COC - Menyelami Konflik Di Tanduk Afrika
COC - Menyelami Konflik Di Tanduk Afrika
Identitas pada dasarnya melekat dalam diri manusia, yang mencakup bagaimana suatu
individu atau kelompok mengidentifikasi dirinya sendiri dan bagaimana mereka dilihat oleh
individu atau kelompok lain. Berbagai macam bentuk identitas yang selama ini banyak
dikenal mulai dari gender, etnis, agama, budaya, dan politik, membantu manusia saling
“melabeli” satu sama lain, mempengaruhi cara mereka dalam memandang dan memahami
realitas dunia yang ada, serta menjadi pembeda antar individu atau kelompok. Sebagaimana
manusia, identitas juga menawarkan cara pandang yang kompleks seiring waktu berjalan.
Seseorang mungkin memiliki banyak identitas yang berbeda dan identitas tersebut bisa saja
bertumpang tindih. Pentingnya identitas kemudian menjadi perhatian Samuel Huntington dan
ia tuliskan ke dalam buku yang berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of the
World Order.
Tesis utama yang diangkat Huntington dalam buku The Clash of Civilizations and the
Remaking of the World Order adalah perbedaan fundamental di antara masyarakat yang tidak
lagi terletak pada ideologi, politik, atau ekonomi, melainkan pada budaya. Perbedaan budaya
ini menurut Huntington akan memicu konflik antar peradaban di kemudian hari. Huntington
sendiri mendefinisikan peradaban sebagai sebuah entitas budaya, bentuk pengelompokan
tertinggi di mana masyarakat atau sekumpulan orang memiliki identitas paling luas sehingga
hal tersebut membedakan dia dari spesies lain. Berdasarkan definisi tersebut, Huntington
membuat pengelompokan dunia menjadi 8 peradaban “besar” untuk menyederhanakan
realitas dan dijadikan sebagai “peta”. Delapan peradaban besar tersebut terdiri dari Barat,
Jepang, Afrika, Hindu, Amerika Latin, Konfusius, Kristen Ortodoks, dan Islam. Mengikuti
penjelasan mengenai klasifikasi peradaban, Huntington melanjutkan pemaparan mengenai
relasi antar peradaban. Sebelum 1500 M, peradaban-peradaban tersebut terpisah secara
geografis, sehingga interaksi antar peradaban memakan waktu yang lama. Baru setelah
1500M, kemunculan penelitian dan teknologi menjadi katalisator perkembangan model
interaksi antar peradaban seperti ekspansi nilai-nilai, gagasan, dan agama.
Meskipun ada upaya mediasi internasional untuk mengakhiri konflik ini, ketegangan
berlanjut selama beberapa tahun. Akhirnya, pada tahun 2000, kedua belah pihak setuju untuk
mengakhiri konflik dan menandatangani Perjanjian Algiers, yang mengakhiri pertempuran
aktif. Namun, meskipun perjanjian tersebut mengakhiri pertempuran langsung, konflik antara
Eritrea dan Ethiopia tetap berlarut-larut dalam bentuk konflik perbatasan yang belum
terselesaikan. Wilayah perbatasan yang dipersengketakan tetap menjadi sumber ketegangan
dan konflik regional. Pada tahun 2018, ada perkembangan mengejutkan ketika Ethiopia di
bawah kepemimpinan Perdana Menteri Abiy Ahmed mengumumkan niatnya untuk memulai
kembali hubungan baik dengan Eritrea. Inisiatif damai ini akhirnya menghasilkan perjanjian
damai yang menyatukan kedua negara dan membuka kembali perbatasan mereka.
Selama tahun 1990-an, saat buku The Clash of Civilizations and the Remaking of the
World Order diterbitkan, Afrika memang mengalami sejumlah konflik dan krisis, termasuk
perang saudara, konflik etnis, dan masalah-masalah kemanusiaan. Namun, Huntington
tampaknya lebih tertarik pada konflik-konflik yang lebih besar dan geopolitis di luar benua
Afrika, seperti konflik Timur Tengah dan hubungan antara Barat dan dunia Muslim. Selain
itu, Huntington mungkin mengabaikan Afrika dalam bukunya karena peradaban di benua ini
sering kali lebih kompleks dan sulit untuk dibagi secara jelas dalam kerangka peradaban yang
diajukannya. Afrika adalah benua yang sangat beragam dengan ratusan kelompok etnis,
bahasa, dan budaya yang berbeda. Hal ini membuat sulit untuk mengidentifikasi satu
peradaban Afrika yang homogen dalam pandangan Huntington. Hal ini membuat argumen
bahwa dalam "The Clash of Civilizations," Huntington tidak banyak menyinggung tentang
Afrika sebagai daerah rawan konflik, sehingga mengurangi kelengkapan teorinya dalam
menggambarkan potensi konflik global.