Anda di halaman 1dari 18

Nama : Mita Nurmala

NPM : 222121033

ANALISIS PUISI MENGGUNAKAN ANALISIS STRUKTURAL

KARYA : CHAIRIL ANWAR


PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi


Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali


Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

1. Strukturfisik (surface structure)


a) Perwajahan puisi (tipografi)
Tipografi merupakan bentuk fisik atau penyusunan baris-baris dalam puisi.
Peranan tipografi dalam puisi adalah untuk menampilkan aspek artistik visual dan untuk
menciptakan nuansa makna tertentu. Selain itu, tipografi juga berperan untuk menunjukan
adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin
dikemukakan penyair.
Puisi Penerimaan karya Chairil Anwar memiliki tipografi yang semi konsisten. Puisi
ini terdiri dari enam bait yang beberapa baitnya memiliki kesamaan dalam jumlah baris.
Jumlah baris untuk tiap bait pada puisi ini berpola 2-1-2-1. Yaitu dua baris untuk bait ganjil
dan satu baris untuk bait genap.
Chairil Anwar pun menulis puisi ini dengan konsisten. Yaitu dengan menempatkan
huruf kapital pada setiap baris dalam puisi ini. Namun bila ditikik secara seksama, maka kita
akan menemukan keganjilan dari keputusan menempatkan huruf kapital untuk setiap baris
ini. keganjilan ini terutama terdapat pada baris kedua bait-bait ganjil. Menurut hemat penulis,
makna dari baris tersebut adalah penjelas bagi baris sebelumnya hingga mestinya huruf
kapital tidak diberlakukan. Sepertinya ada makna tersirat dari keputusan Chairil dalam
menulis huruf kapaital di sana. Atau mungkin juga sekedar menjaga konsistenitas penulisan
saja.
b) Diksi
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak
hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat
kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
Dalam puisi Penerimaan ini, Chairil seperti biasa memilih kata-kata yang sederhana
namun indah dan sarat makna. Pemilihan kata yang Chairil lakukan membuat pembaca sajak
ini merasakan dengan jelas suasana hati Chairil dan membuat puisi ini lebih bernyawa.
c) Imaji
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil).
Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti
apa yang dialami penyair.
Dalam puisi ini Chairil Anwar tidak memunculkan teknik imaji yang dominan. Hanya
saja dengan kelebihannya, Chairil Anwar masih saja mampu membut pembaca merasakan
apa yang ia rasakan. Satu baris yang mungkin masih bisa digolongkan pada pengimajian
adalah “Bak kembang sari sudah terbagi”. Baris ini mengajak kita membayangkan situasi
kembang sari yang telah terbagi.

d) Kata konkret
Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata
kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata
kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan,
dll.
Dalam setiap penulisan puisinya, Chairil Anwar selalu memunculkan kata konkret
sebagai ciri khasnya. Begitu pula halnya dengan puisi Penerimaan ini. Kata konkret pada
puisi ini terwujud dalam baris “Bak kembang sari sudah terbagi” dan “Sedang
dengan cermin aku enggan berbagi”.
Kembang selalu identik dengan seorang perempuan, namun bukan Chairil Anwar
namanya bila ia tidak menjadikan karyanya berbeda. Maka ia pun menulis kembang sari.
Entah apa maksud pemilihan sari, mungkin karena sari yang ada pada serbuk sari itu mudah
sekali terbagi.
Sedangkan cermin adalah sebuah alat pantul yang merefleksikan diri kita yang nyata.
Dalam baris “sedang dengan cermin aku enggan berbagi”, Chairil menegaskan bahwa dirinya
tak mau diduakan bahkan dengan bayangannya sekalipun.

e) Gaya bahasa
Gaya bahasa, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo,
1987:83). Gaya bahasa disebut juga majas. Adapun macam-macam majas antara lain
metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora,
pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte,
hingga paradoks.
Chairil dalam puisi penerimaan ini mengunakan gaya bahasa simile yang terwujud
pada baris kedua pada bait ketiga “Bak kembang sari sudah terbagi”.

f) Rima dan irama


Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Sedangkan irama adalah lagu kalimat yang digunakan penyair dalam mengapresiasikan
puisinya.
Puisi ini memiliki rima yang konsisten karena seluruh baris pada puisi ini berakhiran
huruf i dari awal hingga akhir. Sedangkan irama yang digunakan menggunakan irama yang
menunjukkan keteguhan hati penyair dalam mempertahankan prinsipnya meski ia telah
memberi kesempatan. Irama yang dihasilkan terkesan biasa saja karena susuanan kata pada
tiap barisnya sendiri tersusun dari kata-kata yang sederhana.

2. Struktur batin (deep structure)


a) Tema (sense)
Media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna,
maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
Dalam puisi ini Chairil mengangkat tema percintaan. Yaitu tentang seorang lelaki yang masih
memberi harapan pada perempuan yang dulu pernah memiliki hubungan khusus dengannya.
Ini tergambar dari bait pertama dan kedua.
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Sang lelaki menyadari bahwa perempuan yang masih ia beri kesempatan kembali itu sudah
tak sendiri. Maka ia ingin perempuan itu memutuskan keputusan dengan tegas. Ini tergambar
pada lanjutan syairnya sebagai berikut:
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali


Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

b) Rasa (feeling)
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Dalam hal ini penyair merasakan semangat pengharapan dengan sedikit kecemasan
bahwa sang mantan kekasih akan berpikir dan menimbang penawarannya dengan matang
hingga ia akan kembali padanya.
c) Nada (tone)
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan
dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte,
bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu
saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
Pada puisi Penerimaan ini, Chairil Anwar menuangkan perasaan harap-harap cemas
dan ketegasan. Pengharapan yang ia rasakan dikarenakan pada dasarnya ia masih mencintai
perempuan yang dimaksud. Logikanya adalah mana mungkin ia memberikan kesempatan
pada perempuan tersebut untuk kembali bila ia tidak mencintainya! Kemudian ketegasan
adalah supaya perempuan tersebut memilih dengan tegas untuk kembali padanya atau terus
bersama yang lain.

d) Amanat (intention)
Pesan yang ingin disampaikan oleh Chairil Anwar secara khusus tentu ditujukan
kepada sang perempuan. Yaitu agar ia mempertimbangkan penawaran Chairil dan
memutuskan dengan tegas keputusan yang akan ia ambil. Dan secara umum, Chairil ingin
mengabarkan pada seluruh pembaca, bahwa sosok Chairil adalah sosok yang benci pada hal
yang setengah-setengah. Chairil ingin mengabarkan pada setiap pembaca sajaknya bahwa
dirinya adalah sosok yang tegas dan menyukai ketegasan.

Senja di Pelabuhan Kecil

Karya: Chairil Anwar.

Ini kali tidak ada mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

Menyinggung muram, desir hari lari berenang

Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

Menyisir semenanjung, masih pengap harap

Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan


Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Hasil Kajian Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” Berdasarkan Pendekatan Strukturalisme

Tema

Puisi Senja di Pelabuhan Kecil memiliki tema “kemanusiaan” yang berdasar pada perasaan
“Aku” yaitu si penyair yang menjelaskan kepada seseorang yang tak lagi di cintainya. Pada
bait pertama puisi terdapat kalimat “Ini kali tidak ada mencari cinta” yang berarti bahwa
sudah tak ada lagi yang mencari cinta. Selain itu pada bait-bait terakhir puisi terdapat kalimat
“Menyisir semenanjung, masih pengap harap” memiliki makna bahwa harapan sang penulis
belum ada masih belum ada harapan. Pada kalimat paling akhir di puisi yaitu “sedu
penghabisan bisa terdekap” bermakna penyair sudah mulai dapat menguasai dirinya dengan
menahan rindunya karena kehilangan sang kekasih.

Perasaan

Perasaan yang tergambar pada puisi Senja di Pelabuhan Kecil adalah penyair sedang dalam
perasaan sedih karena putus asa terhadap kisah cintanya. Bukti perasaan tersebut dapat
terlihat di dalam puisi pada kalimat “Tiada lagi. Aku sendiri” kalimat tersebut menunjukkan
keputus asaan penyair terhadap keadaan dirinya.

Nada dan suasana

Nada pada puisi Senja di Pelabuhan Kecil mengungkapkan kegagalan kisah cinta penyair
dengan nada yang mendalam karena luka yang dirasakan sang penyair juga sangat dalam
sedangkan suasana yang ada dalam puisi adalah suasana sedih. Dapat ditunjukkan pada
penggunaan kata yang ada di dalam puisi seperti kelam, muram, pengap.

Amanat

Amanat yang terdapat dalam puisi Senja di Pelabuhan Kecil adalah teruslah berjalan kedepan
karena kita harus memperjuangkan apa yang masih bisa diperjuangkan di dalam hidup. Jika
kita terus hidup didalam hal yang membuat diri kita tidak nyaman (tanpa cinta) itu akan
menyakitkan diri sendiri dan kita semakin tidak bisa berproses ke depan menjadi pribadi yang
lebih baik lagi.

KESIMPULAN

Setelah mengkaji puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dengan menggunakan pendekatan


strukturalisme dapat diambil kesimpulan bahwa puisi ini mengandung pesan kesedihan,
kehilangan, dan kesendirian yang dirasakan oleh penyair. Selain itu, Chairil Anwar dalam
puisinya ini menghubungkan isi puisi dengan keadaan gambaran alam sekitar agar pembaca
juga dapat memaknai puisi bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Pendekatan struktural
yang mencakup tema, perasaan, nada dan suasana, amanat menghasilkan makna yang
menyeluruh terhadap kajian puisi.

Hujan Bulan Juni


Karya : Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah


Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak


Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu dijalan itu

Tak ada yang lebih arif


Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

1. Tema

Dari pokok bahasan puisi ini dapat disimpulkan bahwa cinta yang terpendam dan lebih
memilih untuk mencintainya dalam diam.
Hal tersebut dapat terlihat pada bait pertama yaitu :
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rinrik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
2. Rasa

Perasaan penyair dalam puisinya mengandung perasaan sedih, kesabaran, sendu dan
kesederhanaan atas ketulusan cinta.
Hal tersebut dapat terlihat dalam bait ketiga baris ketiga dan keempat yaitu :
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

3. Nada dan Suasana

Nada dan suasana yang digunakan dalam puisi tesebut yaitu lirih namun dengan emosi yang
tenang.
Terdapat didalam kata tabah (bait petama baris ke-1), kata bijak (bait kedua baris ke-1), dan
kata arif (bait ketiga baris ke-1).

4. Amanat

Puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini memiliki amanat tentang sifat
ketabahan, kebijaksanaa, kearifan yang harus dimiliki oleh setiap manusia meskipun tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan juga tidak semua yang diinginkan bisa didapatkan
dengan mudah
Hal tersebut dapat terlihat dalam
a. Bait pertama baris pertama yaitu :
Tak ada yang lebih tabah
b. Bait kedua baris pertama yaitu :
tak ada yang lebih bijak
c. Bait ketiga baris pertama yaitu :
tak ada yang lebih arif
Oleh: Bonance Veronika Sitanggang
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang yang bagai kau
Sederhana dalam tingkah laku dan bicara
Serta sangat menyayangiku

Terpupuslah sudah masa-masa sepiku


Hendaknya berhenti gemetar rusuh
Hatimu yang baik itu
Yang selalu mencintaiku
Kerna kapal yang berlayar
Telah berlabuh dan ditambatkan
Dan sepatu yang berat serta nakal
Yang dulu biasa menempuh
Jalan-jalan yang mengkhawatirkan
Dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara
Kini telah aku lepaskan
Dan berganti dengan sandal rumah
Yang tenteram, jinak dan sederhana

Mama
Burung dara jantan yang nakal
Yang sejak dulu kau piara
Kini terbang dan telah menemu jodohnya
Ia telah meninggalkan kandang yang kaubuatkan
Dan tiada akan pulang
buat selama-lamanya
Ibuku Aku telah menemukan jodohku
Janganlah kau cemburu
Hendaknya hatimu yang baik itu mengerti
Pada waktunya, aku mesti kaulepaskan pergi

Begitu kata alam.


Begitu kaumengerti
Bagai dulu bundamu melepas kau
Kawin dengan ayahku. Dan bagai
Bunda ayahku melepaskannya
Untuk mengawinimu
Tentu sangatlah berat
Tetapi itu harus. Mama!
Dan akhirnya tak akan begitu berat
Apabila telah dimengerti
Apabila telah disadari
Hari Sabtu yang akan datang
Aku akan membawanya kepadamu
Ciumlah kedua pipinya
Dan panggillah ia dengan kata: Anakku!
Bila malam telah datang
Kisahkan padanya
Riwayat para leluhur kita
Yang ternama dan perkasa
Dan biarkan ia nanti
Tidur di sampingmu
Ia pun anakmu
Sekali waktu nanti
Ia akan melahirkan cucu-cucumu
Mereka akan sehat-sehat dan lucu-lucu

Dan kepada mereka


Ibunya akan bercerita
Riwayat yang baik tentang nenek mereka
Bunda bapak mereka
Ciuman abadi
Dari anak lelakimu yang jauh.

1. Tema
Tema dalam puisi Surat Kepada Bunda ini adalah restu seorang ibu.
Rendra dalam puisi Surat Kepada Bunda mengisahkan kehidupan yang dialami seorang anak
laki-laki yang telah menemukan jodohnya dan meminta izin kepada ibunya untuk menikahi
kekasihnya serta agar ibunya dapat menyayangi menantunya seperti menyayangi anaknya
sendiri.
2. Tipografi
Berdasarkan jenis tipografinya, puisi diatas termasuk jenis puisi dengan tipografi
teratur dengan jumlah baris dan bait yang tidak sama. Alasannya, pada puisi tersebut
pengarang masih menggunakan persamaan bunyi atau rima, jumlah kata dan penyusunan kata
meskipun baris dan baitnya tidak sama.
3. Diksi
Dalam puisi ini Rendra paling dominan menggunakan kata-kata yang memiliki
makna denotatif. Pemakaian kata-kata yang bermakna konotatif dalam puisi Surat Kepada
Bunda ini, antara lain terdapat pada :
Karena kapal yang berlayar
Telah berlabuh dan ditambatkan
Kata-kata diatas dapat diartikan sebagai hati seorang (kapal) yang sudah sekian lama
mencari tambatan hati yang tepat (yang berlayar) dan sekarang sudah menemukan orang yang
menurutnya sangat tepat untuk dijadikan seorang istri (telah berlabuh dan ditambatkan).
Dan sepatu yang berat serta nakal
Yang dulu biasa menempuh
Jalan-jalan yang mengkhawatirkan
Dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara
Kini telah aku lepaskan
Dan berganti dengan sandal rumah
Yang tentram, jinak, dan sederhana
Kata-kata diatas berarti seorang anak yang nakal (sepatu yeng berat serta nakal) yang
selalu melakukan sesuatu yang membuat ibunya selalu khawatir(yang dulu biasa menempuh
jalan-jalan yang menghawatirkan), dan sekarang telah berubah menjadi orang yang baik dan
selalu mendatangkan ketentraman.

Burung dara jantan yang nakal


Yang sejak dulu kau piara
Kini terbang telah menemui jodohnya
Ia telah meninggalkan kandang yang kau buatkan

Kata-kata diatas dapat diartikan seorang anak lelaki (burung jantan nakal) yang
dirawat sejak kecil (yang dulu kau pelihara) dan sekarang telah menemukan jodohnya
sehingga ia harus meninggalkan rumah orang tuanya (kandang yang kau buatkan).
4. Gaya bahasa
Gaya bahasa atau majas yang digunakan Rendra dalam puisi Surat Kepada Bunda
kebanyakan menggunakan kata yang bersifat denotatif, karena mudah dipahami. Puisi ini
juga menggunakan kata konotatif karena banyak mengandung arti dan yang mewakili
keseluruhan puisi yaitu terdapat padakutipan berikut ini :
“Karena kapal yang berlayar
telah berlabuh dan ditambatkan.”
“Burung dara jantan yang nakal
yang sejak dulu kaupiara”
5. Bahasa Kias
Bahasa kias atau majas adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan,
menegaskan inspirasi dalam bentuk bahasa dengan gaya yang mempesona Dalam puisi ini
menggunakan majas :
1. Personifikasi
Yang mengungkapkan adanya gaya bahasa personifikasi adalah :
a. Begitu kata alam begitu kau mengerti
b. Bila malam telah dating
c. Hari yang sabtu akan dating
2. Hiperbola
Yang menunjukkan gaya bahasa hiperbola nampak sebagai berikut:
a. Hendaknya berhenti gemetar rusuh
b. Hatimu yang baik itu
c. Riwayat para leluhur kita
d. Yang ternama dan perkasa
e. Ciuman abadi
f. Dari anak lelakimu yang jauh
6. Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau
orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk
mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini,
pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi.
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang yang bagai kau
Sederhana dalam tingkah laku dan bicara
Serta sangat menyayangiku
Pada bait ini memiliki rima a-b-b-a-b
7. Nilai-nilai
a. Nilai Sosial.
Contohnya pada bait :
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang yang bagai kau
Sederhana dalam tingkah laku dan bicara
Serta sangat menyayangiku
b. Nilai Budaya
Contohnya pada bait :
Begitu kata alam.
Begitu kaumengerti
Bagai dulu bundamu melepas kau
Kawin dengan ayahku. Dan bagai
Bunda ayahku melepaskannya
Untuk mengawinimu
Tentu sangatlah berat
Tetapi itu harus. Mama!
Dan akhirnya tak akan begitu berat
· Amanat
Amanat yang terkandun dalam puisi “Surat Kepada Bunda” antara lain :
1. Hendaknya kita mengatakan segala-sesuatu dengan sejujur-jujurnya kepada Ibu sebagai
orang tua kita. Seperti pada bait :
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang yang bagai kau
2. Jika memilih pendamping hidup pilihlah yang baik budi pekertinya. Terlihat pada bait:
Sederhana dalam tingkah laku dan bicara
Serta sangat menyayangiku.
8. Kata Konkret
Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata
kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata
kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan,
dll.
Contohnya
Kerna kapal yang berlayar
Dan sepatu yang berat serta nakal
Dan berganti dengan sandal rumah
Burung dara jantan yang nakal
Surat untuk Ibu
Karya : Joko Pinurbo

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.


Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambung ’kan?


Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit


yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.

Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu


berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

1. Tipografi
Berdasarkan jenis tipografinya, puisi diatas adalah jenis puisi dengan tipografi teratur dengan
jumlah baris dan bait yang tidak sama. Alasannya, pada puisi tersebut pengarang tidak
menggunakan persamaan bunyi atau rima, jumlah kata dan penyusunan kata meskipun baris
dan baitnya tidak sama.

2. Diksi
Diksi atau kata bertujuan untuk menghidupkan ruh dan memberikan gambaran yang jelas
sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan penyair dalam puisi Surat Untuk Ibu.
Pemilihan kata yaitu dilakukan dalam rangka kepentingan tertentu. Diksi dibagi menjadi dua
jenis yaitu (1) kata konkret dan (2) kata konotatif. Kata konkret disebut juga kata denotasi
yang berarti lugas dan sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi adalah arti kias, yang
diasosiasikan atau disarankannya.
Secara umum dalam puisi Surat Untuk Ibu menggunakan kata-kata konotatif. Artinya, ada
kata kiasan yang mewakili makna tertentu. Adapun kata-kata konkret yang mewakili puisi
Surat Untuk Ibu, seperti pulang, demo, nasib, Jakarta, teman, bentrok, politik, Natal, dan ibu.
Penggunaan kata-kata konotatif dalam puisi itu terutama pemanfaatan alegori, pertanyaaan
retoris, paradoks, perbandingan, dan metafora.
Puisi Surat Untuk Ibu menyiratkan cerita singkat yang mengandung makna kiasan. Jadi,
penyair mencoba melukiskan perasaannya melalui cerita singkat yang memiliki makna
tersirat. Makna tersebut tampak kondisi yang bertentangan antara bertahan hidup di Jakarta
dan bertemu ibunya di kampung. Joko Pinurbo menunjukkan kondisi bentrok politik di
ibukota yang dapat berpengaruh pada seluruh aspek, seperti hubungan antar teman, keluarga,
dan rekan kerja. Surat ini sebagai bentuk perasaan penyair ang sedang berada di lingkaran
setan sehingga tidak memiliki banak waktu untuk bertemu keluarga, terutama ibu. Selain itu,
berikut analisis kata konotatif sebagai pembentuk majas.

a. Bait Pertama
Pada bait pertama, penyair memanfaatkan oksimoron pada kata-kata memperjuangkan nasib
saya yang keliru. Maksudnya, ada gabungan kata-kata yang bertentangan untuk mencapai
efek tertentu. Kata “memperjuangkan” seharusnya digunakan untuk sesuatu hal yang positif
atau baik, tetapi Joko Pinurbo memilih kata “nasib yang keliru”. Ada makna tersirat, yaitu
bentuk tindakan atau perasaan dari penyair yang tidak bisa berubah atau lepas dari kondisi
yang salah.

b. Bait Kedua
Erotesis atau pertanyaan retoris dalam bait kedua tampak dari bentuk interogatif. Kata-kata
ingat Bambang kan? menunjukkan adanya efek yang lebih mendalam dan penekanan yang
sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Pertanyaan retoris tersebut juga
sebagai bentuk perbandingan antara waktu dulu dan sekarang. Unsur alegori dalam puisi
menceritakan bahwa Bambang yang dulu adalah sahabat baik dan dekat dengan penyair
kemudian seiringnya waktu ketika di dunia kerja atau politik menjadi “lawan” yang
menyebabkan adanya perselisihan. Hal tersebut tampak pada kata-kata, seperti makan dan
tidur di rumah, bentrok urusan politik dan uang, lawan jadi kawan, serta kawan jadi lawan.

c. Bait Ketiga
Pada bait ketiga, penyair menggunakan kata-kata bahagia bersama penyakit yang
menyayangi ibu menunjukkan adanya gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada. Jadi, kata-kata konotatif tersebut memanfaatkan majas
paradoks. Penyair mengibaratkan juga bahwa penyakit yang sudah lama dirasakan ibunya
sebagai bentuk wujud yang tidak selalu perlu dikhawatirkan atau dikeluhkan. Kata-kata
seperti, penyakit, menyayangi menunjukkan bahwa penyair memberikan rasa tenang kepada
ibunya bahwa penyakit yang diderita sebagai teman atau diri sendiri yang wajib selalu
disayangi agar tidak menimbulkan rasa resah. Keseluruhan kata-kata dalam bait ini
menunjukkan kelanjutan cerita dari bait 1 dan 2 yang sudah pada proses pesan dan harapan
penyair kepada ibunya.

d. Bait Keempat
Penyair sudah memakai makna konotatif bermajas metafora pada kata-kata hatimu yang
merdu berdentang nyaring. Penyair mengibaratkan hati ibunya selalu memiliki merdu yang
nyaring. Artinya, hati ibunya sangat baik untuknya. Pada bait ini, penyair sudah menunjukkan
pada tahap penutupan atau perpisahan dengan ibunya dan memberikan ucapan “Natal” dan
kata “sungkem. Kata “Natal” juga menginterpretasikan setting waktu pada puisi ini atau
kondisi puisi dengan penyair saat itu.

3. Gaya Kalimat
Setiap sajak dalam puisi memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena sajak tersebut
hanya mengemukakan inti dariapa yang ingin disampaikan olehpengarang kepada pembaca.
Oleh karena itu, hanya yang perlu dinyatakan saja yang disampaikan secara tersurat
sedangkan kalimat-kalimat yang lain dinyatakan secara implisit, hanya tersirat saja. Gaya
kalimat demikian disebut gaya kalimat implisit. Kepadatan kalimat dengan gaya implisit juga
terdapat dalam puisi Surat untuk Ibu karya Joko Pinurbo.

Pada bait satu, terdapat kata yang diimplisitkan, yakni kata “Mohon maaf” yang seharusnya
terdapat di awal kalimat kedua pada bait satu. Jadi, kalimat kedua pada bait satu seharusnya
berbunyi: (Mohon maaf)/ Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu/. Demikian pula kalimat
ketiga pada bait satu tersebut terdapat bagian kalimat yang diimplisitkan, yakni “untuk”.
Bunyi yang tepat pada baris ketiga ini, sebagai berikut. /Nantilah, jika pekerjaan demo sudah
kelar, saya sempatkan (untuk) pulang sebentar/. Kedua kata baik terdapat pada kalimat
pertama maupun ketiga ini sengaja tidak ditampilkan atau diimplisitkan agar kalimat tersebut
terasa lebih padat dan efektif.

Pada bait dua, pemadatan juga dilakukan penyair dengan mengimplisitkan bagian kalimat
tertentu. Pada baris pertama, sebenarnya terdapat kata “dengan” di depan kata
“Bambang”. /Oh ya, Ibu masih ingat (dengan) Bambung ’kan?/. Akan tetapi, kata tersebut
sengaja diimplisitkan sehingga menjadi kalimat yang lebih efektif.Pada baris kedua kalimat
kata ganti orang ketiga juga diimplisitkan, yaitu “Bambang” menjadi “itu”.Seharusnya,
kalimat tersebut berbunyi sebagai berikut. /(Bambang) Itu teman sekolah saya yang dulu
sering numpang makan dan tidur di rumah kita./ Penggantian kata ganti orang tersebut tidak
mengganggu hubungan antar kalimat melainkan justru menambah efektifitas kalimat dan
menimbulkan efek makna khusus sekaligus mampu mencapai efek estetis. Kalimat ketiga dan
keempat pada bait kedua juga terdapat gaya implisit yakni dihilangkannya kata “mengalami”
sebelum kata “bentrok”, kata “kehidupan” danawalan “-di” sebelum kata “Jakarta” serta kata
“dan” sebelum kata “lawan”. /Saya baru saja (mengalami) bentrok dengannya gara-gara
urusan politik dan uang./ /Beginilah (kehidupan) (di) Jakarta, Bu, bisa mengubah kawan
menjadi lawan, (dan) lawan menjadi kawan./ Dengan diimplisitkannya kata “mengalami”,
“kehidupan”, “di”, dan “dan” tersebut, kalimat menjadi lebih ekspresif dan efektif.
Bait ketiga pada baris pertama dan kedua juga terdapat kata yang diimplisitkan. Kata “dan”
sesudah kata “sehat”, kata “dengan” sesudah kata “bersama”, dan kata ”mohon” atau
“tolong” di awal kalimat ketiga sebelum kata “jangan”. /Semoga Ibu selalu sehat (dan)
bahagia bersama (dengan) penyakityang menyayangi Ibu./ (Mohon) atau (Tolong)/Jangan
khawatirkankeadaan saya./

Bait keempat pada keseluruhan kalimat juga mengandung kata yang diimplisitkan. Padabaris
pertama terdapat kata “saya” dan “ucapkan” sebelum kata “selamat”. Pada baris kedua
terdapat kata “bersuara” sebelum kata “merdu”, kata “dengan” sesudah kata “berdentang”,
serta kata ”tetesan” dan “air” sebelum kata “hujan”. Adapun pada kalimat ketiga terdapat kata
“sampaikan” di awal kalimat sebelum kata “sungkem” (Saya) (ucapkan)/Selamat Natal,
Bu./ /Semoga hatimu yang (bersuara) merdu berdentang (dengan) nyaring dan malam
damaimu diberkati (tetesan) (air) hujan./ (Sampaikan)/Sungkem buat Bapak di kuburan./

Dari kajian gaya kalimat di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam puisi Surat untuk Ibu
karya Joko Pinurbo tersebut terlihat kalimat-kalimat mengalami pemadatan dengan gaya
implisit. Pemadatan kalimat dengan gayaimplisit ini tidak menggangguhubungan antar
kalimat melainkan justrumenambah efektivitas kalimat dan menimbulkan efek makna khusu
ssekaligus mampu mencapai efekestetis.
KESIMPULAN
Pada puisi Joko Pinurbo yang berjudul Surat Untuk Ibu dapat disimpulkan bahwa, puisi ini
mengandung unsur-unsur intrinsik yaitu mengurai unsur internal berupa tipografi diksi, dan
gaya bahasa yang sangat kuat sehingga cocok dikaji dengan pendekatan struktural.

Analisis Struktural
Puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo dengan
Pendekatan Semiotik

KEPADA UANG
Joko Pinurbo
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)

Sabar ya,aku harus menabung dulu. (4)


Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Uang berilah aku ranjang yang lugu saja. (7)
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Pendekatan Struktural
Sebelum melangkah ke berbagai pendekatan dalam pengkajian sebuah puisi kita diharuskan
menggunakan pendekatan awal dalam penelitian karya sastra, yaitu pendekatan struktural.
Begitu juga dengan puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo ini terlebih dahulu akan
dianalaisis dengan menggunakan pendekatan struktural yang terdiri dari empat hakikat puisi,
yaitu tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat.
a. Tema
Tema merupakan gagasan utama atau ide pokok yang terdapat dalam sebuah puisi yang ingin
diungkapkan oleh penyair. Tema yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko
Pinurbo adalah kemiskinan. Kemiskinan yang mengharapkan datangnya uang hasil, tetapi
bukan dalam jumlah yang besar, melainkan yang cukup untuk melangsungkan hidupnya
secara sederhana.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Dari larik ke-1 jelas sekali si aku memang menginginkan rumah. Tetapi si aku tidak meminta
yang mewah, melainkan lebih menginginkan sebuah kesederhanaan. Pada larik ke-2, kata
“cukup” sudah menggambarkan bahwa si aku bukanlah orang yang tamak, hanya
menginginkan kelayakan.

b. Perasaan
Perasaan merupakan kehendak yang ingin diungkapkan oleh penyair. Perasaan juga mrujuk
kepada isi hati sang penyair, bagaimana suasana hatinya saat membuat sebuah puisi. Perasaan
yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah kesedihan dan
kesabaran. Kesedihan dan ketabahan itu tergambarkan pada larik ke-4, 5, dan 6.
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Ketabahan si aku jelas terlihat, si aku harus menabung segala yang dia punya, bahkan
kesehatan. Hal itu dilakukan oleh sang aku dikarenakan ia menginginkan kekuasan yang
dilambangkan dengan uang.

c. Nada dan Suasana


Nada merupakan sikap penyair terhadap para pembaca, sedangkan suasana merupakan
keadaan jiwa yang ditimbulkan oleh puisi tersebut kepada para pembaca. Jika membaca puisi
Kepada Uang karya Joko Pinurbo akan terlihat bagaimana nada yang akan dipakai saat
mengucap larik-lariknya. Penulis merasakan nada seperti si aku sedang berdoa, berdoa
kepada uang agar datang kehadapannya. Selain itu juga ada larik yang jika dibacakan sangat
sesuai dengan nada menenangkan, dan nada sedih.

• Nada seakan berdoa terlihat pada larik ke-1 dan larik ke-7, yaitu:
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
• Nada yang terkesan menenangkan, yang terdapat pada larik ke-4, yaitu:
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
• Nada yang terlihat sedih yang terdapat pada larik ke-5 dan ke-6, yaitu:
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
• Nada yang terlihat berkuasa, terdapat pada larik ke-7, larik ke-8, dan larik ke-9 yaitu:
Uang berilah aku ranjang yang lugu saja. (7)
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

d. Amanat
Amanat merupakan suatu hal yang mendorong penyair untuk menciptakan sebuah puisi.
Dengan kata lain, amanat adalah pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh penyair melalui
puisi buatannya. Amanat yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo
adalah jangan selalu bergantung kepada uang. Jika memang ingin berdoa untuk sebuah
kebaikan yang ingin dicapai, janganlah selalu mendewakan uang. Karena uang belum tentu
hal terbaik untuk mencapai kebahagiaan. Uang juga bisa membuat kita berkuasa dan lupa
akan kuasa atas diri kita sendiri. Dengan uang kita bisa memiliki apa pun, tetapi uang tidak
bisa membeli hati manusia. Walaupun untuk kebaikan, tapi janganlah kau gunakan kekuasaan
itu hanya untuk diri sendiri, jadikan diri kita berguna bagi orang lain.

3.2 Pendekatan Semiotik


Semiotika adalah suatu metode analisis yang menitikberatkan penelitian terhadap tanda-
tanda. Tentu saja bukan hanya sekedar tanda biasa, melainkan tanda yang memiliki makna
yang berdasarkan konvensi yang berlaku di masayarakat.

Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)

Uang, ditinjau dari segi kebahasaan adalah sebuah alat pertukaran untuk membeli barang-
barang, sebagai alat transaksi, dan juga penimbun harta kekayaan. Dalam puisi ini uang
disimbolkan sebagai tuhan. Si aku ketika menginginkan sebuah rumah ia tidak berdoa kepada
tuhan, melainkan berdoa kepada uang. Seolah-olah ia telah menjadikan uang sebagai tuhan.
Jika ingin membeli suatu barang, konvensinya adalah menggunakan uang, tetapi di dalam
puisi ini uangnya lah yang dijadikan tempat untuk memohon. Uang juga dapat disimbolkan
sebagai penguasa, karena ada segelintir orang yang beranggapan uang adalah segalanya.
Uang dalam puisi menempati posisi yang penting, yaitu menentukan nasib kehidupan orang.
Penyair menggambarkan kata “uang” pada larik ke-1 sebagai Tuhan yang selalu dipuja-puja
oleh si aku.

yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)


yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Senja merupakan peristiwa terbenamnya matahari di ufuk barat. Menghilangnya matahari dan
menandakan kepergian sore hari menjadi malam yang gelap. Senja juga identik dengan
warna kuning kemerahan. Warna itu kuning kemerahan itu juga terlihat sangat sendu. Senja
dalam puisi ini dimaknai sebagai masa tua. Manusia yang sudah tua hamper sama dengan
matahari yang akan pergi karena digantikan oleh bulan. Dalam puisi Kepada Uang karya
Joko Pinurbo kata “senja” pada larik ke-2 digambarkan oleh penyair sebagai masa tua si aku.
Sedangkan “jendela hijau yang menganga seperti jendela mataku” menggambarkan
ketentraman, suatu kedamaian jiwa dan raga yang ingin dirasakan oleh si aku.

Sabar ya,aku harus menabung dulu. (4)


Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Sang penyair menggambarkan tokoh aku rela menyimpan rasa lapar dan menunda mimpi
demi bergelut dengan uang. Bersakit-sakit hanya untuk mendapatkan uang dan
menelantarkan yang lain.

Uang berilah aku ranjang yang lugu saja. (7)


Seperti yang sudah dijelaskan pada awal analisis, uang jika ditinjau dari segi kebahasaan
konvensional adalah sebuah alat pertukarang barang, alat jual beli, dan sebagai alat penimbun
kekayaan. Namun penyair menulis kata “uang” pada larik ke-7 puisi ini melambangkan
symbol kekuasaan. Sedangkan kata “ranjang” dalam segi bahasa adalah tempat untuk
istirahat dan melepas lelah. Kata “ranjang yang lugu” jika disimbolkan oleh penyair dalam
puisi Kepada Uang adalah sebagai seorang istri yang menuruti perintah sang aku. Jika dilihat
secara keseluruhan, larik ke-7 dapat dikatakan seorang aku jika mendapat kekuasaan dengan
uang ia bisa mendapatkan kekuasaan penuh atas istri yang akan ia miliki.
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Hangat jika diartikan dalam kebahasaan adalah rasa yang tidak panas dan juga tidak dingin.
Biasa digunakan untuk menggambarkan air dalam konvensi kebahasaan. Tetapi dalam
konteks puisi ini, penyair menggambarkan “hangat” melambangkan sebagai sentuhan yang
lembut dari seorang istri (simbol ranjang dari larik ke-7). “Encok” dalam bahasa diartikan
sebagai sebuah penyakit yang sering diderita kaum lansia. Encok adalah nama penyakit yang
menyerang daerah sekitar pinggang dengan rasa sakit dan ngilu luar biasa. Namun, dalam
konvensi sastra yang dibangun penyair, kata “encok-encok” pada larik ke-8 puisi Kepada
Uang diartikan sebagai masa tua, karena rata-rata penyakit itu hanya menyerang kaum lansia
dan penyair mengartikannya sebagai masa tua.

yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Pada larik ke-9, penyair menggambarkannya sebagai kenangan masa kecil si aku. Ia
membayangkan ia masih seperti masa anak-anak yang dimanja. Kata “kakinya” (istri yang
didambakan si aku) dapat memanjakan si aku seperti masa kecilnya.

Anda mungkin juga menyukai