Anda di halaman 1dari 17

MAQASID ASY-SYARIAH SEBAGAI TUJUAN

EKONOMI ISLAM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PENGANTAR EKONOMISYARIAH


Dosen Pengampu : Dr Iskandar,S.H.I, M.S.I

Penulis:

1. SAFINATUS SUFIA (202341066)


2. RIZKY AULIADY (202341074)
3. ASMAUL HUSNA (202341064)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


ISLAM JURUSAN EKONOMI
SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE

2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pengatur semesta alam ini. Hanya
atas izin-Nya lah, laporan tugas makalah ini telah terselesaikan.
Untuk itu, penulis mengucapkan Syukur Alhamdulillah, selain itu penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
merumuskan dan menyelesaikan tugas makalah. Secara singkat makalah ini dibuat untuk
membahas mengenai MAQASID SYARIAH SEBAGAI TUJUAN EKONOMI ISLAM

Untuk Penulis kira di dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan yang dilakukan
oleh penulis. Maka, segala saran, kritik dan masukan akan sangat membantu penulis untuk
semakin menyempurnakan makalah ini. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami
dan semua orang yang membaca makalah ini. Amin Ya Robbal Alamiii.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................5
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Syari’ah dan Maslahat................................6

B. Pembagian dan Metode Memahami Maqashid Syari’ah................9

C. Maqashid Syariah Sebagai Paradigma Pengembangunan Ekonomi


Islam...........................................................................................................1O

D. Diskusi..............................................................................................12
.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................15

DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang bersifat komprehensif, yang mengatur
seluruh kehidupan insan, baik dari pada sudut Aqidah, Ibadah, Akhlak mahupun
Muamalah.Antara ilmu yang tidak kurang pentingnya dalam Islam ialah ilmu
Ekonomi Islam, atau dalam Bahasa Arabnya disebut sebagai Iqtisod Islami.Hampir
ribuan Ulama„ Islam telah mengarang pelbagai kitab yang menyentuh soal yang
berkaitan dengan Muamalah umumnya, dan Ekonomi Islam khususnya.
Perkembangan ekonomi dan bisnis syari„ah dewasa ini terlihat semakin
pesakhususnya di Indoensia. Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa lembaga
syari„ah, seperti perbankan syari„ah, asuransi syari„ah, pasar modal syari„ah,
reksadana syari„ah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syari„ah, pegadaian
syari„ah dan lain-lain. Ekonomi dan bisnis syari„ah ini bukan hanya dalam bentuk
lembaga-lembaga di atas, akan tetapi juga meliputi berbagai aspek yang sangat luas,
seperti ekonomi makro dan mikro dan masalah-masalah ekonomi lainnya.
Terkait dengan permasalahan ekonomi dan bisnis syari„ah, agar
perkembangan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip syari„ah, maka menurut
Agustiantoketerlibatan ulama ekonomi syari„ah menjadi penting, seperti berijtihad
memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik
sekala mikro maupun makro, mendesign akad-akad syari„ah untuk kebutuhan
produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syari„ah, mengawal dan
menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syari„ah dijalankan sesuai
syari„ah.Oleh karena itu,menurut hemat penulis bahwa konsep maqashid syari„ah
al-Syatibi ini penting sekali untuk digunakan sebagai teori kajian dalam ekonomi
dan bisnis syari„ah terkait dengan permasalahan- permasalahan dewasa ini,
sehingga roda perekonomian di tengah-tengah masyarakat benar-benar sesuai
dengan maqashid syari„ah dan yang diharapkan oleh umat manusia.

B. Permasalahan
Maqasid al-syariah adalah tujuan atau maksud dari pada syariah.Di kalangan
para Ulama ada tiga pendapat yang berbeda.Yang pertama pendapat dari Ibnu
Taimiyah yang menyatakan bahwa tujuan dari pada turun nya wahyu Allah SWT
mengenai sebuah sistem di dalam Hukum Islam atau Syariah adalah dalam
rangka mencapai ke adilan (al-adl). Pendapat yang kedua menyatakan bahwa
tujuan daripada syariah adalah untuk mencapai ke bahagian yang abadi
(Sa„adah haqiqiyah). Pendapat yang ketiga yaitu pendapat dari Imam al-
Ghazali yang mengatakan bahwa tujuan dari pada syariah itu untuk
mencapai dan merealisasikan manfaat dan semua kepentingan
(maslahah)yang begitu banyak untuk semua ummat manusia di dunia ini.

659
Hubungan antara Maqashid Syariah dengan mashlahah kaitannya
sangat erat sekali.karena tujuan daripada maqashid syariah itu sendiri adalah
untuk mencapai mashlahah. Para ahli fiqh Islam membagi cakupan lingkup
wilayah pembahasan fiqh (kaitannya dengan ijtihad) menjadi dua,yaitu
muamalah dan ibadah. Ruang ijtihad di bidang muamalah lebih luas daripada
bidang ibadah yang sifatnya ta„abbudi. Ekonomi islam (ekonomi syari„ah)
adalah salah satu bagian dari muamalah. Ekonomi islam cukup terbuka dalam
memunculkan inovasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi
Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi
acuan dan patokan yang sangat penting.Maslahah merupakan konsep
terpenting dalam pengembangan ekonomi Islam.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil sebuah rumusan
masalah bagaimana kedudukan maqashid syari„ah dan maslahah dalam
ekonomi dan bisnis syari„ah dewasa ini, berangkat dari pokok masalah
tersebut, maka penulis akan menjelaskan konsep maqashid syari„ah dan
maslahat yang kemudian akan penulis hubungkan dengan masalah yang
berkaitan dengan hukum bisnis syari„ah dewasa

II. PEMBAHASAN

C. Pengertian Maqashid Syari’ah dan Maslahat

Maqashid Syari„ah ditinjau dari lughawi (bahasa), maka terdiri dari dua
kata, yakni maqashid dan syari„ah.Maqashid adalah bentuk jama„ dari maqashid
yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari„ah secara bahasa berarti ‫تحرد لمواضع ا‬
‫ الماء لى ا‬yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat
juga dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.1Kaitan dengan
maqashid syari„ah tersbut, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-
beda yaitu maqashid syari‟ah, al-maqashid al-syar‟iyyah fi al-syari‟ah, dan
maqashid min syar‟i al-hukm. Walau dengan kata-kata yang berbeda, manurut
Asafri Jaya Bakri mengandung tujuan yang sama yakni tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT. Sebagaimana ungkapan al-Syatibi:
―Sesungguhnya syari‟at itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat‖ dan
―Hukum-hukum disyari‟atkan untuk kemaslahatan hamba‖.2Dengan demikian,
memberikan pengertian bahwa kandungan maqashid syari„ah adalah
kemaslahatan umat manusia. Sedangkan menurut istilah, dikalangan ulama ushul
fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu
hukum bagi kemaslahatan umat manusia, disebut juga dengan asrar asy- syari‟ah
yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syarak,
berupa kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. 3Oleh
karena itu, Asafri Jaya Bakri memandang bahwa kandungan maqashid
syari‟ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan itu, melalui maqashid syari„ah tidak
hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan
pengembangan hukum dilihat sebagai susuatu yang mengandung nilai filosofis
dari hukum-hukum yang di syari„atkan Tuhan terhadap manusia.4
Adapun pengertian maslahat dalam Ensiklopedi Hukum Islam, secara
bahasa maslahat adalah bentuk masdar dari madli sholaha dan bentuk tunggal
dari jama„ masholeh yang artinya sama dengan manfaat.5Oleh karena itu, segala
sesuatu yang mempunyai nilai manfaat bisa dikatakan maslahah.Sedangkan
pengertian maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam al-Ghazali bahwa
maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syarak.Ia memandang bahwa suatu kemaslahatan
harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia. Tujuan syarak yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.Jadi menurut al-Ghazali bahwa setiap
seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara
kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya dinamakan
maslahat.6Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maslahat adalah manfaat
yang hendak di capai oleh manusia dalam segala aspek kehidupan.Jadi, kalau
kita cermati kedua definisi di atas maka maqashid syari„ah dengan maslahat
merupakan sesuatu yang memiliki keterkaitan dan hubungan yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.

D .Pembagian dan Metode Memahami Maqashid Syari’ah


`
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum
dari menasyrikkan hukum menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidup


mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu adalah segala yang diperluka untuk
hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-
undang kehidupan, timbulnya kekacauan, dan berkembangnnya kerusakan. Urusan-
urusan yang dharuri itu dikembalikan pada lima pokok yaitu agama, jiwa, ‗aqal,
keturunan dan harta.

2. Meneyempurnakan segala yang dihayati manusk ia. Urusan yang dihayati


manusia itu ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan
menanggung kerusakan-kerusakan taklif dan beban-beban hidup. Apabila urusan itu
tidak diperoleh , tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan,
melainkan hanya tertimpa kesempitan dan keruasakan saja. Urusan urusan
yang dihayati dalam pengertian ini, melengkapi segala hal yang menolak
kepicikan, meringankan kerusakan taklif dan memudahkan jalan-jalan bermuamalah

3. Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Yang dikehndaki


dengan urusan –urusan yang mengindahkan ialah segala yang diperlukan oleh rasa
kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini
tidak diperoleh , tidaklah cedera peraturan hidup dan tidak pula ditimbulkan
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal kuat dan fitrah sejatera.
Makashed Syariah: Pilar-pilar Tujuan Islam dalam Konteks
Ekonomi

Makashed Syariah, yang terdiri dari lima tujuan utama dalam Islam,
memainkan peran krusial dalam membentuk landasan ekonomi yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Setiap pilar Makashed Syariah memiliki
implikasi dan aplikasi yang signifikan dalam aspek ekonomi, berkontribusi
pada pembentukan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Hifz al-Din (Memelihara Agama)

Hifz al-Din, yang mengacu pada memelihara agama, memberikan arahan


tentang jenis transaksi dan aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan. Prinsip ini
menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus senantiasa sejalan dengan etika dan
ajaran agama. Dalam konteks ini, ekonomi Islam mendorong praktik bisnis yang
menghormati nilai-nilai moral dan etika Islam, seperti larangan terhadap
produk- produk yang haram atau meragukan kehalalannya.

Hifz al-Nafs (Memelihara Jiwa)

Hifz al-Nafs, yang berkaitan dengan memelihara jiwa, menekankan


pentingnya menciptakan lingkungan ekonomi yang mendukung kesejahteraan fisik
dan mental masyarakat. Prinsip ini membawa implikasi langsung pada
perlindungan hak-hak pekerja, penghindaran praktik eksploitasi, dan pendukungan
terhadap kondisi kerja yang aman dan sehat. Ekonomi Islam juga mendorong
investasi dalam sektor-sektor yang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.

Hifz al-Nasl (Memelihara Keturunan)

Pilar hifz al-nasl, yang mengacu pada memelihara keturunan, menekankan


pentingnya menjaga stabilitas keluarga dan masyarakat. Dalam ekonomi Islam,
prinsip ini tercermin dalam aturan-aturan mengenai pernikahan, warisan, dan
tanggung jawab sosial terhadap anggota keluarga yang membutuhkan.
Perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak serta pemberdayaan
keluarga adalah bagian integral dari penerapan prinsip ini.

Hifz al-Mal (Memelihara Harta)

Hifz al-Mal, yang berkaitan dengan memelihara harta, membimbing cara


pengelolaan kekayaan dan harta benda. Dalam ekonomi Islam, prinsip ini
menghasilkan larangan terhadap riba dan praktik spekulatif yang merugikan.
Alternatif seperti zakat dan infaq diperkenalkan untuk mendorong
redistribusi kekayaan dan mengurangi kesenjangan ekonomi.

Hifz al-'Aql (Memelihara Akal)

Hifz al-'Aql, yang berhubungan dengan memelihara akal, menuntun kita untuk
melakukan transaksi dan kegiatan ekonomi dengan transparansi, kejujuran, dan
etika. Prinsip ini menghindarkan dari praktik penipuan, manipulasi informasi, dan
korupsi.
Makashed Syariah, sebagai pilar-pilar tujuan Islam, memberikan panduan
yang jelas bagi ekonomi Islam dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang
adil, berkeadilan, dan berkelanjutan. Melalui penerapan prinsip-prinsip ini,
ekonomi Islam mengarah pada pembentukan masyarakat yang lebih sejahtera dan
mendukung keseimbangan serta keadilan dalam aspek ekonomi.Menurut
Syathibi, Maqashid dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu Maqshud asy-
Syari‟dan Maqshud al-Mukallaf. Dalam pembahasan ini akan difokuskan pada
yang pertama (Maqshud asy-Syari‟), karena dalam bagian tersebut terdapat teori
pokok tentang Maqashid.Maqshud asy-Syari‟ terdiri dari empat bagian, yaitu:

1. Qashdu asy-Syari‟ fi Wadh‟i asy-Syari‟ah (maksud Allah dalam


menetapkan syariat)
2. Qashdu asy-Syari‟ fi Wadh‟i asy-Syari‟ah lil Ifham (maksud Allah
dalam menetapkan syari„ahnya ini adalah agar dapat dipahami)
3. Qashdu asy-Syari‟ fi Wadh‟i asy-Syari‟ah li al-Taklif bi Muqtadhaha
(maksud Allah dalam menetapkan syari„ah agar dapat dilaksanakan)
4. Qashdu asy-Syari‟ fi Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-Syari‟ah
(maksud Allah mengapa individu harus menjalankan syari„ah).

Dalam pandangan Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum)


bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul
mashalih wa dar‟ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat. Aturan-aturan
dalam syari„ah tidaklah dibuat untuk syari„ah itu sendiri, melainkan dibuat untuk
tujuan kemaslahatan.8Sejalan dengan hal tersebut, Muhammad Abu Zahrah juga
menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan.Tidak ada satu aturan
pun dalam syari„ah baik dalam al-Qur„an dan Sunnah melainkan di dalamnya
terdapat kemaslahatan.9Dengan demikian dapat dipahami bahwa serangkaian
aturan yang telah digariskan oleh Allah dalam syari„ah adalah untuk membawa
manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari segala hal yang
membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga
di akhirat. Kata kunci yang kerap disebut kemudian oleh para sarjana muslim
adalah maslahah yang artinya adalah kebaikan, di mana barometernya adalah
syari „ah.Adapun kriteria maslahah, (dawabith al-maslahah) terdiri
dari
dua bagian:
1. Maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan
membuatnya tunduk pada hawa nafsu.10
2. Maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini
tidak bertentangan dengan sebagian (juz`iyyat)-nya.

1
Asafri Jaya Bakri, “Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
1996, hlm. 61.
2
Ibid, hlm .63-64
3
Ibid, hlm. 65-66.
4
Ibid, hlm. 65-66.
5
Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hove)1996,
hlm. 1143
6
Ibid, hlm, 1144
7
Drs Khairul Umam dkk, Ushul Fiqih II, ( Bandung : PUstaka Setia), 2005, hlm, 128-129
8
Fathi ad- Daraini, al-Manahij al-Ushuliyyah fi Ijtihad bi al-Ra‟yi fi al-Tasyri (Damsyik: Dar al-Kitab
al- Hadis),1975 hlm. 28.
9
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‗Arabi), 1958, h. 336.
E. Maqashid Syariah Sebagai Paradigma Pengembangunan Ekonomi Islam

Problem ekonomi biasanya dikaitkan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa
yang diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi.
Pertanyaan- pertanyaan itu muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan
manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia itu terbatas.
Namun demikian teori-teori dalam ekonomi konvensional tidak mampu untuk
memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas. Akibatnya, teori-teori
tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan problem ekonomi manusia.
Selama ini teori ekonomi konvensional mendefinisikan bahwa problem
ekonomi
sebagai how to maximise the satisfaction of wants from the available
resources wich are relatives to wants. Definisi ini mengandung inkonsistensi,
karena meskipun variabel kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) itu
dihilangkan, apakah problem ekonomi yang dihadapi oleh manusia juga
akan hilang dengan sendirinya. Jawabannya tentu „tidak‟, karena
ketidakmampuan materi (sumber daya) untuk memuaskan keinginan manusia.
Galbraith, sebagaimana yang dikutip M. Fahim Khan, mempertanyakan:
Bagaimana mungkin proses produksi dapat memuaskan keinginan jika
proses produksi itu sendiri justru menciptakan keinginan. Anda tentunya
juga masih ingat hukum Say yang mengatakan the supply creates its own
demand. Tidak mengherankan kemudian jika T. Scitovsky menyatakan bahwa
negara- negara kapitalis yang kaya menjadi masyarakat konsumeris yang banyak
melakukan pemborosan.10
Dalam perspektif Syari‟ah,pakan kewajiban agama. Oleh karena fulfilling
needs merupakan kewajiban agama, maka ekonomi islam juga menjadi sebuah
“kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk
melakukan pembangunan ekonomi.Berdasarkan uraian tersebut maka yang
menjadi problem ekonomi adalah, bagaimana individu memenuhi
kebutuhannya (fulfilling needs), karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi
tertentu sumber daya yang tersedia menjadi terbatas.
Ilmu ekonomi konvensional tidak membedakan antara kebutuhan
dkeinginan,karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu
kelangkaan. Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian
pula sebaliknya. Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-
sumber daya alam secara membabi-buta dan merusak keseimbanganekologi.11Pada
sisi yang lain, Ekonomi Islam justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih
segala keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan (maximization of
satisfaction) bukanlah spirit dalam perilaku konsumsi Ekonomi Islam, karena
hal tersebut adalah norma-norma yang disokong oleh peradaban yang
materialistik.12
Sebagai gantinya Ekonomi Islam memerintahkan individu untuk memenuhi
kebutuhannya/needs sebagaimana yang dikehendaki oleh syari‟ah. Needs memang
muncul dari keinginan naluriah, namun dalam framework Islam tidak semua keinginan
naluriah itu bisa menjadi kebutuhan. Hanya keinginan yang mengandung maslahah
saja yang dapat dikategorikan sebagai needs.
Teori ekonomi konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk
menguasai/memiliki barang dan jasa guna memuaskan keinginan manusia.
Satisfaction atau kepuasan hanya dapat ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap
orang dapat menentukan tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia
tetapkan sendiri. Semua aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun
konsumsi, didasari pada semangat utilitas.Namun dalam Ekonomi Islam hanya
barang/jasa yang dapat mengembangkan dan menopang maslahah sajalah yang
dapat dikategorisasikan sebagai barang/jasa yang mengandung maslahah.
Oleh karenanya, dari sudut pandang agama, seorang individu muslim
didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang mengadung
kemaslahatan. Barang/jasa dapat diukur tingkat kemaslahatannya relatif pada
kemampuan barang/jasa tersebut untuk mengembangkan maslahah. Bagi para
ekonom muslim, konsep maslahah lebih obyektif dari pada konsep utilitas untuk
menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah mungkin akan
menyisakan sedikit subyektifitas, namun subyektifitas tersebut tidak membuatnya
samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas.
Ada tiga alasan mengapa maslahah lebih superior dari pada utilitas, yaitu :13 Ada tiga
alasan mengapa maslahah lebih superior dari pada utilitas, yaitu:14
1. Maslahah memang bersifat subyektif, karena setiap individu dapat
menentukan sesuatu yang baik/maslahah bagi diri mereka sendiri. Akan
tetapi kriteria untuk menentukan maslahah ini lebih jelas dan terarah, dari
pada subyektifitas yang ada pada konsep utilitas. Dalam konsep utilitas,
alkohol (minuman keras) bisa jadi mengandung utilitas tapi bisa juga
tidak, relatif pada individu masing-masing. Namun dalam Ekonomi
Islam, karena alkohol tidak mengandung kemaslahatan dan jelas
kontradiktif dengan al-kuliyyah al-khamsah maka jelas alkohol tidak akan
dikonsumsi.

2. Konflik kepentingan antara kepentingan individu dan kepentingan


sosial dapat dihindari, atau setidaknya diminimalisir. Hal ini karena
kriteria maslahah antara individu dan sosial dapat disinkronkan, sesuai
yang tertuang dalam aturan-aturan syar‟i. Dalam pandangan Asad Zaman,
perilaku konsumsi muslim terkait dengan tiga hal yaitu, altruisme,
penolakan terhadap konsep satiation; dan feeding the poor

3. Konsep masalahah berlaku pada semua aktifitas ekonomi di masyarakat,


baik itudalam proses produksi dan konsumsi. Berbeda halnya dengan
ekonomi ; dimana utilitas adalah tujuan dari konsumsi; sedangkan profit
atau keuntungan adalah tujuan dari proses produksi.
Dalam sejarah Ekonomi Islam, dikenal sebuah lembaga yang disebut
dengan al-Hisbah.15 Lembaga yang berada di bawah otoritas
negara yang bertugas untuk mengkondisikan
masyarakat untuk
melaksanakan tanggung jawabnya adalah sebuah lembaga keagamaan
(dalam istilah Ibnu Khaldun disebut dengan wadzifah diniyyah;sedangkan al-
Maqrizi menyebutnya dengan khidzmah diniyyah).16
Tujuan lembaga ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya deviasi atau
penyimpangan di masyarakat, menjaga keimanan dan memastikan bahwa
kesejahteraan masyarakat baik dalam dimensi duniawi dan ukhrawi telah sesuai
Tidak sedikit literatur yang membahas al-Hisbah, terutama sejak tahun 620 s.d
1800M. Di antara para ekonom muslim yang memberikan perhatiannya
terhadap al-Hisbah adalah al-Qodli Abu Ya‟ali, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, al-
Sharazi, Ibnu Taimiyyah, al- Maqrizi, al-Shan‟ani dan Tajuddin al-Subhi.Ada
beberapa istilah yang sering dilekatkan dengan al-Hisbah, antara lain adalah
’Amil ala al-Suq, Sahib al-Suq, dan al-Muhtasib. Jika al- Hisbahlebih
cenderung dipahami sebagai lembaganya, maka tiga yang disebutkan terakhir
lebih dimaknai sebagai subyek atau pelaku yang bekerja untuk lembaga al-
Hisbah. Istilah ’Amil ala al-Suq telah muncul pada masa awal kenabian,
sedangkan al-Muhtasib (dan istilah ini yang lebih populer) baru muncul pada
masa khalifah al-Ma‟mun (821-833).
Secara umum, tugas lembaga al-Hisbah, menurut Yassine Essid, dapat
dibagi menjadi dua kategori:“…we discover two categories of responsibilities, or
rather, we find ourselves looking at two different figures: the censor of
morals who breaks musical instruments, pours out wine, beats the libertine and
tears off his silken clothing, and the modest market provost, a man who controls
weights and measures, inspects the quality of the foods on sale, ensures that
markets are well supplied, and occasionaly sets the price of goods.”
Sebelumnya al-Ghazali dalam Ihya‟-nya, membahas empat hal yang terkait
dengan al- Hisbah, yaitu kualifikasi atau syarat menjadi seorang muhtasib;
kondisi dan proses penerapan al-Hisbah; pihak-pihak yang dapat menjadi
muhtasib dan tingkatan-tingkatan dalam penerapan al-Hisbah.Menilik trend
ekonomi kekinian, maka lembaga yang berwenang untuk mengemban tugas ini
menurut hemat kami dapat dilakukan dengan cara bahwa tugas- tugas tersebut
langsung ditangani oleh pemerintah. Pemerintah dapat memainkan peran
sebagai regulator terhadap para “pemain” di pasar; pemerintah dapat
berfungsi sebagai produsen terhadap barang/jasa yang tidak dapat dibingkai
dalam frame profit-oriented dan barang/jasa dalam kategori non-rivalrous and
excludable goods; pemerintah sekaligus juga dapat berfungsi sebagai konsumen
untuk menjaga stabilitas pasar.

10Muhammad Abid al-Jabiri sebagaimana yang dikutip Muhammad Guntur Romli, Menggagas
Fiqh
Maqashid dalam www.islamlib.com,, diakses 04 Januari 2019
11Muhammad Akram Khan, An Introduction to Islamic Economics, (Pakistan: IIIT and Institute of

Policy
Studies, 1994,) hlm. 15.
12 Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2006), hlm. 69-70.


13.Muhammad Najetullah Siddiqi, “Islamic Consumer Behaviour”, dalam Sayyid Tahir et. all

eds.), Reading in Microeconomics: An Islamic Perspective, (Malaysia: Longman Malaysia, 1992), hlm.55.
14.Asad Zaman, “Towards Foundation for an Islamic Theory of Consumer Behaviour” dalam

F.R. Faridi (ed.), Essays in Islamic Economic Analysis, (New Delhi: Genuine Publication & Media Pvt
Ltd., 2002), hlm.40-42.
15Al-Maqrizi, as-Suluk fi Ma’rifati al-Duwal wa al-Muluk,(Kairo: t.t.t., 1956), hlm.120.

16Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Beirut: Trans Vincent Monteil, 1978), hlm. 200.
Diskusi
Berbicara tentang ekonomi islam sangat erat kaitannya dengan maqasid yaitu
menjaga harta. Dengan demikian transaksi muamalat memiliki landasan
epistemologinya yang bersumber pada penalaran maqasid asy-syariah. Tujuan
syariah dalam transaksi muamalah adalah menciptakan kesejahteraan umat
manusia dengan menyeimbangkan harta benda antara kaum kaya dan kaum miskin
secara berkeadilan dan seimbang.
Terkait dengan urgensi maqasid tidak dapat dipisahkan dari ushul fiqh,
mayoritas ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting
dalam ilmu- ilmu syariah, tema terpenting dalam ushul fiqh adalah Maqasid asy-
syari‟ah. Maqasid asy- syariah adalah jantung dalam kajian ushul fiqh, karena itu
Maqasid asy- syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam
merumuskan ekonomi syari‟ah, menciptakan produk-produk perbankan dan
keuangan syari‟ah. Para ulama telah sepakat bahwa pengetahuan maqasid asy-
syari‟ah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai
problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang.
Maqasid asy-syariah tidak hanya diperlukan untuk merumuskan kebijakan-
kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal, public finance), tetapi juga untuk
menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori
ekonomi mikro lainnya. Maqasid asy-syariah juga diperlukan dalammembuat
regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah. 11 Maqasid asy-syari‟ah tidak
saja menjadi factor-faktor yang paling menentukan dalam melahirkan produk-
produk ekonomi syariah yang dapat berperan ganda (alat sosial kontrol dan
rekayasa sosial economi), namun lebih dari itu maqasid asy-syariah sebagai basis
dimensi filosofi dan rasional terhadap produk-produk hukum ekonomi islam yang
dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi kontemporer. Maqasid asy- syariah
sebagai alat pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam memandang aqad-
aqad dan produk-produk perbankan syari‟ah yang berorientasi pada tujuan makna.
Dari tujuan pelaksanaan ekonomi syariah itu sendiri. Dengan pendekatan
maqasid asy- syariah produk perbankan dan keuangan syariah dapat berkembang
dengan baik dan dapat merespon kemajuan bisnis yang terus berubah dengan cepat.
Sehingga perkembangan perekonomian islam menjadi dinamis.
Pesatnya saingan usaha, inovasi teknolgi yang berkembang secara deras
berdampak pada kompleksnya persoalan yang muncul seperti sukuk, repo
pembiayaan sindikasi antar bank syariah dan konvensional, restrukturisasi,
pembiayaan property indent, ijarah maushufahsh fiz zimmah, pembiayaan multi
guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan fidusia, hipotek dan hak
tanggungan, cicilan emas, investasi emas serta sejumlah kasus yang bermunculan.
Semua kasus dan upaya ijtihad terhadap kompleksitas ekonomi dan keuangan
syariah masa kini yang terus berubah dan berkembang memerlukan analisis
berdimensi filosofis dan rasional dan substantive yang terkandung dalam maqasid
asy-syari‟ah. Tanpa maqasid asy-syari‟ah semua pemahaman mengenai ekonomi
syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku, begitu juga para
pakar ekonom syariah akan selalu keliru dalam memahami ekonomi syariah dan
penyelesaiannya. Tanpa maqasid asy-syariah produk keuangan dan perbankan,
regulasi, fatwa, kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan substansi syariahnya.
Tanpa maqasid syari‟ah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi
perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan statis. Ini akan
berakibat pada lambatnya perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syari‟ah.
Selain itu tanpa maqasid syari‟ah maka pengawas dari regulator gampang
menyalahkan yang benar ketika mengaudiit bank-bank syariah. Tanpa maqasiid
syariah maka regulator akan dengan mudah menolak produk inovatif yang sudah
sesuai dengan syari‟ah sebenarnya.
Jiwa maqasid syariah melahirkan konsep fikih muamalah yang elastis,
fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman. Penerapan
maqasid syari‟ah akan membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang
dan kreatif menciptakan produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk-
produk bank-bank konvensional.
Dari paparan diatas tersebut mengisyaratkan bahwa ekonomi islam dapat
dikatakan sebagai suatu pengetahuan yang membantu untuk merealisasikan
kebahagiaan, kesejahteraan manusia dengan melalui alokasi dan distribusi sumber-
sumber daya langka yang seirama dengan tujuan syariat islam atau maqasid asy
syariah dengan tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidak
seimbangan makroekonomi dan ekologi atau melemahkan solidaritas keluarga dan
sosial serta jaringan moral masyarakat. Secara umum dapat pula dikatakan bahwa
tujuan ekonomi islam adalah untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi
jangka panjang dan memaksimalkan kesejahteraan manusia yang tidak hanya
terpenuhinya kebutuhan materi saja namun juga spiritual dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai keluarga dan norma-norma.

System ekonomi yang berdasarkan pada syariah tidak hanya merupakan sarana
untuk menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi tetapi juga merupakan sarana
untuk merelokasi sumber-sumber daya kepada orang-orang yang berhak menurut
syariah sehingga dengan demikian tujuan efisiensi ekonomi dan keadilan dapat
dicapai secara bersamaan.
PENUTUP
D. Kesimpulan

1. Ekonomi islam adalah seluruh kegiatan ekonomi yang dalam pelaksanaannya


didasarkan pada ajaran agama Islam yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Hadits
dengan mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan, keadilan, kejujuran dll.
pelaksanaan ekonomi islam tidak boleh keluar dari Ruhnya yaitu Amarma‟ruf-
Nahimungkar dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai yaitu kemakmuran
dan kesejahteraan umat.
2. Tujuan akhir ekonomi islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat islam itu
sendiri (maqasid asy syariah) yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
yakni dengan melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat. Mewujudkan
kesejahteraan yang hakiki bagi manusia merupakan dasar sekaligus tujuan
utama dari syariat islam, karenanya juga merupakan tujuan ekonomi islam.
Perlindungan maslahah terdiri dari lima hal yakni : keimanan, keilmuan, kehidupan,
harta, dan kelangsunga keturunan. Jika salah satu dari lima kebutuhan tidak
terwujud, maka tidak akan tercapai kesejahteraan manusia tersebut. Ekonomi
islam dan juga maqasid asy syariah sama-sama menuju mewujudkan dan
meningkatkan kesejahteraan manusia secara kolektif atau bersama-sama serta
membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian
perhatian utama ekonomi syariah adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
meteriil dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
spiritualnya, sehingga diperlukan penopang utama yaitu moralitas pelaku
ekonomi.Konsep ideal ekonomi syariah yang berbasiskan Maqasid Syari‟ah adalah
dalam rangka mengembangkan dan menjawab seluruh problematika ekonomi.
Maqasid asy- syariah harus dijadikan sebuah metode untuk memehami,
mengembangkan dan menyelesaikan problematika perkembangan ekonomi karena
dalam Jiwa maqasid syariah mampu mewujudkan fiqh muamalah yang lincah,
progresif
DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, Epistemologi Ekonomi Islam, dalam www.pelita.or.id, diakses tanggal


04 Januari 2019. Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid., Jakarta: Rajawali Press,
1996.
Essid, Yassine, A Critique of The Origins of Islamic Economic Thought, Leiden: E.J.
Brill, 1995.
Ghazzali, Abd al Salam, al-Imam al, al-Mizan fi al-Salafi, Kairo: Dār al-
Futuh, 1994. Ghazzālī, Al, al-Mustasyfa fi Ilm al-Usul, Beirut: Dar
al-Kutub alIlmiyyah, 2000.
Abu Zahrah Muhammad, Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‗Arabi),
1958.
Ad-Daraini Fathi, al-Manahij al-Ushuliyyah fi Ijtihad bi al-Ra‟yi fi al-
Tasyri (Damsyik: Dar al-Kitab al-Hadis), 1975
Afandi Yazid, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga
Keuangan Syari‟ah”, (Yogyakarta: Logung Pustaka), 2009
Abd Muqsith Ghazali, A. Qadri Azizi, dkk, “Pemikiran Islam Kontemporer di
Indonesia”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005
Hafidh, Ahmad. Meretas Nalar Syariah Konfigurasi Pergulatan Akal Dalam
Pengkajian Hukum Islam. Cet. I. Yogyakarta: Sukses Offset, 2011.
Manan, Abdul. Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal
Syariah Indonesia: Cet. 1. Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Mufid, Mohammad. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer dari Teori ke
Aplikasi Cet. I. Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
Rivai, Veithzal., dkk. Islamic Banking & Finance dari Teori ke Praktek Bank &
Keuangan Syari’ah sebagai Solusi dan Bukan Alternative. Cet.2.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2013.

Anda mungkin juga menyukai