APENDISITIS
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
Frayoga, S.Tr., Kep.
2.2 Etiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan
penekanan pembuluh darah lumen dan menyebabkan suplai darah ke saluran
apendiks menurun. Penurunan suplai darah ini menyebabkan iskemia jaringan
pada apendiks yang berujung pada kematian sel (nekrosis)/ kerusakan jaringan.
Selain obstruksi/penyumbatan lumen apendiks, apendisitis juga dapat
disebabkan oleh infeksi kuman dari usus seperti E. Coli. Infeksi ini menyebabkan
apendiks mengalami inflamasi dan pembentukan ig A pada pandiksi mengalami
penurunan/terhambat. Lalu kuman atau antigen bereaksi dengan Ig A, kemudian
Ig A gagal dalam melawan antigen kuman sehingga dapat menyebabkan
apendisitis.
2.4 Patofisiologi
Apendisitis dimulai dengan adanya obstruksi pada lumen apendiks,
dimana penyebab tersering ialah obstruksi karena masa fecalith. Obtruksi lumen
apendiks akan merangsang mukosa apendiks untuk mensekresi mukus dengan
jumlah yang lebih banyak. Hal ini akan meningkatkan tekanan intralumen
sehingga menstimulus serabut saraf eferen visceral sehingga menimbulkan rasa
nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada abdomen dibawah epigastrium.
Obstruksi pada apendiks yang diikuti kenaikan sekresi mukus membuat lumen
apendiks menjadi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Kenaikan proliferasi bakteri yang diiringi dengan colaps vena drainase dan
juga gangguan aliran limfatik akibat kenaikan tekanan intralumen, memudahkan
bakteri untuk menginvasi dinding mukosa jaringan apendiks. Invasi bakteri akan
membuat aktivasi mediator inflamasi pada jaringan apendiks. Dan saat eksudat
inflamasi dari dinding apendiks terhubung dengan peritoneum parietal, serabut
saraf somatik akan teraktivasi sehingga menyebabkan nyeri yang terlokalisir.
Menurut Robin (2006) pada stadium dini apendisitis hanya ditemukan
sedikit eksudat neutrofil diseluruh mukosa, submukosa, dan muskularis proparia.
Pembuluh subserosa mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofil
perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah gambaran lapisan serosa
dinding apendiks yang tampilannya berkilap menjadi merah, granular, dan suram,
perubahan ini merupakan suatu penanda adanya apendisitis akut dini. Pada
stadium selanjutnya eksudat neutrofilik yang hebat selanjutnya menghasilkan
reaksi fibrinopurulen di atas lapisan serosa.
Proses peradangan yang terus berlanjut menyebabkan pembentukan abses
di dinding usus disertai ulserasi dan fokus nekrosis di mukosa yang
mencerminkan keadaan apendisitis supuratif akut. Semakin buruknya peradangan
menyebabkan timbulnya daerah ulkus hijau hemorargik di mukosa, dan nekrosis
gangrenosa hijau tua diseluruh ketebalan dinding hingga ke serosa, hal ini yang
dikenal sebagai apendisitis gangrenosa akut, yang akan cepat diikuti ruptur dan
peritonitis supurativ.
2.5 Pathway Fekalit, Bolus Akaris, Benda Asing, dan Jaringan Parut
Peningkatan Intra
Nyeri Akut
Pembedahan
Cemas Pasien dan Keluarga Luka Insisi Post Bedah Resiko Tinggi Infeksi
Menurut Wijaya A.N dan Yessie (2013) tanda dan gejala apendisitis adalah:
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena
tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis.
Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah
timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik,
kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan
tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
preforasi.
c. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
d. Operasi
2. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien
dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu
hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur
selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari
ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010)
Peritonitis umum yang terjadi dapat dilakukan operasi untuk menutup asal
perforasi dan tindakan penunjang adalah tirah baring dalam posisi semi fowler,
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,
pemberian antibiotik berspektrum luas dan dilanjutkan antibiotik yang sesuai hasil
kultur, tranfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara
intensif. Apabila terbentuk abses apendik, terapi dini yang dapat diberikan adalah
kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin).
Menggunakan sediaan ini, maka abses akan menghilang dan dapat dilakukan
apendektomi 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif dan abses
yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif harus segera
dilakukan drainase (Mansjoer, 2012).
Antibiotik dapat menjadi pilihan pada keadaan tertentu. Antibiotik
yang menjadi pilihan untuk appendicitis adalah antibiotik spektrum luas yang
mencakup bakteri aerob dan anaerob. Berikan antibiotik IV selama perawatan
dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 7 hari. Contoh antibiotik yang
dapat menjadi pilihan adalah cefotaxime, levofloxacin, metronidazole,
gentamisin.
TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
Kasus apendisitis paling banyak dilakukan pembedahan (operasi) dengan
perkembangan teknologi yang semakin maju dalam hal pembedahan kususnya pada
prosedur tindakan bedah yang mengalami kemajuan pesat. Setiap pembedahan selalu
berhubungan dengan adanya insisi ataupun sayatan hal ini merupakan trauma pada
penderita yang dapat menyebabkan berbagai keluhan dan gejala dimana salah satu
dikeluhakan oleh berbagai penderita yang merasakan adanya nyeri
Terapi non farmakologi belum banyak diterapkan oleh perawat dirumah sakit
padahal perawat banyak mendapat kesempatan dibandingkan oleh tenaga kesehatan
dalam penangnan nyeri. Perawat dengan mengunakan pengetahuannya dapat
mengatasi masalah nyeri post operasi bedah baik secara mandiri maupun berkolaborasi
dalam pemberian obat sehingga dapat mengatasi masalah nyeri salah satunya dengan
menggunakan terapi non farmakologi yaitu slow deep breathing. Slow deep breathing
merupakan salah satu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat
mengajarkan pasien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan,
selain dapat menurunkan intesitas nyeri tehnik napas dalam dapat meningkatkan
ventilisasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Selain itu mempengaruhi pasien
yang mengalami nyeri kronis.
Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan
eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen
nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma, teknik
relaksasi progresif, guided imagery, dan meditasi (Smeltzer & Bare, 2001). Periode
relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot
yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
2. Hasil Lab
a. Leukosit
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah.
Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Pada
pemeriksaan ini leukosit meningkat rentang 10.000 –hingga 18.000 / mm3,
kemudian neutrofil meningkat 75%, dan WBC meningkat sampai 20.000
mungkin indikasi terjadinya perforasi (jumlah sel darah merah).
b. Pemeriksaan urin
Dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi
tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasiakan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis
infiltrat. Urinrutin penting untuk melihat apakah terdapatinfeksi pada ginjal.
3. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi
klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses, maka CT-scan dapat digunakan
sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan
ditegakkan jika appendiks dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya.
Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil.
6. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Inspeksi pada apendisitis akut sering ditemukan adanya
abdominal swelling (pembengkakan perut), sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
2. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan
perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah, ini disebut tanda rovsing (rovsing sign). Dan apabila tekanan
pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan
bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign)
3. Perkusi
Jika terjadi peritonitis (peradangan pada lapisan tipis dinding
dalam perut (peritoneum) terdapat nyeri ketok.
4. Auskultasi
Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik (kondisi dimana
otot usus mengalami kelumpuhan, sehingga pencernaan makanan serta
fungsi lainnya terganggu) pada peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata pada keadaan lanjut dan bising usus tidak ada
karena peritonitis (peradangan pada lapisan tipis dinding dalam perut
(peritoneum), yang berfungsi melindungi organ di dalam rongga perut.
Peradangan ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.)
5. Pemeriksaan Colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukan
letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis apendisitis pelvika.
6. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak
apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan
pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturatorinternus yang merupakan dinding panggul kecil,
maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan
pada apendisitis pelvika.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh
rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan
klien sekarang.
c. Diet, kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi.
e. Pemeriksaan Fisik
i. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
ii. Sirkulasi : Takikardia.
iii. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
f. Aktivitas/istirahat : Malaise.
g. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
h. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
i. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena
posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
j. Demam lebih dari 38oC.
k. Data psikologis klien nampak gelisah.
l. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
m. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
n. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal
oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4) Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
b. Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
3. Rencana
Keperawatan PRE
OPERASI
DIAGNOSA
NO SLKI SIKI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan - Kaji tingkat nyeri, lokasi - Untuk mengetahui sejauh mana
berhubungan dengan keperawatan, diharapkan nyeri klien dan karasteristik nyeri. tingkat nyeri dan merupakan
agen injuri biologi berkurang dengan kriteria hasil : indiaktor secara dini untuk dapat
(distensi - Klien mampu mengontrol nyeri memberikan tindakan selanjutnya
jaringan (tahu penyebab nyeri, mampu - Jelaskan pada pasien - Informasi yang tepat dapat
intestinal oleh menggunakan tehnik tentang penyebab nyeri menurunkan tingkat kecemasan
inflamasi) nonfarmakologi untuk pasien dan menambah pengetahuan
mengurangi nyeri, mencari pasien tentang nyeri.
bantuan) - Ajarkan tehnik untuk - Napas dalam dapat menghirup O2
- Melaporkan bahwa nyeri pernafasan secara adequate sehingga otot-otot
berkurang dengan menggunakan diafragmatik lambat / napas menjadi relaksasi sehingga dapat
manajemen nyeri dalam mengurangi rasa nyeri.
- Tanda vital dalam rentang
normal : TD (systole 110- - Berikan aktivitas hiburan - Meningkatkan relaksasi dan dapat
130mmHg, diastole 70- (ngobrol dengan anggota meningkatkan kemampuan kooping.
90mmHg), HR(60-100x/menit), keluarga)
RR (16-24x/menit), suhu (36,5- - Observasi tanda-tanda vital - Deteksi dini terhadap perkembangan
0
37,5 C) kesehatan pasien.
- Klien tampak rileks mampu - Kolaborasi dengan tim - Sebagai profilaksis untuk dapat
tidur/istirahat medis dalam pemberian menghilangkan rasa nyeri.
lOMoARcPSD|33375200
analgetik
lOMoARcPSD|33375200
2. Perubahan pola Setelah dilakukan asuhan - Pastikan kebiasaan - Membantu dalam pembentukan
eliminasi keperawatan, diharapkan konstipasi defekasi klien dan jadwal irigasi efektif
(konstipasi) klien teratasi dengan kriteria hasil: gaya hidup
berhubungan dengan - BAB 1-2 kali/hari sebelumnya. - Kembalinya fungsi gastriintestinal
penurunan - Feses lunak - Auskultasi bising usus mungkin terlambat oleh inflamasi
peristaltik. - Bising usus 5-30 kali/menit intra peritonial
- Masukan adekuat dan serat,
- Tinjau ulang pola diet makanan kasar memberikan
dan jumlah / tipe bentuk dan cairan adalah faktor
masukan cairan. penting dalam menentukan
konsistensi feses.
- Makanan yang tinggi serat dapat
- Berikan makanan memperlancar pencernaan
tinggi serat. sehingga tidak terjadi konstipasi.
3. Kekurangan volume Setelah dilakukan asuhan - Monitor tanda-tanda vital - Tanda yang membantu
cairan berhubungan keperawatan diharapkan mengidentifikasikan fluktuasi
dengan mual keseimbangan cairan dapat volume intravaskuler.
muntah. dipertahankan dengan kriteria hasil: - Kaji membrane - Indicator keadekuatan
- kelembaban membrane mukosa, kaji tugor kulit sirkulasi perifer dan hidrasi
mukosa turgor kulit baik dan pengisian kapiler. seluler.
- Haluaran urin adekuat: 1 - Awasi masukan dan
cc/kg BB/jam haluaran, catat warna - Penurunan haluaran urin pekat
- Tanda-tanda vital dalam batas urine/konsentrasi, berat dengan peningkatan berat
normal : TD (systole 110- jenis. jenis diduga
130mmHg, diastole 70- - Auskultasi bising usus, dehidrasi/kebutuhan
90mmHg), catat kelancaran flatus, peningkatan cairan.
HR(60-100x/menit), RR (16- gerakan usus. - Indicator kembalinya peristaltic,
24x/menit), suhu (36,5- 37,50C) - Berikan perawatan mulut kesiapan untuk pemasukan per
sering dengan perhatian oral.
khusus pada perlindungan
bibir. - Dehidrasi mengakibatkan bibir
- Pertahankan penghisapan dan mulut kering dan pecah-pecah
gaster/usus.
mencegah mentah.
- Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi/infeksi dengan
menghasilkan sejumlah besar
cairan yang dapat menurunkan
volume sirkulasi darah,
POST OPERASI
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan - Kaji skala nyeri - Berguna dalam pengawasan
dengan agen injuri keperawatan, diharapkan nyeri lokasi, karakteristik dan keefesien obat, kemajuan
fisik (luka insisi berkurang dengan kriteria hasil : dan laporkan penyembuhan,perubahan dan
post operasi - Melaporkan nyeri berkurang perubahan nyeri karakteristik nyeri.
appenditomi). - Klien tampak rileks dengan tepat. - Deteksi dini terhadap
- Dapat tidur dengan tepat - Monitor tanda-tanda perkembangan kesehatan
- Tanda-tanda vital dalam vital pasien.
batas normal : TD (systole
110- 130mmHg, diastole 70- - Pertahankan istirahat - Menghilangkan tegangan
90mmHg), HR(60- dengan posisi semi abdomen yang bertambah
100x/menit), RR (16- powler. dengan posisi terlentang.
24x/menit), suhu (36,5- - Dorong ambulasi dini. - Meningkatkan kormolisasi
37,50C) fungsi organ.
- Berikan aktivitas - Meningkatkan relaksasi.
hiburan.
- Menghilangkan nyeri.
- Kolaborasi tim
dokter dalam
pemberian
analgetika.
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200
2. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan - Kaji adanya tanda-tanda - Dugaan adanya infeksi
berhubungan dengan keperawatan diharapkan infeksi infeksi pada area insisi
tindakan invasif dapat diatasi dengan kriteria hasil - Monitor tanda- - Dugaan adanya
(insisi post : tanda vital. Perhatikan infeksi/terjadinya sepsis, abses,
pembedahan). - Klien bebas dari tanda- demam, menggigil, peritonitis
tanda infeksi berkeringat, perubahan
- Menunjukkan kemampuan mental
untuk mencegah timbulnya - Lakukan teknik
infeksi isolasi untuk infeksi - Mencegah transmisi
- Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) enterik, termasuk cuci penyakit virus ke orang lain.
tangan efektif.
- Pertahankan teknik
aseptik ketat pada - Mencegah meluas dan
perawatan luka insisi membatasi penyebaran
/ terbuka, bersihkan organisme infektif / kontaminasi
dengan betadine. silang.
- Awasi / batasi
pengunjung dan
siap kebutuhan. - Menurunkan resiko terpajan.
- Kolaborasi tim
medis dalam
pemberian antibiotik - Terapi ditunjukkan pada
bakteri anaerob dan hasil aerob
gra negatif.
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200
3. Defisit self care Setelah dilakukan asuhan - Mandikan pasien setiap - Agar badan menjadi segar,
berhubungan dengan keperawatan diharapkan hari sampai klien melancarkan peredaran darah
nyeri. kebersihan klien dapat mampu melaksanakan dan meningkatkan kesehatan.
dipertahankan dengan kriteria sendiri serta cuci rambut
hasil : dan potong kuku klien. - Untuk melindungi klien dari
- klien bebas dari bau badan - Ganti pakaian yang kuman dan meningkatkan
- klien tampak bersih kotor dengan yang rasa nyaman
- ADLs klien dapat mandiri bersih. - Agar klien dan keluarga
atau dengan bantuan - Berikan dapat termotivasi untuk
Hynege Edukasipada menjaga personal hygiene.
klien dan keluarganya
tentang pentingnya
kebersihan diri. - Agar klien merasa tersanjung dan
- Berikan pujian lebih kooperatif dalam
pada klien tentang kebersihan
kebersihannya.
- Bimbing keluarga klien - Agar keterampilan
memandikan / menyeka dapat diterapkan
pasien
- Bersihkan dan atur posisi - Klien merasa nyaman dengan
serta tempat tidur klien. tenun yang bersih serta
mencegah terjadinya infeksi.
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200
4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan - Kaji ulang - Memberikan informasi pada
tentang kondisi keperawatan diharapkan pembatasan aktivitas pasien untuk merencanakan
prognosis dan pengetahuan bertambah dengan pascaoperasi kembali rutinitas biasa tanpa
kebutuhan kriteria hasil : menimbulkan masalah.
pengobatan b.d - menyatakan pemahaman - Membantu kembali ke fungsi
kurang informasi. proses penyakit dan - Anjuran menggunakan usus semula mencegah ngejan
pengobatan laksatif/pelembek feses saat defekasi
- berpartisipasi dalam ringan bila perlu dan
program pengobatan hindari enema - Pemahaman meningkatkan
- Diskusikan perawatan kerja sama dengan terapi,
insisi, termasuk meningkatkan penyembuhan
mengamati balutan,
pembatasan mandi, dan
kembali ke dokter
untuk mengangkat
jahitan/pengikat - Upaya intervensi
- Identifikasi gejala yang menurunkan resiko
memerlukan evaluasi komplikasi lambatnya
medic, contoh penyembuhan peritonitis.
peningkatan nyeri
edema/eritema luka,
adanya drainase,
demam
lOMoARcPSD|33375200
lOMoARcPSD|33375200
3. Implementasi Keperawatan
Merupakan pengelolaan dari perwujudan intervensi meliputi kegiatan yang validasi, rencana
keperawatan, mendokumentasi rencana memberikan askep dalam pengumpulan data serta
melaksanakan adusa dokter dan ketentuan Rumah Sakit
4. Evaluasi Keperawatan
Merupakan tahapan akhir dan suatu proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan rencana tentang Kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga kesehatan.
lOMoARcPSD|33375200
DAFTAR PUSTAKA
Alfisahrinie, Laily, Agung Ary Wibowo, Meitria Syahadatina Noor, Budianto Tedjowitono,
Iwan Aflanie, Program Studi, Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Lambung Mangkurat, Departemen Bedah Digestif, Departemen Ilmu, Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung, Divisi Bedah Onkologi,
Departemen Ilmu Bedah, Departemen Forensik, Fakultas Kedokteran, and Universitas
Lambung Mangkurat. n.d. “LITERATURE REVIEW : GAMBARAN BERBAGAI SKOR
DIAGNOSIS APENDISITIS DENGAN.” 473–86.
Alnaz, A. R. M., Nasution, A. H., & Abdillah, A. H. (2020). Matriks Metalloproteinase (MMP)
sebagai Biomarker Terjadinya Perforasi pada Apendisitis Akut. JIMKI: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 8(2), 117–127. https://doi.org/10.53366/jimki.v8i2.141
Bhangu, A., Søreide, K., di Saverio, S., Assarsson, J. H., & Drake, F. T. (2015). Acute
appendicitis: Modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and management. The
Lancet, 386(10000), 1278–1287. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00275-5
Bintang, A. A., & Suhaymi, E. (2021). Karakteristik Apendisitis pada Pasien di Rumah Sakit
Umum Haji Medan Pada Januari 2017 - Desember 2019. Jurnal Ilmiah Kohesi, 5(3), 284-
292.
Guo, Y., Ye, D., Yang, G., Liu, G., Cui, X., & Tan, S. (2022). Demonstration of a new entity of
non - perforated appendicitis through studying cluster of appendicitis. Scientific Reports, 1–
9. https://doi.org/10.1038/s41598-022-16682-6
Gorter, R. R., Eker, H. H., Gorter-Stam, M. A. W., Abis, G. S. A., Acharya, A., Ankersmit, M.,
Antoniou, S. A., Arolfo, S., Babic, B., Boni, L., Bruntink, M., van Dam, D. A., Defoort, B.,
Deijen, C. L., DeLacy, F. B., Go, P. M., Harmsen, A. M. K., van den Helder, R. S.,
Iordache, F., … Bonjer, J. (2016). Diagnosis and management of acute appendicitis. EAES
consensus development conference 2015. Surgical Endoscopy, 30(11), 4668–4690.
https://doi.org/10.1007/s00464-016-5245-7
lOMoARcPSD|33375200
Hartawan, I. G. . B. R. M., & Dkk. (2020). Karakteristik kasus apendisitis di rumah sakit umum
pusat Sanglah Denpasar Bali tahun 2018. Jurnal Medika Udayana, 9(10), 6–10.
Journal, I., Sciences, A., Shah, F. A., Abdulaziz, R., Thomali, A., Gohal, S. O., & Hummam, R.
(2021). An Overview on Pediatrics Appendicitis Diagnostic and Management Approach.
10(1), 136–140.
Mangngi Wedjo, M. A. (2019). Asuhan Keperawatan pada An. R. L dengan Apendisitis dalam
Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman di Wilayah RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang. Kupang: Poltekkes Kemenkes Kupang.
Martín-, Francisco Javier, Pedro Ruiz-artacho, Francisco Javier Ayuso, Victoria Trenchs, Mikel
Martínez Ortiz De, Cristina Fernández, and Juan González. 2021. “Diagnostic Accuracy of
Combining C-Reactive Protein and Alvarado Score among 2-to-20-Year- Old Patients with
Acute Appendicitis Suspected Presenting to Emergency Departments.” 34(3):220–27. doi:
10.37201/req/008.2021.
Mirantika, N., Danial, D., & Suprapto, B. (2021). Hubungan antara Usia, Lama Keluhan Nyeri
Abdomen, Nilai Leukosit, dan Rasio Neutrofil Limfosit dengan Kejadian Apendisitis Akut
Perforasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 3(4),
576–585. https://doi.org/10.25026/jsk.v3i4.467
Novania, I. (2019). Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Appendiksitis dengan
Masalah Keperawatan Defisiensi Pengetahuan di RSUD dr. Harjono Kabupaten
Ponorogo. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Pogoreli, Zenon, and Bruna Lukši. 2021. “Validity of Appendicitis Inflammatory Response
Score in Distinguishing Perforated from Non-Perforated Appendicitis in Children.”
Smeltzer & Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8,
Vol. 1,2). Jakarta : EGC.
Tariani, N. M. (2021). Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien Anak Yang Mengalami
Apendisitis Akut Di Igd Rsud Sanjiwani Gianyar Tahun 2021. Diploma Thesis, Poltekkes
Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan 2021, 6–26.
Yuandi, N., Nuchalida, M., Ujianto, A., Safila, M., & Riayani, S. (2021). Manifestasi Klinis
Apendisitis Akut pada Anak di Rumah Sakit Islam Banjarnegara. Jurnal Health Sains,
2(5), 642–645. https://doi.org/10.46799/jhs.v2i5.163
lOMoARcPSD|33375200
Yulistiana, S. M. (2019). Asuhan keperawatan pada klien post op laparatomi eksplorasi atas
indikasi apendisitis perforasi dengan nyeri akut di ruang topaz rsud dr. slamet garut. 1–19.