Anda di halaman 1dari 4

NAMA : BONNY MISSYAF PUTRA

NIM : 042194529
MATA KULIAH : HUKUM ACARA PIDANA

1. Mengapa dalam proses Penegakan hukum pidana masih memelukan hukum acara
pidana ?
Jawaban :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), merupakan kitab yang disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia
memasuki tahun ke-36 kemerdekaan. KUHAP hadir untuk menggantikan Het Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia. HIR perlu
dicabut karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum Indonesia. Ruang lingkup
berlakunya KUHAP dapat diketahui dalam substansi Pasal 2 KUHAP yang berbunyi:
“Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan.” Dalam penjelasan atas KUHAP Pasal
2 Tersebut dapat diketahui bahwa: a. ruang lingkup undang-undang ini mengikuti asas-
asas yang dianut oleh hukum pidana Indonesia, b. yang dimaksud dengan “peradilan
umum” termasuk pengkhususannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal
10 ayat (1) alinea terakhir Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Penjelasan Pasal 2 huruf a, yang dimaksud dengan pengertian mengikuti asas-asas
yang dianut oleh hukum pidana Indonesia ialah semua hukum pidana Indonesia
termasuk hukum pidana khusus, sepanjangan hukum pidana khusus itu mengandung
asas-asas daya jangkau berlakunya berupa khusus di luar apa yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Akan tetapi, tanpa mengurangi asas-asas yang terdapat pada hukum
pidana khusus, sumber asas-asas ruang lingkup yang paling terinci diatur dan dijumpai
dalam KUHP. Oleh karena itu, ruang lingkup berlakunya KUHAP seperti yang dimaksud
pada Pasal 2, meliputi ruang lingkup yang terdapat pada Pasal 2 sampai dengan Pasal
9 KUHP, yang terbagi dalam beberapa sifat:
1) Asas “teritorial”.
Konsistensi penerapan asas territorial KUHP ke dalam KUHAP, berarti segala
ketentuan KUHAP berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di
dalam daerah wilayah Republik Indonesia. Kemudian asas teritorial diperluas
lingkupnya bahwa berlaku juga terhadap orang yang melakukan tindak pidana
di atas kendaraan air/kapal laut ataupun pesawat udara milik Indonesia
sekalipun tindak pidana dilakukan di luar wilayah Indonesia (Pasal 3 KUHP).
2) Asas “nasionalitas”.
KUHAP berlaku bagi setiap orang yang melakukan tidak pidana di luar wilayah
RI jika tindak pidana yang dilakukan itu menyangkut dalam Substansi Pasal 4
sampai Pasal 9 KUHP.
Penjelasan Pasal 2 huruf b, yang dimaksud penjelasan Pasal 10 ayat (1) alinea terakhir
berbunyi: “Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini (Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara), tidak menutup
kemungkinan adanya pengkhususan atau spesialisasi dalam masing-masing
lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa
Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi dan sebagainya. Jadi
disamping fungsi pokok Peradilan Umum, KUHAP juga berlaku terhadap lingkungan
Peradilan Khusus. Dengan demikian ruang lingkup berlakunya KUHAP bukan hanya
terhadap tugas-tugas pokok Peradilan Umum dalam memeriksa perkara pidana
umum, tetapi meliputi tata cara pelaksanaan yang menyangkut pemeriksaan dan
penyelesaian perkara-perkara Peradilan Ekonomi, Peradilan Anak, Peradilan Tindak
Pidana Korupsi dan sebagainya.
Kesimpulan, KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk menggantikan
HIR yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. KUHAP merupakan Hukum
Pidana Formil yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan KUHP yang merupakan Hukum Pidana Materil,
atau lebih jelasnya KUHAP mengatur tentang bagaimana Negara dengan alat-alat
perlengkapannya melakukan kewajiban untuk melakukan kewajiban untuk menyidik,
menuntut, menjatuhkan dan melaksanakan pidana.

2. coba anda uraikan kewenangan penuntut umum berdasarkan ketentuan Pasal 14


KUHAP ?
Jawaban :
Pasal 14 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) di Indonesia mengatur
kewenangan penuntut umum. Berikut adalah uraian mengenai kewenangan penuntut
umum berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP:
• Kewenangan Mutlak: Penuntut umum memiliki kewenangan mutlak untuk
menuntut pelanggaran hukum pidana ke pengadilan. Mereka memiliki hak
untuk memutuskan apakah akan mengejar kasus pidana dan membawa
perkara ke pengadilan.
• Kewenangan Relatif: Pasal 14 KUHAP mengatur bahwa penuntut umum dapat
bertindak berdasarkan tugasnya sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum acara pidana dan hukum lain yang berlaku. Artinya, penuntut
umum memiliki kewenangan yang relatif dalam mengambil tindakan hukum,
asalkan tindakan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
• Kewenangan Penyidikan: Penuntut umum memiliki kewenangan untuk
mengarahkan penyidikan terhadap kasus pidana. Mereka dapat memberikan
petunjuk kepada penyidik tentang langkah-langkah yang harus diambil dalam
penyelidikan, termasuk pengumpulan bukti, pemeriksaan saksi, dan tindakan
lainnya.
• Kewenangan Mendakwa Terdakwa: Penuntut umum memiliki kewenangan
untuk mendakwa terdakwa, yaitu mengajukan dakwaan resmi terhadap
individu yang diduga melakukan tindak pidana. Mereka harus merinci tindak
pidana yang diduga dilakukan oleh terdakwa dan bukti-bukti yang mendukung
dakwaan tersebut.
• Kewenangan Menjatuhkan Tuntutan: Penuntut umum memiliki kewenangan
untuk menjatuhkan tuntutan di hadapan pengadilan. Mereka dapat
mempresentasikan kasus pidana dan bukti-bukti yang mendukungnya kepada
pengadilan, serta mengajukan permintaan hukuman terhadap terdakwa.
• Kewenangan Menarik Tuntutan: Penuntut umum juga memiliki kewenangan
untuk menarik tuntutan dalam beberapa kondisi tertentu. Mereka dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menarik tuntutan jika
menemui bukti yang membenarkan atau alas an tertentu yang mengharuskan
penarikan tuntutan.
• Kewenangan Banding dan Kasasi: Penuntut umum memiliki kewenangan untuk
mengajukan banding atau kasasi terhadap keputusan pengadilan yang
dianggap tidak sesuai dengan hukum. Mereka dapat memperjuangkan
keputusan pengadilan tersebut di tingkat banding atau kasasi untuk
memastikan keadilan dilaksanakan.
Kewenangan penuntut umum adalah bagian penting dari sistem peradilan
pidana yang memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana dituntut dan
diadili secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku. Kewenangan ini juga
mengatur proses peradilan pidana mulai dari penyelidikan hingga
persidangan dan eksekusi hukuman.

3. Pada prinsipnya persidangan perkara pidana harus terbuka untuk umum kecuali hal-
hal yang diatur oleh undang-undang karena untuk menjamin objektifitas pemeriksaan.
Apakah akibat hukum bila dalam proses persidangan dilakukan secara tertutup tanpa
ada pengecualiaan dari undang- undang?
Jawaban :
Dalam substansi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, berbunyi: “Terdakwa berhak untuk diadili di sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum.” Artinya proses persidangan Terdakwa, dapat
disaksikan oleh siapa saja atau khalayak ramai, mulai dari pembacaan dakwaan hingga
pembacaan putusan. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hal ini bertujuan agar
semua persidangan pengadilan jelas, terang dilihat dan diketahui masyarakat, tidak
boleh persidangan gelap dan bisik-bisik. Ketentuan mengenai prinsip ini juga bisa
dilihat dalam substansi Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Semua sidang pemeriksaan
pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Kemudian substansi Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: “Untuk keperluan
pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Sebagaimana dapat diketahui pada substansi Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berbunyi: “Hakim memeriksa
perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan
putusan. Pengecualian sidang terbuka untuk umum (sidang dinyatakan tertutup untuk
umum) pada umumnya adalah untuk kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga,
pidana anak, kasus kesusilaan dan beberapa kasus tertentu. Putusan pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum, penjelasan tersebut berasal dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Akibat hukum apabila dalam proses persidangan dilakukan secara tertutup tanpa ada
pengecualian dari undang-undang ialah putusan batal demi hukum, hal tersebut dapat
diketahui dalam substansi Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yang berbunyi: “Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum.” Kemudian dijumpai pula dalam substansi Pasal 13 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan pututsan batal demi hukum.
Putusan batal demi hukum, menurut M. Yahya Harahap, ditinjau dari segi hukum
berakibat putusan yang dijatuhkan: 1. Dianggap “tidak pernah ada” atau never existed
sejak semula; 2. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan
akibat hukum; dan 3. Dengan demikian putusan yang batal demi hukum sejak semula
putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat
dilaksanakan. Meskipun undang-undang merumuskan sesuatu batal demi hukum
namun keadaan batal demi hukum tidak dengan sendirinya terjadi.
Dalam konteks ini yang berhak menyatakan putusan batal demi hukum suatu putusan
pengadilan adalah instansi pengadilan yang lebih tinggi. Pendapat ini bertolak dari
ajaran yang berpendirian sifat batal demi hukum (van rechtsweenietig) atau null and
void tidak murni dan tidak mutlak. Lebih jelasnya lagi M. Yahya Harahap berpendapat
bahwa pernyataan putusan batal demi hukum dapat diajukan oleh: a. Terdakwa; b.
Penasehat Hukum; dan c. Jaksa.
Dengan demikian agar suatu putusan yang batal demi hukum resmi batal secara formal
maka harus ada tindakan dari pihak lain yaitu instansi pengadilan yang lebih tinggi atau
instansi yang berwenang berdasarkan undang-undang.

Sumber :
• BMP Hukum Acara Pidana
• KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Anda mungkin juga menyukai