Anda di halaman 1dari 67

SKRIPSI

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING ANAK


USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BINAUS
KECAMATAN MOLLO TENGAH KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN

OLEH

YANTONI KASE
NIM :
1420122045A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NUSANTARA
KUPANG TAHUN
2023

i
ABSTRAK

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA


BALITA USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BINAUS
KECAMATAN MOLLO TENGAH KABUPATEN TTS

Yantoni Kase

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nusantra kupang


tonikase92@gmail.com

Latar Belakang: Stunting termasuk salah satu problematika dalam bidang gizi kronia
karena asupan gizi yang diperlukan jauh dibawah standar pada umumnya, sebagain
besar karena asupan makan yang kurang. Kelainan tersebut dikarenakan beberapa hal
yang berkaitn satu sama lain karena sebab secara lansung dan tidak, serta adanya
problematika yang ada disekitar publik. Biasanya stunting disebabkan kurangnya gizi
kronis dalam waktu lama, sering mengalami penyakit pada awal kehidupan anak dan
tidak cukupnya protein pada jumlah total asupan kalori, sementara fktor tidak langsung
contohnya kurangnya faskes yang baik, pola asuh anak yang minim, dan kemanan gizi
pada pangan keluarga. Tujuan : mengetahui korelasi pola asuh ibu pada aktivitas
stunting anak usia 24-59 pada UPT Puskesmas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Metode: Kajian ini menerapkan kajian secara
kuantitatif melalui kajian analisis yang memiliki tujuan untuk
kalkulasi data dengan baik, penelitian suatu obyek sampel, metode penghimpunan
sampel secara umum dengan metode random, penghimpunan dengan instrumen kajian,
juga analisa yang statistik, dimana bertujuan guna pengujian hipotes yang sudah
ditentukan. Penghimpunan data dengan kuisuoner atau angket serta pengukuran tinggi
balita dengan microtoise serta dirubah pada value paling standar (z-score) . Data lalu
dilakukan analisa melalui pengujian Spearmen’s Rho dengan signifikansi α=0,05. Hasil:
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara pola asuh ibu
bersama dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan (p0,002 r0,326). Kesimpulan:
Korelasi yang dihasilkan yakni termasuk lemah serta hubungannya pada masing-masing
variabel searah dimana berarti terdapat perubahan perilaku yang baik sehingga taraf
kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Binaus kecamatan Mollo Tengah
Kabupaten TTS akan berkurang sehingga para tenaga kesehatan harus menerapkan
sosialisasi kesehatan tentang pola asuh ibu yang baik dan perubahan perilaku atau
kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada balita

Kata kunci : Stunting, balita, pola asuh ibu

ii
ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN MOTHER PARENTING AND STUNTING


INCIDENCE IN TODDLERS AGED 24-59 MONTHS IN THE WORKING AREA OF
THE PUSKESMAS BINAUS, MOLLO TENGAH DISTRICT, TTS REGENCY

Yantoni Kase

Kupang Nusantra College of Health Sciences


tonikase92@gmail.com

Background: Stunting is a chronic nutritional problem caused by insufficient


nutritional intake for a long time, generally due to food intake that does not meet
nutritional needs. Stunting is caused by many interrelated factors, both direct and
indirect, and the root causes of problems in society.
causes Directly affected by chronic malnutrition for a long time, often suffering from
infectious diseases early in a child's life and insufficient protein in the proportion of
total caloric intake, while indirectly influenced by the reach and quality of health
services, inadequate parenting patterns, inadequate good environmental sanitation
conditions and low food security at the household level. Objective: to determine the
relationship between mother's upbringing and the incidence of stunting in children aged
24-59 months in the working area of UPT Binaus Health Center, Central Mollo
District, South Central Timor Regency. Method: This study uses quantitative research
with analytical research methods that aim to calculate data accurately, besides that this
method also requires the ability to interpret complex data. Quantitative research is a
research method used to examine certain populations or samples, sampling techniques
are generally carried out randomly, data collection uses research instruments, analysis
and is quantitative/statistical in nature, with the aim of testing predetermined
hypotheses. Toddlers' height is measured using a microtoise and converted into a
standardized value (z-score). Data were analyzed using the Spearmen's Rho test with a
significance of α=0.05. Results: The results showed that there was a significant
relationship between maternal parenting and the incidence of stunting in toddlers aged
24-59 months (p0.002 r0.326). Conclusion: The relationship that occurs is a weak
relationship and the relationship between these variables is unidirectional, meaning
that the more there is a change in good behavior, the stunting incidence rate in the
Binaus Health Center work area, Central Mollo sub-district, TTS district will decrease
so that nurses and other health workers must increase health promotion about good
maternal parenting and changes in behavior or habits that can affect the occurrence of
stunting in toddlers

Keywords: Stunting, toddlers, mother's parenting style

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan problematika dalam kesehatan terkait dengan gizi kronis

dikarenakan kurangnya asupan gizi yang masuk sebab tidak sesuai dengan yang

seharusnya dibutuhkan. Kelainan terebut dikarenakan kandungan gizi yang kurang dalam

tubuh juga hal secara langsung atau tidak disekitar publik. Penyebab faktor langsung

disebabkan karena kurangnya gizi kronis dalam waktu lama, sering menderita penyakit

infeksi pada awal kehidupan anak dan tidak cukupnya protein pada jumlah total asupan

kalori, sementara sebab tidak langsung karena rendahnya fasilits layanan kesehatan, pola

asuh anak yang minim, problematika kecukupan pangan dalam keluarga (Sulistiyani,

2011). Pola asuh yakni kapabilitas yang dimiliki seorang ibu dalam merawat, mengasuh,

menemani anak dalam masa tumbuh kembangnya pada keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan pendapat Soekirman (2000), pola asuh termasuk suatu perilaku Ibu pada

anaknya dalam mengasuh, mengajari anak, memberi kebuuhan, kesehatan, pangan, kasih

sayang, dan sebagainya. Berdasarkan kajian Zeitlin (2000), pola asuh mempunyai 4

faktor utama yakni : perlindungan serta perawatan, pemberian ASI, dan MPASI

(Makanan Pendamping ASI), pegasuh psikososial, juga kebersihan lingkungan. ASI dan

MPASI yang diberikan meliputi pada praktek pemberian pangan (Astari et al., 2005).

1
World Health Organization (WHO) melakukan prediksi jika 22,2%

atau 149,2 juta penderita < 5 tahun mengalami kelainan ini di 2021. Area

asia mempunyai jumah paling banyak yakni 79 juta (52,9%), khususnya

pada Asia tenggara (54,3 Juta), Afrika 61,4 juta (41,1%) dan Amerika latin

5,8 juta (3,8%) (jdh.kemenkes.2021).

Di Indonesia tercatatat ada 10 propinsi dengan prevalensi di atas

nasional (37,2%) yaitu Nusa Tengara Timur 37,80%, Sulawesi Barat

33,80%, Aceh 33.20%, Nusa Tengara Barat 31,40%, Sulawesi Barat

31,40%, Kalimantan Barat 29,80 %, Sulawesi Tengah 29,70%, Papua

29,50%, Gorontalo 29,00% (SSGI.2021). Pada tahun 2022 Survei Status

Gizi Indonesia (SSGI) di mana prevelensi kelaianan ini di tanah air

sudah banyak perubahan sehingga turun dari 24,4% menjadi 21,6%

(Sehat Negeriku .2022). Sekitar 5,33 juta balita menderita stunting.

Ditinjau dari provinsinya masing-masing, melihat dari SGSGI 2021,

NTT adalah wilayah penderita stuntung paling banyak yakni 37,8%. Jika

ditinjau setiap kabupaten, melihat survei Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kabupaten dengan penerita

stunting paling banyak yakni Kabupaten Timor Tengah Selatan pada

tahun 2020 mencapai 24,4% balita stunting, tahun 2021

23,30%

2
balita stunting (Kemkes. 2021). Presentase data terakhir pada bulan

Agustus 2022 total balita stunting di kabupaten Timor Tengah Selatan

11642 atau 28,3% (Data Balita stunting e-PPGBM, Agustus 2022

Kab.TTS). Demikian juga untuk stunting di Kecamatan Mollo Tengah

pada tahun 2020 terdapat 313 balita stunting, tahun 2021 ada 340 balita

Stunting serta saat 2022 mencapai 311 balita, (44,3%) (e-PPGBM)

Stuntung cukup krusial untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut

karena kasusnya semakin banyak dan meningkat sampai dengan

pningkatan fsilitas kesehatan. Kelaianan pada anak ini dapat dideteksi

ketika masih pada kndungan ibi smpai usianya 23 bulan.

Berdasarkan pemaparan yang sudah dijelaskan, penulis akan melakukan

kajian terkait dengan korelasi pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak

usia 24-59 bulan di Wilayah kerja UPT Puskemas Binaus kecamatan Mollo

Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut paparan latar beakang yang sudah dijelaskan sehingga

rumusan maslah pada kajian ini yakni apakah terdapat hubungan pola asuh

ibu terhadap kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Wilayah kerja

UPT Puskemas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah

Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Kajian ini bertujuan guna melihat adanya hubungan pola

asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 24-59

3
bulan di Wilayah kerja UPT Puskesmas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten

Timor Tengah Selatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Melihat kebiasaan pengasihan makanan pada anak stunting usia

24-59 bulan di Wilayah kerja UPT Puskemas Binaus,

Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

2. Mengetahui kebiasaan pengasuhan pada anak stunting usia

24- 59 bulan di Wilayah kerja UPT Puskemas Binaus,

Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

3. Mengetahui kebiasaan pelayanan kesehatan pada area

Puskesmas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten

Timor Tengah Selatan.

4. Menganalisis hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting

anak usia 24-59 bulan pada area Puskesmas Binaus, Kecamatan

Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Menjadi salah satu acuan riset bahan kajian terkait dengan pola

asuh stunting usia 24-59 bulan, khusus di bidang keperawatan.

Kajian ini juga mampu dimanfaatkan dalam institusi peayanan

kesehatan menjadi acuan bahan pendidikan.

4
1.4.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi institusi pendidikan

Kajian ini bermanfaat guna peningkatan wawasan ilmu

kepustakan juga menjadi standart untuk kajian yang akan datang

dengan topik yang sejenis.

2. Manfaat bagi masyarakat

Bagi publik atau masyarakat, kajian ini ampu

meningkatkan wawasan terkait bagaimana cara pola asuh anak

yang baik dan benar.

3. Manfaat bagi instansi kesehatan

Kajian ini bermanfaat dalam pemberian berita informasi

serta wawasan untuk stanar dalam sosialisasi pencegahan

stunting pada anak dan balita dengan optimal yakni balita

terkhusus pada umur 24-59 bulan di Wilayah kerja UPT

Puskemas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor

Tengah Selatan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDSAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

No Peneliti Judul Hasil Metode


1 Brigite Hubunga Pola asuh Kajian Macam kajian
memperlihatkan yang digunakan
Sarah dengan kejadian bahwa ada korelasi yakni deskriptif
Renyoet Stunting anak usia yang nyata analitik melalui
2018 6-23 bulan pada antara dukungan rancangan cross
area
pesisir ibu pada anak sectional
Kecamatan Tallo pada pemberian
pangan
Kota Makasar melalui kejadian
stunting
pada usia 6-23 bulan
dengan nilai p =
0,001 .
2 Gilbert Hubungan Hasil penelitian Kajian termasuk
Aldoniy pengetahuan menunujakan Kajian kuitatif
Hutabarat Pendidikan serta analisis bivariete Dengan
rancangan
2021 polah asuh mengatakan adanya Cross sectionl
pemberian pangan hubungan
terhadap kejadian pengetahuna ibu
Stunting pada balita dengan kejadian
usia 36 – 59 bulan Stunting (p = 0,001).
di puskemas Tidak terddapat
korelasi
Sigompul pendidikan terhadap
kejadian Stunting (p
= 0,151). Ada
korelasi pola asuh
pemberian makanan
dengan kejadian
stunting (P = 0,00).
3 Utari Hubungan pola Hasil penelitian dari Kajian ini
menerapkan
kajian deskriptif
Juliani asuh orang tua 32 sampel, dimana melalui
2018 dengan kejadian mempunyai pola asuh cross sectional.
stunting pada balita baik sebanyak 18
dipaud Al responden (56.25%),
Fitra Kecamatan Sei serta polah asuh tidak
Rampah Kabupaten baik yakni 14
Serdan Begadai sampel (43.75%),

6
Tahun 2018 dan balita stunting
sebanyak 12
responden (37.5%).
Hasil Uji Chi Square
menunjukan bahwa
nilai p = 0.000).
4 Nurhalika Hubungan pola Hasil kajian Kajian
Wahyuni asuh ibu dengan menunjukan tidak menerapkan
Bahtiar kejadian stunting terdapat korelasi pola kuantitatif
2019 pada anak balita di praktek pemberian dengan kajian
Daerah Pesisir Desa pangan (p = 0.945). cross sectional.
Bonto Ujung
Kecamatan
Tarowang
Kabupaten
Jeneponto)
5 Ridha Hubungan pola Hasil kajian Kajian
Cahya pemberian makan memperlihatkan ada menerapkan
Prakhasitas dengan kejadian korelasi yang kajian
2018 stunting pada balita Nyata pada pola korelasinal
usia 12-59 bulan di pemberian pangan melalui
wilayah kerja dengan pendekatan
Puskesmas Tambak kejadian stunting cross sectional
Wedi Surabaya pada balita umur 12-
59 bulan (p = 0,002).

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Konsep Pola Asuh

a. Pengertian pola asuh

Pola asuh adalah suatu sistem pengasuhan bagi orang tua

yang mengajarkan terkait komuniksi interaksi antara keduanya

(Tarmudji, 2002). Komunikasi ini mencakup semua hal yang yang

diajarkan pada anak selama pross tumbuh kembang (Ulfah, 2008).

Pola pengasuhan anak termasuk dalam fungsi yang krusial bagi

kelompok masyarakat yang juga masuk dalam pemenuhan

keperluan dasar anak misalnya pemberian pangan,

7
jenis pemberian makan, serta jadwal pemberian makan, serta

PHBS untuk anak. Juga ada kegiatan pemantauan terkat

kesehatan,/penyediaan fasilitas kesehatan, dan perawatan. Pola

tersebut berhubungan dengan pemenuhan pangan, penjagaan

fisikm mental, jasmani, dan rohani (Bahar, 2002). Maka dari itu

sistem pengasuhan pada balita harus diperhatikan sebab berdampk

pada tumbuh kembang balita.

Keluarga berperan krusial pada pengasuhan anak, khususny

para Ibu yang akan membawa anak mereka tumbuh kembang

sampai dewasa (Ayu, 2008). Pola asuh yang diberikan ooleh para

Ibu terasuk dalam merawat anak balita. Hal ini berhubungan

dengan kondisi Ib misalnya pendidikan, wawasan, kesehatan, dan

lain-lain (Suharsih, 2001). Aksi nyata pada pola asuh anak yang

melipiuti sikap ibu dan perawat balita pada dekatnya pada anak,

pemberian pangan dan kebersihan (Soekirman, 2000). Ibu sendiri

mempunyai peran pentng dalam keluarga selain menjadi ibu

rumah tangga (Sulistyorini, 2007).

8
Ibu berperan utama pada pengembangan SDM pada keluarga juga

memberikan pengajaran juga pendidikan bagi anak sebelum

sekolah. Seorang ayah juga mempunyai peran dalam melakukan

pengasuhan dan mendidik anaknya selain berkewajiban

memberikan nafkah bagi istri dan anaknya (Kartikawati, 2011).

Berdasarkan kajian Sulistyorini (2007), faktor utama pada

pengasuhan yakni ASI dan MP-ASI, menyediakan pangan,

kesehatan, pendampingan psikologi, kebersihan, dan sebagainya

(Zeitlin, 2000). Berdasarkan Picauly dan Magdalena (2013),

pengasuhan sendiri meliputi aktivitas merawat yang

diimpementasikan pada kegiatan Ibu seperti pemberian ASI,

rangsangan perkembangan anak, pemberian pangan, kebersihan,

juga perawatan. Selaras dengan kajian Rakhmawati dan Panunggal

(2014), memeperlihatkan korelasi yang terjadi pada ilmu wawasan

pada sikap Ibu dalam menyediakan pangan yang baik bagi anak.

Anak dengan asuoan gizi yang mencukupi maka akan mengurangi

angka kesakitan yang mungkin dapat terjadi.

9
Adanya kebiasaan pada keluarga ketika engasuh anak meliputi 3

hal yakni pemberian pangan, kebiasaan pengasuhan, juga kebiaaan

saat pemberian fasilitas layanan kesehatan (Gibney, 2004).

2.2.2 Kategori pola pengasuhan

a. Kebiasaan pemberian makan

Para anak atau balita harus memperleh kandungan gizi yang

cukup dan memdai sehingga akan mendorong proses tumbuh

kembangnya sampai dewasa. Hal ini dibutuhkan pemahaman,

perhatian, dan asuhan yang baik dari orang tua yang tidak hanya

memberi makanan yang baik tapi juga mengerti kapasitas yang

dibutuhkan, terutama peran para ibu. Kandungan nutrisi yang tidak

mencukupi kebutuhan anak mampu mengakibatkan kurangnya

nutrisi dan gizi (Sulistyoningsih, 2011 (Purwani, 2013)).

Diharapkan ibu dapat pandai dan cerdas pada pmilihan pangan

yang sehat untuk anaknya untuk kebutuhan gizinya dapat

terpenuhi dengan baik karena anak tidak tahu ap yang ia makan

dengan kandungan gizinya maka dari itu peran ibu cukup penting

10
sehingga proses perkembangan anak tidak mengalami ganggun (Nadesul et al.,

2007).

Berdasarkan Sulistijani (2005), sesuai dengn pertambahan

umur anak kebutuhan gizi yang dibutuhkan juga harus seamakin

baik dan seimbang. Gizi seimbang yakni suatu komponen pangan

dalam harian dimana mengandung kebutuhan nutrisi dan gizi pada

jumlah yang sesuai menurut kebutuhan kita. Maka dari itu,

diperlukan rotasi pemberian pangan yang rutin karena setiap jenis

makanan memunyai kadar gizi yang berbeda-beda. (Muharyani,

2012).

Ketika menyediakan pangan bagi anak dan balita orang tua

khususnya ibu juga harus mempertimbangka terkait dengan

kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan oleh anak dari masa bayi

sampai dengan balita sehingga anak mampu dibiasakan dalam

mengkonsumsi pangan yang nutrisi dan gizinya baik dan sesuai

untuk kebutuhannya (Arifin, 2015). Kajian oleh Boediman et al.

(2009), mengatakan jika frekuensi dalam meberi pangan bagi anak

sebanyak 66,2% atau < 3x sehari dan 33,8% maupun ≥ 3 kali

sehari. Kasus ini terjadi sebab para ibu tidak mampu melakukan

pengolahan pada variansi makanan yang diberikan supaya mampu

tersedia suatu menu yang mempunyai variansi dn teta bergizi.

Berdasarkan banyak penelitian, tingkat keseringan dalam

melakukan konsumsi makan yakni sebanyak 3x sehari. Namun

banyak yang masih belum mempertimbangkan hal tersebut hingga

berdampak pada kebutuhan nutrisinya.

11
Kadar gizi yang diperoleh seorang balita berdampak pada

tumbuh kmbangnya yang baik (Sulistyoningsih, 2011). Anak

dengan umur 24-59 bulan adalah suatu fase ketika mereka

mendapatan gizi dan nutrisi yang baik dan mengalami tumbuh

kembang yang relatif cepat.

Berdasarkan dari CORE (2003), ada sejenis menu makanan

yang mampu diberikan pada balita dibawah ini :

a. Meliputi makanan bergizi dan tidak menyebabkan kenyang

sesaat

b. Menyedikan uang, sayuran, buah, kacng, juga minyak

c. Berbagai jenis makanan yang disediakan

d. Menerapkan produk pangan yang mudah diproleh serta

berdasarkan musim yang ada.

e. Menerapkan bahan pangan dimana banyak akan vitamin A,

besi, sert mikronutrien lain

f. Menerapkan produk hewani;

12
g. Melakuakan pengecean ulang terkait dengan kebutuhan gizi

setiap makanan

Menyediakan pangan bagi anak damapk berdapak pada

kebutuhan gizi anak yang terpenuhi. Dari kecil harus

dibiasakan anak dapat makan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Hal tersebut dapat didorong kedu orang tua dengan

menyediakan fasilitas makan yang mearik supaya anak lebih

semangat dalam mengkonsumsi makanan bergizi. Hal tersebut

juga berguna untuk meningkatkan kapabilitas motorik dan

sensorik untuk tumbuh kembangnya (Muharyani, 2012).

Menurut Almatsier (2011), ada beberapa hal yang haru

menjadi perhatian bagi para orang tua khususnya para Ibu dalam

pemenuhan gizi dan nutrisi seorang anak yaki dibawah ini :

a. Pangan harus mengandung bahan yang berkualitas serta

seimbang pada gizinya

b. Peralatan masak dan alat lain harus dalam kondisi

higienis.

c. Mencuci sayur dan buah sampai lunak sebelum dimasak.

d. Makanan dapat disimpan dalam lemari penyimpanan apabila

tidak dimakan dan dihidangkan .

13
e. Untuk makanan yang dibekukan, apabila akan dimakan harus

dianaskan dahulu.

b. Kebiasaan pengasuhan

Tumbuh kembang anak yakni mencakup sosial, intelektual,

emosional, juga intelektual. Anak diberikan pengasuhan dan

pengarahan oleh kedua orangtua hinghga menjadi suatu bekal yang

baik bagi masa depannya. Fase ini yakni dimana anak melakukan

perkembangan sikap perilaku yang mencotoh orang sekitarnya

termasuk orang tua.

Adaya adat dalam sistem pengasuhan adalah termasuk

bentuk komunikasi dna interaksi antara orang tua dan anak.

Perilaku itu termasuk teknik orang tua ketika menyediakan

perhatian juga peraturan dalam pemenuhan keperluan dalam

mendidik anak. Adanya pengasuhan oleh orang tua dalam

pendidikan, pemberian perhatian, pemenuhan kebutuhan, juga

terkait pembiasaan kesehatan (Yusuf, 2013).

Menurut Sulistiyani (2011), adanya lingkungan harus

diusahakan tidak dalam aktivitas yang hanya ekali namun harus

konsisten. Lingkungan yang sehat berkaitan dengan

14
Kondisi yang senantiasa bersih. Maka dari itu, seorang ank harus

dibiasakan kebiasaan baik yakni dibawah ini :

a. Mandi sebanyak 2xdalam satu hari

b. Mencuci tangan ketika akan makan dan setelahnya

c. Makan untuk kebutuhan nutrisi sebanyak 3x dalam satu hari

d. Melakukan pemebrsihan gigi sebelum istirahat

e. Membuang akhir di tempat yang seharusnya.

Anak mungkin akan sedikit sulit untuk melakukan

kebiasaan baik tersebut, sehingga harus dibiasakan sedikit demi

sedikit. Orangtua sehingga memiliki peranan penting dalam

pembiasaan baik terebut sehingga melatih perilaku disiplin bagi

anak karena seorang anak pada masa itu tidak bisa menyediakan

kebutuhanny sendiri (Sulistyorini, 2007).

Pengasuhan yakni suatu faktor yang berkaitan dengan

tumbuh kembang anak yang berumur 5 tahun. Khususnya,

kurangnya nutrisi dan gizi mengakibatkan lambatnya tumbuh

kmbang otk serta dapat menurunkan daya tahan tubuh sampai

terinfksi penyakit (Santoso, 2005).

15
c. Pemanfaatan pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yakni termasuk dalam suatu cara bagi

anak serta keluarga dalam mendapatkan fasilitas pelayanan

kesehatan serta memelihara kesehatan dan juga wawasan.

Pelayanan fasilitas kesehatan yang kurang juga termasuk

permasalahan yang sering dihadapi (Amir, 2009).

Pelayanan kesehatan sendri dapat mencakup adanya

kunjungan ke faskes terdekat, program imunisasi, suplemen A serta

melakukan konsumsi tabel tambah darah, dan memanfaatkan

antenatal care (Welasasih et al., 2012). Kunjungan tersebut mampu

membantu para ibu alam pemantauan status gizi dan kesehatan

anak atau balita (Aulia, 2016).

Imunisasi harus diperuntukkan bagi anak dan balita untuk

pencegahan penyakit seperti BCG, hepatitis B, polio, DPT erta

campak. Pada kajian Aulia (2016), mengatakan jika anak yang

menderita stunting dikarenkan kurang memperoleh imunisai

dengan lengkap, sehingga ana akan mudah terserang berbagai

masalah kesehatan mislanya diare, DBD, malaria sebab kebutuhan

imunisasi yang kurang (Sengupta, 2016).

16
2.2.3 Balita

a. Pengertian Balita

Balita sendiri adalah seorang anak yang mempunyai usia >

5 tahun maka bayi yang usianya dibawah itu tergolong balita juga.

Fase balita pada anak yani fase anak dengan tumbuh kembang

yang cepat dibandingkan fase lain. Pada fase ini anak sudha

melakukan berbagai aktivitas yakni berjalan, mencoba berbicara,

dengan kapabilitas yang terbatas, sehingga fase ini sering juga

dikenal dengan golden age atau fase keemasan. (Uripi, 2004).

b. Karakteristik Balita

1) Pertumbuhan anak balita

Berdasarkan kajian oleh Istiany (2013), pertumbuhan

yakni suatu dinamika perubahan yang meilputi seluruh anggota

tubuh dan organ yang ada pada alita, misalnya perubaahan

berat dan tinggi badan. Di umur 24 bulan, anak akan teru

melakukan pertumbuhan sampe dengan usia kanak-kanak.

Pertumbuhan akan mengalami perlambatan dengan stabil lalu

akan meningkatk kembali ketika memasuki fase peralihan ke

remaja. Pertumbuhan dapat dilihat dari laju tinggi badan dari

bayi sampai dewasa. Terlihat perbedaanya secara nyata

17
Terkait ukuran kepala, panang kaki, lingkar dada, sampai

tinggi badan. Adanya perubahan tubuh diawali pada tahun

pertama, juga ada pengaruh terkait dengn gizi, ras, pola asuh,

infeksi, dan sebagainya. Di umu 224-59 bulan gizi akan

berkurang sebab telah memasuki masa aktif (Nugraheni,

2015).

2) Perkembangan Anak Balita

Usia 24-59 bulan termasuk masa perkembangan pada

usia sebelum sekolah. Terjdi perubahan pada prilaku secara

psikologis, juga kemampuan melakukan aktivitas seperti akan,

berbicara, berkomunikasi dengan baik, menggunakan berbagai

peralatan sederhana. Dalm hal ini, perkembangan yang terjadi

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya lingkungan,

fisik, psikologis sehingga tampilan masing-masing anak

berbeda-beda (Istiany, 2013). Perkembangan secara kognitif

balita contohnya yakni pemahaman bahasa, pencarian benda,

sementara secara fisik ditandai dengan berjalan dan berdiri.

Secara aspek psikologis, balita akan dengan pola asuh juga

berkaitan dengan perkembangan sisi mental, intelegensi,

motorik, bahasa, bicara, dan emosi (Nugraheni, 2013).

18
Berikut Tabel 2.1 yang memperlihatkan pola perkembangan

motorik anak (Istiany, 2013).

Tabel 2.1 perkembangan Motorik Anak

Usia Motorik Kasar Motorik Halus


Anak dapat melakukan
1-2 Anak dapat merangkak
pengambilan obyek
Tahun memakai ibu jari
Usia 12 bulan anak dapat berdiri dan Melakukan pengambilan
berjalan beberapa langkah obyek pada wadah
Usia 15 bulan anak dapat berjalan cepat Usia 15 bulan anak dapat
membuka halaman buku
Penyusunan balok menjadi
Disegerakan duduk supaya tidak jatuh
menara
Peindahan cairan pada
Anak mulai merangkak ditangga
beberapa tempat
Pemakaian kaos kaki dan
Anak mulai merangkak ditangga
sepatu mandiri
Memutar tombol radio atau
tv
Menarik dan mendorong benda keras, Pengupasan pisang dengan
seperti meja Kursi hasil seadanya
Aktivitas pelemparan bola

2-3 Anak mulai melompat-lompat Dapat mencoret-coret


Tahun Anak dapat berjalan mundur hingga 3 Mengambar garis lurus serta
meter lingkaran tidak teratur
Melakukan penendangan bola
Pembukaan grendel pintu

Anak dapat memanjat kursi Menggenggam alat tulis


Melakukan pengguntingan
Berdiri di atas kursi
obyek dengan kurang
sempurna
Dapat bangun dari tidur tidak Mengoperasikan kancing
memakai bantuan baju dan resleting
Anak dapat berdiri dikursi tanpa

19
Usia Motorik Kasar Motorik Halus

Berpegangan

Melakukan berjalan dengan tumit Membuka tutup toples


Pemakaian baju lengkap
Mampu berdiri dengan satu kaki

Menaiki tangga dengan kaki

Melompat dari anak tangga terakhir Melakkan pelemparan bola


4 Menangis jika ditinggalkan
Tahun Anak mulai berlari
orangtuanya
Tidak menyukai permainan
Anak mulai melompat
interaktif
Mengajak melakukan
Anak mulai memanjat
permainan temannya
Menulis dengan genggaman
Bersepeda roda 3
tangan yang sempurna
Melakukan pengejaan
Mengajukan pertanyaan
5
Penendangan bola
Tahun

Melompat dengan satu kaki Mengambar dan melakukan


pewarnaan
Mulai membca bacaan
Anak dapat memanjat
dengan kurang fasih
Anak mulai bermain sepatu roda Tutur bicara gamblang

Anak dapat bermain sepeda Berteriak

Berlari cepat Mandiri

Perkembangan kemampuan bahasa

20
2.2.4 Stunting

a. Pengertian Stunting

Stunting (pendek) yang biasa dikenal dengan kekurangan

gizi kronik yakni suatu terhabatnya fase tumbuh kembang bagi

anak. Kurangnya gizi kronik ini merupakan suatu kondisi yang

sudah lama ada. Anak yang menderita stunting biasanya terlihat

mempunai badan yang proporsional namun berbeda dengan

ukuran normal pada usianya (Yusdarif, 2017).

Berdasarkan Bloem et al. (2013), stunting yakni fenomena

terhambatnya proses pertumbuhan sebab kandungan gizi dan

nutrisi yang tidak terpenuhi semenjak masa kecil yakni 24 bulan.

Berdasarkan kajian UNICEF, stunting merupakan kondisi ketika

anak mempunyai tinggi badan -2 dari ukuran normal rata-rata pada

standar usia yang ada. Sedangkan berdasakan Onis et al. (2012),

stunting termasuk suatu proporsi anak yang kurang -2 dari suatu

stancdar deviasinya menurut keterangan WHO.

Berdasarkan kajian Wiyogowati (2012), yakni suatu status

gizi dengan acuannya yakni indeks panjang badan berdasarkan

usia (PB/U) / tinggi badan berdasarkan usia (TB/U) yang berupa

istilah gabungan dari stunted (pendek) serta severly stunted (sangat

pendek). Kelainan ini telah diawali dari

21
Bayi masih dalam kandungan sebab gizi dan nutrisi kehamilannya

kurang tercukupi, pola makan ibu yang buruk, juga frekuensi

dalam menderita penyakit.

b. Epidemiologi

World Health Organiszation (WHO) memprediksi jika

22,2% /149,2 juta usia < 5 tahun mengalami Stunting di tahun

2020. Area dimana mempunyai angka stunting tertinggi yni 79 juta

(52,9%), terdapat pada Asia tenggara (54,3 juta), diikuti oleh frika

61,4 juta (41,1%) serta Amerika latin 5,8 juta (3,8%)

(jdh.kemenkes.go.id). Di indonesia tercatatat ada 20 propinsi

dengan angka diatas standar nasional (37,2%) dimana angka

tertinggi terdapat di propinsi Nusa Tengara Timur 37,80% (SSGI,

2021).

c. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Stunting

Fenomena stunting ini termasuk dalam langkah-langkah

yang bisa diperhitungkan semenjak dalam kandungan ibu, ketika

kanak-kanak juga pada siklus hidup. Fase yang mempunyai

peluang besar anak terkena stunting yakni ketika kehidupan 2

tahun pertama (Jayanti, 2015). Berdasarkan kajian WHO (2013),

terdapat beberapa hal dimana berkaitan dengan stunting yang

menyerang anak yakni dibawah ini :

22
1. Faktor Keluarga dan Rumah Tangga

Penyebab dari stunting masalah keluarga bisa karena

maternal serta lingkungan. Beberapa faktor maternal yakni

asupan gizi yang buruk ketika fase kehamilan, kehamilan usia

rentan, remaja, karena prematur, jarak hamil yang singkat,

psikologis, juga tekanan darah tinggi. Hal ini disebabkan

asupan gii diperlukan bagi tumbuh kembang janin dalam

kandungan (Welasasih et al., 2012).

Perolehan nutrisi dari suplemen atau vitamin juga

harus diberikan untuk mendorong kebutuhan gizi janin. Zat

mikro yang dibutuhkan yakni : asam folat, zat besi, zinc,

iodium, dan sebagainya. Protein juga diperlukan untuk

mendorong pertumbuhan serta kesehatan ibu dan janin

(Isnaeni et al., 2014).

Beberapa hal dari lingkungan mengakibtkan gangguan

stunting misalnya perawatan yang tidak maksimal pada anak,

kebersihan buruk, terganggunya sanitasi, air buruk,

kecukupan pangan yang kurang, serta rendahnya tingkat

edukasi asuhan. (Unicef Indonesia, 2012).

23
2. Asupan Makanan yang tidak Adekuat.

Pangan yang diberikan harus juga berkualitas baik

bisa mencukupi mutu, problematika terkait dengan

kebersihan pangan. Kualitas makanan yang buruk misalnya

yakni mikronutrien yang rendah, macam jenis nya tiak

banyak, sumber protein yang seddikit, juga karena kandungan

antinutrien. Makanan yang dberikan tidak adekutketika sakit

dan tidak sakit juga harus diperhatikan, misalnya kebersihan,

penyimpanan makanan, dan sebaginya (UNICEF, 2012).

3. Riwayat Pemberian ASI Eksklusif

Penyediaan ASI eksklusif untuk bayi yang baru lahir

sampai dengan usia 6 bulan mempunyai pengaruh besar

dalam masa tumbuh kembangnya. Anak yang tidak diberikan

ASI eksklusuf akan berpotensi menyebabkan stunting atau

pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat.

24
IDAI sendiri memberi saran untuk pemberian ASI

eksklusif harus sdilakukan selama 6 bulan upaya tumbuh

kembang anak mampu optimal. Bayi yang memperoleh ASI

umumnya melakukan perkembangan dengan baik yakni 2-3

bulan (Agho et al., 2009). Sedangkan WHO memberi saran

jika ASI diberikan hingga masa lanjutan sampai dengan 24

bulan atau lebih. Adanya perkembangan bayi 6-24 bulan

ketika pemberian ASI dapat terlihat perubahannya, Sehinggga

WHO menyarankan ASI diberikan sampai dengan 24 bulan

juga dengan tambahan berupa MPASI (WHO, 2010).

Pemberian ASI untuk anak hingga 2 tahun mampu

berdampak ppada bidang ekonomi keluarga dikomparasikan

dengan susu forula. Bayi mempunyai sistem pencernaan yang

belum optimal, sehingga jika diberi asupan berupa susu

formula akan kesulitan dalam menceernanya yang akan

mengakibatkan gangguan bahkan kerusakan pada sistem

perncernaannya sendiri (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

25
AI sendiri tidak membutuhkan pengolahan tertentu

sebab kandungan gizi dan nutrisinya sudah mudah dicerna

bagi bayi. Pemberian ASI ini harapnnya mampu menjaga

kesehatn dan menunjang tumbuh kembang bayi karena bayi

yang memperoleh ASI mempunyai status gizi yang optimal

dan berpotensi mengalami pertumbuhan yang sehat (Rahayu

dan Sofyaningsih 2011).

4. Pemberian MP-ASI

Jika anak sudah berumur 6 bulan ke atas, keperluan

gizi bayi akan makin banyak jenisnya. ASI saja kurang bisa

memenuhi kebutuhan gizi sehigga harus ditunjang bahan lain

yang menddukung pemenuhan nutrisinya, yakni Makanan

Pendamping ASI. Karena anak yang berumur 6-7 bulan anak

kan dikenalkan dengan makanan padat sehingga

membutuhkan aktivitas kemampuan dalam melakukan

penguyahan makanan.

MPASI yang diberikan wajib diberikan pada waktu

yang tepat. Hal itu berarti, seluruh bayi wajib dikenalkan

MPASI ketika usia 6 bulan lebih dengan porsi yang seimbang

dan cukup. Perlu diperhatikan juga terkait dengan

konsistensi, proporsi, keseringan jenis makanan untuk

mendukung pemenuhan gizi dan nutrisi (WHO, 2015).

26
WHO menyarankan jika bayi mendapatkan MPASI

paada umur 6 bulan. Pemberiannya dapat dirancang seperti

berikut, 2-3 x dalam sehari ketika usia 6-8 bulan, lalu akan

mengalami pningkatan sampai 3-4 x dalam 1 hari saat

usianya mencapai 9-11 bulan serta ketika 12-24 bulan

disuguhkan makanan ringan (WHO, 2011).

5. Riwayat Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi yang berpotensi menjangkiti anak

akan mempengaruhi turunnya nafsu makan sehingga

penyerapan nutrisi sistemnya akan terganggu, mikronutrien

yang berkurang, metabolisme yang mengalami peningkatan,

hilangnya nutrien sehingga menyebabkan proses tumbuh

kembang dapat terganggu. Penyakit infeksi tersebut biasanya

cacing, inflamasi, malaria, nafsu makan yang rendah, dan

sebagainya (Unicef Indonesia, 2012).

27
6. Pendidikan Ibu

Berdasarkan kajian yang sudah dikerjkan teerkait

dengan korelasi pendidikan ibu dengan tingkat stunting di

mesir mengatakan jika pendidikan Ibu yang makin tinggi

akan mengurangi anak dengan resiko stunting. Di Kenya,

anak dengan ibu yang mempunyai tingkat pendidikan rendah

mudah megalami malnutrisi juga stunting. (Senbanjo et al.,

2011). Kajian yang diselenggarakan di Papua menerangkan

jka ibu yang berpendidikan tinggi juga mengurangi resiko

anak terkena stunting. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi

akan menyediakan sanitasi yang baik, pelayanan kesehatan,

juga wawasan baik terkait kesehatan (Wiyogowati, 2012).

7. Pekerjaan Ibu

Mat pencaharian Ibu juga berperan dalam penyediaan

nutrisi pangan bagi tumbuh kembang anak, sebab apa yang

dilakukan ibu juga mempengaruhi pendapatan yang

didapatan. Maka dari itu, jika pendapatan yang diperoleh

lebih baik maka Ibu akan cenderung menyediakan fasilitas

gizi yang lebih baik. Hal ini bukanlah menjadi penyebab

terganggunya kualitas gizi pada anak, namun mempengaruhi

dalam pemberian gizi serta pola perawwatan juga

pengasuhan. Berdasarkan Lestari (2015), mengatakan jika

terdapat korelasi antara pola asuh juga mata pencaharian ibu.

28
Ibu yang bekerja akan mengurangi pemberian waktu

bagi pemantauan tumbuh kembang anaknya jika

dikomprasikan dengan ibu yang tidak bekerja, namun

perhatiannya tidak akan berbeda. Hal ini disebabkan ibu yang

bekerja tidak mampu melakukan pemantauan secara langsung

pada pola tumbuh kembangnya sehari-hari, juga berpotensi

anak tidak terawat karena dititipkan pada pengasuhnya serta

anggota keluarga lain. Sehingga adanya pola asuh ini akan

mempengaruhi tumbuh kembang anak akan mengalami

gangguan (Jayanti, 2015).

29
8. Jumlah Anggota Keluarga

Julah keluarga disini yakni banyaknya anggota

keluarga setiap kepala yakni ayah ibu, anak, juga anggota lain

dari pengelolaan sumber pendapatan tidak berbeda

(Syukriawati, 2011). Banyaknya anggota keluarga yang ada

ini menentukan besaran pemenuhan makanan. Semakin

banyak anggota maka kebutuhan dalam penyedian makanan

akan emakin tinggi juga sebaliknya. Keluarga yang

mempunyai banyak anggota yang besar maka kan berpotensi

mengalami pembagian jatah makanan sehingga kebutuhan

nutrisinya pun terbagi tidak maksimal (Yasmin, 2014).

Selain hal tersebut keluarga dengan jumlah anggota yang

banyak akan melakukan pembagian pada jumlah makanan

sehingga kebutuhan gizi yang seharusnya imiliki jadi tidak

optimal. Anak dari keluarga yang miskin berpotensi

mengalami kekurangan gizi karena asupan makanannya

sudah terbagi (Aditianti, 2010). Kondisi ini sering terjadi

sehingga mengakibatkan kapasitas penyediaan panngan

terganggu. Maka dari itu dapat dikataan jika banyaknya

jumlh keluarga mempengaruhi kemungkinan resiko stunting

pada anak (Yasmin, 2014).

30
9. Sanitasi dan Higiene Lingkungan

Hal ini diakibaatkan karena banyak faktor misalnya

sikap dan kebaisaan tidak menjaga kebersihan dengan baik

sehingga menimbulkan penyakit (WHO, 2007). Higiene yang

terjadi pada anak tergantung dengan kebiasaan yang

dilakukan oleh kedua orang tuanya. Sehingga perlu dilakukan

dan membiasakan hal baik terkait esehatan bagi anak supaa

anak mampu meniru yang dilakukan oleh orangtuanya

sampai dewasa (Kahfi, 2015).

31
Selain itu juga diperlukan kapbilitas ibu dalam menjaga

kebersihan tempat lingkungan anak, misalnya tepat bermain,

tempat tiddur, dan sebagainya (Aulia, 2016). Sanitasi mampu

menciptakan kebersihan dan kesehatan lingkungan yang baik

hingga bisa meminimalisir kemungkinan terjadinya infeki

pnyakit yang dapt diderita oleh anak. (WHO, 2011).

10. Umur

Stunting wajib diperhatikan ketika 24-59 bulan. Hal

tersebut dapat memicu perlambatan pada pertumbuhan

cenderung mengalami perlambatan sehingga tubuh akan

berkembang tidak maksimal dibandingkan dengan usia

normalnya. Fase ketika 24-59 bulan yakni usia yang bayi

mengalami perkembangan yang sangat cepat untuk

kapabilitas kognitif juga motorik. Dibutuhkan keadaan fisik

yang paling baik untuk menunjang pertumbuhan yang

optimal.

32
Seorang anak yang usianya kurang dari 5 tahun sering

mengalami infeksi penyakit sampai membuat anak

kemungkinan mengalami kurang gizi. Di usia 2-6 tahun

anaka mengalami pertumbuhan yang stabil sampai adanya

perubahan aktivitas yang meningkat juga peningkatan

pemikiran (Anisa, 2012).

Perihal umur yakni salah hal yang mengakibatkan gizi

seorang anak. Jika usia makin tinggi, sehingga kapabilitas

akan menurun untuk mengerjakan sesuatu yang lebih baik

(Katrasapoetra dan Marsetyo 2008). Kajian oleh Fitri (2012),

menghasilkan teori jika anak usia 6 bulan akan mengalami

pertumbuhan, juga perubahn asupan makanan yang bermutu,

juga terkait engan infeksi dari lingkungan dalam infeksi

penularan penyakit. Kajian Ramli et al. (2009), pada

Rakhmawati (2014) pada Makassar memperlihatkan jika

kemungkinan stunting serta severe stunting lebih besar pada

usia 24-59 bulan yakni 50% serta 24%.

33
11. Jenis Kelamin

Jenis kelamin mampu mengakibatkan besar serta kecil

keperluan anak. Keperluan nutrisi bagi anak laki-laki dan

perempuan tentu sangat berbeda. Laki-laki mengalami

perkembangan otot yang lebih daripada perempuan sehingga

kebuuan gizi dan nutrisinya harus terpenuhi. Berdasarkan

kajian Syukriawati (2011), jenis kelamin pada anak tidak

berpengaruh terhadap kebutuhan nutrisi serta asupan gizinya.

Pembelajaran kohort pada Ethiopia memperlihatkan

jika balita laki-laki beresiko stunting lebih besar

dikomparasikan dengan bayi 6-12 bulan (Medhin et al.,

2010). Menurut kajian Nasikhah dan Margawati (2012), pola

asuh orang tua pada dalam pemenuhan kebutuhan gizinya.

34
12. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Diperlukannya fsilitas layanan kesehatan ynag

memadai dan optimal untuk mencapai kesehatan keluarga

yang sejahtera. Usaha didlamnya termasuk untuk memantu

status gizi pada anak juga ketika pemanfaatan status

kesehatan pada lembaga posyandu. Pemantauan teerkait

kesehatan anak juga indikator dalam layanan kesehatan pda

anak. Melalui pemantauan serta monitoring ini anak balita

akan mendapatkan layanan kesehatan yang optimal seperti

vitamin A, imunisasi, vaksin, dan sebagainya (Kahfi, 2015).

2.2.5 Dampak

Stunting mampu berpengaruh pada kualitas hidup anak baik

dalam waktu dekat atau pada masa depan. Pada waktu dekat anak

mampu meningkatkan morbiditas juga mortalitas, serta menurunkan

perilaku kognitif, kapabilitas verbal, juga motorik.

35
Stunting bagi kesehatan juga mampu mengakibatkan kematian. Dalam

hal ekonomi, juga berpengaruh sebab anak yang mnederita stunting

pasti memerlukan biaya dan dana yang banyak untuk pemulihannya

serta perawatannya (WHO, 2013).

Pengaruh stunting pad waktu yang akan datang mampu

menurunkan tingkat IQ, juga gangguan tingkat kepercayan diri.

Adanya kemungkinan obesitas pada anak yang menderita stunting

dpat berlangsung lama. Nantinya dimasa depan perawakannya akan

pendek juga kesehatan reproduksi yang terganggu. Pada bidang kerja

juga mampu menurunkan kapabilitas kerja (WHO, 2013).

Pada kajian Hoddinott et al. (2013), mengatakan jika tunting di

usia 2 tahun mampu menyebabkan pengaruh yang buruk terkait

dengan tinggi badan yang tidak normal juga mengurangi kemampuan

menggenggam sesuatu sekitar 22%.

2.2.6 Penilaian status gizi stunting

Evaluasi kalkulasi terkait gizi anak yang dikerjakan yaitu

melalui antropometri. Indeks antropometri dimana dilakukan

penerapan yakni Berat Badan menurut Umur ( BB/U), Tinggi Badan

menurut Umur TB/U, serta Berat Badan menurut Tinggi Badan

(BB/TB) yang disimbolkan dengan standar deviasi unit z (z score)

(Supariasa et al., 2012). Stunting mampu terlihat jika anak

36
Telah diketahui umurnya atau pengkuran pada tinggi atau pendeknya
jika dikomparsikan denga standar serta hasilnya berada dibawah
standar yang ada. Sehingga jika ditinjau secara fisik anak akan lebih
pendek dikomprasikan pada anak yang lain. Kalkulasi demikian
menerapkan Z-sscore yang berasal dar WHO. Tinggi badan yakni
antropometri dimana menrapkan pertumbuhan skeletal.
Microtoise yakni suatu instrumen guna pengukuran tinggi

badan pada balita (Ningtyias, 2010). Menurut kajian WHO balita ≥ 2

tahun sudah mampu berdiri untuk diukur tingginya. Dibawah ini akan

diterapkan teknik dalam mengukur tinggi baan balita (Riskesdas,

2007).

Suatu alat guna mengukur tinggi badan (microtoise) serta

untuk manusia dewasa dimana memiliki ketelitian 0,1 cm. Menurut

acuan umum antropometri WHO 2005 pada Kemenkes RI (2011),

ukurn TB diperuntukan pada anak ≥ 24 bulan dimana pengukurannya

dengan berdiri. Langkah-langkah dalam penggunaan instrumen

tersebut juga mengukur TB anak yakni berikut dibawah ini

(Riskesdas, 2007) :

37
a) Tahap awal (teknik pemasangan microtoice/ alat pengukur tinggi

badan portable Stadiometer)

1) Memasang baut pada bagian bawah stadiomater.

2) Lalu memasang pipa bagian pertama di base stadiometer

kemudian, kunci di bawah base supaya tiang bisa tegak

3) Melepaskan baut yang ada di atas sisi belakang

pipe pertama, supaya pipe ke-2 bisa terpasang dengan baik

4) Melakukan pemasangan Pipe ke-2 diatas pipe pertama.

Kemudian memasang ulang baut dimana mengkoneksikan pipe

pertama serta ke-2 dengan kunci L 2,5 mm.

5) Memasang head slinder, masukan dari pipe atas. Kemudian

menyesuaikan tingginya dilanjutkan memutar knob guna

melakukan pengencangan head slinder.

6) Melepaskan baut di bagian atas di sisi belakang pipe ke-2.

7) Terakhir, melakukan pemasangan pipa ke-3 pada atas pipe ke-

2 kemudian memasang ulang baut dimana terhubung pipe ke-2

dan ke-3 melalui kunci L 2,5.

8) Stadiometer sudah bisa di gunakan.

b) Prosedur pengukuran tinggi badan

1) Letakan stadiometer di posisi tempat yang rata dan

tidak bergelombang.

2) Meminta responden menanggalkan alas kaki serta penutup

kepala.

38
3) Berdiri pada base stadiometer tanpa alas kaki.

4) Memposisikan bagian belakang tubuh sudah

bersentuhandengan tiang skala.

5) Mengangkat dagu serta meluruskan tatapan mata.

6) Menurunkan head slinder sampai menempel pada tempurung kepala.

7) Membaca angka pada skala stadiometer dan catat hasil

pengukuran tinggi badan.

Antropometri yang diterapkan yakini berdasarkan acuan dari

WHO melalui teknik Z-score. Guna melakukan evaluasi pada status

gizi anak sehingga dilakukan perubahan pada bentuk standar yakni (Z-

score) menerapkan acuan baku antropometri dari WHO 2005.

Kemudian berdasarkan Z- score setiap indikator akan dilakukan

penentuan terkait status gizinya dengan batasan stunting juga

termasuk. .

Tabel 2.2 Kategori dan ambang batas status gizi anak


berdasarkan tinggibadan/umur (TB/U

Indikator Status Ambang Batas (Z-Score Kategori

Gizi

TB/U ≤ -3 SD > -3 SD s/d < -2SD Normal

±2SD
Pendek
> 2 SD s/d < 3 SD

≥ 3 SD Sangat pendek

Sumber : Kementrian Kesehatan RI, 2011 Pengukuran Pola Asuh Ibu

39
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Krangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah abstrak dari suatu realita

agar dapat di konsumsikan dan membentuk suatu teori yang

memjelaskan keterkaitan antar variabel ( baik variabel yang

diteliti maupun yang tidak teliti).

Karakteristik Balita
a. Umur
1. Kebiasaan
b. Jenis Kelamin
Pemberian
Makanan
2. Kebiasaan Kejadia
pemberian n
pengasuhan
Karakteristik Keluarga 3. Kebiasaan
a. Pendidikan Ibu Pelayanan
b. Pekerjaan Ibu Kesehatan
c. Faktor Keluarga

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: variabel Yang tidak diteliti

: Penghubung

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah kebenarannya masih dangkal dan perlu diuji,

patokan atau dugaan atau dali sementara yang kebenaranya akan

dibuktikan dalam penelitian (setiadi,2013). Hipotesis dalam

40
Terdapat hubungan/korelasi antara pola asuh ibu dengan

kejadian stunting anak umur 24-59 bulan pada area Puskesmas

Binaus Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah

Selatan.

41
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Kajian ini menggunakan penelitian kuantitatif melalui teknik

penelitian analisa guna melakukan perhitungan data dengan tepat, juga guna

melaukan analisa interpretasi pada data data majemuk. Kajian secara

kuantitatif yakni teknik pengujian guna melakukan kajian pada populasi

sampel tertentu, metode penghimpunan sampel dilakukan dengan acak dan

random dengan alat penelitian, analisa, yang bersifat kuantitatif guna

menguji hipotesa yang ada (Sugoyono,2016). Deskriptif korelasional, atau

Eksperimen yakni kajian yang dikerjakan guna melihat value variael

mandiri, terkait satu jenis variabel atau lebih. Dikerjakan melalui riset berita

informasi yang korelasinya dengan tanda pada maksud yang ingin dicapai

(Arikunto, 2013).

4.2 Rancangan Penelitian

Desain kajian ini menerapkan cross sectional yakni kajian guna

mempelajari mempelajari korelasi pada variable independen serta

dependen melalui kalkulasi sekali serta pada waktu yang sama

(Natoatmodjo, 2005).

42
4.3 Lokasi Dan Waktu

4.3.1 Lokasih Penelitian

Kajiandilaksanakan pada area kerja Puskesmas Binaus

Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

4.3.2 Waktu Penelitian

Waktu kajian dilakukan pada bulan Mei 2023.

4.4 Populasi dan sampel

4.4.1 Populasi

Populasi pada kajian ini yakni semua balita usia 24-59

bulan yang stunting pada area kerja Puskesmas Binaus

Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah

Selatan. Dengan jumlah 311 yang terdapat stunting

4.4.2 Sampel

Sampel yakni suatu data yang merepresentasikan populasi

yang akan dikaji (Arikunto, 2002:108). Sampel kajian yang

diambil merupakan subjek dari populasi berdasarkan ciri-ciri

inklusi dan eksklusi yang ditentukan. Nilai sampel pada kajian

ini diperoleh dengan menerapkan formula Slovin.

Rumus Slovin:

n =𝑁
1+𝑁.(𝑒)2

311
= 311 311 311 311
= 1+311(0,10)2 = 1+311(0,1) = 1+3.1 = 4.11 =
1+31(10%)

75.669 = 76 orang.

43
Jadi dari keseluruhan populasi dimana dijadikan sebagai

sampel yakni 76 orang.

Keterangan :

N: Besar Populasi

n : Besar Sampel

e : % kelongaran kesalahan dalam pengambilan data, misalnya 10%.

4.4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah simple

random sampling. Berdasarkan kajian Sugiyono (2017:82). Yakni

dalam menetukan sampel dari populasi dilakukan dengan random

tanpa elihat taraf atau tingkat yang ada pada populasi tersebut.

44
4.5 Kerangka Operasional
Berdasarkan Notoadmojo (2007), kerangka operasional yakni semua

hal yang sifatny yang abstrak, serta mampu membantu peneliti saat

menentukn korelasi hsil kajian teori Body of Knowledge. Dbawah ini

adalah kerangka operasinal pada kajian ini :

Jumalah Keseluruan populasi 311 balita


Simple Random
Sampling
Total Sampel 76 orang

Memberi deskripsi kajian dan Informed


Consent

Gambar 4.1 Kerangka Operasional


Penghimpunan data Kuesioner

Mengolah Data dilakukan analisa


menerapkan SPSS 16,0 for windows melalui
pengujian Spearmen Rank test

Hasil dan Simpulan

45
4.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.6.1 Variabel Penelitian

Yakni suatu penciri pada subyek pada kajian mengalami perubahan

dari suatu subyek pada subyek yang lain (Nursalam, 2015). Dalam

penelitian ini terdiri dari 2 variabel yakni bebas dan terikat.

a. Variabel Independen (Bebas)

Variabel independen atau bebas yakni variabel yang

berdampak maupun brperan sebagai faktor berubahnya atau

munculnya variabel dependen (Sugiyono, 2019:68). Variabel

independen pada kajian ini yakni pola asuh ibu pada anaknya.

b. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen yakni variabel yang di

pengaruhi/yang berpern menjadi dampak sebab terdapat variabel

bebas. (Sugiyono, 2019). Pada kajian ini, kejadian stunting pada

anak yang menjadi variabel terikat.

4.6.2 Defenisi Operasional

Definisi operasional yakni langkah-langkah maupun pemberian

arti dalam setiap variabel pada kajian dimana berguna dalam

kepentingan akursi serta komunikasi supaya menyediakan gambaran

serta pengetahuan yang tidak berbeda pada masing-masing variabel

dalam kajian. (Iga Pramitha, 2017).

46
No Variable Defenisis operasional Alat Ukur Skala Skor
Variabel Independen
1 Sistem asuh a. Kebiasaan pemberian Kuiseoner Ordinal 1. Baik
orang tua makanan sehari hari 76 – 100%
a. Kebiasan pada balita di mulai 2. Cukup
pemberian sejak lahir. 56 – 75 %
makanan b. Kebiasaan sistem pola 3. Kurang
b. Kebiasaan asuh yang < 56 %
pengasuhan yang dikerjakan
c. Kebiasaan ibu pada balita yakni
Pelayanan sikat gigi
kesahatan belum tidur,
Pengawasan anak
pada area kotor, serta
memotong kuku
setiap minggu
c. Kebiasaan yang
dikerjakan ibu
pada anak guna
memperoleh faskes
yang meliputi
melakukan
penimbangan ,
memberikan
imunisasi lengkap,
dan pencarian bantuan
profesional tenaga
kesehatan pada anak
sakit.

Variabel Dependen
2 Stunting Kondisi panjang badan Atropometri Ordinal Klasifikasi
balita dimana tidak 0. Stunting
cocok dengan usia yang -3SD sd -2SD
di nilai dengan 1. Normal
menggunakan indikator >-SD sd 3SD
ukuran PB/ U / TB/U (Kemkes RI,
menurut 2020).
atropometri

47
Sumber: http:etsheses.uin-malang.ac.id Metode penelitian menurut Arkunto

(2009:160).

4.7 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah-langkah dalam penghimpunan data pada kajian dibawah ini :

1. Sesudah proposal disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti mengajukan

surat izin kepada akademik STIKES Nusantara Kupang.

2. Peneliti membawa surat perijinan dari kantor perizinan provinsi Nusa

Tenggara Timor

3. Peneliti sudah memperoleh izin dari Dinkes Kabupaten Timor

Tengah Selatan yang di tujukan ke puskesmas Binaus.

4. Mengerjakan kajian responden

5. Peneliti mengkomunikasikan pada responden melalui perkenalan diri

serta penunjukan surat izin.

6. Pemberian alasan maksud kajian serta menyilahkan responden untuk

melakukan tanda tangan persetujuan.

7. Pemberian penjelasan terkait cara mengisi kuesioner.

8. Penulisan angket oleh responden, dan pemberian kesempatan guna

menanyakan hal yang tidak jelas

9. Pengumpulan angket.

10.Menutup petemuan seta pengucapak rasa terimakasih.

48
4.8 Pengolahan Data Dan Analisis Data

4.8.1 Pengolahan Data

Menurut Nusalam, (2015) pada pengelolaan data penelitian ada

banyak cara yakni dibawah ini :

a. Editing

Dilakukan guna melakukan cross check jika data yang

terkumpul adalah data yang telah terpenuhi serta bisa dibaca

dengn sebaiknya, caranya melalui kajian angket yang diterima

dari responden.

b. Coding

Pemberian kode pada setiap data yang ada di lembar

kuesioner guna keperluan analisis statistik dengan komputer.

c. Cleaning

Mengecek ulang guna melakukan cross check ulang data

yang telah dimasukan tidak ad error serta bisa dianalisa lebih

lanjut.

d. Tabulating

Data yang telah di susun dimasukan dalam bentuk tabel

sehingga mudah di analisis.

4.8.2 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisa univariat diterapkan pada masing-masing variabel

berdasarkan hasil kajian. Biasanya pada analisa ini

49
Menciptakan peyebaran dan presentase pada setiap variabel

(Nursalam, 2015). Analisa data adalah fktor yang berkontribusi

guna pencapaian maksud, maksud tujuan pokok kajian yakni

melengkapi jawaban atas pertanyaan kajian dalam

mengungkapkan fenomena (Nursalam, 2015). Analisis univariat

pada kajian ini adalah mengetahui polah asuh ibu, mengetahui

karakteristik balita, melihat kebiasaan pemberian makanan,

mengetahui kebiasaan pelayanan kesehatan, di Wilayah kerja

UPT Puskemas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten

Timor Tengah Selatan.

2. Analisis Bivariat

Analisa yang dikerjakan pada 2 variabel dimana

diperkirakan memiliki hubungan (Nursalam, 2015). Analisa

bivariat merupakan analisa guna melihat keberadaan korelasi

pola asuh ibu pada stunting pada anak usia 24-59 bulan pada area

UPT Puskemas Binaus, Kec. Mollo Tengah Kab. Timor Tengah

Selatan. Analisa pengolahan data yang dilakukan menerapkan

pengujian Spearmen Rank Test. Menerapkan Program SPSS 16.0

For window guna mengetahuan hubungan pola asuh ibu terhadap

kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Wilayah kerja

UPT Puskemas Binaus, Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten

Timor Tengah Selatan. Dengan interprestasi hasil apabila di

50
Taraf sigifikansi P ≤ 0,05 artinya terdapat korelasi antara pola

asuh ibu dengan kejadian stunting terhadap anak usia 24-59

bulan di Wilayah kerja UPT Puskemas Binaus, Kecamatan Mollo

Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan apabila tingkat

signifikan P ≥ 0,05 berarti tiada korelasi pola asuh dengan

kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Wilayah kerja

UPT Puskemas Binaus, Kec. Mollo Tengah Kab.Timor Tengah

Selatan.

4.9 Etika Penelitian

Probelmatika etika dalam kajian ini menerapkan subyk manusia

sehingga menjadi isu sentral yang sedang berkembang sekarang. Kjian

menggunakan 90% subyek yang digunakan yakni manusia. Jika tidak

dikerjakan, sehingga peneliti akan melakukan pelanggaran terhadap hak

otonomi manusia yang berperan sebagai pelanggan. Peneliti menggunaan

subyek dengan menuruti rekomendasi yang telah diberikan. Kenyantaanya

hal tersebut bertentangan dengan adanya asas etika penelitian. (Nursalam,

2016).

Kajian ini mempunyai problematika etika sebagai berikut :

1. Saling respek dan meghormati hak dan martabat masing-masing subyek

guna memperoleh informasi yang berkaitan dengan topik kajian juga

mempunyai keebebasan dalam penentuan pilihan tanpa paksaan dari

pihak manapun hingga partiipan mempunyai aktivitas pada kajian

disertai dengan peyiapan angket persetujuan subyek.

51
2. Kerahasiaan (Confidentiality)

Masing-masing orang memiliki hak dalam perlindungan privasinya

masing-masing yang perlu dijaga juga tidak berhak mneyebar atau

memberikan informasi pribadi secara sembarangan tanpa persetujuan

pihak terkait. Sehingga dalam hal ini peneliti cukup menerapkan coding

saja untuk identitas subyek responden.

3. Keadilan dan Keterbukaan (Respect for Justice an Inclusiveness)

Berdasarkan pendapat peneliti, hal ini mampu menjamin jika

seluruh subyek dapat hak perlakuan juga profit dan benefit yang

sama juga penerapan konsep keterbukaan sehingga tidak ada dis

komunikasi pada kelompok.

52
BAB V
HASIL PENELITIAN

Dalam bagian ini akan disajikan mengenai hasil penghimpunan data yang

dilakukan pada bulan Mei 2023 pada area kerja Puskesmas Binaus Kecamatan

Mollo Tengah Kabupaten TTS. Responden kajian yakni sebanyak 76 dimana

mempunyai anak dengan gangguan stunting pada area Puskesmas Binaus

Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS. Dalam bagian ini, data yang diperoleh

diberikan dengan bantuan deskripi tabel juga interpretasi. Data akan dilukan

penyajian pada 3 bagian, yakni: 1) Deskripsi umum seta tempat kajian, 2)

Karakteristik data responden, mencakup Kebiasaan Pemberian Makanan, ciri-ciri

Kebiasan Pemberian Pengasuhan dan Ciri-ciri Kebiasaan Ke Tempat Pelayanan

Kesehatam. 3) Variabel yang diukur pola asuh orang tua.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran umum lokasi penelitian

Kajian ini dilakukan pada area kerja Puskesmas Binaus Kecamatan Mollo

Tengah Kabupaten TTS. Wilayah Kerja Puskesmas Binaus terdapat pada Wilayah

Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS, luas wilayah Puskesmas Binaus Yaitu

103 Km2 . Batas wilayah kerja Puskesmas Binaus: Batas utara yaitu Kecamatan

Mollo dan Kecamatan Polen, batas selatan yaitu Kecamatan Mollo Selatan, batas

barat yaitu Kecamatan Mollo Barat dan Kecamatan Mollo Utara, batas timur yaitu

Kecamatan Oenino dan Kecamatan Kuatnana.

Puskesmas Puskesmas Binaus memiliki visi dan misi. Visi Puskesmas Binaus

yaitu Menjadi Puskesmas Yang Unggul Melalui Pelayanan Prima Dengan SDM

yang Profesional, Misi dari Puskesmas Tambak Binaus adalah 1)

Memberi fasilitas pelayanan yang ramah, lancar, nyaman, cepat, tepat, terjangkau,
53
rasional, berkualitas serta bermasyarakat, 2) Menciptakan perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS) untuk semua pihak, 3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

4) Memberdayakan masyarakat melalui optimalisasi koordinasi antar program dan

antar bidang.

Area kerja Puskesmas Binaus mempunyai 18 posyandu yang aktif pada

aktivitas pemantauan status gizi, yang meliputi pengukuran berat badan balita

pada tiap bulannya juga mengukur tinggi badan rutin sekali saat bulan agustus

pada kegiatan posyandu (Operasi Timbang)

5.1.2 Data Umum Responden

Berikut merupakan data distribusi responden dengan cuan karakteristik

demogrfi :

1. Karakteristik Pola Asuh Orang Tua

Data demografi responden menjelaskan karakteristik demograf pola asuh

mengenai Baik, Cukup, dan Kurang kategori stunting

Tabel 2.3 Frekuensi Karakteristik Pola Asuh Orang Tua

Pola Asuh Orang Tua

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Baik 22 28.9 28.9 28.9


Cukup 26 34.2 34.2 63.2

Kurang 28 36.8 36.8 100.0


Total 76 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 2.3 mengenai karakteristik Pola Asuh Orang Tua.

Data tersebut memperlihatkan analisa korelasi pola asuh orang tua (praktik

pemberian makanan, stimulasi psikososial, praktek kebersihan).

54
2. Karakteristik Usia Anak

Data demografi responden menjelaskan karakteristik demograf Usia Anak

Tabel 2.4 Frekuensi Karakteristik Usia Anak


Usia Anak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 24-35 Bulan 29 38.2 38.2 38.2


36-45 Bulan 25 32.9 32.9 71.1

46-60 Bulan 22 28.9 28.9 100.0


Total 76 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 2.4 mengenai karakteristik Usia Anak 24-59

bulan. Data tersebut menunjukkan sebagian besar anak usia 46-60 bulan

yang menunjukkan adanya variabel hubungan terjadinya Stunting.

3. Karakteristik Usia Orang Tua

Data demografi responden menjelaskan karakteristik demograf Usia Orang Tua.


Tabel 2.5 Frekuensi Karakteristik Usia Orang Tua
Usia Orang Tua

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 20 - 25 TAHUN 4 5.3 5.3 5.3

26-30 TAHUN 63 82.9 82.9 88.2


> 30 TAHUN 9 11.8 11.8 100.0
Total 76 100.0 100.0

Menurut tabel 2.5 diatas mengenai karakteristik Usia Orang tua 20-

30 Tahun memperlihatkan jika grup usia responden paling besar yakni 26-

30 tahun yakni sebanyak 63 orang serta lebih dari >30 tahun yakni

sebanyak 9 orang sementara grup umur 20-25 tahun adalah yang paling

sedikit yakni sebanyak 4 orang.

55
4. Karakteristik Jenis Kelamin Anak

Data demografi responden menjelaskan karakteristik demograf Jenis

Kelamin Anak.

Tabel 2.6 Frekuensi Karakteristik Kejadian Stunting Pada Balita

Kejadian Stunting pada Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Pendek 17 22.4 22.4 22.4


Sangat Pendek 59 77.6 77.6 100.0
Total 76 100.0 100.0

Kejadian Stunting pada Balita * Pola Asuh Orang Tua Crosstabulation


Pola Asuh Orang Tua
Baik Cukup Kurang Total

Kejadian Stunting Pendek Count 6 11 0 17


pada Balita % of Total 7.9% 14.5% 0.0% 22.4%

Sangat Pendek Count 16 15 28 59


% of Total 21.1% 19.7% 36.8% 77.6%
Total Count 22 26 28 76
% of Total 28.9% 34.2% 36.8% 100.0%

Berdasarkan tabel 2.6 dapat dilihat jika anak yang mengalami

stunting dengan kategori sangat pendek dimana terdiri dari yang berjenis

kelamin Laki-Laki adalah yang terbanyak yakni 37 orang serta yang

perempuan 22 orang jadi total anak yang Stunting sebanyak 59 Orang.

5. Karakteristik Jenis Kelamin Orang Tua


Data demografi responden menjelaskan karakteristik demograf Jenis

Kelamin Orang Tua.

56
Tabel 2.7 Frekuensi Karakteristik Jenis Kelamin Orang Tua

Jenis Kelamin Orang Tua

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-laki 4 94.7 94.7 94.7


Perempuan 72 5.3 5.3 100.0
Total 76 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 2.7 dapat dilihat jika total banyaknya responden

yang paling banyak yaitu Perempuan sebanyak 72 orang dengan jumlah

presentase sebanyak 94.7%.

5.1.3 Variabel yang diukur


1. Pola Asuh Orang Tua

Tabel 2.8 Distribusi frekuensi pola Asuh Orang

Kejadian Stunting Pola Asuh Orang


pada Balita Tua

Kejadian Stunting pada Balita Pearson Correlation 1 .287*


Sig. (2-tailed) .012
N 76 76
*
Pola Asuh Orang Tua Pearson Correlation .287 1
Sig. (2-tailed) .012
N 76 76

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Berdasarkan tabel 2.8 dijelaskan variabel dari Stunting pada balita usia 24- 59 bulan

dan pola Asuh orang tuayang dimana terdiri dari 76 responden yang di dimana

stunting lebih banyak pada anak lebih pendek.

Hasil uji stastik dapat ditarik kesimpuan jika terdapat korelasi kejadian stunting

pada balita terhadap pola asuh orang tua padaarea kerja puskesmas Binaus Kecamatan

Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

57
BAB VI
PEMBAHASAN
Dari hasil kajian yang sudah dilakukan, tentang Korelasi

Pola Asuh Ibu Dengan Kejadian Stunting Anak Usia 24-59

Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Binaus Kecamatan Mollo

Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan, maka

pembahasannya dapat di lihat di bawah ini:

6.1 Karakteristik Pola Asuh Orang Tua terhadap Stunting


Hasil penelitian pola asuh ibu pada Desa Binaus

Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS mayoritas masih

permisif dengan 76 responden. Pola asuh yakni sikap dan

perilaku ibu ketika melakukan pngasuhan dan perawatan pada

anaknya dimana yang berkorelasi dengan kesehatan,

pendidikan, pengetahuan dan lain-lain. (Mukti, 2017). Pola asuh

ibu adalah suatu sikap dan perilaku seorang ibu dalam mengsuh

anaknya yang mencakup terkait dengan penyediaan makanan

yang bergizi dan seimbang, teknik makan yag benar,

memberikan ASI, melakukan pengontrolan pada jumlah orsi

makan, mempersiapkan kebersihan makanan, dan sebagainya

sehingga sang anak mampu mendapatkan asupan gizi dan

nutrisi yng optimal untuk tubuhnya.

58
Tetapi banyak hal yang harus diperhatikan yang lain

selain dengan meu yang beraneka ragam sehigga mampu

meningkatkan selera dan nafsu makan anak. Hal tersebut

menyebabkan resiko anak terkena stunting juga semakin kecil

sebab kandungan protein, gixinys terpenuhi dengan optimal

(Dwi, 2020).

59
Teknik asuhan yang diberlakukan oleh orang tua pada

anaknya mampu menentukan potensi serta sikap anak misalnya

pola asuh yang demokraatis juga otoriter serta permisif. Poa ash

secara demokratis yakni ketika orag tua aktif mendukung anak

serta pemberian bimbingan secara penuh dalam hal makan. Pola

asuh otoriter yakni salah satu pola pengasuhan dimana orang tu

menuntut terkait pemahaman cara makan yang baik tapi tidak

memberikan contoh. Sedangkan untuk pola asuh permisif yakni

pola asuhan orang tua yang tidak menuntut anaknya tanpa diberi

arahan atau perintah sehingga anak bebas memilih (Putri M. ,

2018).

Terdapat banyak hal yang berdampak pada pola makan

berdasarkan kajian Edward dalam Herlina hyang meliputi usia,

pendidikan, status ekonomi, serta mmata pencaharian.

Berdasarkan hasil kajian diperoleh jika umur ibu sebanyak 76

responden ada pada grup umur 20 – 3 tahun. Usia orang tua

juga berdampak pada sistem pengasuhan. Orang tua yang lebih

muda biasanya mudah melakukan interaksi dan komunikasi

dengn anak sedagkan yang usianya sudah tua cenderung

menerapkan pola asuh yang keras, dominan, pengambilan

keputusan, na lain-lain. Mesipun begitu, faktor usia orangtua ini

tidak menjadi faktor utama dalam stunting (Cory, 2018).

60
Sebab selanjutnya yakni pendidikan pada kajian ini yakni

sebanyak 76 responden ada pada taraf pendidikan menengah.

Berasarkan kajian Kashahu didalam (Luh Indra, 2020) taraf

pendidikan dan wawasan berdampak pada sistem pengasuhan

anak. Orangtua yang mempunyai taraf pendidikan yang tinggi

akan ebih cerdas dan berwibawa, bijaksana dalam mengelola

pola asuh pada anaknya sebab adanya pendidikan jug awawasan

membuat pengaruh besar pada pola asuhan. Begitujuga dengan

ibu yang bertaraf pendidikan tingi akan membuat anaknya lebih

mandiri daripada yang pendidikan rendah cenderung

memanjaknya.

6.2 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Stunting

Hasil pngujian pada Rank Spearman telah diperoleh p-

value 0,030 < 0,05 sehingga ada korelasi antara pola asuh ibu

dengan kejadian stunting pada balita pada are kerja Puskesmas

Binaus Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS.

Adanya pola pengasuhan yang tidak baik dapat

berdampak pada tumbuh kembang anak yang bermasalah,

karena orangtua tidak mengerti bagaimana cara pengasuhan

yang baik dan betul selain karena faktor ekonomi juga. Guna

menyikapi hal itu maka teerdpat penyelesaian mislanya dengan

sosialisasi dan edukasi secara rutin tentang pola asuh yang baik

(Renyoet, 2012).

61
Hasil kajian sesuai dengan kajian Nurmalasari di tahun 2019

jika pola asuh orangtua mempunyai dampak pada stuntingsebab

orangtualah yang beronteraksi dan berkomunikasi langsung

pada anak terkait dengan perawatan, pengasuhan yang ada

dirumah. Orangtua yang berperan dalam penyediaan makanan,

fasilitas kesehatan, pemenuhan gizi dan nutrisi yang terpenuhi,

dan sebagainhya (Septiyani, 2019). Kasus ini selaras deengan

kajian Mustamin (2018) jika anak yang menderita stunting

disebabkan sistem pengasuhan yang permisif.

Berdasarkan kajian pada area Kerja Puskesmas Binaus

Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS diperoleh jika pola

pengasuhan ibu permisif mampu mengakibatkan stunting. Fator

yang menyebabkan stunting tidak hanya sekedar kandungan gizi

dan utris yng tidak terpenuhi tapi juga keadaan ekonomi,

lingkungan yang tidak bersih sehingga juga mengundang infeksi

penyakit.

62
Jika dalam rumah tangga mempunyai pola pengasuhan ibu yang

baik maka akan menciptakan balita dengan statu gizi dan nutris

yang baik juga. Dengan pola asih yang baik akan mendorong

pertumbuhan dan perkembangan anak menuju dewasa yang

baik dengan pola hidup yang sehat juga. Sehingga adanya

wawasan terkait pemenuhan gizi nutrisi serta pola asuh harus

dipunyai oleh setiap ibu untuk mencipatakan generasi tanpa

stunting. Kasus ini dibuktikan pada kajian yang diperoleh jika

ibu dengan pola asuh permisif dapat berkemungkinan besar

mengalami stunting.

Menurut asumsi Peneliti bahwa dari hasil penelitian

stunting juga memiliki faktor lain seperti pendapatan ayah yang

tidak tinggi. Kurangnya pemasukan yang ada berpotensi guna

mengatasi kebiasaan makan yang sembarangan sehingga

pemenuhan gizi dan nutrisi tidak akan optimal bagi anak.

63
BAB VII

PENUTU

7.1 Kesimpulan

Menurut hasil kajian yang sudah dilakukan tentang

korelasi pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 24-59

bulan pada area kerja Puskesmas Binaus Kecamatan Mollo

Tengah Kabupaten TTS tahun 2023, maka mampu ditarik

kesimpulan jika terdapat korelasi yang signifikan antara praktik

pola asuh ibu dengan kejadian Stuntimg. Sebagian besar

responden pola pengasuhan dan perilaku pengasuhan yang

diberikan kepada anak dapat menimbulkan gangguan stastus

gizi dengan jumlah 76 Responden (77,6%).

7.2 Saran

1. Bagi Pendidikan Keperawatan

Kajian ini menjadi sumber dan acuan informasi atau referensi

bagi mahasiswa keperawatan dalam meningkatkan wawasan

tentang Pola Asuh Ibu terhadap kejadian Stunting anak usia 24 –

59 bulan.

2. Bagi Puskesmas

Hasil kajian ini mampu menjadi acuan untuk tenaga kesehatan

di puskesmas untuk meningkatkan promosi kesehatan bagi

masyarakat untuk memperbaiki pola Asuh ibu pada kejadian

Stunting pada anak usia 24 - 59 bulan.

64

Anda mungkin juga menyukai