk
menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi keparahan lebih.
Laparatomi dapat berkembang menjadi pembedahan besar diikuti oleh
transfusi darah dan perawatan intensif (David dkk, 2009).
2). Laparoskopi
Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai
dari iga paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini
bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit
yang belum diketahui diagnosanya dengan jelas.

Keuntungan bedah laparoskopi :


 Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan
dokter dalam pembedahan.
 Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi
pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3
sampai 10 mm akan hilang kecuali klien mempunyai riwayat keloid.
 Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-
obatan dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih
cepat sehingga klien dapat beraktivitas normal lebih cepat.

2. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien
dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu
hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur
selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari
ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010)
Peritonitis umum yang terjadi dapat dilakukan operasi untuk menutup asal
perforasi dan tindakan penunjang adalah tirah baring dalam posisi semi fowler,
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,
pemberian antibiotik berspektrum luas dan dilanjutkan antibiotik yang sesuai hasil
kultur, tranfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara
intensif. Apabila terbentuk abses apendik, terapi dini yang dapat diberikan adalah
kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin).
Menggunakan sediaan ini, maka abses akan menghilang dan dapat dilakukan
apendektomi 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif dan abses
yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif harus segera
dilakukan drainase (Mansjoer, 2012).
Antibiotik dapat menjadi pilihan pada keadaan tertentu. Antibiotik
yang menjadi pilihan untuk appendicitis adalah antibiotik spektrum luas yang
mencakup bakteri aerob dan anaerob. Berikan antibiotik IV selama perawatan
dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 7 hari. Contoh antibiotik yang
dapat menjadi pilihan adalah cefotaxime, levofloxacin, metronidazole,
gentamisin.

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.


Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik
dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan di bawah anastesi umum atau
spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang
merupakan metode baru yang sangat efektif.

TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
Kasus apendisitis paling banyak dilakukan pembedahan (operasi) dengan
perkembangan teknologi yang semakin maju dalam hal pembedahan kususnya pada
prosedur tindakan bedah yang mengalami kemajuan pesat. Setiap pembedahan selalu
berhubungan dengan adanya insisi ataupun sayatan hal ini merupakan trauma pada
penderita yang dapat menyebabkan berbagai keluhan dan gejala dimana salah satu
dikeluhakan oleh berbagai penderita yang merasakan adanya nyeri
Terapi non farmakologi belum banyak diterapkan oleh perawat dirumah sakit
padahal perawat banyak mendapat kesempatan dibandingkan oleh tenaga kesehatan
dalam penangnan nyeri. Perawat dengan mengunakan pengetahuannya dapat
mengatasi masalah nyeri post operasi bedah baik secara mandiri maupun berkolaborasi
dalam pemberian obat sehingga dapat mengatasi masalah nyeri salah satunya dengan
menggunakan terapi non farmakologi yaitu slow deep breathing. Slow deep breathing
merupakan salah satu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat
mengajarkan pasien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan,
selain dapat menurunkan intesitas nyeri tehnik napas dalam dapat meningkatkan
ventilisasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Selain itu mempengaruhi pasien
yang mengalami nyeri kronis.
Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan
eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen
nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma, teknik
relaksasi progresif, guided imagery, dan meditasi (Smeltzer & Bare, 2001). Periode
relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot
yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. USG Abdomen atau foto polos abdomen


Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi
dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan
1) Adanya perbedaan densitas pada lapisan apendiks vermiformis /
hilangnya lapisan normal (target sign);
2) Penebalan dinding apendiks vermiformis;

3) Hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis ;

4) Peningkatan ekogenitas lemak sekitar

5) Adanya penimbunan cairan .

Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan

1) Tebal dinding apendiks vermiformis yang asimetris ;

2) Cairan bebas intraperitonial, dan


3) Abses tunggal atau multipel.

USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses


subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi
pleura (Penfold, 2008).

2. Hasil Lab
a. Leukosit
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah.
Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Pada
pemeriksaan ini leukosit meningkat rentang 10.000 –hingga 18.000 / mm3,
kemudian neutrofil meningkat 75%, dan WBC meningkat sampai 20.000
mungkin indikasi terjadinya perforasi (jumlah sel darah merah).

b. Pemeriksaan urin
Dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi
tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasiakan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis
infiltrat. Urinrutin penting untuk melihat apakah terdapatinfeksi pada ginjal.

3. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi
klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses, maka CT-scan dapat digunakan
sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan
ditegakkan jika appendiks dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya.
Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil.

4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa


peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

5. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan


Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma kolon.

6. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Inspeksi pada apendisitis akut sering ditemukan adanya
abdominal swelling (pembengkakan perut), sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
2. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan
perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah, ini disebut tanda rovsing (rovsing sign). Dan apabila tekanan
pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan
bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign)
3. Perkusi
Jika terjadi peritonitis (peradangan pada lapisan tipis dinding
dalam perut (peritoneum) terdapat nyeri ketok.
4. Auskultasi
Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik (kondisi dimana
otot usus mengalami kelumpuhan, sehingga pencernaan makanan serta
fungsi lainnya terganggu) pada peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata pada keadaan lanjut dan bising usus tidak ada
karena peritonitis (peradangan pada lapisan tipis dinding dalam perut
(peritoneum), yang berfungsi melindungi organ di dalam rongga perut.
Peradangan ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.)
5. Pemeriksaan Colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukan
letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis apendisitis pelvika.
6. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak
apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan
pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturatorinternus yang merupakan dinding panggul kecil,
maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan
pada apendisitis pelvika.

2.9 Komplikasi Apendisitis


Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi
pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda
diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan
penanggulangan. (Mansjoer, 2007).
1. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorpho nuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
2. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin
hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
4. Apendisitis Infiltrat
Salah satu komplikasi dari apendisitis akut berupa infiltrate atau masa yang
terbentuk akibat mikroperforasi dari apendiks yang meradang kemudia
ditutupi oleh omentum atau lekuk usus halus.
5. Apendisitis Akut Gangrenosa
Terjadi bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan ganggren. Pada apendisitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang
purulen.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh
rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan
klien sekarang.
c. Diet, kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi.
e. Pemeriksaan Fisik
i. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
ii. Sirkulasi : Takikardia.
iii. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
f. Aktivitas/istirahat : Malaise.
g. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
h. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
i. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena
posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
j. Demam lebih dari 38oC.
k. Data psikologis klien nampak gelisah.
l. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
m. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
n. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal
oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4) Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.

b. Post operasi

1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).

2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post


pembedahan).

3) Defisit self care berhubungan dengan nyeri.

4) Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan


pengobatan b.d kurang informasi.
lOMoARcPSD|33375200

3. Rencana
Keperawatan PRE
OPERASI

DIAGNOSA
NO SLKI SIKI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan - Kaji tingkat nyeri, lokasi - Untuk mengetahui sejauh mana
berhubungan dengan keperawatan, diharapkan nyeri klien dan karasteristik nyeri. tingkat nyeri dan merupakan
agen injuri biologi berkurang dengan kriteria hasil : indiaktor secara dini untuk dapat
(distensi - Klien mampu mengontrol nyeri memberikan tindakan selanjutnya
jaringan (tahu penyebab nyeri, mampu - Jelaskan pada pasien - Informasi yang tepat dapat
intestinal oleh menggunakan tehnik tentang penyebab nyeri menurunkan tingkat kecemasan
inflamasi) nonfarmakologi untuk pasien dan menambah pengetahuan
mengurangi nyeri, mencari pasien tentang nyeri.
bantuan) - Ajarkan tehnik untuk - Napas dalam dapat menghirup O2
- Melaporkan bahwa nyeri pernafasan secara adequate sehingga otot-otot
berkurang dengan menggunakan diafragmatik lambat / napas menjadi relaksasi sehingga dapat
manajemen nyeri dalam mengurangi rasa nyeri.
- Tanda vital dalam rentang
normal : TD (systole 110- - Berikan aktivitas hiburan - Meningkatkan relaksasi dan dapat
130mmHg, diastole 70- (ngobrol dengan anggota meningkatkan kemampuan kooping.
90mmHg), HR(60-100x/menit), keluarga)
RR (16-24x/menit), suhu (36,5- - Observasi tanda-tanda vital - Deteksi dini terhadap perkembangan
0
37,5 C) kesehatan pasien.
- Klien tampak rileks mampu - Kolaborasi dengan tim - Sebagai profilaksis untuk dapat
tidur/istirahat medis dalam pemberian menghilangkan rasa nyeri.
lOMoARcPSD|33375200

analgetik
lOMoARcPSD|33375200

2. Perubahan pola Setelah dilakukan asuhan - Pastikan kebiasaan - Membantu dalam pembentukan
eliminasi keperawatan, diharapkan konstipasi defekasi klien dan jadwal irigasi efektif
(konstipasi) klien teratasi dengan kriteria hasil: gaya hidup
berhubungan dengan - BAB 1-2 kali/hari sebelumnya. - Kembalinya fungsi gastriintestinal
penurunan - Feses lunak - Auskultasi bising usus mungkin terlambat oleh inflamasi
peristaltik. - Bising usus 5-30 kali/menit intra peritonial
- Masukan adekuat dan serat,
- Tinjau ulang pola diet makanan kasar memberikan
dan jumlah / tipe bentuk dan cairan adalah faktor
masukan cairan. penting dalam menentukan
konsistensi feses.
- Makanan yang tinggi serat dapat
- Berikan makanan memperlancar pencernaan
tinggi serat. sehingga tidak terjadi konstipasi.

- Obat pelunak feses dapat


- Berikan obat sesuai melunakkan feses sehingga
indikasi, contoh : tidak terjadi konstipasi.
pelunak feses
lOMoARcPSD|33375200

3. Kekurangan volume Setelah dilakukan asuhan - Monitor tanda-tanda vital - Tanda yang membantu
cairan berhubungan keperawatan diharapkan mengidentifikasikan fluktuasi
dengan mual keseimbangan cairan dapat volume intravaskuler.
muntah. dipertahankan dengan kriteria hasil: - Kaji membrane - Indicator keadekuatan
- kelembaban membrane mukosa, kaji tugor kulit sirkulasi perifer dan hidrasi
mukosa turgor kulit baik dan pengisian kapiler. seluler.
- Haluaran urin adekuat: 1 - Awasi masukan dan
cc/kg BB/jam haluaran, catat warna - Penurunan haluaran urin pekat
- Tanda-tanda vital dalam batas urine/konsentrasi, berat dengan peningkatan berat
normal : TD (systole 110- jenis. jenis diduga
130mmHg, diastole 70- - Auskultasi bising usus, dehidrasi/kebutuhan
90mmHg), catat kelancaran flatus, peningkatan cairan.
HR(60-100x/menit), RR (16- gerakan usus. - Indicator kembalinya peristaltic,
24x/menit), suhu (36,5- 37,50C) - Berikan perawatan mulut kesiapan untuk pemasukan per
sering dengan perhatian oral.
khusus pada perlindungan
bibir. - Dehidrasi mengakibatkan bibir
- Pertahankan penghisapan dan mulut kering dan pecah-pecah
gaster/usus.

- Selang NG biasanya dimasukkan


pada praoperasi dan
dipertahankan pada fase segera
- Kolaborasi pemberian
pascaoperasi untuk dekompresi
cairan IV dan elektrolit
usus, meningkatkan istirahat usus,
lOMoARcPSD|33375200

mencegah mentah.
- Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi/infeksi dengan
menghasilkan sejumlah besar
cairan yang dapat menurunkan
volume sirkulasi darah,

- Evaluasi tingkat ansietas, mengakibatkan hipovolemia.


4. Cemas berhubungan Setelah dilakukan asuhan catat verbal dan non Dehidrasi dapat terjadi
dengan akan keperawatan, diharapkan kecemasan verbal pasien. ketidakseimbangan elektrolit
dilaksanakan operasi. klien berkurang dengan kriteria hasil - Jelaskan dan persiapkan
: untuk tindakan prosedur - Ketakutan dapat terjadi karena
- Melaporkan ansietas sebelum dilakukan nyeri hebat, penting pada prosedur
menurun sampai tingkat - Jadwalkan istirahat diagnostik dan pembedahan.
teratasi adekuat dan - Dapat meringankan ansietas
- Tampak rileks periode terutama ketika pemeriksaan

menghentikan tidur tersebut melibatkan pembedahan

- Anjurkan keluarga - Membatasi kelemahan,

untuk menemani menghemat energi dan

disamping klien meningkatkan kemampuan


koping.
- Mengurangi kecemasan klien
lOMoARcPSD|33375200

POST OPERASI
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan - Kaji skala nyeri - Berguna dalam pengawasan
dengan agen injuri keperawatan, diharapkan nyeri lokasi, karakteristik dan keefesien obat, kemajuan
fisik (luka insisi berkurang dengan kriteria hasil : dan laporkan penyembuhan,perubahan dan
post operasi - Melaporkan nyeri berkurang perubahan nyeri karakteristik nyeri.
appenditomi). - Klien tampak rileks dengan tepat. - Deteksi dini terhadap
- Dapat tidur dengan tepat - Monitor tanda-tanda perkembangan kesehatan
- Tanda-tanda vital dalam vital pasien.
batas normal : TD (systole
110- 130mmHg, diastole 70- - Pertahankan istirahat - Menghilangkan tegangan
90mmHg), HR(60- dengan posisi semi abdomen yang bertambah
100x/menit), RR (16- powler. dengan posisi terlentang.
24x/menit), suhu (36,5- - Dorong ambulasi dini. - Meningkatkan kormolisasi
37,50C) fungsi organ.
- Berikan aktivitas - Meningkatkan relaksasi.
hiburan.
- Menghilangkan nyeri.
- Kolaborasi tim
dokter dalam
pemberian
analgetika.
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan - Kaji adanya tanda-tanda - Dugaan adanya infeksi
berhubungan dengan keperawatan diharapkan infeksi infeksi pada area insisi
tindakan invasif dapat diatasi dengan kriteria hasil - Monitor tanda- - Dugaan adanya
(insisi post : tanda vital. Perhatikan infeksi/terjadinya sepsis, abses,
pembedahan). - Klien bebas dari tanda- demam, menggigil, peritonitis
tanda infeksi berkeringat, perubahan
- Menunjukkan kemampuan mental
untuk mencegah timbulnya - Lakukan teknik
infeksi isolasi untuk infeksi - Mencegah transmisi
- Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) enterik, termasuk cuci penyakit virus ke orang lain.
tangan efektif.
- Pertahankan teknik
aseptik ketat pada - Mencegah meluas dan
perawatan luka insisi membatasi penyebaran
/ terbuka, bersihkan organisme infektif / kontaminasi
dengan betadine. silang.
- Awasi / batasi
pengunjung dan
siap kebutuhan. - Menurunkan resiko terpajan.
- Kolaborasi tim
medis dalam
pemberian antibiotik - Terapi ditunjukkan pada
bakteri anaerob dan hasil aerob
gra negatif.
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200

3. Defisit self care Setelah dilakukan asuhan - Mandikan pasien setiap - Agar badan menjadi segar,
berhubungan dengan keperawatan diharapkan hari sampai klien melancarkan peredaran darah
nyeri. kebersihan klien dapat mampu melaksanakan dan meningkatkan kesehatan.
dipertahankan dengan kriteria sendiri serta cuci rambut
hasil : dan potong kuku klien. - Untuk melindungi klien dari
- klien bebas dari bau badan - Ganti pakaian yang kuman dan meningkatkan
- klien tampak bersih kotor dengan yang rasa nyaman
- ADLs klien dapat mandiri bersih. - Agar klien dan keluarga
atau dengan bantuan - Berikan dapat termotivasi untuk
Hynege Edukasipada menjaga personal hygiene.
klien dan keluarganya
tentang pentingnya
kebersihan diri. - Agar klien merasa tersanjung dan
- Berikan pujian lebih kooperatif dalam
pada klien tentang kebersihan
kebersihannya.
- Bimbing keluarga klien - Agar keterampilan
memandikan / menyeka dapat diterapkan
pasien
- Bersihkan dan atur posisi - Klien merasa nyaman dengan
serta tempat tidur klien. tenun yang bersih serta
mencegah terjadinya infeksi.
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200

4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan - Kaji ulang - Memberikan informasi pada
tentang kondisi keperawatan diharapkan pembatasan aktivitas pasien untuk merencanakan
prognosis dan pengetahuan bertambah dengan pascaoperasi kembali rutinitas biasa tanpa
kebutuhan kriteria hasil : menimbulkan masalah.
pengobatan b.d - menyatakan pemahaman - Membantu kembali ke fungsi
kurang informasi. proses penyakit dan - Anjuran menggunakan usus semula mencegah ngejan
pengobatan laksatif/pelembek feses saat defekasi
- berpartisipasi dalam ringan bila perlu dan
program pengobatan hindari enema - Pemahaman meningkatkan
- Diskusikan perawatan kerja sama dengan terapi,
insisi, termasuk meningkatkan penyembuhan
mengamati balutan,
pembatasan mandi, dan
kembali ke dokter
untuk mengangkat
jahitan/pengikat - Upaya intervensi
- Identifikasi gejala yang menurunkan resiko
memerlukan evaluasi komplikasi lambatnya
medic, contoh penyembuhan peritonitis.
peningkatan nyeri
edema/eritema luka,
adanya drainase,
demam
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200

3. Implementasi Keperawatan

Merupakan pengelolaan dari perwujudan intervensi meliputi kegiatan yang validasi, rencana
keperawatan, mendokumentasi rencana memberikan askep dalam pengumpulan data serta
melaksanakan adusa dokter dan ketentuan Rumah Sakit

4. Evaluasi Keperawatan
Merupakan tahapan akhir dan suatu proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan rencana tentang Kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga kesehatan.
lOMoARcPSD|33375200

DAFTAR PUSTAKA

Alfisahrinie, Laily, Agung Ary Wibowo, Meitria Syahadatina Noor, Budianto Tedjowitono,
Iwan Aflanie, Program Studi, Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Lambung Mangkurat, Departemen Bedah Digestif, Departemen Ilmu, Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung, Divisi Bedah Onkologi,
Departemen Ilmu Bedah, Departemen Forensik, Fakultas Kedokteran, and Universitas
Lambung Mangkurat. n.d. “LITERATURE REVIEW : GAMBARAN BERBAGAI SKOR
DIAGNOSIS APENDISITIS DENGAN.” 473–86.

Alnaz, A. R. M., Nasution, A. H., & Abdillah, A. H. (2020). Matriks Metalloproteinase (MMP)
sebagai Biomarker Terjadinya Perforasi pada Apendisitis Akut. JIMKI: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 8(2), 117–127. https://doi.org/10.53366/jimki.v8i2.141

Bhangu, A., Søreide, K., di Saverio, S., Assarsson, J. H., & Drake, F. T. (2015). Acute
appendicitis: Modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and management. The
Lancet, 386(10000), 1278–1287. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00275-5

Bintang, A. A., & Suhaymi, E. (2021). Karakteristik Apendisitis pada Pasien di Rumah Sakit
Umum Haji Medan Pada Januari 2017 - Desember 2019. Jurnal Ilmiah Kohesi, 5(3), 284-
292.

Bom, W. J., J. C. G. Scheijmans, P. Salminen, and M. A. Boermeester. 2021. “Diagnosis of


Uncomplicated and Complicated Appendicitis in Adults.” doi:
10.1177/14574969211008330.

Guo, Y., Ye, D., Yang, G., Liu, G., Cui, X., & Tan, S. (2022). Demonstration of a new entity of
non - perforated appendicitis through studying cluster of appendicitis. Scientific Reports, 1–
9. https://doi.org/10.1038/s41598-022-16682-6

Gorter, R. R., Eker, H. H., Gorter-Stam, M. A. W., Abis, G. S. A., Acharya, A., Ankersmit, M.,
Antoniou, S. A., Arolfo, S., Babic, B., Boni, L., Bruntink, M., van Dam, D. A., Defoort, B.,
Deijen, C. L., DeLacy, F. B., Go, P. M., Harmsen, A. M. K., van den Helder, R. S.,
Iordache, F., … Bonjer, J. (2016). Diagnosis and management of acute appendicitis. EAES
consensus development conference 2015. Surgical Endoscopy, 30(11), 4668–4690.
https://doi.org/10.1007/s00464-016-5245-7
lOMoARcPSD|33375200

Hartawan, I. G. . B. R. M., & Dkk. (2020). Karakteristik kasus apendisitis di rumah sakit umum
pusat Sanglah Denpasar Bali tahun 2018. Jurnal Medika Udayana, 9(10), 6–10.

Journal, I., Sciences, A., Shah, F. A., Abdulaziz, R., Thomali, A., Gohal, S. O., & Hummam, R.
(2021). An Overview on Pediatrics Appendicitis Diagnostic and Management Approach.
10(1), 136–140.

Mangngi Wedjo, M. A. (2019). Asuhan Keperawatan pada An. R. L dengan Apendisitis dalam
Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman di Wilayah RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang. Kupang: Poltekkes Kemenkes Kupang.

Martín-, Francisco Javier, Pedro Ruiz-artacho, Francisco Javier Ayuso, Victoria Trenchs, Mikel
Martínez Ortiz De, Cristina Fernández, and Juan González. 2021. “Diagnostic Accuracy of
Combining C-Reactive Protein and Alvarado Score among 2-to-20-Year- Old Patients with
Acute Appendicitis Suspected Presenting to Emergency Departments.” 34(3):220–27. doi:
10.37201/req/008.2021.

Mirantika, N., Danial, D., & Suprapto, B. (2021). Hubungan antara Usia, Lama Keluhan Nyeri
Abdomen, Nilai Leukosit, dan Rasio Neutrofil Limfosit dengan Kejadian Apendisitis Akut
Perforasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 3(4),
576–585. https://doi.org/10.25026/jsk.v3i4.467

Novania, I. (2019). Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Appendiksitis dengan
Masalah Keperawatan Defisiensi Pengetahuan di RSUD dr. Harjono Kabupaten
Ponorogo. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Pogoreli, Zenon, and Bruna Lukši. 2021. “Validity of Appendicitis Inflammatory Response
Score in Distinguishing Perforated from Non-Perforated Appendicitis in Children.”

Smeltzer & Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8,
Vol. 1,2). Jakarta : EGC.

Tariani, N. M. (2021). Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien Anak Yang Mengalami
Apendisitis Akut Di Igd Rsud Sanjiwani Gianyar Tahun 2021. Diploma Thesis, Poltekkes
Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan 2021, 6–26.

Yuandi, N., Nuchalida, M., Ujianto, A., Safila, M., & Riayani, S. (2021). Manifestasi Klinis
Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Islam Banjarnegara. Jurnal Health Sains,
2(5), 642–645. https://doi.org/10.46799/jhs.v2i5.163
lOMoARcPSD|33375200

Yulistiana, S. M. (2019). Asuhan keperawatan pada klien post op laparatomi eksplorasi atas
indikasi apendisitis perforasi dengan nyeri akut di ruang topaz rsud dr. slamet garut. 1–19.

Anda mungkin juga menyukai