Anda di halaman 1dari 59

HUBUNGAN STATUS EKONOMI KELUARGA DENGAN

KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 24-59 BULAN


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TANJUNG JABUNG TIMUR

SKRIPSI

DISUSUN OLEH

ANI HARTATI
203001070248

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang

atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini

diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua

standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita

stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor

seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi,

dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan

datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan

kognitif yang optimal. (WHO, 2010).

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting

merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat

ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia

mengalami stunting. Lebih dari 39% berasal dari Benua Afrika sedangkan

lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Benua Asia (55%).

Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia

Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).

Indonesia termasuk ke dalam negara kelima dengan prevalensi tertinggi di

regional Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia

tahun 2005-2017 adalah 36,4%. (WHO, 2018).


Masalah bayi dan balita stunting sangat dipengaruhi oleh banyak

faktor. Secara tradisional, stunting dipengaruhi oleh ketersediaan pangan

di masyarakat, pembangunan ekonomi yang lemah, kemiskinan, serta

faktor lain yang turut berperan, antara lain pemberian makan yang tidak

tepat dan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi. (Umeta, 2013).

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga

mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak

lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. (Depkes RI, 2017).

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada

masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak

setelah bayi berusia 2 tahun. Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua

Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak

maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di

masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada

akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan

ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan

ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja. stunting juga dapat

berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inquality. (Depkes RI, 2016).

Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun

terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan

masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5%

menjadi 29,6% pada tahun 2017. Organisasi kesehatan dunia WHO

menyebutkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia tergolong

kronis, karena prevalensi stunting lebih dari 20 persen pada tahun 2018.

Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan data dari Pemantau Status

Gizi (PSG) Kementerian Kesehatan tahun 2018 mencapai 29,6%.

(Kemenkes RI, 2018).

Prevelensi stunting di Jawa Barat pada tahun 2017 mencapai 25, 1

persen. Sedangkan pada tahun 2018 menembus angka 29,2 persen.

(Kemenkes RI, 2017).

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Ichsan Firdaus mengatakan,

tahun 2017 penderita stunting di Kabupaten Bogor ini masih lebih tinggi

dari batas toleransi yang ditetapkan World Health Organization (WHO),

yakni 20 %. Jika dihitung, 1,6 juta penderita stunting ini merupakan 28 %

persen dari jumlah penduduk Kabupaten Bogor, secara keseluruhan yang

berjumlah 5,7 juta orang. Selain itu desa Cibatok 2 terpilih menjadi

perwakilan desa percontohan bersama tiga kabupaten lainnya menjadi

daerah perwakilan model di Pulau Jawa untuk membantu penanganan

stunting.

Hasil data yang di peroleh dari UPTD Puskesmas di dapatkan

jumlah anak umur 0-23 bulan dan 24-59 bulan menurut status gizi (TB/U)

dan jenis kelamin di desa cibatok 2, jumlah anak 0-23 bulan dengan
kategori sangat pendek yaitu laki-laki 1 orang dan perempuan 1 orang,

jumlah anak pendek laki-laki 15 dan perempuan 8, jumlah anak normal

laki-laki 120 dan perempuan 101, jumlah anak tinggi laki-laki 5 dan

perempuan 2. Jumlah anak 24-59 bulan dengan kategori sangat pendek

yaitu laki-laki 11 dan perempuan 5, jumlah anak pendek laki-laki 22 dan

perempuan 26, jumlah anak normal laki-laki 178 dan perempuan 145,

jumlah anak tinggi laki-laki 3 dan perempuan 6.

Berdasarkan uraian pernyataan tersebut, maka peneliti tertarik

untuk meneliti tentang hubungan status ekonomi keluarga dengan kejadian

stunting pada balita 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung

Jabung Timur Tahun 2021

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu apakah ada ”Hubungan Status Ekonomi Keluarga

dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Jabung Timur Tahun 2021”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan status ekonomi keluarga dengan kejadian

stunting pada balita usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Jabung Timur Tahun 2021.


2. Tujuan Khusus

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Diketahui distribusi frekuensi status ekonomi keluarga yang

memiliki balita 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung

Jabung Timur Tahun 2021

b. Diketahui distribusi frekuensi kejadian stunting pada anak usia 24-

59 bulan di di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur

Tahun 2021

c. Diketahui hubungan status ekonomi keluarga dengan kejadian

stunting pada anak usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Jabung Timur Tahun 2021

D. Manfaat

1. Bagi Tempat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan

untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya terhadap kejadian

stunting pada anak, agar angka kejadian stunting bisa berkurang di

Indonesia

2. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan,

informasi serta referensi kepada mahasiswa dan menjadi acuan dan

pembanding untuk penelitian selanjutnya.


E. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Materi : Status Ekonomi dengan Kejadian

Stunting pada Balita

2. Ruang Lingkup Responden : Responden dalam penelitian ini

yaitu 64 ibu yang memiliki anak

usia 24-59 bulan.

3. Ruang Lingkup Waktu : Penelitian ini telah dilakukan pada

bulan Agustus 2019.

4. Runga Lingkup Tempat : Penelitian dilakukan di Wilayah

Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Status Ekonomi Keluarga

a. Pengertian Status Ekonomi Keluarga

Status (kedudukan) memiliki dua aspek yaitu aspek yang

pertama yaitu aspek struktural, aspek struktural ini bersifat

hierarkis yang artinya aspek ini secara relatif mengandung

perbandingan tinggi atau rendahnya terhadap status-status lain,

sedangkan aspek status yang kedua yaitu aspek fungsional atau

peranan sosial yang berkaitan dengan status-status yang dimiliki

seseorang. Kedudukan atau status berarti posisi atau tempat

seseorang dalam sebuah kelompok sosial. Makin tinggi kedudukan

seseorang maka makin mudah pula dalam memperoleh fasilitas

yang diperlukan dan diinginkan. (Polak dalam Abdulsyani, 2012).

Istilah “Ekonomi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu

“Oikos” yang artinya keluarga/ rumah tangga, dan “Nomos” yang

artinya peraturan/ hukum. Sehingga arti Ekonomi secara harfiah

adalah suatu manajemen rumah tangga atau aturan rumah tangga.

(John Adam Smith, 2011).

Status ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang

dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang

13
keadaan seseorang atau keluarga yang ditinjau dari segi sosial

ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan, dan

sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar pembentuk gaya

hidup keluarga.(Soetjiningsingsih, 2014).

Status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan

yang menunjukan pada kemampuan finansial keluarga dan

perlengkapan material yang dimilki. (Basrowi, 2010).

Status sosial merupakan tempat seseorang secara umum

dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan orang-orang lain,

hubungan dengan orang lain dalam lingkungan pergaulannya,

prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya. sosial ekonomi adalah

kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok manusia yang

ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendapatan, tingkat

pendidikan, jenis rumah tinggal, dan jabatan dalam organisasi.

(Soekanto dalam Abdulsyani, 2016).

Status sosial ekonomi keluarga adalah status sosial

ekonomi sebagai posisi yang ditempati individu atau keluarga

berkenaan dengan ukuran rata-rata yang umum terjadi tentang

pemilikan struktural, pendapatan efektif, pemilikan barang-barang

dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dalam komunitasnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi adalah

tinggi rendahnya prestise yang dimiliki seseorang berdasarkan

pada pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya atau keadaan yang


menggambarkan posisi atau kedudukan suatu keluarga masyarakat

berdasarkan kepemilikan materi. (Kaare Svalastoga, 2011).

Oleh karena itu, status sosial ekonomi mungkin

mempengaruhi cara pandang dan kebutuhan untuk mengakses

berbagai macam informasi. Bagaimana perbedaan antara yang kaya

dengan yang miskin yang memiliki riwayat pendidikan yang tinggi

dengan yang berpendidikan rendah serta penghasilan yang berbeda

pastilah mempengaruhi mereka dalam berperilaku, ataupun juga

dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri status

sosial ekonomi berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat,

kesehatan, pekerjaan, bahkan pendidkan.

b. Klasifikasi Status Ekonomi

1) Pekerjaan (pekerjaan utama misalnya pekerjaan pertanian dan

pekerjaan tambahan misalnya pekerjaan musiman).

2) Pendapatan keluarga (gaji, indusri rumah tangga, pertanian

pangan, non pangan, utang).

3) Kekayaan yang telihat seperti tanah, jumlah ternak, perahu,

mesin jahit, kendaraan, radio, TV, dll.

4) Pengeluaran atau anggaran (pengeluaran untuk makan, pakaian,

menyewa, minyak atau bahan bakar, listrik, pendidikan,

transportasi, rekreasi, hadiah/persembahan).


5) Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi

musiman. (Supariasa, 2012).

c. Faktor Yang Mempengaruhi Status Ekonomi Keluarga

Faktor yang mempengaruhi ekonomi seseorang yaitu :

1) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah

suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka makin mudah memperoleh perkerjaan,

sehingga makin banyak pula hasil yang diperoleh. Sebaliknya

pendidikan yang kurang akan menghambat sikap seseorang

terhadap nilai yang baru dikenal. (Manginsihi, 2013).

2) Perkerjaan

Perkerjaan adalah simbol status seseorang dalam

masyarakat. Perkerjaan adalah jembatan untuk memperoleh

uang dalam memenuhi kebutuhan hidup dan untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang diinginkan.

Pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi namun

usaha manusia untuk mendapatkan kepuasan dan mendapatkan

imbalan atau upah, ber upa barang dan jasa dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi

kemampuan ekonominya, untuk itu bekerja merupakan suatu

keharusan bagi setiap individu sebab dalam bekerja


mengandung dua segi, kepuasan jasmani dan terpenuhinya

kebutuhan hidup. (Manginsihi, 2013).

Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang

tua anak untuk mencari nafkah. Pekerjaan yang ditekuni oleh

setiap orang berbeda-beda, perbedaan itu akan menyebabkan

perbedaan tingkat penghasilan dari yang rendah sampai pada

tingkat yang tinggi, tergantung pada pekerjaan yang

ditekuninya. Contoh pekerjaan berstatus sosial ekonomi rendah

adalah buruh pabrik, penerima dana kesejahteraan, dan lain-

lain. (Manginsihi, 2013).

Kemudian menurut pedoman ISCO (International

Standart Clasification of Oecupation) pekerjaan

diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Profesional ahli teknik dan ahli jenis

b) Kepemimpinan dan ketatalaksanaan

c) Administrasi tata usaha dan sejenisnya

d) Jasa

e) Petani

f) Produksi dan operator alat angkut.

Dari berbagai klasifikasi pekerjaan diatas, orang akan

dapat memilih pekerjaaan yang sesuai dengan kemampuan dan

ketrampilan yang dimilikinya. Dalam masyarakat tumbuh

kecenderungan bahwa orang yang bekerja akan lebih terhormat


di mata masyarakat, artinya lebih dihargai secara sosial dan

ekonomi. (AnitaSary, 2017).

Jadi, untuk menentukan status sosial ekonomi dalam

keluarga yang dilihat dari jenjang pekerjaan, maka jenis

pekerjaan tersebut dapat diberi batasan sebagai berikut:

a) Pekerjaan yang berstatus tinggi, yaitu tenaga ahli teknik

dan ahli jenis, pemimpin ketatalaksanaan dalam suatu

instansi baik pemerintah maupun swasta, tenaga

administrasi tata usaha.

b) Pekerjaan yang berstatus sedang, yaitu pekerjaan di bidang

penjualan dan jasa.

c) Pekerjaan yang berstatus rendah, yaitu petani dan operator

alat angkut/bengkel.

3) Keadaan ekonomi

Kondisi ekonomi yang rendah tidak dapat mendorong

seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Friedman,

2010).

4) Pendapatan

Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau

usaha yang telah dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi

gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai

ststus ekonomi atau pendapatan lebih tinggi akan mempratikan

gaya hidup yang mewah misalnya lebih konsumtif karna


mampu membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan

dengan status ekonomi yang ke bawah. (Friedman, 2010).

Pendapatan adalah arus uang atau barang yang

menguntungkan bagi seseorang, kelompok individu sebuah

perusahaan atau perekonomian selama beberapa waktu.

Pendapatan berasal dari penjualan jasa-jasa produktif (seperti

gaji, bunga, keuntungan, uang sewa, pendapatan nasional).

(Nasution, 2015).

Pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu

pendapatan usaha tani dan pendapatan rumah tangga.

Pendapatan merupakan pengurangan dari penerimaan dengan

biaya total. Pendapatan rumah tangga yaitu pendapatan yang

diperoleh dari kegiatan usaha tani ditambah dengan pendapatan

yang berasal dari kegiatan diluar usaha tani. Pendapatan usaha

tani adalah selisih antara pendapatan kotor (output) dan biaya

produksi (input) yang dihitung dalam,per bulan, per tahun, per

musim tanam. Pendapatan luar usaha tani adalah pendapatan

yang diperoleh sebagai akibat melakukan kegiatan diluar usaha

tani seperti berdagang, mengojek, dan lain-lain. (gustiyana,

2013).

Berdasarkan dari pendapatan keluarga, maka dapat di

golongkan didalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang,

dan tinggi:
a) Golongan Ekonomi Rendah

Golongan masyarakat berpenghasilan rendah yaitu

masyarakat yang menerima pendapatan lebih rendah dari

keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal.

b) Golongan Ekonomi Sedang

Golongan masyarakat berpenghasilan sedang yaitu

masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup namun

hanya pas-pasan. Menjadikan pendidikan sebagai acuan

kehidupan. (11)

c) Golongan Ekonomi Tinggi

Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi yaitu

masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup baik

kebutuhan jangaka pendek maupun jangka panjang tanpa

ada rasa khawatir. Menjadikan pendidikan bukan sebagai

acuan kehidupan, menjadikan budaya dalam keluarga untuk

menjaga marwah. (Gustiyana, 2013).

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2018)

membedakan pendapatan menjadi 4 golongan adalah :

a) Golongan Pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-

rata antara Rp. 2.500.000 – s/d Rp. 3.500.000 per bulan

b) Golongan Pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-

rata antara Rp. 1.500.000 – s/d Rp. 3.500.000 per bulan


c) Golongan Pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-

rata antara Rp. 1.500.000 per bulan.(BPS, 2018)

d. Tingkat Status Sosial Ekonomi

Arifin Noor membagi kelas sosial dalam tiga golongan,

yaitu:

1) Kelas atas (upper class) berasal dari golongan kaya raya seperti

golongan konglomerat, kelompok eksekutif, dan sebagainya.

2) Kelas menengah (middle class) Kelas menengah biasanya

diidentikkan oleh kaum profesional dan para pemilik toko dan

bisnis yang lebih kecil.

3) Kelas bawah (lower class) Kelas bawah adalah golongan yang

memperoleh pendapatan atau penerimaan sebagai imbalan

terhadap kerja mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit

dibandingkan dengan kebutuhan pokoknya. (Sumardi, 2014).

e. Tingkat Pendapatan Keluarga

1) Data Ekonomi Keluarga

Data ekonomi keluarga meliputi:

a) Pekerjaan (pekerjaan utama, misalnya pekerjaan pertanian,

dan pekerjaan tambahan, misalnya pekerjaan musiman).

b) Pendapatan keluarga (gaji, upah, imbalan, industri rumah

tangga, pertanian pangan/non pangan, dan hutang).

c) Kekayaan yang terlihat seperti tanah, jumlah ternak, mobil,

motor, dan lain-lain).


d) Pengeluaran/anggaran (pengeluaran untuk makanan,

pakaian, listrik, pendidikan, minyak/bahan bakar,

transportasi, rekreasi, dan lain-lain).

e) Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi

musim. (Supariasa, 2012).

2) Sumber Pendapatan Keluarga

Pendapatan Keluarga adalah jumlah pendapatan tetap

dan sampingan dari kepala keluarga, ibu, dan anggota keluarga

lain dalam 1 bulan dibagi jumlah seluruh anggota keluarga

yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. (Ernawati,

2013).

Sumber-sumber pendapatan keluarga didapatkan dari

upah, gaji, imbalan, industri rumah tangga, dan pertanian

pangan/non pangan. (Friedman, 2010).

Kekayaan berbeda dengan Pendapatan, karena

kekayaan menandakan kepemilikan saham aset, sedangkan

pendapatan merupakan aliran daya beli. Kekayaan mewakili

kapasitas yang lebih permanen dalam jangka panjang,

sedangkan pendapatan mewakili kapasitas dalam jangka

pendek. Kekayaan dan pendapatan berkorelasi positif, karena

pendapatan yang disimpan dan/atau diinvestasikan dapat

menjadi kekayaan, dan kekayaan dapat menjadi sumber

penghasilan, keluarga dengan berpenghasilan lebih dapat


menambah kekayaan, dan keluarga dengan kekayaan lebih

dapat memperoleh tambahan pendapatan. (Friedman, 2010).

f. Pengukuran Status Sosial Ekonomi

Sebenarnya usaha untuk mengukur status sosial ekonomi

telah dilakukan sejak tahun 1930-an oleh para ahli ilmu-ilmu sosial

diAmerika Serikat pada khususnya. Dari uraian-uraian di atas

tampak bahwa pengukuran status sosial ekonomi sangat beragam

sesuai dengan lingkungan masyarakatnya, dan indikatornya

beragam. (Anitasary, 2017).

Berikut ini alternatife indikator untuk penelitian status

ekonomi di Indonesia :

1) Indikator Objektif

Pengukuran yang bersifat obyektif, dalam arti dapat

dinyatakan dengan angka atau bersifat faktual, termasuk dalam

klasifikasi ini:

a) Pendidikan

b) Jenjang jabatan atau pekerjaan yang dinyatakan dengan

skor.

c) Pendapatan (take bornepay) bagi yang bekerja dengan

mendapat gaji atau upah. Bagi yang lain disesuaikan

dengan siklus perolehan ha;sil kerja, seperti nelayan

berbeda dengan petani.


d) Pemilikan barang-barangberharga yang langsung dapat

dilihat oleh orang lain dan diduga sebagai simbol atau

pratanda status sosial termasuk barang atau benda bergerak

dan tak bergerak serta pemeliharaanhewanataubinatang

yang bernilai ekonomi maupun menimbulkan adanya

pengakuan dari masyarakat sekitar atau di lingkungannya.

2) Indikator Subjektif

Berupa pernyataan atau pengakuan terhadap status oleh

orang lain atau sekelilingnya sebagai akibat dimilikinya

kewenangan atau Power andauthority serta pengaruh. Misalnya

seseorang diangkat menjadi pimpinan organisasi, lembaga,

perusahaan maupun desa.

Untuk mengukur kondisi real sosial ekonomi seseorang

atau sekelompok rumah tangga, dapat dilihat dari kebutuhan hidup

manusia secara menyeluruh. Dalam laporan PBB I berjudul Report

on International Definition and Measurement of Standart and

Level Living, badan dunia tersebut menetapkan 12 jenis komponen

yang harus digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan

kebutuhan manusia, meliputi:

1) Kesehatan

2) Makanan dan gizi

3) Kondisi pekerjaan

4) Situasi kesempatan kerja


5) Konsumsi dan tata hubungan aggregative

6) Pengangkutan

7) Perumahan, termasuk fasilitas-fasilitas perumahan

8) Sandang

9) Rekreasi dan hiburan

10) Jaminan sosial

11) Kebebasan manusia.

(Siagian, 2012).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa pengertian status sosial ekonomi dalam

penelitian ini adalah kondisi suatu keluarga atau orang tua yang

diukur dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pemilikan

kekayaan atau fasilitas serta jenis pekerjaan.

Status ekonomi keluarga diukur berdasarkan penghasilan

orangtua, yaitu kisaran gabungan penghasilan orangtua dalam satu

bulan dan dinilai berdasarkan klasifikasi menurut BPS tahun 2017,

dimana dinilai rendah jika ≤ Rp 3.483.667 dan tinggi jika ≥ Rp

3.483.667. (Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, 2019).


2. Stunting

a. Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki

panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan

umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang

lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan

anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang

disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi

ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi

pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan

mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan

kognitif yang optimal. (WHO, 2010).

Stunting merupakan dampak dari kurang gizi yang terjadi

dalam periode waktu yang lamayang pada akhirnya menyebabkan

penghambatan pertumbuhan linear. (Schmidt, 2014).

Stunting dapat menjadi ukuran proksi terbaik untuk menjadi

ukuran kesenjangan kesehatan pada anak. Hal ini dikarenakan

stunting menggambarkan berbagai dimensi kesehatan,

perkembangan dan lingkunagan kehidupan anak. Selanjutnya para

ahli menyebutkan dalam Wamani dkk tahun 2010, bahwa stunting

merupakan dampak dari berbagai faktor seperti berat badan lahir

rendah, stimulasi dan pengasuhan anak kurang tepat, asupan nutrisi


kurang dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan

lainnya. (Wamani et al, 2010).

Zat gizi merupakan kebutuhan mendasar yang di butuhkan

oleh manusia untuk melangsungkan hidup, termasuk tumbuh dan

berkembang. Makanan adalah sumber penghasi energi daan zat gizi

untuk bekerjanya proses metabolism dalam tubuh, sehingga

manusia dapat tumbuh dengan baik. (Fikawati dkk, 2017).

Masalah gizi dapat menjadi permasalahan utama terjadinya

stunting yang dapat menyerang seluruh kelompok dimasyarakat,

namun bayi dan anak-anak merupakan kelompok paling rentan

karena tingginya kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk

menunjang proses tumbuh kembang. (Blosner dan De Onis, 2015).

Status gizi pada fase awal kehidupan, terutama pada 1.000

Hari Pertama Kehidupan dapat mempengaruhi tumbuh

kembangnya saat usia dewasa dan berdampang irreversible atau

permanen. Status gizi yang dicapai oleh seseorang pada masa

pertumbuhan merupakan manifestasi dari faktor genetik dan

lingkungan yang mempengaruhi pada masa tumbuh kembang

terutama fase awal kehidupan. (Fikawati dkk, 2017).

Ukuran tubuh atau antropometri yang diketahui melalui

pengukuran tinggi dan berat badan merupakan representasi dari

proses tumbuh kembang yang terjadi. Seseorang dikatakan

mencapai pertumbuhan optimal, apabila dapat mencapai standar


pertumbuhan yang harus dicapai pada usia tersebut, salah satunya

direpresentasikan oleh status gizi, yaitu normal, gizi lebih, gizi

kurang. Antropometri merupakan indikator yang umum digunakan

untuk pengukuran gizi. (Fikawati dkk, 2017).

Berdasarkan standar WHO, pertumbuhan anak berusia 0-5

tahun dikatakan mengalami gangguan termasuk stunting bila nilai

Z -2, atau seperti dibilang dr Aman, jika tinggi badannya hanya

sekitar 8,5-11,75 cm--lebih pendek daripada rata-rata normal anak

seusianya. Sementara anak bisa disebut dwarfisme dan stunting

berat (severely stunting) bila nilai Z -3. (WHO, 2017).

Tabel 2.1 Indeks Antropometri Status Gizi Anak


Sumber : Kemenkes RI, 2010.
Tabel 2.1 Standar Tinggi Badan Menurut umur (TB/U)

Sumber : Kemenkes RI, 2010.


Tabel 2.2 Standar Tinggi Badan Menurut umur (TB/U)

Sumber : Kemenkes RI, 2010.


b. Etiologi Stunting

Sebagaimana pemaparan sebelumnya, stunting merupakan

proses kegagalan pertumbuhan, sehingga perlu dijelakan terlebih

dahulu tentang proses pertumbuhan pada manusia, agar dapat lebih

memahami bagaimana kegagalan pertumbuhan tersebut dapat

terjadi.

Pertumbuhan manusia merupakan hasil interaksi antara

faktor genetik, hormon, zat besi, dan energi dengan faktor

lingkungan. Secara fisik terlihat perubahan jumlah dan besar yang

dapat dilihat dari pertambahan angka, seperti pertambahan bessr

organ, berat tubuh, panjang/tinggi badan, lingkar kepala, dan

indicator antropometri lainnya. Proses pertumbuhan manusia

merupakan fenomena yang kompleks yang berlangsung selama

kurang lebih 20 tahun lamanya. Pada suatu waktu, salah satu

pengaruh ini dapat lebih dominan dibanding dengan pengaruh

faktor lain. (Malina, 2012).

Pada masa konsepsi/pembuahan, setiap orang mendapatkan

blueprint genetik atau bawaan genetik yang menentukan ukuran

dan bentuk tubuh potensial dapat dicapai oleh orang tersebut. Jika

lingkungan memberikan pengaruh negatif terhadap bawaan genetik

ini, potensi genetik yang sebelumnya telah ditentukan tidak dapat

dicapai dan terpengaruhi. (Cameron, 2012).


Pertumbuhan manusia merupakan hasil interaksi faktor

genetik/keturunan dengan faktor lingkungan. Seseorang tidak dapat

mencapai pertumbuhan yang ditentukan oleh bawaan genetiknya

jika berada dilingkungan yang tidak adekuat bahkan wakaupun

blueprint genetiknya menentukan bahwa dia seharusnya berbadan

tinggi. (Tanner, 2011).

Periode pertumbuhan paling cepat pada anak-anak

merupakan masa dimana anak berada pada tingkat kerentanan

paling tinggi. Pertumbuhan yang cepat pada masa anak-anak

membuat gizi yang memadai menjadi sangat penting pada masa

ini. (Badham & Sweet, 2010).

Stein menjelaskan bahwa kegagalan pertumbuhan terjadi

pada masa gestasi (kehamilan) dan pada 2 tahun pertama

kehidupan anak atau pada masa 1.000 hari pertama kehidupan

anak. (Stein, 2010).

Stunting sebagai kegagalan pertumbuhan merupakan tanda

terjadinya disfungsi sistemik pada fase perkembangan anak yang

sensitif ini. Stunting merupakan indikator akhir dari semua faktor

yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak

pada dua tahun pertama kehidupan yang selanjutnya akan

berdampak buruk pada perkembangan fisik dan kognitif anak saat

bertambah usia. (Hoddinot, 2013).


Buruknya gizi selama masa kehamilan, masa pertumbuhan

dan masa awal kehidupan anak dapat menyebabkan anak menjadi

stunting. Sebelum terjadinya retardasi pertumbuhan janin juga

disebabkan oleh buruknya gizi maternal. Pada 1.000 HPK anak,

buruknya gizi memiliki konsekuensi yang permanen. Pada masa

ini, jika anak “dikeluarkan” dari paparan yang merugikan, anak

dapat mengejar pertumbuhannya. Pada masa ini faktor yang

mempengaruhi terjadinya stunting masih dapat di cegah. Namun,

walaupun masih bisa terjadi hal tersebut sangat jarang dan sulit

terjadi perubahan. Biasanya anak yang terlahir dalam kondisi

lingkungan yang buruk tetap hidup dalam kondisi yang sama

tersebut dan telah memicu terjadinya stunting. (Dewey & Begum,

2010).

Faktor sebelum kelahiran seperti gizi ibu selama kehamilan

dan faktor setelah kelahiran seperti asupan gizi anak saat masa

pertumbuhan, sosial ekonomi, ASI eksklusif, penyakit infeksi,

pelayanan kesehatan, dan berbagai faktor lainnya yang

berkolaborasi pada level dan tingkat tertentu sehingga pada

akhirnya menyebabkan kegagalan tumbuh linear.


Etiologi menurut WHO

Masalah dan Konsekuensi Jangka Pendek Konsekuensi Jangka Panjang

Kesehatan Perkembangan Ekonomi Kesehatan Perkembangan Ekonomi


Tingginya mortalitas, Menurunnya Tingginya Menurunnya Tinggi Turunnya performa Tingginya
dan mordibilitas kemampuan pengeluaran badan dewasa, tingginya pendidikan dan pengeluaran
Kognitif, motorik kesehatan obesitas & ko- turunnya kapasitas kesehatan
dan Bahasa mordibilitas tekait, belajar & potensi
menurunnya kesehatan tidak tercapai
Perkembangan Dan reproduksi.
Pertumbuhan Stunted

Faktor Keluarga dan Rumah Tangga Pemberian Makanan Tambahan yangTidak Pemberian ASI
Adekuat
Faktor maternal Lingkungan Rumah
Praktik yang
Buruknya Kualitas Praktik yang tidak
Nutrisi yang buruk pada Stimulasi dan aktifitas anak kurang tepat
makanan adekuat
masa prakonsepsi, yang tidak adekuat,
IMD yang terlambat,
kehamilan dan laktasi, buruknya praktik Buruknya kualitas zat gizi Pemberian makanan yang
Asi tidak eksklusif,
tinggi badan ibu pendek, pengasuhan, persediaan air mikro, rendahnya tidak adekuat, pemeberian
penghentian
infekssi, kehamilan usia yang bersih & sanitasi yang keberagaman makanan makanan yang tidak adekuat
pemberian ASI lebih
remaja, kesehatan buruk, ketidaktahanan dan gizi hewani , selama & setelah sakit,
awal.
mental, IUGR dan pangan, alokasi makanan kandungan Anti zat gizi , kosistensi makanan encer,
prematuritas, jarak lahir dalam rumah tangga yang rendahnya kandungan pemberian makanan dalam
singkat, hipertensi. tidak tepat, Rendahnya energi dalam makanan kualitas rendah, pemberian
pendidikan pengasuh. pendamping. makan yang tidak responsif.
Konteks Politik & Kesehatan & Pendidikan Kultur & Sistem Air, Sanitasi &
Ekonomi Pelayanan sosial Pangan & Lingkungan
Kesehatan Akses
agrikultural
Kebijakan ekonomi dan kependidikan yang Kepercayaan Infrastruktur dan
harga pangan, regulasi Akses pelayanan terkualifikasi, guru dan norma, Produksi dan pellayanan akan
pasar, stabilitas politik, kesehatan, penyediaan yang memenuhi jaringan pengolahan air dan sanitasi,
kemiskinan layanan kesehatan syarat, pendidikan penduduk pangan, kepadatan
(pendapatan, dan yang memenuhi kesehatan yang sosial, pengasuh ketersediaan penduduk,
kesejahteraan), syarat, ketersediaan memenuhi syarat, anak (orang tua pangan kaya perubahan iklim,
pelayanan keuangan, pasokan, infrastruktur, infrastruktur & bukan orang zat gizi mikro, urbanisasi,
lapangan kerja dan kebijakan dan sisitem (sekolah dan tua), status kualitas dan bencana
mata pencaharian. pelayanan kesehatan. isntitusi pelatihan). wanita. keamanan alam/manusia.
pangan.

Bagan 2.1. Etiologi Stunting

Sumber WHO, 2014


c. Epidemiologi Stunting

Pada tahun 2011, 1 dari 4 anak mengalami stunting. Selanjutnya di

prediksikan akan ada 127 juta anak dibawah 5 tahun yang stunting pada tahun

2025 jika tren sekarang ini masih terus berlanjut. (WHO, 2012).

Diperkirakan dari sekitar 171 juta anak stunting di seluruh dunia, 167 juta

anak (98%) hidup di negara berkembang. WHO memiliki target global untuk

menurunkang angka stunting balita sebesar 40% pada tahun 2015. Namun kondisi

saat ini menunjukan bahwa target penurunan yang dapat dicapai hanya sebesar

26%. (De Onis et al, 2011).

Di Indonesia, saat ini stunting merupakan masalah kesehatan dengan

prevalensi nasional sebesar 37,2%. (Riskesdas, 2013).

Indonesia adalah salah satu dari 3 negara dengan prevalensi stunting

tertinggi di Asia Tenggara. Penurunan angka kejadian stunting di Indonesia tidak

begitu signifikan jika dibandingkan dengan negara Myanmar, Kamaboja, dan

Vietnam. Bahkan pada tahun 2013 prevalensi stunting di Indonesia justru

mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2017 jumlah balita stunting sekitar

22,2% atau sekitar 150,8 juta balita, angka ini sudah mengalami penurunan jika

dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2013 yaitu 32,6%. Tatapi

penurunan ini masih belum memenuhi standar yang di tetapkan WHO yaitu <20%

prevalensi balita Stunting. (Kemenkes RI, 2018).

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting


Stunting disebabkan oleh Faktor Multi Dimensi. Intervensi paling

menentukan pada 1.000 HPK (1000 Hari Pertama Kehidupan). Kekurangan gizi

dalam waktu lama terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan

anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan

saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan

risiko terjadinya stunting. (Kemenkes RI, 2018).

Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi stunting :

1) Faktor Langsung

a) Makanan, nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhannya, pemilihan bahan makan sampai

pengolahan makanan penting dilakukan agar makanan yang di konsumsi

dapat berkualitas baik bagi pertumbuhan anak. Asupan zat gizi pada balita

sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik

pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang

dapat menyebabkan stunting. (Kemenkes RI, 2018).

b) Penyakit infeksi yang mungkin di derita oleh anak, Ibu yang masa

remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan

sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. (WHO,

2018).

2) Faktor Tidak Langsung

a) Ketahanan pangan di keluarga, Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun

1996 tentang pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya


pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata

dan terjangkau.

b) pola pengasuhan anak, pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku

dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak

stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik.

c) Pelayanan kesehatan, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan

ANC (Ante Natal Care), Post natal dan pembelajaran dini yang

berkualitas.

(1) dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia

Dini.

(2) 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang

memadai.

(3) Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007

menjadi 64% di 2013)

(4) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi

(Kemenkes RI, 2018).

d) kondisi lingkungan keluarga

(1) Kondisi sosial ekonomi, kondisi ekonomi erat kaitannya dengan

kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan

kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Berdasarkan data Joint Child

Malnutrition Estimates tahun 2018, negara dengan pendapatan

menengah ke atas mampu menurunkan angka stunting hingga 64%,

sedangkan pada negara menengah ke bawah hanya menurunkan sekitar


24% dari tahun 2000 hingga 2017. Pada negara dengan pendapatan

rendah justru mengalami peningkatan pada tahun 2017.

(2) Sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya

penyakit infeksi.

(Kemenkes RI, 2018).

3) Faktor Predisposisi

Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi keluarga dan sebagainya. (Kemenkes RI,

2018).

4) Faktor Pemungkin

Merupakan faktor yang memungkinkan motivasi atau keinginan untuk

dapat terlaksana. Contoh faktor pemungkin adalah kemampuan, sumberdaya,

ketersediaan informasi, ketersediaan aktivitas. (Kemenkes RI, 2018).

e. Dampak Stunting

1) Stunting pada masa anak-anak berdampak pada tinggi badan yang pendek dan

penurunan pendapatan saat dewasa, rendahnya angka masuk sekolah, dan

penurunan berat lahir keturunannya kelak. (Victoria et al, 2010).

2) Malnutrisi kronis yang terjadi di dalam rahim dan selama 2 tahun pertama

kehidupan anak dapat mengakibatkan rendahnya intelejensi dan turunnya

kapasitas fisik yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produktifitas,


perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan perpanjangan kemiskinan. ( Dewey

& Begum, 2011).

3) Sistem kekebalan tubuh yang lemah dan rentan terhadap penyakit kronis

seperti diabetes, penyakit jatung, dan kanker serta gangguan produksi

maternal dimasa dewasa. ( Dewey & Begum, 2011).

4) Analisis yang dilakukan mengenai stunting bahwa pada usia 24 bulan

berhubungan dengan penurunan angka mulai sekolah sebesar 0,9 tahun, usia

yang lebih tua saat masuk sekolah, dan peningkatan resiko sebesar 16% untuk

tinggal kelas. (Martorell et al, 2010).

5) Data dari studi di negara-negara berkembang lainnya juga

mengidentifikasikan bahwa stunting pada usia 12-36 bulan berhubungan

dengan perfoma kognitif yang buruk dan prestasi di sekolah yang rendah.

(Grantham-McGregor et al, 2011).

6) Seorang wanita dengan tinggi badan kurang dari 145 cm beresiko terkena

gangguan kelangsungan hidup, kesehatan, dan perkembangan keturunannya

kelak. Prevalensi tertinggi stunting pada wanita usia subur ditemukan di Asia

selatan dan Asia Tenggar. Stunting pada ibu hamil (maternal stunting) dapat

menyebabkan terhambatnya aliran darah ke janin serta pertumbuhan uterus,

plasenta dan janin. Intrauterine Growth Restriction (IUGR) atau retardasi

pertumbuhan janin dapat berdampak pada buruknya outcomes janin dan bayi

yang dilahirkan. (Kramer dkk, 2011).


7) Bayi IUGR biasanya mengalami hambatan perkembangan saraf dan

intelektual, serta rendahnya tinggi badan. Hal ini ini pada umumnya akan

bertahan sampai dewasa. (Dewey & Begum, 2011).

8) Analisis terbaru menggunakan data 109 survey kesehatan dan penduduk

(Demographi and Health survey/DHS) yang dilakukan pada tahun 1991-2008

di 54 negara menunjukan bahwa anak dibawah usia 5 tahun terlahir dari ibu

yang pendek (tinggi badan < 145 cm) memiliki resiko kematian sebesar 40%

setelah dikontrol dengan beberapa faktor lainnya. Penurunan tinggi badan ibu

berhubungan dengan peningkatan resiko underweight dan stunting.

Dibandingkan dengan ibu yang paling tinggi (> 160 cm), setiap kelompok ibu

dengan tinggi badan lebih rendah memiliki resiko lebih tinggi untuk memiliki

anak dengan status underweight dan stunting. Ibu dengan tinggi badan < 145

cm memiliki risiko yang paling tinggi. Tinggi badan ibu dengan kejadian

stunting berhubungan signifikan secara statistik di 52 dari 54 negara (95%)

yang dianalisis. ((Ozaltin et al, 2010).


f. Bagan Causal Pathway Potensial untuk Konsekuensi Jangka Panjang
Stunting

Sanitasi, hygiene, Kemiskinan


pengetahuan,
kepedulian, dan
pelayanan kesehatan
yang buruk

Kurang gizi selama Defisiensi gizi anak Infeksi anak


kehamilan

Pertumbuhan janin
STUNTING Gangguan kognitif
yang buruk

Penurunan tinggi Prestasi sekolah


badan saat dewasa buruk

Gawat janin kronis Tulang panggul yang Penurunan


lebih sempit pada pendapatan saat
wanita dewasa

Kematian janin Feto-pelvic


dalam kandungan disproportion

Kesulitan
Asfiksia pada bayi persalinan

Peningkatan mortalitas Peningkatan mortalitas


dan mordibilitas dan mordibilitas
neonatal maternal

Bagan 2.2. Pathway Stunting

Sumber : Diadaptasi dari Grantham & McGregor, 2011).


g. Keragaman Penyebab Stunting

Secara sederhana penyebab langsung stunting adalah kurangnya asupan

zat gizi sejak janin dan terus berlanjut sampai lahir dan memasuki fase anak

hingga remaja, juga penyakit infeksi yang kerap diderita bayi atau anak. Namun,

dibalik penyebab langsung yang sederhana terdapat kompleksitas beda-beda.

Studi kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan observasi terhadap

anak penderita stunting yang dilakukan di Maluku menunjukan bahwa stunting

pada level penyebab tidak langsung dapat muncul karena situasi yang berbeda-

beda. (Syafiq dkk, 2015).

Pada bagian ini diungkap dua kasus balita stunting.

1) Kasus pertama seorang anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan,

sempat berusaha untuk dilakukan aborsi. Anak tersebut lahir dengan BBLR

karena tidak tercukupinya kebutuhan gizi selama kehamilan. Pada saat

usianya memasuki 2 bulan, anak tersebut beratnya hanya sekitar 3 kg,

dikarenakan ibu dari anak tersebut harus menyelesaikan studinya, maka anak

tersebut hanya di berikan ASI sampai usinya 2 bulan dan di lanjutkan dengan

susu formula. Anak tersebut diasuh oleh neneknya dan ibunya hanya

mengasuh saat ada waktu senggang. Kisah tersebut menggambarkan

keterkaitan antara berbagai masalah gizi dan kesehatan reproduksi. Kehamilan

yang tidak diinginkan berhubungan dengan perawatan kehamilan yang tidak

optimal, menghasilkan bayi BBLR, ditambah dengan pengasuhan orang lain,

berujung pada stunting. Pada saat usia 1 tahun 2 bulan TB anak tersebut

hanya 69 cm dan BB 7.2 kg. (Fikawati, dkk, 2017).


Kehamilan tidak Kelahiran premature Stunting
diinginkan
 BBLR  Ikatan
 Percobaan aborsi  Makanan emosional
 Stress Psikologis dan pralaktal lemah
Fisiologis
 Praktik pola
asuh anak
buruk

Bagan 2.3. Stunting dan kehamilan yang tidak diinginkan

2) Kasus kedua seorang ibu yang pada saat hamil selalu memenuhi kebutuhan

gizinya dan tidak berpantang makanan, anaknya lahir dengan BB normal yaitu

2900 gram tetapi tidak ada catatan panjang badan saat lahir, setelah lahir anak

tersebut pun diupayan agar segera diberikan ASI tetapi karena asi yang keluar

terlalu sedikit maka anak itu pun di berikan susu formula. Upaya ibu untuk

memperlancar ASI pun telah dilakukan dengan obat pelancar ASI, makan

sayur-sayuran unuk membantu melancarkan ASI, namun tetap saja ASI yang

keluar sedikit. Anak nya hanya di berikan ASI sampai usia 2 bulan, kemudian

dilanjutkan dengan susu formula. Selain susu formula anak itu pun sudah

diberikan MP-ASI sebelm usia 6 bulan, jenis makanan yang di berikan adalah

bubur dalam kemasan, pemberian makanan kemasan diberikan sampai usia 7

bulan lalu dilanjut dengan pemberian bubur beras buatan ibu sendiri. Setiap

harinya anak hanya makan sedikit-sedikit dan lebih banyak jajan makanan

ringan dan selalu diberikan es cream. Anak terkadang diasuh oleh neneknya

atau ayahnya bila ibunya sedang berdagang. Anak pun sering sakit panas dan

radang tenggorokan, saat ini tinggi badannya 79 cm dan berat badannya

kurang dari 9 kg. (Fikawati dkk, 2017).


Dari kasus tersebut dapat dilihat pemberian makanan praktal berupa

susu formula, MP-ASI dini, berhubungan dengan pola konsumsi anak

selanjutnya sulit makan sehingga asupan gizi sangat kurang. Hal ini ditambah

dengan beratnya situasi pola asuh anak sehingga kurang perhatian dalam hal

konsumsi makanan. Selain itu sikap ibu yang acuh terhadap kebutuhan gizi

anak dan terlalu menganggap sepele masalah konsumsi makan yang dapat

menyebabkan anak sering sakit. Nyatanya bahwa pengetahuan gizi dan

kesehatan yang rendah dapat menyebabkan masalah gizi menjadi

berkepanjangan dan semakin parah. Jika di bentuk dalam diagram kasus

kedua sebagai berikut:

Persepsi ketidak Makanan praktal Stunting


cukupan ASI
 Introduksi  Selera makan
 Pengetahuan susu formula rendah
laktasi kurang  Pola  Sering sakit.
 Upaya pemberian
meningkatkan makanan yang
produksi ASI tidak tepat.
gagal.

Bagan 2.4. Stunting dan Pemberian Makanan Praktal

h. Intervensi Stunting

Intervensi untuk menurunkan angka kejadian stunting seharusnya dimulai

sebelum kelahiran melalui perinatal care dan gizi ibu, kemudian intervensi

tersebut dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun. (UNICEF, 2012).


Periode kritis dalam mencegah stunting dimlai sejak janin sampai anak

berusia 2 tahun yang disebut dengan periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan.

Pencegahan kurang gizi pada ibu dan anak merupakan investasi jangka panjang

yang dapat memberri dampak baik pada generasi sekarang dan generasi

selanjutnya. (Zahraini, 2013).

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals

(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu

menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta

mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka

stunting hingga 40% pada tahun 2025. Kerangka Intervensi Stunting yang

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi

Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. (Kemenkes RI, 2018).

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai

salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan

Pendekatan Keluarga. Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini

merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama

Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka

kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.

Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam

waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan

Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang

dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita :


1) Ibu Hamil Intervensi gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi ini

mengupayakan jaminan mutu Ante Natal Care (ANC) terpadu yang meliputi

kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk

mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat

besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi

kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari Malaria.

2) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6

Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong

inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum

serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.

3) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23

bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian

ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas

6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing,

menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam

makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi

lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

(Kemenkes RI, 2018).

Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang

kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui

berbagai kegiatan pembangunan diluar sector kesehatan dan berkontribusi

pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah

masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat

dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan

secara lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat

berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai

berikut :

1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

3) Melakukan fortifikasi bahan pangan.

4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).

5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

6) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

8) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.

11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kedua kerangka intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan

dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk

mencegah dan mengurangi pervalensi stunting. ((Kemenkes RI, 2017).

Intervensi berbasis evidence diperlukan untuk menurunkan angka kejadian

stunting di Indonesia. Gizi maternal perlu diperhatikan melalui monitoring status

gizi ibu selama hamil melalui ANC serta pemantauan dan perbaikan gizi anak
setelah lahir, juga perlu di perhatikan khusus gizi ibu manyusui. (Fikawati dkk,

2017).

Pada saat hamil, status gizi ibu perlu mendapat perhatian lebih, hal ini

dapat dilakukan melalui ANC. Ibu hamil harus mendapat gizi yang baik, apabila

kondisinya sangat kurus atau mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) perlu

diberikan makan tambahan, selain itu pemberian tablet tambah darah, minimla 90

tablet selama kehamilan, juga perlu diberikan pada ibu hamil. Pada saat kelahiran,

bayi harus langsung dilakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan setelah itu

diteruskan dengan pemberian ASI Eksklusif sampai dengan usia 6 bulan. Mulai

usia 6 bulan, bayi dapat mulai diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan

pemberian ASI dapat terus dilakukan sampai usia anak 2 tahun. Selain itu, bayi

dan anak diharapkan mendapatkan kapsul vitamin A dosis tinggi, taburia, dan

imunisasi dasar lengkap. (Zahraini, 2013).

Intervensi anak kerdil (Stunting) memerlukan konvergensi program atau

intervensi dan upaya sinergis dari kementerian atau lembaga, pemerintah daerah

serta dunia usaha dan masyarakat. Untuk memastikan konvergensi program atau

intervensi dan sinergitas upaya intervensi stunting berjalan sesuai dengan yang

telah di targetkan.

3. Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Stunting

Tubuh memerlukan asupan yang memadai pada masa pertumbuhan dan

perkembangan. Status sosial-ekonomi yang mempengaruhi proses pertumbuhan

adalah pendapatan, pendidikan dan pengetahuan orang tua. Pendapatan keluarga

mempengaruhi kemampuan keluarga tersebut untuk mengakses makanan tertentu


yang akan berpengaruh pada status gizi anak. Seseorang dengan status sosial-

ekonomi rendah memiliki keterbatasan kemampuan dalam mengakses makanan

tertentu, sehingga beresiko mengkonsumsi makanan dengan jumlah gizi yang kurang.

Sementara itu pendidikan dan pengetahuan akan mempengaruhi pola asuh keluarga

terutama ibu, yang akan menentukan pemberian makan pada anak diantaranya

perilaku pemberian ASI eksklusif, pemberian MP-ASI, serta menentukan pilihan

makanan yang diberikan kepada anak. (Fikawati dkk, 2017).

Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan

terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam

memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita.

Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya

penyakit infeksi. Berdasarkan data Joint Child Malnutrition Estimates tahun 2018,

negara dengan pendapatan menengah ke atas mampu menurunkan angka stunting

hingga 64%, sedangkan pada negara menengah ke bawah hanya menurunkan sekitar

24% dari tahun 2000 hingga 2017. Pada negara dengan pendapatan rendah justru

mengalami peningkatan pada tahun 2017. (Kemenkes RI, 2018).

Grafik persentil untuk mengukur standar pertumbuhan, pertama kali di

publikasikan oleh Henry puckering Bowdich pada tahun 1885 dengan sampel 24.500

anak sekolah di Boston, Amerika. Bodwich mengklasifikasi tinggi badan sampelnya,

berdasarkan pekerjaan orang tua, yaitu buruh dan non buruh. Hasil penelitian tersebut

memperlihatkan, bahwa anak yang orang tuanya berprofesi sebagai buruh (sosial-

ekonomi rendah) memiliki ukuran tubuh lebih kecil dari pada anak yang orang tuanya

non buruh (sosial-ekonomi menengah ke atas). Seiring dengan bertambahnya usia,


terjadi pertambahan ukuran yang secara umum dapat mengacu pada grafik kurva

normal pertumbuhan. (Bowdich, 2017)

Secara genetis, beberapa anak cenderung terpengaruh terhadap kondisi

lingkungan tertentu. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam

perkembangan anak. Begitu pula, status sosial ekonomi, semakin rendah status sosial-

ekonomi sebuah keluarga maka semakin besar pula anak mengalami keterbelakangan

perkembangan fisik. Status sosial ekonomi akan berdampak pada kesehatan anak

yang hidup dalam ruang lingkup keluarga yang berpenghasilan lebih sedikit memiliki

potensi lebih besar untuk mengalami resiko sakit, luka-luka, bahkan kematian dari

pada keluarga pada umumnya. Sebab selalu ada pertimbngan berapa biaya yang akan

di keluarkan? Dan cukupkah untuk kebutuhan yang lain?. Serta banyak dari mereka

yang kurang memperhatikan kesehatan dan perkembangan anak. (Papalia, 2015).

Keluarga dengan status sosial ekonomi rendah tidak menjadikan kesehatan

anak sebagai prioritas utama dalam hidup mereka karena untuk kebutuhan sehari-hari

saja seperti makan dan sebagainya harus di cukup cukupi. Jadi, Status sosial ekonomi

sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan anak. Yang mana kesehatan anak tersebut

juga akan berdampak pada perkembangan fisik anak.


B. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka teori penelitian ini adalah :

Faktor yang mempengaruhi kejadian


stunting :

1. Faktor langsung
 Makanan/nutrisi
 Penyakit infeksi
2. Faktor tidak langsung STUNTING
 Ketahanan pangan
 Pola pengasuhan anak
 Pelayanan kesehatan
 Kondisi lingkungan keluarga
 Sosial ekonomi keluarga


Sanitasi dan keamanan
pangan
3. Faktor predisposisi
 Pengetahuan
 Tingkat pendidikan
4. Faktor pemungkin
 Sumber daya
 Ketersediaan informasi

Bagan 2.5. Kerangka Teori

Sumber : KEMENKES RI (2018)

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan analitik kuantitatif. Analitik adalah penelitian

yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.

Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Cross

sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-

faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat. (Notoatmodjo, 2010).

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel

yang lain dari masalah yang ingin diteliti. (Notoatmodjo, 2010).

Berikut merupakan bagian dari variabel independen dan variabel dependen yang

peneliti temukan dalam penelitian kali ini. Kerangka konsep digunakan peneliti untuk

menemukan Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita

24-59 Bulan Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur Tahun 2021

Variable Independen Variable Dependen

Status Ekonomi Keluarga Kejadian stunting

Bagan 3.1. Kerangka Konsep


56
C. Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel juga dapat

diartikan sebagai konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai. Variabel terbagi

menjadi dua yaitu variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang menjadi

sebab timbulnya atau adanya variabel dependen. Sedangkan variabel dependen (variabel

terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel

bebas. (Notoatmodjo, 2010).

Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel independen dalam penelitian ini adalah status ekonomi keluarga di Wilayah

Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur

2. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting pada anak usia 24-59

bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud, atau

tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2010). Adapun

definisi operasional dalam proposal ini adalah:


Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Operasional ukur

Variabel Independen

1. Status Status sosial Kuesioner Menggunak 2 Golongan Ordinal

Ekonomi ekonomi an Pendapatan

Keluarga mempunyai Kuesioner tinggi >Rp.

makna suatu tentang 3.500.000

keadaan yang status per bulan

menunjukan pada ekonomi 1 Golongan

kemampuan keluarga Pendapatan

finansial keluarga yang sedang

dan perlengkapan berjumlah 1 pendapatan

material yang pernyataan. rata-rata

dimilki (Basrowi, antara Rp.

2010). 1.500.000 -

s/d Rp.

3.500.000

per bulan

0 Pendapatan

rendah

pendapatan

rata-rata

antara Rp.
1.500.000

per bulan.

Variabel Dependen

2. Stunting Stunting (kerdil) Observasi Metline Jumlah jawaban Ordinal

adalah kondisi Status gizi yang diperoleh

dimana balita balita diukur responden

memiliki panjang secara dibagi menjadi

atau tinggi badan antropometr 3 kategori

yang kurang jika i dan yaitu:

dibandingkan menggunaka 2 Normal

dengan umur. n indeks 1 Pendek

(WHO, 2010). TB/U 0 Sangat

dengan nilai pendek

baku acuan

berdasarkan

SK Menkes

No

1995/Menke

s/

SK/XII/201

06 tentang

Standar

Antropomet
ri.

E. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya

hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel, variabel bebas dan

variabel terikat. Hipotesis berfungsi untuk menentukan ke arah pembuktian, artinya

hipotesis ini merupakan pernyataan yang harus dibuktikan. (Notoatmodjo, 2010).

Ha : Ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak

Usia 24-59 bulan Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur Tahun 2021

H0 : Ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak

Usia 24-59 bulan Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur Tahun 2021

F. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti.

(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur 24-59 bulan

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dianggap mewakili seluruh populasi.

(Notoatmodjo, 2010). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

total sampling dimana sampel yang digunakan adalah seluruh anak usia 24-59 bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur

Jumlah sempel yang digunakan adalah apabila besar sempel populasi kecil atau

lebih kecil dari 1000, bila dicari dengan rumus :


N
n= 2
1+ N (d )

Keterangan :

n = Total Sempel

N = Jumlah Populasi

d = tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,05).

G. Tempat Penelitian

Tempat penelitian yaitu menjelaskan tempat atau lokasi tersebut dilakukan.

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Jabung Timur

Waktu Penelitian

Waktu penelitian adalah waktu keseluruhan dari jalannya penelitian yang

berkaitan dengan pengambilan data saat penelitian. Penelitian ini telah dilakukan pada

bulan Agustus 2021.

H. Etika Penelitian

Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan

penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti, dan masyarakat yang

akan memperoleh dampak hasil penelitian tersebut. (Notoatmodjo, 2010).

Dalam penelitian ini, peneliti akan membagikan kuesioner kepada responden.

Selanjutnya kuesioner akan disampaikan kepada responden dengan menekankan pada

etika yang meliputi :

1. Right to self determination


Responden yang bersedia diteliti diberikan lembar persetujuan. Responden

dengan terlebih dahulu diberi kesempatan membaca isi lembar tersebut, selanjutnya

harus mencantumkan tanda tangan sebagai bukti kesediaannya menjadi responden.

2. Right to privacy and dignity

Untuk menjaga kerahasiaan responden, responden tidak perlu mencantumkan

nama dalam kuesioner. Pada lembar pengumpulan data peneliti hanya menuliskan

atau memberi kode tertentu pada setiap lembaran.

3. Right to anonymity and confidential

Kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh responden dijamin oleh

peneliti.

4. Right of fair treatment

Dalam memenuhi hak ini biasanya nama responden dirahasiakan, responden

berhak mendapatkan kerahasiaan atas apa yang telah dia lakukan dalam penelitian.

Responden juga harus diberitahu apa hasil dari penelitian tersebut.

I. Alat dan Metode Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tergantung pada

tujuan dan sumber data yang akan dikumpulkan. Untuk mendapatkan data yang

relevan dengan masalah penelitian maka diperlukan alat pengumpulan data atau

instrumen yang tepat. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner

dan metline. Kuesioner dalam penelitian ini bila ditinjau dari segi siapa yang

menjawab kuesioner ini menggunakan kuesioner langsung, kueisioner dikatakan

langsung jika kueisioner tersebut dikirim dan diisi langsung oleh orang yang akan
dimintai jawaban tentang dirinya. Keisioner ini terdiri dari 1 pernyataan tentang status

ekonomi keluarga dan melakukan pengukuran antropometri dengan menggunakan

metline untuk memastikan anak tersebut stunting.

2. Metode Pengumpulan Data

Selain dilakukan pengumpulan data, Instrumen merupakan alat ukur yang

digunakan peneliti, pada peneliti ini yang digunakan adalah data primer dan sekunder.

Data primer dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan pengukuran

antropometri, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan

kuesioner yang diisi oleh orang tua (ayah atau ibu) dan melakukan pengukuran

antropometri pada anak yang berusia 24-59 bulan. Sedangkan data sekunder diambil

dari data rekapitulasi hasil penimbangan tahun 2018 di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Jabung Timur Teknik pengumpulan data dilakukan dengan langkah

langkah sebagai berikut :

a) Angket (kuesioner)

Angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

memberikan seperangkat pernyataan dan pertanyaan kepada orang lain.

(Sugiyono, 2011).

Pada penelitian ini peneliti memberikan kuesioner yang berisikan

pertanyaan tentang status ekonomi sebanyak 1 nomor.

b) Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik pengumpulan

data dalam penelitian. Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai


ciri spesifik dari pada teknik pengumpulan data yang lain seperti wawancara,

yaitu tidak harus selalu berkomunikasi secara lisan terhadap objek yang diteliti.

(Sugiyono, 2011).

Pada penelitian ini akan dilakukan observasi pada balita usia 24-59 bulan

dengan mengukur tinggi badan menggunakan metline.

J. Metode Pengolahan dan Analisa Data

1. Metode Pengolahan Data

Data yang telah diisi oleh responden dikumpulkan kemudian dikoreksi apakah

jawaban telah diisi semua. Bila telah terisi semua selanjutnya dilakukan pengolahan

data dengan komputer, adapun langkah-langkah pengolahannya adalah sebagai

berikut :

a. Editing

Hasil pengamatan dari lapangan harus dilakukan penyuntingan (editing)

terlebih dahulu. Secara umum editing merupakan suatu kegiatan untuk

pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner yang kemungkinan ada

kesalahan dalam kelengkapan, kejelasan, dan konsisten jawaban.

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

pengkodean atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan.

1) Variable Independen (status ekonomi)

a) Ekonomi tinggi ≥ Rp. 3.500.000 = 2

b) Ekonomi Sedang = Rp. 1.500.000 – 3.500.000 = 1


c) Ekonomi Rendah ≤ =Rp. 1.500.000 = 0

2) Variable Dependen (kejadian stunting)

a) Normal =2

b) Pendek =1

c) Sangat pendek = 0

c) Memasukkan data (data entry) atau processing.

Jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk

“kode” (angka atau huruf) dimasukkan kedalam program atau “software”

komputer. Software komputer ini bermacam-macam, masing-masing mempunyai

kelebihan dan kekurangannya. Salah satu paket program yang paling sering

digunakan untuk “entry data” penelitian adalah paket program SPSS for Window.

d) Tabulasi (tabulating)

Membuat table-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian atau yang

diinginkan oleh peneliti.

e) Pembersihan data (cleaning).

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan

adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian

dilakukan pembetulan atau koreksi.

2. Metode Analisa Data

a) Analisis Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Umumnya dalam analisa ini hanya


menghasilkan distribusi frekuensi dan presentasi dari variabel . Penelitian ini
(28)

analisis univariat dilakukan pada variabel status ekonomi dan kejadian stunting.

Secara menyeluruh data yang sejenis atau mendeteksi digabungkan yang

kemudian dibuat tabel distribusi frekuensi untuk dipersentasikan.

f
P= x 100%
n

Keterangan:

P =Frekuensi hasil presentase

f =Hasil pencapaian

n =Total seluruh observasi

b) Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi. Analisisa bivariat ini berfungsi dalam mencari

hubungan antar variabel yaitu variabel independennya adalah satus ekonomi

keluarga dengan variabel dependennya adalah kejadian stunting pada anak usia

24-29 bulan. Pada analisa bivariat digunakan uji korelasi Kendall Tau. (28)

uji korelasi kendall’s tau digunakan untuk mengetahui hubungan antara

dua variable berskala ordinal atau juga dapat salah satu data berskala ordinal

sementara data yang lain berskala nominal maupun rasional. (Notoatmodjo,

2010).

Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :


2S
T=
N ( N−1)

Keterangan :

S adalah total skor seluruhnya (grand total), yang merupakan jumlah skor urutan

kewajaran pasangan data pada salah satu variabel. Jika urutan ranking wajar diberi

skor +1, jika urutan ranking tidak wajar diberi skor –1. N adalah banyaknya

pasangan ranking. Pengolahan dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak

SPSS seri 22.

Anda mungkin juga menyukai