Anda di halaman 1dari 235

SA

M
PL
E
E
PL
M
SA

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana
yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba­gai­mana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,-
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,-(satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dila­ku­kan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,-(empat miliar rupiah).
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog

E
PL
M
SA

Editor
Ade Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons.
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA DARI ANAK-ANAK
DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
(Neurodevelopmental Disorders)
Edisi Pertama
Copyright © 2020

ISBN 978-623-218-688-0
ISBN (E) 978-623-218-689-7
15,5 x 23 cm
xii, 222 hlm
Cetakan ke-1, November 2020

Kencana. 2020.1350
E
PL

Penulis
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog
M

Editor
Ade Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons.
SA

Diterbitkan oleh Kencana


Bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Desain Sampul
Irfan Fahmi

Penata Letak
Rendy & Iam

Penerbit
KENCANA
Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134

Divisi dari PRENADAMEDIA GROUP


e-mail: pmg@prenadamedia.com
www.prenadamedia.com
INDONESIA

Dilarang memperbanyak, menyebarluaskan, dan/atau mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit dan penulis.
PENGANTAR PENULIS
E
ALHAMDULILLAHIROBBILAALAMIIN....
PL

Buku ini yang berjudul Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari
Anak-Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf (Neuro­deve­lopmental Di­
M

sorders) merupakan buku keenam yang telah penulis rampungkan. Bu­


SA

ku ini terinspirasi dari pengalaman penulis saat penelitian di Program


Dok­ tor Ilmu Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Orang tua dari anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf (neuro­
developmental disorders) merupakan orang tua istimewa, yakni orang tua
yang dianugerahi anak-anak be­rupa keistimewaannya dengan segala ke­
lebihan serta kekurangan yang anak miliki. Pada buku ini akan spesifik
membahas pengasuhan orang tua yang memiliki anak-anak dengan gang­
guan perkembangan saraf (children with neurodevelopmental disor­ders), ya­
itu anak-anak yang mengalami penurunan perkembangan pada sistem
saraf di bagian otaknya, sehingga kemampuan penerimaan stimulasi di
otak kurang optimal dan tampilan perilakunya kurang tepat untuk anak-
anak seusianya. Adapun kelompok anak-anak dengan gangguan per­kem­­
bangan saraf, meliputi: autism spectrum disorder, intellectual disability,
at­­tention deficit hyperactivity disorder (ADHD), communi­ca­tion disorders, de­
velopmental coordination disorder). Dalam buku ini menspesifikkan pada
anak dengan gangguan spectrum autis, anak ADHD, dan anak dengan ke­
terbatasan intelektual.
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Akhir-akhir ini banyaknya penelitian dan buku yang bermuncul-an


untuk membahas tentang kondisi psikologis dan pengasuhan orang tua
yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf. Tu­juan buku
ini ditulis untuk membantu di dalam mempertajam penge­tahuan akan
bidang psikologi dan pendidikan, khususnya referensi tentang pengasuh­an
pada orang tua yang memiliki anak-anak dengan gangguan perkembang­
an saraf, serta dilengkapi dengan hasil riset berdasarkan jurnal-jurnal il­
miah terkini dan riset terbaru yang pernah diteliti tidak hanya di Indo­
nesia namun juga penelitian-penelitian di negara lain, ditambah dengan
tema-tema penting yang umumnya muncul dalam penelitian pengasuhan
orang tua-anak.
Buku ini mengulas pengasuhan dan kondisi psikologis yang di­ala­mi
orang tua dalam memberikan pengasuhan, serta upaya dalam me­mini­ma­
lisasi kendala-kendala yang dihadapi dan upaya da­lam mengelola emosi
negatif selama mengasuh anak. Penelitian sebe­lumnya telah membuktikan
bahwa beratnya mengasuh anak dengan gangguan perkembangan, selain
munculnya emosi negatif (seperti, cemas, sedih, merasa bersalah, marah,
stres), juga ternyata kurangnya dukungan dari faktor luar diri orang tua
E

(seperti, mahalnya biaya terapi anak, stigma negatif yang diterima dari
PL

masyarakat karena memiliki anak istimewa seperti ini) dapat meme­nga­


ruhi tingkat stres yang lebih tinggi. Buku ini juga memberikan bebera­pa
M

alternatif orang tua dalam meminimalkan kondisi-kondisi yang dianggap


SA

mampu memunculkan stres pengasuhan, salah satunya adalah dengan ko­


ping religius.
Buku ini juga menjelaskan tentang makna stres pengasuhan da-lam
merawat anak istimewa. Stres tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia,
mengingat manusia adalah makhluk yang paling tinggi pen­ ciptaannya
dengan kompleksitas permasalahan kehidupan yang dihadapinya, maka
stres menjadikan salah satu reaksi atas kondisi tertekan. Secara keselu­
ruhan, berdasarkan temuan penelitian yang penulis lakukan diperkaya
dengan jurnal-jurnal penelitian sebelumnya dan tertuang dalam buku
ini, menunjukkan bahwa pada setiap diri manusia memiliki dua faktor
penting, yaitu faktor pertahanan diri sebagai faktor protektif yang mampu
meminimalisasi stres yang dirasakan, dan terdapat faktor pencetus sebagai
faktor risiko atas kemunculan stres. Buku ini mampu menjelaskan faktor-
faktor yang berperan penting dalam diri manusia, dan menjadikan refleksi
diri sendiri ketika dihadapkan pada sumber stres, agar mampu menyikapi
sumber stres dan mampu bereaksi dengan tepat hingga menjadikannya
sosok yang tetap bahagia meskipun dalam kondisi yang tertekan.

vi
PENGANTAR PENULIS

Banyak dukungan dan perhatian yang penulis rasakan dalam menye­


lesaikan buku ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih atas
dukungan yang tulus dari suami “Rahmatsyah Putra Pu­ lungan, S.T.”,
serta anak-anak penulis “Syakirah Tazkiyah Pulungan & M. Azka Putra
Pulungan”, yang terus memberikan semangat dan sentuhan kasih sayang
dalam kehidupan penulis. Kepada Ayahanda Prof. DR. Haidar Putra Dau­
lay, M.A., dan Ibunda Dra. Nurgaya Pasa, M.A., yang tak pernah henti
mendoakan untuk kebaikan anak-anaknya. Bagi penulis, ayahanda dan
ibunda adalah sosok inspirator, sekaligus teman diskusi tentang karya-
karya ilmiah dalam bidang akademik.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna dan ma­
sih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Penulis mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca untuk membangun kesempurnaan bu­
ku ini di masa akan datang. Atas kesediaan para pembaca, penulis meng­
ucapkan terima kasih.
Penulis dapat dihubungi pada email: nurussakinah@uinsu.ac.id

Medan, 6 September, 2020


E

Penulis
PL

Nurussakinah Daulay
M
SA

vii
SA
M
PL
E
PENGANTAR EDITOR

P uji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa
atas segala berkah, nikmat, dan rahmat-Nya kepada kita semua, se­
hingga buku ini dapat diterbitkan. Selawat beserta salam kita hadiahkan
kepada Junjungan Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari
E

alam kegelapan kepada alam yang terang benderang penuh dengan ilmu
PL

pengetahuan seperti saat ini.


Buku Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari Anak-anak de­ngan Gang­­
M

guan Perkembangan Saraf ditulis dan diterbitkan dengan harapan bah­­wa


SA

semakin masyarakat akademik yang merasakan kebermanfaatan buku ini


bagi proses belajar dan pembelajaran. Buku ini terdiri dari enam bab di
mana masing-masing bab mengupas tuntas tentang pengasuhan bagi orang
tua dari anak dengan gangguan perkem­bangan saraf. Adapun masing-
masing bab membahas Bab 1 Makna Pengasuhan berdasarkan Kajian Psi­
kologi Pengasuhan, Bab 2 Anak-anak dengan Gangguan Perkembangan
Saraf, Bab 3 Fak­­tor Protektif dan Faktor Risiko Pengasuhan, Bab 4 Mak­na
Stres Pengasuhan, Bab 5 Stres Pengasuhan dan Koping, dan Bab 6 Layanan
Pendidikan.
Buku Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari Anak dengan Gang­guan
Perkembangan Saraf ini sangat diperlukan dan sangat layak dijadikan bu­
ku pegangan, buku pedoman bagi para orang tua bahkan para pendi­dik/
guru, dosen yang memiliki dan menghadapi anak-anak istimewa. Sebagai
bahan renungan bahwa masih banyak orang tua yang memiliki anak-anak
istimewa akan tetapi tidak mempunyai pe­ngetahuan khusus tentang pola
pengasuhan yang baik dan tepat bagi anak istimewa. Sehingga mereka
cenderung abai terhadap pola asuh yang mereka terapkan dan menya­ma­
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

kan pola asuhnya dengan anak-anak normal pada umumnya. Akibatnya


adalah anak-anak istimewa tidak mendapatkan pola asuh yang tepat dari
orang tua yang berakibat pada meningkatnya perilaku maladaptif pada
anak istimewa. Buku ini hadir dengan membawa harapan baru bahwa
setiap orang tua yang memiliki anak-anak istimewa merupakan orang tua
pilihan yang juga sangat istimewa yang berperan dalam pola pengasuh­an
yang baik (good parenting).
Semoga dengan terbitnya buku ini dapat memberikan manfaat-nya
bagi khalayak umum yang membacanya terkhusus bagi orang tua de­
ngan anak-anak istimewa dan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi
mahasiswa yang sedang menyusun tugas atau dalam rangka menyiapkan
penelitian terkait anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf ini.
Buku ini juga bermanfaat bagi pendidik dan calon pendidik dalam pe­
ngem­bangan ilmu pengetahuan terutama da­­lam dunia pendidikan di Fa­­
kultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negeri Sumatra Uta­
ra Medan.

Medan, September 2020


E
PL

Editor,
Ade Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons.
M
SA

x
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS V
PENGANTAR EDITOR IX
E
PL

BAB 1 PENGASUHAN ORANG TUA 1


A. Makna Pengasuhan (Perspektif Psikologi)..................... 1
M

B. Makna Pengasuhan Ayah............................................ 6


C. Makna Pengasuhan Ibu................................................ 7
SA

D. Peranan Keluarga dalam Penanganan Anak-anak


Istimewa........................................................................ 9
REFERENSI......................................................................... 18

BAB 2 ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN


PERKEMBANGAN SARAF 23
A. Anak-anak dengan Gangguan Perkembangan
Saraf (Neurodevelopmental Disorders)........................ 23
B. Penelitian tentang Pengasuhan Orang Tua yang
Memiliki Anak dengan Gangguan Spektrum Autis.... 37
C. Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf dan
Neuropsikologi............................................................. 78
REFERENSI......................................................................... 85

BAB 3 FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO


PENGASUHAN 97
A. Faktor Protektif............................................................. 98
B. Faktor Risiko...............................................................108
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

C. Intervensi Bagi Anak dengan Gangguan


Perkembangan Saraf..................................................120
REFERENSI........................................................................136

BAB 4 STRES PENGASUHAN 147


A. Stres Pengasuhan: Sebuah Pengantar........................147
B. stres Pengasuhan pada Orang Tua Yang Memiliki
Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf .......154
C. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Stres
Pengasuhan...............................................................157
D. Pengukuran Stres Pengasuhan...................................159
E. Stres Pengasuhan dan Neuropsikologi.......................162
REFERENSI........................................................................164

BAB 5 STRES PENGASUHAN DAN KOPING 173


A. Hakikat Koping...........................................................173
B. Stres Pengasuhan dan Koping...................................177
C. Penelitian terkait Peran Koping..................................179
E
D. Peran Koping Religius Terhadap Stres Pengasuhan...187
PL

E. Intervensi Stres Pengasuhan.......................................194


REFERENSI........................................................................196
M

BAB 6 LAYANAN PENDIDIKAN 203


SA

A. Pendidikan Khusus.....................................................205
B. Pendidikan Inklusi......................................................207
C. Pusat Layanan Autis Indonesia..................................213
REFERENSI........................................................................216

TENTANG PENULIS 219


TENTANG EDITOR 221

xii
Bab 1
PENGASUHAN ORANG TUA

A. MAKNA PENGASUHAN (PERSPEKTIF PSIKOLOGI)


PL

Definisi pengasuhan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia


M

(2008) berarti proses, cara, perbuatan mengasuh. Menurut Lestari (2012)


SA

bah­wa istilah parenting menggeser istilah parenthood, sebuah kata ben­


da yang berarti keberadaan atau tahap menjadi orang tua, menjadi kata
kerja yang berarti melakukan sesuatu pada anak seolah-olah orang tua­
lah yang membuat anak menjadi manusia. Pengasuhan bertujuan untuk
meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak berlandaskan rasa
kasih sayang tanpa pamrih. Dengan makna pengasuhan yang demikian,
maka sejatinya tugas pengasuhan mur­ni merupakan tanggung jawab orang
tua. Dengan demikian, kurang tepat bila tugas pengasuhan dialihkan se­
penuhnya kepada orang lain yang kemudian disebut pengasuh.
Pentingnya proses pengasuhan juga tertuang dalam Peraturan Mente­
ri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Peng­asuhan
Anak:
“Pengasuhan anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang,
kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan ber­ke­lanjutan demi
kepentingan terbaik anak, yang dilaksanakan baik oleh orang tua atau keluarga
sampai derajat ketiga maupun orang tua asuh, orang tua angkat, wali, serta
pengasuhan berbasis residensial sebagai alternatif terakhir.”
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Brooks (2011) mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses


yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orang
tua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah
sebuah hubungan satu arah yaitu orang tua memengaruhi anak, namun
pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak yang
dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial di mana anak dibesar­
kan. Pengasuhan merupakan proses yang pan­jang, mencakup interaksi
antara anak, orang tua dan masyarakat, pe­­nye­suaian kebutuhan hidup
dan temperamen anak dengan orang tua­­nya dan pemenuhan tanggung
jawab untuk membesarkan dan me­ me­nuhi kebutuhan anak (Shochib,
2010). Hoghughi dan Long (2004) mendefinisikan pengasuhan dengan
be­ragam aktivitas yang bertuju­an agar anak dapat berkembang secara
op­ti­mal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Dengan demikian peng­
asuhan merupakan inter­aksi antara orang tua dan anak, prosesnya pan­
jang, dengan bertuju­an untuk memberikan usaha dan upaya dalam me­
ningkatkan tumbuh kembang anak.
Menurut Baumrind (1991) pengasuhan adalah cara orang tua da­
lam memperlakukan, berkomunikasi, mendisiplinkan, memonitor, dan
E

mendukung anak. Interaksi yang terjalin antara anak dan orang tua
PL

akan membentuk gambaran, persepsi, dan sikap-sikap tertentu pada ma­


sing-masing pihak, yaitu sikap anak memengaruhi respons orang tua
M

dan sebaliknya sikap orang tua pun akan memengaruhi respons anak.
SA

Baumrind juga mengidentifikasi dua dimensi dalam peng­­ asuh­­


an yaitu
ketanggapan (responsiveness) dan tuntutan (deman­­ding­ness). Responsiveness
mengacu pada kualitas hubungan afeksi an­ ta­
ra orang tua dan anak,
meliputi kehangatan, dukungan dan ke­­ter­­li­bat­an. Demandingness mengacu
pada harapan yang realistis di­ser­tai mo­nitoring terhadap perilaku anak.
Bogenschneider dan Pal­­ lock (2008) beranggapan bahwa responsiveness
merupakan kom­po­nen dasar dalam kapasitas pengasuhan untuk anak. Hal
ini berupa perhatian terhadap kebutuhan anak dan adanya kehangatan
dalam keluarga. Responsiven­ess diukur melalui penerimaan, kedekatan,
kualitas hubungan, dan kehangatan orang tua dengan anak. Adapun de­
mandingness meng­acu pada ketegasan dalam aturan dan standar perilaku
yang diingin­kan. Berdasarkan teori pengasuhan dari Baumrind, sangat
dipenting­kan pengasuhan yang bersifat responsiveness pada ibu yang me­
miliki anak-anak dengan keterbatasan khususnya pada ibu yang memi­
liki anak dengan gangguan spektrum autis, penerimaan ibu akan kondisi
keterbatasan anak autis merupakan hal utama dalam menciptakan ke­
hangatan interaksi antara ibu dan anak (dalam Daulay, 2019).

2
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

Selain dua dimensi penting dalam pengasuhan, Baumrind (1991) juga


mengemukakan empat bentuk sikap orang tua dalam mendidik anak,
yaitu:
1. Authoritarian, adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan
menghukum, di mana orang tua mendesak anak untuk mengikuti
arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka, terlalu
menuntut anak, tidak ada penghargaan dan kehangatan terhadap
anak serta disiplin yang keras.
2. Authoritative, adalah gaya pengasuhan yang mendorong anak untuk
mandiri, namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan
mereka. Model pengasuhan ini mengatur perilaku anak dengan ke­
hangatan, harapan realistis dan memotivasi untuk ber­pikir mandiri.
3. Neglectful (mengabaikan), gaya pengasuhan di mana orang tua sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak merasa diabai­ kan dan
menganggap kehidupan orang tua lebih penting diban­ding­kan diri
mereka.
4. Indulgent (menuruti), gaya pengasuhan di mana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengon­
E

trol mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa yang di­
PL

inginkannya. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendali­kan pe­


rilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan ke­inginannya.
M
SA

Secara keseluruhan penulis menyimpulkan dari beberapa defi­ nisi


peng­asuhan yang telah disebutkan sebelumnya, maka pengasuh­an ada­
lah in­ter­aksi timbal balik antara orang tua dan anak, terda­pat kedekatan
emosional, orang tua bertanggung jawab atas peran­nya dalam memenuhi
kebutuhan serta berupaya meningkatkan perkem­bangan anak.
Materi pengasuhan banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Keingin­­
tahuan dan antusias orang tua untuk menambah pemahaman seputar
pengasuhan positif dan pengupayaan agar menjadi orang tua yang baik
buat anaknya terbukti dengan diselenggarakannya ke­ giatan paren­ting
pa­da setiap sekolah. Kegiatan parenting yang dilak­ sa­nakan juga telah
meng­­hadirkan narasumber profesional yang ahli di bidangnya, sehingga
memberikan penguatan bagi orang tua un­tuk menciptakan dan mengondi­
sikan keluarga yang harmonis. Demiki­an pula dengan kehadiran variasi
buku-buku yang bertemakan posi­tive parenting juga semakin membuktikan
bahwa ketika orang tua memberikan pengasuhan yang berkompeten sejak
dini, tentu ini akan berdampak positif pada tumbuh kembang anak saat
ini dan di masa depannya.

3
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Berbicara tentang pengasuhan tentu perlu diperhatikan keaktifan,


kre­ativitas, dan kooperatif dari orang tua. Di balik keberhasilan seorang
anak terdapat kekuatan luar biasa yang dapat memengaruhi tumbuh kem­
bangnya mejadi optimal. Jane Brooks (2011) dalam bu­kunya The Pro­
cess of Parenting mengemukakan banyak penelitian baru mengidentifi­
kasi cara orang tua berkontribusi bagi pertumbuhan positif anaknya dan
perkembangan anak melalui cara yang besar dan kecil. Misalnya, dukung­
an positif dan kemampuan ibu mengurasi rasa depresi dan mengatasi frus­
trasi mereka sendiri sambil tetap optimal membantu anak-anak dalam
belajarnya. Kuncinya adalah perilaku orang tua tidak hanya memuncul­
kan perkembangan yang sehat tetapi juga meredam dampak negatif yang
diterima anak dari berbagai ke­jadian yang menimbulkan stres.
Orang tua yang dianugerahi anak-anak dengan keistimewaan­nya, sa­
lah satunya anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf (seperti,
anak dengan gangguan spektrum autis, ADHD, anak dengan intellectual
disability), pengasuhan orang tua bukanlah sesuatu hal yang mudah, si­
kap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang mengalami gangguan
perkembangan dapat ditunjukkan dengan me­mahami kekurangan anak,
E

berusaha meningkatkan tumbuh kembang anak, berusaha menyesuaikan


PL

diri dalam menghadapi masalah-ma­salah yang muncul selama mengasuh


anak autis. Peran orang tua un­tuk mengembangkan kedekatan hubungan
M

secara emosional dan me­numbuhkan kepribadian positif pada anak da­


SA

pat diwujudkan da­lam bentuk seperti mengerti perasaan anak, menerima


pikiran anak, menerima kondisi fisik dan mental anak, membantu anak
lebih mema­hami dirinya dan membantu dalam mengatasi kesulitan (Ar­
msden & Greenberg, dalam Buist dkk., 2004).
Rohner (2004) mengungkapkan tentang teori pengasuhan akan pe­
nerimaan dan penolakan orang tua (parental-acceptance-rejection theory/
PART) adalah teori yang menjelaskan bahwa orang tua merupakan figur
yang penting dan unik bagi anak-anak karena kondisi aman secara emosi
serta kondisi psikologis bergantung pada kualitas hubungan antara orang
tua dan anak. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka akan berdampak posi­
tif terhadap perilaku dan emosi anak. Rohner, Khaleque, dan Cournoyer
(2012) membagi persepsi tentang pengasuhan menjadi dua bagian, yaitu
penerimaan (parental acceptance) dan penolakan (parental rejection). Ke­
duanya digambarkan dalam suatu rentang dimensi yang terkait dengan
kualitas ikatan emosi antara orang tua dengan anak-anak mereka dan
de­ngan tingkah laku fisik, verbal dan simbolik yang digunakan orang
tua untuk mengekspresikan dan menyatakan perasaannya. Dimensi pe­

4
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

ne­rimaan ditandai dengan kehangatan, kasih sayang, perhatian, kenya­


manan, kepedulian, dukungan atau cinta yang didapatkan anak-anak dari
orang tuanya. Sementara dimensi penolakan ditandai dengan kurang­nya
perasaan penuh cinta, hadirnya beragam emosi dan tingkah laku fisik
serta psikis yang menyakitkan.
Teori pengasuhan akan penerimaan dan penolakan orang tua (pa­
rental-acceptance-rejection theory/PART) ini menekankan kehangat­­an dan
kedekatan emosi dari orang tua dalam lingkungan seorang anak adalah
suatu kebutuhan penting untuk perkembangan psikologis anak. Ji­ ka
kebutuhan ini tidak terpenuhi dapat menyebabkan masalah da­lam per­
kembangan perilaku dan emosional anak. Anak juga akan me­nun­jukkan
perilaku kasar, agresif, kepercayaan diri yang rendah, emosi yang tidak
stabil, dan pandangan hidup yang negatif (Rohner, Khalaque, & Cournoyer,
2012).
Teori parental-acceptance-rejection theory/PART penting dihubung­
kan dengan kondisi pengasuhan orang tua dari anak-anak istime­wa, di
antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Aydin dan Ya­mac (2014)
bertujuan untuk menguji korelasi penerimaan-penolakan orang tua dari
E

anak mental disability (anak berusia 7-12 tahun) dan sikap perawatan orang
PL

tua dalam kaitannya dengan variabel sosio-de­mografi. Hasil peneliti­an­­nya


membuktikan terdapat hubungan po­sitif antara perilaku peneri­maan-pe­
M

nolakan dan sikap perawatan orang tua, dan dampak jenis kelamin dan
SA

status pendidikan orang tua da­lam memberikan pengasuhan efektif.


Buku ini menyampaikan bagaimana suka duka orang tua yang
memiliki anak istimewa ini dan usaha yang dilakukan untuk dapat
mengatasi suka duka tersebut. Beragam kondisi yang setiap saat diha­
dapi kerap memunculkan tekanan signifikan yang dapat berujung pa­
da problem psikologis orang tua serta ketidaktepatan dalam peng­asuh­
an anak. Kehadiran buku ini berupaya untuk mensosialisasikan kondisi
psikologis orang tua, dan dapat menjadi rujukan bagi para peneliti, dan
mahasiswa dalam mencari literatur terkait kondisi orang tua dan anak,
serta meningkatkan pemahaman bagi masyarakat dan pemerhati anak
dengan gangguan perkembangan saraf (termasuk gang­ guan spektrum
autis) akan beratnya mengasuh anak dengan ke­isti­mewaan ini.

5
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

B. MAKNA PENGASUHAN AYAH


Keterlibatan sosok ayah dalam pengasuhan memiliki andil penting
dalam keluarga dan tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah juga akan
mengembangkan kemampuan anak untuk berempati, ber­si­kap penuh per­
hatian dan kasih sayang, serta hubungan sosial yang lebih baik (Gottman
& DeClaire, 1997). Berbagai penelitian juga me­nun­jukkan terda­pat per­
bedaan sikap dan perilaku anak dalam peng­­asuhan antara ayah dan ibu.
Penelitian yang dilakukan oleh Gott­­man dan DeClaire (1997) menunjuk­
kan keterlibatan ayah akan memberikan manfaat yang positif bagi anak
laki-laki dalam mengem­bang­kan kendali diri dan kemampuan menunda
pemuasan keinginan, dan pada penyesuaian sosial remaja laki-laki (Ma­
harani & Andayani, 2003).
Bagi anak perempuan, sosok kehadiran ayah cenderung tidak menjadi
sexual promiscuous secara dini dan mampu mengembang­kan hubungan
yang sehat dengan laki-laki lain di masa dewasanya. Anak-anak perem­
puan yang mendapatkan perhatian yang positif dari ayahnya akan men­
da­patkan pemenuhan kebutuhan afektif dan pada saat yang sama ia akan
E
belajar bagaimana berhubungan dengan lawan jenis secara sehat (Anda­
PL

yani & Koentjoro, 2004). Keterlibatan ayah umumnya dikenal dengan is­
tilah paternal involvement atau fa­ther involvement. Keterlibatan ayah dalam
M

peng­asuhan merupakan ke­ikutsertaan positif ayah dalam kegiatan yang


SA

berupa interaksi lang­sung dengan anak-anaknya, memberikan kehangat­


an, melakukan pe­mantauan dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta ber­
tanggung ­jawab terhadap keperluan dan kebutuhan anak (Lamb, 2010,
dalam Rangkuti & Fajrin, 2015).
Kondisi tumbuh kembang anak dengan perkembangan normal dan
anak dengan gangguan perkembangan juga sangat dipengaruhi bagai­
mana keaktifan dan penerimaan ayah dalam berinteraksi de­ngan anaknya.
Ayah memiliki peran dalam keterlibatan pengasuhan anak karena ayah
memiliki tanggung jawab untuk memastikan bah­wa anak tumbuh dengan
nilai moral, agama, dan budaya yang ada di dalam masyarakat. Penelitian
yang dilakukan oleh Salsabila dan Masykur (2018) dengan mengguna­kan
interpretative phenomenological analysis (IPA) semakin menegaskan ten­
tang posisi seorang ayah bagi anak Down Syndrome. Terdapat tiga tema
utama yang menjadi fokus dari pengalaman ayah, yakni: 1) Penyesuaian
diri, pa­da awalnya muncul konflik diri yang ditandai dengan penolakan,
pro­ble­matika lingkungan, adanya penyesalan, yang akhirnya seiring de­
ngan berja­lannya waktu ayah akhirnya menerima kondisi anak, dukung­an

6
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

sosial dari keluarga dan lingkungan sekitar, komunitas, serta pemahaman


tentang agama dan percaya kepada Tuhan, semakin me­nguatkan ayah
dan memberikan kesabaran dalam merawat anak. Upaya melakukan pe­
nyesuaian diri melalui berbagai macam proses penyesuaian, sehingga
mendorong mereka dapat melakukan perannya dalam keluarga secara
op­timal dan melakukan persiapan untuk masa depan anaknya; 2) Peran
ayah dalam keluarga, melakukan kontrol dan tugas penting dalam keluar­
ga, memenuhi finansial keluarga, melindungi keluarga, dan mempriori­
tas­kan kebutuhan keluarga; 3) Persiapan masa depan, usaha-usaha yang
di­upayakan seorang ayah, di antaranya upaya pe­nyembuhan, upaya men­
di­dik anak, dan antisipasi masa depan.
Terlihat perbedaan peran antara ayah dan ibu, ayah adalah sosok
pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan waktunya lebih
banyak dihabiskan di luar rumah, sehingga dianggap perannya kurang
banyak terlibat berinteraksi dengan anak.
Berikut beberapa hasil penelitian menegaskan bahwa stres peng­asuhan
lebih banyak dialami ibu dibandingkan ayah (Dabrowska & Pisula, 2010;
Garcia-Lopez, Sarria, & Pozo, 2016; Jones, Totsika, Has­tings, & Petalas,
E

2013; Tehee, Honan, & Hevey, 2009), sementara se­orang ayah akan lebih
PL

cepat beradaptasi akan kondisi keterbatasan anak (Garcia-Lopez dkk.,


2016).
M

Selain itu, faktor kebersyukuran (gratitude) mampu memberikan mo­


SA

tivasi bagi ayah dalam pengasuhan bagi anak-anak istimewa ini. Bersyukur
dibuktikan dengan menerima, menjalani dengan tidak me­ngeluh, semakin
menguatkan ayah untuk memberikan yang terbaik bagi pengasuhan dan
kehidupan anaknya. Seorang ayah terkadang dianggap jarang terlibat
langsung dalam pengasuhan anaknya, pada­ hal peran ayah tak kalah
penting dengan peran ibu, terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga dan memberikan dukungan bagi pasangannya.

C. MAKNA PENGASUHAN IBU


Mengapa penelitian banyak dilakukan pada ibu? Ibu adalah so­sok yang
telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan mengasuh anak, sehingga
jelaslah cinta kasih ibu terhadap anaknya merupakan jalinan emosi yang
sangat kuat dan kompleks. Peran dan pengasuhan ibu memiliki hubung­
an yang signifikan dengan pertumbuhan dan per­kembangan anak karena
ibu merupakan seseorang yang pertama di­kenal anak sejak dilahirkan dan
menjadi figur lekat dalam kehidupan anak. Ibu yang sehat secara fisik

7
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dan psikis adalah ibu yang mampu mendidik dan mengasuh anak-anaknya
dengan penuh kasih sayang, kesabaran, keuletan serta bertanggung jawab
anaknya kelak menjadi sosok individu yang bermanfaat.
Hubungan yang erat dengan ibu di tahun pertama kehidupan anak
merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang anak yang
selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Peran ibu se­dini mungkin
akan membuat anak merasa aman dan nyaman karena ada­nya kontak fi­
sik ketika ibu menyusui anak segera setelah lahir. Ke­­ku­rangan kasih sa­
yang ibu pada tahun pertama kehidupan mempu­ nyai dampak negatif
pa­da tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi (Soet­
jiningsih, 2004).
Setiawati (2014) menekankan peran ibu bagi anak-anaknya ada­lah:
1) membina keluarga sejahtera sebagai wahana penanaman nilai agama,
etika, moral dan nilai-nilai leluhur bangsa, sehingga memi­li­ki integritas
kepribadian dan etos kemandirian yang tangguh; 2) mem­ per­
hatikan
kebutuhan anak (perhatian, kasih sayang, penerima­an, perawatan); 3)
bersikap bijaksana dengan menciptakan dan me­ melihara kebahagiaan,
kedamaian dan kesejahteraan yang berkuali­ tas dalam ke­ luarga serta
E

pemahaman atas potensi dan keterbatasan anak; 4) me­laksanakan peran


PL

pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, ber­main dan bergaul,


serta menegakkan disiplin dalam ru­ mah, mem­ bina kepatuhan dan
M

ketaatan pada aturan keluarga; 5) men­ cu­­­


rahkan kasih sayang namun
SA

tidak memanjakan, melaksanakan kondisi yang ketat dan tegas namun


tidak percaya atau mengekang anggota keluarga; 6) berperan sebagai
kawan terhadap anak-anaknya, sehingga dapat membantu mencapai jalan
keluar dari kesulitan yang dialami anak-anaknya; 7) memotivasi anak dan
mendorong untuk me­­raih prestasi yang setinggi-tingginya.
Terkhusus bagi penelitian yang mengkaji bagaimana peran pen­ting
seorang ibu dalam merawat anak dengan gangguan perkem­bangan saraf,
pentingnya peran seorang ibu juga diteliti oleh Calza­­da, dkk. (2004) bahwa
ibu terlibat lebih banyak merawat dan berin­teraksi dengan anak-anaknya
dibandingkan ayah (Moes, Koegel, & Sch­re­ib­man, 1992); ibu juga rentan
mengalami stres, depresi dan kece­mas­an (Davis & Carter, 2008); sehingga
berisiko menurunkan kesehat­ an mental (Hastings, 2003); kesibukan
mengurus rumah tangga juga mengakibatkan ibu sering merasa lelah tidak
hanya secara fisik, na­mun juga psikis (Tehee dkk., 2009); untuk anak-
anak dengan gang­gu­an perkembangan saraf yang menjadi masalah utama
terletak pa­da perilaku bermasalah anak sehingga ibu kerap mengalami
stres (De­pape & Lindsay, 2015); agar ibu tetap kuat dalam merawat anak

8
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

se­hingga diperlukan koping sepanjang hidup (Gray, 2006).

D. PERANAN KELUARGA DALAM PENANGANAN ANAK-ANAK ISTIMEWA


Pada buku ini dikhususkan membahas orang tua dari anak-anak
istimewa adalah orang tua yang memiliki anak dengan perkembangan
spesifik atau dengan kata lain perkembangannya tidak seperti anak nor­
mal pada umumnya, yakni: anak dengan gangguan perkembang­­an saraf.
Orang tua yang mendapatkan dukungan dari keluarganya akan memi­
liki rasa kepercayaan diri, emosi yang positif, sehingga lebih me­maknai
kehadiran anak dengan gangguan perkembangan saraf ini di tengah-te­
ngah lingkungan keluarga dibandingkan keluarga yang tidak menerima
kehadiran anak. Pada umumnya kemampuan anak yang keluarganya ter­
libat langsung di dalam proses pengasuhan akan jauh berkembang lebih
baik dibandingkan anak yang orang tua dan keluarganya tidak terlibat.
Beberapa faktor yang memengaruhi orang tua dan keluarga untuk te­
tap bertahan mengatasi berbagai sumber stres yang hadir sela­ma meng­
asuh anak. Penelitian yang dilakukan Perry (2004) mene­mu­kan terda­pat
E

dua sumber daya yang dimiliki oleh orang tua, ya­itu sumber daya perso­
PL

nal (misalnya pengetahuan, perasaan yakin dan mampu) dan sumber da­
ya keluarga (misalnya kondisi sosial ekono­mi, struktur keluarga). Selain
M

sumber daya, maka dukungan sosial dianggap sebagai faktor yang me­
SA

nguatkan keluarga, terdapat dua jenis dukungan sosial yaitu dukungan


sosial yang bersifat formal (diperoleh dari kalangan profesional dan lem­
baga), dan dukungan sosial yang bersifat informal (diperoleh dari keluar­
ga besar, teman, tetangga, masyarakat, komunitas orang tua dari anak
de­ngan gang­guan perkembangan).
Terdapat tiga peranan penting orang tua dan keluarga sebaiknya
saling bekerja sama dalam penanganan anak, yaitu:
1. Peran orang tua dan keluarga untuk mengasuh anak selama di ru­mah.
Penjelasan terkait kondisi anak degan gangguan perkembangan saraf
sepenuhnya akan dijelaskan pada bab dua. Pada intinya anak-anak
se­perti ini merupakan anak dengan gangguan perkembang­an pada
area di otak, meskipun setiap anak mengalami gejala gangguan yang
ber­variasi antara anak yang satu dengan anak lainnya, dan pada be­
berapa anak ini menampilkan gejala dari beberapa gangguan (diag­
nosis komorbid) yaitu mendapatkan dua diagnosis gangguan bah­
kan lebih, misalnya: anak autis dan ADHD, anak autis dan mental
re­tar­dasi. Dampak dari kurang ber­fungsinya beberapa area di otak

9
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

mengakibatkan anak-anak ini tidak mampu mengolah informasi yang


diterimanya dari luar, se­hingga muncul dalam perilaku yang kurang
tepat dan kurang se­suai seperti layaknya anak-anak seusianya.
Anak-anak yang telah terdiagnosis mengalami gangguan perkem­
bangan saraf ini membutuhkan penanganan awal dalam keluar­ ga,
dan menyegerakan pelaksanaan intervensi untuk anak agar semakin
besar harapan yang dapat diraih dalam menurunkan gejala gangguan
anak, hingga akhirnya mampu mencapai peri­la­ku yang sesuai dengan
perkembangan anak-anak seusianya. Ke­ ter­
libatan keluarga dalam
program penanganan anak di rumah sangat berdampak positif
terhadap perkembangan anak. Ke­ luar­ga sebaiknya menambah
informasi terkait pengasuhan, inter­ven­si yang tepat, pola makan anak,
baik melalui usaha mencari informasi sendiri, berkonsultasi dengan
para profesional, bekerja sama dengan lembaga yang menangani anak,
bergabung dengan komunitas orang tua autis, dan aktif mengikuti
kegiatan parenting tentang pengasuhan anak.
2. Peran orang tua dan keluarga untuk menjalin hubungan yang baik
dengan para profesional dan bekerja sama dengan lembaga, sekolah,
E

tempat terapi, rumah sakit, yang mampu memberikan pelayanan di


PL

bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Orang tua tidak dapat berdiri
sendiri dalam pengasuhan anak, sehingga di­ bu­tuhkan penanganan
M

yang bersifat terpadu dan bekerja sama antara orang tua, keluarga,
SA

para profesional dan lembaga resmi. Keluarga harus kuat secara fisik
dan psikis dalam mengasuh anak, sehingga akan menghasilkan sikap
yang positif dan lebih me­ nerima kondisi anaknya. Orang tua dan
keluarga yang bersi­kap positif terhadap anak biasanya akan membuat
anak-anak lebih mudah untuk diarahkan dan menunjukkan sikap
yang lebih positif pula.
Keterlibatan atau kerja sama orang tua, keluarga, dan lembaga res­
mi (misalnya sekolah, tempat terapi, rumah sakit) akan meme­
ngaruhi perkembangan anak. Terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan, misalnya orang tua dan keluarga aktif berpartisipa­si dalam
kegiatan pertemuan antara guru dan wali siswa untuk membicarakan
dan mencari solusi atas perkembangan anak; aktif mengikuti
kegiatan program parenting baik yang diadakan di se­kolah maupun
lembaga lain guna menambah informasi sekaligus memotivasi diri;
aktif bertanya, jujur dan bersikap komunikatif terhadap kalangan
profesional (misalnya dokter, psikolog) terkait kondisi anak sehari-
hari; dan mampu melaksanakan program-program intervensi anak

10
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

seperti yang disarankan para profesional.


3. Peran orang tua dan keluarga untuk mensosialisasikan kondisi anak
kepada masyarakat.
Orang tua dan keluarga yang memiliki anak dengan ganggaun
perkembangan saraf mengalami kesulitan dan tantangan yang
ber­variasi selama mengasuh anak. Tidak semua orang memiliki
pemahaman dan pengetahuan serta dapat menerima kondisi anak
seperti ini. Orang tua dan keluarga acapkali mendapatkan per­
lakuan yang kurang tepat terutama ketika membawa anak ke tempat
umum. Berbagai stigma negatif tentang kondisi anak sering membuat
masyarakat memberikan respons yang negatif pula. Hal ini dapat
menjadi sumber stres tersendiri bagi orang tua dan keluarga serta
dapat menghambat optimalisasi perkembangan anak.
Orang tua dan keluarga perlu mengomunikasikan kondisi anak ke­
pada tetangga, kepada pihak lain yang dianggap mampu membe­ri­kan
edukasi kepada masyarakat (misalnya ketua RW, ketua RT); orang
tua dan keluarga aktif mengikuti kegiatan-kegiat­an yang diadakan
di lingkungan tempat tinggalnya sekaligus ter­bu­ka mengomuni­ka­si­
E

kan kondisi anak; orang tua dan keluarga ber­­pikir positif dan mem­
PL

persiapkan diri saat membawa anak ke luar rumah dan berkumpul di


tengah-tengah masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan merupakan
M

cara-cara yang dapat menyosia­lisasikan kondisi anak kepada masya­


SA

rakat.

Pentingnya peranan keluarga terhadap pengasuhan anak-anak dengan


gangguan perkembangan saraf ini dapat dijelaskan dengan menggunakan
teori ekologi perkembangan manusia oleh Urie Bron­fenbrenner (1994).
Bronfenbrenner (1994) menekankan pentingnya pro­ses atau interaksi tim­
bal balik yang kompleks antara organisme dengan lingkungan dekatnya
(proximal process). Teori ini penting un­tuk dimaknai bagaimana peran
keluarga dalam memengaruhi rasa kompeten dan kesejahteraan psikolo­
gis orang tua selama merawat anak. Orang tua tidak dapat berdiri sendi­ri,
diperlukan kerja sama dari keluarga terdekat untuk dapat menurunkan
stres pengasuhan orang tua pada umumnya dan akhirnya meningkatkan
tumbuh kem­bang anak khususnya.
Menurut Bronfenbrenner (1994, dalam Mukhtar, 2017), untuk da­
pat memahami perkembangan seorang individu, maka harus mem­ per­
timbangkan sistem ekologi di mana individu tersebut tumbuh. Sis­ tem
ekologi ini terdiri dari lima subsistem yang terorganisasi secara sosial

11
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

(dapat dilihat Gambar 1), yaitu:


1. Microsystems, merupakan subsistem yang mempunyai interaksi lang­
sung dengan individu, dan individu juga secara aktif terlibat dalam
subsistem ini, misalnya keluarga atau rumah, sekolah, te­man sebaya,
atau tempat tinggal.
2. Mesosystems, merupakan subsistem yang menghubungkan dua atau
lebih microsystem yang berhubungan langsung dengan indi­vidu, mi­
sal­nya bagi seorang anak, salah satu mesosystem yang terkait dengan­
nya adalah keluarga dan sekolah, kondisi anak di rumah akan me­
mengaruhi atau berhubungan dengan kondisinya di sekolah.
3. Exosystems, merupakan subsistem yang menghubungkan dua atau le­
bih microsystem di mana individu tidak terlibat secara lang­sung da­
lam salah satu dari konteks atau microsystem tersebut, dan mi­crosys­
tem tersebut juga tidak memengaruhi secara langsung perkembangan
individu.
4. Macrosystems, merupakan lapisan konteks yang paling luar, yang akan
memengaruhi dan terdiri dari keseluruhan subsistem di bawahnya.
Menurut Krishnan (2010) misalnya adalah karakteristik budaya,
E

pergolakan politik, atau kekacauan ekonomi.


PL

5. Chronosystems, merupakan konsep waktu yang berkaitan dengan


konteks di mana pertumbuhan individu terjadi. Konsep waktu yang
M

dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1994) tidak hanya mencakup


SA

karakteristik personal seperti usia kronologis, tetapi juga mencakup


lingkungan tempat individu, seperti perubahan struktur keluarga,
perubahan status ekonomi, ataupun perubahan tempat tinggal.

Gambar 1. Model Ekologi tentang Perkembangan Manusia (Berns, 2007, h. 21).

Pentingnya peranan dan interaksi keluarga terhadap proses peng­


asuhan orang tua telah dijelaskan dengan menggunakan teori ekologi dari

12
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

Bronfenbrenner (1994), kemudian terdapat satu model teori lagi yang


dianggap mampu menjelaskan tentang peranan orang tua dalam proses
pengasuhan anak dengan gangguan perkembangan saraf, yaitu model
teori pencapaian peran ibu (maternal role attainment model) oleh Mercer
(1986). Teori ini juga menggunakan peran ekologi di da­lam membantu
pengasuhan ibu.
Pada awalnya model teori ini diperkenalkan oleh Rubin pada ta­hun
1967. Rubin menjelaskan proses wanita menuju pencapaian akan identitas
perannya sebagai ibu. Gambaran ideal diri sebagai ibu ber­landaskan pada
proses selama masa kehamilan dan postpartum, kemudian wanita akan
mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang ibu (Bryar & Sinclair, 2011).
Model identitas peran ibu dikembang­kan kembali oleh mahasiswa didikan
Rubin yaitu Ramona T. Mercer (1986). Mercer mengembangkan beberapa
konsep mengenai identitas peran ibu melalui berbagai penelitian. Mercer
mendefinisikan iden­titas peran ibu sebagai persepsi seorang wanita yang
di dalam dirinya sendiri telah terintegrasi sebagai seorang ibu (Mercer,
1986).
E
PL

Macrosystem

Mesosystem

Microsystem
M

Mother-father relationship

Mother
SA

Child
Empaty, sensitivity to child
Temperament
Self esteem/self concept
Ability to give cues
Parenting received as child
Appearance
Maturity/flexibility
Characteristic
Attitudes
Responsiveness
Pregnancy/birth experience
Health
Health/depression/anxiety
Stress

Child s Outcome
Maternal Role/Identity Cognitive/mental development
Competence/confidence in role Behavior/attachment
Satisfaction Health
Attachment to child Social competence

Parent s work settings


Transmitted cultural consistencies

Gambar 2. Model Pencapaian Peran Ibu (Mercer, 1986, hal. 198-204).


Gambar
Identitas 2. Model
peran Pencapaian
ibu terbentuk Peranadanya
karena Ibu (Mercer, 1986,
interaksi daril. 198-204).
berbagai komponen
dalam sistem ibu, yaitu: makrosistem, mesosistem, dan mikrosistem (Mercer, 1986).
Identitas
Berdasarkanperan ibu
gambar di terbentuk
atas, terlihat bahwakarena adanya
keberhasilan interaksi
pelaksanaan dari ber­ba­gai
tugas pengasuhan
komponen
anak jugadalam sistemoleh
dipengaruhi ibu,lingkungannya.
yaitu: makrosistem,
Mengasuh anakmesosistem, dan mi­kro­
dengan gangguan
sistem (Mercer, saraf
perkembangan 1986). Berdasarkan
bukanlah hal mudah, yanggambar di atas,
perlu ditekankan terli­
adalah hat bahwa
mengasuh anak ke­
berhasilan
bukanlah pelaksanaan
sepenuhnya tanggubtugas
jawab pengasuhan
dilimpahkan kepadaanak jugaperlunya
ibu, tetapi dipengaruhi
kerjasama oleh
ling­kdari
ungannya. Mengasuh
berbagai pihak yang terkait anak dengan
dengan anak. Modelgangguan
ini menjelaskanperkembangan
bahwa pengasuhan saraf
ibu terhadap anaknya tidak terlepas dari sistem-sistem yang melingkupinya, yakni
macrosystem, mesosystem, microsystem. 13
Macrosystem berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai sosial memiliki
kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembangan anak. Pengasuhan anak tidak
terlepas dari bagaimana harapan masyarakat terhadap peran yang mesti dijalankan oleh
seorang anak di masa dewasanya kelak. Jika dikaitkan dengan perkembangan anak dan
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

bukanlah hal mudah, yang perlu ditekankan ada­lah mengasuh anak bu­
kanlah sepenuhnya tanggub jawab dilimpah­kan kepada ibu, tetapi per­
lunya kerja sama dari berbagai pihak yang ter­kait dengan anak. Model
ini menjelaskan bahwa pengasuhan ibu terhadap anaknya tidak terlepas
dari sistem-sistem yang melingkupinya, yakni macrosystem, mesosystem,
microsystem.
Macrosystem berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai so­sial
memiliki kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembang­an anak.
Pengasuhan anak tidak terlepas dari bagaimana harapan ma­syarakat ter­
hadap peran yang mesti dijalankan oleh seorang anak di masa dewasanya
kelak. Jika dikaitkan dengan perkembangan anak dan pengaruh stigma
negatif masyarakat akan kondisi anak dengan keistimewaan ini (termasuk
anak dengan gangguan spectrum autis), maka secara tidak langsung da­pat
memengaruhi keoptimalan orang tua dalam proses pengasuhan. Hal ini
pernah diteliti oleh Tucker (2013), berdasarkan hasil penelitiannya sela­ma
setahun di Indonesia, Tucker (2013) mengungkapkan bahwa pada tahun
1990-an orang tua di Indonesia masih menganggap anak dengan gangguan
spektrum autis adalah sebuah aib keluarga sehingga malu untuk diketa­
E

hui masyarakat umum. Corcoran, Berry dan Hill (2015); Lutz, Patterson
PL

dan Klien (2012) menambahkan ibu juga merasakan kekhawatiran bila


membawa anaknya ke tempat umum dan merasa cemas apakah anaknya
M

diterima atau ditolak oleh masyarakat (Bristol, 1984; Weiss, 2002).


SA

Mesosystem berupa sekolah khusus anak-anak dengan ganggu­an per­


kembangan saraf seperti sekolah khusus autis, tempat terapi anak, dan
ko­­­munitas orang tua yang memiliki anak dengan gangguan dengan keis­­ti­
mewaan ini (seperti di Yogyakarta terdapat komunitas orang tua dari anak
autis yaitu Forkompak; di Jakarta terdapat Ya­yasan Autisma Indonesia)
yang berpengaruh terhadap pengasuhan orang tua dan jalinan kerja sama.
Apabila terdapat jalinan kerja sama yang harmonis, maka sistem-sistem
yang tercakup dalam mesosystem ini akan mendukung orang tua dalam
memberikan pengasuhan yang optimal.
Microsystem berupa hubungan positif antara ibu dan suami, sua­mi
memberikan dukungan tidak hanya dari segi materi, namun juga secara
emosional mampu menguatkan ibu menghadapi stres peng­asuhan. Dunn,
Burbine, Bowers, dan Tantleff (2001) menegaskan ibu yang menerima
du­kungan khususnya dari suami dan keluarga, akan memiliki tingkat
de­presi yang rendah dan sedikitnya mengalami per­ma­salahan dalam ru­
mah tangga. Beberapa penelitian juga menun­jukkan dukungan suami me­
rupakan hal yang utama bagi ibu untuk tetap bertahan, kemudian dukungan

14
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

dari keluarga, dan terakhir dari komunitas ibu-ibu yang anaknya juga
mengalami berkebutuhan khu­sus (Boyd, 2002). Pada microsystem, selain
membahas hubungan ibu dan suami, juga membahas hubungan timbal
balik secara positif an­tara orang tua dan anak serta dampak karakteristik
anak terhadap kon­disi psikologis orang tua. Karakteristik orang tua (em­
pati, harga di­ri, kesehatan, sikap, dan kematangan) berpengaruh terhadap
kon­disi anak, ayah dan ibu memberikan perilaku pengasuhan positif se­
hingga berpengaruh positif terhadap kelekatan, kompetensi sosial dan
kesehatan untuk orang tua dan juga anaknya. Secara keseluruhan orang
tua yang sehat akan berpengaruh dalam meningkatkan peran identitas­
nya dan tumbuh kembang anak menjadi lebih optimal. Bryar dan Sinclair
(2011) mengungkapkan pentingnya mengkaji dan mem­ bina ibu untuk
mempersiapkan diri secara aktif dalam perannya se­bagai orang tua.
Hasil penelitian Thompson dan Walker (1987) men­jelaskan bahwa
identitas peran ibu merupakan gabungan antara atribut kognitif dan afektif
terhadap hubungan timbal balik antara ibu dan anak (Mercer, 2006).
Atribut kognitif dan afektif menjadi fak­ tor penting da­­
lam membentuk
kemampuan berkompeten pengasuhan dan meningkat­kan identitas peran
E

orang tua.
PL

Model teori ini membantu dalam membahas fenomena stres orang


tua dalam mengasuh anak autis bersifat kompleks, artinya orang tua
M

akan optimal dalam pencapaian perannya sebagai orang tua ketika sistem
SA

ekologi di mana mereka tersebut tumbuh, juga memberikan dampak


positif terhadap diri orang tua. Hal ini berarti, orang tua ti­dak sendirian
dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak dengan gangguan perkem­
bangan saraf, banyak faktor yang turut membantu dalam mendukung
orang tua, seperti penerimaan dari masyarakat (macrosystem); dukungan
dari sekolah, tempat terapi, dan Pusat La­yanan Autis (mesosystem); serta
dukungan langsung terhadap orang tua seperti dukungan dari pasangan,
keluarga, teman, dan komunitas sesama orang yang memiliki anak-anak
seperti ini (mycrosystems). Ke­tika orang tua mendapatkan dukungan po­
sitif dari lingkungannya, maka akan berdampak positif terhadap pengem­
bangan kompetensi dan kesejahteraan psikologis orang tua. Mercer (2006)
menjelaskan bahwa terdapat gabungan antara atribut kognitif dan afektif
terhadap hubungan timbal balik antara orang tua dan anak.
Penjelasan terkait teori ekologi dan model teori pencapaian peran
ibu di atas diharapkan dapat membantu menggali informasi dan kete­ram­
pilan dalam mengasuh anak. Selain itu orang tua diharapkan memiliki
pengetahuan, keterampilan, maka orang tua nantinya mam­pu bersikap

15
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

positif terhadap anak (Bornstein, 2007). Penge­tahuan dan keterampilan


orang tua dapat dijelaskan dengan teori posi­tive parenting program/triple
P. Tujuan Triple P adalah mencegah terjadi­nya masalah perkembangan,
emosional, dan perilaku anak dengan cara meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan kepercayaan diri orang tua. Triple P disusun berdasarkan
lima prinsip inti pengasuhan positif (Sanders, 2008), yaitu:
1. Ensuring a safe and engaging environment, yaitu menyediakan ling­
kungan yang aman dan menyenangkan bagi anak untuk mem­berinya
kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan bermain. Prinsip ini
pen­ting untuk mencapai perkembangan anak yang se­hat dan mence­
gah terjadinya luka dan kecelakaan.
2. Creating a positive learning environment, yaitu orang tua menjalan­kan
peran sebagai guru pertama bagi anak yang memberikan respons
positif dan konstruktif saat menjalin interaksi dengan anak, sehingga
mendorong anak belajar menyelesaikan masalah­nya dengan mandiri
serta belajar keterampilan sosial dan ko­munikasi bahasa yang baik.
3. Using assertive discipline, merupakan pengganti bagi disiplin yang
menggunakan paksaan dan disiplin praktis yang tidak efek­tif, seperti
E

bentakan, ancaman, dan hukuman. Menerapkan disiplin yang asertif,


PL

yaitu orang tua diajarkan strategi disiplin al­terna­tif sebagai pengganti


disiplin paksaan dan tidak efektif, mendisku­sikan aturan dengan anak,
M

memberikan instruksi dan permintaan yang jelas dan tenang sesuai


SA

dengan usia anak.


4. Having reaistic expectations, orang tua memiliki harapan yang realistis,
keyakinan, dan asumsi-asumsi penyebab perilaku anak, kemudian
memilih tujuan yang tepat dan realistis sesuai dengan perkembangan
anak.
5. Taking care of oneself as a parents, orang tua diajarkan keterampil­
an untuk merawat dan memelihara dirinya melalui keterampilan
mengelola emosi dan mengembangkan strategi koping dalam me­
ngelola tekanan dan emosi negatif yang berkaitan dengan peng­­asuh­
an, seperti stres, depresi, kemarahan, dan kecemasan.

Beberapa penelitian yang menggunakan peranan triple-P dalam mem­


berfungsikan pengasuhan orang tua, dalam hal ini dicontoh­kan dari anak
dengan gangguan perkembangan saraf yakni anak autis juga pernah di­
lakukan di Indonesia, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Hidayati
(2013) dan Pamungkas (2015) yang sama-sama menggunakan pendekatan
keperilakuan (triple-p) dengan de­sain eksperimen nonrandomized pretest-

16
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

postest control group design, subjek penelitian dilakukan terhadap ibu-ibu


yang memiliki anak au­ tis. Hasil penelitiannya berhasil membuktikan
pentingnya pelatihan pengasuhan dengan menggunakan pendekatan
keperilakuan (triple- p) dalam menurunkan stres pengasuhan ibu.
Berkaitan degan pengasuhan efektif akan peranan keluarga da­ lam
mengoptimalkan tumbuh kembang anak autis, berikut ini terdapat tips
bagi keluarga yang memiliki anak autis menurut Ibu Tri Sumarni (2017).
Tri sumarni adalah sosok ibu yang tangguh dan kuat dengan memiliki dua
putrinya mengalami gangguan spektrum autis.
Beliau juga telah mengisahkan pengalaman hidupnya dalam me­
rawat kedua putrinya ke dalam buku yang berjudul Super Anggita (buku
pertama) dan Happy Soul Mom (buku kedua), dan sekarang beliau sedang
mempersiapkan bukunya yang ketiga. Tips bagi keluar­ga yang memiliki
anak autis, adalah:
• Keluarga menerima dengan ikhlas anak autis di dalam kehidup­annya.
• Keberadaan anak autis di dalam keluarga tidak perlu disembu­nyikan.
• Orang tua mengembangkan dan mendidik anak autis sesuai ba­kat dan
minatnya.
E

• Keluarga tidak perlu membandingkan anak autis kita dengan anak-


PL

anak yang lainnya.


• Seluruh anggota keluarga saling mendukung dan bekerja sama untuk
M

mengembangkan dan mendidik anak autis.


SA

• Seluruh anggota keluarga memperlakukan anak autis dengan pe­nuh


cinta dan kasih sayang.
• Mempunyai pemahaman bahwa memiliki keluarga penyan­dang autis
adalah sebuah takdir dan bukan merupakan kesalahan orang tua.
• Membesarkan anak autis sesuai kemampuan dan kekuatan ke­luarga,
tidak memaksakan diri.
• Menghadapi anak autis dengan percaya diri, tenang, dan tidak pa­nik.
• Keluarga tidak perlu minder karena memiliki anggota keluarga pe­
nyandang autis.
• Optimislah bahwa keluarga mampu mendidik dan mengembang­kan
anak autis.
• Keluarga memiliki pemahaman bahwa anak autis adalah anuge­rah
terindah dari Tuhan.
• Keluarga melibatkan anak autis di dalam kegiatan keluarga.
• Keluarga memahami bahwa anak memerlukan perlakuan khusus se­
bagai penyandang autis.
• Sabar, ikhlas, dan percaya pada skenario Allah.

17
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

REFERENSI
Andayani & Koentjoro, A. (2004). Psikologi Keluarga: Peran Ayah Menuju
Comparenting.
Aydın, A. & Yamaç, A. (2014). The relations between the acceptance and
childrearing attitudes of parents of children with mental disabilities.
Eurasian Journal of Educational Research, 54, 79-98.
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent com­
petence and substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56–95.
Berns, R.M. (2007). Child, family, school, community: Socialization and
support (ed.7). Belmont: Thomson Higher Education.
Bilgin, H., Kucuk, L. (2010). Raising an autictic child: Perspectives from
Turkish mothers. Journal of Chld and Adolescent Psychiatric Nursing:
23(2), 92.doi:10.1111/j.1744-6171.2010.00228.x
Bogenschneider, K., & Pallock, L. (2008). Responsiveness in parent‐
adolescent relationships: Are influences conditional? Does the reporter
matter? Journal of Marriage and Family, 70(4), 1015–1029.
Bornstein, M. H., Hahn, C., Haynes, O. M., Belsky, J., Azuma, H., Kwak, K.,
E
… Galperin, C. (2007). Maternal personality and parenting cognitions
PL

in cross-cultural perspective. International Journal of Behavioral


Development, 31(3), 193–209. doi:10.1177/0165025407074632.
M

Boyd, B. A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of


SA

social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and


Other Developmental Disabilities, 17(4), 208–215.
Bronfenbrenner, U. (1994). Ecological models of human development.
Dalam International Encyclopedia of Education. 3(2). Oxford: Elsevier.
Reprinted in: Gauvain, M & Cole, M (eds). Reading on the development
of children (ed 2), hal 37-43. New York: Freeman.
Bristol, M. (1984). Family resources and succesful adaptation to austistic
children. Dalam E. Schopler & G. Mesibov (Eds.), The Effects of Autism
on the Family. (hal. 289–310). New York: Plenum.
Brooks, J. (2011). The process of parenting. Eight edition. New York: The
McGraww-Hill Companies, Inc.
Bryar, R., & Sinclair, M. (Eds.). (2011). Theory for midwifery practice. Mac­
millan International Higher Education.
Buist, K. L., Deković, M., Meeus, W., & van Aken, M. A. (2004). The recip­
rocal relationship between early adolescent attachment and inter­
nalizing and externalizing problem behaviour. Journal of adolescence,
27(3), 251-266.

18
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

Calzada, E. J., Eyberg, S. M., Rich, B., & Querido, J. G. (2004). Parenting
dis­ruptive preschoolers : Experiences of mothers and fathers. Journal
of Abnormal Child Psychology, 32(2), 203–213.
Chen, C. C. (2004). Family’s support and family needs toward the
developmental delay children in Taipei city. Journal of Special
Education and Creative Thinking, 1, 57–84 (in Chinese)
Corcoran, J., Berry, A., & Hill, S. (2015). The lived experience of US pa­
rents of children with autism spectrum disorders : A systematic review
and meta-synthesis. Journal of Intellectual Disabilities, 19(4), 356–366.
doi:10.1177/1744629515577876.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in
mothers and fathers of pre-school children with autism and Down
syndrome. Journal of Intellectual Disabilities Research, 54(3), 266–280.
doi:10.1111/j.1365- 2788.2010.01258.x.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N. R. (2018). Proses menjadi tang­
guh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis.
Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 267245.
Daulay, N.(2019). Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki
E

anak dengan gangguan spectrum autis. Disertasi. Fakultas Psikologi.


PL

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Davis, N., & Carter, A. (2008). Parenting stress in mothers and fathers
M

of toddlers with autism spectrum disorders: Associations with child


SA

characteristics. Journal of Autism and Developmental Disorder, 38,


1278–1291. doi:10.1007/s10803-007-0512-z.
Depape, A., & Lindsay, S. (2015). Parents ’ experiences of caring for a child
with autism spectrum disorder. Qualitative Health Research, 25(4),
569–583. doi:10.1177/1049732314552455.
Dunn, M.E., Burbine, T., Bowers, C.A., Tantleff-Dunn, S. (2001). Mode­
rators of stress in parents of children with autism. Community Mental
Health Journal, 37(1), 39-52.
García-López, C., Sarriá, E., & Pozo, P. (2016). Research in autism spec­
trum disorders multilevel approach to gender differences in adap­
tation in father-mother dyads parenting individuals with autism
spec­trum disorder. Research in Autism Spectrum Disorders, 28, 7–16.
doi:10.1016/j.rasd.2016.04.003.
Gray, D. E. (2006). Coping over time: The parents of children with autism.
Journal of Intellectual Research, 50(12), 970–976. doi:10.1111/j.1365-
2788.2006.00933.x.
Ghosh, S., & Magan˜ a, S. (2009). A rich mosaic: Emerging research on

19
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Asian families of persons with intellectual and developmental disa­


bilities. In Glidden, L. M., &
Gottman, J., & DeClaire, J. (1997). The heart of Parenting: How to raise an
emotionally intelligent child. London: Blumsburry.
Hastings, R. P. (2003). Child behaviour problems and partner mental
health as correlates of stress in mothers and fathers of children with
au­tism. Journal of Intellectual Disabilities Research, 47(4-5), 231–237.
doi: 10.1046/j.1365-2788.2003.00485.x.
Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap
stres pengasuhan pada ibu dari anak autis. Psikoislamika, 10, 29–40.
Hoghughi, M., & Long, N. (2004). Handbook of parenting: Theory and re­
search for practice. Washington: Sage Publications, Inc.
Holroyd, E. E. (2003). Chinese cultural influences on parental caregiving
obligations towards children with disabilities. Qualitative Health
Research, 13, 4–19
Jones, L., Totsika, V., Hastings, R., & Petalas, M. A. (2013). Gender diffe­
rences when parenting children with autism spectrum disorders: A
multilevel modelling approach. Journal of Autism and Developmental
E

Disorder, 43, 2090–2098. doi:10.1007/s10803-012-1756-9.


PL

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Departemen Pendidikan Nasional.


Kim, M.O. (2001). Research on the adaptability of families with children
M

with disabilities and social competence. Doctoral Dissertation, Ehwa


SA

Women’s’ University, Seoul South Korea.


Kishnan, V. (2010). Early child development: A conceptual model. Presented
at the Early Childhood Council Annual Conference 2010, aluing Care”,
New Zealand.
Kousha, M., Attar, H.A., Shoar, Z. (2015). Anxiety, depression, and quality
of life in Iranian mothers of children with autism spectrum disorder.
Journal of Child Health Care, 1-10.doi:10.1177/1367493515598644.
Lam, L., & Mackenzie, A. E. (2002). Coping with a child with Down
syndrome: The experiences of mothers in Hong Kong. Qualitative
Health Research, 12, 223–237.
Lee, J.K. (2011). Predictors of parenting stress among mothers of children
with autism in South Korea. Disertasi. Proquest. Columbia University.
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga. Penanaman nilai dan penanganan kon­
flik dalam keluarga. Jakarta: Prenada Media Group.
Lin, L-Y., Orsmond, G.I., Coster, W.J., & Cohn, E.S. (2011). Families of
adolescents and adults with autism spectrum disorders in Taiwan: The
role of social support and coping in family adaptation and maternal

20
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA

well-being. Research in Autism Spectrum Disorders, 5, 144-156. doi:


10.1016/j.rasd.2010.03.004
Liu, G. (2005). Best practices: Developing cross-cultural competence from
a Chinese perspective. In J. H. Stone (Ed.), Culture and disability:
Providing culturally competent services. (pp. 65–85). Thousand Oaks,
CA: Sage Publications Inc.
Luong, J., Yoder, M.K., Canham, D. (2009). Southeast Asian Parents
Raising a Child With Autism: A Qualitative Investigation of
Coping Styles. The Journal of School Nursing, 25(3), 222-229. doi:
10.1177/1059840509334365
Lutz, H. R., Patterson, B.J. & Klien, J. (2012). Coping with autism: A jour­
ney toward adaptation. Journal of Pediatric Nursing, 27. 206-213.
doi:10.1016/j.pedn.2011.03.013.
Maharani, O.P., & Andayani, B. (2003). Dukungan sosial ayah dan penye­
suaian sosial remaja laki-laki. Jurnal Psikologi, 1.
Mercer, J. (2006). Understanding attachment : parenting, child care, and emo­
tional development. Westport, CT: Greenwood Publishing Group, Inc.
Mercer, R. T. (1986). The process of maternal role attainment over the
E

first year. Nursing Research, 34(4), 198-204.


PL

Moes, D., Koegel, R., & Schreibman, L. (1992). Stress profiles for mother
and fathers of children with autism. Psychological Reports, 71, 1272–
M

1274.
SA

Mukhtar, D. Y. (2017). Pengaruh group-based parenting support terhadap stres


pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum
autis. (Disertasi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pamungkas, A. (2015). Pelatihan keterampilan pengasuhan autis untuk
menurunkan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis. Empathy,
3(1).
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Pengasuhan Anak Laporan Kinerja Komisi Perlindungan
Anak Indonesia 2010-2013, (Jakarta: KPAI, 2013)
Perry, A. (2004). A model of stress in families of children with developmental
disabilities : Clinical and research applications conceptualization of
stress. Journal on Developmental Disabilities, 11(1), 1–16.
Rangkuti, A. A., & Fajrin, D. O. (2015). Preferensi Pemilihan Calon Pasangan
Hidup Ditinjau dari Keterlibatan Ayah pada Anak Perempuan. JPPP-
Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 4(2), 59-64.
Rohner, R. P. (2004). The parental" acceptance-rejection syndrome": univer­­

21
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

sal correlates of perceived rejection. American psychologist, 59(8), 830.


Rohner, R.P., Khaleque, A., Cournoyer, D.E (2012). Introduction to parental
acceptance-rejection theory, Methods, evidence, and implications.
Hu­man Development and Family studies of University of Connecticut.
Sanders, M. R. (2008). Triple P-Positive Parenting Program as a public
health approach to strengthening parenting. Journal of family psycho­
logy, 22(4), 506.
Sumarni, T. (2017). SUPER ANGGITA Perjuangan Seorang Ibu Mendidik
Anaknya yang Autis. Jakarta: Best Publisher.
Salsabila, F., & Masykur, A. M. (2018). Ketika anakku “tak sama”: interpre­
tative phenomenological analysis tentang pengalaman ayah mengasuh
anak down syndrome. Empati, 7(1), 1-8.
Sanders, M.R. (2008). Triple P-positive parenting program as a public
mental health approach to strengthening parenting. Journal of Family
Psychology, 22 (3), 506-517.
Seltzer, M. M. (Eds.), International review of research in mental retardation.
Vol. 37 (pp.179–212). San Diego, CA: Academic Press/Elsevier.
Shochib, M. (2010). Pola asuh orang tua (dalam membantu anak mengem­
E

bangkan disiplin diri sebagai pribadi yang berkarakter). Jakarta: Rineka


PL

Cipta.
Soetjiningsih, C.H. (2004). Perkembangan anak, sejak pembuahan sampai
M

dengan kanak-kanak akhir. Jakarta: EGC.


SA

Tao, Y. (2004). The systemic perspectives on family needs of children with


autism. Journal of Special Education and Creative Thanking, 1, 105–131
(in Chinese).
Tehee, E., Honan, R., & Hevey, D. (2009). Factors contributing to stress
in parents of individuals with autistic spectrum disorders. Journal of
Applied Research in Intellectual Disabilities, 22, 34–42. doi:10.1111/
j.1468-3148.2008.00437.x.
Thompson, L., & Walker, A. J. (1987). Mothers as mediators of intimacy
between grandmothers and their young adult granddaughters. Family
Relations, 72-77.
Tucker, A. C. (2013). Los Angeles Interpreting and Treating Autism in Javanese
Indonesia. University of California, Los Angeles.
Weiss, M. (2002). Hardiness and social support as predictors of stress in
mothers of typical children, children with autism, and children with
mental retardation. Autism, 6(1), 115–130.
Yao, X. (2008). The Confucian self and experiential spirituality. Journal of
Comparative Philosophy, 7(4).

22
Bab 2
ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN
PERKEMBANGAN SARAF
E
PL

A. ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF


M

(NEURODEVELOPMENTAL DISORDERS)
SA

Anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf (neurodevelop­­mental


disorders) adalah sekelompok anak dengan kondisi mengalami penu­run­
an pada periode perkembangannya. Gangguan perkembang­an ini biasa­
nya muncul pada awal perkembangan, sering kali dida­pati sebelum anak
memasuki sekolah dasar, dan ditandai dengan pe­nurunan perkembang­
an pada gangguan fungsi pribadi, sosial, aka­demis, atau pekerjaan. Pe­
nurunan perkembangan bervariasi pada se­tiap anak, dari keterbatasan
dalam belajar atau pengontrolan fungsi eksekutif dan hambatan umum
dari kemampuan sosial dan inteli­ gen­si. Terdapat beberapa anak yang
mengalami gangguan perkembang­ an saraf juga mengalami penurunan
perkembangan lainnya yang ter­­jadi bersamaan, misalnya, individu de­
ngan spektrum autis juga me­ngalami gangguan perkembangan intelektual,
dan banyak anak yang meng­ alami gangguan attention-deficit/hyperacti­
vity disorder (ADHD) juga memiliki gangguan dalam belajar. Anak-anak
dengan gangguan perkembangan saraf, mencakup: intellectual disabilities
(intellectual de­velopmental disorder, global developmental delay, unspecified
intellectual disability), communication disorders (language disorder, speech
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

sound di­sorder, childhood-onset fluency disorder/stuttering, social (pragmatic


com­­munication disorder, unspecified communication disorder), autism spectrum
disorders, attention-deficit/hyperactvivity specific learning disor­der, motor di­
sorders developmental Coordination Disorder other neuro­developmental disor­
ders (American Psychiatric Association, 2013).

1. Gangguan Spektrum Autis


Anak dengan gangguan spektrum autis adalah anak yang meng­alami
gangguan perkembangan kompleks disebabkan gangguan neu­ rologis
yang memengaruhi fungsi otak (American Psychiatric Asso­ciation, 2013).
Gang­guan spektrum autis adalah gangguan per­kem­bangan yang ditandai
dengan penurunan dalam bahasa dan ko­munikasi, interaksi sosial, dan
bermain serta imajinasi, dengan ter­ba­tasnya perhatian akan minat dan
perilaku yang berulang-ulang (American Psychiatric Association, 2013).
Pada DSM-IV-TR (Ame­rican Psychiatric Association., 2000), autis masuk
dalam payung gangguan perkembangan pervasif bersama dengan gangguan
asper­ger, gangguan disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegra­
tive disorder), gangguan rett (rett’s disorder), dan gangguan perkem­­bang­an
E

pervasif yang tidak dapat dikategorikan (pervasive deve­lop­men­tal disorder-


PL

not otherwise specified atau PDD-NOS). Pada DSM-5 (Ameri­can Psychiatric


Association, 2013), autis dipandang sebagai entitas tunggal dan diubah
M

menjadi sebuah spektrum yang meliputi seluruh gangguan perkembangan


SA

pervasif kecuali gangguan rett. Gangguan spektrum autis ini terjadi pada
semua ras, etnis, dan kelompok eko­nomi sosial serta empat kali lebih
mungkin terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan
(Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2014).
Istilah spektrum menunjukkan bahwa gejala gangguan ini ber­variasi
antara anak yang satu dengan anak lainnya. Ada anak yang gejalanya ringan
sehingga sedikit membutuhkan bantuan dari ling­kungan, namun terdapat
juga anak yang gejalanya sangat berat dan membutuhkan dukungan yang
intens dari lingkungan, seperti tan­trum disertai dengan perilaku menyakiti
dirinya sendiri. Mash dan Wolfe (1999) juga menekankan bahwa beberapa
individu terdiagnosis autis menunjukkan perilaku yang sangat agresif dan
merugikan diri sendiri. Secara keseluruhan, derajat tingkat keparahan
setiap anak dan area gangguannya sangat berbeda satu dengan lainnya.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disor­ders,
Fifth Edition (American Psychiatric Association, 2013), kriteria diagnosis
gangguan spektrum autis, sebagai berikut:
1 Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap

24
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

pada berbagai konteks.


a. Kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi sosial dan emo­
sional, misalnya pendekatan sosial yang tidak normal dan kega­
galan untuk melakukan komunikasi dua arah; kegagalan untuk
berinisiatif atau merespons pada interaksi sosial.
b. Terganggunya perilaku komunikasi nonverbal yang diguna­ kan
untuk interaksi sosial. Integrasi komunikasi verbal dan nonverbal
yang sangat parah, hilangnya kontak mata, baha­sa tubuh, dan
eks­presi wajah.
c. Kurangnya kemampuan mengembangkan, mempertahankan hu­
bungan, misalnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai
konteks sosial, kesulitan dalam bermain imajinatif atau berteman,
tidak adanya ketertarikan terhadap teman sebaya.
2. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitif, ketertarikan, atau
aktivitas yang termanifestasi minimal dua dari perilaku berikut:
a. Gerakan motorik repetitif, penggunaan objek-objek atau ba­ha-
sa, misalnya: stereotipe gerakan sederhana, menjajarkan mainan
atau melemparkan benda-benda, echolalia, penggu­ naan frasa
E

yang spesifik.
PL

b Perhatian yang berlebihan terhadap kesamaan, rutinitas yang


ka­ku atau pola perilaku verbal atau nonverbal yang ritualis­
M

tik (misalnya stres ekstrem pada perubahan-perubahan kecil,


SA

kesulitan pada saat adanya proses perubahan, pola pemikiran


yang kaku, kebutuhan untuk melewati rute yang sama atau makan
makanan yang sama setiap hari).
c. Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu keter­tarikan
yang abnormal, misalnya kelekatan yang kuat atau preokupasi
pada benda-benda yang tidak biasa, pembatasan yang berlebihan
atau minat yang menetap).
d. Hiperaktivitas atau hipoaktivitas pada input sensori atau ke­
tertarikan yang tidak biasa pada aspek sensori dari lingkung­an,
misalnya sikap tidak peduli pada rasa sakit atau suhu udara,
respons yang berlawanan pada suara atau tekstur yang spe­sifik,
penciuman yang berlebihan atau menyentuh ben­da-benda secara
berlebihan, ketertarikan visual pada cahaya atau gerakan.
3. Gejala-gejala tersebut harus terlihat pada periode awal perkem­bangan
(akan tetapi mungkin tidak tampak sepenuhnya hingga tuntutan sosial
melebihi kapasitasnya yang terbatas, atau mung­kin tertutupi dengan
strategi belajar dalam kehidupannya).

25
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

4. Gejala-gejala tersebut menyebabkan kesulitan signifikan secara klinis


dalam area sosial, pekerjaan dan area penting lainnya da­lam kehi­
dupan.
5. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak dijelaskan dengan isti­ lah
ketidakmampuan intelektual (intellectual disability) atau gang­guan
perkembangan intelektual atau keterlambatan perkem­bang­an secara
global.

Terdapat beberapa alat ukur yang melengkapi penegakan diag­nosis


gangguan spektrum autis, yaitu:
1. Childhood Autism Rating Scale (CARS, Schoopler, Reichier, Ren­ner,
1988)
Childhood Autism Rating Scale (CARS) adalah suatu skala pe­ri­laku
dan penilaian yang paling umum digunakan dalam men­diag­nosis dan
melakukan pengukuran pada individu autis, dikem­bang­­kan oleh Eric
Schoopler, Robert J. Reichier dan Renner (1988). CARS merupakan
alat ukur untuk mendekteksi gang­gu­an perkembangan yang dialami
anak usia di atas dua tahun, terdiri dari 15 aitem skala perilaku dengan
E
rentang penilaian dimulai dari 1 (tidak bermasalah) sampai 4 (sangat
PL

bermasalah). Para pro­fesional ter­latih (seperti dokter, psikolog) harus


mengobservasi dan kemudian memberikan penilaian terkait perilaku
M

anak pada setiap aitemnya. Skor bergerak dari 15 sampai 60, artinya
SA

skor yang tinggi menunjukkan bahwa anak mengalami gejala autis


yang berat. Terdapat tiga klasifikasi yang digunakan, yakni: tidak
meng­alami gangguan perkembangan spektrum autis, ringan, dan be­
rat. Domain yang diukur adalah: kemampuan berinteraksi de­ ngan
orang lain; imitasi; respons emosi; penggunaan tubuh; peng­gu­­naan
objek; adaptasi terhadap perubahan; respons visual; respons pen­
de­ngaran; respons sensori; ketakutan atau kegelisahan; komunikasi
verbal; komunikasi non verbal; tingkat aktivitas; res­pons intelektual;
dan kesan secara umum. Konsistensi internal alat ukur ini sangat baik
(0.94), untuk test-retest reliability baik (0.88), inter-rater reliability cu­
kup baik (0.71), dan nilai validitas baik (0.80-0.84) (Schopler dkk.,
1988).
2. Psycho Educational Profile Revised (PEP-R)
Mengutip dari Mudjito, dkk. (2014) dalam buku Deteksi Dini, Diag­
nosis Gangguan Spektrum Autisme dan Penanganan dalam Ke­ luar­ga
menjelaskan bahwa tes ini dapat digunakan untuk anak au­tis, ka­rena
aitem-aitemnya tidak tergantung pada keterampilan berbahasa; dapat

26
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

diadministrasikan secara fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan


anak; aitem-aitem tidak dibatasi oleh waktu; materi tes nyata (kon­
kret) dan menarik, bahkan untuk anak-anak yang mengalami gang­
guan yang parah; kemungkinan untuk sukses pada setiap anak (yang
dikenai PEP-R) adalah besar karena disesuaikan dengan tingkat per­
kembangan anak; aitem-aitem yang berhubungan dengan bahasa,
hanya sebagian dari semua aitem yang ada.
Psycho Educational Profile Revised (PEP-R) adalah alat ukur yang
memberikan informasi kemampuan anak dalam aspek perkem­­bang­an,
meliputi: imitasi (imitation, 16 aitem), persepsi (percep­tion, 13 aitem),
motorik halus (fine motor, 16 aitem), moto­rik ka­sar (gross motor, 18
aitem), integrasi mata dan tangan (eye-hand in­te­gration, 15 aitem),
kemampuan kognitif (cognitive perfor­man­ce, 26 aitem), kemampuan
kognitif verbal (cognitive verbal, 27 aitem); dan digunakan untuk
mengidentifikasi aspek perilaku, meliputi: relating and affect (12
aitem), play and interest in material (8 aitem), sensory responses (12
aitem), dan language (11 aitem).
PEP-R dikembangkan oleh Eric Schopler, Robert Jay Reichler, Ann
E

Bashford, Margaret D. Lansing, Lee M. Marcus pada tahun 1979.


PL

Sudah banyak digunakan selama lebih kurang 20 tahun oleh pro­


fe­sio­nal, guru dan orang tua. Alat ukur ini dianggap efek­tif un­tuk
M

melakukan pemeriksaan pada anak-anak autis dan yang ber­hu­bung­an


SA

dengan gangguan perkembangan. Skor PEP-R da­pat digu­nakan untuk


merancang program pendidikan individual. Ha­ sil yang diperoleh
dapat direkomendasikan kepada guru dan orang tua untuk kemudian
dapat dilakukan modifikasi kurikulum (Mu­dji­to, dkk., 2014).
3. Gilliam Autism Rating Scale (GARS, Gilliam, 1995)
Selain kedua alat ukur di atas, masih terdapat beberapa alat ukur
lainnya yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini gangguan yang
dialami anak, seperti GARS yang biasa diaplikasikan da­lam kegiatan
penelitian. Penjelasannya sebagai berikut: Gilliam Autism Rating
Scale terdiri dari 56 aitem yang digunakan untuk mengukur frekuensi
perilaku autistik dalam kebutuhan diagnosis anak. Penelitian dila­
kukan terhadap 1902 anak-anak dan dewasa autis yang tersebar dari
46 negara, Columbia, Puerto Rico dan Canada. Diperuntukkan pada
individu usia 3 sampai 22 tahun. Tes mencakup empat subskala,
yaitu: 1) perilaku berulang (misal­nya, menjentikkan jari dengan cepat
di depan mata selama 5 detik atau lebih); 2) komunikasi (misalnya
tidak tepat menja­wab pertanyaan dari sebuah peryataan atau cerita

27
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

singkat); 3) in­teraksi sosial (misalnya, tertawa, atau menangis tidak


pada tem­patnya); 4) gangguan perkembangan (misalnya anak yang
tam­paknya tidak mendengar terhadap beberapa suara tetapi mampu
mendengar yang lain).
Kombinasi dari hasil keempat subskala dapat mengindikasikan ke­
parahan autis. Skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkatan yang
parah, skor yang lebih rendah menunjukkan anak-anak me­miliki ke­
berfungsian yang lebih baik. Koefisien alpha bergerak dari 0.88 sampai
0.93 dan test-retest bergerak dari 0.81 sampai 0.86 (Gilliam, 1995).
4. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)
CHAT pertama kali dikembangkan di Inggris digunakan untuk men­
deteksi dini gangguan perkembangan pada anak usia pra sekolah
(usia 18 bulan sampai 36 bulan). Alat ukur ini dapat dibe­rikan apabila
ada keluhan dari orang tua, pengasuh, dan guru tentang kondisi anak
yang tidak sesuai dengan tahap perkembang­an anak. Jumlah perta­
nyaan sebanyak 14 aitem meliputi aspek imitation, pretend play, dan
joint attention. Pertanyaan dibagi menjadi dua jenis yaitu sembilan
pertanyaan yang dijawab oleh orang tua atau pengasuh anak (ter­
E

masuk kategori A) dan lima aitem berupa perintah/instruksi bagi


PL

anak untuk melaksanakan tugas seperti yang tertera pada alat ukur
(termasuk kategori B) (Mudjito dkk, 2014).
M
SA

Berdasarkan hasil interpretasi CHAT, maka bagi anak yang ter­indikasi


berisiko autis baik tinggi, rendah, atau terdapat kemungkinan adanya
gang­guan perkembangan lain, maka sangat disarankan untuk menindak
lanjuti kepada pembe­ ri­
an intervensi yang tepat buat anak. Orang tua
juga harus ber­kon­sultasi dan bekerja sama kepada para profesional untuk
pena­nganan yang optimal bagi anaknya.
Dalam memahami gangguan spektrum autis, seperti dikutip dari pe­
nelitiannya Mukhtar (2017) yang di dalamnya memuat penelitian dari
Wilson dkk (2013) menjelaskan terdapat lima perbedaan antara DSM IV-
TR dan DSM-5 terkait dengan pengertian gangguan spektrum autis, yaitu:
1. Istilah gangguan perkembangan pervasif diganti dengan gangguan
spektrum autis dan dalam DSM-5 tidak ada kategori diagnosa. Diag­
nosa gangguan autis, gangguan Asperger, gangguan disintegratif ma­
sa kanak-kanak, dan pervasive developmental disorder – not otherwise
specified/PDD-NOS yang sebelumnya menurut DSM IV-TR menjadi
bagian dari gangguan perkembangan pervasif, dilebur menjadi satu
yaitu gangguan spektrum autis, sedangkan gangguan Rett tidak lagi

28
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

dimasukkan.
2. Tiga domain yang dijadikan dasar diagnosa seperti disebutkan dalam
DSM IV-TR dipadatkan menjadi dua domain, yaitu: Pertama, ko­
munikasi sosial dan interaksi sosial; Kedua, perilaku, minat, dan akti­
vitis yang kaku dan berulang.
3. Penentuan kriteria diagnostik tidak hanya berdasarkan pada simp-
tom yang muncul pada waktu kini (currently) tetapi juga berdasarkan
simp­tom sebelumnya (history).
4. Dalam DSM-5 ada beberapa penentuan (specifiers), seperti penentuan
derajat keparahan atau hambatan fungsional yang dibagi dalam tiga
tingkat, yaitu membutuhkan dukungan, membutuhkan dukungan
yang banyak, dan membutuhkan dukungan yang sangat banyak serta
adanya penentuan mengenai komorbiditas dengan gangguan lain.
5. DSM-5 memasukkan isu sensori sebagai bagian dari simptom perilaku.

Kondisi anak gangguan spektrum autis berdasarkan atas tingkat kepa­


rahannya terbagi menjadi tiga tingkatan menurut (American Psychiatric
Association, 2013), yaitu:
E
a. Tingkat pertama (mild), membutuhkan dukungan artinya kondisi anak
PL

masih mampu berkomunikasi dan berinteraksi meski masih terbatas,


anak masih kesulitan untuk beralih pada kegiatan yang lain.
M

b. Tingkat kedua (moderate), membutuhkan dukungan substansial


SA

artinya kondisi anak sangat kurang dalam kemampuan verbal dan


nonverbal. Terbatas dalam interaksi sosial bahkan menang­gapinya
dengan sikap nyata tapi aneh.
c. Tingkat ketiga (severe), membutuhkan dukungan yang sangat sub­
stansial artinya kondisi kekurangan anak sangat parah dalam segala
hal, baik komunikasi maupun interaksi sosial, sangat ke­sulitan dalam
mengubah perilaku yang ekstrem dan kesulitan dalam mengubah
fokus atau tindakan.

Gejala keparahan tersebut sejalan dengan pengklasifikasian yang


di­dasarkan pada fungsi kecerdasan penyandang autis, yang juga di­kate­
gorikan dalam tiga tingkatan, yaitu:
a. Fungsi kecerdasan rendah (low functioning intelligence). Apabila
penyandang autis masuk ke dalam low functioning intelligence, maka
pada kemudian hari kecil kemungkinan untuk dapat diharapkan hidup
mandiri secara penuh, ia tetap akan memerlukan bantuan orang lain.
b. Fungsi kecerdasan menengah (medium functioning intelligence). Apabila
penderita masuk ke dalam kategori medium functioning intelligence

29
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

maka memungkinkan untuk dilatih bermasyarakat dan mempunyai


kesempatan yang cukup baik bila diberikan pen­didikan khusus yang
dirancang secara khusus untuk penyandang autis.
c. Fungsi kecerdasan tinggi (high functioning intelligence). Apabila pen­
deritanya masuk ke dalam kategori high functioning intelligence, maka
dengan pendidikan yang tepat, diharapkan dapat hidup se­cara man­
diri bahkan dimungkinkan dapat berprestasi, dan dapat juga hidup
berkeluarga (Mudjito dkk., 2014).

Gangguan spektrum autis merupakan gangguan perkembangan saraf


yang kompleks, yang disertai dengan perbedaan anatomi otak, fungsi, dan
konektivitas otak (Ecker, 2016). Anak yang mengalami gangguan spektrum
autis berbeda dengan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, seperti
down syndrome, mental retardasi, cerebral palsy, spina bifida, dan lain-
lain. Menghasilkan gejala gangguan yang berbeda-beda (mild, moderate,
dan severe), dan gangguan perkembang­ an kompleks terjadi sepanjang
kehidupan anak, serta perilaku dan emosinya tidak dapat ditebak.
Para peneliti meyakini gangguan autis ini terjadi karena faktor ke­
E
lain­an genetik yang mengakibatkan perubahan struktur sehingga terja­
PL

dinya ketidaknormalan kadar serotonin atau neurotransmitter di dalam


otak (National Institute of Health, 2015). Chawarska dkk., (2011) meng­
M

ungkapkan dalam satu tahun pertama kehidupan, tidak ada perbedaan


SA

penambahan ukuran kepala dan otak antara anak nor­ mal dan anak
dengan gangguan perkembangan spektrum autis, ya­itu sebesar dua per
tiga ukuran dewasa. Anak dengan gangguan spek­trum autis menunjukkan
percepatan penambahan ukuran kepala dan otak abnormal saat berusia
di atas satu tahun. Peningkatan kecepatan pertumbuhan ini berlangsung
sampai anak berusia 4 atau 5 tahun sehingga ukuran otak anak dengan
gangguan spektrum autis lebih besar dari anak normal (Rommelse, Geurt,
Franke, Buitelar, & Hartman, 2011). Anak dengan gangguan spektrum
autis mengalami tiga tahap pertumbuhan otak yang berbeda yaitu
tahap pertumbuhan otak yang cepat saat berusia 1 tahun, penurunan
kecepatan dan perlambatan pertumbuhan otak saat berusia 6-15 tahun,
dan penurunan ukuran otak saat usia 15 hingga pertengahan usia dewasa
(Green dkk., 2015).
Menurut Mudjito dkk., (2014) bahwa faktor penyebab gangguan
perkembangan autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang
memengaruhi. Pendapat mereka tentang faktor penyebab secara umum
adalah sebagai berikut:

30
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

1. Faktor genetika; menurut National Institute of Health (2015), keluarga


yang memiliki satu anak yang memiliki gangguan spek­trum autis akan
memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk me­lahirkan anak yang
juga memiliki gangguan autis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
pada anak kembar, ditemukan hasil bahwa anak kembarannya
kemungkinan besar juga mengalami gangguan spektrum autis.
2. Gangguan pada sistem saraf; beberapa penelitian konsisten me­la­por­
kan bahwa anak dengan gangguan spektrum autis memi­li­ki kelainan
pada hampir semua struktur otak, tetapi kelainan yang paling kon­
sisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan
berkurangnya sel purkinye pada otak kecil anak autis. Berkurangnya
sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia
dan myelin sehingga terjadi pertum­buhan otak yang abnormal, atau
sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan
sel purkinye mati. Otak ke­ cil berfungsi mengontrol fungsi luhur
dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian
dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan
mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya
E

sistem lim­bik yang mengatur emosi dan perilaku. Ketidakseimbangan


PL

neu­rotransmiter, seperti dopamin dan serotonin di otak juga dihu­


bungkan dengan munculnya gangguan perkembangan ini.
M

3. Ketidakseimbangan kimiawi; gangguan spektrum autis sering di­


SA

hubungkan dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar


dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang me­nurunkan
persepsi nyeri dan motivasi. Penggunaan pestisida yang tinggi sering
kali juga dibahas sebagai salah satu penyebab terjadinya autis. Hasil
pestisida dapat mengganggu fungsi gen pada sistem saraf pusat.
4. Faktor-faktor lain; infeksi yang terjadi sebelum dan setelah ke­
lahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang terjadi selama
kehamilan dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf. Faktor lain
adalah usia ibu saat memiliki anak. Semakin tua usia orang tua saat
memiliki anak, maka semakin tinggi risiko anak men­ derita autis.
Beberapa ahli yang lain juga meninjau faktor pe­nye­bab dari sisi faktor
risiko. Faktor risiko ini disusun oleh pa­ra ahli berdasarkan banyak
teori penyebab autis yang telah ber­ kem­ bang. Terdapat beberapa
hal dan keadaan yang membuat ri­si­ko anak mengalami gejala autis
semakin lebih besar. Dengan diketahui risiko tersebut tentunya dapat
dilakukan tindakan un­tuk mencegah dan melakukan intervensi sejak
dini pada anak yang berisiko. Adapun beberapa risiko tersebut dapat

31
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan,


persalinan dan periode usia bayi.

2. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)


Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau yang biasa dikenal dengan
sebutan ADHD merupakan gangguan aktivitas dan perhatian (gangguan
hiperkinetik) adalah suatu gangguan psikiatrik yang cukup banyak dite­
mukan dengan gejala utama inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas yang
tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak, remaja, atau orang
dewasa. Biasanya pada waktu anak ADHD men­ca­pai remaja atau dewasa,
gejala hiperaktivitas dan impulsivitas cen­ de­
rung menurun meskipun
gejala inatensinya kadang-kadang masih tetap ada (Barkley, 1998).
Apa yang menjadi penyebab seorang anak mengalami ADHD? Se­
perti yang dikutip dalam bukunya James La Fanu (2006) yang sudah
diterjemahkan dengan judul Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi
Anak, menjelaskan bahwa ADHD memiliki korelasi dengan susunan ki­
miawi dan fungsi otak. Beberapa riset fokus observasi pada bagian
depan otak dan peran saraf pentransmisi (neurotransmitter), yaitu pada
E

se­nyawa kimia yang menyampaikan pesan dari satu bagian otak ke ba­
PL

gian lainnya. Kemunculan ADHD disebabkan oleh suatu gagguan dalam


mentransmisikan pesan-pesan ke otak. Antara bagian otak satu dengan
M

bagian lainnya dihubungkan oleh kontrol motor. Kontrol motor itulah


SA

yang berfungsi untuk mengukur konsekuensi-konsekuensi atas suatu


tindakan sebelum bertindak, dan untuk memutuskan situasi lingkungan
seperti apa yang yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan,
dan seterusnya. Informasi memang selalu sampai ke otak, tetapi bila tidak
didistribusikan kepada bagian-bagian otak yang mengontrol gerakan dan
tidak bisa menyaring informasi yang tidak diinginkan, maka hasilnya
adalah terlalu banyak gerak tubuh yang tidak perlu dilakukan, tindakan
impulsif dan terusik secara terus-menerus.
Bagi para orang tua dan para pemerhati anak dengan gangguan
perkembangan saraf, terdapat gambaran lima langkah untuk menge­nali
anak dapat terindikasi mengalami ADHD. Untuk dapat mengenal anak
ADHD maka dapat dikenali gejala-gejala yang tampak, seperti yang
dikutip dalam buku Flanagen (2005) dengan, judul ADHD Kids, Menjadi
Pendamping Bijak bagi Anak Penderita ADHD, menjelas­kan terdapat lima
lang­kah yang dapat diaplikasikan dalam mengenal gejala-gejala anak
ADHD, yakni: mengenali gejala-gejalanya, menen­ tukan kapan gejala
terse­
but pertama muncul, menentukan di mana gejala-gejala tersebut

32
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

ter­jadi, menilai tingkat keparahan gejala-gejala tersebut, kesampingkan


diang­nosis yang mungkin lainnya.
Langkah pertama, yakni terdapat dua daftar gejala: Pertama, un­tuk
problem yang berhubungan dengan perhatian; Kedua, untuk hi­ perak­
tivitas dan sikap menurutkan kata hati (impulsiveness). Apabila anak me­
nampakkan enam atau lebih gejala-gejala tersebut dari salah satu atau
dua daftar tersebut, dan bila gejala-gejala ini sering tampak (tidak hanya
terkadang) dan terus bertahan selama paling tidak enam bulan, maka
anak dicurigai mengalami ADHD.
Gejala-gejala dari kurangnya perhatian:
1. Anak tidak dapat memusatkan perhatian pada detail-detail atau me­
lakukan kesalahan-kesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekola
atau dalam aktivitas-aktivitas lainnya.
2. Anak mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian pa­da
tugas-tugas atau kegiatan bermain.
3. Anak tampak tidak mendengarkan ketika diajak berbicara secara
langsung.
4. Anak tidak mengikuti instruksi dan tidak dapat menyelesaikan peker­
E

jaan sekolah atau tugas-tugas (tetapi bukan karena tidak mampu


PL

memahami instruksi atau karena kenakalan yang dise­ngaja).


5. Anak mengalami kesulitan mengorganisasi tugas dan kegiatan.
M

6. Anak menghindari, tidak menyukai atau enggan untuk terlibat dalam


SA

tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental yang terus-menerus se­


per­ti pekerjaan rumah.
7. Anak sering kehilangan barang-barang, seperti: mainan, tugas sekolah,
pensil, buku, peralatan, pakaian.
8. Anak mudah terganggu oleh kebisingan, gerakan-gerakan atau rang­
sangan lain.
9. Anak mudah lupa.

Gejala-gejala dari hiperaktivitas dan sikap kurang memperhatikan


(impulsiveness):
1. Anak suka memainkan tangan atau kaki atau menggeliat-geliat di
tempat duduknya.
2. Anak meninggalkan tempat duduk di kelas atau meninggalkan meja
makan kapan pun saat ia diharuskan duduk tenang.
3. Anak suka berjalan-jalan atau memanjat dalam situasi di mana
perilaku ini tidak tepat.
4. Anak mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang.

33
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

5. Anak terus-menerus “sibuk” atau berlaku seakan-akan “digerakkan


oleh tenaga motor”.
6. Anak berbicara tanpa henti.
7. Anak menjawab pertanyaan tanpa berpikir sebelum pertanyaan
tersebut selesai.
8. Anak mengalami kesulitan untuk menunggu giliran dalam per­mainan
atau dalam kegiatan yang terstruktur lainnya.
9. Anak mengganggu orang lain (mengganggu pembicaraan atau per­
mainan).
Langkah kedua, menentukan kapan gejala tersebut pertama mun­cul.
Bila gejala-gejala tersebut muncul sebelum aak berusia sebelas tahun,
maka ADHD mungkin terjadi.
Langkah ketiga, menentukan di mana gejala-gejala tersebut ter­jadi.
Apakah perilaku anak menjadi masalah hanya ketika ia berada di
sekolah atau apakah juga menjadi masalah saat ia berada di rumah? Bila
si anak mempunyai problem perilaku alam dua setting atau lebih, maka
ADHD mungkin bisa terjadi.
E
Langkah keempat, menilai tingkat keparahan gejala-gejala terse­but.
PL

Apakah perilaku anak semata-mata hanya mengganggu, atau kah


menyebabkan problem yang nyata bagi anak ketika di sekolah atau dalam
M

situasi sosial? Sebelum orang tua membuat diagnosis atas benar-benar


menghalangi kemampuan anak untuk melakukan fungsi­nya di sekolah
SA

atau di rumah.
Langkah kelima, kesampingkan diagnose yang mungkin lainnya.
Hal yang penting adalah memastikan bahwa problem perilaku tersebut
bukanlah akibat dari problem atau kelalaian lainnya, seperti keterlambatan
perkembangan secara global atau problem-problem psikiatrik (Flanagen,
2002).
Kesulitan orang tua dalam merawat anak ADHD menjadi kajian pe­
nelitian yang terus diminati untuk diteliti, bagaimana kondisi psi­kologis
orang tua dan cara interaksi positif yang bisa dilakukan ter­ha­dap anak,
seperti beberapa penelitian berikut ini: 1) Penelitian de­ ngan tujuan
untuk menggali strategi koping orang tua yang me­mi­liki anak ADHD oleh
Saraswati (2011). Hasil penelitiannya mem­buk­tikan terdapat empat tema
yang muncul, yakni: gangguan pe­mu­satan perhatian pada anak, hambatan
dan tantangan orang tua da­lam mengasuh anak, faktor pendukung dan
keberhasilan orang tua dalam mengasuh anak hiperaktif; 2) Penelitian
dengan tujuan untuk menurunkan stres pengasuhan orang tua dalam

34
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

merawat anak ADHD juga telah dilakukan dengan kajian intervensi oleh
Syanti dan Han­dadari (2016). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa
intrevensi behavioral parent training secara signifikan mampu menurunkan
stres pengasuhan, hal ini menunjukkan bahwa konten intre­vensi be­ha­
vioral parent training yang menitikberatkan pada pening­katan ke­mampuan
ibu dalam mengelola stres dan peningkatan sumber daya, kompetensi
ibu dalam menghadapi anak dan peningkatan persep­ si ibu terhadap
kemampuannya terbukti efektif; 3) Pengalaman ibu yang memiliki
anak ADHD juga telah diteliti oleh Siburian dan Ka­ hija (2014). Hasil
penelitiannya membuktikan ibu mengalami fluk­ tuasi emosional yang
disebabkan oleh kondisi stress selama penye­suaian diri terhadap respons
sosial, tema yang ditemukan adalah upa­ya penanganan profesional, pe­
mahaman karakteristik hiperaktif, fluktuasi emosional, penyesuaian ter­
hadap respons sosial.

3. Intellectual disability (ID)


Intellectual disability (ID) adalah gangguan dengan onset selama periode
perkembangan yang mencakup defisit pada fungsi intelektual dan adaptif
E

dalam domain konseptual, sosial, dan praktikal (Ameri­ can Psychiatric


PL

Association, 2013). Defisit pada fungsi intelektual ini dibuktikan dengan


hasil skor IQ dari tes kecerdasan terstandar yang berada dibawah angka 70
M

(American Psychiatric Association, 2013), se­dangkan defisit pada fungsi


SA

adaptif dapat terlihat dari keseharian anak dalam melakukan aktivitas


sehari- hari, baik dalam aspek belajar, interaksi dengan lingkungan, dan
dalam mengurus diri sendiri, atau biasa disebut dengan keterampilan bina
diri.
Keterbatasan fungsi anak ID mencakup keterbatasan fungsi in­telektual,
mencakup: penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir
abstrak, penilaian, pembelajaran akademis, dan belajar dari pengalaman.
Sedangkan keterbatasan fungsi adaptif meliputi area konseptual, sosial,
dan praktis baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM 5) membagi
gangguan intellectual disability berda­ sarkan dengan tingkat keparahan
dalam fungsi kemampuan adaptif yang berada pada rentang tingkatan
mild hingga profound (American Psychiatric Association, 2013).
Keterampilan bina diri yang sebaiknya dapat dilakukan bagi anak-
anak dengan intellectual disability seperti kemandirian untuk dirinya sen­
dirinya, meliputi: makan dan minum, berpakaian, kebersihan badan, ko­
munikasi, dan keterampilan sederhana. Menurut Ardic dan Cavkaytar

35
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

(2014) menjelaskan keterampilan bina diri ini merupaan faktor penting


karena berkaitan dengan penguasaan keterampilan bi­na diri adalah ta­
hapan pertama dari proses pencapaian kemandirian individu dan kete­
rampilan tersebut akan terus digunakan sepanjang usia anak. Berkaitan
dengan keterampilan diri, maka ada baikya in­tervensi yang diberikan pa­
da anak-anak ini sebaikya merupakan in­ter­vensi yang dapat dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah maupun di lingkungan
masyarakat.
Beberapa penelitian tentang modifikasi perilaku merupakan sa­lah satu
cara yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku adaptif anak ID dan
menurunkan perilaku maladaptifnya. Swapna dan Su­dhir (2016) meng­
ungkapkan terdapat beberapa teknik yang digu­na­kan dalam program mo­
difikasi perilaku, seperti: positive dan negative reinforcement, differential re­
inforcement, extinction, prompting, response cost, time out.
Penelitian yang ditujukan pada anak intellectual disability ber­variasi
dari penelitian yang ditujukan khusus pada anak-anak ID ju­ga banyak
penelitian yang ditujukan pada pengasuhan orang tua. Harapannya dengan
semakin banyak peminat para peneliti dalam meng­kaji pengasuhan bagi
E

anak-anak ID dalam menumbuhkan ke­percayaan diri anak, mendapatkan


PL

dukungan penuh dari orang tua­nya agar perkembangannya lebih baik dari
sebelumnya, terutama pada kemampuannya untuk bina diri, di antaranya:
M

1) Penelitian de­ngan tujuan untuk mengeksplorasi dan menggambarkan


SA

secara men­dalam problematika yang dihadapi oleh keluarga dari anak


dengan intellectual disability oleh Lidanial (2014). Hasil penelitiannya
mem­buktikan bahwa mayoritas keluarga memiliki persepsi yang salah
ter­hadap anak ID, yang berawal dari pengetahuan orang tua yang sa­
ngat terbatas tentang ID dan berujung pada intervensi yang salah, se­
mua keluarga masih berada dalam proses menuju penerimaan, ke­hadiran
anak ID di tengah-tengah keluarga memunculkan berbagai dampak ne­
gatif dan positif, baik secara personal, secara interpersonal dalam satu
keluarga, maupun secara interaksional keluarga dengan lingkungan se­
kitar, mayoritas keluarga berharap anak mengalami ke­ sembuhan atau
men­jadi normal; 2) Penelitian dengan tujuan untuk mengeksplorasi fung­
si keluarga yang memiliki anak ID oleh Wulan­dari dan Ranimpi (2018).
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa orang tua yang telah menerima
keberadaan anak akan memberikan perhatian, membangun hubungan
dan kemampuan sosioemosional anak, mengajarkan anak bersosialisasi,

36
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

memenuhi kebutuhan ekono­mi keluarga secara efektif, dan memenuhi


kebutuhan anak ID, serta perawatan kesehatan keluarga; 3) Penelitian
dengan tujuan untuk menguji peran parenting self-efficacy dan optimism
terhadap kondi­ si kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak ID
oleh Pasyola (2018). Hasilnya membuktikan bahwa variabel parenting
self efficacy dan optimisme secara bersamaan menyumbangkan peranan
sebesar 54% dalam memunculkan kesejahteraan psikologis ibu.

B. PENELITIAN TENTANG PENGASUHAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK


DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS
Semakin meningkatnya jumlah anak dengan gangguan perkembang­
an saraf (dalam hal ini anak dengan gangguan spektrum autis), maka
diperlukan pengasuhan optimal orang tua dalam mengupayakan tumbuh
kembang anak. Diperlukannya kerja sama antara ayah dan ibu dengan tu­
juan yang sama yakni mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Peneli­ti­an
terkait kondisi psikologis orang tua yang memiliki anak dengan ganggu­an
spektrum autis merupakan salah satu topik penelitian yang banyak di­
E
kaji saat sekarang ini. Bagaimana fenomena munculnya penelitian terkait
PL

anak-anak dengan gangguan spektrum autis? Seperti yang dikutip dalam


Daulay (2019), pada awalnya pe­nelitian ini dilakukan oleh Holroyd dan
M

McArthur pada tahun 1976. Holroyd dan McArthur, (1976) mencoba mem­
SA

bandingkan ibu yang memiliki anak autis dengan ibu yang memiliki anak
mental retardasi. Hasil penelitian menemukan bahwa ibu yang memiliki
anak autis lebih mengalami masalah dalam keberfungsian keluarga dan
lebih merasa malu serta kesulitan membawa anak ke tempat umum di­
bandingkan ibu dengan anak mental retardasi. Penelitian yang serupa ju­
ga dila­kukan untuk mengetahui pengalaman ibu dalam mengasuh anak
au­tis, seperti penelitian oleh (Bristol, 1984) membuktikan bahwa ibu yang
memiliki anak autis lebih berisiko stres dan mengalami krisis keluarga,
kemudian Bouma dan Schweitzer (1990) juga meneliti ibu yang memiliki
anak autis lebih stres dibandingkan ibu yang memiliki anak cystic fibrosis
dan ibu yang memiliki anak dengan perkembangan normal. Konstantareas
dan Stewart (2006) juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak
autis lebih mengalami stres dibandingkan ibu yang memiliki anak mental
retardasi dan anak dengan kesulitan belajar. Selanjutnya penelitian yang
serupa untuk mengkaji kondisi psikologis ibu yang memiliki anak autis
terus dilakukan sampai se­karang.
Di Indonesia sendiri, penelitian terkait dengan kesadaran akan anak-

37
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

anak yang mengalami autis juga merupakan fenomena yang masih ha­ngat
diperbincangkan. Menurut Agus Haryanto (2012, di­ku­tip dalam Tuc­ker,
2013) adalah seseorang yang telah bekerja di bidang pendidikan khu­
sus di Jawa Tengah dan Jakarta, beliau ter­masuk penggiat dalam me­
nyosialisasikan autis di Indonesia, menje­laskan bahwa sejarah kasus autis
di Indonesia tampaknya muncul akhir tahun 1990-an. Pada saat itu, orang
tua dari anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan terlihat
mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan anak, sebab masih mi­
nimnya tenaga pro­fesional yang dapat membantu untuk memahami pe­
rilaku dan ka­rakteristik anak autis. Kondisi anak autis masih dianggap se­
bagai aib keluarga dan hal ini harus disembunyikan, ditutupi, dan men­ja­di
beban (dalam Daulay, 2019).
Kondisi yang ibu rasakan saat mengasuh anak dengan gangguan
perkembangan kompleks ini seperti ibu menilai diri mereka sen­diri se­
bagai seseorang yang pesimis, sering murung, lebih rentan ter­hadap pe­
nyakit, sedikitnya memiliki waktu untuk diri sendiri, dan mengalami
ketidakharmonisan keluarga (Holroyd & McArthur, 1976); ibu mengala­
mi kesedihan atas besarnya biaya perawatan anak (DeM­yer, 1979); ada
E

perasaan cemas anaknya akan diterima atau dito­lak dalam masyarakat


PL

(Bristol, 1984; Holroyd & McArthur, 1976); harapan yang tinggi terhadap
anak sering kali berujung pada stres (Ogston, Mackintosh, & Myers, 2011);
M

menilai perilaku anak sebagai sumber stres (Freeman, Perry, & Factor,
SA

1991).
Riset-riset sebelumnya terkait pengasuhan orang tua yang memili­
ki anak dengan gangguan spektrum autis lebih banyak menggunakan
subjek penelitian pada seorang ibu. Alasannya karena ibu adalah sosok
yang intens berinteraksi dengan anak, mempersiapkan pengasuhan
sehari-hari untuk anak, sehingga dianggap sosok yang paling de­kat dan
memahami kebutuhan anak. Berdasarkan penelitian Daulay (2019) yang
menggunakan ibu-ibu sebagai responden penelitiannya juga berdasarkan
alasan-alasan kuat, di antaranya: terkadang muncul pikiran dan perasaan
ibu yang menyalahkan diri sendiri atas kondisi anaknya yang mengalami
gangguan perkembangan, pada dua tahun pertama anak ibu mengaku
kurang perhatian kepada anaknya dise­ babkan sibuk bekerja, dan ibu
mengamati terdapat beberapa kejang­galan dari tumbuh kembang anaknya.
Beberapa penelitian konsisten telah membuktikan bahwa orang tua
yang memiliki anak autis lebih tinggi mengalami stres dalam mengasuh
anaknya dibandingkan orang tua yang memiliki anak de­ngan gangguan
perkembangan lainnya, di antaranya oleh (Bristol, 1984; Zaidman-zait

38
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

dkk., 2017). Hal ini juga diperkuat dengan adanya kajian metaanalisis
yang dilakukan Hayes dan Watson (2013) yang menyimpulkan bahwa ter­
da­pat stres pengasuhan yang tinggi pada orang tua yang memiliki anak
autis dibandingkan orang tua yang me­miliki anak dengan perkembangan
normal maupun orang tua dari anak dengan gangguan perkembangan
lainnya (dalam Daulay, 2019). Berbagai penelitian yang dilakukan untuk
membuktikan peran orang tua dalam mengasuh anak-anak dengan gang­
guan spektrum autis se­perti yang termuat dalam Tabel 3.

E
PL
M
SA

39
40
Tabel 3. PENELITIAN PENGASUHAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS DI INDONESIA
(Sumber: skripsi, tesis, disertasi di Fakultas Psikologi UGM dan googlescholar.com)

Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan


Daulay, Model stres Partisipan sejumlah Metode kuantitatif Terdapat pengaruh tidak langsung ketangguhan dan dukungan sosial
Nurussaki pengasuhan pada 267 ibu-ibu yang dengan analisis SEM. terhadap stres pengasuhan melalui sense of competence pengasuhan;
nah ibu yang memiliki memiliki anak autis Variabel : dukungan sosial, Terdapat pengaruh langsung perilaku maladaptif anak terhadap stres
(Disertasi, anak autis ketangguhan, perilaku pengasuhan; Variabel sense of competence pengasuhan terbukti sebagai
2019) maladaptif anak, sense of variabel mediator.
competence pengasuhan, dan Setiap individu memiliki faktor protektif (dukungan sosial,
stres pengasuhan. ketangguhan, sense of competence) dan faktor risiko (perilaku
maladaptif anak) dalam memengaruhi kemunculan stres pengasuhan.
Daulay, Determinant of Total partisipan 252 Metode kuantitatif Terdapat pengaruh tidak langsung ketangguhan terhadap stres
Nurussaki­ parenting stress in ibu-ibu yang memiliki dengan analisis SEM. pengasuhan melalui sense of competence pengasuhan; Terdapat
SA
nah Indonesian mother anak berkebutuhan Variabel : dukungan sosial,
M pengaruh langsung dukungan sosial dan perilaku maladaptif anak
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

(Jurnal, of children with (97 mental retardasi; ketangguhan, perilaku terhadap stres pengasuhan.
2018) special needs 46 tunarungu; 48 maladaptif anak, sense of Ibu yang memiliki anak autis memiliki stres pengasuhan lebih tinggi
down syndrome; 63 competence pengasuhan, dan dibandingkan ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus lainnya
autis) stres pengasuhan (mental retardasi, down syndrome, dan tunarungu).
PL
Daulay, Proses menjadi Responden penelitian Metode kualitatif dengan Hasil penelitian ini menemukan enam tema pengalaman ibu yang
E
Nurussaki­ tangguh bagi ibu sebanyak lima ibu-ibu pendekatan fenomenologi. menjadikan mereka tangguh dalam mengasuh anak dengan gangguan
nah yang memiliki anak yang memiliki anak spektrum autis, yaitu: 1) kondisi sulit, menekan, dan bertahan; 2)
(Jurnal, autis autis di Yogyakarta dukungan sosial; 3) pengetahuan dan informasi terkait anak dengan
2018) gangguan spektrum autis; 4) koping religius; 5) kebermaknaan hidup
orang tua anak istimewa; 6) optimis. Sumber daya penentu berasal baik
dari internal yaitu kemampuan mengontrol diri, keyakinan, dan koping
religius, maupun eksternal yaitu dukungan sosial, merupakan faktor
utama yang memengaruhi ibu untuk tetap bertahan mengasuh anak.
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Daulay, Parenting stress of Ibu-ibu yang memiliki Kajian literatur dari beberapa Hasil: terdapat perbedaan persepsi ibu dalam mengasuh anak autis.
Nurussaki­ mothers in children anak autis dengan sumber referensi (misalnya Berdasarkan sudut pandang budaya Batak, adanya pengaruh dalihan
nah with autism budaya yang berbeda, buku, jurnal, prosiding) na tolu (hula, boru, dongan sabutuha) membuat ibu menjadi lebih
(Prosiding, spectrum disorder: yaitu budaya Batak terkait pengalaman ibu dalam kuat mengasuh anak autis. Berdasarkan sudut pandang budaya Jawa,
2018) A review of the dan budaya Jawa mengasuh anak autis. peranan karakter narima ing pandum mempercepat proses penerimaan
culture in Indonesia. ibu akan kondisi keterbatasan anak.
Daulay, Gambaran Sebanyak 58 ibu-ibu Metode yang digunakan Data diambil dengan menggunakan alat ukur berupa skala
Nurussaki­ ketangguhan ibu yang memiliki anak adalah metode kuantitatif Ketangguhan (Dispositional Resilience Scale/DRS-15) yang telah
nah dalam mengasuh autis di kota Medan. deskriptif. Cara pengolahan direvisi kembali oleh Bartone (1995) menjadi versi pendek 15 aitem dan
(Jurnal, anak autis. Purposive sampling dan analisa data statistik terdiri dari aspek-aspek ketangguhan yaitu komitmen, kontrol dan
2017). sebagai teknik bersifat deskriptif, artinya tantangan.
pengambilan sampel temuan seperti data Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran ketangguhan pada ibu
demografi, aspek ketangguhan yang memiliki anak autis berada dalam kategori sedang. Ditinjau dari
SA
dan data tambahan lainnya
M aspek ketangguhan yang dikemukakan oleh Maddi & Kobasha (1980),
akan dianalisa berupa skor ditemukan bahwa aspek komitmen memiliki nilai mean tertinggi,
minimum, skor maksimum, kemudian diikuti dengan aspek kontrol dan aspek tantangan. Implikasi
mean dan standar deviasi, penelitian ini sebagai data awal untuk melihat gambaran profil
agar dapat menggambarkan ketangguhan ibu dalam mengasuh anak autis di kota Medan.
PL
profil ketangguhan secara E
komprehensif.
Anantasar Determinan Total = 202 ibu-ibu Metode kombinasi sequential Studi pertama : variabel dukungan sosial, self-compasion,
i, M.L. stress-related yang memiliki anak explanatory, dengan ketangguhan, dan coping mmengaruhi SRG sebanyak 68%.
(Disertasi, growth ibu dari autis di Yogyakarta menggunakan enam skala Studi kedua: dengan teknik interpretative phenomenology analysis
2017) anak penyandang dan Bali penelitian. Hasil analisis menemukan tema utama, yaitu autisme sebagai sebuah tantangan,
autisme: Studi menggunakan SEM. pentingnya sumber daya, usaha adalah kunci perubahan, kehadiran
kombinasi anak dalam perspektif ibu, pertumbuhan diri, pertumbuhan keluarga
dan pemanfaatan hasil pertumbuhan.

41
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
42
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Mukhtar, Pengaruh group- Partisipan = 38 Metode eksperimen dengan Hasil manipulasi cek: pengetahuan orang tau tentang pengasuhan anak
D. based parenting orang tua. Subjek rancangan the untreated autis meningkat setelah emngikuti group based parenting support.
(Disertasi, support terhadap dikelompokkan control group design with Hasil analisis: ada perbedaan pengaruh antara kedua bentuk variasi
2017). stres pegasuhan secara non-random dependent pretest and group based parenting support. Kelompok dukungan orang tua
orang tua yang ke dalam kelompok posttest samples jenis multiple (besar pengaruh 23,2%) lebih efektif untuk menurunkan stres
mengasuh anak dukungan orang nonequivalent comparisons pengaushan dibandingkan kelompok psikoedukasi (besar pengaruh
dengan gangguan tua, kelompok group. Pengumpulan data: 6,8%). Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan proses
spektrum autis psikoedukasi, skala stres pengasuhan dan di antara kedua kelompok. Pada kelompok dukungan orang tua,
kelompok kontrol skala dukungan sosial. proses emosional, sosial, kognitif dan perilaku dialami oleh orang tua,
sedangkan kelompok psikoedukasi, proses yang dialami lebih banyak
berhubungan dengan kognitif dan perilaku.
Suadnyan Hubungan Total sebanyak Metode: analisis regresi T erdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan
a, M.A. antara dukungan 65 ibu- ibu yang sederhana, menggunakan dua pertumbuhan terkait sres (R2 = 0,551, F = 77,466, p<0,01); dukungan
SA
(Skripsi, sosial dengan memiliki anak autis skala, yaitu skala dukungan
M sosial menjelaskan 55,1% dari keseluruhan determinan pertumbuhan
2017) pertumbuhan di Yogyakarta dan sosial dan skala stres. terkait stres; terdapat perbedaan pertumbuhan stres berdasarkan
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

terkait stres pada Klaten. perbedaan latar belakang ibu.


ibu dari anak autis
PL
Catur, Hubungan antara Sebanyak 74 ibu-ibu Metode kuantitatid dengan Terdapat hubungan yang signifikan antara stres pengasuhan dan
Nurwinta. stres pengasuhan yang memiliki anak rancangan korelasional. E penerimaan orang tua dengan kualitas hidup ibu (R2 = 0,293; F= 14,739;
(Tesis, dan penerimaan autis Alat ukur: skala stres p = 0,00; p < 0,05). Stres pengasuhan dan penerimaan orang tua
2017) orang tua terhadap pengasuhan, skala penerimaan menyumbang sebesar 29,3% terhadap kualitas hidup ibu.
kualitas hidup pada orang tua, skala kualitas hidup)
ibu dengan anak
gangguan spektrum
autis
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Catur, Hubungan antara Sebanyak 74 ibu-ibu Metode kuantitatid dengan Terdapat hubungan yang signifikan antara stres pengasuhan dan
Nurwinta. stres pengasuhan yang memiliki anak rancangan korelasional. penerimaan orang tua dengan kualitas hidup ibu (R2 = 0,293; F= 14,739;
(Tesis, dan penerimaan autis Alat ukur: skala stres p = 0,00; p < 0,05). Stres pengasuhan dan penerimaan orang tua
2017) orang tua terhadap pengasuhan, skala penerimaan menyumbang sebesar 29,3% terhadap kualitas hidup ibu.
kualitas hidup pada orang tua, skala kualitas hidup)
ibu dengan anak
gangguan spektrum
autis
Santoso, Resilience in daily Sejumlah 14 orang Metode kualitatif dengan Terdapat sebuah model resiliensi para ibu yang memiliki anak autis
Budi occupations of ibu-ibu yang memiliki pengambilan data wawancara dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tema yang didapati
(Jurnal, Indonesian mother of anak autis dan observasi terbagi 4 kategori, 1) membuat dan menerima kondisi yang sudah
2015) children with autism ada; 2)mencari solusi; 3) berjuang untuk keseimbangan dalam
spectrum disorder melaksanakan pekerjaan/aktivitas sehari-hari; 4) memikirkan masa
SA
M depan anak. Sumber resiliensi ditemukan berasal dari diri ibu sendiri
dan lingkungannya.
Ratnani, Hubungan sejumlah 42 ibu-ibu Penelitian kuantitatif berupa Terdapat hubungan antara kecerdasan adversitas dan dukungan
Indah Puji kecerdasan yang memiliki anak survei. pasangan dengan stres pengasuhan (F=22,676; p>0,01). Sumbangan
PL
(Tesis, asversitas dan autis di Pekanbaru Analisis: regresi berganda efektif variabel kecerdasan adversitas terhadap stres pengasuhan
2014) dukungan pasangan Alat ukur: skala stres sebesar 56,6%. Sumbangan bersama kecerdasan adversitas dan
dengan stres pengasuhan,skala kecerdasan
E dukungan pasangan terhadap stres pengasuhan sebesar 53,8%.
pengasuhan pada adversitas,skala dukungan.
ibu yang memiliki
anak autis
Tucker, Interpreting and Sejumlah masyarakat Metode kualitatif dengan Sikap masyarakat Jawa terhadap individu autis dipengaruhi oleh : 1)
A.C treating autism in di Jawa pendekatan etnografi. kepribadian dan status sosial ekonomi masyarakat; 2) mengenalkan
(Disertasi, Javanese Indoensia konsep autis di masyarakat Jawa agar tidak memiliki stigma negatif; 3)
2013) mengenalkan ke masyarakat tentang ciri-ciri autis dan perilaku yang
ditampilkan mereka.

43
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
44
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Nugroho, Hubungan antara Partisipan sejumlah Metode kuantitatif dengan Terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan
A.A. penerimaan diri dan 68 orang ibu-ibu yang analisis regresi berganda dan stres ibu (r=-0,338), dan hubungan dukungan sosial dengan stres (r=-0,
(Jurnal, dukungan sosial memiliki anak autis analisis korelasi parsial. 354).
2013) dengan stres pada
ibu yang memiliki
anak autis di SLB
Autis Surakarta
Harta, W. Gambaran source Partisipan sejuml­ Metode kualitatif dengan Penelitian menunjukkan bahwa pentingnya ibu memiliki self-efficacy
(Tesis, of parenting self- ah 3 orang ibu yang pengambilan data observasi dalam mengasuh anak autis
2015) efficacy pada ibu memiliki anak autis dan wawancara mendalam.
yang memiliki anak
autis.
Susilowati, Hubungan antara Partisipan sejum­lah Metode kuantitatif dengan Terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres
SA
A. (Skripsi, dukungan sosial dan 50 orang tua yang analisis korelasi pearson
M orang tua (r=-0,607).
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

2007) tingkat stres dari memiliki anak autis product moment.


anak autis
Fitriani, A., Hubungan antara Partisipan ibu-ibu Metode kuantitatif, dengan Terdapat hubungan negatif antara hardiness dengan tingkat stres
PL
& Amba­ hardiness dengan yang memiliki teknik korelasi. Pengumpulan E pengasuhan pada ibu dengan anak autis (r=-0,789).
rini, T. K. pengasuhan pada anak autis Teknik data dengan kuesioner.
(Jurnal, ibu dengan anak pengambilan sampel: Instrumen: skala hardiness dan
203). autis tingkat stres purposive sampling skala parenting stress index.
Sitorus, Gambaran stres Partisipan sejumlah Metode kuantitatif deskriptif. Gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis paling tinggi pada
M. (Skripsi, pada ibu yang 40 ibu-ibu yang Data yang diolah yaitu skor aspek emosi, lalu diikuti dengan aspek kognisi dan perilaku sosial.
2016) memiliki anak autis. memiliki anak autis di minimum, skor maksimum,
Medan mean dan standar deviasi
Sa’diyah Gambaran Partisipan sejumlah 3 Metode kualitatif dengan Secara kualitatif, meskipun ibu mengalami stres, namun ibu tetap
(Prosi­­ding, psychological ibu-ibu yang memiliki pengumpulan data observasi, mampu menerima dirinya selama mengasuh anaknya yang mengalami
2016) well-being dan stres anak autis wawancara dan dokumentasi. gangguan perkembangan autis
pengasuhan ibu
dengan anak autis.
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Hidayati, Pengaruh pelatihan Total partisipan 20 Penelitian eksperimen yang Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan Wilcoxon signed rank
Fina “pengasuhan ibu orang ibu-ibu yang digunakan the untreated (non parametrik), menunjukkan hasil bahwa pelatihan “Pengasuhan Ibu
(Jurnal, cerdas” terhadap memiliki anak autis, control group design with CERdaS” menurunkan tingkat stres pengasuhan ibu dari anak autis.
2013) stres pengasuhan terbagi ke dalam pretest and posttest.
pada ibu dari anak kelompok eksperimen
autis (10) dan kelompok
kontrol (10).
Ismail, Hubungan Partisipan adalah ibu- Metode kuantitatif dengan Terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan
Amalia dukungan sosial ibu yang memiliki analisis korelasi pearson diri ibu (r = ), artinya semakin ibu mendapatkan dukungan maka
(Skripsi, degan penerimaan anak autis product moment. semakin ibu mampu menerima kondisi anak autis.
2008) diri Ibu terhadap
anaknya yang
mengalami
SA
gangguan autis M
Putri, Dinamika Partisipan adalah ibu- Metode kualitatif dengan Ibu semakin cemas dengan berambahnya usia anak maka anak akan
Mikha kecemasan ibu yang ibu yang memiliki pengambilan data observasi mengalami masa puber, sedangkan anak autis memiliki kemandirian
Setiana memiliki anak autis anak autis dan wawancara mendalam. yang rendah dan belum mampu untuk merawat diri.
PL
(Skripsi, yang sedang puber
2011) E
Wibawa, Hubungan Sejumlah 22 Metode observasional analitik Peranan dukungan sosial dan penerimaan diri ibu sebanyak 57,9%.
Alvidzius dukungan sosial partisipan ibu dari dengan pendekatan cross Hasil uji statistik chisquare didapatkan p value (0,024) < a (0,05)
Gusti keluarga dengan anak autis sectional. menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial keluarga
(Skripsi, penerimaan diri dengan penerimaan diri ibu anak autis.
2014) ibu anak autis di
SDLB-B dan autis
TPA Jember

45
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
46
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Lubis, Penyesuaian diri Sejumlah 39 Metode deskriptif kuantitatif, Penyesuaian diri 20 orang tua pada kategori tinggi (51,3%) dan
Misbah orang tua yang partisipan orang tua dengan teknik pengambilan sebanyak 19 orang tua berada pada kategori sedang (48,7%).
Usmar memiliki anak autis dari anak autis sampel cluster random
(Skripsi, sampling. Alat ukur: skala
2009) penyesuaian diri (Schneiders,
1964)
Karning­ Pola komunikasi Partisipan pada Metode kualitatif Pola komunikasi interpersonal pada anak autis saat berkomunikasi dan
tyas, Maria interpersonal anak sejumlah pengajar fenomenologi dengan berinteraksi harus melihat kondisi suasana hati yang baik pada anak,
anggita autis di sekolah dan orang terdekat pengambilan data observasi demikian juga komunikasi dua arah terjadi jika sudah ada suasana hati
(Jurnal, autis fajar nugraha anak autis dan wawancara yang nyaman pada anak, terdapat kontak mata. Komunikasi bahasa
2014) Yogyakarta nonverbal dengan jeritan, gerajan tangan, dan gerakan tubuh.
Ekawati, Perkembangan Ibu (sebagai Metode kualitatif dengan Berdasarkan perspektif ibu : Anak mengalami perkembangan
SA
Yeanny interaksi sosial anak informan) yang pendekatan studi kasus. interaksi sosial yang signifikan setelah menjadi siswa di sekolah
(Jurnal, autis di sekolah memiliki anak autis Pengumpulan data dengan
M inklusi, yaitu pada perkembangan komunikasi, interaksi, dan perilaku
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

2012) inklusi: Ditinjau dari dengan pengambilan observasi dan wawancara sosial. Teridentifikasi pula faktor internal dan faktor eksternal yang
perspektif ibu sampel snowball mendukung dan yang menghambat perkembangan interaksi sosial
sampling. anak.
PL
Qodariah, Peran psikolog Sejumlah iibu-ibu Metode deskriptif kuantitatifE Gambaran mengenai bentuk coping strategy dan adaptational outcomes,
Siti (Prosi­ dalam yang memiliki anak dengan alat ukur: Ways of menunjukkan ibu menggunakan bentuk problem focused coping (55%),
ding ,2011) meningkatkan autis Coping The Received Version dan dengan bentuk confrontative coping sebesar 54,6% dan planfull problem
“coping strategy” angket Adaptational Outcomes solving sebesar 45.4%. Dari 45% ibu yang menggunakan bentuk
dan “’Adaptational dari Lazarus & Folkman (1984). emotional focused coping, lebih dari setengahnya menggunakan bentuk
Outcomes ” pada ibu distancing (55.56%) yang tidak adaptif.
yang memiliki anak
autis
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Maharani, Studi kasus proses Partisipan adalah ibu Metode kualitatif dengan Ibu memiliki komitmen kuat dalam diri untuk terus berjuang mengasuh
Kiki Dwi pencapai­an berusia 18-40 tahun, pendekatan studi kasus anak, berorientasi pada kesembuhan anak. Makna kebahagiaan adalah
(Jurnal, kebahagiaan pada yang memiliki anak mensyukuri segala sesuatu yang terjadi dalam hidup.
2015) ibu yang memiliki telah terdiagnosis
anak kandung autis
penyan­dang
asperger syndrome
Astuti, Ari Hubungan antara Partisipan adalah Metode observasional dengan Sebanyak 50% anak mempunyai pola konsumsi gluten dan kasein
Tri pola konsumsi orang tua dari anak desain cross sectional yang. yang baik. Perilaku anak autis selama kurun waktu 3 bulan terakhir
(Jurnal, makanan yang autis dan guru/ Alat ukur pola konsumsi gluten sebagian besar ( 75 %) menunjukkan perubahan yang baik. Tidak
2016) mengandung gluten terapis, dengan & kasein menggunakan FFQ terdapat hubungan antara pola konsumsi makanan yang mengandung
dan kasein dengan teknik purposive (Food Frequency Questioner); gluten dan kasein dengan perilaku anak autis ( p > 0,05). Sebanyak 60
perilaku anak sampling data untuk perilaku diperoleh % responden mengatakan bahwa diet bebas gluten dan bebas kasein
SA
autis pada sekolah dari check list daftar deteksi
M berpengaruh pada perilaku anak, namun hanya ada 45 % responden
khusus autis di autis menurut WHO (ICD-10). yang menerapkan diet tersebut.
Yogyakarta Pengumpulan data: indepth
interview. Metode analisis
data yang digunakan adalah
PL
uji statistik chi square dan uji
E
Fisher.
Asmika Hubungan moti­ Partisipan sebanyak Pendekatan cross sectional Sebagian besar orang tua (85%) memiliki motivasi tinggi dalam
(Jurnal, vasi orang tua 20 orang tua yang study memperoleh penyembuhan anak, tetapi 60% orang tua memiliki
2013) untuk mencapai memiliki anak autis tingkat pengetahuan yang rendah tentang perawatan anak. Tidak
kesembuhan ada hubungan yang signifikan (p> 0,05) antara motivasi dan tingkat
anak dengan pengetahuan orang tua.
tingkat penge­
taahuan tentang
penanganan
anak penyan­
dang autisme dan
spektrum­nya

47
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
48
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Rachmaya Penerimaan diri Partisipan 3 orang tua Metode kualitatif dengan Partisipan dapat menerima sepenuhnya kondisi anak secara bertahap,
nti, Sri orang tua terhadap yang memiliki anak teknik wawancara dan yaitu tahap denial. Anger, bargaining, depression, dan acceptance.
(Jurnal, anak autisme dan autis. observasi. Namun ketiga subjek melalui tahapan yang berbeda-beda karena
2011) peranannya dalam kondisi anak mereka juga berbeda-beda.
terapi autisme
Apostelin Resiliensi keluarga Partisipan sejumlah Metode campuran sekuensial/ Secara kuantitatif: resiliensi keluarga berada pada kategori medium.
a, Eunike pada keluarga yang 88 orang tua yang bertahap (sequential mixed Terdapat dua faktor yang memengaruhi resiliensi keluarga, faktor risiko
(Jurnal, memiliki anak autis memiliki anak autis. methods). Pengumpulan data (stressor, strain, distress) dan faktor protektif (relative andfriend support,
2012) Teknik pemilihan awal secara kuantitatif dan social support, family hardiness, coping coherence). Secara kualitatif:
sampel: purposive selanjutnya secara kualitatif. Resiliensi keluarga dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, terutama
sampling Analisis data: eksplanatoris dalam melihat berbagai peristiwa kehidupan yang terjadi, setiap
sekuensial. keluarga saling mendukung untuk akhirnya mampu beradaptasi dan
memiliki tujuan yang sama untuk memberi yang terbaik baik anak.
SA
Jeniu, Hubungan Partisipan sejumlah Metode cross sectional,
M Sebagian besar pengetahuan responden masuk kategori cukup
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Ermelinda pengetahuan 36 orang tua yang analisis data dengan uji sebanyak 15 orang (41,7%), dan sebagian besar tingkat kecemasan
(Jurnal, tentang autisme memiliki anak autis, statistic spearman rank responden masuk dalam kategori cemas berat sebanyak 26 orang
2017) dengan tingkat dengan teknik (72,2%). Hasil analisis bivariat menunjukan p-value= 0,000 < a 0,05
PL
kecemasan orang pengambilan sampel: artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan
tua yang memiliki purposive sampling E orang tuadan nilai (r) = 0,372 yang menunjukan adanya korelasi yang
anak autisme di rendah.
SLB Bhakti Luhur
Malang
Tussofa, Tingkat kecemasan Partisipan sebanyak Metode deskriptif kuantitatif Ibu mengalami tingkat kecemasan ringan sebanyak (5,9%) tingkat
Mila ibu yang memiliki 17 ibu yang memiliki dengan rancang penelitian kecemasan sedang sebanyak (52,9%), mengalami kecemasan berat
(Laporan anak autis usia anak autis survei. sebanyak (41,2%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian ibu
penelitian, 6-7 tahun di SLB mengalami tingkat kecemasan sedang sebanyak 9 orang.
2015) Semesta Mojokerto
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Ginting, Hubungan antara Partisipan sejumlah Metode kuantitatif dengan Terdapat hubungan positif harga diri dengan sikap penerimaan; harga
Ernita harga diri dan 30 ibu-ibu yang alat ukur: skala sikap diri menerangkan variabilitas dan memberikan sumbangan sebesar
Mariana tingkat pendidikan memiliki anak autis penerimaan, skala harga diri. 14.28% terhadap variabilitas sikap penerimaan; tingkat pendidikan
(Jurnal, dengan sikap Analisis data menggunakan memiliki hubungan positif dengan sikap penerimaan sebesar 40,19%
2017) penerimaan ibu regresi ganda. tingkat pendidikan memberikan sumbangan terhadap variabilitas
terhadap anak autis sikap penerimaan; Terdapat hubungan yang signifikan antara harga
di Yayasan I-Home diri dan tingkat pendidikan dengan sikap penerimaan ibu, dan secara
Schooling Medan bersamaan menyumbang sebesar 47,4% terhadap sikap penerimaan
ibu.
Sofia, Kepatuhan Partisipan sebanyak Desain deskripstif kuantitatif, Sebagian besar tidak patuh dalam menerapkan diet GFCF (diet kasein
Amilia orang tua dalam 40 orang tua yang analisis univariat. Instrumen : dan gluten), masih rendahnya pengawasan dan diet yang tidak
Destiani menerapkan terapi memiliki anak autis angket. dilakukan secara konsisten. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya
(Jurnal, diet gluten free faktor-faktor yang ikut berpengaruh/ menghambat sehingga orang tua
SA
2012). casein free pada M kesulitan dalam menerapkan diet GFCF pada anaknya.
anak penyandang
autisme di Yayasan
Pelita Hafizh dan
SLBN Cileunyi
PL
Bandung E
Kusumast Stres ibu tunggal Partisipan sebanyak Metode kualitatif dengan Gambaran ibu tunggal yang memiliki anak autis dapat mengakibatkan
uti, Astri yang memiliki anak satu orang ibu pendekatan studi kasus stres pada orang tua tunggal karena beban tanggung jawab dalam
Nur (Jurnal, autis tunggal dengan anak merawat anak yang biasanya dipegang oleh pasangan suami istri harus
2014) autis ditanggung seorang diri oleh orang tua tunggal yaitu ibu. Faktor-faktor
yang menyebabkan stres ibu tunggal juga dapat disebabkan oleh
kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus, kebutuhan ekonomi
serta adanya rasa malu dengan kondisi diri.

49
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Wardani, Strategi coping Sejumlah orang tua Pengumpulan data dengan Strategi coping pada orang tua yang mempunyai anak autis

50
Desi orang tua yang memiliki anak interview, teknik analisis data: berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi (Problem
Sulistyo menghadapi anak autis analisis induktif deskriptif. Focused Coping), sedangkan bentuk perilaku coping yang muncul yaitu
(Jurnal, autis Instrumental Action yang termasuk dalam Problem Focused Coping dan
2009) Self-Controlling, Denial, dan Seeking Meaning yang termasuk dalam
Emotion Focused Coping. Dampak positif dari perilaku coping yang
dilakukan oleh orang tua yaitu Exercised Caution dan Seeking Meaning,
sedangkan dampak negatif yang muncul diatasi orang tua dengan
Intropersitive, Negotiation, dan Accepting Responbility.
Yunianti, Sumber stres dan Sejumlah ibu-ibu Desain penelitian: kuantitatif Sumber stres yang paling banyak dialami: sumber stres berasal dari
Nita cara menanggulangi yang memiliki anak ex post facto yang bersifat individu (26,5%), sumber stres yang paling sedikit: sumber stres yang
(Skripsi, stres pada ibu autis deskriptif. berasal dari individu & lingkungan (6%) dan “tidak stres” (6%). Cara
2011) dewasa muda yang menanggulangi stres yang paling banyak: problem focused coping (85%),
memiliki anak autis yang paling sedikit: emotion focused coping (15%).
di Jakarta
SA
Susanti, Representasi Partisipan sebanyak Metode kualitatif, teknik
M Kelima orang tua dapat menerima sepenuhnya kondisi anak,
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Hevi konsep diri orang 5 orang tua yang pengumpulan data dengan dipengaruhi faktor dukungan dari keluarga besar, kemampuan
(Jurnal, tua yang memiliki memiliki anak autis wawancara dan observasi. keuangan keluarga, latar belakang agama, tingkat pendidikan, status
2014) anak autis perkawinan, usia serta dukungan para ahli dan masyarakat umum.
PL
Boham, Pola komunikasi Sejumlah orang tua Variabel penelitian: perhatian,
E Penanganan orang tua: pentingnya informasi tentang kondisi anak,
Sicillya E orang tua dengan yang memiliki anak pengertian, penerimaan. konsultasi dengan para profesional, sebaiknya orang tua dapat
(Jurnal, anak autis autis Metode kualitatif dengan menjalankan program-program penanganan yang telah didapati anak
2013) pendekatan fenomenologi di sekolah, dan secara teratur orang tua juga konsisten menjalankannya
selama di rumah. Orang tua sebaiknya memahami ketika berinteraksi
degan anak seperti kontak mata, memberikan pujian, pelukan.
Pamungka Pelatihan Partisipan penelitian: Metode mix methods dengan Skor stres pengasuhan berada pada tinggi dan sedang. Hasil analisis
s, Ari keteranpilan orang tua yang tipe sequential explanatory. dengan uji Mann Whitney menunjukkan hasil yang signifikan dengan
(Jurnal, pengasuhan autis memiliki anak autis, Kuantitatif dengan nilai Z = -2,337 dengan nilai p = 0,19 (p<0,05). Hasil dari uji Friedman
2015) untuk menurunkan rentang usia dewasa nonrandomized preest- pada kelompok eksperimen diperoleh hasil signifikan dengan nilai chi-
stres pengasuhan (25-45 tahun), latar posttest control, kualitatif square sebesar 8,000 dan dan p = 0,018 (p<0,05), dan pada kelompok
pada ibu dengan belakang pendidikan dengan wawancara dan kontrol diperoleh hasil tidak signifikan dengan nilai chisquare sebesar
anak autis minimal SMA observasi. Variabel penelitian: 5,571 dan p = 0,062 (p>0,05). Stres pengasuhan pada ibu dengan anak
keterampilan pengasuhan dan autis mengalami penurunan setelah diberikan intervensi pelatihan
stres pengasuhan keterampilan pengasuhan autis.
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Marettih, Melatih kesabaran Partisipan sebanyak Metode kualitatif Coping sebagai pembelajaran untuk melatih kesabaran, wujud rasa
Anggi K.E dan wujud rasa 4 orang tua yang fenomenologi. Teknik syukur serta menyadari pentingnya dukungan sosial dari orang lain
(Jurnal, syukur sebagai memiliki anak autis. pengambilan data dengan dalam mengasuh anak autis. Pemaknaan coping bagi orang tua
2017) makna coping bagi Teknik pengambilan wawancara mendalam. merupakan sebuah proses pengalaman dan pembelajaran hidup
orang tua yang sampel: purposive yang akan meningkatkan kapasitas internal mereka. Bersyukur atas
memiliki anak autis sampling anugerah anak yang telah diberikan Tuhan menjadi ajang untuk
melatih kesabaran diri, sehingga mereka mampu menjalankan
perannya sebagai orang tua dengan baik dan benar. Coping ibu
lebih menggunakan problem focused coping, coping ayah cenderung
emotional focused coping.
Milyawati , Dukungan keluarga, Partisipan sejumlah Metode kuantitatif dengan Hampir separuh ibu (45,2%) memperoleh dukungan keluarga yang
Lia (Jurnal, pengetahuan, 31 ibu yang memiliki pendekatan cross sectional kurang kuat, namun (51,6%) ibu memiliki pengetahuan yang baik
2009) persepsi ibu serta anak autis study. mengenai anak dan memiliki persepsi positif terhadap anak anak
SA
hubungannya M (54,8%). Pengetahuan ibu tentang anak tidak berhubungan dengan
dengan strategi karakteristik keluarga maupun anak. Persepsi ibu tentang anak semakin
koping ibu pada baik pada anak yang lebih muda (r=-0,464) dan pada anak yang baru
anak dengan mengikuti terapi (r=-0,389).
gangguan ASD
PL
Meliani Hubungan antara Partisipan sejumlah Metode kuantitatif dengan E Terapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan
(Jurnal, kecerdasan 26 orang ibu-ibu yang teknik korelasi pearson depresi, artinya semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang,
2007) emosional dan memiliki anak autis product moment. Alat ukur: semakin ringan tingkat depresi yang dialami. Semakin rendah
depresi pada ibu kecerdasan emosional dan kecerdasan emosional seseorang, semakin berat tingkat depresi yang
yang memiliki anak Beck Depression Inventory dialami.
dengan gangguan adaptasi).
autisme

51
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
52
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Noor, Pengalaman ibu Partisipan sejumlah 5 Metode kualitatif dengan Terdapat kejanggalan pada anak autisme, meliputi sikap cuek dan suka
Mumiati dalam merawat ibu-ibu yang memiliki pendekatan fenomenologi. menyendiri, main tidak semestinya, tidak bisa berbicara sesuai usianya,
(Jurnal, anak autis usia anak autis Analisis data menggunakan kontak mata tidak ada, gangguan tidur, hiperaktif serta tidak berespons
2014) sekolah analisa tematik saat dipanggil. suka dan duka banyak dihadapi oleh orang tua saat
merawat anak dengan anak autisme, mulai dari proses penerimaan
(shock, sedih, takut, cemas, bersalah ataupun dipersalahkan akan
keadaan anak), penolakan keluarga dan lingkungan terhadap anak
autisme.
Muniroh, Dinamika resiliensi Partisipan orang tua Metode kualitatf, pendekatan Pembentukan resiliensi orang tua dipengaruhi faktor internal dan
Siti orang tua anak autis yang memiliki anak fenomenologi. Pengumpulan faktor eksternal. Pada saat pertama anak terdiagnosis autis, secara
Mumun autis data: in-depth interview dan kognitif : orang tua merasa cemas, stres, dan menyalahkan diri mereka
(Jurnal, observasi sendiri; secara afektif orang tua merasa cemas, bingung dan sedih.
2012) Setelah beradaptasi dan memaknai, orang tua merasa lebih positif,
SA
M menerima, dan termotivasi untuk mencari pemecahan masalah anak.
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Hanoum, Rancangan modul Partisipan ibu-ibu Pengambilan data dengan Modul permulaan untuk program pelatihan menjadi panduang untuk
Magdalen pelatihan untuk ibu yang memiliki anak kuesioner. Tahap pertama: mendukung ibu dengan anak autis. Modul ini dapat meningkatkan
a (Modul, yang memiliki anak autis deskripsi dan profil pengetahuan dan keahlian ibu. Ibu-ibu dapat mengaplikasikan
PL
2015) autis pengetahuan dan keahlian E pengetahuan dan keahlian dari program pelatihan ini dalam kehidupan
ibu. Tahap kedua: membuat sehari-hari.
rancangan modul.
Pujiastuti, Hubungan antara Partisipan sejumlah Analisis data dengan regresi Terdapat hubungan signifikan antara dukungan ayah, pengetahuan
Umi dukungan ayah, 55 ibu-ibu yang berganda dan religiusitas dengan penerimaan ibu. Sumbangan bersama dari
(Tesis, pengetahuan ibu memiliki anak autis dukungan ayah, pengetahuan tentang autis dan religiusitas (dimensi
2014) tentang anak autis praktik agama) terhadap penerimaan ibu = 0,380 (38,0%).
dan religiusitas
(dimensi praktik
agama) dengan
penerimaan ibu
terhadap anak autis
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

DePape dan Lindsay (2015) telah melakukan kajian metasintesis pa­


da sejumlah penelitian kualitatif tentang pengalaman orang tua dalam
mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Metasintesis dilakukan
un­tuk mengintegrasikan bukti penelitian kualitatif dengan meninjau se­
jum­lah 4148 abstrak bersumber dari database elektronik, melibatkan 160
ayah dan 425 ibu dan melakukan perbandingan dari sejumlah artikel
yang ada. Hasil temuan mereka menemukan dalam pengasuhan orang tua
yang memiliki anak autis terdapat enam utama, yaitu: 1) pradiagnosis;
2) diag­­nosis; 3) family life adjustment; 4) navigating the system; 5) parental
em­po­wer­ment 6) moving forward. Hasil metasintesis ini sangat baik untuk
dikaji dan dipahami, tidak hanya bagi orang tua yang memiliki anak autis,
namun bagi para peneliti yang ingin mengkaji pengalaman pengasuhan
orang tua dari anak autis.
Hasil metasintesis ini mengacu pada tahapan-tahapan Model Siklus
Kehidupan Keluarga (Family Life-Cycle Model) oleh Carter dan McGoldrick
(1988). Model ini menjelaskan bahwa orang tua yang memiliki anak autis
akan mengalami setiap tahapan secara berurutan, namun setiap orang
tua merasakan pengalaman yang berbeda-beda pada setiap tahapannya.
E

Model Siklus Kehidupan Keluarga ini merupakan perspektif teoretis yang


PL

dapat membantu para peneliti dan para profesional di bidang kesehatan


untuk memahami kondisi pengalaman orang tua sesuai konteksnya (Car­
M

ter & McGoldrick, 1988). Model ini juga dapat membantu untuk mema­
SA

hami bagaimana perkembangan keluarga dalam merespon tantangan pada


setiap tahapan model (dalam Carter dan McGoldrick [1988]).
1. Pradiagnosis
Pada tahapan ini, orang tua mendeteksi dan merasakan bahwa ter­
jadi sesuatu yang berbeda dari anak-anak mereka, kemudian mulai
mencari jawabannya kepada para profesional kesehatan. Pada umum­
nya orang tua merasakan sesuatu yang berbeda pada diri anak, misal­
nya anak tidak mampu mendengar, minimnya kontak mata, kemudi­
an orang tua memastikan kondisi anak dengan membawanya kepada
para profesional kesehatan (misal­nya dokter, psikolog).
2. Diagnosis
Setelah berkonsultasi dengan dokter dan didapati bahwa anaknya
terdiagnosis mengalami gangguan spektrum autis, ada perasaan lega
bercampur cemas setelah mengetahui kondisi anak, lega karena te­
lah mengetahui kondisi yang dialami anak sehingga orang tua dapat
belajar langkah-langkah tepat yang harus diambil dalam menyikapi
kondisi anak, namun merasa cemas mengingat masa depan anak yang

53
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

suram. Orang tua juga merasa bersalah dan disalahkan, khususnya


bagi ibu mulai merefleksikan kembali faktor-faktor penyebab yang
terjadi selama atau setelah masa kehamilan sehingga mengakibatkan
anak mengalami gangguan spektrum autis, seperti faktor kurang
menyusui (Alqahtani, 2012). Faktor-faktor penyebab lainnya seperti
pengaruh budaya dan agama di suatu daerah tertentu, misalnya
penelitian yang dilakukan oleh Alqahtani (2012) menemukan seorang
ibu merasa anaknya kemungkinan korban dari sihir hitam. Penyebab
lainnya yang diduga anak mengalami autis adalah faktor genetika,
ke­lainan struktur otak, dan alergi (Altiere & von Kluge).
3. Family life adjustment
Orang tua kemudian mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang
dialami anak dan rutinitas sehari-hari, serta bagaimana orang tua
dapat diterima oleh orang lain dan keluarga (Fletcher dkk., 2012),
karena mengasuh anak autis tidak dapat dilakukan sendiri oleh se­
orang pengasuh (misal ibunya saja atau ayahnya saja). Perlu keter­
li­
batan dan kerja sama yang baik dari berbagai pihak, mengingat
gangguan perkembangan yang dialami anak autis merupakan gang­
E

guan perkembangan kompleks, dengan tujuan agar orang tua merasa


PL

tidak sendiri. Orang tua rentan mengalami frustrasi karena banyaknya


waktu tersita untuk mera­wat anak, minimnya waktu untuk dirinya
M

sendiri dan untuk anggota keluarga lainnya (Fletcher dkk., 2012).


SA

Pada tahapan penyesuaian kehidupan keluarga ini juga terjadi per­


ubahan terkait kondisi keuangan dan karier setelah anak terdiagnosis
autis (Aylaz dkk., 2012). Orang tua mengatakan bahwa mereka perlu
bekerja untuk menyediakan tambahan keuangan bagi kebutuhan anak
autis (Fletcher dkk., 2012.), namun bagi beberapa orang tua justru
harus berhenti dari pekerjaan karena beratnya tuntutan mengasuh
anak autis (Altiere & von Kluge, 2009). Tidak sedikit biaya yang dibu­
tuhkan dalam merawat anak autis, orang tua merasa kewalahan dalam
mengasuh anak, dan ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan
mereka (Altiere & von Kluge, 2009; Fletcher dkk., 2012). Orang tua
merasa stres, kelelahan, dan mengalami masalah kesehatan (Altiere &
von Kluge), 2009; orang tua merasa kehidupannya tidak akan pernah
berubah (Ludlow dkk., 2011), adanya harapan dan masa depan yang
tidak pasti merawat anak (Shu dkk.). Kondisi ini mengakibatkan orang
tua mengalami stres pengasuhan, yang mengarah pada penilaian diri
negatif, seperti menganggap diri mereka sendiri sebagai pengasuh
yang kurang berkompeten (Ludlow dkk., 2011).

54
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

Pengasuhan pada anak autis juga berdampak positif dan negatif pada
hubungan dengan pasangan (Aylaz dkk., 2012). Beberapa penelitian
mendapati terdapat hubungan baik dan semakin dekat dengan pa­
sang­an mereka dalam proses merawat anak autis (Aylaz dkk., 2012).
Namun pada kasus lain, para ibu merasa kurang mendapatkan du­
kungan dari pasangannya (Gray, 2003), saling menyalahkan atas
kondisi anak (Fletcher dkk.), akhirnya berujung pada perceraian (Di­
van dkk., 2012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua
cukup rentan mengalami dampak negatif dengan pasangannya, dan
pada saudara kandung dari anak autis. Orang tua melaporkan anak-
anak mereka yang lain merasa bahwa mereka tidak diperlakukan
sa­ma seperti saudaranya yang mengalami gangguan perkembangan
(Aylaz dkk., 2012). Orang tua lebih banyak menghabiskan waktu un­
tuk merawat anaknya yang autis dibandingkan anaknya yang lain,
bahkan beberapa saudara kandung mengalami kecemasan dan tingkat
kewaspadaan yang cukup tinggi karena takut disakiti oleh saudara­
nya yang autis (Hutton & Caron). Namun tidak selamanya memiliki
hubungan yang negatif, terdapat pengaruh positif seperti saudara yang
E

lebih tua biasanya akan mengayomi dan membantu orang tua da­lam
PL

merawat adiknya yang autis (Aylaz dkk., 2012); beberapa saudara


kan­dung bertindak sebagai mediator untuk saudara kandungnya yang
M

autis (Neely-Barnes dkk.); saudara kandung menunjukkan pening­­kat­


SA

an perilaku untuk lebih sabar, kemungkinan karena telah beradaptasi


atas hubungannya dengan saudaranya yang autis (Markoulakis dkk.).
Pada tahapan penyesuaian setelah anak terdiagnosis autis, orang tua
terkadang merasakan kecemasan dan malu untuk membawa anaknya
ke tempat umum, mengingat perilaku anak autis yang tidak dapat
ditebak, misalnya pada saat di tempat undangan, anak akan menjerit
dan menutup telinganya rapat-rapat begitu mendengar suara musik,
atau anak akan berguling-guling di lantai karena merasa keinginannya
tidak terpenuhi. Orang tua sering menerima kritikan dan cemohan dari
orang lain yang tidak mengerti akan kondisi anaknya (Ludlow dkk.,
2011). Orang tua akan menyikapinya dengan reaksi yang berbeda-
beda, ada yang mengabaikan dan cenderung cuek dengan omongan
orang lain, namun ada juga orang tua yang justru menjelaskan dan
memberikan pemahaman/edukasi terkait kondisi anaknya (Neely-
Barnes dkk).
4. Navigating the system
Setelah melalui tahapan pradiagnosis, diagnosis anak, kemudian pe­

55
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

nyesuaian atas kondisi anak, maka tahapan selanjutnya adalah bagai­


mana orang tua mulai membuat sistem untuk mengakses program dan
memberikan layanan yang terbaik bagi anak autis (Alqahtani, 2012).
Orang tua juga mulai fokus terhadap sistem sekolah anak, apakah
anak akan tetap dimasukkan pada sekolah umum bergabung dengan
anak-anak lain yang perkembangannya normal atau anak akan belajar
di sekolah atau lembaga khusus autis.
Tantangan lainnya pada tahapan ini adalah pemberian treatment
yang tepat bagi anak autis. Orang tua memiliki pengalaman positif
pada proses ini, seperti memiliki hubungan yang baik dengan para
pro­fe­sional (misalnya dokter, psikolog), namun didapati juga orang
tua yang memiliki komunikasi tidak efektif saat berkonsultasi dengan
me­reka. Tantangan berikutnya adalah orang tua harus membawa
anak terapi meskipun jaraknya yang cukup jauh dari tempat tinggal
(Hutton & Caron), sehingga ter­kadang ada keinginan untuk pindah
ke tempat yang lebih dekat dengan sarana dan prasarana anak (Fong
dkk.). Secara keseluruhan adalah pentingnya perawatan anak sedini
mungkin dan keterlibatan orang tua dalam proses pengasuhan anak.
E

5. Parental empowerment
PL

Pemberdayaan orang tua terjadi biasanya setelah orang tua me­la­


kukan pemenuhan kebutuhan anak autis, yang akhirnya ber­dam­pak
M

positif dan orang tua mampu mengontrol diri mereka sendiri (Fong
SA

dkk.). Banyak cara yang bisa dilakukan orang tua, misal­nya orang
tua mencari informasi baik dengan cara membaca maupun berga­
bung dengan komunitas dari orang tua yang me­miliki anak autis ter­
kait gangguan dan penanganan yang tepat bagi anak, kesehatannya,
pendidikan, dan cara perawatannya (Mar­koulakis dkk., 2012); orang
tua menerapkan teknik-tek­nik intervensi selama di rumah (Safe dkk.,
2012); orang tua meng­edukasi keluarga dan
orang lain tentang kondisi anak (Safe dkk., 2012) (dalam Carter dan
McGoldrick (1988).
Manfaat bergabung dengan komunitas orang tua autis juga di­jelaskan
oleh Mudjito, dkk. (2014), antara lain:
a. Dalam komunitas orang tua autis merasa bahwa tidak hanya
mereka yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
b. Di antara anggota komunitas tersebut saling menguatkan, mem­
beri semangat, menceritakan pengalaman-pengalaman me­ reka
da­lam pengasuhan anak penyandang autis.
c. Orang tua bisa mengadakan diskusi, seminar atau workshop un­tuk

56
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

mereka dengan mengundang pakar di bidang autis.


d. Mendapat lebih banyak informasi dan dukungan. Informasi
yang didapat akan lebih beragam, mulai dari terapi atau meto­
de pengobatan dan penanganan terbaru, tempat te­rapi, mencari
terapis yang tepat, sekolah, tempat menjual suple­men, cara me­
nangani anak tantrum, hingga mood swing. Namun ada satu hal
yang harus diingat bahwa setiap anak ti­dak mesti sama, sehingga
orang tua harus pintar dan pa­ham mencobakan suatu treatment
pada anaknya. Mencari saran yang dapat diterima, mudah dipa­
hami, dan sesuai de­ngan keadaan keluarga mereka. Setiap anak
unik dan kebutuhannya berbeda.
e. Komunitas orang tua autis juga bisa melakukan hal-hal yang ber­
sifat sosial. Bisa melakukan gerakan untuk memberikan edu­kasi
kepada masyarakat. Bagi masyarakat awam, gerakan dari komu­
nitas tentu memiliki dampak dan tujuan.
6. Moving forward.
Setelah orang tua menerima diagnosis pada anak mereka, maka ke­
mudian orang tua mulai untuk bergerak maju ke depan, melihat
E

kemajuan anak dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, serta


PL

ikut terlibat dalam perawatan anak. Pada tahapan ini juga orang tua
menggambarkan sisi positif dari mengasuh anak mereka, orang tua
M

merasa bahwa anak adalah anugerah, dan mereka adalah pilihan


SA

Tuhan dengan diberikannya anak istimewa. Dampak positif yang di­


da­pat orang tua adalah mereka menjadi individu yang lebih dewasa
dan matang, lebih tenang dalam menyikapi permasalahan hidup, dan
lebih mendekatkan diri secara agama (Luong dkk., 2009).
Se­telah merasa diri lebih baik, beradaptasi dengan kondisi anak dan
telah menerima diagnosis anak, maka kemudian orang tua mulai
konsentrasi terhadap masa depan anak. Orang tua menya­dari keter­
ba­tasan yang dialami anak dan cemas apakah anak memiliki ke­mam­
puan untuk melakukan pekerjaan yang aman, alasan ini lah yang me­
motivasi orang tua untuk memberikan penanganan yang tepat buat
anak, melatih kemandirian anak, usaha-usaha kemandirian yang di­
la­kukan orang tua diharapkan sangat membantu anak di masa selan­
jutnya kelak.

57
diagnosa anak, maka kemudian orang tua mulai konsentrasi terhadap masa depan
anak. Orang tua menyadari keterbatasan yang dialami anak dan cemas apakah anak
memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang aman, alasan ini lah yang
memotivasi orang tua untuk memberikan penanganan yang tepat buat anak, melatih
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
kemandirian anak, usaha-usaha kemandirian yang dilakukan orang tua diharapkan
sangat membantu anak di masa selanjutnya kelak.
1 . Pradiagnosis

Child Spouse
6 . Moving 2 . Diagnosis
with ASD Peers
Forward
Siblings School
Officials

PARENT
Extended Community
Family Groups

5 . Parental Religious 3 . Family Life


Health care Groups
Empowerment Profesionals Adjustment

4 . Navigating the
System

Gambar.3. Model pengalaman orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis.
Gambar.3. Model pengalaman
(The Familyorang tua yang
Life-Cycle memiliki
Model, Carter &anak dengan gangguan
McGoldrick, 1988) spektrum autis.
(The Family Life-Cycle Model, Carter & McGoldrick, 1988)
Selain kajian metasintesis tentang pengalaman orang tua dalam mengasuh anak
autis yang telah dilakukan oleh DePape dan Lindsay (2015), kemudian penulis juga
Selain kajian metasintesis tentang pengalaman orang tua dalam
memaparkan di dalam buku ini tentang hasil penelitian oleh Luong dkk (2009) tentang
mengasuh anak autis yang telah dilakukan oleh DePape dan Lindsay
pengasuhan orang tua di kawasan Asia Tenggara khususnya Vietnam yang memiliki anak
(2015), kemudian penulis juga memaparkan di dalam buku ini ten­tang
autis. Berdasarkan hasil analisis mendalam dari hasil wawancara, maka terdapat sembilan
hasil penelitian oleh Luong dkk. (2009) tentang pengasuhan orang tua
E
tahapan strategi koping yang umum dilakukan orang tua yang memiliki anak autis,
di kawasan Asia Tenggara khususnya Vietnam yang memiliki anak autis.
PL

Berdasarkan hasil analisis


kesembilan tahapan mendalam dari hasil wa­wan­ca­ra, maka terdapat
tersebut adalah:

sembilan tahapan strategi koping coping


yang umum di­lakukan orang tua yang
M

1. Tahapan pertama: Denial/Passive

memiliki anak autis, kesembilan tahap­­ananak


Penolakan dan koping pasif sebelum ter­­sebut adalah:
terdiagnosa merupakan strategi
SA

1. Tahapan pertamapertama: Denial/Passive


yang digunakan coping
oleh keseluruhan partisipan dalam penelitian Luong dkk
Penolakan dan koping pasif sebelum anak
(2009). Pada tahapan ini, orang tua berkonsentrasi terdiagnosis
akan merupakan
perilaku anak, atau orang
strategi pertama
tua tidak yang
memikirkan digunakan
bahwa oleh
kelainan yang keseluruhan
dialami anak adalahpartisi­
sebuah p an dalam
masalah,
penelitian Luong dkk. (2009). Pada tahapan ini, orang
serta kurangnya informasi tentang kondisi anak autis dan rendahnya dukungan tua berkon­
sentrasi akan perilaku
dari keluarga anak, atau
dan para profesional. Hal orang tua memperburuk
ini semakin tidak me­­­m­­harapan
i­kirkanorang
bahwa
kelainan yang dialami anak adalah sebuah masalah, serta kurangnya
informasi tentang kondisi anak autis dan ren­dahnya dukungan dari
keluarga dan para profesional. Hal ini semakin memperburuk harapan 49
orang tua, penolakan, dan pa­sif. Beberapa orang tua mencari pendapat
kedua dari para profe­sio­nal, atau menolak diagnosis.
2. Tahapan kedua: Empowerment
Setelah mengetahui diagnosis dan kondisi yang dialami anak, tahapan
selanjutnya adalah pemberdayaan diri orang tua. Kondisi ini terjadi
ketika orang tua cemas akan permasalahan anak mereka. Orang tua
merasakan hal yang penting akan jawaban terkait kondisi anak, dan
berupaya melakukan pengontrolan diri akan ketidakpastian ganggu­
an yang dialami anak. Pada tahapan ini, orang tua juga merasakan

58
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

frustrasi, marah, kesedihan, tidak percaya, kekecewaan, tidak berdaya,


dan kurang dukungan.
3. Tahapan ketiga: Redirecting energy
Pada tahapan ini, orang tua terlibat dalam rencana perawatan anak,
seperti: mencari tempat terapi setelah jam sekolah, layanan bimbingan
di rumah, mencari perawatan alternatif seperti peng­obatan herbal,
suplemen diet, nutrisi khusus, terapi suara, dan terapi lainnya yang
tepat buat anak).
4. Tahapan keempat: Shifting of focus
Orang tua mulai fokus untuk melanjutkan strategi koping akan hasil
diagnosis anak. Kesejahteraan anak menjadi hal yang utama bagi
orang tua, karir dan kebahagiaan mereka sendiri bukanlah prioritas
utama.
5. Tahapan kelima: Rearranging life and relationships
Sebagian para ibu dari partisipan ini melaporkan bahwa mereka telah
mengulang dan mengatur jadwal untuk lebih banyak meng­habiskan
waktu buat anak mereka, berhenti dari pekerjaan agar lebih banyak
waktu tercurah buat anak mereka, mengurangi kebiasaan belanja,
E

dan lebih bertanggung jawab atas perannya, meskipun terbatasnya


PL

dukungan yang diterima dari pasangan, tetapi ibu tetap berusaha


untuk membina hubungan yang baik dengan pasangan.
M

6. Tahapan keenam: Changed expectations


SA

Orang tua memahami kekurangan dan keterbatasan anak. Selama


tahapan ini, orang tua berusaha mengembangkan rutinitas realistis
yang sesuai untuk kebutuhan anak. Orang tua mengubah harapan me­
reka yaitu memiliki anak dengan perkembangan normal, ke­mudian
orang tua tidak terlalu menuntut dan memaksakan anak, karena akan
membuat anak dan orang tua merasakan kelelahan dengan terapi yang
dilakukan, namun disesuaikan dengan kebu­tuhan anak dan berharap
anak selamat dan bahagia.
7. Tahapan ketujuh: Social withdrawal
Merawat anak dengan gangguan spektrum autis secara fisik dan psi­
kologis menuntut dan cukup memakan waktu. Orang tua mela­por­kan
bahwa mereka merasa ditinggalkan dalam pertemuan sosial, karena
kebanyakan orang lain tidak memahami kondisi anak mereka, sehing­
ga orang tua lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama
anak. Orang tua juga merasakan adanya stigma negatif dari masyara­
kat dengan budaya di Asia Tenggara, misalnya jika orang tua memiliki
masa lalu yang buruk di kehi­dupannya, maka akan berdampak pada

59
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

kehidupan sekarang, masyarakat percaya akan karma buruk yang me­


mengaruhi kehi­dupan mereka sekarang.
8. Tahapan kedelapan: Spiritual coping
Keseluruhan partisipan meskipun berasal dari agama yang ber­beda,
mengungkapkan bahwa mereka menggunakan sumber spiri­tual se­
ba­gai koping, seperti berdoa dan beribadah di ru­mah, membangun
kem­ bali harapan mereka. Orang tua juga meng­­ ungkapkan dengan
keyakinan agama, maka hidup mereka memiliki tujuan dan lebih
bermakna.
9. Tahapan kesembilan: Acceptance
Tahapan penerimaan ini terjadi ketika orang tua sudah ber­ adap­
tasi dan menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang dimiliki anak,
dan kemudian mempersiapkan masa depan anak. Orang tua terus
berusaha memelihara tumbuh kembang anak dan menjaga hubungan
baik orang tua dan anak.

Berdasarkan hasil penelitian Luong, dkk. (2009) di atas menun­jukkan


eratnya pengaruh budaya dalam memengaruhi kondisi psiko­ logis ibu
E
yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis, seperti adanya ang­
PL

gapan kehidupan masa lalu orang tua dan ada­nya karma buruk memenga­
ruhi kondisi anak sekarang. Hal ini juga terlihat dari beberapa hasil pe­
M

ne­litian yang telah dilakukan di budaya Asia, seperti di China penelitian


SA

yang dilakukan oleh Liu (2005); Ghosh dan Magana (2009) menunjuk­
kan dengan memiliki anak disabilitas dipandang sebagai sebuah kegagal­
an keluarga. Pada masyarakat China segala urusan yang mengekspos
ke­luarga dengan anak disabilitas akan menerima kritikan dan menjadi
aib, sehingga harus disembunyikan/ditutupi (Liu, 2005). Beberapa pene­
litian sebelumya menghasilkan penelitian bahwa orang tua di China yang
memiliki anak dengan gangguan perkembangan akan menghindar dan
enggan untuk mencari dukungan dan bantuan orang-orang di luar keluar­
ganya, disebabkan adanya perasaan malu (Holroyd, 2003).
Pada orang tua di Iran yang memiliki anak dengan gangguan autis
menunjukkan kesamaan seperti penelitian sebelumnya, bahwa orang tua
akan mengalami kondisi cemas, depresi, kualitas hidup ren­dah, menu­
runnya kesejahteraan psikologis, dan mengalami kondisi tertekan. Peran
budaya dan agama dalam memengaruhi pengasuhan orang tua dianggap
berperan penting. Keyakinan yang kuat terhadap agama membantu orang
tua dalam strategi koping, mampu meningkatkan resiliensi orang tua, dan
menurunkan kondisi psikologis negatif, seperti cemas, depresi, distress

60
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

(Kousha, Attar, & Shoar, 2015).


Penelitian oleh Bilgin dan Kucuk (2010) tentang pengasuhan ibu yang
lebih mendominasi dalam perawatan anak autis di Turki, sehingga me­
reka terpaksa berhenti bekerja agar dapat fokus merawat anak, sedang­
kan ayah lebih bertanggung jawab dalam hal finansial. Bagi keluarga di
Turki, meskipun keluarga tetap mendapati stigma dari masyarakat, akhir­
nya permasalahan dapat diselesaikan melalui berbagi dengan dan mende­
ngarkan orang lain, rasa saling solidaritas dan dukungan timbal balik akan
menguatkan pengasuhan pada keluarga yang memiliki anak autis.
Pengasuhan ibu yang memiliki anak autis di Korea Selatan juga per­
nah dilakukan oleh Lee (2011). Orang tua mampu mengatur stres peng­
asuh­an dalam merawat disabilitas termasuk autis dengan cara yang ber­
beda karena pengaruh latar belakang budaya. Masyarakat Korea Selatan
dipengaruhi oleh ide Konfusianisme, di mana ajarannya mementingkan
ke­bajikan dan kepatuhan kepada orang tua, sopan santun, dan merasa
malu tatkala tidak mengikuti aturan-aturan sosial yang berlaku. Orang tua
yang memiliki anak disabilitas akan merasa sangat bersalah karena merasa
telah mewariskan secara genetik ketu­runan yang mengalami keterbatasan.
E

Jika terjadi sesuatu yang buruk pada anak, maka diasumsikan bahwa ini
PL

merupakan kesalahan dan tanggung jawab orang tua (Kim, Wigram, &
Gold, 2009). Perasaan bersalah ditambah dengan stigma negatif meme­
M

nga­ ruhi munculnya stres pengasuhan, namun usaha orang tua untuk
SA

terbuka mendiskusikan masalah pribadi mereka dan mencari dukungan


agar orang tua merasa lebih baik dalam merawat anak.
Hasil penelitian yang berbeda di Taiwan, orang tua yang memiliki
anak dengan gangguan perkembangan akan mencari dukungan atau sum­
ber daya, termasuk dukungan informasi, layanan profesional, dukungan
psikologis, dan layanan sosial di dalam masyarakat (Chen, 2008. Pene­
litian Tao (2004) semakin menguatkan bahwa orang tua yang memiliki
anak autis akan berusaha mencari informasi yang berhu­bungan dengan
pengasuhan dan pendidikan, kepedulian para profesional, dan dukung­
an psikologis dari anggota keluarga. Hasil penelitian Lin, Orsmon, Cos­ter
dan Cohn (2010) bahwa orang tua membutuhkan dukungan sosial dan
penggunaan koping, seperti ibu-ibu di Taiwan dilaporkan lebih sering
meng­gunakan strategi problem focused coping mampu menurunkan geja­
la depresi dan cemas, dan emotion focused coping mampu meningkatkan
adaptasi, kohesi keluar­ga dan menurunkan gejala depresi.
Perbedaan juga terlihat dari beberapa penelitian di negara Ba­ rat,
orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis dilaporkan

61
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

lebih cepat beradaptasi dengan kondisi anak dan ber­ku­rang­nya stres peng­
asuhan karena mendapatkan dukungan sosial dan cenderung lebih terbu­
ka dengan kondisi anaknya (Bristol, 1984; Sharpley, Bitsika, & Efremidis,
1997).
Terdapat pengaruh perbedaan budaya dalam mengasuh anak autis
juga telah dilakukan kajian review oleh Ravindran dan Myers (2011).
Hasil review menjelaskan bahwa peran budaya dalam membentuk ke­
luarga, para profesional, dan masyarakat dalam memahami per­ kem­
bang­an disabilitas anak dan pemberian treatment yang tepat. Keyakinan
buda­ya tentang penyebab gangguan perkembangan autis memengaruhi
peng­ambilan keputusan keluarga akan perawatan apa yang digunakan
dan ha­sil apa yang diharapkan. Kontribusi budaya lainnya akan penyebab
individu mengalami gejala autis (misalnya karma, kehendak Allah), dan
pemberian treatment (misalnya aku­punktur, obat-obatan herbal, dan ayur­
veda). Dengan memahami peranan berbagai budaya dapat memberikan
kebermanfaatan yaitu membantu memahami proses treatment dan pene­
rapannya pada suatu bangsa dan budaya.
Demikian juga dengan studi awal yang telah penulis lakukan terha­dap
E

ibu-ibu di Pusat Layanan Autis Yogyakarta, Pusat Layanan Autis Sura­


PL

karta dan Pusat Layanan Autis di Sragen pada tahun 2017, menunjukkan
terdapat beberapa kesamaan tema yang muncul menjadi seorang ibu yang
M

tangguh. Hasil studi awal ini telah dipublikasikan pada Daulay, Ram­
SA

dhani dan Hadjam (2018). Pengalaman ibu dalam mengasuh anak de­
ngan gangguan spektrum autis hingga menjadi seseorang yang tangguh
merupakan sebuah proses, diawali dengan kemampuan bertahan dalam
kondisi sulit dan menekan hingga akhir­nya menjadi ibu yang optimis.
Faktor utama yang membuat ibu mampu bertahan selama mengasuh anak
adalah kemampuan mengon­trol diri, peran agama sebagai koping, dan
persepsi ibu akan dukungan sosial yang diterimanya. Keyakinan terhadap
Tuhan memunculkan sikap optimis ibu untuk terus mengoptimalkan
tumbuh kembang anak, lebih percaya diri dalam mengatasi permasalahan-
permasalahan hidup yang datang silih berganti.
Berbagai kesulitan yang dialami orang tua dan keluarga dapat me­
munculkan stres pengasuhan. Sehingga salah satu cara untuk mem­ber­
fungsikan orang tua adalah dengan meningkatkan kesejaht­era­annya me­
lalui kegiatan parenting support group. Berbagai penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan pegetahuan dan keterampilan orang tua dalam me­
ng­asuh anak. Penulis telah merangkum beberapa penelitian dengan tu­ju­
an pemberian intervensi kepada orang tua termuat Tabel 4.

62
Tabel 4. INTERVENSI KLINIS DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
Evaluasi Empiris Intervensi Psikologi Positif

Nama Peneliti &


Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Mukhtar, D. (2018) Tujuan: mengetahui Group-Based Parenting Deskripsi Aktivitas: Hasil analisis kovarian menunjukkan
Pengaruh group- pengaruh group- Support. Penelitian ini melibatkan 38 subjek penelitian. group-based parenting support
based parenting based parenting Terdapat dua bentuk (31 ibu, 6 ayah dan 1 nenek). Penelitian berpengaruh terhadap stres
support terhadap support terhadap stres variasi group-based menggunakan metode eksperimen dengan pengasuhan, dan dukungan sosial
stres pengasuhan pengasuhan; mengetahui parenting support yang rancangan the untreated control group design tidak berperan sebagai kovariabel.
orang tua yang perbedaan dua metode diteliti, yaitu kelompok with dependent pretest and posttest samples Sumbangan efektifnya 18,4%. Terdapat
mengasuh anak group-based parenting dukungan orang tua dan jenis multiple nonequivalent comparisons group perbedaan stres pengasuhan, yaitu
dengan gangguan support, yaitu keluarga kelompok psikoedukasi Pengukuran: kelompok dukungan lebih efektif
SA
spektrum autis. dukungan, dan keluarga Skala Stres Pengasuhan; Skala Dukungan untuk menurunkan stres pengasuhan
(Disertasi) psikoedukasi terhadap
M
Sosial; Observasi; Tes pengetahuan tentang dibandingkan kelompok psikoedukasi.
stres pengasuhan. pengasuhan anak autis; Kuesioner evaluasi
program.
Durasi:
PL
Pelaksanaan sebanyak 8 x pertemuan selama
E
dua bulan berturut-turut.
Pamungkas, A. Bertujuan membantu Parenting Support/ Deskripsi Aktivitas: Terdapat penurunan stres pengasuhan
(2015) meningkatkan penge­ Parenting Program: Penelitian dilaksanakan pada delapan orang ibu.
Pelatihan tahuan dan keteram­ Bentuk intervensi dengan ibu yang memiliki anak autis di Indonesia,
keterampilan pilan orang tua dalam pemberian dukungan pendekatan penelitian lebih kepada
pengasuhan autis mengasuh anak serta kepada orang tua dan keperilakuan (Tiple-P). Desain eksperimen:
untuk menurunkan meningkatkan kese­jah­ ang­gota keluarga lainnya nonrandomizedpretest-posttest control group
stres pengasuhan teraan psikologis orang (McKeown, 2000) design. Metode group parenting support:
pada ibu dengan tua (Barlow et al., 2010) kelompok psikoedukasi.
anak autis. (Jurnal)

63
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
64
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Hidayati, Fina Tujuan: menentukan Positive parenting Deskripsi Aktivitas: Setelah dilakukan analisis dengan
(2013). pengaruh pelatihan program- triple P, pada Penelitian ini melibatkan 20 orang ibu-ibu yang menggunakan Wilcoxon signed rank
Pengaruh pelatihan “Ibu Cerdas” dalam kelompok psikoedukasi. memiliki anak autis, terbagi ke dalam kelompok (non-parametrik), menunjukkan hasil
“pengasuhan ibu menurunkan stres eksperimen (10) dan kelompok kontrol (10). bahwa pelatihan “Pengasuhan Ibu
cerdas” terhadap pengasuhan ibu yang Penelitian eksperimen yang digunakan the CERdaS” menurunkan tingkat stres
sires pengasuhan memiliki anak autis. untreated control group design with pretest and pengasuhan ibu dari anak autis.
pada ibu dari anak posttest.
autis. (Jurnal) Pengukuran:
Skala Stres Pengasuhan (Parenting Stress Index
Scale).
Durasi:
Dilakukan sebanyak 8 sesi dalam 2 kali
SA
pertemuan selama seminggu. Setiap pertemuan
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

berlangsung selama ± 240 menit.


Pruit, M., Willis, K., Bertujuan untuk The daily diary approach: Deskripsi Aktivitas: Hasilnya menunjukkan bahwa
Timmons, L., Ekas, mengeksplorasi Sebuah pendekatan Penelitian ini dilaksanakan pada ibu-ibu yang tingginya gejala depresi pengasuhan
PL
N (2016) faktor-faktor umum dengan cara mengisi memiliki anak autis, ibu melengkapi assesment ibu berhubungan dengan menurunnya
The impact yang berdampak pada buku diary yang berkaitan gejala maternal depressive, tingkat keparahan perasaan positif keseharian ibu,
E
of maternal, kehidupan sehari-hari dengan perasaan positif anak autis, dan keberfungsian keluarga. Ibu sedangkan tingginya ketidakmampuan
child, andfamily secara umum dan dan perasaan negatif diminta juga untuk menuliskan kegiatan memotivasi sosial abak berhubungan
characteristics on kehidupan sehari- dalam mengasuh anak keseharian dan perasaan negatif serta positif dengan meningkatnya perasaan positif
the daily well-being hari dalam interaksi autis. selama pengasuhan interaksi antara ibu dan keseharian. Hanya gejala depresi
and parenting pengasuhan ibu yang anak autis. pengasuhan ibu yang dihubungkan
experiences of memiliki anak autism Pengukuran: dengan
mothers of spectrum disorder. (Maternal mental health): Center for
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
children with autism The daily diary approach Epidemiologic Studies Depression Scale; (Child meningkatnya perasaan negatif
spectrum disorder merupakan salah autis symptom severity): Social Responsiveness keseharian. Selanjutnya, tingginya
(Jurnal) satu intervensi dalam Scale; (Family functioning): Family Adaptability perpaduan keluarga berhubungan
meningkatkan well and Cohesiaon Evaluation Scale; (Daily general dengan meningkatnya interaksi
being dan keberfungsian affect): Positive and Negative Schedule (PANAS); pengasuhan positif. Tingginya gejala
keluarga termasuk (Daily parenting interactions) : Penggunaan depresi pengasuhan ibu sama dengan
eksplorasi kejadian 2 aitem dalam pendekatan penulisan diary kekakuan keluarga dihubungkan
pengalaman secara alami Sampel: dnegan meningkatnya frustrasi
dan menghindari masalah Jumlah sampel ibu 83 ibu yang memiliki anak pengasuhan orang tua.
dengan retrospeksi autis usia 3-13 tahun,
(Bolger, dkk., 2003) Durasi:
14 hari
SA
Timmons, L. Bertujuan pada intervensi Gratitude Intervention Deskripsi Aktivitas: Hasil :
(2015) The untuk orang tua yang Banyak orang yang Penelitian ini dilaksanakan pada ibu-ibu yang
M Tidak terdapat perbedaan ditemukan
Effectiveness of A memiliki anak AUTIS bersyukur menun­jukkan memiliki anak AUTIS, direkrut secara online, antara partisipan dalam general
Gratitude fokus pada interaksi tingginya kepuasan partisipan diemailkan untuk melengkapi gratitude, child specific gratitude,
Inter­ven­tion at orang tua- anak dan hasil hidup dan peng­alaman assesment pre intervention. Assesment dan kelompok kontrol. Artinya
PL
Im­pro­ving Well pengukuran berupaya emo­si positif lebih ini mencakup pertanyaan yang menggali gratitude intervention berlaku untuk
Being for Parents meningkatkan kesehatan sering dibandingkan informasi demografi, seperti laporan diri yang keseluruhan populasi dewasa yang
E
of Children with mental orang tua. individu yang ku­rang mengukur kesejahteraan secara keseluruhan, berupaya untuk meningkatkan
Autism Spectrum bersyukur (McCullough, kesejahteraan orang tua, dn hubungan kesejahteraan populasi yang
Disorder. Emmons & Tsang, 2002). kesejahteraan. Setelah melengkapi assesment mengalami stres.
(Tesis) Kebersyukuran juga ini partisipan mendapatkan 10 dollar. Partisipan
mampu untuk melawan dibagi ke dalam 3 kelompok : 1) a general
beban dampak negatif, gratitude group (n = 24), 2) a child spesific
gratitude condition (n= 22), 3) a neutra life event
control group (n = 21).

65
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
Nama Peneliti &

66
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
seperti wanita yang Pengukuran:
mengalami kanker Overal well being measures:
pa­yudara, wanita yang • The Center for Epidemiologic Studies
memiliki anak autism, dan Depression Scale (CES-D).
mengalami post traumatic, • Positive and Negative Affect Schedule
dan menurunkan depresi Relationship well being measures:
dan kecemasan (Ruini • The Couples’s Satisfaction Index (CSI).
& Vescovelli, 2013). Parenting-related well being measures:
Individu yang memiliki • The Parenting Sense of Competence Scale
kebersyukuran tinggi akan (PSOC)
lebih mendukung dan • The Kansas Inventory of Parental Perceptions
empatik (McCullough et (KIPP)
al., 2002).
Sampel:
SA
Jumlah sampel sebanyak 82 ibu yang memiliki
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

anak AUTIS dibawah usia 18 tahun.


Durasi:
8 minggu
PL
Freuler, A., Baranek, Bertujuan untuk Adaptive Responsive Deskripsi aktivitas: Hasil:
G., Tashjian, C., mene­rangkan peng­ Teaching: Pene­litian ini dilaksanakan pada peng­asuh Orang tua melaporkan beberapa
E
Watson, L., Crais, alaman seseorang dan Mengeksplorasi yang memiliki aak AUTIS, menggunakan aspek positif dari partisipan sebagai
E., Brown, L. (2014). konteks berpengaruh pengalaman pengasuh semistructure interview untuk menggali hubungan perkembangan dengan para
Parent reflections terhadap keluarga yang akan partisipasi mereka, penggunaan respons akan perilaku anak, serta profesional, dan memiliki perasaan
of experiences berpartisipasi dalam program edukasi berupa digunakan untuk mengidentifikasikan cara baru dukungan dari orang tua.
of participating intervensi dengan anak pengajaran akan perilaku pemahaman fenomena pengalaman orang tua Orang tua juga menggambarkan bahwa
in a randomized AUTIS. Proses interview adaptif anak AUTIS, serta Pengukuran: perasaan negatif menurun, seperti
controlled trial di­gu­nakan untuk menda­ bagaimana interaksi yang 4 tema yang dihadirkan : beban mengevaluasi, cemas.
of a behavioral lami dan mening­katkan baik antara pengasuh dan • Wor­king against all odds
intervention for model intervensi dan anak. • Getting the ball rolling
infants at risk of meningkatkan intervensi • Value of personal relationship
autism spectrum awal pelayanan keluarga • And Getting dad on board
disorders. Sampel:
(Jurnal). Partisipan terdiri dari 13 ibu dan 4 ayah.
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Tonge, dkk. (2006) Bertujuan: menurunkan Parent Education and Deskripsi Aktivitas: Hasil:
kecemasan dan depresi Behavior Management Penelitian ini dilaksanakan pada orang tua yang Intervensi ini memiliki kebermaknaan
setelah assesment yang (PEBM): memiliki anak AUTIS dibandingkan dengan yang ditunjukkan pada peningkatan
dilakukan. Training yang kelompok yang tidak ikut partisipasi dalam kepuasan orang tua dengan interaksi
diperuntukkan bagi orang intervensi PEBM. orang tua anak dan kemampuan
tua dengan anak AUTIS Sampel: pengasuhan orang tua.
Orang tua yang memiliki anak AUTIS Durasi:
6 bulan
Chiang, Hsu-Min. Bertujuan untuk menguji Parent Education Program: Deskripsi Aktivitas: Hasilnya: setelah menerima program
(2014) keefektifan program Design program Penelitian ini menggunakan desain penelitian ini, orang tua dari anak China
A Parent Education edukasi buat orang tua atau training untuk pre-posttest group design. dilaksanakan Amerika yang mengalami AUTIS ini
Program for Parents dalam menurunkan memberikan orang tua pada.Program ini terdiri dari 10 minggu sesi menunjukkan penurunan signifikan
SA
of Chinese American stres pengasuhan orang informasi atau mengajari kelompok. Masing-masing sesi selama 120 dalam stres pengasuhan, peningkatan
Children with tua dan meningkatkan kemampuan orang tua. menit dan 4 bagian. Bagian pertama (30 menit)
M dalam kepercayaan diri orang tua, dan
Autism Spectrum kepercayaan diri Strategi multi intervensi diajarkan tentang keminatan orang tua (total peningkatan dalam kualitas kehidupan
Disorder (AUTISs): orang tua dan kualitas mengajarkan pada 10 topik, termasuk pemahaman AUTIS, sistem kesehatan fisik dan lingkungan.
A Pilot kehidupan orang tua dari topik yang spesifik edukasi, mengajari kemampuan berkomunikasi,
PL
Study Anak China Amerika yang (misal: memahami mengajari sosial dan kemampuan bermain,
(Jurnal) mengalami AUTIS. AUTIS, dasar mengatur mengurangi perilaku menantang, mengajari
E
perilaku, keter­sediaan kemampuan akademis, kemampuan berfungsi,
pelayanan, dan strategi strategi koping, dan sumber komunikasi.
untuk memperkenalkan Bagian kedua (30 menit), diskusi kelompok dan
komunikasi dan role play disesuaikan dengan topik.
kemampuan sosial, Bagian ketiga (30 menit), satu atau dua orang
mengatur stres berbagi pengalaman
pengasuhan orang tua mereka sebagai orang tua yang memiliki anak
dan meng­atasi masalah AUTIS
kesehatan men­tal), Bagian keempat (30 menit), satu atau dua orang
diskusi kelompok, tua berbagi informasi
tentang perasaan mereka yang mungkin dapat
bermanfaat bagi keluarga

67
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

lainnya
68
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
model, role play, Pengukuran:
menonton video, Parenting Stress:
pemecahan masalah, • Parenting Stress Index (PSI) (Abidin, 1995).
pemberian tugas Parental confidence:
pekerjaan rumah, dan • Confidence degree questions for families
membangun hubungan di (CDQ) (Okuno, dkk., 2011).
antara orang tua. Quality of life:
• The world Health Organization Quality of
Life-Brief (WHO- QOL-Brief) (WHOQOL
Group, 1998).
Sampel:
Jumlah sampel sebanyak 9 keluarga China
Amerika dengan anak AUTIS.
SA
Durasi:
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

10 minggu
Cheremshynski, Bertujuan pada Positive Behavior Support: Deskripsi Aktivitas: Hasil:
C., Lucyshyn, J., pemusatan keluarga Program dukungan Penelitian ini menggunakan prosedur Berdasarkan hasil campuran antara
PL
Olson, D. (2012). dengan menggunakan dengan upaya untuk kuantitatif dan kualitatif. Usaha yang dilakukan kuantitatif dan kualitataif, maka
Implementation positive behavior support mengoptimalkan perilaku ibu terhadap peningkatan perilaku anak. perilaku yang diharapkan menjadi lebih
E
of a Culturally (PBS) yang dirancang positif. Pada penelitian Pengukuran: cepat dan optimal dalam kegiatan
Appropriate Positive berdasarkan perbedaan ini usaha yang dilakukan Kuantitatif: rutinitas sehari- hari. Interaksi yang
Behavior Support latar belakang bahasa ibu dengan menggunakan Pengumpulan data, observasi perilaku baik dan kuat antara ibu dan anak.
Plan Wit a Japanese dan budaya. Perbedaan budaya setempat yang diinginkan (persentase interval
Mother of a Child budaya dan bahasa untuk meningkatkan masalah perilaku, persentase langkah
with Autism: An dapat berpartisipasi pada kemampuan perilaku berhasil penyelesaian, pada menit keberapa
Experimental and positive behavior support penghentian perilaku atau berhasil
Qualitative Analysis. dan kemajuan dalam melakukannya, orang tua menggunakan
(jurnal) perilaku anak. strategi perilaku.
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
sehari-hari anak AUTIS. mendukung, evaluasi konteks dan budaya yang
Ketika terjadi interaksi sesuai).
yang baik antara Kualitatif:
ibu dan anak tentu Data kualitatif digunakan untuk menggali
akan menghasilkan budaya keluarga, perspektif ibu, perspektif para
esejahteraan bagi diri ibu
pelaku intervensi dalam perkembangan dan
dan keluarga. penerapan positive behavior support disesuaikan
dengan budaya yang tepat (sumber: tulisan
jurnal, semistructured interviews)
Sampel:
Penelitian ini dilaksanakan pada satu orang
anak AUTIS berusia 5 tahun bersama dengan
ibunya.
SA
Pillay, M., Day, Program ASCEND Autism Spectrum Deskripsi Aktivitas:
M Hasilnya sangat efektif dalam
Ben., Wright, B., bertujuan untuk Conditions - Enhancing Penelitian ini dilaksanakan pada 79 orang tua, membantu orang tua berinteraksi
Williams, C., Urwin, membantu sejumlah Nurture and Development dibagi ke dalam 7 kelompok. Lima kelompok (59 dengan anaknya. Pelatihan
B. tingkatan pengasuhan (ASCEND) program: orang tua) diberikan Developmental Behaviour menyediakan bagi orang tua informasi
PL
(2011) orang tua terhadap Dibutuhkan cara kreatif Checklist (DBCs) dan kuesioner pengetahuan akan perkembangan, kekuatan dan
Autism Spectrum anak autis. Sifatnya juga dalam membantu orang tua selama pre dan post latihan. Dari hasil kelemahan anak-anak mereka. Saling
E
Conditions - seperti psikoedukasi, ketahanan keluarga skor DBC menunjukkan perubahan signifikan bekerja sama dengan orang tua lainnya
Enhancing Nurture jadi berusaha untuk dalam mengatur pada post pelatihan untuk keseluruhan masalah untuk saling berbagi akan dukungan,
and Development meningkatkan kesulitan perilaku perilaku dan perilaku yang merusak, dan mekanisme koping dan stategi
(ASCEND): An pemahaman orang dan meningkatkan terdapat penurunan kecemasan orang tua. dalam peningkatan perkembangan
evaluation of tua dakan konsep perkembangan anak autis. Masing-masing kelompok terdiri dari 11 sesi, anak. Mengajari orang tua dalam
intervention support yang dirancang dalam yaitu: menganalisa perilaku anak dan
groups for parents. pembelajaran terhadap penanganan yang tepat.
(Jurnal). anak autis.

69
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
70
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Konsep teoretis yang ASCEND adalah program Session 1 Mind blindness and the social world
diberikan seperti: yang mengembangkan Session 2 Getting the gist
mind blindness dan mengevaluasi secara Session 3 Language and communication
Pembelajaran dengan independen dari program Session 4 Preoccupations and repetitive
strategi baru dan EarlyBird dan tidak behaviours
bagaimana meletakkan terdapat perpanjangan Session 5 Imagination, time perception and
orang tua ke dalam yang terakhir. Program memory
tindakan ini, bertujuan ini sistematik dan rutin Session 6 Managing behaviour
untuk meningkatkan mengevalusi untuk alasan Session 7 Exploring individual problems and
kepercayaan diri dan peningkatan klinis yang developing strategies, Part 1
membuka pikiran orang baik penggunaan standar Session 8 Training on strategies to manage
tua. kuesioner. behaviours, Part 1 Session 9 Workshop: writing
parental perceptions social stories or making visual timetables/aids
SA
Berupaya meningkatkan Session 10 Exploring individual problems and
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

pemahaman diri orang developing strategies, Part 2 (revising and


tua telah diperkenalkan adapting plans)
dalam persepsi mereka Session 11 Strategies for managing behaviour,
PL
akan perilaku anak autis. Part 2 Consolidation, final questions, party.
Pengukuran: E
Course satisfaction:
• A brief evaluation form
Parent’s comments and suggestions:
• Developmental Behaviour checklist
Sampel:
Jumlah sampel: 79 orang tua
Durasi:
Telah berjalan selama 5 tahun.
Tujuh seri pelatihan orang tua yang dilakukan
dari tahun 2004-2007 (dua pelatihan di 2004,
satu pelatihan di 2005, dua pelatihan di 2006,
dan dua pelatihan di 2007).
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Flippin, M. & Artikel ini menjelaskan Sistematik review akan Kriteria Review artikel: Hasil :
Crais, E. tentang peran ayah yang peran Partisipan yang termasuk adalah sekurang- Total 27 artikel dijumpai kriteria
(2011) unik dalam mengasuh ayah terhadap anak kurang satu partisipan dengan AUTIS antara khusus.
The Need for More anak AUTIS. Ayah AUTIS: usia 2-5 tahun dan orang tua mereka, ibu dan/ Berasarkan hasil kajian literatur
Effective Father memiliki keunikan Mengidentifikasi atau ayah belum didapatkan penelitian akan
Involvement in Early dan interaksi dan keterlibatan ayah dalam Hasil pengukuran mencakup kemampuan pengujian intervensi peran ayah dan
Autism Intervention berkontribusi dalam program training orang berkomunikasi sosial anak (misal komunikasi bermain simbol untuk anak AUTIS.
(Jurnal) perkembangan bahasa tua untuk anak AUTIS verbal/non verbal, peniruan, interaksi sosial, Terdapat tiga penelitian yang relevan:
dan bermain simbol. Mengidentifikasi perhatian bersama) studi observasi akan kontribusi ayah
Ayah juga berkontribusi kontribusi orang tua akan Orang tua adalah wakil dari intervensi. bermain simbol pada anak down
pada anak AUTIS hasil permainan simbol syndrome dandua penelitian bermain
untuk menguatkan pada anak AUTIS dan anak simbol akan peran orang tua terhadap
dalam penurunan berkebutuhan khusus anak AUTIS. Anak AUTIS membuat
SA
berkomunikasi sosial, lainnya M keuntungan dalam bermain simbol
terutama pada area Menguji perbedaan stres dan bermain objek lainnya, meskipun
bahasa dan bermain pengalaman koping oleh belum dilaporkan peran ayah di dalam
simbol. ibu dan ayah dengan anak intervensi.
PL
AUTIS
Steiner, A.M. (2011). Bertujuan untuk menguji A Strength Based Hasil:
E
Deskripsi Aktivitas:
A Strength-Based dampak dari pendekatan Approach: Penelitian ini dilaksanakan pada anak Orang tua menunjukkan kemajuan
Approach to strength based untuk Pendekatan untuk dan pengasuh utamanya (ibu). Anak afeksinya, membuat lebih positif
Parent Education edukasi orang tua. orang tua pada anak pertama: pengasuh berupaya memahami pada anak mereka, peningkatan kasih
for Children With autism, mengidentifikasi dan meningkatkan kelemahan anak (non sayang secara fisik, kemajuan program
Autism (Jurnal) kriteria positif pada anak verbal, komunikasi kurang berfungsi, jarang intervensi anak autism, koping orang
dan hubungan yang berinteraksi dengan orang lain, merusak, tua dan peningkatan hubungan orang
bermanfat karena stressor menghindar, dengan petunjuk dari terapis. tua dan anak.
dihubungkan dengan
ketidakmampuan yang
parah, dan tidak mudah
untuk dikuasai.

71
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
72
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Pengasuh (ibu) berupaya Pendekatan ini Pengukuran:
meningkatkan kelemahan meningkatkan pandangan Anak pertama
yang dimiliki anak dengan aspek positif dari perilaku Pengasuh berupaya meningkatkan kelemahan
petunjuk dan arahan dari anak, area kompetensi anak (non verbal, komunikasi kurang berfungsi,
terapis. yang ditingkatkan dan merusak, menghindar).
Ketika anak sudah area perkembangan yang Anak kedua:
menampilkan perilaku difasilitasi. Pengasuh berupaya meningkatkan kelemahan
yang diinginkan dan anak (anaknya spontanitas, jarang berinteraksi
meminimalkan perilaku sosial dnegan orang lain, merusak, perilaku
yang tidak diinginkan, menstimulasi diri).
mka akan berpengaruh Anak ketiga:
pada kesejahteraan orang Pengasuh berupaya meningkatkan kelemahan
tua. anak (spontanitas, gagal dalam berinteraksi
SA
sosial, perilaku terbatas dan berulang-ulang).
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Sampel:
Jumlah Sampel: tiga anak dengan pengasuh
utamanya (ibu).
PL
Durasi:
20 jam perminggunya.
E
Luther, E., Canham, Dukungan Sosial Parent Support Group Deskripsi Aktivitas: Hasil:
Daryl., Cureton, V. kelompok bertujuan & Social Support Partisipan diminta untuk melengkapi kuesioner Berdasarkan skor F-COPES
(2011) Coping and untuk memberikan Inteventions: pengukuran dan diminta mengembalikan 3 Meskipun 83% sampel lebih kuat akan
Social Support for tempat bagi orang tua Menyediakan dukungan minggu kemudian. Kepercayaan diri orang kepercayaan terhadap Tuhan sebagai
Parents of Children untuk mendiskusikan sosial dalam seting tua diukur oleh survei tanpa nama dan cra untuk koping, namun lebih sedikit
with Autism. kesulitan yang orang pendidikan dan dari penggabungan data. Partisipan dalam dibandingkan penggunaan koping
(Jurnal) tua alami, saling berbagi komunitas penelitian ini adalah sukarela. dengan menghadiri pelayanan gereja
strategi koping dan Pengukuran: atau aktivitas yang membutuhkan
kecakapan, dan berjumpa Family Crisis Oriented Personal Evaluation layanan dari pendeta.
dengan tua dengan Scales (F-COPES)
situasi yang sama. Social Support Index (SSI)
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Sampel: Berdasarkan skor SSI Memiliki
Partisipan adalah orang tua dengana anak keunikan stres, pada penelitian
AUTIS (usia 5-13 tahun) yang telah terdaftar ini memiliki skor yang lebih tinggi
pada kelas berkebutuhan khusus di negara dalam penggunaan dukungan sosial
Kalifornia. dibandingkan kelompok normal.
Hastings, R., Bertujuan untuk: Coping strategies (Brief Deskripsi Aktivitas: Hasilnya:
Kovshoff, H., • Untuk mengeksplorasi COPE) Penelitian ini dilaksanakan pada dua sampel Terdapat empat dimensi koping,
Brown, T., Ward, struktur dari Adalah salah satu koping yang terdiri dari ayah dan ibu. Untuk sampel yaitu active avoidance coping, problem
N., Espinosa, F., strategi koping yang yang dilakukan untuk 1, kuesioner orang tua mencakup Brief COPE focused coping, positive coping, dan
Remington, B. digunakan orang tua dapat membuat individu dan pengukuran well being dikirimkan pada religious/denial coping.
(2005). dari anak autis. mampu bertahan dan well alamat masing-masing anak dan kemudian Terdapat hubungan antara strategi
Coping strategies • Untuk melihat pe­ being dikembalikan dengan amplop yang diperangkoi koping dan sres pengasuhan dan
SA
in mothers ngaruh perbedaan • Mencakup berbagai kepada peneliti. kesehatan mental. Praktik berdampak
and fathers of gender dari orang tua strategi koping Untuk sampel 2, kuesioner orang tua mencakup
M pada pengurangan avoidance coping
preschool and yang memiliki anak • Dapat dihadirkan Brief COPE dan pengukuran kesejahteraan dan peningkatan penggunaan strategi
school-age autis, (baik ibu dan dalam sebuah situasi, orang tua dialamatkan ke positive strategies. Penggunaan coping
children with ayah direkrut untuk dalam hal ini dapat rumah orang tua dan dikembalikan dalam strategi dapat meningkatkan stres
PL
autism. penelitian) dan usia menyesuaikan dengan amplop tertutup kepada team ketika mereka dan masalah kesehatan mental, dan
anak autis dalam tuntutan akan kondisi dikunjungi untuk assesment lainnya dala rumah penggunaan reframing psoitif dapat
E
keluarga (jumlah anak autis mereka menurunkan stres.
keluarga dengan anak • Lebih pendek Pengukuran:
TK dan usia sekolah dan lebih cepat Coping:
direkrut). dalam mengelola • Brief COPE (Carver, dkk., 1989)
• Mengeksplorasi dibandingkan versi Parental well being:
hubungan antara lain dari COPE • Hospital anxiety and Depression Scale (HADS;
strategi koping Zigmon & Snaith, 1983).
orang tua dan stres • Questionnaire on Resources and Stress-
pengasuhan dan Friedrich (QRS-F; Friedrich, dkk., 1983).
kesehatan mental.

73
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
74
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Sampel:
Jumlah sampel 1 (26 ibu dan 20 ayah) yang
memiliki anak AUTIS bersekolah.
Jumlah sampel 2 (48 ibu dan 41 ayah) yang
memilik anak AUTIS bersekolah yang terdaftar
pada SCAmP (sebuah projek pengevaluasian
terhadap intervensi perilaku untuk anak autis
yang lebih muda.
Mahoney, G., & Bertujuan untuk: Relationship Focused Deskripsi Aktivitas: Hasil:
Perales, F. (2003) • Membantu orang Intervention: Anak dan orang tua menerima intervensi Intervensi relationship-focused cukup
Using Relationship- tua mempel­ajari satu Pendekatan umum setiap minggunya selama 8­14 bulan. Setiap menjanjikan pada peningkatan
Focused to sampai dua strategi untuk mengembangkan sesi pertemuan berfokus pada usaha keberfungsian sosial emosional dari
SA
Enhance the responsive teaching intervensi yang mendorong untuk menggunakan kurikulum anak AUTIS. Perbandingan pre dan
Social-Emotional yang sebe­lumnya mendorong dan Responsive Teaching untuk memperkenalkan
M post assessments mengindikasikan
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Functioning of belum dapat beker­­ja mendukung orang tua perkembangan sosioemosional anak. bahwa intervensi sukses dalam
Young Children with sama sampai interaksi untuk me­ningkatkan Pengukuran: mendorong ibu untuk lebih berespons
Autism Spectrum mer­eka dengan anak strategi tanggung ja­wab Responsive Teaching Pivotal Intervention dan bertanggung jawab terhadap
PL
Disorder (Jurnal) mereka selama ru­ se­lama interaksi rutinitas Objectives: hubungan antara ibu dan anak.
tinitas keseharian dengan anak mereka. • Cognition:
E
• Mendorong orang Social play, initiation, exploration, problem
tua me­lan­jut­kan solving, practice
penggunaan strategi • Communication:
yang telah dipelajari Joint activity, joint attention, vocalization,
sebelumnya. Intentional communication, conversation
• Social emotional functioning
Trust/attachment, empathy/intersubjectivity,
cooperation, self regulation
• Motivation:
Interest, persistence, enjoyment, feelings of
competence, feelings of control
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
• Masing-masing Sampel:
responsive teaching Jumlah sampel 20 anak dengan diagnosis AUTIS
dirancang untuk bersama dengan orang tuanya
membantu orang tua Durasi 8 - 14 bulan
mementingkan satu
dari lima perbedaan
komponen perilaku
interaksi berespons,
seperti:
Boyd, B. (2002) Bertujuan untuk Social Support Pengukuran: Hasil:
Examining the mengungkapkan Interventions: Instrument tiga laporan diri yang biasa Terdapat tiga topik yang berhubungan
Relation­ship pentingnya intervensi Intervensi dibutuhkan digunakan oleh orang tua yang mengalami dengan pencarian dukungan sosial:
SA
Between Stress dukungan sosial yang untuk membantu orang autisme, dan peran dukungan sosial sangat • Menguji karakter utama ibu yang
and Lack of Social diterima ibu dalam tua dalam meningkatkan tepat. Alat ukur yang biasa digunakan:
M menyebabkan mereka mencari
Support in Mothers meningkatkan emotional well being Parenting stress dukungan sosial
of Children with kesejahteraan, dengan adanya • Parenting Stress Index (PSI: Abidin, 1983). • Berkonsentrasi pada bagaimana
Autism (Jurnal menurunkan stres. pemberian dukungan • Questionnaire in Resources and Stress (QRS; ciri-ciri anak autism berinteraksi
PL
literatur review) Pada ibu dengan anak sosial. Membantu orang Holyroyd, 1974) dengan ibunya yang memengaruhi
tua mengatasi dalam
AUTIS, informal support
E
Family Support keputusannya untuk menetapkan
lebih efektif mengatasi pengasuhan anak yang • Family Support Scale (Dunst, Jenkins & dukungan sosial
stres dibandingkan berkebutuhan khusus Trivette, 1984). • Efek negatif yang dapat bertambah
formal support. ketika dukungan sosial tidak
tersedia

75
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil

76
Judul
Frea, W,. Hepburn, Bertujuan untuk Teaching Parents Deskripsi Aktivitas: Dua keluarga diteliti, hasilnya
S. (1999) menginvestigasikan Merupakan program yang Penelitian ini dilaksanakan pada dua sampel mengindikasikan bahwa satu keluarga
Teaching Parents kemampuan orang tua mengajari orang tua agar yang terdiri dari ayah dan ibu. Untuk sampel pertama sukses dalam penggunaan
of Children with dalam mempelajari dapat berinteraksi dan 1, kuesioner orang tua mencakup Brief COPE informasi keberfungsian assesment
Autism to Perform kemampuan yang mengoptimalkan anaknya dan pengukuran well being dikirimkan pada untuk menjadi mandiri menciptakan
Functional berhubungan yang autis. Diharapkan alamat masing-masing anak dan kemudian intervensi efektif.
Assessments to Plan keberfungsian assesment dengan adanya interaksi dikembalikan dengan amplop yang diperangkoi Keluarga kedua diminta untuk
Interventions for dan menciptakan antara orang tua dan kepada peneliti. mengikuti sesi instruksi singkat dalam
Extremely intervensi. anak, akan semakin Untuk sampel 2, kuesioner orang tua mencakup prosedur penggerakan hati untuk
Disruptive • Menilai kemampuan membuat keluarga Brief COPE dan pengukuran kesejahteraan menerapkan intervensi secara efektif.
Behaviors orang tua dalam memahami dan menerima orang tua dialamatkan ke rumah orang tua
(Jurnal) penggunaan manual kondisi anaknya, dan dan dikembalikan dalam amplop tertutup
pembelajaran untuk terakhir akan berdampak kepada team ketika mereka dikunjungi
SA
menampilkan pada kesejahteraan orang untuk assesment lainnya dala rumah mereka
keberfungsian tua. Baseline dan intervensi akan diambil videonya
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

assesment selama keseharian sorenya antara kedua


• Meng­iden­tifi­kasikan keluarga. Masing-masing keluarga diminta
bahwa orang tua mengidentifikasikan kegiatan keseharian.
PL
mampu membangun Untuk Casidi, kegiatan yang dilakukan
E
perilaku yang tepat adalah terlibat dalam merapikan mainannya
buat anaknya. dan membantu ibunya menyiapkan makan
• Mengevaluasi malam. Untuk Tyrel kesehariannya membantu
kemampuan orang merapikan mainan, mencuci tangan dan wajah,
tua untuk mengar dan duduk di komputer.
secara mandiri akan Sampel:
perilaku baru Dua keluarga, yaitu:
Keluarga pertama: keluarga Casidi (seorang
anak laki-laki autis berumur 4 tahun yang telah
terdiagnosis autis, ), ibunya seorang single
mother
Keluarga kedua : keluarga Tyrel (seorang anak
laki-laki autis berumur 4 tahun yang telah
terdiagnosis autis).
Nama Peneliti &
Tujuan Bentuk Intervensi Prosedur Hasil
Judul
Sin, N., & Bertujuan untuk Positive Psychology Metode Meta analisis Hasil :
Lyubomirsky, S. menanamkan perasaan Interventions: Kajian metaanalisis pada intervensi psikologi Intervensi psikologi positif secara
(2009). positif, perilaku positif, • Treatment atau positif, menggunakan sebanyak 51 penelitian signifikan mampu meningkatkan
Enhancing atau pikiran positif. metode atau dari tahun 1977 sampai 2008, kajian intervensi kesejahteraan (mean r = 0.29) dan
Well being and kegiatan yang dise­ dengan 4.226 individu yang dilakukan pada menurunkan gejala depresi (mean r =
Alleviating ngaja,mening­katkan kajian ini. Langkah-langkah: 0.31).
Depressive kesejahteraan dan 1. Mencari kajian pustaka yang dipublikasikan Beberapa faktor ditemukan berdampak
Symptoms with memperbaiki gejala maupun yang tidak dipublikasikan pada keefektifa intervensi psikologi
Positive Psychology depresi, dengan 2. Mencari database onlise PsycINFO dengan positif, termasuk status depresi, seleksi
Interventions : A mengutamakan menggunakan kata kunci: depession, diri, usia partisipan, format dan durasi
Practice Friendly kelebihan-kelebihan intervention, positve affect, positive intervensi.
Meta Analysis yang ada pada diri psychology, positive psychotherapy, well
setiap individu. being therapy, dan well being.
SA
(Literatur Jumal)
• Intervensi yang M
didesign untuk
menargetkan
konstruk psikologi
PL
positif bertujuan
untuk meningkatkan E
kesejahteraan
subjektif dan seluruh
kebaikan individu.
PPIs telah
menargetkan
konstruk seperti
gratitude, character
strengths, savoring,
kindness, hope,
optimism (Emmons
& McCullough, King,
2001, Kurtz, 2008;

77
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

Senf & Liau, 2013).


PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

C. ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF DAN


NEUROPSIKOLOGI
Pada subbab ini, yaitu anak dengan gangguan spektrum autis dan
neuropsikologi merupakan rangkuman artikel yang bersumber dari penulis
dan sudah pernah dimuat pada Buletin Psikologi (2017), No. l Vol. 25 h.
11-25. Intinya neuropsikologi merupakan suatu bidang multidisiplin atau
interdisiplin antara neurologi dan psikologi. Pha­res (1992) mengemuka­
kan bahwa neuropsikologi dianggap seba­gai salah satu di antara kekhusus­
an psikologi klinis. Neuropsikologi mem­pelajari hubungan antara otak
dan perilaku, disfungsi otak dan defi­sit pe­rilaku, dan melakukan asesmen
dan perlakuan (treatment) untuk perilaku yang berkaitan dengan fungsi
otak yang terganggu. Sedangkan neuropsikologi klinis menurut Lezak
(1995) adalah ilmu terapan yang mempelajari ekspresi perilaku dari dis­
fungsi otak (app­lied science concerned with the behavioral expression of brain
dysfunc­ti­on). Bidang ini muncul karena kebutuhan untuk dilakukan pe­min­­
dai­an (screening) dan diagnosis atas mereka yang mengalami cedera otak
dan gangguan perilaku pada tentara pasca-Perang Dunia dan un­tuk re­­
E
habilitasinya. Evaluasi atas perilaku kasus-kasus itu diperlukan oleh neu­
PL

rolog dan ahli bedah saraf untuk mendampingi diagnosis dan mencatat
perjalanan gangguan otak atau efek perlakuan.
M

Lezak (1995) menjelaskan bahwa perilaku manusia dalam pen­dekatan


SA

neuropsikologi dijelaskan sebagai sistem, yakni ada sistem kognitif, sistem


emosi dan sistem eksekutif. Termasuk sistem kognitif adalah pengolahan
informasi yang meliputi fungsi reseptif, fungsi memori-belajar-berpikir,
dan fungsi ekspresif. Sistem emosi meliputi emosi dan suasana hati (mood),
motivasi dan yang merupakan varia­bel kepribadian. Sistem ketiga yakni
eksekutif meliputi bagaimana seseorang berperilaku, apakah ia mampu
menolong diri sendiri, pe­rilakunya bertujuan, dan lain-lain.
Lebih dari dua dekade lalu, pendekatan neuropsikologi berperan pen­
ting dalam menetapkan dasar-dasar neurobiologis otak pada anak-anak
dengan gangguan perkembangan saraf. Teknis neuropsikologi me­miliki
ke­baruan penting pada ketidaknormalan perkembangan sa­raf anak, dan
pada variasi neuroanatomi yang mengategorikan apa­kah anak tersebut
mengalami gangguan perkembangan atau tidak.

1. Anak dengan Gangguan Spektrum Autis


Berdasarkan pendekatan neuropsikologi, gangguan yang dialami anak
dengan gangguan spectrum autis terjadi karena adanya ketidak­normalan

78
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

dalam struktur dan biokimia otak (Carlson, 2011; Stefana­tos & Baron,
2011), misalnya pertumbuhan otak yang lebih besar 5-10% dari anak nor­
mal sampai usia 4 tahun, namun kemudian melambat, dan akhirnya ber­
kurang sebelum waktunya. Anak dengan gangguan spektrum autis juga
mengalami perbedaan dalam beberapa struk­tur otak terutama di bagian
otak yang terkait dengan fungsi eksekutif ser­ta kemampuan komunikasi
dan sosial seperti di bagian frontal cor­tex, temporal cortex, hippocampus,
dan amygdala. Hal ini menyebabkan anak kesulitan dalam melakukan
perencanaan, kurang fleksibel da­lam berpikir, kesulitan dalam melakukan
generalisasi, kesulitan un­tuk meng­integrasikan informasi secara lengkap
menjadi sesuatu yang ber­makna, serta kesulitan dalam kemampuan in­
tersubjektivitas (ke­mam­puan untuk meletakkan diri sendiri pada posisi/
kondisi orang lain) (dalam Daulay, 2017).
Pendekatan neuropsikologi juga memandang bahwa gangguan yang
dialami anak dengan keistimewaan ini disebabkan karena adanya gang­gu­
an dalam mengintegrasikan informasi sensori yang dite­ri­ma lingkung­an.
Gangguan dalam proses sensori ini meliputi cara mem­peroleh in­formasi
melalui indera (sensory reactivity), cara meng­olah informasi ter­sebut (sen­
E

sory procesing), serta cara menggerakkan otot dan melakukan se­ rang­
PL

kai­an gerakan sebagai respons terhadap stimulus sensori yang diterima.


Gangguan proses sensori ini menye­babkan anak menunjukkan perilaku
M

atau respons yang tidak tepat, misalnya anak menunjukkan reaksi yang
SA

berlebihan (hyper/over re­active) seperti menjerit saat mendengar musik,


atau malah kurang bereaksi terhadap stimulus sensori, misalnya tidak
merasa sakit ketika terluka (dalam Mukhtar, 2016).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gangguan spektrum autis
merupakan gangguan perkembangan yang disebabkan oleh ke­ lainan
struk­­tur dan kimiawi otak. Akibatnya, anak-anak ini mengala­mi banyak
ma­sa­lah dalam mengolah informasi dan kesulitan dalam memberikan res­
pons yang tepat. Sistem yang bertanggung jawab un­tuk menerima dan
mengolah rangsangan (stimulus) dari luar, disebut sebagai sistem sensorik,
tidak bekerja dengan baik. Kondisi sensorik ini memegang peranan pen­
ting dalam munculnya beragam masa­lah dalam kehidupan mereka seha­
ri-hari. Hambatan terbesar biasanya me­reka alami saat usia kanak-kanak,
ketika sistem sensorik masih bu­ruk dan mereka belum mengembangkan
cara-cara yang tepat untuk beradaptasi dengan lingkungan. Seiring ber­
tambahnya usia dan pena­nganan yang tepat, maka sistem sensorik ini
akan bekerja lebih baik (Ginanjar, 2008, dalam Daulay, 2017).
Berdasarkan penjelasan neuropsikologi pada perilaku manusia menu­

79
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

rut Lezak (1995) dapat dijelaskan sebagai sistem, yakni ada sis­tem kognitif,
sistem emosi dan sistem eksekutif, sehingga penulis dapat menyimpulkan
bahwa perilaku anak dengan gangguan spek­trum autis dapat dijelaskan
sebagai berikut (dalam Daulay, 2017):
1. Sistem kognitif: pada anak autis mengalami penurunan volume, ke­
lainan ukuran saraf dan kepadatan pada lobus temporalis, kemudian
akan mengalami kelainan volume cerebellum sehingga sangat sulit
untuk membagi perhatian dan memusatkan perha­ti­an, namun ketika
perhatian terpusat, anak autis akan sulit un­tuk mengalihkan perhati­
an, dan mengalami perhatian sosial yang rendah.
2. Sistem emosi: pada anak autis mengalami penurunan ukuran sel neuron
dalam sistem limbik sehingga berdampak pada keti­ dak­ ber­
fungsian
dalam stimulus sosial, gerakan meniru, stimulus emosi, per­­hatian, dan
bermain simbol. Pada anak autis juga me­ng­alami neu­­roaktivasi yang
tidak normal pada amigdala dan hi­po­kam­pus, se­hing­ga berdampak
pada penurunan perilaku sosial, dan rendahnya proses pengenalan
wajah.
3. Sistem eksekutif: pada anak autis mengalami kelainan pada pre­frontal
E

cortex sehingga tidak mampu mengikuti konteks yang ada, dan tampil
PL

dalam perilaku yang tidak tepat dan impulsif. Pada anak autis ju­ga
mengalami kelainan pada dorsolateral prefrontal cortex, sehingga
M

ber­dampak pada rendahnya kemampuan dalam memahami perasa­


SA

an, pikiran, dan perhatian terhadap orang lain, dan minimnya akan
pertimbangan sosial.

Donders dan Hunter (2010) dalam bukunya Principles and Prac­tice of


Lifespan Developmental Neuropsychology, menjelaskan bahwa volume dari
keseluruhan otak, seperti pada area lobus frontalis, lo­bus temporalis, dan
lobus parietalis pada anak autis mengalami pe­ningkatan secara signifikan
antara 3,4% dan 9,0%. Demikian pula pe­nelitian yang dilakukan oleh
Shen, Nordahl, dan Young (2013) bahwa terdapat peningkatan volume
otak awal anak autis disebabkan oleh jaringan yang berbeda dalam jumlah
cerebrospinal fluid (CSF), artinya pada bayi yang mengalami gejala autis
akan memiliki cairan ekstra (CSF) yang berlebih pada usia 6-9 bulan, dan
akan bertambah banyak ketika anak terdiagnosis pada usia 24 bulan atau
lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir pada keseluruhan area
lobus mengala­mi peningkatan volume ditambah lagi dengan cairan yang
berlebih dalam otak (cerebrospinal fluid), sehingga ini juga berpengaruh
pada volume otak anak autis juga mengalami peningkatan dan berdampak

80
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

pada ketidak berfungsian masing-masing area di bagian otak yang terkena


sehingga berpengaruh pada ketidaknormalan perkembangan anak autis
(dalam Daulay, 2017).
Wolff, Gerig, dan Lewis (2015), mengemukakan bahwa corpus callo­
sum (bagian jembatan penghubung antara kedua belahan otak/hemis­phe­
re kanan dan kiri) menunjukkan peningkatan dan ketebalan pada bayi
dengan hasil scan pada anak autis usia 6 bulan, berbeda dengan bayi nor­
mal (Steinmetz, Staiger, & Schlaug, 1996). Hal ini juga sejalan dengan
beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hazlet, Poe, dan Gerig (2005);
Schumann, Bloss, dan Barnes (2010) menjelaskan bahwa peningkatan
volume otak pada anak autis dipengaruhi oleh peningkatan volume white
matter. Perkembangan yang tidak normal dari white matter cortex dan per­
bedaan jumlah cerebrospinal fluid (CSF) berkontribusi terhadap pening­­kat­
an volume otak. Penelitian Schumann, Bloss, dan Barnes (2010) mene­gas­
kan bahwa terjadi pe­ningkatan abnormal pertumbuhan korteks pada anak
autis, studi yang dilakukan pada kelompok anak autis ini mengungkap­kan
bahwa gang­guan awal terjadi pada pembentukan white matter neurosir­kuit
otak dibandingkan gangguan perkembangan grey matter pada anak autis.
E

White matter berfungsi dalam menghubungkan pusat-pusat informasi dan


PL

grey matter berfungsi dalam menganalisa informasi (dalam Daulay, 2017).


M

2. Anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorders/ADHD


SA

Bagaimana keterkaitan neuropsikologi dan anak yang mengalami


ADHD? Penyebab ADHD seperti yang diungkap Flanagen (2002) meng­
ungkapkan penelitian-penelitian telah menemukan bahwa ADHD memi­
liki hubungan dengan susunan kimia dan fungsi otak. Pa­ra peneliti telah
mempelajari cara mengalirnya darah dalam otak anak ADHD dan bukan
ADHD dan cara otak dari tipe orang yang ber­be­da dalam menggunakan
glukosa. Meskipun studi tersebut meng­gunakan teknik-teknik yang ber­
beda, tampak jelas bahwa fung­si otak nyata berbeda pada anak ADHD.
Sebagian besar penelitian tersebut berfokus pada cuping garis depan dari
otak dan pada pe­ranan neurotransmitter, bahan kimia yang mengirim­
kan pesan dari satu bagian otak ke bagian lain. Kemungkinan ADHD di­
sebabkan oleh suatu problem dalam pengiriman pesan di sekitar otak.
Ba­gian otak yang berbeda bersangkutan dengan kontrol motor, dengan
me­nimbang-menimbang konsekuensi sebelum bertindak, dengan pe­nen­
tuan dorongan yang mana dalam lingkungan yang harus di­perhatikan dan
yang mana yang harus diabaikan. Informasi masuk dalam otak, tetapi bila
tidak didistribusikan ke bagian-bagian otak yang mengontrol tindakan

81
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dan menyaring informasi yang tidak diinginkan, maka hasilnya adalah


gerakan yang tidak perlu, tindakan yang implusif dan tindakan yang
mudah terganggu (distracbility) terus-menerus.
Perbedaan dalam fungsi otak dan susunan kimiawi otak ini ju­ga di­
pengaruhi karena turunan. Bukti atas hal ini sebagian besar da­ri studi
tentang kembar, bila seorang kembar identik mengalami ADHD, maka
ke­mungkinan kembar satunya lagi juga akan mengala­mi ADHD sekitar
85 persen. Untuk kembar non identic, atau untuk saudara kandung yang
tidak kembar, kemungkinan bahwa keduanya menderita kelainan ini ada­
lah sekitar 30 persen. Studi-studi lainnya melihat pada anak-anak ang­
kat untuk mengetahui apakah perilaku mereka cenderung mengulang
pe­rilaku dari orang tuanya, atau apa­kah mereka lebih terpengaruh oleh
perilaku dari orang tua mereka. Penelitian ini dimaksudkan untuk meni­
lai pentingnya lingkungan keluarga dalam menghasilkan anak-anak yang
mengalami ADHD. Ha­silnya ternyata menguatkan hubungan genetis, ka­
rena anak-anak yang menderita ADHD cenderung berasal dari orang tua
kandung yang juga mengalami ADHD (Flanagen, 2002). Keterkaitan pe­ran
neuro­transmitter bagi anak-anak ADHD sampai hari ini terus dila­kukan
E

kajian lebih mendalam lagi.


PL

Setelah memahami peran neuropsikologi dalam memengaruhi perkem­


bangan saraf anak dengan gangguan spektrum autis, maka selanjutnya
M

terdapat keterkaitan antara pengalaman individu berda­ sarkan sudut


SA

pan­dang individu yang mengalami gangguan perkem­bangan ini. Hal ini


dapat dimaknai bagaimana individu ini dalam memaknai kehidupan­
nya. Penelitian tentang intervensi yang dilaku­kan dalam meminimalisa­
si perilaku bermasalah individu yang meng­ alami gangguan spektrum
autis telah banyak dilakukan, demikian juga dengan penelitian terkait
pengalamana orang tua selama meng­asuh anak autis. Namun untuk pene­
litian tentang pengalaman hidup ditinjau dari perspektif individu yang
mengalami gangguan spektrum autis belum banyak dikaji. Oleh ka­­rena­
nya, penulis berusaha mem­bahasnya dalam subbab ini agar lebih me­mak­
nai kehidupan individu dengan gangguan spektrum autis.
Berdasarkan hasil metasintesis yang dilakukan oleh DePape dan Lind­
say (2016) dari 33 artikel kualitatif dengan 318 individu autis, terda­pat
empat tema yang muncul berdasarkan pengalaman hidup dari perspek­tif
individu yang mengalami gangguan spektrum autis, yaitu persepsi ter­
hadap diri, interaksi dengan orang lain, pengalaman di sekolah, faktor-
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Pe­ma­paran tema tersebut
sebagai berikut (dikutip dalam DePape dan Lindsay, 2016).

82
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

Tema 1: Persepsi diri


a. Identitas
Individu yang mengalami gangguan spektrum autis menggam­barkan
berbagai efek yang ditimbulkan akibat gangguan yang me­reka alami
terhadap diri mereka. Beberapa di antara mereka merasa tidak pedu­
li dengan kondisinya, seperti mereka tidak ingin memahami makna
gangguan (Calzada, et al., 2011), atau orang lain yang ingin berbagi
pengalaman terkait gangguan yang mereka alami (MacLeod, Lewis,
& Robertson, 2013). Beberapa yang lain merasa bangga dengan kon­
disi mereka (Hughes, 2012); ada yang menyatakan lega karena ter­
diagnosis mengalami gang­ guan spektrum autis sehingga mereka
mam­pu mengenal diri me­reka sendiri (Rosqvist, 2012). Namun bebe­
rapa memandang diri mereka negatif, merasa hancur dan tidak ber­
da­ya karena gang­guan yang mereka alami akan terjadi sepanjang ke­
hidupan mereka (Haertl et al., 2013); merasa berbeda dari orang lain
(Calzada et al., 2011); keinginan agar menjadi orang normal (Hum­
phrey & Lewis, 2008); dan mengalami konflik internal (Griffith et al.,
2011).
E

b. Minat dan bakat


PL

Individu autis juga merasakan bahwa mereka memiliki minat dan ba­
kat yang berbeda dari yang lainnya, seperti mengutak-atik barang,
M

eksplorasi suatu benda. Terkadang minat dan bakat ini mendorong


SA

orang lain untuk membentuk stereotip positif terhadap diri mereka.


c. Kemampuan koping
Individu autis menyatakan bahwa mereka juga menghadapi ke­ ce­
masan dan stres, bagi mereka dengan tingkat inteligensi baik da­pat
mengatasi stres dengan meningkatkan kesadaran diri mereka (Muller
et al., 2008); namun ada beberapa di antara mereka yang mengguna­
kan alkohol untuk mengatasi kecemasan ini (Muller et al., 2008); ter­
dapat beberapa individu autis dilaporkan menarik diri dari lingkung­an
dan lebih senang menghabiskan waktu sen­diri (Smith & Sharp, 2012);
memecahkan masalah sendiri (tidak mencari bantuan ke orang lain)
dan menganggap diri mereka ku­rang mampu mengelola masalahnya
sendiri (Browning et al., 2009).

Tema 2: Interaksi dengan orang lain


a. Keluarga
Keluarga merupakan sumber dukungan sosial utama (Gulec-As­ lan
et al., 2013); dukungan ini datang dari keluarga yang menye­diakan

83
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

waktunya untuk mereka dengan memberikan kesempat­an untuk ber­


sosialisasi (Gulec-Aslan et al., 2013). Dukungan lain­nya berupa ke­
luarga menerima anak-anak mereka yang terdiag­ nosis autis dan
mem­berikan kasih sayang (Preece & Jordan, 2010). Namun didapati
juga efek negatif karena keterbatasan yang me­reka alami, akhirnya
membuat mereka tidak mampu menceri­takan kondisinya kepada ke­
luarga mereka (Rossetti et al., 2008).
b. Teman
Individu autis memiliki pengalaman positif berhubungan dengan te­
man (Daniel & Billingsley, 2010), seperti memiliki kesamaan un­tuk
berbagai minat, misalnya bermain game (Daniel & Billingsley, 2010.
Namun didapati juga pengalaman-pengalaman negatif (Calzada et al.,
2011), seperti dibully oleh teman sekelas mereka (Gu­lec-Aslan et al.,
2013), dan merasa terisolasi dari lingkungan (Muller et al., 2008).
c. Para ahli di lapangan
Beberapa individu autis memiliki pengalaman positif terhadap pera­
watan kesehatan dan mendapatkan perlakuan yang baik atas gang­
guan yang mereka alami, namun didapati juga di antara me­reka yang
E

mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan (Grif­fi th et al. 2011).


PL

Tema 3: Pengalaman di sekolah


M

a. Kurikulum
SA

Beberapa individu autis mengalami kesulitan dengan kurikulum yang


ditetapkan di sekolah, seperti kesulitan menyelesaikan tu­ gas-tugas
sekolah (Saggers et al., 2011); kesulitan dalam me­nu­lis (Krieger et al.,
2012); dan merasa tertantang dengan ke­giatan percobaan/eksperi­
men (Marks et al., 2000). Mereka lebih senang belajar eksperimen,
belajar dengan menggunakan media komputer, belajar berinteraksi
dengan guru, dan berharap men­da­patkan dukungan di kelas. Namun
pengalaman individu autis tidaklah semua sama, bagi beberapa lain­
nya terkendala harus mampu terlebih dahulu memahami instruksi
dan informasi yang disampaikan guru, setelah paham baru kemudian
dapat melak­sanakan tugas-tugas sekolah.
b. Situasi menantang
Individu autis melaporkan bahwa mereka merasakan kecemas­an ke­
tika rutinitas biasa yang mereka lalui ternyata tidak sesuai seperti
biasanya, misalnya mengalami kesulitan pemrosesan sen­sorik keti­
ka suasana kelas bising, pulang atau pergi sekolah de­ngan rute yang
berbeda dari biasanya, dan berjuang untuk me­ nye­ suaikan diri di

84
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

lingkungan sekolah.

Tema 4: Faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan


a. Manfaat
Beberapa individu autis merasakan keberhasilan di tempat kerjanya
karena telah menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat me­
reka. Pekerjaan yang dilakukan mampu memberfungsikan ke­mam­
puan sensorik mereka seperti menjadi seorang koki yang mampu
me­ningkatkan kepekaan akan rasa, mampu mereparasi alat-alat elek­
tronik dengan meningkatkan kemampuan motorik.
b. Kelemahan
Individu autis umumnya mengalami kegagalan dalam pekerjaan,
karena keterbatasan dalam berkomunikasi terhadap orang lain, pe­
langgan, atasan, dan mereka sering dipecat karena dianggap ti­dak
mampu menyesuaikan diri dengan situasi sosial.

REFERENSI
E
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Ma­
PL

nual of Mental Disorders. 4th Edition. Text Revision (DSM-IV-TR ).


Washington, DC: American Psychiatric Association.
M

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Ma­


nual of Mental Disorders. 5th edition. (DSM-5 TM). Washington, DC:
SA

American Psychiatric Association.


Anantasari, M.L. (2017). “Determinan stress-related growth ibu dari anak
penyandang autisme: Studi kombinasi”. Disertasi. Fakultas Psikologi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Apostelina, E. (2012). “Resiliensi keluarga pada keluarga yang memiliki
anak autis”. JPPP-Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 1(1), 164-
176.
Ardic, A. & Cavkaytar, A. (2014). “Effectiveness of the modified intensive
toilet training method on teaching toilet skills to children with autism”.
Education and Training in Autism and Developmental Disabilities, 49 (2),
263-276.
Asmika, A., Andarini, S., & Rahayu, R.P. (2013). “Hubungan motivasi orang
tua untuk mencapai kesembuhan anak dengan tingkat pengetahuan
tentang penanganan anak penyandang autisme dan spektrumnya”.
Jurnal Kedokteran Brawijaya, 22(2), 90­94.

85
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Astuti, A.T. (2016). “Hubungan antara Pola Konsumsi Makanan yang


Mengandung Gluten dan Kasein dengan Perilaku Anak Autis pada
Sekolah Khusus Autis”. Jurnal Il­miah Kesehatan, 11(1). Yogyakarta:
Medika Respati.
Barkley, R.A. (1998). A theory of ADHD: Inhibition, executive func­tions,
self-control, and time. Attention-deficit hyperactivity disor­ der: a
hand­book for diagnosis and treatment, 225-260.
Bauman, M., & Kemper, T.L. (1985). “Histoanatomic observations of the
brain in early infantile autism.” Neurology Journal, 35, 866-874.
Boham, S.E. (2013). Pola komunikasi orang tua dengan anak autis. (Studi
pada orang tua dari anak autis di Sekolah Luar Biasa AGCA Center
Pumorow Kelurahan Banjer Manado). Acta Diurna Komu­nikasi, 2(4).
Bouma, R., & Schweitzer, R. (1990). “The impact of chronic childhood
ill­ness on family stress: a comparison between autism and cystic fibro­
sis”. Journal of Clinical Psychology, 46, 722-730. doi:10.1002/1097-
4679(199011)46:6<722::AID-JCLP2270460605>3.0.CO;2-6.
Boyd, B.A. (2002). “Examining the relationship between stress and lack
of social support in mothers of children with autism”. Focus on Autism
E

and Other Developmental Disabilities, 17(4), 208-215.


PL

Bristol, M. (1984). Family resources and succesful adaptation to aus­tistic


children. Dalam E. Schopler & G. Mesibov (Eds.), The Ef­fects of Autism
M

on the Family. (p. 289­310). New York: Ple­num.


SA

Barkley, A.R. (1998). Attention Deficit Hyperactivity Disorder. 2nd Ed. New
York: The Guilford Press.
Bilgin, H., & Kucuk, L. (2010). “Raising an autistic child: Perspectives from
Turkish mothers”. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing,
23(2), 92-99.
Budhiman, M. (1997). Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Sympo­sium Tata
Taksana Autisme: Gangguan Perkembangan pada Anak. Jakarta: Yaya­
san Autisme Indonesia.
Budhiman, M. (2002). Penanganan autisme secara komprehensif. Se­minar
& Workshop on Fragile X Mental Retardation, Autism and Related Di­
sorders. Se­marang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Carlson, N.R. (2011). Foundations of Behavioral Neuroscience. Boston: Allyn
& Bacon.
Carter, B.E., & McGoldrick, M.E. (1988). The changing family life cy­cle: A
framework for family therapy. Gardner Press.
Catur, N. (2017). “Hubungan antara stres pengasuhan dan penerimaan
orang tua terhadap kualitas hidup pada ibu dengan anak gang­guan

86
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

spektrum autis”. Tesis. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Ga­


djah Mada.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2014). “Prevalence of
autism spectrum disorder among children aged 8 years: autism and
developmental disabilities monitoring network, 11 sites”, United Sta­
tes, 2010. Morbidity and Mortality Weekly Report, 63, 1-21.
Chawarska, K., Campbell, D., Chen, L., Shic, F., Klin, A., & Chang, J.
(2011). Early generalized overgrowth in boys with autism. Ar­chi­ves
of General Psychiatry, 68(10), 1021-1031. doi:10.1001/archgenpsy­
chiatry.2011.106.
Cheremshynski, C., Lucyshyn, J.M., & Olson, D.L. (2013). Implemen­ta­
tion of a culturally appropriate positive behavior support plan with
a Japanese mother of a child with autism: An experimental and qua­
litative analysis. Journal of Positive Behavior Interventions, 15(4), 242-
253.
Chen, C.Y., Liu, C.Y., Su, W. C., Huang, S.L., & Lin, K.M. (2008). Ur­ba­
nicity-related variation in help-seeking and services utilization among
preschool-age children with autism in Taiwan. Journal of Autism and
E

Developmental Disorders, 38(3), 489-497.


PL

Chiang, H.M. (2014). “A parent education program for parents of Chi­


nese American children with autism spectrum disorders (ASDs) a pilot
M

study”. Focus on Autism and Other Developmental Disabi­lities, 29(2), 88-


SA

94.
Courchesne, E. (1997).“ Brainsterm, cerebellar, and limbic neuroana­tomi­
cal abnormalities in autism”. Current Opinion in Neurobiology, 7, 269-
278.
Daulay, N. (2016). “Gambaran ketangguhan ibu dalam mengasuh anak
dengan gangguan spektrum autis”. Jurnal Psikohumaniora, 1(1), 49-
74.
Daulay, N. (2017). “Struktur otak dan keberfungsiannya pada anak de­
ngan gangguan spektrum autis: kajian neuropsikologi”. Buletin Psiko­
logi, 1(88), 2012.
Daulay, N. (2018). Parenting stress of mothers in children with au­tism
spectrum disorder: A review of the culture in Indonesia. KnE Social
Sciences, 3(5), 453- 473.doi:10.18502/kss.v3i5.2349.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, M.N.R. (2018). Sense of com­petence
as mediator on parenting stress. The Open Psychology Journal, 11, 198-
209.doi:10.2174/1874350101811010198.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, M.N.R. (2018). Proses menjadi tang­

87
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

guh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis.
Jurnal Humanitas, 15(2). http://dx.doi.org/10.26555/hu­ma­nitas.v15i
2.8695.
Daulay, N. (2019). “Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki
anak dengan gangguan spktrum autis”. Disertasi. Fakultas Psikologi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
DeMyer, M. (1979). Parents and Children in autism. Washington, DC: VH
Winston.
Depape, A., & Lindsay, S. (2015). Parents ’ experiences of caring for a child
with autism spectrum disorder. Qualitative Health Research, 25(4),
569-583.doi:10.1177/1049732314552455.
Donders, J., & Hunter, S. (2010). Principles and Practice of Lifespan Deve­
lopmental Neuropsychology. New York: Cambridge Univer­sity Press.
Ecker, C. (2016). The neuroanatomy of autism spectrum disorder: An
overview of structural neuroimaging findings and their tran­slatability
to the clinical setting. Autism, 1-11. doi:10.1177/1362 361315627136.
Ekawati, Y., & Wandansari, Y.Y. (2012). Perkembangan interaksi so­sial
anak autis di sekolah inklusi: Ditinjau dari perspektif ibu. EXPERIEN­
E

TIA: Jurnal Psikologi Indonesia, 1(1), 1-15.


PL

Fanu, J.L. (2006). Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak. Yog­yakarta:


Think.
M

Fitriani, A., & Ambarini, T.K. (2013). Hubungan antara hardiness dengan
SA

tingkat stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis. Jurnal Psikologi
Klinis dan Kesehatan Mental, 2(2), 37.
Flanagen, R. (2005). ADHD Kids: Menjadi Pendamping Bijak bagi Anak
Penderita ADHD. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Flippin, M., & Crais, E.R. (2011). “The need for more effective father
involvement in early autism intervention: A systematic review and
recommendations”. Journal of Early Intervention, 33(1), 24-50.528.
Frea, W. D., & Hepburn, S. L. (1999). Teaching parents of children with
autism to perform functional assessments to plan interventions for
extremely disruptive behaviors. Journal of Positive Behavior Interven­
tions, 1(2), 112-122.
Freeman, N., Perry, A., & Factor, D. (1991). Child behaviors as stressors:
Replicating and extending the use of the CARS as a measure of stress:
A research note. Child Psychology & Psychiatry & Allied Disciplines,
32(6), 1025-1030. doi:10. 1111/j.1469-7610.1991.tb01927.x.
Freuler, A.C., Baranek, G.T., Tashjian, C., Watson, L.R., Crais, E.R., &
Turner-Brown, L.M. (2014). Parent reflections of experiences of parti­

88
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

cipating in a randomized controlled trial of a behavioral intervention


for infants at risk of autism spectrum disorders. Au­tism, 18(5), 519.
Ghosh, S., & Magana, S. (2009). A rich mosaic: Emerging research on Asian
families of persons with intellectual and developmental disabilities.
In Glidden, L. M., & Seltzer, M. M. (Eds.), International review of
research in mental retardation. Vol. 37 (pp.179-212). San Diego, CA:
Academic Press/Elsevier.
Gilliam, J.E. (1995). GARS: Gilliam autism rating scale. Pro-ed.
Ginanjar. A.S. (2008). Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menjadi Orang
Tua Istimewa. Jakarta: Dian Rakyat.
Ginting, E.M., & Lubis, R. (2010). Hubungan antara Harga Diri dan Tingkat
Pendidikan dengan Sikap Penerimaan Ibu terhadap Anak Autis di
Yayasan I-Home Schooling Medan. Analitika: Jurnal Ma­gister Psikologi
UMA, 2(1), 36-43.
Green, J., Rinehart, N., Anderson, V., Nicholson, J., Jongeina, B., & Sci­
berras, E. (2015). Autism spectrum disorder symptoms in children
with ADHD: A community-based study. Research in De­velopmental
Disabilities, 47, 175-184.
E

Hanoum, M. (2015). “Rancangan Modul Pelatihan untuk Ibu yang Me­


PL

miliki Anak Autis”. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psi­kologi,


8(1), 10-16.
M

Harta, W. (2015). “Gambaran source of parenting self-efficacy pada ibu


SA

yang memiliki anak autis”. Tesis.


Hartono, B., Rahmawati, D., & Muhartono, H. (2002). “Masalah-masa­lah
neurobehavior pada autisme infantil”. Seminar & Workshop on Fragile
X Mental Retardation, Autism and Related Disorders. Semarang: Ba­
dan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hastings, R.P., Kovshoff, H., Brown, T., Ward, N.J., Espinosa, F.D., &
Remington, B. (2005). Coping strategies in mothers and fathers of
preschool and school-age children with autism. Autism, 9(4), 377-391.
Hayes, S.A., & Watson, S.L. (2013). The impact of parenting stress: A Me­
ta-analysis of studies comparing the experience of parenting stress in
parents of children with and without autism spectrum disorder. Jour­
nal of Autism and Developmental Disorder, 43, 629-642. doi:10.1007/
s10803-012-1604-y.
Hazlett, H., Poe, M., Gerig, G, et al. (2005). Magnetic resonance ima­ging
and head circumference study of brain size in autism: birth through
age 2 years. Archives of General Psychiatry, 62(12), 1366-1376.
Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas ter­ha­

89
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dap stres pengasuhan pada ibu dari anak autis”. Psikoislamika: Jurnal
Psikologi dan Psikologi Islam, 10(1).
Holroyd, J., & McArthur, D. (1976). Mental retardation and stress on the
parents: A contrast between down’s syndrome and childhood autism.
American Journal of Mental Deficiency, 80(4), 431-436.
Holroyd, E.E. (2003). Chinese cultural influences on parental caregiving
obligations toward children with disabilities. Qualitative Health Re­
search, 13(1), 4-19.
Ismail, A. (2008). “Hubungan dukungan sosial degan penerimaan diri Ibu
terhadap anaknya yang mengalami gangguan autis”. Skripsi. Fakultas
Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Jeniu, E., Widodo, D., & Widiani, E. (2017). Hubungan pengetahuan te­
ntang autisme dengan tingkat kecemasan orang tua yang me­mi­liki
anak autisme di Sekolah Luar Biasa Bhakti Luhur Malang. Nursing
News: Jurnal Ilmiah Keperawatan, 2(2).
Karningtyas, M.A. (2014). “Pola Komunikasi Interpersonal Anak Au­tis di
Sekolah Autis Fajar Nugraha Yogyakarta”. Jurnal Ilmu Komu­nikasi,
7(2).
E

Kim, J., Wigram, T., & Gold, C. (2009). Emotional, motivational and in­
PL

terpersonal responsiveness of children with autism in improvi­sational


music therapy. Autism, 13(4), 389-409.
M

Konstantareas, M.M., & Papageorgiou, V. (2006). Effects of tempe­rament,


SA

symptom severity and level of functioning on maternal stress in Greek


children and youth with ASD. Autism, 10, 6, 593-607.
Kousha, M., Attar, H.A., & Shoar, Z. (2016). “Anxiety, depression, and
quality of life in Iranian mothers of children with autism spectrum
disorder”. Journal of Child Health Care, 20(3), 405-414.
Kusumastuti, A.N. (2014). “Stres ibu tunggal yang memiliki anak autis”.
Jurnal psikologi, 7(2).
Lee, J.K. (2011). Predictors of Parenting Stress among Mothers of Child­
ren with Autism in South Korea. ProQuest LLC. 789 East Eisenhower
Parkway, PO Box 1346, Ann Arbor, MI 48106.
Lezak, M.D. (1992). Neuropsychological Testing. New York: Oxford Uni­
versity Press.
Lidanial, L. (2014). “Problematika yang dihadapi keluarga dari anak de­
ngan intellectual disability (studi etnografi)”. Jurnal Penelitian Pendi­
dikan, 14(2).
Lin, L., Orsmond, G. I., Coster, W. J., & Cohn, E. S. (2011). Families of
adolescents and adults with autism spectrum disorders in Taiwan: The

90
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

role of social support and coping in family adaptation and maternal


well-being. Research in Autism Spectrum Disorders, 5, 144-156.
doi:10.1016/j.rasd.2010.03.004.
Liu, G. (2005). Best practices: Developing cross-cultural competen­ce from
a Chinese perspective. In J.H. Stone (Ed.), Culture and disability:
Providing culturally competent services. (pp. 65-85). Thousand Oaks,
CA: Sage Publications Inc.
Lubis, M. Penyesuaian diri orang tua yang memiliki anak autis. Skrip­
si Luong, J., Yoder, M.K., Canham, D. (2009). Southeast Asian Pa­
rents Raising a Child With Autism: A Qualitative Investigation of
Co­ping Styles. The Journal of School Nursing, 25(3), 222-229. doi:
10.1177/1059840509334365.
Luong, J., Yoder, M. K., & Canham, D. (2009). Southeast Asian parents
raising a child with autism: A qualitative investigation of coping sty­
les. The Journal of School Nursing, 25(3), 222-229.
Luther, E.H., Canham, D.L., & Cureton, V.Y. (2005). Coping and so­cial
support for parents of children with autism. The Journal of School
Nursing, 21(1), 40-47.
E

Maharani, K. D., Karini, S. M., & Agustin, R. W. (2015). Studi Kasus Proses
PL

Pencapaian Kebahagiaan pada Ibu yang Memiliki Anak Kandung


Penyandang Asperger’ s Syndrome. Wacana, 7(1).
M

Mahoney, G., & Perales, F. (2003). Using relationship-focused inter­ven­


SA

tion to enhance the social—emotional functioning of young children


with autism spectrum disorders. Topics in Early Child­hood Special
Education, 23(2), 74-86.
Mukhtar, D.Y. (2016). “Pedoman Group Based Parenting Support un­tuk
orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis.
Modul”. Yogyakarta: Program Doktor Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Marettih, A.K.E., & Wahdani, S. R. (2017). “Melatih Kesabaran dan Wujud
Rasa Syukur sebagai Makna Coping bagi Orang Tua yang Memiliki
Anak Autis”. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 16(1),
13-31.
Mash, E., & Wolfe, D. (1999). Abnormal Child Psychology. Bermont, CA:
Wadsworth Publishing Company.
Meliani, M., Setiawan, J.L., & Sukamto, M E. (2007). “Hubungan antara
kecerdasan emosional dan depresi pada ibu yang memiliki anak de­
ngan gangguan autisme”. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Pe­ne­litian
Psikologi, 12(23), 21-30.

91
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Milyawati, L., & Hastuti, D. (2009). “Dukungan keluarga, pengetahuan,


dan persepsi ibu serta hubungannya dengan strategi koping ibu pada
anak dengan gangguan autism spectrum disorder (ASD)”. Jurnal Ilmu
Keluarga & Konsumen, 2(2), 137-142.
Mudjito, Harizal, Widyarini, E., & Roswita, Y. (2014). Deteksi dini, diag­­
nosis gangguan spektrum autis dan penanganan dalam keluarga. Di­
rektorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khu­sus Direk­
to­
rat Jenderal Pendidikan Dasar. Kementerian Pendi­ di­
kan dan
Ke­budayaan
Mukhtar, D.Y. (2017). “Pengaruh group-based parenting support ter­hadap
stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan
spektrum autis”. (Disertasi tidak dipublikasikan). Fakul­tas Psikologi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muniroh, S.M. (2012). “Dinamika resiliensi orang tua anak autis”. Jur­nal
Penelitian, 7(2).
National Institute of Health. (2015). Autism spectrum disorder. www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002494/.
Noor, M., Indriati, G., & Elita, V. (2014). “Pengalaman Ibu dalam Me­rawat
E

Anak Autis Usia Sekolah”. (Doctoral Dissertation, Riau Uni­versity).


PL

Nugraheni, S.A. (2008). “Efektivitas intervensi diet bebas gluten bebas


casein terhadap perubahan perilaku anak autis berdasarkan modif­i­
M

kasi skor CARS”. (Disertasi tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Prog­


SA

ram Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada.


Nugroho, A.A. (2013). “Hubungan antara Penerimaan Diri dan Du­kung­an
Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB Au­tis”
di Surakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 2(2).
Ogston, P.L., Mackintosh, V.H., & Myers, B.J. (2011). “Hope and worry
in mothers of children with an autism spectrum disorder or Down
syndrome”. Research in Autism Spectrum Disorders, 5(4), 1378-1384.
doi:10.1016/j.rasd.2011.01.020.
Pamungkas, A.P. (2015). “Pelatihan keterampilan pengasuhan autis untuk
menurunkan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis”. Empathy,
5(1).
Pasyola, N.E. (2018). “Pengaruh parenting self-efficacy dan optimisme ter­
hadap psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan
intellectual disability”. Tesis. Fakultas Psikologi. UIN Sunan Gunung
Djati Bandung).
Phares, E.J. (1992). Clinical Psychology: Concepts, Methods, and Profes­sion.
4th Ed. Kansas: Brooks/Cole Publishing Co.

92
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

Pillay, M., Alderson-Day, B., Wright, B., Williams, C., & Urwin, B. (2011).
Autism Spectrum Conditions-Enhancing Nurture and De­ ve­
lop­ment
(ASCEND): An evaluation of intervention support groups for parents.
Clinical childpsychology and psychiatry, 16(1), 5-20.
Pruitt, M.M., Willis, K., Timmons, L., & Ekas, N.V. (2016). The im­pact of
maternal, child, and family characteristics on the daily well-being and
parenting experiences of mothers of children with autism spectrum
disorder. Autism, 20(8), 973-985. doi:10.1177/ 1362361315620409.
Pujiastuti, U. (2014). Hubungan antara dukungan ayah, pengetahuan ibu
tentang anak autis dan religiusitas (dimensi praktik agama) dengan
penerimaan ibu terhadap anak autis. Tesis.
Putri, M. (2011). “Dinamika kecemasan ibu yang memiliki anak au­tis yang
sedang puber”. Skripsi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Qodariah, S., Nurlailiwangi, E., & Amelia, S. (2011). Peran psikolog dalam
meningkatkan “coping strategy” dan “adaptational out­comes” pada ibu
yang memiliki anak autis. Prosiding SNaPP: So­sial, Ekonomi dan Hu­
maniora, 2(1), 19-26.
E

Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2011). “Penerimaan diri orang tua ter­
PL

hadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme”. Jurnal


Psikologi, 1(1).
M

Ratnani, I.P. (2014). “Hubungan kecerdasan asversitas dan dukung­an pa­


SA

sangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis”.
Tesis. Fakultas Psikologi. Yog­yakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ravindran, N., & Myers, B.J. (2012). “Cultural influences on perceptions
of health, illness, and disability: A review and focus on autism”. Jour­
nal of Child and Family Studies, 21(2), 311-319.
Rommelse, N., Geurt, H., Franke, B., Buitelar, J., & Hartman, C. (2011).
“No Title”. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 55, 1363-1396.
doi:10.1016/j.neubiorev.2011.02.015.
Santoso, T.B., Ito, Y., Ohshima, N., Hidaka, M., & Bontje, P. (2015). “Re­
silience in daily occupations of Indonesian mothers of children with
autism spectrum disorder”. American Journal of Occupational Therapy,
69(5), 6905185020p1- 6905185020p8.
Sa’diyah, S. (2016). Gambaran psychological well-being dan stres peng­
asuhan ibu dengan Anak AUTIS. Malang: Universitas Mu­ham­ma­diyah,
diakses tanggal, 11, 394-399.
Saraswati, I.F. (2011). “Strategi coping orang tua yang memiliki anak
ADHD”. Tesis. Prodi Psikologi Unika Soegijapranata.

93
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Saugstad, L.F. (1999). A lack of cerebral lateralization in schizophrenia is


within the normal variation brain maturation but indicate late, slow
maturation. Schizophrenia, 39(3), 19-23.
Schopler, E., Reichler, J., & Renner, B. (1988). The Childhood Autism Rating
Scale (C.A.R.S). Los Angeles: Western Psychological Ser­vices.
Schumann, C.M., Bloss, C.S., Barnes, C.C., Wideman, G,M., & Cour­ches­
ne, E. (2010) “Longitudinal magnetic resonance imaging stu­ dy of
cortical development through early childhood in autism”. The Journal
of Neuroscience: The Official Journal of the Society for Neuroscience.
30(12). 4419-4427.
Sharpley, C. F., Bitsika, V., & Efremidis, B. (1997). “Influence of gender,
parental health, and perceived expertise of assistance upon stress,
anxiety, and depression among parents of children with autism”.
Journal of Intellectual and Developmental Disability, 22(1), 19-28.
Shattock, P., & Whiteley, P. (2001). “Langkah intervensi biomedik un­
tuk penanganan autisme dan sejenisnya (Terjemahan)”. Seminar: In­
tervensi Biomedis pada gangguan autisme dan sejenisnya. Jakarta:
Ya­yasan Autisme Indonesia.
E

Shen M.D., Nordahl C.W., Young G.S. et al. (2013). “Early brain en­lar­
PL

gement and elevated extra-axial fluid in infants who develop autism


spectrum disorder”. Brain: A Journal of Neurology, 136(9), 2825-2835.
M

Siburian, E.G., & La Kahija, Y.F. (2014). “Pengalaman ibu dengan anak
SA

ADHD”. Empati, 3(4), 182-193.


Sin, N.L., & Lyubomirsky, S. (2009). “Enhancing well-being and alle­via­
ting depressive symptoms with positive psychology interven­tions: A
practice-friendly meta­analysis”. Journal of clinical psy­chology, 65(5),
467-487.
Sitorus, M. C. (2016). “Gambaran stres pada ibu yang memiliki anak au­
tis”. Skripsi.
Sofia, A.D. (2012). ”Kepatuhan orang tua dalam menerapkan terapi diet
gluten free casein free pada anak penyandang autisme” di Ya­yasan
Pelita Hafizh dan SLBN Cileunyi Bandung. Students e-Jour­nal, 1(1), 33.
Stefanatos, G.A. & Baron, I.S. (2011). “The ontogenesis of language im­pair­
ment in autism; A neuropsychological perspective”. Journal of Autism
and Developmental Disorders, 36, 921-933. doi: 10.1007/ s10803-006-
0129-7.
Steiner, A.M. (2011). “A strength-based approach to parent education for
children with autism”. Journal of Positive Behavior Interventions, 13(3),
178-190.

94
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF

Steinmetz, H., Staiger, J.F., Schlaug, G., Huang, Y., & Jncke, L. (1996).
Inverse relationship between brain size and callosal connectivity. The
Science of Nature, 5(83), 221.
Suadnyana, M.A. (2017). “Hubungan antara dukungan sosial dengan per­
tumbuhan terkait stres pada ibu dari anak autis”. Skripsi. Fa­kultas
Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Subandi, A., & Rusana, R. (2014). “Pengalaman orang tua mengasuh anak
dengan attention deficit hyperactive Disorders (ADHD/Hi­per­aktif)”.
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, 50-60.
Susanti, H. (2014). “Representasi konsep diri orang tua yang memiliki
anak autis”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(1), 1-118.
Susilowati, A. (2007). “Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat
stres dari anak autis”. Skripsi.
Swapna & Sudhir, M.A. (2016). “Behaviour modification for intellec­tually
disabled students”. IOSR Journal of Humanities and Social Science,
21(2), 35-38.
Syanti, W.R., & Handadari, W. (2016). “Penerapan behavioral parent tra­
ining untuk menurunkan stres pengasuhan pada ibu yang me­miliki
E

anak dengan gangguan ADHD”. INSAN: Jurnal Psikologi dan Kesehatan


PL

Mental, 1(1), 57-65.


Tao, J., Van Esch, H., Hagedorn-Greiwe, M., Hoffmann, K., Moser, B.,
M

Raynaud, M., ... & Ropers, H. H. (2004). “Mutations in the X-link­


SA

ed cyclin-dependent kinase-like 5 (CDKL5/STK9) gene are asso­ciated


with severe neurodevelopmental retardation”. The Ame­rican Journal of
Human Genetics, 75(6), 1149-1154.
Timmons, L. (2015). The Effectiveness of a Gratitude Intervention at Improving
Well-Being for Parents of Children with Autism Spec­trum Disorder. Texas:
Christian University.
Tonge, B., Brereton, A., Kiomall, M., Mackinnon, A., King, N., & Rine­hart,
N. (2006). “Effects on parental mental health of an education and
skills training program for parents of young children with autism: A
randomized controlled trial”. Journal of the American Academy of Child
& Adolescent Psychiatry, 45(5), 561-569.
Tucker, A.C. (2013). “Interpreting and treating autism in Javanese In­
donesian”. (Doctoral Dissertation, UCLA).
Tussofa, M. (2015). “Tingkat kecemasan ibu yang memiliki anak autis usia
6-7 tahun” di SLB Semesta Mojokerto. Laporan Penelitian.
Wardani, D. S. (2009). “Strategi coping orang tua menghadapi anak autis”.
Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(1).

95
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Wibawa, A.G. (2014). “Hubungan dukungan sosial keluarga dengan pe­


nerimaan diri ibu anak autis di SDLB-B dan autis” di TPA Jember.
Skripsi.
Wolff, J.J., Gerig, G., Lewis, J.D., Soda, T., Styner, M.A. (2015). “Al­tered
corpus callosum morphology associated with autism over the first 2
years of life”. Brain: A Journal of Neurology, 138(7), 2046-2058.
Wulandari, S., & Ranimpi, Y.Y. (2018). “Fungsi keluarga yang memiliki
anak intellectual disability” di Salatiga. Jurnal Gizi dan Kesehatan,
10(23), 1-10.
Yunianti, N. (2011). “Sumber stres dan cara menanggulangi stres pada ibu
dewasa muda yang memiliki anak autis” di Jakarta. Skripsi.
Zaidman-zait, A., Mirenda, P., Duku, E., Vaillancourt, T., Smith, I. M., Szat­
mari, P., “... Thompson, A. (2017). Impact of personal and social re­
sources on parenting stress in mothers of children with autism spectrum
disorder”. Autism, 21(2), 155-166. doi:10.1177/1362361316633033.
E
PL
M
SA

96
Bab 3
FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR
RISIKO PENGASUHAN

P
E

ada tahun 1990-an, keterbatasan informasi terkait kondisi anak


PL

dengan gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini terkhu­ sus


anak dengan gangguan spektrum autis) semakin membuat orang tua
M

terpuruk dan merasa tersisih dari masyarakat. Masyarakat menunjukkan


SA

sikap yang kurang hangat tidak hanya terhadap orang tua, namun juga
terhadap anak. Anak dengan gangguan spektrum autis dianggap sebagai
anak yang aneh, karena perilaku maladaptif yang ditampilkannya, seperti
berteriak dan tertawa tanpa sebab, bersikap agresif terhadap orang lain,
dan menyakiti dirinya sendiri. Kehadiran anak seperti ini dianggap sebagai
aib keluarga dan merupakan karma yang harus ditanggung orang tua
karena memiliki kesalahan di masa lalunya. Sungguh miris kondisi anak
dan orang tua yang harus mereka terima, mendapatkan stigma negatif dari
masyarakat. Keterbatasan informasi ditambah penolakan dari masyarakat
terhadap keluarga yang memiliki anak dengan keistimewaan ini, semakin
memperburuk kondisi psikologis orang tua dan anak.
Kondisi telah berubah, pada saat sekarang anak-anak dengan ke­
istimewaan ini sudah banyak diterima di masyarakat, di sekolah, dan
di lingkungan umum. Beberapa faktor yang memengaruhinya, seperti:
semakin banyaknya para profesional yang cukup menguasai di bidang ini,
akan menambahkan informasi dan memberikan du­kungan terhadap orang
tua dan keluarga; sosialisasi yang cukup intens dilakukan oleh pemerintah,
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

lembaga-lembaga formal (seperti sekolah khusus autis, Pusat Layanan


Autis) dan nonformal (seperti komunitas orang tua) sehingga memberikan
pengetahuan dan pemahaman po­sitif kepada masyarakat terkait kondisi
anak.
Pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan ganggu­an
perkembangan saraf tidak lah mudah, terkhusus bagi orang tua yang
memiliki anak dengan gangguan spektrum autis. Kesulitan-kesulit­an yang
orang tua alami selama mengasuh anak autis menjadi topik penelitian yang
terus diminati. Hal ini dipertegas dengan berbagai pe­nelitian yang telah
membuktikan bahwa pengasuhan orang tua yang memiliki anak dengan
gangguan spectrum autis mengalami stres lebih tinggi dibandingkan orang
tua dari anak dengan gangguan per­kem­bangan lainnya (Hayes & Watson,
2013).
Berbagai penelitian sebelumnya yang telah banyak membahas
tentang kondisi psikologis orang tua dalam merawat anak dengan gang­
guan perkembangan ini, beberapa penelitian sebelumnya mem­buk­tikan
bahwa orang tua mengalami stres dan munculnya emosi-emosi negatif
dalam diri. Terdapat penelitian memperlihatkan ibu mengalami stres
E

pengasuhan tinggi dan mengarah pada kondisi dis­tress, namun didapati


PL

pula beberapa penelitian yang menghasilkan stres pengasuhan rendah


yang mengarah pada kondisi eustress. Per­bedaan dari berbagai penelitian
M

sebelumnya ini memunculkan perta­nyaan lebih lanjut bagaimana kajian


SA

tentang pengasuhan orang tua dalam merawat anak-anaknya? faktor-


faktor apa yang memengaruhi kondisi pengasuhan orang tua agar tetap
kuat dan tidak mengarah pada kondisi distress?
Tidaklah mudah bagi orang tua untuk dapat mengasuh anaknya
dengan penuh kesabaran, keuletan dan kegigihan, terdapat beberapa
faktor yang mendukungnya yakni faktor-faktor protektif yang mem­bentuk
kekuatan dalam diri. Faktor protektif merupakan faktor pe­lindung agar
orang tua tetap bertahan menghadapi kompleksitas permasalahan selama
mengasuh anak-anak dengan gangguan perkem­bangan saraf.

A. FAKTOR PROTEKTIF
Faktor protektif yang mendukung proses adaptasi keluarga ada­lah
lingkungan yang kondusif dan anggota keluarga yang mau mem­bantu.
Faktor protektif merupakan hal potensial yang digunakan se­­bagai alat
untuk merancang pencegahan dan penanggulangan ber­ba­gai hambatan,
persoalan, dan kesulitan degan cara-cara yang efektif (Hogue dan Liddle,

98
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

1999). Demikian pula menurut Garmezy (1991, dalam Hendriani, 2018)


telah mengidentifikasi beberapa kategori dari faktor protektif, yakni:
1. Berbagai atribut yang dimiliki individu seperti: temperamen yang
baik, pandangan positif terhadap diri sendri, dan inteligensi.
2. Kualitas keluarga, antara lain: kohesivitas, kehangatan, keterlibatan,
dan harapan keluarga.
3. Keberadaan dan pemanfaatan sistem pendukung eksternal di luar
keluarga.

1. Kesejahteraan (Well-Being)
Kesejahteraan merupakan salah satu konstrak ukur dalam bidang
psi­
kologi. Beberapa peneliti psikologi cenderung menyamakan istilah
happiness (kebahagiaan) dengan subjective well-being (kesejah­te­ra­an sub­
jektif) (Uchida, dkk., 2004), namun ada juga yang berpendapat bahwa
ke­dua variabel ini berbeda, kesejahteraan dapat dimaknai me­miliki kon­
sep lebih luas dan menyeluruh yang meliputi kebahagiaan itu sendiri
(Anggoro & Widhiarso, 2010).
Beberapa tokoh mendefinisikan makna kesejahteraan, di antara­nya:
E

menurut Pollard & Davidson (2001), kesejahteraan adalah ke­adaan kineija


PL

yang sukses sepanjang masa hidup yang menginte­grasikan fungsi fisik,


kognitif, dan sosial emosional yang menghasil­kan kegiatan produktif yang
M

dianggap penting oleh komunitas budaya, koneksi sosial, dan lingkungan


SA

sosial. Menurut Awartani, Vince, & Gordon (2008), kesejahteraan adalah


realisasi potensi fisik, emosional, mental, sosial dan spiritual seseorang.
Dogde, Daly, Huyton, Sanders (2012) menyatakan bahwa untuk mencapai
kesejahteraan diperlukan keseimbangan antara sumber dan tantangan,
yang meliputi dimensi psikologis, sosial, dan fisik. Kesejahteraan dengan
perspektif psikolo­gis (selanjutnya disebut kesejahteraan subjektif) memiliki
beberapa arti, yaitu: hasil evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap
ke­hidupannya, yaitu mencapai kepuasan hidup dan keseimbangan emo­si
(Diener, Oishi, & Lukas, 2003); perpaduan antara emosi positif dan tingkat
kebermaknaan individu (Keyes, 2006).
White (2009) mendefinisikan kesejahteraan subjektif sebagai gabung­
an dari perspektif hedonic dan eudaimonic, yang aspek-aspek­nya digali
langsung dari penelitian eksplorasi dari negara Timur dan Selatan, dan
memberi istilah sebagai inner well-being. Menurut White (2009), kesejah­
teraan subjektif adalah saat individu dapat mencapai kondisi having a
good life (memiliki sesuatu yang berdimensi materi, yaitu welfare, aset,
dan standar kualitas hidup), living a good life (melakukan sesuatu yang

99
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

berdimensi relasi, yang terdiri dari dimensi sosial dan dimensi manusia),
dan locating one’s life (persepsi dan penilaian subjektif terhadap dimensi
material dan relasional).
Penelitian tentang kesejahteraan menjadi kajian yang terus di­minati,
sebab semua orang menginginkan untuk terus sejahtera. De­mikian juga
dengan riset-riset yang berupaya menggali kesejahteraan orang tua
yang memiliki anak spesial, yakni anak yang perkembang­ annya tidak
seperti anak-anak normal pada umumnya. Bebe­­ra­pa pe­nelitian tentang
kesejahteraan, di antaranya: 1) Penelitian yang bertu­ju­an untuk menguji
pengaruh rasa syukur dan kepribadian terha­dap kesejahteraan psikologis
orang tua yang memiliki anak berkebu­tuh­an khusus oleh Nurarini (2016).
Hasil penelitiannya membuk­tikan bah­wa kesejahteraan psikologis orang
tua dipengaruhi secara signifikan oleh rasa syukur dan kepribadian
sebesar 59,7% dan sisanya 40.3% dipengaruhi oleh variabel lain di luar
penelitian ini; 2) Penelitian de­ngan tujuan untuk menguji hubungan ber­
syukur dan kesejahteraan subjektif pada orang tua yang memiliki anak
tunagrahita telah dil­akukan oleh Murisal dan Hasanah (2017). Hasil pe­
nelitiannya menun­ jukkan terdapat hubungan positif antara bersyukur
E

dan kesejahteraan subjektif, artinya semakin orang tua bersyukur dengan


PL

kondisi yang ada maka orang tua akan semakin merasa sejahtera; 3)
Penelitian dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai hubung­
M

an parenting self efficacy dengan kesejahteraan subjektif pada ibu yang me­
SA

miliki aak berkebutuhan khusus telah dilakukan oleh Hasanah, Mulyati,


dan Tarma (2019). Hasil penelitian semakin menegaskan kesejahteraan
subjektif dipengaruhi oleh parenting self efficacy sebesar 18,22% sedangkan
sisanya 81,78% ditentukan oleh faktor lain di luar dari penelitian ini.

2. Kepribadian Tangguh (Hardiness)


Menurut Kobasa, Maddi, Pucceti, dan Zola (1994) mengemuka­kan
bahwa individu yang mempunyai kepribadian tangguh memiliki kontrol
pribadi, komitmen, dan siap dalam menghadapi tantang­an, artinya per­
ubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri maupun di luar dirinya di­
lihat sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dan bukan sebagai suatu
ancaman terhadap dirinya. Individu yang me­mi­li­ki ketangguhan dianggap
tetap sehat meskipun mengalami ke­jadian-kejadian yang penuh dengan
stres. Ketangguhan mempunyai serangkaian ciri atau sikap yang mem­buat
individu tahan terhadap tekanan karena kepribadian ini menunjuk­kan
adanya komitmen yang merupakan lawan dari alienasi, kontrol merupakan
lawan keti­ dakberdayaan dan tantangan sebagai lawan dari takut atau

100
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

situasi yang mengancam. Fungsi kepribadian tangguh adalah sebagai pe­


nyangga atau memediasi faktor yang dapat meningkatkan koping atau
mengurangi efek berbahaya dari stres (Sarafino & Smith, 2014). Kobasa,
Maddi, dan Kahn (1982) juga menegaskan bahwa kepribadi­an tangguh
membantu sebagai tameng (buffer) terhadap stres yang ekstrem.
Pentingnya menumbuhkan ketangguhan bagi orang tua yang me­
miliki anak dengan gangguan perkembangan juga telah dibuktikan me­
lalui berbagai penelitian, di antaranya: 1) Penelitian dengan tuju­an untuk
meminimalisasi kemunculan stres pengasuhan melalui pe­ran efikasi diri
dan ketangguhan telah dibuktikan oleh Andika (2012). Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa efikasi diri dan ketangguh­­an memberikan sumbang­
an total sebesar 74,79% terhadap stres peng­asuh­an; 2) Penelitian dengan
tujuan untuk melihat profil ketangguh­an ibu yang memiliki anak ganggu­
an spectrum autis oleh Daulay (2017). Hasil penelitiannya membuktikan
bahwa ibu cukup tangguh dalam merawat anaknya, ditinjau dari aspek
ketangguhan yang dikemukakan oleh Maddi & Kobasha (1980), ditemu­
kan bahwa aspek komitmen memiliki nilai mean tertinggi, kemudian di­
ikuti dengan aspek kontrol dan aspek tantangan. Implikasi penelitian ini
E

sebagai data awal untuk melihat gambaran profil ketangguhan ibu da­lam
PL

mengasuh anak autis; 3) Penelitian tentang ketangguhan dengan meli­


hat hubungan antara kebersyukuran dan religiusitas telah dilakukan oleh
M

Aprilia (2018). Hasil penelitiannya telah membuktikan bahwa terdapat


SA

hubungan positif antara kebersyukuran dan religiusitas sebesar 73,9%


dalam memengaruhi ketangguhan. Hal ini memiliki arti bahwa semakin
orang tua memiliki rasa syukur dan religiusitas tinggi maka akan se­makin
tangguh orang tua dalam merawat anak-anaknya.

3. Efikasi Diri (Self Efficacy)


Albert Bandura merupakan tokoh yang mencetuskan efikasi diri
(self-efficacy). Bandura mendefinisikan bahwa efikasi diri merupakan ke­
yakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melaku­kan tugas
atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil terten­tu (Feist &
Feist, 2006). Albert Bandura (1997) mengatakan bahwa efikasi diri pa­
da dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keya­
kin­an, atau penghargaan tentang sejauh mana indi­vidu memperkirakan
ke­­mam­puan dirinya dalam melaksanakan tu­gas atau tindakan tertentu
yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Efikasi diri me­
nekankan pada komponen keyakinan diri yang dimiliki seseorang dalam
menghadapi situasi yang akan datang yang mengandung kekaburan, tidak

101
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dapat diramalkan, dan sering penuh dengan tekanan. Meskipun efikasi


diri memiliki suatu penga­ruh sebab-musabab yang besar pada tindakan
kita, efikasi diri bukan merupakan satu-satunya penentu tindakan. Efika­
si diri berkombinasi dengan lingkungan, perilaku sebelumnya, dan va­
riabel-variabel per­so­nal lain, terutama harapan terhadap hasil untuk me­
munculkan pe­rilaku. Efikasi diri akan memengaruhi beberapa aspek dari
kognisi dan perilaku seseorang.
Efikasi diri orang tua merupakan komponen dasar dalam men­jelaskan
keefektifan pengasuhan (Jones & Prinz, 2005). Orang tua yang merasa
kurang yakin dan merasa memiliki sedikit kekuatan dalam memengaruhi
perilaku anak akan cenderung tidak tegas dan mudah tersinggung saat
berinteraksi dengan anak, namun berbeda ketika orang tua memiliki
perasaan berkompeten yang tidak hanya memengaruhi perilaku dan sikap
orang tua terhadap anaknya, tetapi juga mampu memengaruhi perubahan
dengan cara yang baik ketika berinteraksi dengan anak (Holden, 2015).
Bandura (1982) mendefinisikan efikasi diri dalam konteks pengasuhan
sebagai tingkatan perasaan orang tua berkompetensi dan per­ caya diri
dalam menangani permasalahan anak. Johnston dan Mash (1989) menje­
E

laskan bahwa perasaan efikasi pengasuhan berfungsi sebagai mo­derator


PL

hubungan orang tua dan anak dan bagi para pengasuh dengan tingkat
pengontrolan rendah dalam mengatasi perilaku anak yang bermasalah.
M

Beberapa penelitian menegaskan bahwa efi­kasi diri merupakan hal yang


SA

sangat penting, atau memediasi faktor psikologi dalam hubungannya an­


tara pikiran dan tindakan (Coleman & Karraker, 1998; Jackson & Huang,
2000; Teti & Gelfand, 1991).
Beberapa penelitian yang telah membuktikan peranan efikasi diri
da­lam memengaruhi kualitas pengasuhan orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan, seperti: 1) Penelitian tentang parenting education dalam
meningkatkan parenting self efficacy pada orang tua dari anak dengan
gangguan autism oleh Ekaningtyas (2019). Hasil penelitiannya membuk­
tikan bahwa parenting education dalam bentuk psikoedukasi dapat di­
gunakan untuk membentuk dan meningkatkan parenting self efficacy
karena dapat membentuk atau mengubah persepsi dan meningkatkan as­
pek kognitif atau pemahaman orang tua mengenai strategi penanganan
anak dengan gangguan autism; 2) Penelitian ten­t­ang perbandingan efika­
si diri dalam pengasuhan anak pada ibu yang memiliki anak disabili­tas
dan tidak memiliki anak disabilitas oleh Sari (2020). Hasil penelitian­­nya
membuktikan Tidak terdapat per­ bedaan signifikan tingkat efikasi diri
dalam pengasuhan anak pada Ibu yang memiliki anak disabilitas dan tan­

102
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

pa disabilitas, pengaruh kesamaan latar belakang pendidikan dari para


responden menjadi salah satu alasan tidak adanya perbedaan tingkat efi­
kasi diri dalam pengasuhan anak antar dua kelompok ini; 3) Penelitian
tentang peran dukungan sosial terhadap munculnya efikasi diri pengasuh­
an pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus oleh Harmantia dan
Rachmahana (2020). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa efikasi diri
pengasuhan orang tua dipengaruhi oleh dukungan sosial sebesar 12,25%,
selebihnya dipengaruhi faktor-faktor lain yang perlu dikaji lebih lanjut.

4. Dukungan Sosial (Social Support)


Moritsugu, Vera, Wong, dan Duffy (2015) mengungkapkan bah­wa
dukungan sosial yang dirasakan (perceived social support), merupa­kan
penilaian individu secara kognitif tentang keterhubungannya dengan
orang lain. Dukungan sosial yang dirasakan atau dipersepsikan me­rupakan
konstrak kajian dan pengukuran dalam berbagai literatur atau peneli­
tian (Kloos et al., 2012). Boyd (2002) mengemukakan bah­wa pemberian
dukungan sosial langsung atau tidak langsung akan meningkatkan ke­se­
jahteraan subjektif, kesehatan fisik, dan peng­aturan stres yang konstruk­tif.
E

Dukungan informal bisa ibu dapatkan dari suami, keluarga, teman para
PL

profesional, guru, dan terapis anak, sedangkan dukungan formal bisa dari
sekolah, tempat layanan kese­hatan, dan tempat terapi.
M

Menurut Sarafino dan Smith (2014), terdapat empat jenis dukung­an


SA

dasar yang dibutuhkan oleh setiap individu, yaitu: 1) dukungan emosio­


nal atau penghargaan (emotional or esteem support), 2) dukung­an nyata
atau instrumental (tangible or instrumental support), 3) du­kung­an infor­masi
(informational support), yaitu dukungan dalam bentuk pemberian na­si­­hat,
saran, bimbingan yang berhubungan dengan pe­mecahan masalah, atau
feedback tentang bagaimana seseorang dalam bertindak; 4) dukungan
per­saudaraan/pertemanan (companion­ship sup­port), yaitu dukungan yang
si­fatnya terhubung dengan orang-orang terdekat baik secara individual
maupun kelompok yang me­mung­kinkan individu untuk berbagi minat de­
ngan orang lain dan membentuk persahabatan, serta adanya kesedia­an
seseorang atau kelompok untuk berbagi waktu dengan individu.
Beberapa penelitian yang telah membuktikan peranan dukung­ an
sosial dalam memengaruhi kualitas pengasuhan orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus, seperti: 1) Penelitian dengan menggunakan
tiga variabel dalam membuktikan penerimaan orang tua dari anak ber­
kebutuhan khusus, yakni: kecerdasan emosi, du­kungan sosial, dan rasa
syukur oleh Fitria (2019). Ketiga variabel ini memiliki korelasi positif

103
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dalam memengaruhi penerimaan diri orang tua sebesar 41,1%. Artinya


semakin orang tua memiliki kecerdas­an emosi baik, cukup mendapatkan
dukungan sosial, dan seringnya untuk bersyukur akan semakin memper­
cepat penerimaan diri orang tua telah dianugerahkan anak berkebutuh­
an khusus; 2) Penelitian tentang dukungan sosial dan hardiness terha­
dap stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis oleh Harlinda
& Patisti, W.D. (2018). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dukung­
an sosial dan har­diness berkorelasi negatif terhadap kemunculan stres
pengasuhan, artinya semakin tinggi dukungan sosial yang diterima ibu
di­­tambah dengan semakin tangguh maka mampu menurunkan stres peng­
asuh­an yang dirasakannya, terbukti dengan nilai sumbangan sebesar 40,8
persen; 3) Penelitian tentang dukungan sosial bagi keluarga dari anak
berkebutuhan khusus oleh Hidayati (2011). Hasil penelitiannya membuk­
tikan bahwa sebagian besar orang tua mendapatkan dukung­an dari teman
dan keluarganya melalui kegiatan parental support group.

5. Resiliensi
Resiliensi merupakan hasil dari upaya mengelola berbagai ma­cam
E

risiko atau hal yang berpotensi memunculkan krisis dengan ca­ ra-cara
PL

yang positif (Duncan, dkk., 2005) daripada menghindari risiko tersebut.


Resiliensi mencakup keberadaan faktor-faktor pro­tek­tif (personal, sosial,
M

keluarga) yang memungkinkan individu un­­tuk bertahan terhadap tekan­an


SA

hidupnya (Kaplan, dkk. 1996 dalam Hendriani, 2018). Proses resilien­si


yang dilakukan keluarga terban­tu oleh adanya faktor protektif yang di­
miliki oleh keluarga. Resilien­si dianggap sebagai koping yang efektif dan
adaptasi yang positif ter­hadap berbagai situasi yang menekan (stressor),
faktor risiko di­pandang sebagai hal-hal yang bersifat memperlemah dan
stres (Hen­driani, 2018).
Pentingnya resiliensi dimunculkan bagi setiap orang tua yang me­
miliki anak dengan gangguan perkembangan, juga telah dibuktikan dari
berbagai riset-riset sebelumnya, seperti: 1) Penelitian tentang gambaran
resiliensi ibu yang memiliki anak autis oleh Edyta dan Da­mayanti (2016).
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa setiap ibu mengalami dinami­
ka yang berbeda di masing-masing aspek resiliensi (pengendalian emosi,
pengendaian dorongan, optimis, analisis penye­bab masalah, empati, efika­
si diri, dan peningkatan aspek positif). Pa­da awalnya, responden peneliti­
an ini merasa terkejut, terpuruk, dan tidak menyangka jika anak mereka
akan mengalami gangguan per­kembangan ini, dnegan penerimaan akhir­
nya mampu bangkit serta senantiasa berpikir positif kenlak anak mereka

104
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

akan menjadi lebih baik, memiliki keyakinan dapat memberikan yang


terbaik untuk anak, dengan cara meningkatkan keterampilan orang tua
dalam me­na­ngani anak; 2) Dinamika resiliensi orang tua dari anak autis
jga telah diteliti oleh Muniroh (2010). Hasil penelitiannya membuktikan
bahwa pembentukan resiliensi orang tua dari aak autis dipengaruhi oleh
faktor dalam diri (seperti: kompetensi pribadi, toleransi pada pengaruh
negatif, penerimaan diri yang positif, control diri dan pe­ngaruh spiritual),
dan faktor luar diri (seperti: dukungan dari keluarga, saudara, tetangga,
serta orang-orang yag ada di sekitar orang tua). Resiliensi orang tua juga
dipengaruhi oleh faktor kognitif (seperti: yakin, dan mampu merawat anak),
dan faktor afektif (seperti: pera­saan kecewa, pemaknaan, dan kesedihan);
3) Penelitiannya dengan tujuan untuk menguji gambaran resiliensi pada
ibu yang memiliki anak down syndrome juga telah dibuktikan oleh Lesta­
ri dan Mariyati (2016). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa setiap
ibu memilki perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi kemunculan re­
siliensi, di antaranya faktor keluarga dan peran lingkungan sekitar yang
telah memberi motivasi serta dorongan dari kepribadian responden yang
tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
E
PL

6. Bersyukur
Bersyukur merupakan salah satu bentuk apresiasi atas apa yang telah
M

Tuhan berikan dalam kehidupannya, dengan cara memandang secara


SA

positif stimulus yang daang dari luar, berpikir positif dan op­timisme atas
kesulitan yang ada. Bagaimana memunculkan rasa syu­kur bagi orang tua
yang memiliki anak istimewa ini bukanlah hal mudah, membutuhkan
proses agar bisa menerima kondisi anak. Ra­sa syukur ini juga berkaitan
dengan kesehatan psikologis dan fungsi sosial individu, dalam membantu
individu sebagai pengembangan di­rinya (Emmons & McCullough, 2004).
Penelitian oleh Daulay, Ramdhani, dan Hadjam (2018) semakin me­
negaskan peran penting bersyukur bagi orang tua dari anak dengan gang­
guan spektrum autis. Bersyukur, yaitu rasa berterima kasih ibu atas ke­
nikmatan yang Tuhan berikan kepada ibu dan keluarganya, se­sulit dan
seberat apa pun dalam mengasuh anak dengan istimewa ini, sehingga ibu
akan lebih tenang ketika mampu memaknai kehadir­an anaknya. Hal-hal
yang telah Tuhan berikan kepada ibu bukan saja dengan memberikan
anak, tapi juga lahir dan batin ibu menjadi le­bih tenang, lebih bahagia,
lebih mampu memaknai hidup, dan mampu mengatasi masalah kehidupan
Peran penting bersyukur sebagai salah satu faktor protektif ju­ga telah
dibuktikan dari berbagai penelitian, seperti: 1) Penelitian yang bertujuan

105
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

untuk menguji hubungan antara rasa syukur dan pe­nerimaan diri orang
tua yang memiliki anak-anak intellectual disability oleh Sutriyatno (2016).
Hasil penelitiannya membuktikan terdapat hubungan positif antara rasa
syukur dengan penerimaan diri, artinya orang tua yang bersyukur akan
kondisi anak maka akan lebih cepat dalam menerima anak; 2) Penelitian
yang berupaya mengkaji hu­ bungan antara kebersyukuran, religiusitas
terhadap ketangguhan ibu oleh Aprilia (2018) juga menghasilkan hubung­
an yang psitif di an­ta­ra ketiga varibel ini, artinya bagi ibu yang intens
ber­syukur dan memiliki pemahaman religiusitas yang baik, maka lebih
tang­guh da­lam merawat anak-anak dengan keistimewaan ini; 3) Demi­
kian juga dengan penelitian yang berupaya mengkaji kebersyukuran de­
ngan kepuasan hidup orang tua oleh Sulastina dan Rohmatun (2018).
Hasil penelitiannya semakin membuktikan peran penting bersyukur untuk
meningkatkan kualitas hidup orang dari anak-anak berkebutuhan khusus.

7. Religiusitas
Konsep religiusitas yang paling banyak digunakan dalam pene­litian
psikologi berdasarkan dari teori Glock dan Stark (dalam Subandi, 2013),
E

merupakan konsep kesadaran beragama yang ditandai de­ngan lima as­pek


PL

yaitu: 1) Religious belief (the ideological dimension), atau dimensi keyakin­


an yaitu sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam
M

agamanya; 2) Religious practice (the ritual di­mension), yaitu tingkatan se­


SA

jauh mana seseorang mengerjakan kewa­ jiban-kewajiban ritual dalam


aga­­manya; 3) Religious feeling (the ex­periential dimension), atau dimensi
peng­­alaman dan penghayatan ber­agama, yaitu perasaan-perasaan atau
peng­alaman-pengalaman ke­agamaan yang pernah dialami dan dirasakan;
4) Religious knowledge (the intellectual dimension), atau dimensi pengeta­
huan yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran
aga­manya, terutama yang ada dalam kitab suci maupun yang lainnya; 5)
Religious effect (the consequential dimension), yaitu dimensi yang meng­ukur
sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di da­
lam kehidupan sosial.
Religiusitas sendiri menurut Hendriani (2018) ditunjukkan oleh ada­
nya penghayatan keagamaan dan keyakinan atas segala ketentuan Tuhan
dalam hidup, yang tidak hanya diekspresikan melalui ritual ibadah, teta­pi
juga ketika melakukan aktivitas lain sehari-hari. Religiusitas yang ting­gi
akan membantu membentengi individu dari ber­bagai pikiran ne­gatif yang
kerapkali muncul ketika menghadapi situasi sulit, oleh kare­nanya tepat
jika religiusitas ini menjadi sa­lah satu faktor protektif lainnya. Namun

106
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

sebaliknya, jika religiusitas yang rendah akan menjadi sebuah faktor ri­
si­ko, sebab tanpa pengha­yatan keagamaan, tanpa pegangan spiritual ten­
tang keyakinan akan ketentuan Tuhan, maka dalam situasi yang sangat
ter­tekan individu akan rentan mengalami problem psikologis yang berke­
pan­jangan. Individu akan larut dalam kesedihan, sibuk mnyesali keada­
an, men­cari-cari sumber kesalahan untuk kemudian mempersalahkan­nya,
men­cari pelarian atau pelampiasan yang negatif, dan sebagainya. Reli­
giusitas menjembatani individu untuk lebih mampu menerima kon­disi
baru yang berbeda dari sebelumnya, sesulit apa pun kondisi tersebut.
Beberapa penelitian telah membuktikan peran religiusitas dalam me­
ningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup bagi orang tua dari anak-
anak istimewa ini, di antaranya: 1) Penelitian yang bertujuan untuk
meng­kaji hubungan antara religiusitas dalam meningkatkan ketangguhan,
oleh Santana dan Istiana (2019). Hasil penelitiannya membuktikan bah­
wa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dan kepri­ba­
dian tangguh pada ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan, artinya
semakin tinggi religiusitas orang tua maka se­makin tangguh pula orang
tua terutama dalam menghadapi situasi sulit; 2) Orang tua yag mengala­
E

mi stres bisa disebabkan karena mi­nimnya pengetahuan terkait ganggu­an


PL

perkembangan yang diala­mi anak, sulitnya perilaku anak dan ketidak­


berfungsiannya interaksi an­tara orang tua anak menjadi salah satu latar
M

belakang penelitian ini, sehingga berupaya mengkaji peran religiusitas


SA

yang dianggap mam­pu mengelola stres yang dialami. Tujuan penelitian


ini adalah meng­uji hubungan religiusitas dengan stres pengasuhan oleh
Rahayu dan Amalia (2019). Hasilnya membuktikan bahwa terdapat hu­
bungan yang negatif antara religiusitas dengan stres pengasuhan, artinya
se­ma­kin tinggi religiusitas ibu maka semakin rendah stres pengasuhan
yang ibu rasakan; 3) Orang tua yang mengalami stres terkait mengasuh
anak-anak istimewa ini, umumnya akan mampu meminimalisasi stres
yang dirasakan melalui koping religius, sehingga tujuan penelitian ini
adalah untuk menggali peran koping religius dalam meminimalisasi stres
bagi orang tua dari anak-anak istimewa oleh Alfiyanti (2020). Hasil pe­
nelitiannya membuktikan bahwa peran aspek koping religius (pera­saan
pertama ketika mengetahui kondisi anak, pandangan orang tua de­ngan
kehadiran anak, motivasi orang tua dalam mengasuh, kesulitan yang di­
hadapi selama mengasuh, hal yang dilakukan ketika merasa tertekan, si­kap
pertama kali yang diambil setelah mengetahui keadaan anaknya), stra­tegi
koping religius yang dipilih oleh ketiga orang tua (strategi collaborative),
dan metode koping religius yang dilakukan oleh orang tua (metode ko­ping

107
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

religius dalam mencari makna, metode koping religius untuk mendapat­


kan kontrol, metode koping religius untuk mendapatkan kenyamanan dan
mencapai ke­dekatan dengan Tuhan), mampu meminimalisasi stres yang
dialami.

B. FAKTOR RISIKO
Menurut Kaplan (1999) mendefinisikan faktor risiko sebagai “predik­
tor awal” dari sesuatu yang tidak diinginkan atau sesuatu yang membuat
orang semakin rentan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut
Rutter (1990) faktor risiko merupakan variabel yang mengarah langsung
pada kondisi patologis atau maladjust­ment, meski di sisi lain Rutter ju­
ga menujukkan bahwa faktor risiko merepresentasikan proses dan meka­
nisme yang mengarah pada aki­bat yang bersifat problematik. Sementara
Luthar (1999) mendefini­sikan faktor risiko sebagai sebuah variabel yang
memfasilitasi munculnya problem perilaku, sebagai respons yang lebih
lanjut dari stres (dalam Hendriani, 2018).
E
1. Perilaku Maladaptif Anak
PL

Perilaku maladaptif yang ditampilkan anak menjadi tema penting


untuk dikaji, sebab jika membahas proses pengasuhan pada orang tua
M

yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf, maka salah


SA

satu faktor utama orang tua mengalami penurunan kesejahteraan, merasa­


kan emosi negatif, dan berdampak pada stres pengasuhan, maka perilaku
maladaptif anak merupakan jawabannya yang ha­rus dipahami terlebih
dahulu. Pemahaman tentang perilaku mala­dap­tif anak dengan gangguan
perkembangan saraf akan memengaruhi dalam pemberian intervensi yang
tepat bagi anak. Penelitian yang dilakukan Daulay (2019) membuktikan
bahwa faktor yang berperan dalam memunculkan stres pengasuhan ibu
adalah persepsi orang tua akan perilaku maladaptif anak gangguan spek­
trum autis. Artinya semakin negatif persepsi ibu akan perilaku maladaptif
yang ditampilkan anak autis, maka ibu akan semakin stres, demikian seba­
liknya.
Penulis telah menjelaskan tentang perilaku maladaptif anak dan peng­
ukurannya yang akan terbit pada salah satu Jurnal tahun 2020 ini, dalam
memahami perilaku maladaptif anak, maka salah seorang tokoh bernama
Doll tahun 1995 pertama kali telah menyusun skala pengukuran perilaku
adaptif, kemudian dikembangkan oleh Sparrow, dkk. (1984). Menurut
Doll (dalam Hadiyati, 1992), perilaku adaptif menunjukkan adanya prin­

108
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

sip penting dari kematangan sosial pada diri setiap individu, yaitu: ke­
siapan diri, perilaku serta respons terhadap lingkungan sosial. Sparrow
dkk., (1984) mengembangkan skala perilaku adaptif (Vineland Adaptif
Be­havior Scale) untuk melihat kemampuan perilaku adaptif anak yaitu
mampu menampilkan aktivitas sehari-hari yang dituntut agar seseorang
mampu memenuhi kebutuhan pribadi maupun sosialnya.
Prinsip utama yang dikemukakan Sparrow adalah: 1) Perilaku adaptif,
berhubungan dengan perkembangan usia. Semakin tinggi usia, maka pe­
rilaku yang muncul pun semakin kompleks; 2) Perilaku adaptif, diarti-
kan dalam konteks harapan atau ukuran lingkungan terhadap seseorang;
3) Perilaku adaptif, juga diartikan sebagai tampilan perilaku yang khas
(untuk setiap tahapan usia) dan bukan sebagai bakat kemampuan. Dengan
kata lain, perilaku adaptif adalah keberhasilan anak untuk menyesuai-
kan peri­lakunya terhadap orang lain secara umum, terhadap kelompok-
nya dan juga lingkungannya. Perilaku tersebut menurut Sparrow dkk.,
(1984) mencakup beberapa ranah (domain) yaitu komunikasi (expressive,
receptive, written), keterampilan hidup sehari-hari (personal, domestic, com­
munity), sosialisasi (interpersonal relationship, play and leisure), dan kete­
E

rampilan motorik (gross, fine) (dalam Daulay, 2020).


PL

Setelah dipaparkan pejelasan tentang perilaku adaptif, maka selan­


jutnya akan membahas tentang perilaku maladaptif, yakni peri­laku yang
M

tidak sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Sparrow dkk., (2005) men­


SA

definisikan perilaku maladaptif anak sebagai berikut: perilaku maladap­tif


anak adalah jenis perilaku yang tidak diinginkan yang dapat meng­gang­gu
fungsi adaptif individu dalam kehidupan­nya sehari-hari. Dengan kata lain,
perilaku maladaptif anak meru­pa­kan perilaku anak yang tidak mam­pu
menyesuaikan diri atau beradap­tasi dengan keadaan sekelilingnya secara
wajar, dan tidak mampu beradaptasi sesuai dengan tahapan perkembangan
usianya.
Perilaku maladaptif terbagi kepada tiga kategori perilaku, yaitu
perilaku internalizing, perilaku externalizing, dan perilaku mal­ a­
daptif
lainnya. Perilaku maladaptif internalizing mencakup: keter­ gan­tungan,
menghindari orang lain dan lebih senang menyendiri, mengalami kesulitan
makan, mengalami kesulitan tidur, menolak pergi ke sekolah atau bekerja
karena takut, perasaan akan ditolak atau dikucilkan, terlalu cemas, mudah
menangis atau tertawa, minimnya kontak mata, sedih untuk alasan yang
tidak jelas, menghindari untuk berinteraksi sosial, ku­rang bertenaga atau
kurang berminat dalam hidup (Sparrow dkk., 2005) (dalam Daulay, 2020).
Perilaku maladaptif internalizing berbeda dengan perilaku maladaptif

109
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

externalizing, perbedaannya adalah perilaku maladaptif internalizing lebih


menekankan pada gangguan emosi dan suasana hati, meliputi kecemasan,
depresi, keluhan somatik (misalnya sakit dan nyeri badan), kesimpulannya
perilaku maladaptif Internalizing ini tidak menunjukkan perilaku menyakiti
atau menyerang orang lain. Banyak anak mengalami kesulitan mengatasi
emosinya dan ditunjukkan dengan tanda-tanda kesulitan dalam mengontrol
perilakunya (Deater-Deckard, 2004) (dalam Daulay, 2020). Sedikit
penelitian yang mengaitkan permasalahan internalizing anak-anak dengan
stres pengasuhan orang tua, sebab perilaku internalizing tidak semenonjol
seperti permasalahan perilaku externalizing. Na­ mun, penelitian yang
dilakukan oleh Mesman dan Koot (2000); se­makin menguatkan bahwa
terdapat tekanan yang dirasakan orang tua dengan memiliki anak yang
mengalami kecemasan dan depresi. Hall dan Graff (2012) menunjukkan
bahwa peningkatan perilaku maladaptif internalizing juga akan mening-
katkan stres pengasuhan orang tua (r=0,547, p=0,00).
Perilaku maladaptif externalizing, meliputi: impulsif (bertindak tanpa
dipikirkan terlebih dahulu), temper tantrums (amarah yang meledak),
sengaja tidak patuh dan menentang orang lain, mengejek, meru­ sak
E

atau mengganggu, tidak mengerti atau tidak peka terhadap orang lain,
PL

berbohong, menipu atau mencuri, agresif secara fisik (misalnya memukul,


menendang, menggigit, dan lain-lain), keras kepala atau cemberut, me­
M

ngatakan atau mengajukan pertanyaan yang memalukan di depan


SA

umum, berperilaku tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Sebagian


besar penelitian tentang anak yang mengalami gangguan perkembangan
akan erat kaitannya dengan stres pengasuhan orang tua yang berfokus
pada perilaku bermasalah externalizing (seperti kesulitan memusatkan
perhatian, agresi, conduct problem, delinquency) (Deater-Deckard, 2004)
(dalam Daulay, 2020).
Kategori perilaku maladaptif lainnya, meliputi: mengisap jempol
atau jari, mengompol atau harus menggunakan diaper pada malam hari,
ber­perilaku terlalu akrab dengan orang asing, menggigit kuku jari, meng-
alami tic, menggiling gigi sepanjang hari atau malam, mengalami waktu
yang sulit untuk memusatkan perhatian, sangat aktif atau resah diban-
dingkan orang lain seusianya, menggunakan properti sekolah atau peker-
jaan untuk tujuan pribadi yang tidak disetujui, mengumpat, melarikan
diri, membolos sekolah atau pekerjaan, mengabaikan atau tidak peduli
dengan orang lain di sekitarnya, menggunakan uang atau hadiah untuk
“membeli” yang disenangi, menggunakan alkohol sepanjang sekolah atau
bekerja (Sparrow dkk., 2005) (dalam Daulay, 2020).

110
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

Beberapa penelitian secara konsisten telah membuktikan bah­wa hal


menonjol yang menjadi kesulitan orang tua mengasuh anak dengan gang­
guan perkembangan adalah perilaku maladaptif anak. Intensnya perila­
ku maladaptif muncul pada anak-anak dengan gang­guan spektrum autis
meliputi agresivitas, tantrum, menyakiti diri sendiri, perilaku berulang
(Kons, Matson, & Turygin, 2013), rendah­nya strategi pengaturan emosi
da­pat meningkatkan emosi negatif (Samson, Hardan, Lee, Philips, dan
Gross (2015)
Demikian juga dengan perilaku maladaptif dari anak-anak dengan
gangguan perkembangan saraf lainnya, yakni: pada anak de­ngan intellec­
tual disability, anak menunjukkan perilaku rendahnya kemandirian (Nor­
lin & Broberg, 2013), kesulitan dalam akademik, so­sial dan praktik pe­
ngetahuan (Bertelli, dkk., 2016), rendahnya peri­laku adaptif (American
Association on Intellectual and Developmental Disabilities/AAIDD, 2010).
Pada anak ADHD menunjukkan perilaku hiperaktif dan kesulitan ber­kon­
sentrasi (Graziano dkk., 2011), peri­laku bermasalah (Climie & Mitchell,
2017).
Dampak yang ditimbulkan dari perilaku maladaptif anak de­ ngan
E

gangguan perkembangan saraf ini bagi orang tua dapat memun­culkan


PL

pengasuhan (Hall & Graff, 2012), orang tua mengalami stres pengasuhan
lebih tinggi disebabkan karena perilaku maladaptif ex­ternalizing (Bader,
M

Barry, & Hann, 2015).


SA

Demikian pentingnya penyebab utama perilaku maladaptif anak de­


ngan gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini anak dengan ganggu­
an spectrum autis) terhadap stres pengasuhan orang tua, maka penulis
melampirkan rangkuman beberapa riset sebelumnya tentang pengaruh
perilaku maladaptif anak autis terhadap kondisi psikologis orang tua
(dapat dilihat pada Tabel. 4).

111
Tabel.4. PENGARUH PERILAKU MALADAPTIF ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS ORANG TUA

112
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Lee (Disertasi, Predictors of Menguji faktor- Partisipan: 160 ibu-ibu yang memiliki anak autis Hasil:
2011) parenting stress faktor yang dapat (usia anak 3 tahun- 12 tahun). Berdasarkan analisis korelasi: usia anak, tahun
among mothers memengaruhi Penelitian ini menggunakan 13 variabel independen berlalu sejak anak terdiagnosis, keparahan
of children with munculnya stres dalam memprediksikan pengaruhnya terhadap autis, perilaku maladaptif anak, perasaan
autism in South pengasuhan pada ibu stres pengasuhan. Ketiga belas variabel: family bersalah ibu signifikan berkorelasi terhadap
Korea yang memiliki anak autis social support, number of family members, family stres pengasuhan. Berdasarkan stepwise multiple
di Korea composition, family monthly income, child’s severity regression: usia anak, tahun berlalu sejak
of autism, child’s maladaptive behavior, child’s age, anak terdiagnosis, dan perasaan bersalah ibu
year(s) elapsed since diagnosis, child’s gender, mothers merupakan variabel yang dominan memengaruhi
’ feelings of guilt, duration of marriage, mother’s stres pengasuhan ibu.
education, mother’s occupation.
Analisis: korelasi dan stepwise multiple regression.
SA
Hall, Graff Maladaptive Menguji pengaruh Partisipan: sebanyak 70 orang tua dari anak autis
M Hasil: terdapat peningkatan hubungan antara
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

(Jurnal, 2012) behaviors of perilaku maladaptif (usia anak 3-21 tahun). perilaku maladaptif internalizing dan stres orang
children with anak autis, dukungan Alat ukur: koping (coping health inventory for tua.
autism: Parent keluarga, stres orang parents); dukungan keluarga (family support scale); Berdasarkan analisis regresi pada model satu
support, stress tua, dan koping. stres pengasuhan (parenting stress index); perilaku menunjukkan stres pengasuhan dijelaskan oleh
PL
and coping. maladaptif anak (vineland adaptive behavior scales).
E perilaku maladaptif internalizing dan externalizing,
Analisis: pearson product-moment correlation, dan perilaku maladaptif lainnya sebanyak 26%.
independent- samples t test, multiple regression. Pada model dua menunjukkan stres pengasuhan
dijelaskan oleh kombinasi perilaku maladaptif
dan dukungan keluarga.
Zablotsky, The association Menguji stres dan Partisipan: sebanyak 1014 orang tua dari anak autis Hasil: penelitian ini semakin menegaskan
Bradshaw, between mental kondisi kesejahteraan dan 667 anak baru saja teridentifikasi autis. prediktor yang memengaruhi kesehatan mental
Stuart. (Jurnal health, stress, psikologis pada ibu dari Alat ukur: ibu dan meningkatnya stres dipengaruhi oleh
2013) and coping anak autis. • Diagnosis autis; Gangguan psikiatri tambahan; rendahnya ekomoni keluarga, banyaknya jumlah
supports in Menguji risiko Kesehatan mental ibu; Indikator stres; anak, kondisi keterbatasan anak autis (terdapat
mothers of pengasuhan ibu dan Dukungan koping;Variabel demografi Analisis: beberapa anak autis yang komorbid dengan
children with faktor protektif yang multiple regression gangguan lain).
autism spectrum berhubungan dengan
diorders. diagnosis anak.
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Maljaars, Maternal Menguji hubungan Partisipan: sebanyak 989 keluarga dalam konteks Hasil : ibu dari anak autis secara signifikan
Boonen, parenting antara perilaku berbahasa Belanda Alat ukur: menunjukkan skor lebih rendah pada aturan dan
Lambrechts, behavior and bermasalah anak dan • Perilaku pengasuhan (the parental behavior disiplin dan skor lebih tinggi pada pengasuhan
Leeuwen, child behavior perilaku anak dalam scale-short version) positif, stimulasi perkembangan, dan adaptasi
Noens. (Jurnal, problems in memengaruhi perilaku • Perilaku bermasalah anak (child behavior lingkungan.
2014) families of orang tua, dan mem­ban­ problems) Stres pengasuhan didapati pada keluarga yang
children and dingkannya antara ibu Metode: analisis MANOVA. memiliki anak autis.
adolescents with dari anak autis dan tidak Penelitian ini mengimplikasikan pelayanan dan
autism spectrum autis, ibu dari anak dan pelatihan untuk mendukung orang tua dari anak
disorder. remaja autis. autis dan menjelaskan perilaku bermasalah anak
autis. Pelatihan terkait pemahaman akan perilaku
bermasalah anak berfungsi untuk menurunkan
stres pengasuhan dan meningkatkan efikasi
SA
pengasuhan.
Zaidman-Zait, Examination Menguji hubungan Partisipan: sebanyak 184 ibu-ibu dari anak autis.
M Hasil: stres pengasuhan (general distress
Mirenda, Duku, of bidirectional antara dua tipe stres Alat ukur: dan parenting distress) disebabkan oleh
Szatmari, relationships pengasuhan (kondisi • Stres pengasuhan: parenting stress index-short perilaku bermasalah anak (internalizing dan
Georgiades, between parent stres secara umum form eksternalizing).
PL
Volden, stress and two dan kondisi stres • Perilaku anak: child behavior checklist.
E Stres pengasuhan (general distress) berpengaruh
Zwaigenbaum, types of problem pengasuhan) dan • Metode: analysis structural equation modelling langsung terhadap efikasi diri, depresi,
Vaillancourt, behavior in perilaku eksternalizing (path analysis). dan isolasi, serta ketidak efektifan praktik
Bryson, Smith, children with dan internalizing anak pengasuhan (misalnya, afeksi negatif, dan
Fombonne, autism spectrum autis. rendahnya kehangatan dan dukungan orang tua).
Roberts, disorder.
Waddell,
Thompson
(Jurnal, 2014).

113
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil

114
McStay, Parenting stress Menguji peran Partisipan: 150 orang tua dari anak-anak dan remaja Hasil: Hiperaktivitas anak merupakan faktor
Dissanayake, and autism: karakteristik anak (usia, autis, dan 54 orang tua dari anak perkembangan signifikan berhubungan terhadap stres
Scheeren, Koot, The role of age, keparahan autis, kualitas normal. pengasuhan pada orang tua autis, tanpa
Begeer. (Jurnal, autism severity, kehidupan anak dan Alat ukur: dipengaruhi keparahan autis dan kualitas
2014) quality of life perilaku bermasalah • Stres pengasuhan (Parenting stress index). kehidupan anak. Pengaruh yang signifikan dari
and problem anak) terhadap stres • Keparahan autis (Social Responsiveness Scale, perilaku bermasalah anak terhadap tuntutan
behaviour of pengasuhan. SRS) pengasuhan dan persepsi akan keterampilan
children and • Kualitas kehidupan anak autis (The Pediatric pengasuhan pada orang tua dari anak autis.
adolescents with Quality of Life (PedsQL) Inventory). Untuk karakteristik anak yang lain masih dalam
autism. • Perilaku bermasalah anak autis (Disruptive pengendalian orang tua.
Behavior Disorders Rating Scale).
Analisis:
• ANCOVA : menguji pengaruh kelompok autis
SA
dan anak perkembangan normal.
• Multiple regresion: menguji kontribusi usia anak,
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

kemampuan verbal, keparaha autis, kualitas


kehidupan anak dan perilaku bermasalah anak.
Bader, Barry, The relation Menguji hubungan Partisipan: Sebanyak 111 orang tua dari anak autis Hasil analisis regresi membuktikan bahwa
PL
Hann (Jurnal, between parental ekspresi emosi orang (usia anak 6-18 tahun) E ekspresi emosi orang tua (khususnya kritikan)
2015) expressed tua, merupakan Alat ukur: menyumbang sebanyak 18.7 dari varians perilaku
emotion and prediktor mapan atas • Demografi eksternalizing anak, diluar variabel kontrol
externalizing kemunculan gangguan • Perilaku anak (child behavior checklist) demografi, keterlibatan, stres orang tua, dan
behaviors in psikologis, dengan • Gejala keparahan anak (children’s social behavior praktik pngeasuhan.
children and perilaku externalizing questionnaire) Beberapa prediktor yang memengaruhi perilaku
adolescents anak. • Stres pengasuhan (PSI-short form) maladaptif anak: ekspresi emosi orang tua, emosi
with an autism • Praktik pengasuhan (Alabama parenting keterlibatan orang tua, dan pengasuhan kritikan.
spectrum questionnaire)
disorder. • Ekspresi emosi (the family questionnaire)
• Metode: analisis regresi berganda
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil
Pruitt, Willis, The impact of Mengeksplorasi Partisipan: sebanyak 83 ibu-ibu dari anak autis (usia Hasil:
Timmons, Ekas maternal, child, faktor-faktor global anak 3-13 tahun). Gejala depresi yang ibu rasakan berkaitan
(Jurnal, 2016) and family yang memengaruhi Alat ukur: dengan penurunan afeksi positif. Ibu-ibu
characteristics kehidupan sehari- • Kesehatan mental ibu (the center for yang mengalami gejala depresi berhubungan
on the daily hari dan interaksi epidemiologic studies depression scale, CESD) dengan peningkatan afeksi negatif. Kohesi
well­being and pengasuhan ibu. • Gejala keparahan autis (the social responsiveness keluarga berhubungan akan peningkatan
parenting scale (SRS)). interaksi pengasuhan positif. Gejala depresi
experiences • Keberfungsian keluarga (the family adaptability ibu dan kekakuan keluarga berhubungan akan
of mothers of and cohesion evaluation scale IV/FACESIV). peningkatan interaksi pengasuhan yang frustrasi.
children with • Afeksi umum sehari-hari (the positive and Pengasuhan ibu secara umum, anak dan
autism spectrum negative affect schedule/PANAS). karakteristik keluarga memengaruhi afeksi ibu
disorders. • Interaksi pengasuhan sehari-hari dan interaksi sosial.
Analisis : Hierarchical linear modelling/HLM
SA
(digunakan ketika mengukur desain hirarkis,
menguji pengasuhan ibu secara umum, anak dan
M
karakteristik keluarga berdampak pada afeksi dan
interaksi pengasuhan sehari-hari); covariate analysis
(menentukan variabel demografi); correlation
PL
analysis (hubungan antara variabel-variabel dalam
E
penelitian)

115
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil

116
Zaidman-Zait, Impact of Menguji hubungan Partisipan: sebanyak 283 ibu-ibu yang memiliki anak Hasil:
Mirenda, Duku, personal and antara perilaku autis (baru terdiagnosis autis) Pada saat terdiagnosis: Model menunjukkan
Vaillancourt, social resources bermasalah anak, Alat ukur: dukungan sosial tinggi dan penggunaan koping
Smith, on parenting strategi koping, sumber • Demografi keluarga berhubungan dengan menurunnya stres
Szatmari, stress in mothers sosial, stres pengasuhan • Stres pengasuhan (parenting stress index) pengasuhan. Sebaliknya, meningkatnya perilaku
Bryson, of children with pada ibu dari anak autis • Keberfungsian keluarga (the general family maladaptive externalizing, ketidakberfungsian
Fombonne, autism spectrum muda. functioning/GFF) keluarga, dan strategi koping rendah
Volden, disorder. • Dukungan sosial orang tua (the social support berhubungan dengan rendahnya stres
Waddel, scale/SSS) pengasuhan.
Zwaigenbaum, • Strategikoping orag tua (the ways of coping Dua tahun kemudian: tingginya stres
Georgiades, questionnaire/WoC) pengasuhan pada saat anak terdiagnosis autis
Bennett, • Keparahan autis (the autism diagnosis observation akan memprediksikan peningkatan stres
Elsabaggh, schedule/ADOS) pengasuhan di masa selanjutnya.
SA
Thompson. • Keterampilan kognitif anak (the M-P-R)
(Jurnal, 2016). • Keterampilan bahasa anak (the PLS-4)
M
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

• Perilaku adaptif anak (vineland adaptive behavior


scales)
• Perilaku bermasalah anak (the child behavior
PL
checklist/CBCL) E
• Perilaku berulang anak (the repetitive behavior
scale revised/RBS- R)
Analisis: Hierarchical multiple regression.
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

2. Faktor Risiko Lainnya


Permasalahan-permasalahan atau dengan kata lain sumber stres (stre­
sor) yang kerap muncul dalam merawat aak-anak dengan gang­guan per­
kembangan ini umumnya berasal dari kondisi anak terutama pada peri­
laku maladaptif yang ditampilkan anak. Selain itu, terdapat sumber stres
lainnya yang dianggap sebagai faktor risiko dalam me­munculkan stres
pengasuhan dan menurunkan kesejahteraan orang tua. Hasil penelitian
Daulay (2019) mengungkapkan terdapat tiga sumber stres pada ibu dalam
mengasuh anak-anak dengan gangguan spketrum autis, yakni: 1) Masa­
lah kondisi anak, terkait perilaku ber­masalah anak; 2) Masalah minimnya
penerimaan dukungan, terbagi pada dukungan finansial, dukungan emo­
sional dan informasional; 3) Ma­ salah penerimaan masyarakat, adanya
stig­ma negatif terkait kon­disi anak, masih banyak masyarakat yang belum
memahami kondisi anak dan sebagian masyarakat terkadang meyalahkan
orang tua atas kehadiran anak.
Berdasarkan penelitian Daulay (2019) dan telah menganalisis dari
berbagai penelitian sebelumnya. Merujuk pada hasil-hasil penelitian se­
E
belumnya, maka beberapa faktor yang dianggap berperan me­muncul­kan
PL

stres pengasuhan ibu dapat dispesifikkan ke dalam dua faktor penting,


yaitu faktor internal, meliputi hal-hal terkait perasa­an, pikiran, dan tin­
M

dakan yang bersumber dari dalam diri ibu selama mengasuh anak, se­perti
SA

faktor personal dan faktor demografi. Faktor eksternal meliputi tema-te­


ma persepsi ibu akan interaksi terhadap hal-hal di luar dirinya, seperti
fak­­tor karakteristik anak, faktor keluar­ga, dan faktor lingkungan/masya­
ra­kat. Selain itu, faktor risiko lainnya yang dianggap berpotensi memun­
culkan stres pengasuhan adalah fak­tor sosiodemografi orang tua, meliputi:
tingkat sosial ekonomi, usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua.

a. Pengukuran Perilaku Maladaptif Anak


Bagi para peneliti, alat ukur atau instrumen merupakan kunci uta­
ma dalam mengungkapkan sebuah konstrak psikologi. Umumnya peneli­
tian di bidang psikologi menggunakan instrumen nontes, berupa angket/
kuesioner, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Alat ukur atau instru­
men penelitian dapat dilakukan dengan dua acara, yaitu mengadaptasi
alat ukur yang sudah ada, dan mengembangkan instru­men yang disusun
oleh peneliti berdasarkan teori utama dari sebuah konstrak psikologi.
Peneliti yang menggunakan adaptasi instrumen yang sudah ada, bia­
sanya langkah pertama yang dilakukan adalah menerjemahkan skala

117
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

pengukuran tersebut ke dalam bahasa Indonesia, kemudian langkah se­


lanjutnya adalah mengujicobakan skala tersebut yang su­dah dalam ver­
si bahasa Indonesia terhadap responden untuk menge­tahui aitem-aitem
yang digunakan dapat dipahami secara baik. Lang­ kah terakhir adalah
menerjemahkan kembali skala tersebut ke da­lam bahasa Inggris. Usaha
menjaga kualitas penerjemahan, sebaik­nya pro­ses adaptasi skala dilaku­
kan oleh penerjemah berbahasa Indonesia yang pernah menetap di ne­ga­ra
berbahasa Inggris, dan sebaiknya pe­nerjemah juga seseorang yang mam­pu
memahami kajian yang sedang diteliti.
Cara kedua, yaitu mengembangkan instrumen yang disusun oleh pe­
neliti berdasarkan teori utama dari sebuah konstrak psikologi. Retnawati
(2016) menjelaskan langkah-langkah pengembangan instru­men baik tes
maupun nontes sebagai berikut (Retnawati, 2016).
1. Menentukan tujuan penyusunan instrumen.
Pada awal menyusun instrumen, perlu ditetapkan tujuan penyu­sun­
an instrumen. Tujuan penyusunan ini memandu teori untuk meng­
konstrak instrumen, bentuk instrumen, penskoran sekali­gus pemak­
naan hasil penskoran pada instrumen yang akan dikem­ bangkan.
E

Tu­­juan penyusunan instrumen ini perlu disesuaikan dengan tujuan


PL

pe­­ne­­litian. Sebagai contoh, ketika peneliti akan mengetahui penga­ruh


pe­ri­laku maladaptif anak terhadap stres pengasuhan. Tentunya ada
M

dua in­strumen yang perlu dikembang­kan, yakni instrumen pengukur


SA

perila­ku maladaptif anak dan in­strumen pengukur stres pengasuhan.


2. Mencari teori yang relevan atau cakupan materi.
Setelah tujuan penyusunan instrumen ditetapkan, selanjutnya per­
lu dicari teori atau cakupan materi yang relevan. Teori yang rele­van
digunakan untuk membuat konstrak, apa saja indikator sua­tu va­riabel
yang akan diukur. Sebagai contoh pada variabel stres peng­asuhan,
yang akan diukur harus memiliki indikator kon­disi orang tua, kondisi
anak, dan interaksi orang tua dengan anak.
3. Menyusun indikator butir instrumen/soal.
Indikator soal ini ditentukan berdasarkan kajian teori yang rele­van
pada instrumen nontes. Selain mempertimbangkan kajian teori, perlu
dipertimbangkan cakupan dan kedalaman materi. Indikator ini telah
bersifat khusus, sehingga dengan menggunakan indika­tor dapat disu­
sun menjadi butir instrumen. Biasanya aspek yang akan di­ukur de­
ngan indikatornya disusun menjadi suatu tabel. Ta­bel tersebut ke­
mudian disebut dengan kisi-kisi (blue print). Pe­nyusunan kisi-kisi ini
mempermudah peneliti menyusun butir ai­tem.

118
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

4. Menyusun butir instrumen.


Penyusunan butir ini dilakukan dengan melihat indikator yang su­
dah disusun pada kisi-kisi. Pada penyusunan butir ini, peneliti perlu
mempertimbangkan bentuknya. Misal untuk non tes akan menggu­
na­kan angket, angket jenis yang mana, menggunakan be­rupa skala,
penskorannya, dan analisisnya.
5. Validasi isi
Setelah butir-butir soal tersusun, langkah selanjutnya adalah validasi.
Validasi ini dilakukan dengan menyampaikan kisi-kisi, butir instru­
men, dan lembar diberikan kepada para ahli untuk dite­la­ah secara
kuantitatif dan kualitatif. Tugas ahli adalah me­li­hat kesesuaian indi­
kator dengan tujuan pengembangan instru­ men, kesesuaian indi­ ka­
tor dengan cakupan materi atau kesesu­ ai­
an teori, melihat kesesu­
ai­
an instrumen dengan indikator butir, melihat kebenaran konsep
butir soal, melihat kebenaran isi, ke­be­naran kunci (pada tes), baha­sa
dan budaya. Proses ini disebut dengan validasi isi dengan memper­
timbangkan penilaian (expert judgment). Jika validasi ini akan di­
kuantifikasi, peneliti dapat me­minta ahli mengisi lembar penilaian
E

va­lidasi. Paling tidak, ada tiga ahli yang dilibatkan untuk proses va­
PL

lidasi instrumen penelitian. Berdasarkan isian tiga ahli, selanjutnya


penelitian menghitung in­deks kesepakatan ahli atau kesepakatan va­
M

lidator dengan meng­gunakan indeks Aiken atau indeks Gregory.


SA

6. Revisi berdasarkan masukan validator.


Biasanya validator memberikan saran dan masukan, yang kemu­dian
digunakan peneliti untuk merevisinya.
7. Melakukan uji coba kepada responden yang bersesuaian untuk mem­
peroleh data respons peserta.
Setelah revisi, butir-butir instrumen kemudian disusun lengkap (di­
rakit) dan siap diuji cobakan. Uji coba ini dilakukan dalam rangka
memperoleh bukti empiris. Uji coba ini dilakukan kepada responden
yang bersesuaian dengan subjek penelitian.
Peneliti dapat pula menggunakan anggota populasi yang tidak menjadi
anggota sampel.
8. Melakukan analisis (reliabilitas, tingkat kesulitan, dan daya pem­be­
da).
Setelah melakukan uji coba, peneliti memperoleh data respons peserta
uji coba. Dengan menggunakan respons peserta, peneliti kemudian
melakukan penskoran setiap butir. Selanjutnya hasil penskoran ini
digunakan untuk melakukan analisis reliabilitas skor perangkat tes

119
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dan juga analisis karakteristik butir. Analisis karakteristik butir dapat


dilakukan dengan pendekatan teori tes klasik maupun teori respons
butir.
9. Merakit instrumen.
Setelah karakteristik butir diketahui, peneliti dapat merakit ulang
perangkat instrumen. Pemilihan butir-butir dalam merakit pe­ rang­
kat ini mempertimbangkan karakteristik tertentu yang dike­hendaki
peneliti, misalnya tingkat kesulitan butir. Setelah diberi instruksi pe­
ngerjaan, peneliti kemudian dapat menggunakan instrumen tersebut
untuk mengumpulkan data penelitian.

Pengembangan instrumen yang dilakukan oleh seorang peneliti di


Indonesia saat ini cukup banyak untuk memodifikasi instrumen berdasar­
kan teori utama dari sebuah konstrak psikologi. Langkah-lang­kah yang
telah dikemukakan oleh Retnawati (2016) di atas da­pat membantu pene­
liti untuk memahami proses pengembangan in­strumen.

C. INTERVENSI BAGI ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF


E
PL

Anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf (neurodevelop­mental


disorders) adalah sekelompok anak dengan kondisi mengalami penurunan
M

pada periode perkembangannya. Gangguan perkembangan ini biasanya


muncul pada awal perkembangan, sering kali didapati sebelum anak
SA

memasuki sekolah dasar, dan ditandai dengan penurun­an perkembangan


pada gangguan fungsi pribadi, sosial, akademis, atau pekerjaan. Penurunan
perkembangan bervariasi pada setiap anak, dari ketrebatasan dalam belajar
atau pengontrolan fungsi eksekutif dan hambatan umum dari kemampuan
sosial dan inteligensi. Meski tidak dapat disembuhkan, namun gangguan
yang dialami anak dapat diminimalisasi dengan cara pemberian intervensi
atau penanganan se­ dini mungkin, sehingga diharapkan pada usia-usia
selanjutnya per­kembangan anak menjadi lebih baik. Penulis melakukan
analisis dari beberapa buku terkait pemberian intervensi bagi anak autis,
dan kemudian merangkumnya. Upaya meminimalisasi perilaku mala­dap­tif
anak autis, dan meningkatkan perilaku adaptifnya, serta member­fungsikan
sistem sensorik sangat dibutuhkan pengintegrasian dari berbagai stimulus.
Pada setiap anak tidaklah sama gejala autis yang dialaminya, sehingga
mengapa autis menggunakan istilah spektrum, sebab gejala gangguan ini
bervariasi antara anak yang satu dengan anak lainnya. Oleh karena itu,
penanganannya juga dibutuhkan sti­mu­lasi yang kompleks dengan tujuan

120
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

untuk memberfungsikan dan meng­ optimalkan sistem kerja otak anak


autis.
Hasdianah (2013) dalam bukunya “Autis pada anak, pencegahan,
perawatan, dan pengobatan” menjelaskan terdapat terapi de­ngan inter­
vensi behavioral. Pendekatan behavioral telah terbukti dapat memper­
baiki perilaku individu autistik. Pendekatan ini merupakan variasi dan
pengembangan teori belajar yang semula hanya terbatas pada sistem pe­
ngelolaan ganjaran dan hukuman (reward dan punish­ment). Prinsipnya
adalah mengajarkan perilaku yang sesuai dan di­harapkan serta mengu­
rangi perilaku bermasalah pada anak autis. Pendekatan ini juga mene­
kankan pada pendidikan khusus yang di­fokuskan pada pengembangan ke­
mampuan akademik dan keahlian yang berhubungan dengan pendidikan.
Pendekatan behavioral yang dapat diterapkan pada anak autis:
a. Operant conditioning (konsep belajar operan). Pendekatan ope­ ran
me­rupakan penerapan prinsip-prinsip teori belajar secara lan­gsung.
Prinsip pemberian ganjaran dan hukuman: perilaku yang positif akan
mendapatkan konsekuensi positif (reward), se­baliknya perilaku ne­ga­
tif akan mendapatkan konsekuensi negatif (punishment). Dengan de­
E

mikian diharapkan inti dan tujuan uta­ma dari pendekatan ini yaitu
PL

mengembangkan dan meningkat­kan perilaku prositif, serta mengu­


rangi perilaku negatif yang tidak produktif.
M

b. Cognitive learning (konsep belajar kognitif). Struktur pengajaran pada


SA

pendekatan ini sedikit berbeda dengan konsep belajar ope­ran. Fo­


kus­nya lebih kepada seberapa baik pemahaman indi­ vi­
du autistik
terhadap apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pende­ katan ini
meng­gunakan ganjaran dan hukuman untuk lebih me­negaskan apa
yang diharapkan lingkungan terhadap anak au­tis. Fokusnya adalah
se­berapa baik anak autis dapat mema­ha­mi lingkungan di sekitarnya
dan apa yang diharapkan oleh ling­kungan tersebut terhadap diri­nya.
Latihan relaksasi merupakan bentuk lain dari pendekatan kog­nitif.
Latihan ini difokuskan pa­da kesadaran dengan menggunakan ta­rik­
an nafas panjang, pe­lemasan otot-otot, dan perumpaan visual untuk
menetralisasi ke­ge­lisahan.
c. Social learning (konsep belajar sosial). Ketidakmampuan dalam men­
jalin interaksi sosial merupakan masalah utama dalam autisme, ka­
rena itu pendekatan ini menekankan pada pentingnya pe­latihan ke­
terampilan sosial (social skills training). Teknik yang sering digunakan
dalam mengajarkan perilaku sosial positif an­ta­ra lain: modelling (pem­
berian contoh), role playing (permain­ an peran), rehearsal (latihan/

121
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

pengulangan). Pendekatan belajar sosial mengkaji perilaku dalam hal


konteks sosial dan implikasinya dalam fungsi personal.

Beberapa intervensi umum yang dapat diterapkan pada anak autis,


yaitu:

1. Farmakoterapi
Perilaku maladaptif anak autis, seperti hiperaktivitas, agresivi­ tas,
menyakiti diri, susah tidur perlu diperbaiki dengan obat. Obat ini sifatnya
tidak untuk menyembuhkan, namun lebih digunakan untuk perbaikan
gejala yang ada, dan digunakan untuk mem­beri keseim­bangan pada neu­
rotransmitter. Setiap anak memiliki reaksi yang ber­beda terhadap obat,
jika pada satu anak cocok dengan obat tertentu namun belum tentu cocok
pada anak yang lain (Budhiman, Shattock, & Ariani, 2002). Penggunaan
obat-obat­an bukan satu-satunya cara penanganan pada anak autis, te­ta­pi
harus dikombinasikan dengan hasil intervensi lainnya, agar ha­silnya lebih
optimal.
Menurut Hartono (2002) obat yang biasa digunakan antara lain:
E
a. Fluoksetin, sertralin, digunakan sebagai anti depresi yang secara em­
PL

pirik dapat mengurangi perilaku agresif, repetitif, serta obsesif.


b. Klorpromasin, teoridasin, haloperidol, digunakan sebagai anti psikotik
M

apabila agresivitas dan agitatif anak sangat dominan.


SA

c. Anti epilepsi digunakan apabila mengalami serangan epilepsi (se­


pertiga kasus autis mengidap epilepsi)

Pirasetam, digunakan untuk memperbaiki gangguan perkembang­an


bahasa, karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi he­misfer
kiri otak. Contoh penelitian berikut ini telah mem­buk­tikan keefektifan
farmakoterapi pada anak autis:

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Masi, Lampit, Tujuan: menguji jika terdapat Hasil:


DeMayo, Glozier, karakteristik dasar pasien yang Berdasarkan meta-analisis dari 1997
Hickie, Guastella respons atau desain percobaan partisipan (81% laki-laki) teridentifikasi
(Jurnal, 2017). yang menghambat identifikasi tiga moderator yang berhubungan
A comprehensive intervensi untuk anak autis. dengan peningkatan treatmen: 1) lokasi
systematic review Metode: Pencarian literature percobaan di Eropa dan Timur Tengah;
and meta-analysis dari EMBASE, MEDLINE dan 2) hasil pengukuran ditetapkan status
of pharmacological PsycINFO teridentifikasi 43 studi utama; 3) jenis ukuran hasil. Sintesa
and dietary menggunakan analisis kualitatif kualitatif dari karakteristik dasar
supplement dan 37 studi menggunakan analisis teridentifikasi sekurang-kurang 31
interventions in kuantitatif. variabel, dengan usia dan jenis kelamin
paediatric autism: dilaporkan dalam seluruh percobaan.

122
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

moderators Kriteria mencakup blinded Terdapat kebutuhan besar untuk


of treatment randomized controlled trials (RCTs) meningkatkan penerapan karakterisasi
response and pada pediatric autis, dengan dasar dan penggabungan tanda biologis
recommendations sekurang-kurang 10 partisipan dan berkorelasi pemilihan partisipan
for future research. atau 20 secara keseluruhan, ke dalam subkelompok homogeny dan
treatmen oral, mencakup intervensi menginformasikan teratmen bagi anak
farmakologidan suplemen autis.
makanan.

2. Terapi okupasi
Terapi okupasi merupakan salah satu layanan yang paling umum
diterima oleh individu dengan gangguan spektrum autis dan keluarga
mereka (McLennan dkk., 2008) Menurut Hocking (2009), okupasi berkon­
tribusi terhadap kesehatan dan kesejahteraan me­ lalui tiga me­kanis­me
dasar, yaitu: mampu memenuhi kebutuhan biologis, me­ngem­bangkan ka­
pasitas, dan berkontribusi terhadap tujuan dan ke­puas­an. Dalam terapi
okupasi, kekuatan transfor­masi okupasi ini di­per­kaya dan digunakan un­
E
tuk mempromosikan kesehatan indivi­du de­ngan spektrum kondisi kese­hat­
PL

an dan ke­bu­tuhan okupasi. De­mikian juga menurut Popescu (1993, da­lam


Balteanu & Rugina, 2010) men­jelaskan dalam kasus anak dengan autis,
M

program terapi okupasi ber­tujuan untuk meningkat­kan ke­percayaan diri,


aktivitas keman­dirian, keluarga, dan me­­ning­kat­­kan kondisi psikososial
SA

mendekati perkembangan normal. Ke­giatan yang direkomendasikan sela­


ma te­rapi okupasi mengim­pli­kasikan koordinasi antara sistem kognitif,
sen­sorik, motorik, psi­kososial, pengembangan fungsi dan motivasi pa­sien.
Pada anak autis, terapi okupasi ini sangat membantu mereka untuk
dapat mandiri dan memberfungsikan diri dalam memenuhi kebutuhan­
nya sehari-hari. Karakteristik utama anak autis adalah ke­ter­batasan so­
sial, perilaku berulang dan terbatas, namun tidak ha­nya dua karakteristik
utama itu saja yang dapat dijumpai pada diri anak autis, istilah spektrum
menandakan bahwa pada anak yang ter­diagnosis autis mengalami gejala
gangguan yang bervariasi antara sa­tu anak dengan anak lainnya, ada anak
yang gejalanya ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Se­hing­
ga penanganan pa­da anak autis sebaiknya tidak hanya satu penanganan
saja, namun in­tinya harus disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Menurut Roley dkk., (2008), the occupational therapy practice frame­
work (OTPF) megkategorikan okupasi pada delapan area, yaitu: aktivitas
keseharian, aktivitas instrumental keseharian, istirahat dan tidur, bekerja,

123
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

bermain, waktu luang, partisipasi sosial, dan pendi­dikan. Secara kese­


lu­
ruhan, tujuan terapi okupasi adalah bagaimana anak mampu untuk
memberfungsikan keterampilan dirinya sehari-hari dan diharapkan anak
menjadi lebih mandiri dan tidak bergan­tung pada pengasuhnya. Contoh
penelitian yang telah membuktikan keefektifan terapi okupasi pada anak
autis:

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


McDaniel (Tesis, Penelitian ini menggunakan Penelitian ini menjelaskan tiga area dari
2015). systematic mapping review, delapan area penting dalam the occupational
A systematic dalam menjelaskan kekuatan therapy practice framework (OTPF), yaitu
mapping review dan kelemahan dari partisipasi sosial, bermain, dan pendidikan.
of equine- assisted hippotherapy dan therapeutic Penelitian ini juga menjelaskan keefektifan
activities and riding yang dilakukan pada terapi menunggang kuda yaitu hippotherapy
therapies for anak autis. (HPOT dan therapeutic riding (TR) dalam
children with meningkatkan kemampuan okupasi
autism: Implications anak autis. Hippotherapy adalah suatu
for occupational bentuk terapi neuromuskular yang dapat
therapy. memperbaiki postur dan koordinasi
seorang anak disablitas. Therapeutic riding
berfungsi untuk meningkatkan keterampilan
E
sensorik dan motorik untuk koordinasi,
keseimbangan, postur.
PL

Kadar, McDonald, Penelitian ini menggunakan Penelitian ini menjelaskan terdapat pengaruh
Lentin (Jurnal, survey untuk hasil efektif integrasi sensori dari anak dan remaja
M

2015). pemeriksaan praktik terapi autis, dapat melakukan keterampilan hidup


Malaysian okupasi di Malaysia pada sehari-hari, keterampilan motorik kasar dan
SA

occupational anak dan remaja autis. halus. Para terapis juga rutin melakukan
therapists’ practices Responden: terapis okupasi evaluasi dan skrining perkembangan anak
with children and yang menjadi anggota dan remaja autis.
adolescents with Asosiasi Terapi Okupasi
autism spectrum Malaysia (MOTA) yang telah
disorder. menangani anak dan remaja
autis.
Howell, Wittman, Penelitian ini menggunakan Penelitian ini membuktikan peranan
Bundy (Jurnal, studi kualitatif untuk para terapis okupasi dan mahasiswa
2012). meningkatkan kebutuhan psikologi untuk belajar dan meningkatkan
Interprofessional akan pelatihan keterampilan perkembangan anak autis.
clinical education sosial pada anak autis.
for occupational
therapy and
psychology students:
A social skills
training program for
children with autism
spectrum disorders.

124
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

3. Terapi integrasi sensori


Kranowitz (2003) menjelaskan bahwa melalui indra, kita mene­rima
informasi sensori dari lingkungan dan perlu informasi ini untuk bertahan
hidup, belajar dan berfungsi dengan lancar. Otak meneri­ma informasi
dari tubuh dan lingkungan, menginterpretasikan pe­san ini dan mengatur
respons untuk menggapai tujuan. Ketika otak mengintegrasikan informasi
sensorik dengan benar, tubuh akan mem­buat gerakan tubuh yang sangat
adaptif, perilaku adalah hasil ala­ miah­nya (Williames dkk., 2009).
Kranowitz (2005) lebih lanjut men­ je­
las­
kan bahwa disfungsi integrasi
sensori terjadi ketika otak tidak efisien memproses pesan sensorik yang
datang dari tubuh sese­ orang itu sendiri dan lingkungannya. Disfungsi
integrasi sensori dapat me­ me­
ngaruhi perkembangan anak, perilaku,
pembelajaran, keterampil­an komunikasi, persahabatan dan bermain. Hal
ini membuktikan bah­wa bagi seorang anak dengan disfungsi integrasi
sensori akan meng­ alami kesulitan dengan emosi dan perilaku, oleh
karenanya mem­bu­tuhkan terapi (Williames dkk., 2009).
Perbedaan mendasar antara DSM 5 dan DSM-IV salah satunya adalah
E
sensitivitas sensoris. Pada DSM-IV tidak memuat tentang sen­ sitivitas
PL

sensori, padahal anak autis mengalami masalah dalam meng­olah informasi


dan kesulitan dalam memberikan respons yang tepat, yang diakibatkan
M

oleh ketidakberfungsian pada struktur dan bioki­mia otak. Menurut Miller,


SA

Anzalone, Lane, Cermak, dan Osten (2007), terdapat tiga bentuk gangguan
dalam memproses informasi, yaitu: 1) gangguan dalam modulasi sensori,
menyebabkan anak tidak dapat me­respons input sensori dengan tepat;
2) gangguan dalam diskrimina­ si sensori, menyebabkan anak kesulitan
dalam mengartikan kualitas rangsangan atau input sensori; 3) gangguan
dalam melakukan gerak­an dan postural, menyebabkan anak mengalami
koordinasi yang bu­ruk pada ranah oral-motor, motorik halus, dan motorik
kasar. Perilaku abnormal anak autis disebabkan oleh kerusakan pada
bagian sistem saraf di mana rangsangan sensorik diproses dan terintegrasi
secara tidak normal (Schaaf & Miller, 2005).
Terapi integrasi sensori (sensory integration therapy/SIT), memberi­
kan kemampuan sistem saraf untuk berubah (neuroplastisitas), upaya
menstimulasi sensori untuk meningkatkan sistem saraf dalam proses sti­
mulus. Peningkatan keberfungsian kerja sistem saraf mam­pu mengu­rangi
masalah perilaku dan memengaruhi pembelajaran lebih efisien (Schaaf
& Miller, 2005). Terapi integrasi sensori harus melibatkan: a) keaman­an
bagi anak: b) peluang anak untuk menda­patkan stimulasi terhadap sen­

125
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

tuhan (taktil), vestibular, proprioceptif untuk mengaktifkan regulasi diri,


dan keberfungsian alat indra; c) meningkatkan kewaspadaan; d) tantang­
an untuk kontrol gerakan mo­torik; e) memunculkan perilaku motorik baru
dan keberfungsiannya; f) pemilihan aktivitas dan bahan yang digunakan;
g) kegiatan yang dilakukan tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit;
h) kegiatan di mana peserta akan merasakan kesuksesan; i) menum­buh­
kan hasrat dari dalam untuk bermain; j) ketergantungan terapeutik (Par­
ham dkk., 2007). Terapi ini bertujuan meningkatkan susunan saraf pusat,
sehingga mampu berfungsi dalam mengolah informasi dan muncul dalam
perilaku yang tepat.
Kajian sistematik review oleh Lang dkk., (2012) terhadap dua puluh
lima riset sebelumnya mengenai peranan intervensi terapi integrasi sen­
sori. Secara keseluruhan, dari 25 riset menunjukkan terdapat tiga pene­
litian yang membuktikan terapi SIT efektif dan bermanfaat, delapan riset
me­nunjukkan hasil yang sama antara efektif dan kurang efektif, dan 14
riset membuktikan hasil yang kurang efektif. Oleh karena­nya perlu kaji­an
lebih lanjut tentang keefektifan pelaksanaan terapi integrasi sensori pa­
da anak autis, baik prosedur pelaksanaannya, ke­mampuan terapis yang
E

berinteraksi langsung dengan anak, tempat dan bahan yang digunakan,


PL

sehingga diharapkan hasilnya benar-be­ nar meningkatkan kemampuan


sen­sori anak autis. Contoh penelitian yang telah membuktikan keefektifan
M

te­rapi integrasi sensori pada anak autis:


SA

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Linderman & Stewart Partisipan dilakukan terhadap 2 anak laki-laki (1 Hasil: Terapi integrasi
(1999). anak mild autis dan 1 anak severe autis), berusia sensori yang dilakukan
Sensory integrative- 3 tahun. pada kedua partisipan
based occupational Hal yang diukur: versi modifikasi The Functional mampu mencapai
therapy and functional Behavior Assessment for Children with target.
outcomes in young Integrative Dysfunction. Pendekatan terhadap
children with pervasive aktivitas baru, respons terhadap pelukan
developmental (partisipan 1) dan kemampuan interaksi sosial,
disorders: A single- komunikasi, dan respons terhadap gerakan
subject study (partisipan 2).
Prosedur:
Partisipan 1 menerima 1 jam terapi setiap minggu
selama 11 minggu, sedangkan partisipan 2
menerima 1 jam terapi setiap minggu selama 7
minggu. Terapi mencakup penggunaan bantal
besar, melompat, “body sock”, permainan dengan
bertekstur.

126
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Fazlioglu & Baran Partisipan sebanyak 30 anak autis yang diacak Hasil: terdapat
(2008). untuk ditempatkan pada kelompok perlakuan pengaruh signifikan
A sensory integration (12 anak laki- laki dan 3 anak perempuan) dan kelompok perlakuan
therapy program on kelompok kontrol, keseluruan dengan severe (F=5,84, p<0,05) .
sensory problems for autis, dan usia antara 7-11 tahun.
children with autism. Intervensi: diet sensori yang terdiri dari menyikat
dan kompresi sendi diikuti satu set kegiatan
yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan
sensorik anak da diintegrasikan ke dalam
rutinitas harian anak.
Thompson (2011). Partisipan sebanyak 10 anak autis. Intervensi: Hasil: anak autis
Multisensory lingkungan multi-sensori yang mencakup 10 mengalami
intervention strategi terapeutik. perkembangan
observational research. Pengukuran menggunakan sistem observasi signifikan selama dan
yang diciptakan oleh peneliti. setelah berada pada
ruangan percobaan
multy-sensory.

4. Terapi Perilaku
Terapi perilaku ini bertujuan untuk meningkatkan perilaku adap­tif
E
anak (misalnya kemandirian, perawatan diri) dan meminimalkan perilaku
PL

maladaptif anak (misalnya agresif, tantrum, hiperaktif). Sa­lah satu jenis


terapi yang umum digunakan dan dianggap memiliki kelebihan dalam
M

membentuk perilaku anak adalah Applied Behavior Analysis (ABA). Me­


nurut Corey (1997), terapi perilaku yang umum­nya selama ini dikem­
SA

bang­kan adalah metode Lovaas yakni ABA. Me­tode ini sangat intensif
da­lam hal waktu, sangat terstruktur dan me­la­lui tahap-tahap ulangan di
mana anak diberikan pelatihan, ser­ta senantiasa mendapat reward/positive
reinforcement (misalnya makan­ an atau mainan kesenangannya, pujian,
pelukan) bila anak mampu mengerjakan dengan benar atau sesuai dengan
perilaku yang diharap­kan, namun jika anak berespons tidak tepat/salah
maka anak tidak diberikan hukuman (punishment) atau dengan kata lain
anak tidak mendapatkan positive reinforcement.
Mukhtar (2016) dalam modul penelitiannya tentang pedoman group-
based parenting support menjelaskan dalam metode ABA, ter­dapat bebe­ra­
pa teknik yang umum dipakai pada pelatihan anak autis, seperti teknik
prompting, shaping, chaining, dan discrete trial training (DTT).
Dalam memahami perilaku anak autis, orang tua sebaiknya mema­
hami faktor penyebab (A) mengapa anak menampilkan perilaku yang
ti­dak diinginkan, lalu orang tua mengobservasi perilaku anak (B), dan
ter­akhir akibat yang ditimbulkan setelah anak menampil­ kan perilaku

127
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

yang tidak diinginkan tersebut. Faktor A (antecedent)-B (behavior)-C (con­


se­quence) ini dikenal dengan istilah teknik ABC. Tu­juannya adalah agar
orang tua memahami faktor penyebab dan tin­ dakan/cara yang tepat
meng­atasi perilaku anak. Contoh penelitian ber­ikut ini telah membukti­
kan ke­efektifan terapi perilaku pada anak autis:

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Dewiyanti (2007). Metode eksperimen kasus Hasil: terdapat peningkatan kemampuan
Terapi tunggal, dengan pemberian kemandirian pada tahapan treatment.
perilaku untuk positive reinforcement dan
meningkatkan modelling diberikan dalam
kemandirian pada terapi.
anak autis.
Wijayaptri, N.W.P. Partisipan sebanyak dua orang Latar belakang: Individu autis mengalami
(Tesis, 2016). remaja autis yang memiliki kesulitan berkomunikasi secara verbal
Aplikasi Picture kemampuan komunikasi maupun non verbal, dan keterampilan
Exchange Com­mu­ terbatas. komunikasi berhubungan dengan
nication Systems Tujuan: Mengetahui efektifitas penurunan masalah-masalah perilaku.
(PECS) untuk PECS fase I- VI untuk Hasil: Metode PECS dapat meningkatkan
meningkatkan meningkatkan kemampuan kemampuan komunikasi fungsional remaja
komunikasi komunikasi fungsional autis, perilaku bertahan tiga minggu
fungsional remaja pada remaja autis. Desain pasca intervensi dan tergeneralisasi pada
E
autis eksperimen multiple baseline berbagai setting alami di sekolah, dengan
PL

across subjects. pasangan komunikasi yang berbeda-beda.


Hardiani, R.S., & Partisipan adalah siswa autis di Hasil: Sebelum perlakuan, mayoritas res­
M

Rahmawati, S. SLB Jember (seba­nyak 18 anak). pon­den memiliki kemampuan interaksi so­
(Jurnal, 2012) Tuju­an: mengetahui penga­ sial kurang, yaitu sebanyak 66,7%. Setelah
SA

Metode ABA ruh metode ABA dalam perlakuan, kemampuan interaksi sosial
(Applied Behaviour kemampuan bersosialisasi dan res­ponden yang kurang hanya 33,3%. Hasil
Analy­sis): kemampuan interaksi sosial. pene­litian menunjukkan ada pengaruh
Kemampuan Jenis penelitian: pre ekspe­ se­cara bermakna metode ABA: kemampuan
bersosialisasi ter­ rimental dengan rancangan one bersosialisasi terhadap kemampuan
ha­dap kemam­puan group pretest posttest. inter­aksi sosial anak autis dengan nilai p
interaksi sosial anak value 0,008. Orang tua diharapkan dapat
autis mening­katkan perannya sebagai pemberi
stimulasi secara dini.

5. Terapi Wicara
Terapi wicara adalah bentuk pelayanan kesehatan profesional ber­d­
asarkan ilmu pengetahuan, teknologi dalam bidang bahasa, wi­cara, sua­
ra, irama/kelancaran (komunikasi), dan menelan yang dituju­kan kepada
individu, keluarga dan/atau kelompok untuk mening­katkan upaya kese­
hatan yang diakibatkan oleh adanya gangguan/kelainan anatomis, fi­
sio­logis, psikologis, dan sosiologis (Kementeri­an Kesehatan Republik In­
donesia, 2014). Standar pelayanan terapi wicara diatur dalam Peratur­an
Menteri Kesehatan Republik Indone­sia (Permenkes RI) Nomor 81 Tahun
2014. Peningkatan dalam kemam­ puan berkomunikasi, berbahasa baik

128
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

bahasa ekspresif dan reseptif, serta berbicara merupakan ranah yang da­
pat dioptimalkan dalam te­rapi wicara. Contoh penelitian yang telah mem­
buktikan keefektifan terapi wicara pada anak autis:

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Sandiford, Partisipan: sebanyak 12 anak autis yang Tujuan: membandingkan
Nainess, Daher. nonverbal berusia 5-12 tahun. Nonverbal melodic based communication
(Jurnal, 2013). adalah memiliki kemampuan Bahasa therapy (MBCT) kemampuan
A pilot study on ekspresif tidak lebih dari 10 kata dan bahasa dan bicara untuk
the efficacy of rendah kemampuan mengutarakan hal yang meningkatkan berbicara pada
melodic based diinginkannya. anak autis yang nonverbal.
communication Desain penelitian: a randomized control Hasil: tidak terdapat
therapy for eliciting design. Prosedur: partisipan dibagi menjadi perbedaan signifikan dalam
speech in nonverbal 2 kelompok: 1) the traditional therapy group sejumlah verbal dan sejumlah
children with autism. yang mendapatkan perlakuan melodic based kata benar di antara dua
communication therapy/MBCT; 2) kelompok kelompok.
tidak diberikan perlakuan.

Hoque, Lane, Tujuan: Anak autis sering kesulitan dalam Hasil: melalui pilot studies
Kaliouby, Goodwin, mengutarakan sesuatu hal. Penelitian dari desain eksperimen,
Picard. (2018). ini berupaya menyajikan intervensi baru melalui observasi sehingga
Exploring speech terhadap penyesuaian pidato, yaitu melalui mendukung hipotesa.
therapy games with game terapi bicara untuk mengaktifkan Terdapat pengaruh
E
children on the kemampuan berbicara jelas. mengaktifkan game terapi bicara dalam
autism spectrum. game untuk membantu mereka meningkatkan kompetensi,
PL

menghasilkan ucapan yang jelas. kepercayaan diri, dan


Desain: eksperimental. keterlibatan dalam interaksi
M

sosial dengan demikian


meningkatkan mereka
SA

kualitas hidup.

6. Terapi bermain
Bermain merupakan kegiatan menyenangkan yang dilakukan dengan
tujuan bersenang-senang, yang memungkinkan seorang anak dapat mele­
paskan rasa frustrasi (Santrock, 2007). Adapun terapi bermain merupa­kan
suatu bentuk permainan anak-anak, di mana mere­ka dapat berhubung­
an dengan orang lain, saling mengenal, sehingga dapat mengungkapkan
perasaannya sesuai dengan kebutuhan mereka (Vanfleet dkk., 2010).
Anak-anak dengan gangguan spektrum autis mengalami kesulitan
da­lam pemikiran kreatif dan permainan simbolik (Hobson dkk., 2009).
Hobson (2009) juga menjelaskan bahwa anak-anak autis mengalami: a)
ren­dahnya kemampuan untuk menghasilkan ide, seperti kreativitas da­lam
bermain; b) tidak dapat dengan mudah beralih dari berpikir dalam dunia
nyata kepada “dunia pura-pura” (pretendworld); c) tidak berkeingin­an dan
rendahnya partisipasi dalam permainan pura-pura. Dalam ber­main, anak
autis terlihat menyendiri, menunjukkan perilaku berulang, tan­pa inovasi

129
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dan imajinasi. Oleh karenanya tujuan terapi bermain adalah berupaya


meningkatkan kreativitas, berpikir kritis, dan kemampuan dalam bermain
pura-pura pada anak autis.
Terapi bermain pada awalnya dikembangkan tahun 1909 oleh Sig­
mund Freud melalui kasusnya yang terkenal yaitu “Little Hans”, me­
ngisahkan Hans kecil berusia lima tahun mengalami fobia. Berda­sarkan
kasus Hans, kemudian Hermine Hug-Hellmuth tertarik untuk memban­
tu anak-anak dalam mengekspresikan dirinya melalui per­mainan (Lan­
dreth, 2012). Pada tahun 1919, seorang psikoanalisis “Me­ lanie Klein”
(1955) memanfaatkan bermain dalam terapi anak se­bagai cara mengana­
lisis anak-anak di bawah usia enam tahun. Klein percaya bahwa dengan
menggunakan bermain sebagai cara un­tuk memotivasi anak-anak da­lam
mengekspresikan keinginan dan ha­rapan mereka (Landreth, 2012). Pa­
da saat yang bersamaan, Anna Freud juga menggunakan bermain un­tuk
merangsang aliansi, merang­sang ikatan emosional positif antara anak de­
ngan terapis (Landreth, 2012), hal ini senada dengan Freud bahwa di­
perlukannya ikatan emosional dalam hubungan terapeutik. Pada tahun
1969, Virginia Axline adalah seorang murid Carl Rogers yakin bahwa
E

klien adalah yang utama dalam agen perubahan, bukan terapis, kemudian
PL

Axline mengembangkan konsep CCPT (child-centeredplay therapy) adalah


kon­sep terapi bermain yang berfokus pada kebutuhan anak.
M

Child-centered play therapy merupakan pendekatan baru bagi anak-


SA

anak autis. Anak-anak tidak perlu diajarkan cara bermain atau ba­gai­
ma­na mereka harus dibuat untuk bermain (Landreth, 2012). CCPT ti­dak
mengajarkan anak-anak untuk bermain, tetapi merangsang anak-anak un­
tuk mengeksplorasi mode permainan mereka sendiri dengan kecepatan
mereka sendiri sambil mengembangkan keterampilan komunikasi. Salah
satu penelitian yang membahas keuntungan peran child-centerd plat the­
ra­py pada anak-anak autis adalah penelitian Morgenthal (2015), hasil
pe­nelitiannya membuktikan bahwa selama ini anak autis intens menda­
patkan intervensi perilaku (ABA), keba­nyakan orang beranggapan akan
sulit mengajak anak autis bermain mengingat keterbatasan dalam hu­
bungan interaksi sosial, padahal me­lalui metode bermain anak-anak autis
dapat diajarkan membentuk perilaku yang diinginkan dan terlihat lebih
santai. Contoh penelitian yang telah membuktikan keefektifan terapi ber­
main pada anak autis:

130
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Far, Hatami, Ahadi. Subjek penelitian: sebanyak 30 anak autis Terapi bermain secara
(Jurnal, 2015). dilibatkan, terbagi menjadi 2 kelompok signifikan mampu
The effect of training play (kelompok perlakuan & kelompok meningkatkan kemampuan
therapy to the mother kontrol) di Iran. sosial anak autis.
of autistic children to
improve the verbal and
nonverbal skills of their
children.
Morgenthal (Disertasi, Tujuan: implementasi pendekatan Hasil:
2015). client-centered pada terapi bermain Client-centered play therapy
Child-centered play terhadap anak perempuan autis, untuk dapat digunakan sebagai
therapy for children with meningkatkan keterampilan bermain intervensi terapeutik untuk
autism: A case study. simbolik dan komunikasi verbal. membantu keterampilan
Desain: studi kasus. bermain simbolis dan
Literatur review dari penelitian keterampilan komunikasi.
sebelumnya terkait penerapan terapi
bermain pada anak terdiagnosis autis.
Fung (2015). Menguji keefektifan animal assisted play Hasil:
Increasing the social therapy (AAPT) dalam meningkatkan Komunikasi sosial pada
communication of a boy komunikasi sosial pada anak autis. Desain: anak laki-laki autis
with autism using animal- A-B-A single subject dan follow up. meningkat selama
assisted play therapy: A pelatihan.
E
case report.
PL

7. Terapi musik
M

Terapi musik bertujuan membuat anak merasa lebih tenang dan rileks,
SA

sehingga mengurangi kecemasan dan gangguan emosi, pe­ri­l­a­ku repetitif


anak autis (Berger, 2002); dan menstimulasi otak anak (Djohan, 2005).
Contoh penelitian yang telah membuktikan keefek­tifan terapi musik pada
anak autis:

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Chandra, A. (Tesis, Subjek penelitian seorang anak Hasil: terdapat penurunan perilaku
2007) Judul: autis berusia 4 tahun 5 bulan, dan repetitif pada anak autis setelah
Terapi music laki-laki. Penelitian ini dilaksanakan diberikan terapi musik selama 6 kali
untuk mengurangi selama 12 kali pertemuan dengan pertemuan. Perilaku repetitif yang
perilaku repetitive perincian 6 kali untuk baseline dan semula dilakukan sebanyak 125 kali
pada anak autis. 6 kali untuk treatment. Musik yang dalam 90 menit pada hari pertama,
diperdengarkan adalah musik waltz. setelah pemberian teratment berupa
terapi musik, perilaku repetitif berkurang
menjadi 9 kali dalam 90 menit pada hari
ke 12.

131
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Lim, H. (Jurnal, Partisipan: sebanyak 50 anak Hasil: partisipan baik dalam kelompok
2010). autis berusia 3-5 tahun yang telah music dan bicara secara signifikan
Effect of dilakukan pemeriksaan terlebih meningkat kemampuan verbal pre dan
“Developmental dahulu kemampuan bahasanya. posttest. Hal ini mengindikasikan bahwa
speech and Partisipan dibagi ke dalam 2 partisipan dengan kemampuan tinggi
language training kelompok: 1) kelompok musik dan rendah akan meningkat kemampuan
through music” on (n=18), menonton video musik berisi bicara mereka setelah menerima
speech production 6 lagu dan gambar dari 36 kata pelatihan music dan dan pelatihan bicara.
in children with target; 2) kelompok bicara (n=18) Pelatihan secara signifikan berefek
autism spectrum menonton video musik berisi 6 cerita terhadap kemampuan verbal (p<0.001).
disorders. dan gambar; 3) kelompok kontrol
(n=14) tidak diberikan perlakuan.
Keterampilan verbal mencakup
semantic, ponologi, pragmatic, dan
prosodi diukur dengan skala evaluasi
produksi verbal yang dirancang
secara eksperimen.
Gross, Linden, Tujuan: mengeksplorasi keefektifan Hasil pengukuran mencakup
& Ostermann terapi musik pada kemampuan perkembangan kognisi dan kemampuan
(Jurnal, 2010). verbal reasoning pada anak dengan berbicara. Perkembangan bicara
Effects of music gangguan bicara. Partisipan mencakup memori fonologi, memori
therapy in the sebanyak 18 anak berusia 3,5 dan untuk kalimat, aturan morfologi, memori
E
treatment of 6 tahun. Pendekatan: pilot study. untuk urutan kata.
children with Desain: single group with pre-and Terdapat efek kecil untuk memori
PL

delayed speech post testing. Pengukuran diberikan fonologi dan pemahaman kalimat, dan
development - sebelum dan sesudah setiap periode tidak terdapat pengaruh hasil aturan
M

Results of a pilot penelitian. morfologi dan memori untuk urutan kata.


study.
SA

8. Terapi snoezelen
Snoezelen diciptakan pertama kali pada awal tahun 1970 oleh dua
orang terapis yang bekerja pada sebuah institusi khusus indivi­du gang­
guan perkembangan. Snoezelen berasal dari bahasa Belanda yakni snuf­
felen (to sniff out or explore one’s environment) artinya aktif, eksplorasi,
dan doezelen (to doze or relax) yang berarti pasif, relak­sasi dan nyaman
(Hul­segge & Verheul, 1987). Snoezelen merupakan suatu aktivitas yang
me­mengaruhi sistem saraf pusat (SSP) melaui pemberian rangsangan yang
cukup terhadap sensor primer pada peng­­lihatan, pendengaran, sentuh­
an, rasa kecap dan pembauan, serta terhadap sensor internal tubuh pada
sistem keseimbangan (vestibu­lar) dan sensasi sendi (proprioseptive) dengan
bertujuan untuk mem­peroleh relaksasi dan/atau aktivasi pada individu
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup (dalam Andrini, 2014).
Snoezelen adalah dunia bagi anak dengan kebutuhan khusus yang
mengalami disabilitas sensori, fisik, dan mental. Manfaatnya ber­pe­luang
untuk relaksasi, eksplorasi dan ekspresi diri, mendorong ke­per­cayaan dan

132
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

kesenangan. Anak relaksasi secara fisik dan mental, meningkatkan ke­


sa­daran/perhatian, anak menunjukkan inisiatif un­tuk beraktivitas, anak
men­ jadi lebih percaya diri, hubungan anak dan terapis menjadi lebih
baik, kemampuan anak lebih berkembang (Wind, 2001, dalam Andrini,
2014). Contoh penelitian berikut ini te­lah membuktikan keefektifan te­ra­pi
snoezelen pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Andrini (2014). Penelitian ini bertujuan untuk Pada snoezelen room therapy, masing-
Snoezelen room therapy membuat media terapi yang masing alat memiliki fungsi dan perannya
media terapi untuk mengadaptasi dari masing-masing tetapi keseluruhan
melatih peluang relaksasi snoezelen room therapy sistem memiliki peran yang sama yaitu
pada anak autis di dengan indikator LED. untuk menimbulkan peluang relaksasi
Yayasan Bina Anggita Perancangan sistem pada anak autis. Alat pertama bekerja
Yogyakarta snoezelen room therapy, untuk memberikan stimulasi pada
terdiri dari tiga bagian perkembangan gerak motorik kasar
alat: sistem LED dengan dengan melatih gerakan melangkahkan
pengontrol limit switch, kaki. Alat kedua bekerja untuk melatih
sistem LED dengan dan mengembangkan motorik
pengontrol relay dan push gerak motorik halus dengan melatih
button, terakhir sistem memindahkan posisi tangan ketika
LED dengan pengontrol menekan push button. Pada alat terakhir
E
condenser microphone dan digunakan untuk melatih kemampuan
audio VU meter. komunikasi dan kontak mata dengan
PL

media terapi suara yang ditampilkan pada


indikator LED. Respons yang diberikan
M

oleh anak autis menunjukkan antusias,


ketertarikan, perasaan senang pada saat
SA

melakukan terapi.
McKee, Harris, Rice, Silk Tujuan penelitian: menguji Hasil: penelitian ini tidak didukung
(Jurnal, 2007). efek terapi snoezelen atas oleh hipotesis bahwa snoezelen room
Effects of a snoezelen perilaku agresif dan merusak berpengaruh terhadap penurunan
room on the behavior of terhadap ketiga klien dewasa perilaku agresif dan merusak pada ketiga
three autistic clients. autis. Penelitian dilakukan klien autis. Alasannya adalah sebaiknya
selama 28 hari, selama 45 penelitian terhadap snoezelen room
menit setiap hari kerja. bertujuan untuk relaksasi dan rekreasi,
sehingga kurang efektif jika dilakukan
dengan tujuan penurunan perilaku
agresif dan merusak bagi klien autis dan
gangguan perkembangan.

133
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Volkan-Yazici, Yazici, Tujuan: menguji kombinasi Hasil:


Varol (jurnal, 2017). sensory integration therapy Pada pengukuran baseline: kedua subjek
The observational (SIT) dan snoezelen therapy tidak memiliki kemampuan berbahasa,
results of a combination (ST) pada dua subjek autis. sedikit perhatian dan keterlibatan dalam
of snoezelen therapy Pelaksaan program terapi kegiatan, tidak ada kontak mata dan
and sensory integration dilakukan satu hari dalam penghindaran sensorik yang serius.
therapy in two subjects seminggu (setiap pertemuan Stelah 6 bulan diterapi kedua subjek
with autism. 30 menit selama 6 bulan) mulai berbicara 3-4 kata kalimat, tidak
pada pusat rehabilitasi, nyman dengan sentuhan dan rangsangan
terdiri dari kegiatan menyikat sensorik, mampu menjaga kontak mata
seluruh tubuh dan berbagai selama 10 detik dan memiliki perhatian
aplikasi rangsangan sensorik berkepanjangan dalam berbagai kegiatan.
setiap hari.
Subjek penelitian diukur
melalui observasi langsung
dan mewawancarai pasien.

9. Terapi diet
Shattock dan Whiteley (2001) menjelaskan bahwa peptide me­ru­pakan
“peluru” yang langsung menyebabkan terjadinya gejala-gejala. Dalam
beberapa kasus tampak bahwa gluten dan casein ada­lah penyebab murni,
namun dalam beberapa kasus lainnya ternya­ta banyak faktor yang ikut
E
berperan. Keterlibatan peptide dari casein dan gluten memegang peran­
PL

an yang sangat besar sehingga mampu menutupi faktor-faktor lainnya.


Setelah peluru-peluru ini dihilang­kan, baru dapat dilihat faktor-faktor lain
M

dengan lebih jelas, yang biasanya juga berasal dari makanan. Mengata­
SA

si problematika ini da­pat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain


membuat buku hari­an, melalukan testing, melakukan pemeriksaan jamur
dan parasit lain dalam usus.
Menurut Wijayakusuma (2004), spesifikasi diet untuk anak autis pen­
ting dipahami dan diterapkan pada anak. Suplai makanan merupakan
bahan dasar pembentuk neurotransmitter, neurotransmitter sangat diper­
lukan untuk membantu otak mengoptimalkan perkem­ bangan berba­ gai
kemampuan anak seperti kecerdasan, kreativi­tas, mi­nat dan bakat, namun
bagi anak autis yang mengalami reak­si aler­­gi dan intoleransi terhadap
makanan dengan kadar gizi tinggi. Dam­ paknya zat-zat makanan yang
seharusnya membentuk neurotran­ s­
mit­ter untuk menunjang kesinam­
bung­an kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autis diubah menjadi
zat lain yang bersifat mera­cuni saraf atau neurotoksin. Mekanisme pen­
cernaan yang tidak sem­purna dalam tubuh anak autis dipengaruhi oleh
kondisi flora usus yang tidak seimbang. Kuantitas jamur dan bakteri yang
berlebihan dalam usus anak membuat sebagian besar anak autis meng­
alami bocor usus atau leaky gut. Kondisi ini semakin memperburuk kon­

134
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

disi sistem pencernaan anak autis, di mana zat makanan yang sebagian
besar berbahan dasar gluten dan kasein tidak dapat dicerna dengan baik
oleh usus diubah menjadi asam amino tunggal yang kemudian terbawa
masuk ke dalam aliran darah dalam bentuk pecahan protein yang tidak
sempurna atau dikenal sebagai peptida. Peptida inilah yang bersifat me­
racuni otak anak autis ketika bersinergi dengan reseptor opioid dalam
otak. Reaksi opioid pada anak autis menimbulkan reaksi mencandu se­rupa
pemakai narkoba. Oleh karenanya, bila reaksi opioid ini tidak dihen­ti­kan,
maka akan mengganggu sistem saraf otak bahkan secara lebih spe­sifik
akan memengaruhi bagian tempotal lobes otak yang berfungsi men­jaga
kesinambungan kemampuan bicara dan pendengaran. Contoh penelitian
berikut ini telah membuktikan keefektifan terapi diet pada anak autis:

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Mutianingrum, A. Kuantitatif dengan rancangan Hasil uji pearson chi square
(2013). Hubungan penelitian cross sectional. Subjek menunjukkan terdapat hubungan
tingkat pengetahuan penelitian sebanyak 30 anak autis antara pengetahuan ibu dengan
ibu dnegn pemberian dan ibunya. Analisis data: pearson pemberian diet bebas gluten dan
diet bebas gluten, chi square. Pengetahuan ibu diukur kasein pada anak autis (p<0,05),
E
kasein, dan status dengan kuesioner jenis diet bebas namun tidak terdapat hubungan
gizi pada anak autis. gluten dan kasein dari food recall 24 antara pemberian diet bebas gluten
PL

(Skripsi). UGM. jam dan FFQ. Status gizi dilihat dari dan kasein dengan status gizi pada
pengukuran berat badan dan tinggi anak autis (p>0,05); tidak ada
M

badan anak autis hubungan tingkat pengetahuan ibu


dengan status gizi pada anak autis
SA

(p>0,05).
Nuhraheni. (2008). Metode penelitian: eksperimental Hasil: terdapat perbaikan perilaku
Efektivitas intervensi semu dengan desai penelitian pre interaksi sosial yang signifikan,
diet bebas gluten and posttest, yang membandingkan perbaikan komunikasi verbal dan non
bebas casein perubahan perilaku anak autis verbal, yang signifikan, perbaikan
terhadap perubahan sebelum dan sesudah pemberian perilaku motoris yang signifikan,
perilaku anak intervensi diet BGBC. Pada perbaikan emosi yang signifikan, dan
autis berdasarkan dua kelompok yaitu kelopok perbaikan persepsi sensoris pada
mofifikasi skor CARS. intervensi dan kelompok kontrol anak autis dengan intervensi diet
tanpa intervensi diet, dengan bebas gluten dan bebas casein.
memperhitungkan adanya
kemungkinan ketidak homogenan
nilai awal pada kedua kelompok
melalui uji non equivalent control
group design (NEGD).
Gogou, & Kolios Tujuan: sistematik review berusaha Hasil: Jenis suplemen makanan yang
(Jurnal, 2017) menjelaskan keefektifan suplemen dievaluasi dalam studi ini termasuk
The effect of dietary makanan terhadap aspek klinis anak- asam amino, asam lemak dan vitamin/
supplements on clinical anak autis. mineral. N- acetylcysteine terbukti
aspects of autism Metode: Pencarian literatur memberi efek menguntungkan pada
spectrum diorder: A yang komprehensif dilakukan gejala iritabilitas.
systematic review of menggunakan Pubmed sebagai
the literature. sumber database medis.

135
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian


Kemudian data literatur tentang
kemanjuran suplemen D-cycloserine
dan pyridoxine-magnesium masih
kontroversial. Tidak terdapat efek
signifikan teridentifikasi untuk asam
lemak, N, N-dimethylglycine dan
inositol.

REFERENSI
Alfiyanti, Y. (2020). “Koping Religius pada Orang Tua yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus di Dusun Genting, Desa Genting, Ke­camatan
Jambu, Kabupaten Semarang Tahun 2019/2020”. Skripsi. Program
Studi Pendidikan Agama Islam. IAIN Salatiga.
American Association on Intellectual and Developmental Disabilities/
AAIDD, 2010.
Andika, K.A. (2012). Hubungan self efficacy dan hardiness dengan stres
pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khu­sus. Skrip­
si. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Su­rakarta.
E

Andrini, R.P. (2014). Snoezelen Room Therapy media trapi untuk melatih
PL

peluang relaksasi pada anak autis di Yayasan Bina Ang­gita Yogyakarta.


M

Laporan Tugas Akhir. Program Studi Diploma Elektronika dan Ins­


trumentasi Sekolah Vokasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
SA

Anggoro, W.J., & Widhiarso, W. (2015). Konstruksi dan Identifikasi


Pro­ perti Psikometris Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berba­ sis
Pendekatan Indigenous Psychology: Studi Multitrait-Multi­ method.
JurnalPsikologi, 37(2), 176-188.
Aprilia, L.R.G. (2018). Hubungan Antara Kebersyukuran dan Religiusitas
dengan Hardiness Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus.
Jurnal Psikoborneo, 6(3), 650-659.
Awartani, M., Whitman, C.V., & Gordon, J. (2008). Developing In­struments
to Capture Young People’s Perceptions of how School as a Learning
Environment Affects their Well-Being. European Jo­urnal of Education,
43(1), 51-70.
Bader, S., Barry, T., Hann, J. (2015). The relation between parental ex­
pressed emotion and externalizing behaviors in children and adoles­
cents with an autism spectrum disorder. Focus on Autism and Other
Developmental Disabilities. 30(1), 23-24. doi: 10.1177/10883576145
23065.
Balteanu, V., & Rugina, E. (2010). Methodical-Practical aspects of the oc­

136
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

cupational therapy for children with autism, Gymnasium, 11(1), 67.


Bandura, A. (1982). Self-efficacy in human agency. American Psy­cho­lo­
gist, 37, 122­147.
Berger, D.S. (2002). Music Therapy, Sensory Integration and the Au­ tistic
Child. London: Jessica Kingsley Publishers.
Bertelli, M.O., Giltaij, H.P., Sterkenburg, P.S., & Schuengel, C. (2016).
Adaptive behaviour, comorbid psychiatric symptoms, and attach­ment
disorders. Advances in Mental Health and Intellectual Di­sabilities.
Boyd, B.A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of
social support in mothers of children with autism. Focus on Autism
and Other Developmental Disabilities. 17(4), 208-215.
Budhiman, M., Shattock, P., & Ariani, E. (2002). Langkah awal me­nang­
gulangi autisme dengan memperbaiki metabolisme tubuh. Jakarta:
Majalah Nirmala.
Chandra, A. & Indati, A. (2007). Terapi musik untuk mengurangi pe­ri­
laku repetitif pada anak autis (Doctoral dissertation, [Yog­ya­karta]:
Universitas Gadjah Mada).
Climie, E.A., & Mitchell, K. (2017). Parent-child relationship and behavior
E

problems in children with ADHD. International Journal of Developmental


PL

Disabilities, 63(1), 27-35.


Coleman, P., & Karraker, K. (1997). Self-efficacy and parenting qua­lity:
M

Fin­dings and future applications. Developmental Review, 18(1), 47-


SA

85.
Corey, G. (1997). Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. (Alih Bahasa:
E. Koesworo). Bandung: PT Refika Aditama.
Daulay, N. (2017). Gambaran ketangguhan ibu dalam mengasuh anak
autis. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 1(1), 49-74.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N.R. (2018). “Proses menjadi tang­
guh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis”.
Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 267245.
Daulay, N. (2019). Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki
anak dengan gangguan spectrum autis. Disertasi. Fakultas Psiko­logi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Deater-Deckard, K. (2004). Parenting Stress. New Haven and London: Yale
University Press.
Dewiyanti, A., & Ramdhani, N. (2007). “Terapi perilaku untuk mening­
katkan kemandirian pada anak Autis”. Tesis. Fakultas Psikologi. Yog­
yakarta: Universitas Gadjah Mada.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R.E. (2003). “Personality, culture, and sub­

137
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

jective well­being: Emotional and cognitive evaluations of life”. Annual


review of psychology, 54(1), 403-425.
Djohan. (2005). Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.
Dodge, R., Daly, A.P., Huyton, J., & Sanders, L.D. (2012). “The challenge
of defining wellbeing”. International Journal of Wellbeing, 2(3).
Duncan, J., Bowden, C & Smith.A.B (2005) Early childhood centres and
family resilience. Wellington: Centre for Social Research and Evalua­
tion, Ministry of Social Development, Te Manatu Whaka­hiato Ora.
Edyta, B., & Damayanti, E. (2016). “Gambaran Resiliensi Ibu yang Me­mi­
liki Anak Autis” di Taman Pelatihan Harapan Makassar. Jurnal Biotek,
4(2), 211-230.
Ekaningtyas, N.L.D. (2019). “Parenting Education Guna Meningkatkan
Parenting Self­Efficacy pada Orang Tua dari Anak dengan Gang­guan
Autisme”. Pratama Widya: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(1), 30-
39.
Emmons, R.A., & McCullough, M.E. (Eds.). (2004). The Psychology of Gra­
titude. Oxford: Oxford University Press.
Far, J.A., Hatami, H., Ahadi, H. (2015). The effect of training play therapy
E

to the mother of autistic children to improve the verbal and nonverbal


PL

skills of their children. Novelty in Biomedicine, 1, 1-7.


Fazlioglu, Y., & Baran, G. (2008). A sensory integration therapy prog­ram
M

on sensory problems for children with autism. Perceptual and Motor


SA

Skills, 106(2), 415-422.


Feist, J., and Feist, G.J. (2006). Theories of Personality. Singapore: McGraw-
Hill.
Fitria, A. (2019). Pengaruh kecerdasan emosi, dukungan sosial, dan rasa
syukur terhadap penerimaan orang tua pada anak dengan kebutuhan
khusus. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidaya­tullah.
Fung, S.C. (2015). Increasing the social communication of a boy with
autism using animal-assisted play therapy: A case report. Advances,
29(3), 27-31.
Garmezy, N. (1991). Resiliency and vulnerability to adverse deve­lop­men­
tal outcomes associated with poverty. American behavioral scientist,
34(4), 416-430.
Gogou, M., & Kolios, G. (2017). The effect of dietary supplements on
clinical aspects of autism spectrum diorder: A systematic review of the
literature. Brain and Development, 39, 656-664. doi.org/10.1016/j.
braindev.2017.03.029
Graziano, P.A., McNamara, J.P., Geffken, G.R., & Reid, A. (2011). Se­

138
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

verity of children’s ADHD symptoms and parenting stress: A multiple


mediation model of self-regulation. Journal of abnormal child psy­
chology, 39(7), 1073.
Gross, W., Linden, U., & Ostermann, T. (2010). Effects of music therapy in
the treatment of children with delayed speech development - Results
of a pilot study. BMC Complementary and Alternative Medicine,
Jan 01, 39. Retrieved from http://www.biomedcentral.com/1472-
6882/10/396882/10/39.
Grossman, H.K. (1983). Classification in Mental Retardation. Was­hing­ton,
D.C.: American Association on Mental Deficiency.
Gutkin (Eds.), The Handbook of School Psychology (pp. 2009-2042). New
York: John Wiley & Sons.
Gabriels, R.L., Hill, D., Pierce, R.A., Rogers, S.J., & Wehner, B. (2001). Pre­
dictors of treatment outcome in young children with autism. Journal
of Clinical Child Psychology, 5(4), 407-429.
Hall, H., & Graff, J.C. (2012). Maladaptive behaviors of children with au­
tism: Parent support, stress and coping. Issues in Com­prehensive Pe­dia­
tric Nursing, 35(3-4_,194-214.doi: 10.3109/014608 62.2012.734210.
E

Hardiani, R.S., & Rahmawati, S. (2012). “Metode ABA (Applied Beha­viour


PL

Analysis): Kemampuan bersosialisasi terhadap kemampuan interaksi


sosial anak autis”. Jurnal Keperawatan Soedirman, 7(1), 1-9.
M

Harlinda, W., & Pratisti, W. D. (2018). Hubungan Antara Dukungan So­


SA

sial Dan Hardiness Dengan Stress Pengasuhan Pada Ibu yang Me­
mi­liki Anak Autis. Skripsi. Program Studi Psikologi Universitas Mu­
ham­ madiyah Surakarta. Hasdianah, HR. (2013). Autis pada anak.
Pen­ce­gahan, perawatan, dan pengobatan. Yogyakarta: Nu­ha Medika.
Harmantia, N.P. & Rachmahana (2020). Dukungan Sosial Suami dan Efi­
kasi Diri Pengasuhan pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebu­tuhan
Khusus. Skripsi. Program Studi Psikologi. Yogyakarta: Uni­versitas Is­
lam Indonesia.
Hartono, B. (2002). Aspek neurologik Autisme Infantil. In Seminar & Work-
shop on Fragile-XMental Retardation, Autism and Related Disorders.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hasanah, N. Mulyati, & Tarma. (2019). “Hubungan parenting self efficacy
dengan subjective well being pada ibu yang memiliki anak berkebu­
tuhan khusus”. Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, 6(02),
103-108.
Hayes, S.A., & Watson, S.L. (2013). “The impact of parenting stress: A
Meta-analysis of studies comparing the experience of parenting stress

139
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

in parents of children with and without autism spectrum disor­der”.


Journal of Autism and Developmental Disorder, 43, 629-642. doi:10.10
07/s10803-012-1604-y.
Hidayati, N. (2011). Dukungan sosial bagi keluarga anak berkebutuhan
khusus. INSAN, 13(1), 12-20.
Hocking, C. (2009). Contribution of occupation to health and well-being.
Willard and Spackman’s occupational therapy, 45-55.
Howell, D., Wittman, P., Bundy, M. (2012). “Interprofessional clinical
edu­cation for occupational therapy and psychology students: A social
skills training program for children with autism spectrum disorders”.
Journal of Interprofessional Care, 26, 49­55. doi: 10.3109/13561820.20
11.620186.
Hendriani, W. (2018). Resiliensi Psikologis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Ken­
cana-PrenadaMedia Group.
Hobson, R.P., Lee, A., & Hobson, J.A. (2009). Qualities of symbolic play
among children with autism: A social-developmental perspec­ tive.
Journal of Autism and Developmental Disorders, 39, 12-22. doi: 10.1007/
s10803-008-0589-z.
E

Hogue, A., & Liddle, H.A. (1999). Family-based preventive intervention:


PL

An approach to preventing substance use and antisocial behavior.


American Journal of Orthopsychiatry, 69(3), 278-293.
M

Holden, G. (2015). Parenting a dynamic perspective. New York: Sage Pub­


SA

lications, Inc Kobasa, S., Maddi, S., & Kahn, S. (1982). Har­diness and
health: a prospective study. Journal of Personality and Social Psychol­
ogy, 42(1), 168-177.doi:10.1037/0022-3514.42.1. 168.
Holman, J., & Bruininks, R. (1985). Assessment and Training of Adapti­ve
Behavior. In K.C. Lakin & R.H. Bruininks (Eds.), Strategies for achieving
communi­ty integration of developmentally disabled citizens (pp. 73-
104). Balti­more: Paul H. Brooks.
Hoque, M.E., Lane, J.K., El Kaliouby, R., Goodwin, M., & Picard, R. W.
(2009). Exploring speech therapy games with children on the autism
spectrum.
Hulsegge, J., & Verheul, A. (1987). Snoezelen: another world. Rompa
Indonesia, R. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indone­sia
Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
Jackson, A., & Huang, C. (2000). Parenting stress and behavior among
single mothers of preschoolers: The mediating role of self-efficacy.
Journal of Social Service Research, 26, 29-42.

140
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

Johnston, C., & Mash, E. (1989). “A measure of parenting satisfaction and


efficacy”. Journal of Clinical Child Psychology, 18(2), 167-175.doi:10.
1207/s15374424j ccp1802_8.
Jones, T., & Prinz, R. (2005). Potential roles of parental self efficacy in pa­
rent and child adjustment: A review. Clinical Psychology Review, 25(3),
341-363.doi:10.1016/j.cpr.2004.12.004.
Kadar, M., McDonald, R., Lentin, P. (2015). Malaysian occupational the­
rapists’ practices with children and adolescents with autism spec­trum
disorder. The British Journal of Occupational Therapy, 78(1), 33-41.doi:
10.1177/0308022614561237.
Kaplan, G.A., Haan, M.N., & Wallace, R. B. (1999). Understanding changing
risk factor associations with increasing age in adults. Annual Review of
Public Health, 20(1), 89-108.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Men­teri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014. (On­li­ne). http://
peraturan.go.id/permen/kemenkes-nomor-81-tahun- 2014.html.
Keyes, C.L. (2006). Subjective well-being in mental health and hu­man
development research worldwide: An introduction. Social indicators
E

research, 77(1), 1-10.


PL

Kobasa, S., Maddi, S.R., Pucceti, M., & Zola, M. (1994). Effectiveness of
hardiness, exercise and social support as resources against ill­ ness.
M

Dalam A.S. & J. Wardle (Ed.), Psycosocial processes and health: A reader
SA

(h. 247-260). Cambridge: Cambridge University Press.


Konst, M.J., Matson, J.L., & Turygin, N. (2013). Exploration of the cor­
relation between autism spectrum disorder symptomology and tan­
trum behaviors. Research in Autism Spectrum Disorders, 7(9), 1068-
1074. doi:10.1016/j.rasd.2013.05.006.
Kloos, B., Hill, J., Thomas, E., Wandersman, A., Elias, M., & Dalton. (2012).
Community Psychology: Linking Individuals and Commu­ nities. (Ed.3).
United States of America: Wadsworth. (t.th.). Cengage Learning. (Third
Ed). United States of Ame­rica: Wadsworth, Cengage Learning.
Kranowitz, C.S. (2005). The Out-of-Sync Child: Recognizing and Coping with
Sensory Processing Disorder. USA: Penguin Group.
Landreth, G.L. (2012). Play Therapy: The Art of the Relationship. 3rd Edition.
New York, NY: Routledge.
Lang, R., O’Reilly, M., Healy, O., Rispoli, M., Lydon, H., Streusand, W.,
Davis, T., Kang, S., Sigafoos, J., Lancioni, G, Didden, R., & Gies­bers, S.
(2012). Sensori integration therapy for autism spectrum di­sor­ders: A
systematic review. Research in Autism Spectrum Di­sorders, 1004-1018.

141
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

doi :10.1016/j .rasd.2012.01.006.


Lee, K.J. (2011). Predictors of parenting stress among mothers of children
with autism in South Korea. Disertasi. Columbia: Univer­sity. Proquest.
UMI Number: 3484364.
Lestari, F.A., & Mariyati, L.I. (2016). Resiliensi ibu yang memiliki anak
down syndrome di Sidoarjo. Psikologia: Jurnal Psikologi, 3(1), 141-155.
Lim, H. (2010). Effect of “Developmental speech and language training
through music” on speech production in children with autism spec­
trum disorders. Journal of Music Therapy, XLVII(1), 2-26.
Linderman, T.M., & Stewart, K.B. (1999). Sensory integrative-based oc­
cupational therapy and functional outcomes in young children with
pervasive developmental disorders: A single-subject study. American
Journal of Occupational Therapy, 53, 207-213.
Maddi, S.R., & Kobasa, S.C. (1984). The hardy executive, health under stress.
Illionis: Dow Jones-Irwin.
Maljaars, J., Boonen, H., Lambrechts, G., Leeuwen, K.V., Noens Ilse..
(2014). Maternal parenting behavior and child behavior problems in
fa­mi­lies of children and adolescents with autism spectrum disorder.
E

Journal of Autism and Developmental Disorder. 44, 501-512.doi: 10.10


PL

07/s10803-013-1894-8.
Masi, A., Lampit, A., DeMayo, M., Glozier, N., Hickie, I., Guastella, A.
M

(2017). A comprehensive systematic review and meta-analysis of


SA

phar­macological and dietary supplement interventions in pae­diatric


au­tism: moderators of treatment response and recommen­dations for
future research. Psychological Medicine, 47, 1323-13 34.doi:10.1017/
S0033291716003457.
McDaniel, B.C. (2015). A systematic mapping review of equine-assis­ted
activities and therapies for children with autism: Implications for
occupational therapy. Thesis. Colorado State University.
McKee, Harris, Rice, Silk (2007). Effects of a snoezelen room on the
behavior of three autistic clients. Research in Developmnetal Di­
sabilities, 28, 304-316.
McLennan J.D., Huculak S and Sheehan D (2008) Pilot investigati­on of
service receipt by young children with autistic spectrum disorders.
Journal of Autism and Developmental Disorders, 38(6): 1192-1196.
McStay,R., Dissanayake, C., Scheeren, A., Koot, H., Begeer, S. (2014).
Parenting stress and autism: The role of age, autism seve­rity, qua­
lity of life and problem behaviour of children and adoles­cents with
autism. Autism, 18(5), 502-510. Doi: 10.1177/ 1362361313 485163.

142
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

Mesman, J., & Koot, H. M. (2000). Common and specific correlates of


preadolescent internalizing and externalizing psychopatholo­gy. Jour­
nal of Abnormal Psychology, 109(3), 428-437.
Miller, L.J., Anzalone, M.E., Lane, S.J., Cermak, S.A., & Osten, E.T. (2007).
Concept evolution in sensory integration: A proposed nosology for
diagnosis. American Journal of Occupational Therapy, 61(2), 135-140.
Morgenthal, A.H. (2015). Child-centered play therapy for children with
autism: A case study (Doctoral dissertation, Antioch Univer­sity).
Moritsugu, J., Vera, E., Wong, F., & Duffy, K. (2015). Community Psy­cho­
logy. New York: Psychology Press.
Morgenthal, A.H. (2015). Child-centered plat therapy for children with
autism: A case study. Disertasi. Proquest.
Mukhtar, D.Y. (2016). Pedoman Group Based Parenting Support un­tuk
orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Mo­
dul. Yogyakarta: Program Doktor Psikologi Universitas Gadjah Ma­da.
Muniroh, S.M. (2010). “Dinamika resiliensi orang tua anak autis”. Jurnal
Penelitian, 7(2).
Murisal, M., & Hasanah, T. (2017). “Hubungan bersyukur dengan ke­­se­
E

jahteraan subjektif pada orang tua yang memiliki anak tuna­grahita”


PL

di SLB Negeri 2 Kota Padang. Konseli: Jurnal Bimbing­an dan Konseling


(E-Journal), 7(2), 81-88.
M

Mutianingrum, A. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu de­ngan


SA

Pem­berian Diet Bebas Gluten, Kasein, dan Status Gizi pada Anak Au­
tis. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Gizi Ke­se­hatan. Fa­
kul­tas Kedokteran. Yog­yakarta: Universitas Gadjah Mada.
Norlin, D., & Broberg, M. (2013). “Parents of children with and without
intellectual disability: couple relationship and individual well-being”.
Journal of Intellectual disability Research, 57(6), 552-566.
Nuhraheni, S.A. (2008). Efektivitas intervensi diet bebas gluten bebas
casein terhadap perubahan perilaku anak autis berdasarkan mo­ di­
fi­kasi skor-CARS. Tesis. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Uni­versitas
Gadjah Mada.
Nurarini, F. (2016). Pengaruh rasa syukur dan kepribadian terhadap
psychological well­being orang tua yang memiliki anak berkebu­tuhan
khusus. Skripsi. Fakultas Psikologi. Jakarta: UIN Syarif Hi­dayatullah.
Parham, L.D., Cohn, E.S., Spitzer, S, Koomar, J.A., et al. 2007. Fidelity
in sensory integration intervention research. American Journal of
Occupational Therapy, 61:216-227. https://jdc.jefferson.edu/otfp/25
Pollard, E.L., & Davidson, L. (2001). Foundations of Child Well-Being.

143
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

UNESCO.
Pruitt, M., Willis, K., Timmons, L., Ekas, N. (2016). The impact of ma­ternal,
child, and family characteristics on the daily well-being and parenting
experiences of mothers of children with au­tism spectrum disorders.
Autism. 20(8), 973-985.doi: 10.1177/13 623 61315620409.
Rahayu, A.T.D., & Amalia, S. (2019). Religiusitas dan stres pengasuh­an
pada ibu dengan anak autis. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 7(2), 252-
269.
Reschly, D.J. (1982). Assessing the mildly mental retardation: The in­
fluence of adaptive behavior in socioeconomic status and pros­pect for
nonbiased assessment. In C.R. Reynold & T.B. Samson, A.C., Hardan,
A.Y., Lee, I.A., Phillips, J.M., & Gross, J.J. (2015). Maladaptive
behavior in autism spectrum disorder: The role of emotion experience
and emotion regulation. Journal of Autism and Developmental Disorders,
45(11), 3424-3432.
Retnawati, H. (2016). Analisis kuantitatif instrumen penelitian. Yog­ya­
karta: Parama Publishing.
Santana, I.P., & Istiana, I. (2019). Hubungan antara Religiusitas de­ngan
E

Hardiness pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khu­sus di SLB


PL

Negeri Binjai. Jurnal Diversita, 5(2), 142-148.


Roley, S., DeLany, J., Barrows, C., Brownrigg, S., Honaker, D., Sava, D.,
M

Smith, E. (2008). Occupational therapy practice framework: domain


SA

& practice. The American Journal Of Occupational Thera­ py: Official


Publication Of The American Occupational Therapy Asso­ciation, 62(6),
625.
Rutter, M. (2001). Psychosocial adversity: Risk, resilience and reco­very.
The context of youth violence: Resilience, risk, and protec­tion, 13-41.
Sandiford, G., Nainess, K., Daher, N. (2013). A pilot study on the ef­fi ­
cacy of melodic based communication therapy for eliciting speech in
nonverbal children with autism. Journal of Autism and Developmental
Disorder. 43, 1298-1307.
Santrock, (2007). Perkembangan Anak. Edisi Ketujuh (Vol. 1). Jakarta: Er­
langga.
Sarafino, E., & Smith, T. (2014). Health Psychology: Biopsychosocial In­ter­
actions. John Wiley & Sons.
Sari, D.P. (2020). Perbandingan efikasi diri dalam pengasuhan anak pada
ibu yang memiliki anak disabilitas dan tidak memiliki anak disabilitas.
Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 22(1). 38-45.
Schaaf, R.C., & Miller, L.J. (2005). Occupational therapy using a sensory

144
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN

integrative approach for children with developmental di­ sa­


bilities.
Mental retardation and developmental disabilities research reviews, 11(2),
143-148.
Shattock, P., & Whiteley, P. (2001). How dietary interventions could
ameliorate the symptoms of autism. Pharmaceutical Journal, 266, 17-
19.
Sparrow, S., Balla, D., & Cicchetti, D. (1984). Vineland Adaptive Be­havior
Scale. USA: A.G.S., Inc.
Subandi, M.A. (2013). Psikologi Agama dan Kesehatan Mental. Yogya­karta:
Pustaka Pelajar.
Sulastina, S., & Rohmatun, R. (2018, December). Hubungan antara ra­sa
syukur dengan kepuasan hidup pada orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus. In Prosiding Seminar Nasional Psikologi Unissula.
Sutriyatno, A. (2016). Hubungan antara rasa syukur dan penerimaan
diri orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus penyan­
dang tunagrahita di SLB Negeri Semarang. Skripsi. Fakultas Psiko­logi
UNISSULA.
Teti, D., & Gelfand, D. (1991). Behavioral competence among mothers of
E

infants in the first year: The mediational role of maternal self-efficacy.


PL

Child Development, 62(4), 918-929.


Thompson, C.J. (2011). Multisensory intervention observational re­search.
M

International Journal of Special Education, 26, 202-214.


SA

Uchida, Y., Norasakkunkit, V., & Kitayama, S. (2004). Cultural con­struc­


tions of happiness: theory and emprical evidence. Journal of Happi­ness
Studies, 5(3), 223­239.
Vanfleet, R., Sywulak, E.A., & Sniscak, C.C. (2010). Child-centered play
therapy. New York: A Division of Guilford Publication, Inc.
Volkan-Yazici, M., Yazici, G., Varol, F. (2017). The observational results of
a combination of snoezelen therapy and sensory integration therapy
in two subjects with autism. Journal of The Neurological Sciences, xxx,
757-944.doi: 10.1016/j.jns.2017.08.2356.
White, S.C. (2009). Bringing wellbeing into development practice. Working
paper (unpublished). University of Bath/wellbeing in developing
countries research group, Bath, UK.
Wijayakusuma, H. 2008. Psikoterapi Anak Autisma. Teknik Bermain Kreatif
Non Verbal & Verbal. Terapi khusus untuk autisma. Jakarta: Pustaka
Populer Obor.
Wijayaptri, N.W.P. (2016). Aplikasi Picture Exchange Communic­ ation
Systems (PECS) untuk meningkatkan komunikasi fungsio­nal remaja

145
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

autis. (Tesis tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi. Yogyakarta:


Uni­­versitas Ga­djah Mada.
Williames, L.D., & Erdie-Lalena, C.R. (2009). Complementary, holistic,
and integrative medicine: Sensory integration. Pediatrics Review,
30(12). e91-e93.
Zablotsky, B., Bradshaw, C., Stuart, E. (2013). The association bet­ween
men­tal health, stress, and coping supports in mothers of children with
autism spectrum diorders. Journal of Autism and Developmental Di­
sorder. 43, 1380-1393.doi:10.1007/s10803-012-1693-7.
Zaidman-Zait, A., Mirenda, P., Duku, E., Szatmari, P., Georgiades, S., Vo­
lden, J., Zwaigenbaum, L., Vaillancourt, T., Bryson, S., Smith, I., Fom­
bonne, E., Roberts, W., Waddell, C., Thompson, A. (2014). Exami­
na­tion of bidirectional relationships between parent stress and two
ty­pes of problem behavior in children with autism spec­trum disorder.
Journal of Autism and Developmental Disorders. 44, 1908- 1917.doi:
10.1007/s10803-014-2064-3.
Zaidman-Zait, A., Mirenda, P., Duku, E., Vaillancourt, T., Smith, I., Szat­
mari, P., Bryson, S., Fombonne, E., Volden, J., Waddel, C., Zwaigen­
E

baum, L., Georgiades, S., Bennett, T., Elsabaggh, M., Thomp­son, A.


PL

(2016). Impact of personal and social resources on pa­renting stress in


mothers of children with autism spectrum di­sor­der. Autism. 1-12.doi:
M

10.1177/1362336136633033.
SA

146
Bab 4
STRES PENGASUHAN

A. STRES PENGASUHAN: SEBUAH PENGANTAR


PL

Stres pengasuhan merupakan fenomena yang paling sering diala­mi


M

para orang tua, baik orang tua yang memiliki anak dengan gangguan
SA

perkembangan maupun orang tua yang memiliki anak dengan perkem­


bangan normal. Ada apa dengan tema stres pengasuhan, me­ng­apa tema
ini menarik untuk diteliti? Beberapa pertanyaan muncul dilontarkan kepa­
da penulis ketika meneliti kajian tentang stres peng­asuhan. Dalam benak
penulis, kemungkinan beberapa orang ber­anggapan bahwa setiap orang
tua pasti akan mengalami stres peng­asuhan dan tidak dapat terelakkan,
lalu mengapa dikaji kembali. Bagi penulis sendiri, kajian stres pengasuh­
an tidak hanya dilihat dari sisi negatif saja, namun juga harus dipan­dang
dari sisi positif hingga mengapa dari pengalaman stres yang dialami se­
tiap orang tua dapat memicu dirinya menjadi pribadi yang lebih baik bagi
anak-anaknya.
Pada awalnya, bagi penulis terdapat alasan utama yang harus diba­
has dalam kajian stres pengasuhan, yaitu secara umum mengapa setiap
individu berbeda dalam menyikapi kehadiran sumber stres (stresor), ar­
tinya ketika individu diberikan stimulus yang sama, meng­apa terdapat
perbedaan reaksi dan dampak yang kemudian diterima­nya? Kemudian
secara khusus jika dikaitkan dengan pengasuhan pada orang tua yang
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf, terdapat tiga ala­


san yang dikemukakan, yaitu: Pertama, berdasarkan teori: jika dikait­kan
dengan kajian orang tua yang memiliki anak de­ngan gangguan per­kem­
bangan saraf, terutama pada orang tua de­ngan anak dengan gang­guan
spektrum autis, mengalami stres peng­ asuh­
an yang lebih tinggi diban­
dingkan orang tua dengan anak perkembang­an normal dan orang tua yang
memiliki anak dengan gangguan per­kembangan lain, serta orang tua dari
anak yang sedang mengalami sakit kronis (misalnya leukemia). Hal ini
juga diperkuat berdasarkan riset sebelumnya (Hayes & Watson, 2013).
Kedua, berdasarkan ber­bagai penelitian sebelumya: terdapat perbedaan
dari berbagai hasil penelitian yang telah ada. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan orang tua mengalami peningkatan stres pengasuhan selama
merawat anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf terutama
orang tua dari anak autis, namun didapati pula beberapa hasil penelitian
yang membuktikan orang tua mengalami stres pengasuhan rendah. Ada
apa sebenarnya dengan stres pengasuhan orang tua yang memiliki anak
dengan gangguan perkembangan saraf? Faktor-faktor apa sajakah yang
turut berperan penting dalam memengaruhi naik turunnya stres peng­
E

asuhan orang tua? Ketiga, berdasarkan data lapangan: terdapat ketidak


PL

konsistenan pengalaman stres pengasuhan orang tua. Kondisi orang tua


yang telah bertahun-tahun (bahkan sampai belasan tahun) merawat anak
M

dengan gangguan perkembangan saraf, diharapkan orang tua sudah dapat


SA

menerima kondisi keterbatasan anak, namun kenyataan di lapangan ter­


nyata orang tua tetap mengalami stres pengasuhan baik yang telah mam­
pu menerima maupun yang belum bisa menerima kondisi anak, dan stres
pengasuhan ini akan terjadi sepanjang kehidupan anak. Alasan-alasan
inilah yang kemudian perlu digali lebih lanjut.
Sebelum membahas lebih lanjut, maka pada permulaan BAB empat ini
akan dibahas terkait sejarah dan hakikat stres, seperti dikutip dalam Daulay
(2019), Lumsden (1981) menjelaskan bahwa konsep stres ditemukan
sekitar awal abad keempat belas, digunakan untuk menandakan kesulitan,
kesengsaraan atau penderitaan (dikutip dari Mahoney, 2009); kemudian
pada abad ketujuh belas, stres digunakan dalam ilmu fisik menandakan
jumlah daya internal yang dihasilkan oleh kekuatan luar menciptakan
ketegangan pada suatu objek (Hin­ kle, 1974). Selanjutnya, pada abad
kesembilan belas digunakan pa­ da area kedokteran, stres dipandang
sebagai indikasi dari masalah kesehatan. Hasil penelitian Selye tentang
stres melihatnya sebagai satu set pertahanan tubuh terhadap segala bentuk
stimulus fisik mau­pun psikis yang mengancam, dikenal sebagai sindrom

148
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

adaptasi umum (general adaptation syndrome) (Selye, 1974). Hasil


penelitian Selye tentang sekresi stres hormonal berperan penting sebagai
landasan tentang stres di bidang ilmu sosial (Monat & Lazarus, 1991). Pada
abad ke-19, konsep stres sudah mulai digunakan dalam ilmu kesehatan
dan sosial (Bartlett, 1998), yang kemudian konsep stres dianggap sebagai
penyebab permasalahan dalam kesehatan secara fisik maupun psi­ko­logis
(Hinkle, 1977). Tahun 1960 stres dikonseptualisasikan se­bagai akibat atau
tuntutan negatif atas peristiwa dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman
(1984) akhirnya mendefinisikan stres sebagai pengalaman subjektif yang
didasarkan pada persepsi seseorang ter­hadap situasi yang dihadapinya.
Stres berkaitan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau
situasi yag menekan. Kondisi ini mengakibatkan perasaan cemas, marah
dan frustrasi.
Pada tulisan Gaol (2016) tentang teori stres: stimulus, respons, dan
transaksional, dijelaskan tentang tiga pendekatan teori stres, ya­itu:
1. Stres model stimulus (rangsangan)
Model stres yang menjelaskan bahwa stres adalah variabel bebas
(independent) atau penyebab manusia mengalami stres (Lyon, 2012).
E

Seseorang mengalami stres akibat situasi lingkungan yang menekan


PL

(Bartlett, 1998), dan seseorang menerima langsung sum­ ber stres


tanpa ada proses penilaian (Staal, 2009). Sumber stres dikenal dengan
M

istilah stresor, dan menurut Thoits (1995) sumber stres (stresor)


SA

dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1) life events (peristiwa kehidupan),


misalnya kematian pasangan hi­ dup, kecelakaan, anggota keluarga
yang sakit parah, memiliki anak dengan keterbatasannya; 2) chronic
strain (ketegangan kronis), misalnya tuntutan dalam pengasuhan;
3) daily hassles (permasalahan sehari-hari), misalnya perilaku anak
di luar ken­dali orang tua, pekerjaan rumah tangga (membersihkan
rumah), harga kebutuhan pokok meningkat, mahalnya biaya sekolah
dan terapi anak autis.
2. Stres model response (respons)
Model stres ini merupakan reaksi tubuh terhadap sumber stres
sebagai variabel terikat atau hasil (Lyon, 2012). Harrington (2013)
menjelaskan bahwa manusia adalah organisme hidup yang dinamis
memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan tuntut­an di
luar dirinya yang bersumber dari lingkung­an. Hal ini juga diper­tegas
oleh Walter Cannon (1932, dalam Harrington, 2013) mengung­kap­
kan istilah “homeostatis” yaitu proses pengaturan diri biologis pada
individu untuk beradaptasi terhadap tuntutan kehidupan. Cannon

149
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

(1932) juga kemudian mengembangkan konsep “fight or flight”, yaitu


respons tubuh un­tuk melindungi dirinya dengan cara melawan (fight)
atau me­la­rikan diri/menghindar (flight) dari ancaman tersebut, atau
dengan kata lain respons tubuh terhadap sumber stres.

Hans Selye (1974) mengungkapkan bahwa stres merupakan re­aksi


atau tanggapan tubuh yang secara spesifik terhadap penyebab stres yang
dapat memengaruhi seseorang. Terkait respons tubuh ter­hadap sumber
stres, Selye kemudian mengenalkan terdapat tiga tahapan model kete­
gang­an kronis (chronic stress) yang disebut Gene­ral Adaptation Syndrome
(GAS), yaitu: 1) alarm (tanda bahaya); ter­jadi ketika individu merasakan
adanya ancaman dari stresor, maka individu kemudian bereaksi dengan
mengaktifkan respons “fight or flight”, yaitu terjadi aktivasi sistem saraf
simpatis (sympathetic nervous system) dan sekresi hormon korteks adrenal
(adrenal cortex hormonal secretions) yang akhirnya meningkatkan sistem
rangsangan fisio­lo­gis tubuh manusia. Menurut Ursin dan Eriksen (2004),
tahapan alarm merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi
ketika ada perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi
E
yang diharapkan. Lyon (2012) kemudian menambahkan, sebagai akibat­
PL

nya tubuh menerima rangsangan dan secara alami mengaktifkan reaksi


“fight or flight” dikarenakan adanya kondisi yang berpotensi meng­ancam
M

kestabilan kondisi tubuh. Pada tahapan ini individu akan me­ra­sakan ke­
SA

tidaknyamanan kondisi fisik, seperti sakit kepala, jantung berdebar; 2)


resistance (perlawanan); terjadi ketika pada tahapan alarm terus-menerus
berlangsung, keausan/kerusakan yang terjadi secara terus-menerus akan
mengurangi sistem pertahanan tubuh, yang akhirnya mendorong indi­vidu
untuk melakukan perlawanan pa­da tahapan resistance ini; 3) exhaus­tion
(kelelahan), kemampuan per­ la­
wanan terhadap stresor mengakibatkan
per­tahanan sistem tu­buh semakin terkuras, dan tubuh sudah menyerah di­
akibatkan ka­rena kehabisan kemampuan untuk menghadapi sumber stres
yang mengancam (Lyon, 2012), ketika sistem organ tubuh gagal ber­fungsi
maka kemungkinan kematian dapat terjadi (Harrington, 2013).
Penjelasan tentang ketiga tahapan General Adaptation Syndrome
(GAS) di atas dapat dilihat pada Gambar 3.

150
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

Gambar 3. The three stages of Selye’s General Adaptation Syndrome (GAS) (Rice, 1999; hlm.18)

Berdasarkan teori Selye tentang General Adaptation Syndrome ter­


E

dapat satu kelemahan yaitu teori ini tidak mencakup faktor psikologi yang
PL

sangat penting untuk dipahami terkait stres yang dialami pada manu­
sia. Lebih lanjut, tidak mempertimbangkan pemanfaatan stra­te­gi koping
M

dalam mengatasi stres. Oleh karenanya kemudian mun­cul stres model


SA

tran­sactional yang berupaya melengkapi teori tentang stres.

3. Stres model transactional (transaksional)


(Bartlett, 1998; Lyon, 2012)
Staal (2004) menjelaskan stres model ini menekankan pada pe­
ranan penilaian individu terhadap penyebab stres yang akan menen­tukan
respons dari individu tersebut. Setiap individu memiliki tipe kognitif yang
berbeda dalam menginterpretasikan stimulus yang ha­ dir, oleh karena­
nya mengapa reaksi stres pada setiap individu ber­beda-beda meskipun
stimulus yang ditampilkan sama. Stres dapat ber­lanjut ke tahap yang lebih
parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang, ditentukan bagai­ma­
na usaha seseorang berurusan dengan sumber stres (Gaol, 2016). Hal ini
dapat dijelaskan menggunakan teo­ri Lazarus dan Folkman (1984) ada­
lah salah seorang pencetus teori stres dan tokoh yang paling berpenga­
ruh sebagai pelopor penelitian. Lazarus dan Folkman (1984) mengenal­kan
tiga proses model kognitif stres dan koping terdiri dari primary apprai­
sal (penilaian tahap awal), secondary appraisal (penilaian tahap kedua),

151
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dan reappraisal (pe­ni­laian kembali). Pada saat penilaian tahap awal, in­
dividu akan melakukan evaluasi terhadap stimulus yang hadir, apakah
stimulus tersebut berpotensi bermasalah atau bermanfaat baginya. Ketika
indi­vidu mulai memasuki tahap kognitif yang lebih tinggi, selanjutnya
akan memikirkan langkah-langkah yang tepat dalam mengatasi sti­­mu­
lus yang hadir tersebut, pada saat ini individu mulai memasuki pe­ni­
laian tahap kedua, di mana menurut Lazarus dan Folkman (1984) indi­
vidu akan melibatkan penilaian terhadap diri sendiri seberapa baik dapat
meng­hadapi atau mengatasi (koping) kemunculan sum­ber stres. Koping
meng­acu pada penggunaan sumber daya dan stra­tegi yang efektif dalam
meng­hadapi tuntutan yang berasal dari inter­­nal atau eksternal (Coyne &
Holroyd, 1982). Koping tergantung pada pe­­nilaian terhadap hal apa yang
bisa dilakukan untuk mengubah si­tuasi (Lazarus, 1993), serta meli­bat­kan
pengontrolan diri, artinya ketika semakin sedikit kontrol diri atas sum­ber
stres maka semakin membuat kita merasa tertekan karena masa­lah yang
dihadapi belum terselesaikan. Lazarus dan Folkman (1984) membagi dua
fungsi uta­ma koping, yaitu: 1) emotion-focused coping (fokus pada emosi),
dan 2) problem-focused coping (fokus pada masalah). Penjelasannya lebih
E

lanjut dapat dilihat pada Bab lima.


PL

Pada umumnya stres dikaitkan dengan kondisi yang menekan, pe­


nuh ketegangan, dan seseorang merasa tidak berdaya, yang akhirnya
M

ber­dampak pada stres tidak menyenangkan (distress). Padahal tidak se­


SA

lamanya demikian, setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda-


beda ketika dihadapkan pada sumber stres, tergantung dari faktor-faktor
yang memengaruhinya dalam menyikapi kehadiran sumber stres tersebut,
hingga akhirnya seseorang mampu beradaptasi, tetap termotivasi meski­
pun dalam kondisi yang menekan (eustress). Selye (1956) mengungkap­
kan tidak semua stres itu berdampak negatif (distress), namun stres dapat
dilihat sebagai hal yang positif (eustress), yaitu stres dianggap sebagai
tantangan yang mendorong individu untuk bekerja lebih optimal atau
tetap menjalani kehidupan dengan kondisi psikologis yang baik, sumber
stres dianggap sebagai suatu tantangan dan memotivasi individu. Jadi si­
tuasi yang menyebabkan seseorang mengalami stres dan pengalaman stres
itu sendiri bersifat sangat subjektif. Jika seseorang memiliki sumber da­
ya pribadi yang baik dan merasa cukup berkompeten mengatasi sumber
stres, maka stres akan berdampak positif dan memotivasi individu un­
tuk men­jadi pribadi yang lebih baik. Demikian sebaliknya, jika seseorang
merasa kurang berkompeten ditambah dengan banyaknya sumber stres
yang harus dihadapi, maka akan memunculkan dampak negatif terhadap

152
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

kesehatan fisik dan psikologis.


Mengutip dalam Daulay (2019) bahwa konsep stres kemudian terus
berkembang dan dispesifikkan sesuai dengan situasinya, seperti stres
akademik, stres pekerjaan, stres pengasuh­an. Stres pengasuhan merupakan
gabungan risiko atau pengalaman yang berpotensi menimbulkan stres
dalam kehidup­an orang tua (Mahoney, 2009). Proses pengasuhan anak
erat kaitannya memunculkan stres bagi pa­ra peng­asuhnya, hal ini terkait
dengan kon­ disi anak yang menguat­ kan mun­ cul­nya stres pengasuhan
orang tua. Salah satu pencetus teori stres pengasuhan yang banyak
diaplikasi­kan dalam penelitian adalah Ri­chard Abidin. Berdasarkan pada
mo­del pengasuhan sebelumnya yang dike­mu­kakan oleh Belsky (1984),
bahwa karakteristik kepribadian dan konteks sosial berhubungan ter­
hadap perilaku pengasuhan. Abidin kemudian me­ nambahkan ele­ men
penting pada kategori stresor dalam sebuah model. Model stres peng­
asuhan Abidin melingkupi tiga level stresor, yaitu faktor orang tua, faktor
anak dan faktor situasi interaksi. Tiga faktor ini saling ter­hubung untuk
mendapatkan penilaian orang tua tentang relevansi pe­ran mereka, ketiga
faktor ini yang mendasari teori stres pengasuhan dari Abidin (1995).
E

Terdapat beberapa definisi stres pengasuhan yang sering diguna­kan


PL

dalam penelitian, yaitu menurut Hayes dan Watson (2013), stres peng­
asuhan merupakan pengalaman distres sebagai hasil tun­tutan peran peng­
M

asuhan. Abidin (1995) menjelaskan stres pengasuh­ an sebagai tekanan


SA

yang dialami oleh orang tua yang berasal dari inter­aksi dengan anak-anak
me­reka. Deater-Deckard (2004) mende­fi­nisikan stres pengasuhan seba­gai
sebuah rangkaian proses yang mengarah pada permasalahan psiko­lo­gis
dan fisik sebagai reaksi yang timbul atas upaya penyesuaian terhadap
tun­tutan menjadi orang tua. Adapun Cooper, McLanahan, Meadows, dan
Gunn (2009) mengung­kapkan stres pengasuhan adalah kondisi atau pe­
ra­sa­an yang dialami saat orang tua memahami bahwa tuntutan terkait
dengan pengasuh­­an melebihi sumber pribadi dan sosial yang tersedia un­
tuk meme­nuhi tuntutan tersebut (dalam Daulay, 2019).
Williford, Amanada, Calkins, Susan dan Keane (2007) menjelas­kan
stres pengasuhan timbul akibat ketidaksesuaian antara tuntutan yang di­
rasakan orang tua dan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan
tersebut, serta dapat didefinisikan sebagai respons psikologis negatif yang
dikaitkan dengan diri sendiri dan interaksinya dengan anak. Sesuai de­
ngan model stres pengasuhan Ahern (2000) yang me­­ngatakan bahwa stres
pengasuhan mendorong ke arah tidak ber­fung­sinya pengasuhan orang tua
terhadap anak, serta menjelaskan ke­tidak­sesuaian respons orang tua da­lam

153
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

menghadapi konflik dengan anak-anak mereka. Stres pengasuhan memi­


liki komponen komplek, meliputi persepsi, emosi, pikiran, dan mekanisme
biologis. Komponen tersebut saling berinteraksi dan bertransaksi seca­ra
bidireksional me­mengaruhi orang dengan lingkungan, orang dan koping
stresnya dan lingkungan dengan strategi koping (Aldwin, 1994).
Mukhtar (2017) dalam penelitiannya juga menegaskan bahwa stres
pengasuhan merupakan serangkaian proses yang menyebabkan timbulnya
reaksi psikologis dan fisiologis yang tidak diinginkan seba­gai upaya untuk
beradaptasi dengan tuntutan peran dan tanggung jawab orang tua sebagai
pengasuh anak. Reaksi stres pengasuhan ini dapat dilihat dari timbulnya
masalah fisiologis serta psikologis yang meliputi adanya perilaku, kognisi,
dan emosi yang negatif, contohnya menjadi sulit tidur karena memikirkan
anak, cara pengasuhan yang tidak tepat, atau penilaian yang negatif
tentang anak dan diri sendiri.
Penelitian-penelitian pada stres pengasuhan ditujukan pada: (a) stres
pengasuhan berbeda antara keluarga yang memiliki anak berkebutuhan
dengan anak tidak berkebutuhan (Boyce & Behl, 1991; McGlone, Santos,
Kazama, Fong, & Mueller, 2002; Noh, Dumas, Wolf & Fisman, 1989, dalam
E

Ello & Donovan, 2005); (b) stres pengasuhan berbeda antara jenis kela­min
PL

orang tua (Deater Deckard, & Scarr, 1996; Esdaile & Greenwood, 2003,
dalam Ello & Donovan, 2005); dan (c) stres pengasuhan dihubungkan de­
M

ngan penerimaan dukungan sosial (Bailey et al., 1999; Bristol, 1984; Her­
SA

man & Thompson, 1995; Krauss, Upshur, Shonkoff & Hauser-Cram, 1993,
dalam Ello & Dono­van, 2005).
Berdasarkan definisi stres pengasuhan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa stres pengasuhan merupakan ketidaksesuaian anta­ra harapan orang
tua dengan kenyataan yang sebenarnya, reaksi atas kon­disi menekan yang
dialami orang tua atas tuntutan peran dan tang­gung jawab dalam meme­
nuhi kebutuhan anak dan keluarga yang me­lebihi kemampuan mereka
sebagai orang tua.

B. STRES PENGASUHAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN


GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
Penelitian secara konsisten menunjukkan ibu lebih stres dalam meng­­
asuh anak dibandingkan pengasuh utama lain, misalnya ayah, nenek, ka­
kek (Dabrowska & Pisula, 2010). Ibu lebih rentan mengalami de­presi dan
kecemasan (Meadan, H., Halle, J., & Ebata, A, 2010), ibu lebih menderi­­ta
secara emosi akan beban tersebut (Gray, 2002), ibu juga berisiko tinggi

154
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

mengalami masalah kesehatan mental (Piven and Palmer, 1999). McStay


(2014) juga menekankan bahwa orang tua yang memiliki anak-anak de­
ngan gangguan perkembangan, dila­por­kan bahwa orang tua khususnya
ibu akan mengalami gejala depresi, dan memiliki tingkat stres yang ting­gi
(Pelchat et al., 1999) dibanding­kan ibu yang memiliki anak dengan per­
kembangan normal.
Menurut Moes, et al. (1992) bahwa ibu lebih mengalami stres pada
empat hal, yaitu: masalah pengasuhan, kemampuan anak, pe­ri­laku anak,
dan perkembangan fisik anak. Temuan penelitian lain membuktikan bah­
wa stres ibu berhubungan dengan kemampuan so­sial anak (Baker-Eric­zen
et al., 2005); perilaku bermasalah anak kon­disi kesehatan mental ayah,
sementara kondisi stres ayah tidak berhu­bungan dengan perilaku anak
atau kesehatan mental ibu (Hastings, 2003).
Secara teoretis, stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak
dengan gangguan perkembangan saraf dapat dijelaskan dengan dua teori,
yaitu: 1) Teori Hubungan Orang Tua-Anak (The Parent-Child Relation­ship/
P-C-R) berawal dari kondisi psikologis negatif yang orang tua rasakan,
seperti merasa bersalah, belum mampu mene­rima kondisi anak, depresi,
E

selanjutnya menurunkan efektivitas pe­ri­laku orang tua dan terciptanya


PL

hubungan kurang hangat yang ditunjuk­kan orang tua kepada anaknya;


2) Teori Kesulitan Harian (The Daily Hassles Theory) berkaitan dengan ke­
M

sibukan yang orang tua alami dalam mengasuh anak dengan gangguan
SA

perkembangan saraf, di ma­na orang tua harus menghadapi perilaku ma­


ladaptif anak, dan juga dituntut untuk mampu menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga dan permasalahan di dalam keluarga, kondisi menekan ha­
rian ini akan berdampak langsung memunculkan stres pengasuhan.

1. Teori Hubungan Orang Tua-Anak (Parent-Child Relationship/P-C-R)


Teori hubungan orang tua-anak (P-C-R) dicetuskan pertama kali oleh
Abidin (dikutip dalam Deater-Deckard, 2004). Teori ini banyak digunakan
dalam penelitian, sebab mengemukakan tiga hal kompo­nen utama, yaitu
: 1) parent domain (P = aspek- aspek stres pengasuhan yang muncul dari
dalam diri orang tua); 2) child domain (C = as­pek-aspek stres pengasuh­
an yang muncul terkait perilaku anak); 3) parent-child relationship (R =
aspek-aspek stres pengasuhan yang muncul dalam hubungan orang tua
dan anak). Menurut teori P-C-R ini, orang tua menjadi stres erat kaitannya
dengan permasalahan pada keber­fungsian orang tua sendiri (misal depre­
si, cemas), kemudian stres peng­asuhan erat kaitannya dengan karakteris­
tik anak (misal, peri­laku bermasalah anak) (Eyberg, Boggs, & Rodriguez,

155
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

1992), dan stres pengasuhan akibat ketidakberfungsian hubungan orang


tua dan anak terutama jika terkait sampai pada terjadinya konflik. Ketiga
as­pek stres pengasuhan ini, pada gilirannya, menyebabkan penurunan da­
lam berbagai kualitas dan efektivitas perilaku mengasuh anak, mencakup
rendahnya kehangatan dan kasih sayang orang tua, yang akhirnya mening­
katkan perilaku bermasalah pada anak.
Lazarus (1993) menambahkan stres muncul dipengaruhi oleh em­pat
komponen, yaitu: 1) Terdapatnya stresor yang individu terima, sumber
stres berasal dari luar individu, jika dikaitkan pada kasus stres pengasuhan
maka stresornya adalah karakteristik anak; 2) Ke­tika berhadapan dengan
stresor, individu akan membuat penilaian kognitif (cognitive appraisal)
un­tuk menentukan apakah stresor terse­but berpotensi mengancam atau
ti­dak; 3) Individu kemudian mela­kukan mekanisme koping untuk mengu­
rangi pengalaman negatif ter­kait peristiwa kehidupan; 4) Terdapat efek
yang memengaruhi pikir­an dan tubuh disebut sebagai reaksi stres (stres
reaction).
Deater-Deckard (2004) mengemukakan bahwa teori P-C-R ini men­
jelaskan hubungan antara orang tua dan anak bersifat dua arah, kon­disi
E

atau perilaku orang tua memengaruhi anak, demikian seba­lik­nya kondisi


PL

atau perilaku anak juga memengaruhi orang tua. Mukh­tar (2017) juga
me­negaskan bahwa rendahnya kualitas perilaku orang tua kemudian me­
M

nye­babkan meningkatnya masalah emosi dan perilaku pada anak yang


SA

ak­hirnya memengaruhi interaksi orang tua dan anak.

2. Teori Kesulitan Harian (The Daily Hassless Theory)


Sebagian besar penelitian tentang stres pengasuhan orang tua berfo­kus
pada keadaan yang penuh tekanan atas kejadian hidup se­hari-hari, se­perti
sakit yang dialami anak, kondisi anak mengalami gangguan perkembang­
an, dan sulitnya perekonomian keluarga (Puff & Renk, 2014). Teori kesulit­
an harian ini berbeda dengan teori hu­bungan orang tua dan anak (P-C-R
theory), artinya orang tua harus belajar untuk mengatasi stresor terkait
pengasuhan anak dari hari ke hari, penggunaan strategi koping yang tepat
tentu akan memenga­ruhi orang tua dalam beradaptasi dengan stresor yang
hadir. Menurut teori ini, untuk memahami bagaimana stres pada orang
tua berkem­bang hingga memengaruhi perkembangan anak serta kondisi
psi­kologis dan kesehatan fisik orang tua, harus mempertimbangkan stres
seca­ra umum yang banyak terjadi pada orang tua setiap hari atau setiap
ming­gunya (Deater-Deckard, 2004).
Teori kesulitan harian melengkapi dari teori P-C-R, orang tua meng­

156
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

alami stres tidak hanya karena dipengaruhi oleh aspek anak, kon­ disi
orang tua, dan aspek hubungan orang tua dan anak, tetapi ada faktor lain
yang memengaruhi seperti kondisi menekan yang di­rasakan atas kesulit­
an harian yang dialami orang tua. Deater-Deckard (2004) menegaskan
bah­wa teori kesulitan harian menjelaskan stres pengasuhan sebagai hasil
dari pengalaman stres umum dan sering dialami dalam pengasuhan seha­
ri-hari, serta memberikan dampak yang besar dalam pengasuhan dan per­
kem­bangan anak.
Mengasuh anak dengan gangguan perkembangan saraf memiliki pe­
ng­alaman dan tantangan tersendiri bagi orang tua sebagai pengasuh uta­­
ma anak. Orang tua lebih stres dalam mengasuh anak terkait de­ngan ku­
rang­nya keberfungsian kondisi perilaku, sosial, emosi, dan kognisi anak.
Se­perti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anak-anak dengan gang­gu­
a­n perkembangan saraf merupakan gangguan perkem­bangan yang dipe­­
ngaruhi ketidakmampuan bagian fungsi saraf da­lam otaknya bekerja se­
ba­­gaimana mestinya, sehingga tampil dalam peri­laku yang tidak sesu­ai
de­ngan perkembangan anak-anak pada umumnya. Teti dan Candelaria
(2002) ju­ga menegaskan bahwa ke­sulitan harian selama mengasuh anak
E

ter­­kait erat dengan perilaku ber­masalah yang ditampilkan anak.


PL
M

C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA STRES PENGASUHAN


SA

Berdasarkan hasil penelitian oleh Gupta (2007) menjelaskan bah­wa


secara keseluruhan dapat disimpulkan terdapat enam kategori faktor-fak­
tor yang memengaruhi munculnya stres orang tua adalah: 1) gejala-gejala
agresivitas dan perilaku bermasalah pada anak; 2) ma­salah finansial; 3)
kurangnya dukungan formal, seperti para pro­fesional, pengobatan; 4) ku­
rangnya dukungan informal, seperti pa­sangan; 5) keyakinan akan inter­
vensi pendidikan dan fasilitas layanan pendidikan; 6) meningkatnya be­
ban pengasuhan dan risiko stigma negatif dari masyarakat.
Studi tentang stres pengasuhan khususnya pada orang tua yang me­
miliki anak dengan gangguan perkembangan saraf telah banyak dilaku­
kan, hasil penelitian menunjukkan beberapa perbedaan, yaitu terdapat be­
berapa penelitian yang menghasilkan stres pengasuhan yang tinggi, namun
terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan orang tua mengalami
stres pengasuhan rendah. Penelitian yang di­lakukan oleh Suma, Adamson,
Bakeman, Robins, dan Abrams (2016) menjelaskan orang tua pada awal­
nya dilaporkan mengalami tingkat stres yang tinggi sebagai reaksi terha­
dap diagnosis anak; serta keti­daktahuan pemberian treatment yang tepat

157
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

setelah anak terdiagnosis (Miller, Gordon, Daniele, & Diller, 1992); meng­
alami emosi dan pi­kiran negatif (Zaidman-Zait et al., 2014).
Stres pengasuhan juga dipengaruhi oleh tingkat keparahan gang­guan
yang dialami anak (Lee, Harrington, Louie, & Newschaffer, 2008) termasuk
keparahan kognitif dan bahasa (Bebko, Konstantareas, & Springer, 1987).
Namun menurut Pisula (2011), sampai sejauh ini belum ada konsensus
yang menjelaskan secara pasti tentang keter­kaitan keparahan gangguan
yang dialami anak dengan tingkat stres pada orang tua, karena tidak
didukung hasil penelitian yang konsis­ten. McStay et al., (2014) menemukan
bahwa tingkat keparahan gang­gu­an spektrum autis yang dialami anak
tidak berhubungan dengan tingkat stres orang tua. Orang tua mengalami
stres pengasuhan disebabkan karena perilaku bermasalah anak.
Faktor-faktor stres pengasuhan orang tua dapat dispesifikkan ke da­
lam dua faktor penting, yaitu faktor internal, meliputi hal-hal terkait pe­
rasaan, pikiran, dan tindakan yang bersumber dari dalam diri ibu sela­
ma mengasuh anak, seperti faktor personal dan faktor demogra­fi. Faktor
eksternal meliputi tema-tema persepsi ibu akan interaksi terhadap hal-
hal di luar dirinya, seperti faktor karakteristik anak, faktor keluarga, dan
E

faktor lingkungan/masyarakat. Berikut adalah penjelasan terkait kedua


PL

faktor tersebut seperti yang diungkapkan Daulay (2019), yaitu:


■■ Faktor Internal
M

Faktor personal yang bersumber dari dalam diri individu, meliputi


SA

pe­rasaan sedih, kecewa atas kondisi anak (DePape & Lind­say, 2015);
kepribadian tangguh (Weiss, 2002); kepribadian neu­roticism, extra­ver­
sion, openness, agreeableness, dan conscien­tious­ness (Rantanen, Tille­
mann, Metsa, Kokko, & Pulkkinen, 2015); locus of control (Banks, Ni­
nowski, Mash, & Semple, 2008); parenting sen­se of competence (Hassall,
Rose, & McDonald, 2005); self efficacy (Hastings & Brown, 2002);
selfesteem (Pisula, 2011); ke­se­hat­an mental (Zablotsky, Bradshaw, &
Stuart, 2013); penurunan ke­sehatan fisik, seperti peningkatan tekan­
an darah (Safe, Joosten, & Molineux, 2012); memiliki pikiran nega­tif
bahwa situasi tidak akan pernah berubah (DePape & Lindsay, 2015).
Faktor demografi yang sering dikaitkan dengan stres pengasuhan
adalah usia (Rodriguez, 2011); jenis kelamin (McStay, Trembath, &
Dissanayake, 2014); status pernikahan (Katsikitis et al., 2013); status
sosial ekonomi (Azad, Blacher, & Marcoulides, 2014); ting­kat pendi­
dikan (Manning, Wainwright, & Bennett, 2011); penda­patan (Mandell
& Salzer, 2007); jumlah anak (Rodriguez, 2011); usia dan jenis ke­
la­min anak (Mandell & Salzer, 2007); jenis gangguan anak (Burke &

158
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

Hodapp, 2014).
■■ Faktor Eksternal
Faktor karakteristik anak, di antaranya adalah perilaku bermasalah
anak (Baker, Blacher, Crnic, & Edelbrock, 2002). Faktor keluarga me­
liputi peningkatan perceraian (Hartley et al., 2010); orang tua saling
menyalahkan atas kondisi anak (May, Fletcher, Dempsey, & Newman,
2015); orang tua lebih banyak menghabiskan waktu dalam merawat
anak autis (Curran, Sharples, White, & Knapp, 2001); rendahnya du­
kungan yang diterima (Zaidman-Zait et al., 2017); rendahnya kerja
sa­ma antara keluarga dan sekolah (Burke & Hodapp, 2014).
Faktor lingkungan/masyarakat di antaranya stigma negatif dari ma­
sya­rakat (Farrugia, 2009); orang tua sering mendapat kritikan dari
orang lain ketika anak menampilkan perilaku tidak sesuai di tempat
umum (Farrugia, 2009). Secara keseluruhan faktor-faktor yang me­
me­ngaruhi stres pengasuhan dibagi menjadi dua, yaitu: 1) faktor in­
ternal, meliputi karakteristik orang tua, kepribadian, emosi, perasa­an,
pikiran, misalnya ibu dengan persepsi yang rendah terhadap ke­
mam­puannya mengasuh anak, karena merasa kurang berkompetensi
E

meng­asuh anak maka ibu cenderung lebih mudah mengalami stres


PL

peng­asuh­an; 2) faktor eksternal, meliputi karakteristik anak (seperti


peri­laku maladaptif anak), status sosial ekonomi keluarga, kurangnya
M

ibu menerima dukungan sosial (dalam Daulay, 2019).


SA

D. PENGUKURAN STRES PENGASUHAN


Terdapat beberapa instrumen yang sering digunakan oleh para peneliti
dalam mengungkap stres pengasuhan, seperti Parenting Stres Index (Abi­
din, 1995); Perceived Stres Scale (Cohen, Kamarak, & Merlmelstein, 1983);
Questionnaire on Resources and Stres (QRS; Friedrich et al., 1983); Per­
ceived Stres Questionnaire (PSQ; Levenstein, et al., 1993); The De­pres­sion,
Anxiety, and Stres Scale-21 (DASS-21, Lovibond and Lovibond, 1995).
Setiap alat ukur memiliki standar reliabilitas dan validitasnya ma­
sing-masing. Hasil penelitian penulis yang termuat dalam sebuah disertasi
telah menguji validitas konstrak dan reliabilitas konstrak sebuah alat
ukur stres pengasuhan yang disesuaikan dengan kondisi para ibu yang
me­­miliki anak berkebutuhan khusus berdasarkan kon­teks masyarakat In­
do­nesia (Daulay, 2019). Hasilnya memiliki uji validitas isi, validitas kons­
trak dan reliabilitas konstrak yang baik dan dapat digunakan pada pe­
ne­litian-penelitian selanjutnya yang tertarik untuk mengkaji tema stres

159
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

peng­asuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

1. Parenting Stres Index (PSI)


Richard Abidin (1995) adalah salah seorang penemu teori stres peng­
asuhan yang banyak diaplikasikan dalam bidang penelitian, de­ngan ins­
trumen yang dikembangkannya adalah Parenting Stres In­dex (PSI), terdi­ri
dari 101 aitem dan didesain sebagai teknik untuk mengidentifikasi orang
tua dan kondisi anak ketika berada di bawah tekanan, perilaku berma­
salah anak, dan ketidak berfungsian hubungan antara orang tua dan anak.
Abidin (1995) kemudian mengembangkan kembali PSI menjadi sebuah
instrumen dengan versi pendek yaitu Parenting Stres Index-Short Form
(PSI-SF) terdiri dari 36 aitem dan dianggap lebih praktis dan mudah de­
ngan administrasi pengerjaan kurang dari 10 menit.
Penulis telah menyimpulkan definisi stres pengasuhan merupa­ kan
kondisi di mana orang tua merasa adanya ketidaksesuaian anta­ra harapan
dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi, dan reaksi atas kondisi mene­
kan yang dialami orang tua atas tuntutan peran dan tanggung jawabnya
dalam memenuhi kebutuhan anak dan keluarga yang melebihi kemam­
E

puan mereka sebagai orang tua. Penulis kemu­dian berupaya untuk mem­
PL

buat alat ukur yang relevan dengan kon­disi masyarakat Indonesia, namun
tetap mengacu pada teori utama stres pengasuhan dari Abidin (1995).
M

Pe­nulisan aitem mengacu pada aspek-aspek-aspek stres pengasuhan yang


SA

diungkapkan oleh Abidin (1995) yaitu: 1) parental distres (depression, res­


triction of role, sense of competence, social isolation, relationship with spouse,
parental health); 2) difficult child characteristics (adaptability, demandingness,
mood, dis­tracbility); 3) parent-child dysfunctional interaction (attachment, ac­
cep­tability, reinforces parent). Semakin tinggi skor yang diperoleh pada ska­
la stres pengasuhan maka semakin tinggi tingkatan stres ibu dalam meng­
asuh anaknya.
Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh pada skala stres peng­
asuhan maka semakin rendah stres yang dirasakan ibu.

2. Questionnaire on Resources and Stres (QRS)


Instrumen asli Questionnaire on Resources and Stres pertama kali
di­kembangkan oleh Holroyd (1974), didesain untuk mengukur stres ke­
luarga yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan atau mental
retardasi, terdiri dari 285 aitem dan telah mengalami revisi alat ukur de­
ngan versi lebih pendek namun tetap mempertahankan reliabilitas yang
baik, contohnya: 1) The Clarke versi QRS (QRS-C, dari Clarke Institute of

160
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

Psychiatry, Toronto); 2) The QRS-F diperuntuk­kan pada populasi yang le­


bih spesifik dan paling banyak digunakan (Friedrich dkk., 1983). Instru­men
QRS-F terdiri dari 52 aitem meng­ukur empat subkomponen persepsi orang
tua, yaitu: masalah orang tua dan keluarga (aspek stres akibat dam­pak da­
ri anak disabilitas terhadap orang tua dan keluarga), pesimis (orang tua
merasa pesimis akan masa depan anak), karakteristik anak (karakteristik
anak yang terlalu menuntut pada orang tua), dan ketidakmampuan fisik
(sejauh mana anak mampu melakukan aktivitas tertentu).
Beberapa penelitian yang menggunakan alat ukur Questionnaire on
Resources and Stres dalam mengukur kondisi stres orang tua yang me­
miliki anak berkebutuhan khusus, di antaranya penelitian yang dilaku­
kan Honey, Hastings, dan McConachie (2005); Konstantareas et al. (1992)
menggunakan QRS-C secara klinis dapat digunakan pada orang tua de­
ngan anak autis dan mental retardasi; Glidden dan Floyd (1997) menggu­
nakan QRS-F untuk mengukur kondisi stres keluarga yang memiliki anak
berkebutuhan; Hastings dan Johnson (2001) juga menggunakan QRS-F
na­mun tanpa subkomponen ketidakmampuan fisik dan karakteristik anak
dalam mengukur stres keluarga yang me­miliki anak autis; Honey, Has­
E

tings, & Mcconachie (2005) menggu­ nakan QRS-F untuk membuktikan


PL

bah­wa berdasarkan hasil properti psikometri, alat ukur ini juga dapat di­
ap­li­kasikan pada orang tua yang memiliki anak autis.
M
SA

3. Perceived Stres Questionnaire (PSQ)


Perceived Stres Questionnaire (PSQ) dikembangkan pertama sekali oleh
Levenstein et al., (1993), merupakan instrumen yang digunakan untuk
mengukur kondisi stres secara umum, terdiri dari 30 aitem dengan model
penskalaan Likert (hampir tidak pernah, kadang-ka­dang, sering, selalu).
PSQ mengukur stres sebagai reaksi subjektif individu terhadap kejadi­an
eksternal dan tuntutan dari lingkungan dari lingkungan (Fliege, et al.,
2005, dalam Hanum, Daengsari, Kemala, 2016). Di samping itu, PSQ di­
gu­nakan karena lebih menekankan pada persepsi kognitif yang dimiliki
oleh individu terhadap situasi yang menjadi stressor dibandingkan ke­
adaan emosionalnya saat itu atau peristiwa kehidupan tertentu yang se­
dang dialaminya (Montero-Marin et al., 2014, dalam Hanum, Daengsari,
kemala, 2016). Reliabilitas alpha cronbach alat ukur ini 0,90.

4. The Depression, Anxiety, and Stres Scale-21 (DASS-21)


The Depression, Anxiety, and Stres Scale-21 (DASS-21, Lovibond &
Lovibond, 1995) merupakan versi pendek yang terdiri dari 21 aitem.

161
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Sedangkan instrumen aslinya Depression, Anxiety, and Stres (DASS) ter­


diri dari 42 aitem. Skala DASS-21 ini memiliki tiga subskala yang masing-
masing terdiri dari tujuh aitem, yaitu: depresi, meng­ukur dysphoria, putus
asa, devaluasi kehidupan, penyangkalan diri, kurangnya minat/keterli­
batan terhadap sesuatu, anhedonia (ke­hi­langan minat untuk menikmati
sesuatu), lesu; kecemasan, meng­ukur efek otot rangka, kecemasan situa­
si, pengalaman subjektif dari pengaruh cemas; stres, mengukur kesulitan
untuk relaks, gugup, gelisah, mudah tersinggung, tidak sabar. Skor dapat
dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu normal, mild (ri­
ngan), mo­derate (sedang), severe (parah), dan extremely severe (sangat pa­
rah). Beberapa penelitian menggunakan instrumen ini untuk mengukur
kondisi stres, perasaan cemas dan depresi pada orang tua yang me­miliki
anak autis, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Lai, Goh, Oei, dan
Sung (2015).
Secara keseluruhan terdapat beberapa alat ukur yang dapat diguna­
kan untuk menguji pengalaman stres, yang tidak bisa dijelaskan satu
persatu di dalam buku ini. Namun, berdasarkan hasil-hasil ri­set terdahulu
menunjukkan Parenting Stres Index dan Questionnaire on Resources and
E

Stres merupakan alat ukur yang sering digunakan dalam mengungkapkan


PL

kondisi stres yang sedang dialami.


M

E. STRES PENGASUHAN DAN NEUROPSIKOLOGI


SA

Dikaitkan dengan kasusnya stres pengasuhan bagi orang tua meng­


alami depresi, ternyata memiliki pengaruh dan hubungan yang kuat da­lam
fungsi kognitif (khususnya executive function) menjadi rendah. Individu
yang mengalami depresi maka akan berhubungan dengan ketidakber­
fungsiannya dalam pengontrolan dan pengaturan proses kognitif. Kega­
galan perform merupakan bukti pengontrolan kognitif termasuk atensi
langsung, pengaturan perilaku, penyusunan strategi, perencanaan, me­mo­
nitor performansi dan melakukan koding dalam kerja memori (Pizza­gal­li,
2010). Konsep kognitif ini banyak digunakan dalam wilayah lobus fron­tal
(Stuss & Levine, 2002) dan ketidakberfungsian dalam lobus frontal men­­ja­
di pemicu dalam tim­bulnya depresi (Pizzagalli, 2010). Model neurobio­lo­
gis menjelas­kan bahwa kemungkinan depresi dimediasi oleh menurun­­nya
dor­dola­teral prefrontal (kognisi) dan peningkatan ventrolateral (afeksi)
ak­­ti­vitas prefrontal korteks (Mayberg, 2003, dalam Quinn, dkk., 2012).
Basso, dkk., (2007) menjelaskan bahwa kecemasan menunjukkan
dam­pak dari tugas performansi neuropsikologis pada depresi. Pada indi­

162
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

vidu yang mengalami major depressive disorder (MDD) komorbid de­ngan


kecemasan akan menunjukkan kerusakan dalam pengulangan dan mere­
kognisi memori tetapi tidak pada penurunan kerja memori (Basso, dkk.,
2007). Kemampuan verbal memory dalam me-recall dihubungkan pada
lobus frontalis sebelah kiri (Milner, 1974; Perret, 1974; Stuss et al., 1998,
dalam Quinn, dkk., 2012) dan kerusakan bagi­an lobus frontalis sebelah
kiri telah diobservasi pada individu dengan depresi (Davidson, 1998; Da­
vidson & Irwin, 1991, dalam Quinn, dkk., 2012). Meskipun, peningkatan
aktivitas frontalis sebelah kiri dan pe­ngurangan aktivitas posterior sebe­
lah kanan juga ditemukan pada pasien dengan depresi, tetapi aktivitas ini
lebih menonjol pada pasien dengan melancholia dan kecemasan (Kemp et
al., 2010a; Pizzagalli et al., 2002, dalam Quinn, dkk., 2012). Peningkatan
keparahan depresi juga berhubungan pada besarnya kerusakan fungsi neu­
ropsikologis (Austin et al., 1999, dalam Quinn, 2012). Dalam kajian meta-
analisis oleh McDermott dan Ebmeier (2009), keparahan depresi dihu­
bung­kan pada ketidakberfungsian dari episodic memory, executive function,
dan proses kecepatan.
Hubungan antara neuropsikologi terhadap stres pengasuhan pada
E

orang tua juga dapat dilihat dari fungsi otak dalam memengaruhi perila­
PL

ku, khususnya pada bagian lobus frontalis. Lobus frontalis berfungsi un­
tuk bertanggung jawab atas perencanaan rangkaian perilaku dan untuk
M

beberapa aspek ekspresi memori dan emosional (Graybiel, Aosaki, Flaher­


SA

ty, & Kimura, 1994). Individu yang mengalami kerusakan pada bagian
lobus frontalis khususnya pada bagian prefrontal cortex, maka individu
ter­sebut tidak mampu mengikuti konteks yang ada, sehingga mereka
berperilaku tidak pantas dan impulsif (Kalat, 2007). Ini yang terjadi pada
orang tua yang mengalami stres pengasuhan, sehingga perilakunya juga
terkadang memperlihatkan perilaku tidak pantas dan impulsif, seperti me­
nelantarkan anak, memukul, bahkan sampai membunuh anaknya.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan antara
neuropsikologi dan budaya dalam memengaruhi seseorang mengalami
depresi. Budaya seperti lingkungan tempat tinggal di mana seseorang hi­
dup juga akan memengaruhi tingkat keparahannya mengalami depresi. Di
Indonesia sendiri, kasus anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf
masih kurang mendapatkan respons positif di tengah-tengah masyara­kat.
Kurangnya pengetahuan dan sosialisasi akan gangguan perkembangan
ini berpengaruh terhadap sikap masyarakat dalam menerima kehadiran
anak, terutama gang­guan perkembangan kompleks yakni gangguan spek­
trum autis di ling­kungan tempat tinggal mereka. Seperti dikutip dalam

163
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

tulisan Dau­lay (2019), fenomena pengasuhan orang tua yang memiliki


anak dengan gangguan spectrum autis akhir-akhir ini semakin banyak
diperbincangkan, tidak hanya sebagai referensi dalam kajian riset, namun
juga karena masih didapatinya mitos-mitos yang berkem­bang di tengah
masyarakat terkait kondisi anak. Mitos yang sering didapati adalah orang
tua yang dianugerahi anak dnegan gangguan perkembangan ini diakibat­
kan oleh karma atas kesalahan orang tua di masa lalunya, selanjutnya
ada anggapan bahwa kondisi penurun­an perkembangan anak diakibat­kan
oleh kemasukan roh halus atau anak disejajarkan dengan individu yang
mengalami gangguan keji­waan, hingga pemahaman bahwa kondisi anak
autis merupakan sebuah penyakit menular yang kemudian menim­bul­kan
ketakutan dan kegelisahan bagi para orang tua ketika anaknya berde­kat­an
de­ngan anak autis. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang anak
dengan gangguan perkembangan menjadi salah satu mengapa mitos-mitos
ini masih saja berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentunya
akan berpengaruh akan penerimaan orang tua ter­ha­dap keterbatasan anak
dengan gangguan perkembangan, orang tua yang tidak siap menerima ke­
hadiran anak akan berdampak pada peng­asuhannya ke anak juga menjadi
E

kurang optimal.
PL
M

REFERENSI
SA

Abidin, R.R. (1995). The Parenting Stress Index Profesional Manual. 3rd. Ed.
Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.
Ahern, K. (2000). Something is wrong with my child: A phenome­nological
account of a search for a diagnosis. Early Education and Development,
11, 187-200.
Aldwin, C. (1994). Stress, Coping, and Development: An Integrative Perspective.
New York: Guilford, Press.
Azad, G., Blacher, J., & Marcoulides, G. (2014). Longitudinal models
of socio-economic status: Impact on positive parenting behaviors.
International Journal of Behavioral Development, 38(6), 509-517.
doi:10.1177/0165025414532172.
Baker-Ericzen, M.J., Brookman-Frazee, L., & Stahmer, A. (2005). Stress
levels and adaptability in parents of toddlers with and without autism
spectrum disorders. Research and practice for persons with severe
disabilities, 30(4), 194­204.
Baker, B.L., Blacher, J., Crnic, K.A., & Edelbrock, C. (2002). Behavior
problems and parenting stress in families of three-year-old child­ren

164
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

with and without developmental delays. American Journal on Mental


Retardation, 107(6), 433-444.
Banks, T., Ninowski, J.E., Mash, E.J., & Semple, D.L. (2008). Parenting
behavior and cognitions in a community sample of mothers with and
without symptoms of attention- deficit/hyperactivity disorder. Journal
of Child and Family Studies, 17, 28-43. doi:10.1007/s 10826-007-9139-
0.
Bartlett, D. (1998). Stress: Perspectives and processes. Philadel­phia. USA:
Open University Press.Bebko, J., Konstantareas, M., & Spri­ng­er, J.
(1987). Parent and professional evaluation of family stress associated
with characteristics of autism. Journal of Autism and De­velopmental
Disorder, 17(4), 565-576.
Basso, M. R., Lowery, N., Ghormley, C., Combs, D., Purdie, R., Neel, J.,
... & Bornstein, R. (2007). Comorbid anxiety corresponds with neuro­
psychological dysfunction in unipolar depression. Cognitive Neuro­psy­
chiatry, 12(5), 437-456.
Bebko, J., Konstantareas, M., & Springer, J. (1987). Parent and professional
evaluation of family stress associated with characteristics of autism.
E

Journal of Autism and Developmental Disorder, 17(4), 565–576.


PL

Belsky, J. (1984). The determinants of parenting: A process model. Child


Development, 55(1), 83-96.
M

Bitsika, V., Sharpley, C., Bell., R. (2013). The Buffering Effect of Resilience
SA

upon Stress, Anxiety and Depression in Parents of a Child with an


Autism Spectrum Disorder. Journal of Development Phys Disabil, 25,
533-543.doi:10.1007/s10882-013-9333- 5.
Burke, M.M., & Hodapp, R.M. (2014). Relating stress of mothers of child­
ren with developmental disabilities to family-school partnerships. In­
tellectual and Developmental Disabilities, 52(1), 13-23. doi:10.1352/19
34-9556-52.1.13.
Caley, L. (2011). Risk and Protective Factors Associated with Stress in
Mothers Whose Children are Enrolled in Early Intervention Services.
National Association of Pediatric Nurse Practitioners, 26(5), 345-366.
doi.org/10.1016/j.pedhc.2011.01.001.
Cannon, W.B. (1932). The Wisdom of the Body. New York: W.W. Nor­ton.
Coyne, J.C., & Holroyd, K. (1982). Stress, coping, and illness: A transactional
perspective. In T. Millon, C. Green, & R. Meagher. Handbook of clinical
health psychology (pp. 103-127). New York: Plenum.
Cohen, S., Kamarck, T., & Mermelstein, R. (1983). A global measure of
perceived stress. Journal of health and social behavior, 385-396.

165
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Cooper, C., McLanahan, S., Meadows, S., & Gunn, J.-B. (2009). Family
structure transitions and maternal parenting stress. Journal of Marriage
and Family, 71(3), 558-574.
Curran, A.L., Sharples, P.M., White, C., & Knapp, M. (2001). Time costs
of caring for children with severe disabilities compared with caring
for children without disabilities. Developmental Medicine and Child
Neurology, 43(8), 529-533.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in
mothers and fathers of pre-school children with autism and Down
syndrome. Journal of Intellectual Disabilities Research, 54(3), 266-280.
doi :10.1111/j.1365-2788.2010.01258.x.
Daulay, N. (2019). Mengoptimalkan pengasuhan pada anak dengan gang­
guan spectrum autism. Dalam Bunga Rampai Psikologi Perkembangan:
Memahami Dinamika Perkembangan Anak. Sidoar­jo: Zifatama Jawara.
Daulay, N. (2019). Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak
dengan gangguan spectrum autis. Disertasi. Fakultas Psiko­logi. Uni­ver­
sitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Deater-Deckard, K. (2004). Parenting Stress. New Haven and London: Yale
E

University Press.
PL

Depape, A., & Lindsay, S. (2015). Parents ’ experiences of caring for a child
with autism spectrum disorder. Qualitative Health Research, 25(4),
M

569-583.doi:10.1177/1049732314552455.
SA

Ello, L.M., & Donovan, S.J. (2005). Assessment of the relationship bet­ween
parenting stress and a child’s ability to functionally com­municate. Re­
search on Social Work Practice, 15(6), 531-544.
Eyberg, S., Boggs, S., & Rodriguez, C. (1992). Relationships between ma­
ternal parenting stress and child disruptive behavior. Child and Family
Behavior Therapy, 14, 1-9.
Farrugia, D. (2009). Exploring stigma: Medical knowledge and the stigma­
tisation of parents of children diagnosed with autism spectrum disor­
der. Sociology of Health and Illness, 31(7), 1011-1027. doi:10.1111/
j.1467-9566.2009.01174.x.
Friedrich, W.N., Greenberg, M.T., & Crnic, K. (1983). A short-form of the
Questionnaire on Resources and Stress. American Journal of Mental
Deficiency.
Gaol, N.T.L. (2016). Teori stres: Stimulus, respons, dan transaksional. Bu­
letin Psikologi, 24(1), 1-11.

166
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

Giallo, R., Wood, C., Jellet, R., Porter, R. (2011). Fatigue, wellbeing and
parental self­efficacy in mothers of children with an Autism Spectrum
Disorder. Autism, 17(4), 465-480.doi:10.1177/1362361 311416830.
Gupta, V.B. (2007). Comparison of parenting stress in different deve­
lopmental disabilities. Journal of Developmental Disability, 27(3), 215-
222.
Glidden, L.M., & Floyd, F.J. (1997). Disaggregating parental depres­sion
and family stress in assessing families of children with deve­lopmental
disabilities: A multisample analysis. American Journal on Mental Re­
tardation, 102(3), 250-266.
Gray, D.E. (2002). “Everybody just freezes. Everybody is just embar­ras­
sed”: felt and enacted stigma among parents of children with high
functioning autism. Sociology of Health & Illness, 24(6), 734-749. doi:
https://doi.org/10.1111/1467-9566.00316.
Graybiel, A.M., Aosaki, T., Flaherty, A.W., & Kimura, M. (1994). The basal
ganglia and adaptive motor control. Science, 265(5180), 1826-1831.
Hanum, L., Daengsari, D.P., & Kemala, C.N. (2016). Penerapan Mana­
jemen Stres Berkelompok dalam Menurunkan Stres pada Lanjut Usia
E

Berpenyakit Kronis. Jurnal Psikologi, 43(1), 42-51.


PL

Harrington, R. (2013). Stress, Health, and Well-being. Thriving in the 21st


Century. United States of America: Wadsworth, Cengage Learning.
M

Hassall, R., Rose, J., & Mcdonald, J. (2005). Parenting stress in mo­thers of
SA

children with an intellectual disability: the effects of parental cognitions


in relation to child characteristics and family support. Journal of
Intellectual disability Research, 49(6), 405-418. doi:10.1111/j.1365-
2788.2005.00673.x
Hastings, R.P., & Johnson, E. (2001). Stress in UK families conducting in­
tensive home-based behavioral intervention for their young child with
autism. Journal of autism and developmental disorders, 31(3), 327-336.
Hastings, R.P., & Brown, T. (2002). Behavior problems of children with
autism, parental self-efficacy, and mental health. American Journal on
Mental Retardation, 107(3), 222-232.
Hastings, R.P. (2003). Child behaviour problems and partner mental
health as correlates of stress in mothers and fathers of children with
autism. Journal of Intellectual Disabilities Research, 47(4-5), 231-237.
doi:10.1046/j.1365-2788.2003.00485.x.
Hartley, S., Barker, E., Seltzer, M., Floyd, F., Greenberg, J., Orsmond, G.,
& Bolt, D. (2010). The relative risk and timing of divorce in families
of children with an autism spectrum disorder. Journal of Family

167
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Psychology, 24(4), 449-457.doi:10.1037/a0019847.


Kalat, J.W. (2007). Biological Psychology. 9th ed. Terj. Jakarta: Sa­lemba
Humanika.
Katsikitis, M., Bignell, K., Rooskov, N., Elms, L., & Davidson, G. (2013).
The family strengthening program: Influences on parental mood, pa­
ren­tal sense of competence and family functioning. Advances in Men­tal
Health, 11(2), 143-151.
Harrington, R. (2013). Stress, health, and well being. Thriving in the 21st
century. USA: Wadsworth, Cengage Learning.
Hartley, S., Barker, E., Seltzer, M., Floyd, F., Greenberg, J., Orsmond, G.,
& Bolt, D. (2010). The relative risk and timing of divorce in families
of children with an autism spectrum disorder. Journal of Family Psy­
chology, 24(4), 449-457.doi:10.1037/a0019847.
Hayes, S.A., & Watson, S.L. (2013). The impact of parenting stress: A Me­
ta-analysis of studies comparing the experience of parenting stress
in parents of children with and without autism spectrum disor­der.
Journal of Autism and Developmental Disorder, 43, 629-642. doi:10.10
07/s10803-012-1604-y.
E

Hinkle, L. (1974). The concept of “stress” in the biological and social


PL

sciences. The International Journal of Psychiatry in Medicine, 5(4), 335-


357.
M

Holmes, A.J., Bogdan, R., & Pizzagalli, D.A. (2010). Serotonin transpor­
SA

ter genotype and action monitoring dysfunction: a possible substrate


underlying increased vulnerability to depression. Neu­ro­psychopharma­
cology, 35(5), 1186-1197.
Holroyd, J. (1974). The Questionnaire on Resources and Stress: An in­
strument to measure family response to a handicapped family member.
Journal of community psychology.
Honey, E., Hastings, R.­P., & Mcconachie, H. (2005). Use of the ques­tion­
naire on resources and stress (QRS-F) with parents of young children
with autism. Autism, 9(3), 246-255.
Kalat, J. (2007). Biological Psychology. Cengage Learning.
Katsikitis, M., Bignell, K., Rooskov, N., Elms, L., & Davidson, G. (2013).
The family strengthening program: Influences on parental mood, pa­
ren­tal sense of competence and family functioning. Advances in Men­tal
Health, 11(2), 143-151.
Konstantareas, M.M., Homatidis, S., & Plowright, C.M.S. (1992). Assess­
ing resources and stress in parents of severely dysfunctional child­
ren through the Clarke modification of Holroyd’s Question­naire on

168
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

Resources and Stress. Journal of Autism and Deve­lopmen­tal Disorders,


22(2), 217-234.
Lai, W., Goh, T., Oei, T., & Sung, M. (2015). Coping and well-being in
pa­rents of children with autism spectrum disorders (ASD). Journal
of Autism and Developmental Disorders, 45, 2582–2593. doi:10.1007/
s10803-015-2430-9.
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New
York: Springer.
Lazarus, R.S. (1993). From psychological stress to the emotions: A historyof
changing outlooks. Annual review of psychology, 44, 1-21.
Lee, L.-C., Harrington, R.A., Louie, B.B., & Newschaffer, C.J. (2008).
Child­ren with autism: Quality of life and parental concerns. Journal
of Autism and Developmental Disorders, 38, 1147-1160. doi:10.1007/
s10803-007-0491-0.
Levenstein, S., Prantera, C., Varvo, V., Scribano, M.L., Berto, E., Luzi, C.,
& Andreoli, A. (1993). Development of the Perceived Stress Question­
nai­re: a new tool for psychosomatic research. Journal of psychosomatic
research, 37(1), 19-32.
E

Lovibond, P.F., & Lovibond, S.H. (1995). The structure of negative emo­
PL

tional states: Comparison of the Depression Anxiety Stress Scales


(DASS) with the Beck Depression and Anxiety Inventories. Behaviour
M

research and therapy, 33(3), 335­343.


SA

Lyon, B.L. (2012). Stress, coping, and health. In Rice, H.V. (Eds). Handbook
of stress, coping and health: Implications for nursing research, theory, and
practice. (pp.3­23). USA: Sage Publication, Inc.
Mahoney, F.P. (2009). The relationship between parenting stress and
maternal responsiveness among mothers of children with develop­
mental problems. (Dissertation). Mandel School of Applied Social Sci­
ences. Case
Mandell, D., & Salzer, M. (2007). Who joins support groups among pa­
rents of children with autism? Autism, 11(2), 111-122. doi:10.1177/
1362361307077506.
Manning, M.M., Wainwright, L., & Bennett, J. (2011). The double ABCX
model of adaptation in racially diverse families with a school-age
child with autism. Journal of Autism and Developmental Disorder, 41,
320-331. doi:10.1007/s10803-010- 1056-1.
May, C., Fletcher, R., Dempsey, I., & Newman, L. (2015). Modeling eela­
tions among coparenting quality, autism-specific Pprenting self-effi­
cacy, and parenting stress in mothers and fathers of children with

169
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

ASD. Parenting: Science and Practice, 15, 119-133. doi:10.1080/152


95192.2015.1020145.
McDermott, L.M., & Ebmeier, K. P. (2009). A meta-analysis of de­pression
severity and cognitive function. Journal of affective di­sorders, 119(1-3),
1-8.
McGrath, P. (2006). Psycho-social issues in childhood autism reha­bili­
tation: A review. International Journal of Psychosocial Reha­bilitation,
11(1), 29-36.
McStay, R.L., Dissanayake, C., Scheeren, A., Koot, H. M., & Begeer, S.
(2014). Parenting stress and autism: The role of age, autism severity,
qua­lity of life and problem behaviour of children and adolescents with
autism. Autism, 18(5), 502­510. doi:10.1177/ 1362361313485163.
Meadan, H., Halle, J. W., & Ebata, A. T. (2010). Families with children
who have autism spectrum disorders: Stress and support. Exceptional
Children, 77(1), 7-36.
Miller, C., Gordon, R., Daniele, R., & Diller, L. (1992). Stress, appraisal,
and coping in mothers of disabled and nondisabled children. Journal
of Pediatric Psychology, 17(5), 587-605. doi:10.5463/DCID.v23i2.119.
E

Moes, D., Koegel, R., & Schreibman, L. (1992). Stress profiles for mo­ther
PL

and fathers of children with autism. Psychological Reports, 71, 1272-


1274.
M

Monat, A., & Lazarus, R. (1991). Stress and Coping. An Anthology. New
SA

York: Columbia University Press


Mukhtar, D. Y. (2017). Pengaruh group-based parenting support ter­hadap
stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan
spektrum autis. (Disertasi tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fa­kultas
Psikologi-Universitas Gadjah Mada.
Pelchat, D., Ricard, N., Bouchard, J. M., Perreault, M., Saucier, J. F., Ber­
thiaume, M., & Bisson, J. (1999). Adaptation of parents in re­lation to
their 6-month-old infant’s type of disability. Child: care, health, and
development, 25(5), 377-398.
Pisula, E. (2011). Parenting stress in mothers and fathers of children with
autism spectrum Disorders. Dalam M.-R. Mohammadi (Ed.), A Compre­
hensive Book on Autism Spectrum Disorders (h. 87-106). Europe: InTech.
Piven, J., & Palmer, P. (1999). Psychiatric disorder and the broad au­tism
phenotype: evidence from a family study of multiple-inci­dence autism
families. American Journal of Psychiatry, 156(4), 557-563.
Puff, J., & Renk, K. (2014). Relationships among parents’ economic stress,
parenting, and young children’s behavior problems. Child Psychiatry &

170
BAB 4 • STRES PENGASUHAN

Human Development, 45(6), 712-727.


Quinn, C.R., Dobson-Stone, C., Outhred, T., Harris, A., & Kemp, A.H.
(2012). The contribution of BDNF and 5-HTT polymorphisms and ear­
ly life stress to the heterogeneity of major depressive disorder: a pre­
liminary study. Australian & New Zealand Journal of Psychiatry, 46(1),
55-63.
Rantanen, J., Tillemann, K., Metsa, R., Kokko, K., & Pulkkinen, L. (2015).
Longitudinal study on reciprocity between personality traits and pa­
ren­ting stress. International Journal of Behavioral Development, 39(1),
65-76.doi:10.1177/0165025414548776.
Rice, P. (1999), Stress and Health. Third Edition. USA: Brooks/Cole Pub­
lishing Company.
Rodriguez, C. M. (2011). Association between independent reports of
maternal parenting stress and children’s internalizing symp­tomatology.
Journal of Child Family Study, 20, 631-639. doi:10. 1007/s10826-
010-9438-8.
Safe, A., Joosten, A., & Molineux, M. (2012). The experiences of mo­thers of
children with autism: Managing multiple roles. Journal of Intellectual
E

& Developmental Disability, 37(4), 294-302. doi:10.3109/13668250.2


PL

012.736614.
Selye, H. (1974). The Stress of Life. New York: McGraww-Hill.
M

Staal, M.A. (2004). Stress, cognition, and human performance: A li­terature


SA

review and conceptual framework. Nasa technical me­morandum, 2128


24, 9.
Stuss, D. T., & Levine, B. (2002). Adult clinical neuropsychology: lessons
from studies of the frontal lobes. Annual review of psy­chology, 53(1),
401-433.
Suma, K., Adamson, L.B., Bakeman, R., Robins, D.L., & Abrams, D.N.
(2016). After early autism diagnosis : Changes in intervention and pa­
rent-child interaction. Journal of Autism and Developmental Disorders,
46(8), 2720-2733. doi:10.1007/s 10803-016-2808-3.
Teti, D., & Candelaria, M. (2002). Parenting Competence. Dalam M.H. Born­
stein (Ed.), Handbook of parenting. Social conditions and applied pa­­
renting (Second Ed, Vol. 4, 2002). London: Lawrence Erlbaum Asso­
ciates.
Thoits, P.A. (1994). Stress, coping, and social support processes: Where
are we? What next? Journal of health and social behavior, 35, 53-79.
Twoy, R., Connoly, P.M., & Novak, J.M. (2007). Coping strategies used by
parents of children with autism. Journal of the American Academy of

171
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Nurse Practitioners, 19, 251-260.


Ursin, H., & Eriksen, H.R. (2004). The cognitive activation theory of stress.
Psychoneuroendocrinology, 29(5), 567-592. doi: 10.1016/S03064530
(03)00091- XWeiss, M. (2002). Hardiness and social support as pre­
dictors of stress in mothers of typical children, children with autism,
and children with mental retardation. Autism, 6(1), 115-130.
Williford, A.P., Calkins, Susan. D., & Keane, S.P. (2007). Predicting change
in parenting stress across early childhood: Child and maternal factors.
Journal of Abnormal Child Psychology, 35, 251-263.
Zaidman-Zait, A., Mirenda, P., Duku, E., Szatmari, P., Georgiades, S., Vol­
den, J., ... Thompson, A. (2014). Examination of bidirectional rela­
tion­ships between parent stress and two types of problem behavior
in children with autism spectrum disorder. Journal of Autism and De­
velopmental Disorders, 44, 1908-1917. doi:10.1007/s 10803-014-2064-
3.
Zaidman-zait, A., Mirenda, P., Duku, E., Vaillancourt, T., Smith, I.M., Szat­
mari, P., ... Thompson, A. (2017). Impact of personal and social resour­
ces on parenting stress in mothers of children with autism spectrum
E

disorder. Autism, 21(2), 155-166. doi:10.1177/1362361316633033.


PL

Zablotsky, B., Bradshaw, C.P., & Stuart, E.A. (2013). The association bet­
ween mental health, stress, and coping supports in mothers of child­ren
M

with autism spectrum disorders. Journal of Autism and Developmental


SA

Disorders, 43, 1380-1393. doi:10.1007/s10803-012-1693-7.

172
Bab 5
STRES PENGASUHAN DAN KOPING

E
PL

A. HAKIKAT KOPING
Koping menurut Lazarus dan Folkman (1984) didefinisikan sebagai
M

berikut:
SA

“Suatu proses individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tun­
tutan-tuntutan baik yang berasal dari individu maupun tuntuan yang berasal dari
lingkungan dengan sumber-sumber daya yang individu gunakan dalam mengha­
dapi situasi yang menekan.”

Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Sarafino dan Smith,


2014) mengemukakan bahwa koping merupakan suatu proses indi­vidu
yang mencoba mengelola antara tuntutan yang ada (baik itu tuntutan
yang sberasal dari individu itu sendiri maupun tuntutan dari lingkungan)
dengan sumber daya yang ada dalam diri mereka yang digunakan dalam
menghadapi situasi yang menekan. Kata me­ngelola (manage) bermakna
pen­ting, karena kata mengelola ini mengindikasikan bahwa usaha yang
di­lakukan dalam koping itu sangat bervariasi macamnya. Dalam setiap
ko­ping yang dilakukan individu disarankan agar individu untuk memaha­
mi permasalahan yang ia hadapi, karena dalam koping ini individu akan
diarahkan untuk dapat mengubah persepsinya mengenai ketidaksesuaian
yang dirasakan dan membantunya untuk dapat menjauh dari situasi me­
nekan yang ia hadapi tersebut.
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Lazarus dan Folkman (1984) juga menjelaskan bahwa koping meru­


pakan sebuah proses kognitif, artinya ketika seseorang diha­dapkan pada
suatu situasi yang menekan, maka ia akan segera bereak­si terhadap situasi
yang menekannya tersebut, reaksi individu untuk menghadapi situasi
yang menekan itulah yang disebut dengan res­pons koping. Namun bagi
se­tiap individu, berhasil tidaknya proses koping juga terdapat faktor yang
memengaruhinya. Koping bersifat positif jika individu mengalami hal yang
positif dalam dirinya dan terle­pas dari kondisi stres, sedangkan ko­ping
bersifat negatif sebaliknya yaitu jika individu merasakan hal yang ne­ga­tif
dalam dirinya dan individu merasa tidak menemukan jalan keluar atas
permasalahannya akhirnya kondisi individu tersebut semakin terpuruk.
Koping juga terdiri dari berbagai usaha yang berorientasi pada sebuah tin­
dakan maupun pemikiran untuk berusaha mengatasi permasalahan (da­
lam Sarafino & Smith, 2014).
Koping membantu individu menghilangkan, mengurangi, meng­atur
atau mengelola stres yang dialaminya. Koping dipandang seba­gai faktor
penyeimbang usaha individu untuk mempertahankan pe­nyesuaian diri­
nya selama menghadapi situasi yang dapat menimbul­kan stres (Billing &
E

Moos, 1984). Strategi koping disebut juga dengan cara atau upaya dalam
PL

mengatasi masalah, merupakan usaha-usaha yang dilakukan seseorang


un­tuk mengatasi masalah yang sedang dialami dengan cara mengubah
M

kog­nitif dan perilakunya.


SA

Menurut Lazarus dan Folkman (1999, dalam Sarafino & Smith, 2014)
menyebutkan terdapat dua bentuk koping, yang mampu meng­ubah ma­
salah penyebab terjadinya stres, atau koping mampu mere­gulasi emosi
in­dividu dalam merespons masalah tersebut.
1. Emotion-focused coping (fokus pada emosi), adalah strategi dalam
meng­atasi masalah dengan cara mengubah sumber masalah dan me­
ningkatkan sumber daya yang dimiliki (Lazarus & Folkman, 1984).
Tujuannya adalah untuk mengontrol respons emosi terha­dap situa­
si yang penuh stres. Individu dapat mengatur respons emosi melalui
pendekatan perilaku dan kognitif. Misalnya pende­katan perilaku me­
liputi penggunaan alkohol atau narkoba, maka usahanya adalah untuk
mengalihkan perhatian dari masalah, seperti dengan mencari dukung­
an sosial emosional dari teman atau kerabat, dan melibatkan aktivi­tas,
seperti olahraga atau me­nonton televisi. Adapun pendekatan kogni­
tif meliputi bagai­mana individu memikirkan dan mencari solusi atas
situasi yang penuh stres. Seseorang berusaha mendefinisikan kemba­li
si­tua­si agar berpikir positif, seperti membuat perbandingan dengan

174
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

in­di­vidu yang kurang beruntung, atau mengambil hal yang po­sitif


dari sebuah masalah. Individu cenderung menggunakan emo­tion-fo­
cused coping ketika mereka yakin bahwa mereka dapat melakukan
perubahan terhadap kondisi yang penuh stres (Lazarus & Folkman,
1984).
Pada modul penelitian tentang pedoman group-basedparenting sup­port
pada orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum au­tis
oleh Mukhtar (2016) juga memberikan contoh strategi koping yang
berfokus pada masalah, antara lain:
a. Aktif mencari informasi dan berusaha mendapatkan pengetahuan
tentang gangguan spektrum autis yang dialami anak, cara pena­
nganannya, serta cara mengatasi masalah yang di­hadapi keluar­
ga dalam mengasuh anak autis. Hal ini da­pat dilakukan orang
tua secara otodidak misalnya dengan meng­gunakan internet dan
mem­­baca buku, ataupun dengan melibatkan orang lain seper­ti
ber­diskusi dengan sesama orang tua dan profesional serta meng­
ikuti berbagai kegiatan pa­ren­ting yang diadakan oleh pihak-pi­hak
terkait.
E

b. Melakukan perencanaan dan menyusun strategi untuk mene­rap­


PL

kan berbagai pengetahuan baru yang sudah didapat, baik yang


ter­kait dengan anak maupun dengan keluarga.
M

c. Melakukan evaluasi terhadap penerapan yang sudah dilaku­kan,


SA

baik secara otodidak maupun dengan melibatkan pihak lain.


d. Berusaha mencari atau mendapatkan dukungan sosial, baik dari
sumber dukungan yang bersifat informal (misalnya dari pasangan,
orang tua, tetangga, dan teman) maupun yang for­mal (misalnya
dari sekolah atau lembaga pemerintah).
2. Problem-focused coping (fokus pada masalah), adalah strategi da­lam
mengatasi masalah dengan cara mengatur emosi yang me­nyertai per­
sepsi terhadap masalah (Lazarus & Folkman, 1984). Tujuannya ada­
lah untuk mengurangi tuntutan yang penuh stres atau menggunakan
sumber daya untuk menghadapinya, misal­nya seseorang berhenti dari
pekerjaan yang membuatnya stres, merancang jadwal baru dalam stu­
di yang ditempuh, memilih karier yang berbeda, mencari pengobatan
medis atau psikologis, dan mempelajari kemampuan baru. Seseorang
menggunakan problem-focused coping ketika mereka yakin tuntutan
atas situasi dapat berubah (Lazarus & Folkman, 1984).

175
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Mukhtar (2016) juga memberikan contoh strategi koping yang ber­


fokus pada emosi, antara lain:
a. Berusaha menerima kondisi anak, dan berhenti menyalahkan diri atau
Tuhan atas kondisi yang dialami anak.
b. Melakukan pemaknaan ulang terhadap permasalahan yang di­ha­dapi
dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang atau mengambil
hikmah positif.
c. Mengambil jarak atau mengalihkan diri sesaat dari sumber stres, mi­
salnya dengan mengikuti kegiatan arisan atau ber­kumpul ber­sama
teman-teman, berolahraga, dan sebagainya.
d. Berusaha mengontrol emosi, misalnya dengan melakukan tek­nik re­
laksasi untuk mengatasi emosi negatif yang dirasakan.

Carver dkk., (1989) menjabarkan konsep Lazarus dan Folkman (1984)


menjadi 11 subtipe yang diamati dari pola koping orang de­wasa. Kesebelas
pola koping tersebut adalah:
a. Active coping, individu akan mengambil langkah aktif untuk meng­
hadapi stresor secara langsung dan kalau berhasil akan mem­perbaiki
E
pengaruhnya.
PL

b. Planning, individu berusaha memikirkan bagaimana mengatasi sum­


ber stres dengan membuat rencana secara terperinci dan tepat menge­
M

nai langkah-langkah terbaik yang harus diambilnya.


SA

c. Suppression of competing activities, individu berkonsentrasi penuh pada


usaha yang menurutnya lebih mendekati pemecahan ma­salah serta
mengesampingkan hal-hal lain yang dianggap tidak perlu.
d. Turning to religion, individu berusaha untuk mencari jalan ke­ luar
melalui pemahaman ajaran agama atau kepercayaan dan mem­prak­
tikkan berbagai ajaran yang telah terinternalisasi.
e. Seeking social support for instrumental reasons, individu berusaha men­
cari nasihat, bantuan, atau informasi dari orang-orang seki­ tarnya
yang dianggap mempunyai kemampuan dalam mengha­dapi masalah.
f. Positive reinterpretation and growth, individu berusaha membangun
sua­tu pemikiran yang positif atas permasalahan yang dihadapi­nya,
mi­salnya berusaha mengambil manfaat yang baik dari suatu peristiwa
daripada memikirkan sisi negatifnya.
g. Denial, individu melakukan penyangkalan atas permasalahan yang
dihadapinya. Umumnya terjadi karena tidak dapat mengatasi sum­ber
stres.

176
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

h Emotional disangagement, individu mencoba melampiaskan ber­bagai


emosinya agar tidak lagi memikirkan permasalahan yang membebani.
i. Seek social support for emotional reasons, individu mencari du­kungan
moral, simpati, dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya,
sehingga ia dapat menjadi tenteram dengan adanya dukungan sosial.
j. Acceptance, individu berusaha berpikir realistis untuk tetap hidup
dengan situasi yang menekan. Terkadang tidak melakukan hal-hal
yang dapat mengatasi stresor, akan tetapi ia hanya berusaha menerima
keadaan yang dialaminya.
k. Behavioral disangagement, individu menghentikan usaha untuk mengu­
rangi beban dan menganggap dirinya kurang mampu mengatasi ma­
salah, sehingga ia hanya melakukan sesuatu yang tidak ada tujuannya.

B. STRES PENGASUHAN DAN KOPING


Pengelolaan stres biasanya berhubungan dengan strategi koping. Ko­
ping yang dilakukan orang tua dalam mengatasi berbagai perma­salahan
selama mengasuh anak dengan gangguan perkembangan sa­raf tidak dapat
E

muncul secara otomatis, koping terbentuk melalui suatu proses panjang,


PL

usaha, dan memiliki strategi yang berbeda-beda dalam menghadapi se­


tiap sumber stres. Koping yang dilakukan orang tua bertujuan untuk me­
M

lindungi diri dari kondisi yang menekan sehingga diharapkan orang tua
SA

mampu beradaptasi dengan kondisi anak.


Bagi perempuan, menjalankan peran sebagai seorang ibu dan istri
bukanlah hal yang mudah, beban dan kesulitan pengasuhan akan selalu
ibu hadapi. Teori Peran yang dikemukakan Holden (2015) di­harapkan
dapat memberikan pemahaman terkait peran ganda yang ibu alami dan
hubungannya dengan stres pengasuhan. Terdapat dua konstrak utama
pada Teori Peran yaitu konflik peran (role con­flict) dan tekanan peran (role
strain). Role conflict muncul ketika seorang individu mengalami konflik
antara peran dua status yang berbeda, misalnya kebanyakan orang tua
mengalami masalah dalam bernegosiasi antara peran sebagai orang tua
dan sebagai pekerja. Ro­le strain muncul ketika ada ketegangan antara
peran yang memiliki status yang sama, misalnya merawat anak dan
merawat orang tua yang sudah tua (Holden, 2015).
Berdasarkan konstrak utama di atas yaitu role conflict dan role strain,
teori peran orang tua dapat diaplikasikan untuk mendukung stres peng­
asuhan, yaitu: (1) role conflict muncul ketika ibu mengala­mi kon­flik antara
perannya sebagai ibu dari anak yang mengalami gangguan perkembang­

177
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

an saraf, namun di satu sisi ibu juga ingin membantu perekonomian ke­
luarga dengan cara bekerja. Mengasuh anak berdampak besar pada ibu
dan anggota keluarga lainnya, serta muncul masalah keuangan keluarga
terkait biaya yang harus dike­luarkan cukup besar dalam mengasuh anak,
seperti biaya terapi, bia­ya kesehatan, biaya pendidikan, makanan yang
dikhususkan untuk anak. Parish dkk., (2008) menjelaskan timbulnya ke­
sulitan material seperti kurang terpenuhinya kebutuhan pangan atau akses
kesehat­an yang terhambat; dan memengaruhi kondisi keuangan keluar­
ga (Cidav, Markus, & Mandell, 2012); (2) Role strain muncul ketika ibu
mengalami ketegangan antara perannya dalam merawat anak autis yang
sangat membutuhkan perhatian untuk meningkatkan tumbuh kembang
anak, namun di satu sisi ibu juga harus bertanggung jawab kepada sauda­
ra anak (kakak dan adik). Lutz dkk., (2012) menegaskan bahwa beban
psikologis yang dialami ibu selain mengasuh anak autis adalah mampu
bertanggung jawab dan memenuhi kebutuhan saudara anak autis.
Pentingnya memahami Teori Peran bagi orang tua dalam meng­asuh
anak dengan gangguan perkembangan saraf dapat membantu pe­neliti akan
berbagai kesulitan yang harus orang tua hadapi. Kesulit­an yang orang tua
E

hadapi berawal dari keanehan dan kejanggalan perilaku yang ditampilkan


PL

anak tidak sesuai dengan tahapan perkem­bangan anak pada umumnya,


misal anak belum mampu berbicara di saat usianya dua tahun, anak lebih
M

senang bermain sendiri, anak menampilkan perilaku berulang-ulang,


SA

kerap menjerit dan cenderung tantrum. Keterlambatan perkembangan


umumnya didapati pada anak berusia dua tahun. Untuk memastikannya
maka Ibu dan Ayah mem­bawa anak kepada para profesional (misal: dokter
dan psikolog).
Pada setiap orang tua berbeda proses dalam menerima anak, dan perlu
digarisbawahi bahwa menerima di sini dalam arti bukan hanya sekadar
menerima kondisi fisik anaknya mengalami ganggu­an perkembangan, te­
tapi juga ditandai dengan keikhlasan dalam me­nerima anak, orang tua
memasrahkan segala sesuatu yang Tuhan be­rikan merupakan pemberian-
Nya yang terbaik, kemudian orang tua juga memaknai perannya dan ber­
tanggung jawab serta ada usaha untuk memberikan pengasuhan yang ter­
baik demi perkembangan anak menjadi optimal.
Terdapat beberapa orang tua yang membutuhkan waktu lama untuk
dapat bangkit dan menerima kondisi anaknya, namun didapati juga orang
tua yang membutuhkan waktu singkat untuk segera bang­kit, menerima
kondisi anaknya dan melakukan usaha-usaha untuk mengatasi masalah
dengan cara yang tepat atau disebut dengan strategi koping. Strategi ko­

178
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

ping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk membantu meng­


ubah kognitif dan perilaku agar dapat mengatasi tekanan atau masa­lah
yang dirasakannya. Strategi koping yang tepat akan membantu me­re­ka
beradaptasi secara positif sehingga menjadi lebih kuat dan tidak mu­dah
mengalami stres dalam menjalankan tugasnya sebagai pengasuh anak
(Mukhtar, 2017).

C. PENELITIAN TERKAIT PERAN KOPING


Beratnya hambatan yang dialami anak autis berdampak pada kesulitan
yang dirasakan orang tua selama proses pengasuhan. Orang tua tidak
hanya mengalami kesulitan selama merawat anak autis, na­mun banyak
sumber stres lain yang harus dihadapi orang tua selain kondisi anak,
misalnya sikap yang kurang hangat ditunjukkan orang lain terkait kondisi
anak, tekanan psikologis yang dirasakan orang tua, keluarga inti yang
belum bisa menerima anak, dan besarnya bia­ya yang harus dipersiapkan
dalam merawat anak dengan gangguan perkembangan saraf. Faktor
usia anak dan gejala keparahan anak (In­ gersol dan Hambrick, 2011),
E

kepribadian orang tua (Ingersol dan Hambrick, 2011), dan keberfungsian


PL

keluarga (Altiere dan von Klu­ge, 2009) dilaporkan berpengaruh terhadap


kemunculan stres pengasuhan.
M

Demikian pentingnya peranan koping dalam mengatasi krisis selama


SA

pengasuhan senada dengan beberapa penelitian lainnya, seperti penelitian


yang dilakukan oleh Gray (2006) menunjukkan bahwa orang tua melaku­
kan koping dengan mencari informasi tentang autis, penanganannya ser­
ta bagaimana mempertahankan kestabilan emosi dan menyesuaikan diri
terhadap pengalaman negatif selama meng­asuh anak. Informasi yang di­
miliki orang tua adalah salah satu faktor yang memengaruhi penerimaan
orang tua (Ogretir & Ulutas, 2009).
Beberapa penelitian telah menyoroti manfaat dari sejumlah strategi
koping dan sumber koping pada keluarga yang memiliki anak berkebutuh­
an, salah satunya penelitian yang dilakukan Bristol (1984) menjelaskan
bahwa orang tua merasakan evaluasi positif akan peng­asuhan langsung
pada anak mereka (misal, yakin bahwa program anak saya merupakan
pemikiran keluarga yang terbaik). Sejumlah penelitian menjelaskan bahwa
fungsi koping juga dapat membantu keluarga “menumbuhkan kembali”
diri mereka sendiri setelah kiris yang dialami, seperti integrasi keluar­
ga, organisasi dan kemampuan beradaptasi (Gavidia-Payne & Stoneman,
1997).

179
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Mencari informasi tentang kondisi anak dengan gangguan perkem­


bang­an saraf termasuk salah satu dari strategi koping yang tepat. Pe­
nelitian yang dilakukan oleh Rochmani (2014) tentang efektivitas
in­ter­­vensi literasi dengan dukungan internet (literasi care au­tis) dapat me­
ning­katkan penerimaan orang tua. Orang tua yang ti­dak memahami gejala
atau karakteristik anak dan penanganannya dapat dikategorikan memi­­liki
literasi kesehatan yang rendah. Litera­si kesehatan merupakan kemam­­puan
untuk memperoleh, membaca, memahami, dan menggunakan infor­masi
kesehatan untuk membuat keputusan yang tepat dan mengikuti instruk­
si pengobatan yang harus dilakukan (Reber & Reber, 2010; Roundtable
on Health Literacy, 2012; Vandenbus, 2007, dalam Rochmani, 2014). Pe­
nelitian yang dilakukan oleh Futuhiyat (2004) tentang pengetahuan orang
tua tentang autis terhadap sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya
yang mengalami gangguan spektrum autis, hasilnya menunjukkan nilai
korelasi (r = 0,728) dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan
orang tua tentang autis maka orang tua akan semakin menerima kondisi
anaknya yang mengalami gangguan spektrum autis.
Lai dan Oei (2014) telah melakukan review terhadap 37 tulisan ten­
E

tang strategi koping orang tua dan pengasuh yang memiliki anak dengan
PL

gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini anak autis), tujuannya ada­
lah: 1) tema-tema yang mendasarinya; 2) faktor yang berkontribusi; 3)
M

hasil psikologis terkait anak autis dan strategi ko­ ping yang dilakukan
SA

orang tua/pengasuh. Hasilnya mengungkapkan bahwa terdapat dua ko­


ping yang sering digunakan, yaitu problem-focused coping (45,9%) dan
dukungan sosial (37,8%). Strategi koping ini dipengaruhi oleh: 1) karak­
te­ristik demografi (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, bahasa)
dan atribut psikologis (kepribadian, nilai budaya, opimisme, sense of cohe­
rence, kesehatan emosional, gaya koping; 2) karakteristik anak (usia, jenis
kelamin, kondisi medis, kemampuan adaptif dan kognitif, kesulitan ba­
hasa, dan perilaku ber­masalah); 3) variabel situasi (ketersediaan treatment,
fungsi keluarga, rujukan dokter untuk mendukung sumber daya).
Review yang dilakukan Lai dan Oei (2014) memunculkan bebe­rapa
tema penting khususnya berdasarkan penelitian kualitatif ter­kait penggu­
naan koping orang tua yang memiliki anak autis, yaitu: mencari treat­ment
dan informasi; mencari dukungan sosial; penilai­an kembali dan refram­
ing; penyesuaian dan memenuhi kebutuhan anak; spiritualitas; mencari
waktu istirahat. Temuan ini menyoroti penggunaan problem-focused cop­ing
(treatment/intervensi untuk anak, reappraisal, dan reframing) dan emotion-
focused coping (dukung­an sosial, spiritualitas, dan waktu istirahat) pada

180
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

orang tua yang me­miliki anak autis. Berdasarkan penelitian kuantitatif,


umumnya riset menggunakan alat ukur Brief COPE, COPE, F-COPES,
CHIP, dan WOC. Riset berdasarkan Brief COPE mengungkapkan empat do­­­
main pendekatan koping stres yang relevan pada orang tua yang memili­
ki anak autis, yaitu: penghindaran aktif (active avoidance/disengage­­m­ent;
fokus masalah (problem-focused/engagement; koping positif (po­si­tive coping/
cognitive reframing; religius dan koping penolakan (religious and denial co­
ping/distraction (Benson, 2010, dalam Lai dan Oei, 2014). Berdasarkan alat
ukur F-COPES, ditemukan tema penting, yaitu: reframing kognitif, dan du­
kungan sosial. Berdasarkan alat ukur CHIP didapati tema penting, yaitu
dukungan sosial, integrasi keluarga, kerja sama, menjadi optimis terha­
dap situasi stres, mempertahankan harga diri dan stabilitas psikologis,
memahami kondisi anak melalui profesional. Berdasarkan alat ukur WOC
ditemukan tema penting, yaitu: orang tua cenderung melakukan escape
untuk mengelola stres mereka.
Koping yang dilakukan orang tua ternyata juga berbeda-beda pada
setiap budayanya. Terdapat perbedaan strategi koping antara orang tua
Barat dengan orang tua Asia yang memiliki anak dengan gangguan per­
E

kembangan saraf (dalam hal ini anak autis) (Sawang dkk., 2006). Pada
PL

orang tua Asia cenderung menggunakan problem-focused coping yang ber­


sifat kolektivistik, seperti mencari treatment dan mengumpulan bantu­an
M

dari dukungan orang lain, sementara orang tua Barat fokus pada keun­
SA

tungan diri yang bersifat individualistic, cenderung self-focused coping seperti


passive appraisal dan avoidance (Sawang dkk., 2006).
Pada sepuluh tahun terakhir ini, penelitian tentang peran koping
dalam menurunkan stres pengasuhan orang tua sudah banyak dilakukan,
mengingat kebermanfaatan dari penggunaan strategi ko­ping dalam mem­
berdayakan kondisi psikologis orang tua, maka pe­nu­lis telah merangkum
beberapa riset terbaru terkait peran koping dalam membantu orang tua
selama mengasuh anak dengan ganggu­an perkembangan saraf (dalam hal
ini pada anak dengan gangguan spectrum autis) (dapat dilihat pada Tabel
5).

181
Tabel 5. PENELITIAN TENTANG PERAN KOPING PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS

182
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Lutz, Heidi, Coping with autism: Sejumlah 16 Metode kualitatif dengan Terdapat 6 tema penting : proses menuju adaptasi; perasaan
R; Patterson, A journey toward orang ibu-ibu pendekatan narasi deskripsi. berduka dan marah; mencari jawaban; tegang; dukungan, sosialisasi,
Barbara; adaptation yang memiliki dan spiritualitas; merasa bersalah dan ragu; menghargai dan
Klein, Jean. anak autis di mendefinisikan kehidupan dan berbagai peran; kekecewaan dan
(2012) pengorbanan; merencanakan masa depan; adaptasi;berdiskusi dan
berimplikasi untuk perawatan.
Benson, Paul Coping, distress, and Sebanyak 113 ibu Metode kuantitatif dengan Berdasarkan hasil exploratory factor analysis didapati empat dimensi
R. (2009) well­being in mothers of yang memiliki exploratory factor analysis dan koping: engagement coping, distraction coping, disengagement coping,
children with autism anak autis di multiple regression. dan cognitive reframing coping.
Ibu menggunakan koping menghindar/avoidant coping (distraction
dan disengagement) maka dilaporkan berhubungan dalam
SA
peningkatan depresi dan rasa marah, sementara penggunaan
M cognitive reframing berhubungan dalam peningkatan kesejahteraan
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

ibu. Karakteristik anak terutama keparahan perilaku maladaptif anak


memoderasi efek koping terhadap kondisi ibu.
Jones & Family adaptation, Sebanyak 48 Analisis: regresi erganda Prediktor terkuat stres pengasuhan adalah tidak adekuat koping
PL
Passey. coping and resources: keluarga (orang Alat ukur: child and parent E keluarga dan locus of control internal orang tua. Orang tua yang
(2004) Parents of children tua, kakek, characteristics; parental stress; meyakini kehidupan mereka tidak dikontrol oleh anak dengan
with developmental nenek) yang the family stress and support gangguan perkembangan yang dialaminya, kerja sama, optimis,
disabilities and behavior memiliki anak questionnaire; family resources; cenderung menunjukkan tingkat stres yang rendah.
problems autis di Inggris coping strategies; locus of control.
Higgins, Factor associated Sebanyak 53 Analisis : regresi berganda Para pengasuh dilaporkan memiliki harga diri yang sehat, meskipun
Daryl; Bailey, with functioning style pengasuh utama Alat ukur: family adaptation and mengalami kebahagiaan pernikahan yang rendah. Strategi koping
Susan R; and coping strategies dari anak autis cohesion evaluation scales (FACES bukanlah prediktor yang signifikan pada kebahagiaan keluarga,
Pearce, Julian of families with a di Victoria, II); the quality marriage index (QMI); adaptasi keluarga, kohesi keluarga, dan harga diri). Kebutuhan untuk
C. (2005) child with an autism Australia the rosenberg self esteem scale; the program dukungan menargetkan keluarga dan hubungan variabel
spectrum disorder coping health inventory for patients. karakteristik anak dan perilakunya.
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
Tarakeshwar, Religious coping in Sebanyak 45 Kuantitatif: regresi berganda Terdapat peran agama sebagai koping pada keluarga yang memiliki
Nalini; families of children with orang tua dari Kualitatif: wawancara semistruktur anak autis. Koping religius positif berhubungan dengan pemaknaan
Pargament, autism anak autis di Alat ukur: variabel demografi; terhadap agama menjadi lebih baik (misal; semakin dekat dnegan
Kenneth northwest Ohio. pengukuran pemahaman agama Tuhan dan peningkatan spiritualitas) dan peningkatan stress-related
(2001) secara menyluruh; Brief-RCOPE growth. Koping religius negatif berhubungan dengan peningkatan
(koping religius); Center for depresi dan rendahnya pemaknaan akan agama.
Epidemiological Research-Depressed
Mood Scale (penyesuaian
psikologis); Stress-Related Growth
Scale.
Kaniel, Comparison between Sebanyak 176 Structural Equation Modelling Memahami faktor penting berkontribusi terhadap penyesuaian
Shlomo mothers and fathers orang tua (88 (SEM) dengan path analysis. orang tua.
(2011) in coping with autistic ibu dan 88 ayah) Alat ukur : sense of coherence scale; Terdapat hubungan sumber psikologis (dukungan sosial, locus of
SA
children: A multivariate dari anak autis di locus of control scale; the family control internal dan eksternal, dan sense of coherence) dan stres
model support scale; the questionnaire of
Israel
M pengasuhan. Baik ayah dan ibu mengalami stres pengasuhan tinggi,
resources and stress (QRF-S); the perbedaannya terlihat dari variabel kesehatan mental dan kualitas
mental health scale; the quality of pernikahan.
marriage scale.
PL
Hall, Heather, Maladaptive behaviors Sebanyak Kuantitatif dengan pendekatan E Penggunaan model Double ABCX, hasil penelitian menunjukkan
R; Graff, of children with autism: 70 orang tua korelasi; penelitian cross sectional. terdapat hubungan antara peningkatan perilaku maladaptif
Carolyn parent support, stress, kandung (48 ibu; Alat ukur : coping health inventory internalizing terhadap peningkatan stres pengasuhan.
(2012) and coping. 22 ayah) yang for parents (CHIP); family support
memiliki anak scale (FFS); parenting stress index-
autis. short form; vineland adaptive
behavior scale, second edition.
Luther, Edit; Coping and social Sebanyak 72 Desain deskripsi survei Tantangan dan stresor berhubungan dengan penyediaan
Canham, support for parents of keluarga yang Alat ukur: social support index, pengasuhan untuk anak autis berdampak pada keluarga, pendidik,
Daryl; children with autism memiliki anak the family crisis oriented personal dan tenaga profesional.
Cureton, autis di northern evaluation scales. Strategi koping dari dukungan spiritual, penilaian pasif, dan
Virginia. California. reframing belum banyak dipelajari khususnya di lingkungan sekolah.
(2005)

183
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan

184
Sivberg, Coping strategi and Sebanyak 132 Metode kuantitatif dengan analisis Terdapat perbedaan antara kelompok ibu yang memiliki anak autis
Bengt (2002) parental attitued, a orang tua terbagi paired sample t-test dan korelasi dengan kelompok kontrol. Penggunaan koping strategi lebih banyak
comparison of parents ke dalam 2 pearson. dilakukan pada ibu yang memiliki anak autis dibandingkan kelompok
with children with kelompok (orang Alat ukur: sense of coherence scale kontrol.
autistic spectrum tua dari anak (koping strategi); purpose in life Hasil menunjukkan terdapat efek pengurangan stres baik pada
disorders and parents autis, n=66; test (PIL-R) prosocial skills; variabel kelompok ibu-autis dan kelompok kontrol. Variance sebesar 50%
with non-autistic dan kelompok demografi. dari sense of coherence menyumbang untuk kelompok ibu-autis dan
children kontrol, n=66). 30% untuk kelompok kontrol. Terdapat perbedaan gender di mana
ayah menunjukkan sense of coherence yang lebih tinggi, sedangkan
ibu mengalami peningkatan burnout dalam mengasuh anak.
Montes, Psychological Sebanyak 364 ibu Analisis : regresi berganda Alat Tujuan penelitian: memiliki anak autis berdampak negatif pada
Guillermo; functioning and coping yang memiliki ukur : parental stress index; parental keberfungsian psikologis ibu.
Halterman, among mothers of anak autis attitudes about childrearing; coping Ibu mengalami tingkat stres yang tinggi dan rendah pada kesehatan
SA
Jill. (2018) children with autism: with parenting; parent support; child mental dibandingkan ibu pada populasi umumnya, meskipun ibu
A population- based
M memiliki hubungan yang dekat dengan anaknya dan koping yang
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

study lebih baik. Memiliki anak autis tidak berhubungan dengan rendahnya
dukungan sosial.
Lai, Wei Wei; Coping and well-being Sebanyak 73 Kuantitatif dengan analisis Tujuan: menguji psychological well-being dan koping.
PL
Goh, Tze Jui; in parents of children orang tua dari MANOVA dan chi-square, post E Orang tua dari anak autis dilaporkan secara signifikan lebih
Oei, Tian; with autism spectrum anak autis; dan hoc. mengalami gejala stres pengasuhan (misal pandangan yang
Sung, Min. disorders (ASD) 63 orang tua dari Alat ukur: variabel demografi; negatif, rendahnya kepuasan akan hubungan kelekatan dengan
(2015) anak dengan parenting stress index-short form anak), memiliki pengalaman kesulitan menangani perilaku anak
perkembangan (PSI-SF); Depression anxiety stress autis, lebih mengalami gejala depresi, dan aktif menggunakan
normal. scales (DASS-21); Brief COPE; active-avoidance coping dibandingkan orang tua dari anak dengan
perkembangan normal.
Lyons, Amy; The impact of child Sebanyak 77 Analisis : regresi berganda Alat Tujuan: menguji dampak gejala keparahan autis dan strategi
Leon, Scott; symptom severity on pengasuh utama ukur: variabel demografi; CARS-P koping orang tua (task- oriented- emotion oriented- social diversion,
Phelps, stress among parents dari anak autis (gejala keparahan autis); the distraction) terhadap stres orang tua (masalah orang tua dan
Carolyn, E; of children with ASD: (68 ibu, 4 ayah, QRS-F (stres); the CISS (koping). keluarga, pesimis, karakteristik anak, ketidakmampuan fisik).
Dunleavy, The moderating role of 2 kakek/nenek, 3 Hasil: koping emotion-oriented berhubungan dengan masalah orang
Alison. (2010) coping styles. lainnya) tua dan keluarga;
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan
koping task-oriented berhubungan dengan rendahnya
ketidakmampuan fisik; gejala keparahan autis merupakan prediktor
utama stres orang tua; koping emotion-oriented memoderasi
hubungan antara stres orang tua dan gejala autis.
Seymour, Fatigue, stress and Sebanyak 65 ibu Structural equation modelling Tujuan: mengasuh anak autis menimbulkan kelelahan dan
Monique; coping in mothers of yag memiliki (SEM). berdampak pada kesehatan orang tua dan kesejahteraan; Menguji
Wood, children with an autism anak autis. Alat ukur: variabel demografi; pengaruh kelelahan ibu dan koping terhadap hubungan antara
Catherine; spectrum disorder the brief developmental behavior perilaku bermasalah anak dan stres pengasuhan ibu.
Giallo, checklist-P24 (perilaku bermasalah Hasil : kelelahan ibu memediasi hubungan antara perilaku
Rebecca; anak); the depression, anxiety and bermasalah anak dan stres pengasuhan ibu; Perilaku bermasalah
Jellett, stress scale-21 (DASS-21); fatigue anak berkontribusi menimbulkan stres pengasuhan ibu; Pengaruh
Rachel. assessment scale (FAS); the brief ketidakefektifan strategi koping dapat meningkatkan stres.
(2013) COPE.
SA
Dabrowska, Parenting stress Sebanyak 162 Analisis: Regresi berganda, post
M Tujuan: menguji stres ibu dan ayah yang memiliki anak prasekolah
A; Pisula, E. and coping styles in orang tua (51 hoc. autis dan down syndrome; Menguji stres pengasuhan dan koping.
(2010) mothers and fathers orang tua dari Alat ukur: variabel demografi; the Hasil: orang tua yang memiliki anak autis lebih mengalami stres
of pre-school children autis; 54 orang Questionnaire of Resources and pengasuhan; Ibu dari anak autis lebih tinggi mengalami stres
with autism and Down tua dari anak Stress (QRS); Coping inventory for dibandingkan ayah; Tidak terdapat perbedaan antara orang tua
PL
syndrome down syndrome; stressful situations (CISS). E dari anak down syndrome dengan anak-anak perkembangan
57 orang tua dari normal; Pada orang tua dari anak autis berbeda menunjukkan
anak dengan skor yang berbeda pada koping social diversian; Koping emotion-
perkembangan oriented merupakan prediktor pada stres orang tua autis dan down
normal) syndrome; Koping task-oriented merupakan prediktor stres orang
tua dari anak dengan perkembangan normal.
Luong, J; Southeast asian Sebanyak 9 Metode kualitatif dengan Tujuan: menguji efek autis pda keluarga, koping, dan dukungan.
Yoder, M K; parents raising a orang tua dari pengambilan data wawancara Terdapat sembilan koping: denial/passive coping; empowerment;
Canham, D. child with autism: a anak autis mendalam dan open-ended redirecting energy; shifting of focus; rearranging life and relationship;
(2009) qualitative investigation questions. change expectations; social withdrawal; spiritual coping; acceptance.
of coping styles.

185
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
Peneliti Judul Penelitian Partisipan Metode Temuan

186
Zablotsky, The association Sebanyak 667 Analisa: Regresi berganda Alat Tujuan : menguji stres dan psychological well being
Benjamin; between mental health, ibu dari anak ukur: diagnosis anak mengalami Hasil : Ibu dari anak autis mengalami sres pengasuhan lebih tinggi,
Bradshaw, stress, and coping autis autis, laporan gangguan psychiatric, berisiko rendahnya kesehatan mental; Strategi koping yang biasa
Catherine; supports in mothers of maternal mental health, indikator ibu lakukan adalah mendapatkan dukungan dari lingkungan dan
Stuart, children with autism stres, coping, demographic variables mendapatkan dukungan emosional.
Elizabeth. spectrum disorder
(2013).
Hall & Graff. The relationships Sebanyak 75 Deskriptif kuantitatif, analisis Tujuan: menguji perilaku adaptif anak autis, dukungan keluarga,
(2012) among adaptive pengasuh utama korelasi, penelitian cross­sectional. stres orang tua, koping orang tua dan keterhubungan antar variabel
behaviors of children dari anak autis. Alat ukur: demographic form; ini.
with autism spectrum Pengambilan Coping health inventory for parents Hasil: Perilaku adaptif anak autis berkorelasi negatif terhadap
disorder, their family sampel dnegan (CHIP); Family support scale (FSS); perlakuan orang tua yang berfokus untuk terus mencari dan
support network, purposive Parenting Stress index-short form; emnggunakan dukungan sosial, menghargai diri, dan penguatan
SA
parental stress, and sampling. Vineland Adaptive Behavior Scales, emosional; Pandangan orang tua terhadap dukungan keluarga
parental coping. Second Edition.
M mereka berhubungan secara positif dengan perlakuan orang tua,
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

terkonsentrasi pada penyesuaian keluarga, kerja sama, memaknai


secara positif situasi yang ada.
PL
E
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

D. PERAN KOPING RELIGIUS TERHADAP STRES PENGASUHAN


Agama berperan dalam pengaturan strategi yang dilakukan orang
tua untuk mengatasi masalah-masalah yang menekan dan menjadi sum­
ber stres selama mengasuh anak dengan gangguan perkembangan saraf.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Daradjat (1983) bahwa
agama dapat berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidup­an, penolong
dalam kesulitan dan mampu menenteramkan batin ba­gi individu yang
mengalami kegelisahan. Jalaluddin (2008) juga me­ne­kankan bahwa ter­
dapat hubungan antara kondisi kejiwaan dan religiusitas yang terletak
pada sikap pencerahan diri seseorang terha­dap suatu kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Sikap pasrah ini akan memberikan optimis pada diri
seseorang, kemudian mendorong mun­culnya perasaan positif seperti pe­
rasaan nyaman, bahagia, puas dan merasa aman.
Pargament (1991) memperkenalkan bagaimana religiusitas me­ me­
ngaruhi cara mengatasi stres. Pargament juga menjelaskan bahwa koping
religius positif sebagai cara untuk menginterpretasikan dan be­res­pons ter­
hadap permasalahan hidup yang merefleksikan hubungan dengan Tuhan,
E
makna dan tujuan hidup, hubungan spiritual dengan orang lain, dan per­
PL

tolongan Tuhan. Ano dan Vasconcelles (2005) da­lam studi meta-analisis


menyimpulkan bahwa koping religius positif memiliki kaitan yang positif
M

dengan adaptasi terhadap stresor. Hasil penelitiannya menunjukkan bah­


SA

wa terdapat hubungan positif antara koping religius positif dengan penye­


suaian psikologis positif, ada hubungan negatif antara koping religius
positif dengan penyesaian psikologis negatif, ada hubungan negatif an­
tara koping religius negatif dengan penyesuaian psikologis positif, ada
hu­bungan positif antara koping religius negatif dengan penyesuaian diri
negatif. Religiusitas juga berfungsi sebagai perantara menuju sumber re­
siliensi. Beberapa hal yang menjadi sumber resiliensi yaitu tingkat kecer­
dasan yang tinggi, memiliki harapan atau optimis, emosi positif, dan sanak
sau­dara yang menyayangi serta melindungi (Goldstein & Brooks, 2005).
Pargament (1992) juga mengembangkan koping religius model tran­
saksional oleh Lazarus & Folkman. Menurut Pargament, agama dapat
men­­jadi bagian sentral dari konstruksi koping, misalnya sese­orang dapat
ber­bicara tentang peristiwa religius, penilaian religius, kegiatan koping
religius, dan tujuan religius dalam koping. Sebagai bagian proses koping
tran­saksional, agama mempunyai dua arah pe­ran. Pertama, agama dapat
menyumbang proses koping dan ke­ giat­
an koping dalam menghadapi
pe­ristiwa kehidupan. Sebagai con­ toh, dengan lebih mendekatkan diri

187
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

kepada Tuhan, yakin akan peristiwa hidup sebagai kehendak Tuhan, in­
tensnya melaksanakan ibadah, dan rajin mengikuti kegiatan-kegiatan
keagamaan akan sa­ngat berpe­nga­ruh bagi orang tua untuk tetap bertahan
dalam menghadapi stres kehidupan. Kedua, agama dapat menjadi hasil
ko­ping, diben­tuk oleh elemen-elemen lain yang berproses, misalnya sua­
tu survei menun­jukkan bahwa peningkatan dalam keyakinan akan terjadi
setelah melahirkan anak, periode kesendirian, promosi pada pekerjaan,
dan gang­guan emosi. Jika dikaitkan dengan kondisi orang tua setelah
anak terdiagnosis mengalami gangguan perkembangan saraf, apakah itu
ADHD, intellectual disability, gangguan spectrum autis, orang tua kemu­
dian merasakan emosi-emosi negatif, seperti sedih, marah kepada Tuhan,
me­nya­lahkan diri sendiri, menyesal, cemas, malu, depresi dan berpikiran
negatif bahwa mengasuh anak yang mengalami gangguan perkembangan
adalah sebuah beban karena terjadi sepanjang ren­tang kehidupan anak.
Bagi orang tua yang memiliki pemahaman agama baik, dan orang tua
juga mendapatkan dukungan sosial dari pa­sangan maupun dari keluarga,
serta orang tua memiliki kepribadian cukup tangguh, maka proses pene­
rimaannya terhadap kondisi anak akan berlangsung dengan lebih cepat.
E

Agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres, agama dapat


PL

memberikan individu pengarahan/bimbingan, dukungan, dan harapan, se­


perti halnya pada dukungan emosi (Pargament, dalam Kas­berger, 2002).
M

Melalui berdoa, ritual dan keyakinan agama da­pat membantu seseorang


SA

dalam koping pada saat mengalami stres ke­hi­dupan, karena adanya peng­
harapan dan kenyamanan (Rammo­han, Rao & Subbakrishna, 2002). Os­
ma­rin, et al., (dalam Santrock, 2013) meng­ungkapkan bahwa individu
meng­anggap agama sebagai as­pek pen­ting dalam hidupnya. Dengan sela­
lu berdoa, memiliki keyakinan dasar agama yang positif, jarang cemas,
jarang khawatir, dan memiliki gejala depresi yang rendah. Individu yang
reli­gius menunjukkan penyesuaian yang baik terhadap persitiwa kehilang­
an yang dihadapinya. Ketidaksiapan menghadapi peristiwa kehilangan,
mendorong individu untuk menyalahkan Tuhan. Namun, ada kesa­daran
se­iring berjalannya waktu. Agama digunakan sebagai sarana pe­maknaan.
Pe­mak­naan menggiring individu menerima kenyataan derita, lalu diikuti
oleh pengembangan diri.
Religiusitas orang tua berhubungan pada peningkatan keefek­ tifan
tek­nik pengasuhan seperti berfungsi menjadi dukungan, komu­nikasi dan
memonitoring (Snider, Clements, Vazsonyi, 2004), bersa­ma dengan pe­
ning­katan kemampuan orang tua, kompetensi dan ke­puasan (Dumas &
Nissley-Tsiopinis, 2006). Shottenbauer, Spernak, dan Hellstrom, (2007)

188
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

juga menambahkan bahwa religiusitas orang tua mampu memengaruhi


peningkatan keberfungsian anak, terma­suk kesehatan anak, pencapaian
akademik menjadi lebih baik, kete­rampilan sosial juga menjadi lebih baik,
dan menurunnya perilaku impulsif anak (Bartkowski, Xu & Levine, 2008),
dan perkembangan moral yang lebih baik (Volling, Mahoney & Rauer,
2009).
Pemahaman orang tua akan peran agama berpengaruh positif dalam
menerima, merawat anak, koping orang tua dalam mengatasi permasa­
lahan yang berkaitan dengan anak. Hal ini terbukti dari sa­lah satu tema
yang muncul dari penelitian penulis adalah peran agama sebagai cara
untuk koping. Tulisan yang telah dimuat dalam Jurnal Humanitas de­
ngan judul “Proses menjadi tangguh bagi ibu yang memiliki anak dengan
gangguan spectrum autis” menjelaskan agama memiliki peran penting da­
lam memaknai kehidupan yang sulit. Berdasarkan kata-kata kunci yang
didapat, maka diperoleh sembilan sub tema yang berkaitan dengan peran
agama sebagai cara untuk koping, yaitu: iman, husnuzan, sabar, ikhlas
me­nerima anak, ikhtiar, tawakal, bersyukur, pengalaman religius, dan
iba­dah (Daulay, Ramdhani, Hadjam, 2018).
E

a. Iman, yaitu keyakinan terhadap Tuhan, yang merupakan dasar ke­


PL

imanan seseorang dalam perannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.


Keimanan itu sendiri dapat diartikan dengan percaya. Ibu menyandar­
M

kan keyakinannya kepada Sang Pencipta sehingga mempu­nyai se­ma­


SA

ngat dan kekuatan yang luar biasa di dalam berusaha untuk men­capai
harapan agar anaknya mengalami ke­majuan dalam tumbuh kem­bang­
nya.
b. Husnuzan, yaitu berprasangka baik atas pemberian Tuhan ke­pa­da ibu,
termasuk diberikan anak yang mengalami gangguan per­kembangan,
diberikan suami dengan karakter yang berbeda dengan ibu, diberikan
harta yang cukup bahkan kurang dalam me­menuhi kebutuhan anak.
Berprasangka baik dengan semua ke­nikmatan yang Tuhan berikan
memiliki makna dan hikmah tersendiri.
c. Sabar, merupakan usaha ibu dalam mengendalikan diri pada saat kon­
disi ekstrem (sulit dan menekan). Sabar ini terdiri dari berbagai bentuk
perilaku, di antaranya: kebesaran hati dalam me­nerima kondisi anak,
menerima dengan lapang dada, mengen­da­likan emosi, tidak mudah
ma­rah, tidak mudah putus asa, bersikap tenang, dan tegar.
d. Ikhlas menerima anak, adalah menerima kondisi anak dengan memas­
rahkan jiwa ibu kepada Tuhan. Ikhlas ditunjukkan de­ngan kemam­
puan ibu untuk tidak malu dan bersedia mencerita­kan kondisi anak di

189
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

depan orang lain, mengasuh anak semata-mata hanya karena Tuhan


bukan karena ingin dilihat orang lain, dan keputusan ibu untuk resign
dari pekerjaan agar fokus mengasuh anak. Bagi ibu, ikhlas adalah tidak
menuntut, tidak mengungkit, tidak menghitung, dan tidak menyakiti.
e. Ikhtiar, yaitu usaha yang terus-menerus ibu lakukan dengan harap­an
anak akan mengalami kemajuan dalam perkembangannya, dan yakin
usaha yang ibu lakukan tidak akan pernah sia-sia. Dalam hal ini usaha
yang dilakukan semata-mata niatnya hanya karena Tuhan.
f. Tawakal, yaitu kepasrahan ibu kepada Tuhan setelah melakukan ber­
bagai usaha. Usaha yang ibu lakukan semata-mata hanya mengha­
rapkan “balasan” dari Tuhan. Hal ini membuat ibu akan merasa le­
bih tenang dan tidak mendongkol di dalam hati apabila anak belum
mengalami kemajuan yang signifikan. Anak yang mengalami GSA
memerlukan penanganan ekstra dan bersifat terpadu, artinya diperlu­
kan kerja sama antara orang tua dengan tenaga profesional, ibu juga
harus terlibat dan berperan aktif dalam penanganan yang dilakukan
agar pengaruhnya terhadap perkembangan anak lebih optimal.
g. Bersyukur, yaitu rasa berterima kasih ibu atas kenikmatan yang Tu­
E

han berikan kepada ibu dan keluarganya, sesulit dan seberat apa pun
PL

dalam mengasuh anak dengan GSA, sehingga ibu akan lebih tenang
ketika mampu memaknai kehadiran anaknya. Hal-hal yang telah Tu­
M

han berikan kepada ibu bukan saja dengan memberikan anak, tapi
SA

juga lahir dan bathin ibu menjadi lebih tenang, lebih bahagia, lebih
mam­pu memaknai hidup, dan mam­pu mengatasi masalah kehidupan.
h. Pengalaman religius, yaitu titik awal ibu mendalami dan menye­lami
kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Ibu memiliki cerita yang ber­
beda-beda akan pengalaman religius yang dialaminya. Secara kese­
luruhan, pengalaman religius ini menjadi faktor utama ibu mampu
bertahan dalam mengatasi permasalahan hidup, baik permasalahan
terkait pengasuhan anak maupun permasalahan dalam kehidupan ru­
mah tangga. Semakin ibu memohon dan me­minta pertolongan ha­
nya kepada Tuhan, semakin ibu menya­dari kekuatan dan kehadiran
Tuhan dalam kehidupan ibu.
i. Ibadah, seperti sholat, mengaji, puasa, dan berdoa merupakan peran
agama yang paling banyak dijumpai pada ibu-ibu selama mengasuh
anak dengan GSA. Keutamaan sholat lima waktu dan ditambah de­
ngan sholat tahajud mampu menguatkan dan memberikan ketente­
ram­an, serta menurunkan kecemasan ibu se­ lama mengasuh anak.
Ter­dapat keyakinan pada diri ibu bahwa doa dan permintaan yang

190
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

dipanjatkannya kepada Tuhan “Sang Pemberi Kehidupan” akan di­


kabulkan.

Berikut ini adalah pemahaman tentang dua jenis koping religius yakni
koping religius positif dan koping religius negatif oleh Parga­ment (1992):
1. Koping Religius Positif
a. Definisi koping religius positif
Pargament, Smith, Koenig, & Perez (dalam Pargament dkk., 2001)
menjelaskan koping religius positif merefleksikan hubungan yang
aman dengan Tuhan, suatu keyakinan di mana ada sesuatu yang
lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual
dalam berhubungan dengan orang lain.
b. Aspek-aspek koping religius positif
Pargament dkk., (2001) mengemukakan terdapat delapan as­pek
koping religius positif, yaitu:
1. Benevolent religious reappraisal: menggambarkan kembali stre­
sor melalui agama secara baik dan menguntungkan, misalnya
kehadiran anak merupakan amanah dari Tuhan; setiap peris­
E
tiwa di dalam kehidupan memiliki hikmah­nya; Tuhan mem­
PL

berikan cobaan karena yakin bahwa ibu adalah individu yang


kuat.
M

2. Collaborative religious coping: mencari kontrol melalui hubung­


SA

an kerja sama dengan Tuhan dalam pemecah­an masalah, mi­


salnya yakin bahwa Tuhan selalu berada di dekat ibu ketika
menghadapi kesusahan; ibu merasa dibimbing oleh Tuhan saat
terus berusaha dan berdoa untuk kemajuan perkembangan
anak
3 Seeking spiritual support: mencari kenyamanan dan keaman­
an melalui cinta dan kasih sayang Tuhan, misalnya cobaan
dimaknai sebagai rasa sayang Tuhan kepada ibu; ibu berusa­
ha ikhlas dalam menghadapi permasalahan hidup; ibu tetap
mengingat Tuhan ketika dihadapkan pa­da kondisi stres
4. Religious purification: mencari pembersihan spiritual me­la­lui
amalan religius, misalnya ibu merasa dengan keha­diran anak
semakin meningkatkan amal ibadah; ibu me­mo­hon ampun
kepada Tuhan atas dosa-dosa ibu selama ini.
5. Spiritual connection: mencari rasa keterhubungan dengan ke­
kuatan transenden misalnya kehadiran anak merupakan ke­

191
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

hen­dak Tuhan; ibu yakin di saat susah doa-doa ibu dikabulkan


Tuhan
6. Seeking support from clergy or members: mencari kenya­man­an
dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman
dan para pemuka agama misalnya de­ ngan mendengarkan
ceramah dari ustaz/ustazah ibu me­rasakan ketenangan.
7. Religious helping: usaha untuk meningkatkan dukungan spi­ri­
tual dan kenyamanan pada sesama, misalnya ibu be­serta ko­
munitas ibu-ibu yang memiliki anak autis sa­ling mendoakan
untuk kemajuan perkembangan anak mereka.
8. Religious forgiving: mencari pertolongan agama dengan mem­
biarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ke­ta­kutan yang
berkaitan dengan sakit hati, misalnya ketika kesal dengan
anak, ibu berusaha ikhlas dan ingat kem­bali kepada Tuhan.
2. Koping Religius Negatif
a. Definisi koping religius negatif
Pargament, Smith, Koenig, & Perez (dalam Pargament, et al.,
2001) menjelaskan bahwa koping religius negatif melibat­kan eks­
E

presi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pan­


PL

dangan yang lemah dan tidak menyenangkan ter­hadap dunia, dan


perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara/berdialog
M

dengan orang lain dalam kehidupan.


SA

b. Aspek-aspek koping religius negatif


Pargament dkk., (2001) mengemukakan terdapat delapan as­pek
koping religius negatif, yaitu:
1. Punishing God reappraisal: menggambarkan kembali stre­sor
sebagai sebuah hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa yang te­
lah dilakukan oleh individu
2. Demonic reappraisal: menggambarkan kembali stresor sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan
3. Reappraisal of God’s powers: menggambarkan kekuatan Tuhan
untuk memengaruhi situasi stres
4. Self directing religious coping: mencari kontrol melalui inisiatif
individu dibandingkan meminta bantuan kepada Tuhan
5. Spiritual discontent: ekspresi kecemasan dan ketidakpuas­ an
ter­hadap Tuhan
6. Interpersonal religious discontent: ekspresi kecemasan dan keti­
dakpuasan terhadap pemuka agama ataupun saudara seiman.

192
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

Demikian pentingnya agama bagi seseorang dalam mengatasi per­


ma­salahan kehidupan juga telah banyak dikaji, beberapa penelitian yang
menjelaskan pentingnya koping religius, di antaranya penelitian dila­ku­
kan oleh Lambert dkk., (2011) menunjukkan bahwa pening­katan frekuen­
si bersyukur dari waktu ke waktu meningkatkan emosi positif dan mence­
gah peningkatan gejala-gejala depresi. Raghallaigh dan Gilligan (2010)
me­neliti tentang koping yang berkaitan dengan religious faith (iman) dan
resiliensi, individu menggunakan koping ketika berhadapan dengan ber­
bagai perubahan dan tantangan. Lebih dari itu, iman dalam agama yang
individu yakini memainkan peran penting dalam usaha koping.
Koping religius merupakan cara seseorang dalam mengatasi sumber
stres yang hadir melalui agama. Agama dan spiritualitas terbukti ber­
kontribusi secara positif terhadap proses pemaknaan hidup dengan ber­
bagai cara yang berbeda, di antaranya adalah agama memberi­kan du­
kungan untuk mengatasi (coping) stres, dan agama mampu membuat ibu
dan keluarga bersyukur dan memaknai secara positif atas kehadiran anak
dengan gangguan spekrtum autis. Demikian pula dengan dengan pene­
litian yang dilakukan oleh Corrigan, McCorke, Schell, dan Kidder (2003)
E

menemukan bahwa keterlibatan agama memiliki hubungan yang positif


PL

dengan psychological well being. Indonesia merupakan negara dengan


penduduk mayoritas adalah muslim, sehingga koping religius yang dila­
M

kukan adalah dengan memaknai ajaran agama Islam, seperti rutin beriba­
SA

dah kepada Allah, seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Qur’an. Koping
religius yang telah dilakukan ini mampu meminimalisir stres pengasuh­an
orang tua dan keluarga, serta mampu memaknai kehadiran anak ada­lah
suatu anugerah.
Bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkem­bangan
saraf di Indonesia, memiliki keunikan tersendiri dalam me­maknai keha­
diran anak. Peran koping religius menjadi hal yang utama sehingga mem­
buat orang tua mampu bertahan menghadapi kesulitan dan tekanan hi­dup.
Selain koping religius, terdapat peranan dukungan sosial yang sifatnya
in­formal (misal keluarga, komunitas orang tua, teman) dan dukungan for­
mal (misal: sekolah luar biasa, pusat layanan autis, rumah sakit) yang
ber­kontribusi positif ter­ha­dap kesejahteraan subjektif dan mampu me­
nu­run­kan stres peng­asuh­an. Indonesia merupakan budaya Timur yang
ber­­sifat kolektivis­tik berbeda dengan budaya Barat yang bersifat indivi­­
dua­­­­listik. Ciri-ciri yang menonjol dari budaya kolektivistik adalah me­ne­
kan­­kan ke­salingtergantungan antara individu, lebih mengutamakan ko­
neksi ke­luarga, kerja sama, solidaritas, konformitas, harmoni, komitmen

193
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

pada orang tua dan keluarga besarnya, kesederhanaan, berhe­mat dan me­
mentingkan kesejahteraan orang lain (Haj-Yahia & Elisheva, 2008). Pe­
ranan koping religius dan dukungan sosial yang diterima orang tua me­
rupakan ciri-ciri khusus yang orang tua rasakan selama mengasuh anak,
sehingga hal ini mampu menurunkan stres pengasuhan dan tidak ber­
dampak pada gangguan mental.
Secara keseluruhan, peran agama sebagai cara orang tua untuk koping
terlihat dari usaha-usaha yang orang tua lakukan, seperti yakin bahwa
Tuhan akan memberikan kemuliaan bagi orang tua melalui kehadir­an
anak, ikhlas hanya karena Tuhan, husnuzan (berprasangka baik kepada
Tuhan), sabar, ikhtiar, beribadah, tawakal dan bersyukur. Bagi orang tua,
agama sebagai koping positif dalam menghadapi stres pengasuhan, se­
hingga orang tua dapat lebih menerima, tangguh dan bahagia dalam men­
jalani kehidupan.
Pengukuran Koping Religius
■■ Religious Coping Activities Scale/RCAS (Pargament dkk., 1990)
Merupakan inventori laporan diri yang terdiri dari 29 aitem, meng­
gunakan skala Likert 4 poin (1= tidak sama sekali, 4=sangat setuju)
E

un­tuk mengukur sejauh mana responden menggunakan agama da­lam


PL

mengatasi masalah dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.


■■ Positive and Negative Religious Coping/RCOPE (Pargament dkk., 2000).
M

Skala ini pertama kali dikembangkan oleh Pargament, Smith, Koe­nig,


SA

dan Perez, digunakan untuk mengukur koping religius. Pengukuran


keterampilan individu untuk mencari dukungan spi­ritual dan pema­
afan, koneksi spiritual, ketidakpuasan spiritual, dan penilaian akan
kejahatan (Pargament, Smith, & Koenig et al., 1998). Aitem berda­
sarkan skala Likert 4 poin dari “1” (a great deal), “2” (quite a bit), “3”
(so­­mewhat), “4” (not at all). Satu contoh aitem adalah “Saya mencari
Tu­han untuk kekuatan, dukungan, dan petunjuk dalam krisis”. Skala
ini terdiri dari dua subskala, yaitu: 1) koping religius positif, dan 2)
koping religius negatif. Konsistensi internal 0,87 dan 0,69 hingga 0,78
masing-masing untuk skala positif dan negatif.

E. INTERVENSI STRES PENGASUHAN


Stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan gang­
guan perkembangan (dalam hal ini anak dengan gangguan spek­trum au­
tis) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan orang tua dengan anak
yang perkembangannya normal dan orang tua yang anaknya mengalami

194
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

gangguan perkembangan lainnya (Silva & Scha­lock, 2012). Kurang­nya


si­
kap penerimaan terhadap kondisi anak akan meningkatkan kondisi
stres­fulfamily caregiver yang berdampak pada menurunnya kesejahtera­an
psi­ko­logis dan meningkatkan stres pengasuhan (Dorian, dkk. (2008) &
Mar­­tens & Addington (2001, da­lam Prasetyo (2014)). Tidak mudah un­
tuk mengasuh anak yang memiliki kelainan dalam perkembangannya, be­
rat­nya gangguan yang dialami anak terkadang membuat orang tua ti­dak
me­nge­tahui ca­ra yang tepat dalam menangani anak ataupun dalam meng­
hadapi hambatan yang dialami anak. Oleh karenanya diperlukan in­ter­
ven­si yang mampu membantu orang tua memahami karakteristik anak
dan dapat meningkatkan kesejahteraan orang tua dalam mengasuh anak.
Intervensi pada orang tua bertujuan untuk membantu meningkat­
kan kepercayaan diri orang tua dalam mengasuh anak dan mengurangi
stres yang dirasakan. Salah satu cara yang banyak dilakukan dan diteliti
untuk memberdayakan orang tua adalah dengan parenting support. Paren­
ting support merupakan istilah payung yang sering digunakan untuk men­
jelaskan berbagai dukungan dan intervensi yang diberikan kepada orang
tua dan anggota keluarga lainnya, dan sering digunakan bergantian de­
E

ngan istilah parenting program (Mc­Keo­wn, 2000). Beberapa penelitian yang


PL

telah membuktikan pentingnya pe­ ran parenting support dalam mening­


kat­kan kesejahteraan orang tua yang memiliki anak autis (Boyd, 2002;
M

Hastings & Beck, 2004; Mukh­ tar, 2017; Schultz, Schmidt, & Stichter,
SA

2011). Penelitian tentang parenting program telah dilakukan di Indo­nesia,


yaitu oleh Mukhtar (2017). Mukhtar (2017) melakukan penelitian ten­tang
pengaruh group-based parenting support terhadap stres pengasuhan orang
tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis, menunjukkan
terdapat penurunan stres pengasuhan dengan dilakukannya group-based
parenting support pada kelompok dukungan orang tua, namun tidak terdapat
pengaruh group based parenting support pada kelom­pok psikoedukasi orang
tua. Terdapat perbedaan antara kelompok dukungan orang tua dengan
kelompok psikoedukasi orang tua, yaitu pada kelompok dukungan orang
tua penekanannya lebih pada pro­ses sosial dan emosional di antara para
anggota yaitu terbentuknya ikatan dan adanya sikap saling mendukung
di antara sesama ang­gota. Pimpinan kelompok dari dukungan orang tua
berperan untuk menciptakan iklim yang kohesif sehingga memungkinkan
anggota untuk saling berbagi informasi serta saling membantu. Sedangkan
pada kelompok psikoedukasi orang tua, penekanannya lebih pada proses
kognitif dan perilaku yaitu pemberian informasi atau pengetahuan dan
pengajaran keterampilan tertentu kepada orang tua (Masson dkk., 2012).

195
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Pimpinan kelompok berperan untuk menciptakan situasi yang dapat men­


dorong proses belajar (Corey dkk., 2014).
Pentingnya peningkatan dukungan sosial dalam meningkatkan kese­
jahteraan psikologis orang tua dan keluarga (Albanese, San Mi­guel, &
Koegel, 1995). Penerimaan dukungan sosial dapat mening­katkan resiliensi
keluarga untuk beradaptasi dengan kondisi anak autis (Kapp & Brown,
2011; McConnell, Savage & Breitkreuz, 2014).
Selain intervensi dukungan sosial, program lainnya yang diang­gap
mampu meningkatkan kesejahteraan orang tua adalah cognitive behavior
therapy (Blackledge & Hayes, 2006). Pikiran-pikiran ne­ga­tif yang sering
muncul dapat menyebabkan stres, dengan inter­vensi melalui pendekatan
cognitive behavior therapy diharapkan mam­pu mengubah pola pikir negatif
terhadap diri, anak, dan lingkung­ an menjadi hal yang positif, hingga
akhirnya membuat orang tua merasa bahwa anak dengan gangguan per­
kem­bangan saraf adalah anugerah. Sangat terbuka peluang bagi para
peneliti yang bertujuan untuk memberdayakan kehidupan orang tua
selama mengasuh anak dapat memberikan pelatihan tentang cara pe­
ningkatan berpikir positif dalam menurunkan stres pengasuhan, seperti
E

cognitive behavior therapy (Izadi-Mazidi, Riahi, & Khajeddin, 2015), dan


PL

problem solving therapy (Nezu & Nezu, 2001).


Demikian pentingnya pemberian intervensi kepada orang tua yang
M

memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf dengan upaya untuk


SA

memberdayakan dan mengurangi stres orang tua, cukup banyak penelitian


yang telah membuktikan tentang peran penting pemberian intervensi
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan orang tua yang memiliki anak.

REFERENSI
Albanese, A.L., San Miguel, S.K., & Koegel, R.L. (1995). Social sup­port for
families. Teaching children with autism: Strategies for initiating positive
interactions and improving learning opportu­nities, 95-104.
Ano, G.G., & Vasconcelles, E.B. (2005). Religious coping and psy­chological
adjustment to stress: A meta-analysis. Journal of cli­nical psychology,
61(4), 461-480.
Altiere, M.J., & Von Kluge, S. (2009). Family functioning and coping be­
haviors in parents of children with autism. Journal of child and Family
Studies, 18(1), 83.
Bartkowski, J.P., Xu, X., & Levin, M.L. (2008). Religion and child deve­
lopment: Evidence from the early childhood longitudinal study. Social

196
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

science research, 37(1), 18-36. Lambert dkk. (2011)


Benson, P.R. (2010). Coping, distress, and well-being in mothers of children
with autism. Research in Autism Spectrum Disorders, 4(2), 217-228.
Billing, A., & Moos, R.H. (1984). Coping, stress, and social resources among
adults with unipolar depression. Journal of Personality and Social Psy­
chology, 46, 877-891
Blackledge, J.T., & Hayes, S.C. (2006). Using acceptance and commitment
training in the support of parents of children diagnosed with autism.
Child & Family Behavior Therapy, 28(1), 1-18.
Blake Snider, J., Clements, A., & Vazsonyi, A.T. (2004). Late adolescent
per­ceptions of parent religiosity and parenting processes. Family Pro­
cess, 43(4), 489-502.
Bristol, M. (1984). Family resources and succesful adaptation to austistic
children. Dalam E. Schopler & G. Mesibov (Eds.). The Effects of Autism
on the Family. (p. 289­310). New York: Plenum.
Boyd, B.A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of
social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and
Other Developmental Disabilities, 17(4), 208-215.
E

Carver, C.S., Scheier, M.F., Weintraub, K. (1989). Assessing coping strate­


PL

gies: A theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social


Psychology, 56, 267-283.
M

Cidav, Z., Marcus, S.C., & Mandell, D.S. (2012). Implications of childhood
SA

autism for parental employment and earnings. Pedia­trics, 129(4), 617-


623.
Corey, M.S., Corey, G., & Corey, C. (2014). Group Process and Practice. (ed.
9). United States of America: Brooks/Cole, Cengage Learning.
Corrigan, P., McCorkle, B., Schell, B., & Kidder, K. (2003). Religion and spi­
rituality in the lives of people with serious mental illness. Community
Mental Health Journal, 39(6), 487-499.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in
mothers and fathers of pre-school children with autism and Down
Syndrome. Journal of Intellectual Disability Research, 54(3), 266-280.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N.R. (2018). Proses menjadi tang­
guh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis.
Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 267245.
Daradjat, Z. (1983). Agama dan Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.
Dumas, J.E., & Nissley-Tsiopinis, J. (2006). Parental global religious­ness,
sanctification of parenting, and positive and negative reli­gious coping
as predictors of parental and child functioning. The International

197
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Journal for the Psychology of Religion, 16(4), 289-310.


Futuhiyat. (2004). Hubungan antara Pengetahuan Orang Tua tentang Gsa
dengan Sikap Penerimaan Orang Tua terhadap Anak Penyan­dang Autistic.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Gavidia-Payne, S., & Stoneman, Z. (1997). Family predictors of maternal
and paternal involvement in programs for young children with disa­
bilities. Child Development, 68(4), 701-717.
Goldstein, S., & Brooks, R.B. (2005). Resilience in Children. New York: Spri­
nger.
Gooding, H.C., Milliren, C.E., Austin, S.B., Sheridan, M.A., & McLaughlin,
K.A. (2016). Child abuse, resting blood pressure, and blood pressure
reactivity to psychological stress. Journal of Pediatric Psychology, 41,
5-12.
Gray, D.E. (2006). Coping over time: The parents of children with autism.
Journal of Intellectual Research, 50(12), 970-976. doi:10. 1111/j.1365-
2788.2006.00933.x.
Hall, H.R., & Graff, J.C. (2011). The relationships among adaptive beha­
viors of children with autism, family support, parenting stress, and
E

co­ping. Issues in comprehensive pediatric nursing, 34(1), 4-25.


PL

Hall, H.R., & Graff, J.C. (2012). Maladaptive behaviors of children with
autism: Parent support, stress, and coping. Issues in Compre­ hensive
M

Pediatric Nursing, 35(3-4), 194-214.


SA

Higgins, D.J., Bailey, S.R., & Pearce, J.C. (2005). Factors associated with
functioning style and coping strategies of families with a child with an
autism spectrum disorder. Autism, 9(2), 125-137.
Holden, G. (2015). Parenting a Dynamic Perspective. New York: Sage Publi­
cations, Inc.
Haj-Yahia, M.M., & Sadan, E. (2008). Issues in intervention with bat­tered
women in collectivist societies. Journal of marital and family therapy,
34(1), 1-13.
Hastings, R.P., & Beck, A. (2004). Practitioner review: Stress in­tervention
for parents of children with intellectual disabilities. Journal of child
psychology and psychiatry, 45(8), 1338-1349.
Ingersoll, B., & Hambrick, D.Z. (2011). Disorders the relationship between
the broader autism phenotype, child severity, and stress and depres­
sion in parents of children with autism spectrum disorders. Research in
Autism Spectrum Disorders, 5, 337­344. doi:10.1016/j.rasd.2010.04.017.
Izadi-Mazidi, M., Riahi, F., & Khajeddin, N. (2015). Effect of cognitive be­
havior group therapy on parenting stress in mothers of children with

198
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

autism. Iranian Journal of Psychiatry and Behavioral Sciences, 9(3).


Jalaluddin, H. (2008). Psikologi Agama, Memahami Perilaku Kegamaan De­
ngan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Rajagrafindo Persada.
Jakarta.
Jones, J., & Passey, J. (2004). Family adaptation, coping and resources:
Parents of children with developmental disabilities and behaviour
problems. Journal on developmental disabilities, 11(1), 31-46.
Kaniel, S., & Siman-Tov, A. (2011). Comparison between mothers and fa­
thers in coping with autistic children: A multivariate model. European
Journal of Special Needs Education, 26(4), 479-493.
Kapp, L., & Brown, O. (2011). Resilience in families adapting to autism
spectrum disorder. Journal of Psychology in Africa, 21(3), 459-463.
Kasberger, E.R. (2002, April). A correlational study of post-divorce ad­
justment and religious coping strategies in young adults of divorced
families. In Second Annual. Undergraduate Research Symposium CHA­
RIS Institute of Wisconsin Lutheran College. Milwaukee, WI (Vol. 53226).
Lai, W.W., Goh, T.J., Oei, T.P., & Sung, M. (2015). Coping and well-being
in parents of children with autism spectrum disorders (ASD). Journal
E

of autism and developmental disorders, 45(8), 2582-2593.


PL

Lai, W.W., & Oei, T.P. (2014). Coping in parents and caregivers of children
with autism spectrum disorder (ASD): A review. Review Journal of
M

Autism and Developmental Disorder, 1, 207-224.doi:10.1007/s40489-


SA

014-0021-x.
Lambert, N. M., & Fincham, F. D. (2011). Expressing gratitude to a partner
leads to more relationship maintenance behavior. Emotion, 11(1), 52.
Luong, J., Yoder, M.K., & Canham, D. (2009). Southeast Asian parents
raising a child with autism: A qualitative investigation of coping sty­
les. The Journal of School Nursing, 25(3), 222-229.
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New
York: Springer Publishing Company, Inc.
Lyons, A.M., Leon, S.C., Phelps, C.E.R., & Dunleavy, A.M. (2010). The
impact of child symptom severity on stress among parents of children
with ASD: The moderating role of coping styles. Journal of child and
family studies, 19(4), 516­524.
Luther, E.H., Canham, D.L., & Cureton, V.Y. (2005). Coping and social
sup­port for parents of children with autism. The Journal of School
Nurs­ing, 21(1), 40-47.
Lutz, H.R., Patterson, B.J., & Klein, J. (2012). Coping with autism: A jo­
urney toward adaptation. Journal of pediatric nursing, 27(3), 206-213.

199
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Masson, R.L., Jacobs, E.E., Harvill, R.L., & Schimmel, C.J. (2012). Group
Counseling: Intervention and Techniques. Canada: Brooks/Cole, Cengage
Learning.
McConnell, D., Savage, A., & Breitkreuz, R. (2014). Resilience in families
raising children with disabilities and behavior problems. Research in
developmental disabilities, 55(4), 833-848.
McKeown, K. (2000). A guide to what works in family support services for
vul­nerable families.
Montes, G., & Halterman, J.S. (2007). Psychological functioning and co­
ping among mothers of children with autism: A population-based
study. Pediatrics, 119(5), e1040-e1046.
Mukhtar, D.Y. (2016). Pedoman group-based parenting support untuk
orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Mo­
dul Penelitian. Yogyakarta: Program Doktor Psikologi-Universitas Ga­
djah Mada.
Mukhtar, D.Y. (2017). Pengaruh group-based parenting support terhadap
stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan
spektrum autis. (Disertasi
E

Nezu, A.M., Nezu, C.M., & Lombardo, E.R. (2001). Cognitive-behavior


PL

the­rapy for medically unexplained symptoms: a critical review of the


treatment literature. Behavior Therapy, 52(3), 537-583.
M

Ni Raghallaigh, M., & Gilligan, R. (2010). Active survival in the lives of


SA

unaccompanied minors: coping strategies, resilience, and the relevance


of religion. Child & Family Social Work, 15(2), 226-237.
Ogretir, A. D., & Ulutas, I. (2009). The study of the effects of the mother
support education program on the parental acceptance and rejection
levels of the Turkish mothers. Humanity & Social Sciences Journal, 4(1),
12-18.
Pargament, K.I., Ensing, D.S., Falgout, K., Olsen, H., Reilly, B., Van Haits­
ma, K., & Warren, R. (1990). God help me:(I): Religious coping efforts
as predictors of the outcomes to significant negative life events. Ame­
rican journal of community psychology, 18(6), 793-824.
Pargament, K.I. (1992). Of means and ends: Religion and the search for
significance. The International Journal for the Psychology of Religion,
2(4), 201-229.
Pargament, K.I., Koenig, H.G., & Perez, L.M. (2000). The many methods
of religious coping: Development and initial validation of the RCOPE.
Journal of clinical psychology, 56(4), 519-543.
Parish, S.L., Rose, R.A., Grinstein-Weiss, M., Richman, E.L., & Andrews,

200
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING

M. E. (2008). Material hardship in US families raising children with


disabilities. Exceptional Children, 75(1), 71-92.
Prasetyo, N.H., & Subandi, M.A. (2014). Program Intervensi Narimo ing
Pandum untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Keluarga Pa­
sien Skizofrenia. JI/Jurnal Intervensi Psikologi, 6(2), 151-170.
Rammohan, A., Rao, K., & Subbakrishna, D.K. (2002). Religious coping
and psychological wellbeing in carers of relatives with schizophrenia.
Acta Psychiatrica Scandinavica, 105(5), 356-362.
Rochmani, K.W. (2014). Care-autis: literasi dengan dukungan internet
untuk meningkatkan penerimaan orang tua. Doctoral Dissertation. Yog­
yakarta: Universitas Gadjah Mada.
Santrock, J. (2013). Life-Span Development. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2014). Health Psychology: Biopsychosocial
Interactions. John Wiley & Sons.
Sawang, S., Oei, T. P., & Goh, Y. W. (2006). Are country and culture values
interchangeable? A case example using occupational stress and coping.
International Journal of Cross Cultural Management, 6(2), 205-219.
Schottenbauer, M.A., M. Spernak, S., & Hellstrom, I. (2007). Rela­tionship
E

between family religious behaviors and child well-being among third-


PL

grade children. Mental Health, Religion & Culture, 10(2), 191-198.


Schultz, T.R., Schmidt, C.T., & Stichter, J.P. (2011). A review of pa­rent
M

edu­cation programs for parents of children with autism spectrum di­


SA

sorders. Focus on autism and other developmental disabilities, 26(2), 96-


104.
Seymour, M., Wood, C., Giallo, R., & Jellett, R. (2013). Fatigue, stress
and coping in mothers of children with an autism spectrum disorder.
Journal of autism and developmental disorders, 43(7), 1547-1554.
Silva, L.M., & Schalock, M. (2012). Autism parenting stress index: Initial
psychometric evidence. Journal of autism and develop­men­tal disorders,
42(4), 566-574.
Sivberg, B. (2002). Coping strategies and parental attitudes, a comparison
of parents with children with autistic spectrum disorders and parents
with non-autistic children. International Journal of Circumpolar Health,
61(sup2), 36-50.
Subandi. (2012). Agama dalam perjalanan gangguan mental psikotik da­
lam konteks budaya Jawa. Jurnal Psikologi, 39(2), 167-179. Retrieved
from https://repository.ugm.ac.id/id/eprint/97109.
Tarakeshwar, N., & Pargament, K.I. (2001). Religious coping in fa­milies
of children with autism. Focus on Autism and Other De­velopmental Di­

201
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

sabilities, 16(4), 247-260.


Volling, B.L., Mahoney, A., & Rauer, A.J. (2009). Sanctification of paren­­
t­ing, moral socialization, and young children’s conscience develop­
ment. Psychology of religion and spirituality, 1(1), 53.
Zablotsky, B., Bradshaw, C.P., & Stuart, E.A. (2013). The association bet­
ween mental health, stress, and coping supports in mothers of child­ren
with autism spectrum disorders. Journal of autism and developmental
disorders, 43(6), 1380-1393.

E
PL
M
SA

202
Bab 6
LAYANAN PENDIDIKAN

Anak-anak yang mengalami keterbatasan baik dari segi fisik, mo­to­rik,


E
kognitif, emosi, dan sosial, memiliki hak yang sama seba­gai­mana layaknya
PL

anak-anak dengan perkembangan normal untuk mem­peroleh pendidikan.


Hal yang sama juga dialami pada anak-anak yang mengalami gangguan
M

perkembangan saraf, seperti anak dengan gangguan spectrum autis, anak


SA

ADHD, anak dengan intellectual disability. Anak dengan gangguan spectrum


autis disebabkan karena gangguan fungsi otak, sehingga anak-anak seperti
ini akan menam­pilkan perilaku yang tidak tepat sesuai dengan tahapan
perkembangan anak.
Ginanjar (2008) adalah seorang psikolog dan dosen psikologi di uni­
versitas terkemuka di Indonesia mengungkapkan dalam diserta­sinya “Me­
mahami Spektrum Autis Secara Holistik” terdapat prinsip-prinsip peng­
ajaran dan pendidikan anak autis, yaitu:
1. Terstruktur
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis diterapkan prinsip ter­
struktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajar­
an dimulai dari bahan ajar/materi yang paling mudah dan dapat
di­lakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkat­
kan lagi ke bahan ajar yang setingkat di atas­nya, namun merupa­kan
rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya. Misalnya, un­
tuk mengajarkan anak mengerti dan memahami makna dari instruk­
si “ambil bola merah”, maka materi pertama yang harus dikenalkan
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

kepada anak adalah konsep pe­ ngertian kata “ambil”, “bola”, dan
“me­rah”. Setelah anak diang­gap mampu mengenal dan menguasai
arti kata tersebut, langkah selanjutnya adalah meng­ aktuali­
sasikan
in­struksi “ambil bola me­rah” kedalam perbuatan konkret. Struktur
pendidikan dan peng­ajaran bagi anak autis meliputi struktur waktu,
struktur ruang, dan struktur kegiatan.
2. Terpola
Kegiatan anak autis biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola
dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya),
mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu, da­
lam pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola
yang teratur. Namun bagi anak dengan kemampuan kognitif yang
te­lah berkembang dapat dilatih dengan memakai jadwal yang dise­
suaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak da­
pat menerima perubahan dari rutinitas yang ber­laku (menjadi lebih
fleksibel). Diharapkan pada akhirnya anak lebih mudah menerima
perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif)
dan dapat berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan behavior
E

the­rapy).
PL

3. Terprogram
Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan
M

yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi.


SA

Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip dasar sebelum­nya. Sebab


dalam program materi pendidikan harus dilakukan secara bertahap
dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehing­ ga apabila target
program pertama tersebut menjadi dasar target program yang kedua,
demikian selanjutnya.
4. Konsisten
Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autistik,
prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Artinya apabila anak berperilaku
positif memberi respons positif terhadap sua­tu stimulan (rangsangan),
maka guru pembimbing harus cepat memberikan respons positif
(reward/penguatan), demikian pula apabila anak berperilaku negatif
(reinforcement). Hal tersebut juga dilakukan dalam ruang dan waktu
lain yang berbeda (main­tenance) secara tetap dan tepat, dalam arti
respons yang diberi­ kan harus sesuai dengan perilaku sebelumnya.
Konsisten memiliki arti “tetap”, bila diartikan secara bebas konsis­
ten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu. Konsisten
bagi guru pembimbing berarti tetap dalam bersikap, merespons dan

204
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

mem­per­lakukan anak sesuai dengan karakter dan kemampuan yang


dimiliki masing-masing anak autis. Adapun arti konsisten bagi anak
adalah tetap dalam mempertahankan dan menguasai kemampuan
sesuai dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Orang tua pun dituntut konsisten dalam pendidikan bagi
anaknya, yakni dengan bersikap dan membe­ri­kan perlakuan terhadap
anak sesuai dengan program pendidikan yang telah disusun bersama
antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari generalisasi
pembelajaran di sekolah dan di rumah.
5. Kontinu
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Maka prinsip pendidikan
dan pengajaran yang berkesinambungan juga mutlak diperlukan ba­
gi anak autis. Kontinu di sini meliputi kesinambung­an antara prinsip
dasar pengajaran, program pendidikan dan pe­laksanaannya. Kontinui­
tas dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga
harus ditindalanjuti untuk kegiatan di rumah dan lingkungan sekitar
anak. Kesimpulannya, terapi pe­rilaku dan pendidikan bagi anak autis
E

harus dilaksanakan secara berkesinambungan, simultan dan integral


PL

(menyeluruh dan ter­padu).


M

A. PENDIDIKAN KHUSUS
SA

Upaya mewujudkan demokrasi dalam pendidikan, maka Indo­ nesia


memfasilitasi kebutuhan di bidang pendidikan bagi anak ber­kebutuhan
khusus dengan menyiapkan sekolah-sekolah untuk dapat mengembangkan
potensi, emosi dan sosial bagi anak berkebutuhan khusus, salah satunya
adalah sekolah inklusi. A key part of the inclusive education movement is a
consensus that all children, including those with disabilities and impairments,
should have the opportunity for an education and, furthermore, an education
with their peers (Sheehy & Budiyanto, 2014).
Upaya untuk mengurangi diskriminasi bagi disabilitas dalam sis­tem
pendidikan melalui kehadiran The Salamanca Statement adopted at the
World Conference on Special Needs Education (UNESCO 1994) is based
on the principle of inclusion as a means of achieving the goal of education for
all. Deklarasi Salamanca menjadi tonggak penting dalam pembentukan
pendidikan inklusi di Indonesia. Keseriusan pemerintah Indonesia me­nge­
nai hak-hak penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan dibuk­tikan
dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Ta­hun

205
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasio­nal, yakni Pasal 5 ayat (1) menya­
takan bahwa setiap warga negara mem­punyai hak yang sama dalam mem­
peroleh pendidikan yang ber­mutu; ayat (2) menyatakan bahwa warga ne­
gara yang memiliki ke­lainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/
atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pendidikan inklusi di Indonesia berawal dari ketidaksamaan hak
yang didapat bagi penyandang disabilitas, kemudian adanya stig­ma, dan
prasangka negatif, serta perlakuan diskriminasi yang di­terimanya. Hal
ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo­
nesia Pasal 31 ayat (1) yakni bahwa setiap warga negara berhak menda­
patkan pendidikan. Demikian juga dengan landasan filosofis dalam pe­
ne­rapan pendidikan inklusi di Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika
(uni­ty in diversity) (Sheehy & Budiyanto, 2014), artinya bahwa pemerin­
tah Indonesia berupaya memberikan kebutuhan pendidikan terbaik bagi
anak-anak Indonesia termasuk anak berkebutuhan khusus, salah satunya
de­ngan menyediakan pen­didikan inklusi.
Anak dengan gangguan gangguan perkembangan sarah sama seperti
anak-anak berkebutuhan khusus lainnya yang berhak menda­patkan pen­
E

didikan, agar mampu mengembangkan potensi dalam diri secara lebih


PL

optimal. Layanan pendidikan untuk anak-anak seperti ini diselenggarakan


melalui layanan pendidikan khusus atau yang dike­nal dengan sekolah
M

luar biasa dan layanan pendidikan inklusi atau sekolah reguler. Layan­an
SA

pendidikan khusus ini telah tertuang dalam Pasal 15 UU No. 20 Tahun


2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Pendidikan khusus merupa­
kan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan
atau peserta didik yang memiliki ke­cerdasan luar biasa yang diselengga­
rakan secara inklusif atau beru­pa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan me­nengah.”
Pendidikan khusus atau sekolah luar biasa diperuntukkan bagi anak-
anak berkebutuhan khusus (selanjutnya ditulis ABK) dengan ku­rikulum
dan tenaga pengajar yang disesuaikan dengan kebutuhan ABK. Pada se­
tiap daerah di Indonesia sudah banyak tersebar sekolah luar biasa (SLB),
baik yang khusus menerima anak autis disebut SLB-F dan sekolah luar
biasa yang menerima anak berkebutuhan khusus lainnya, seperti SLB-A
dikhususkan bagi anak tunanetra; SLB-B dikhususkan bagi anak tunaru­
ngu; SLB-C dikhususkan bagi anak tunagrahita; SLB-D dikhususkan bagi
anak tunadaksa; SLB-E dikhususkan bagi anak tunalaras; dan SLB-G di­
khususkan bagi anak cacat ganda.

206
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

B. PENDIDIKAN INKLUSI
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sekolah reguler (sekolah umum) dengan menyediakan layanan pendi­
dikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Permendiknas No. 70 Tahun
2009 Pasal 3 poin 2 menyatakan keterbatasan anak anta­ra lain tunane­
tra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tu­na­laras, kesulitan
belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi kor­
ban penyalahgunaan narkona, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya, me­
miliki kelainan lainnya, dan tunaganda.
Lembaga pendidikan inklusi di Indonesia saat ini mengalami pening­
katan, ditambah dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus di Indo­
nesia juga semakin banyak jumlahnya. Pada November 2015, jumlah total
anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 1,6 juta jiwa, namun
masih sedikit anak berkebutuhan khusus yang menge­nyam pendidikan
(hanya 10 persen dari populasi anak berkebutuhan khusus di Indonesia).
Beberapa faktor yang memengaruhinya ada­lah orang tua yang kurang
mendukung pendidikan untuk anaknya (kemungkinan biaya pendidikan
E
yang dikeluarkan tidak murah), anak berkebutuhan yang tidak ingin ber­
PL

sekolah, serta akses ke sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggal ter­
utama bagi penduduk yang ting­gal jauh dari kota (Kementerian Pendidik­
M

an dan Kebudayaan In­do­nesia, 2016).


SA

Menurut Frederickson dan Lambert (2015), pendidikan inklusi ada­


lah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada seluruh anak atau
peserta didik untuk belajar bersama dalam sekolah umum, tanpa diskrimi­
nasi etnis, status sosial, agama, jenis kelamin, kemampuan, dan disabilitas
yang dimiliki peserta didik.
Pendidikan inklusi ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 70 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (1) bertujuan mem­berikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang me­
miliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mem­per­oleh pendidikan yang
bermutu sesuai degan kebutuhan dan kemam­puannya; ayat (2) dinyata­
kan bahwa pendidikan inklusi bertujuan mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang menghargai keane­karagaman, dan tidak diskriminatif
bagi semua peserta didik.
Direktorat PSLB (2004) mendefinisikan pendidikan inklusi di Indo­
ne­sia sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah

207
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penye­lenggaraan pen­


didikan inklusi menuntut pihak sekolah melakukan pe­nyesuaian baik dari
segi kurikulum, sarana, dan prasarana pendi­dikan, maupun sistem pem­
belajaran yang disesuaikan dengan kebu­tuhan individu peserta didik.
Tidak semua anak yang mengalami gangguan perkembangan saraf
dapat bersekolah dengan pendidikan inklusi, mengingat anak dengan gejala
gangguan ini bervariasi antara anak yang satu dengan anak lainnya. Ada
anak yang gejalanya ringan sehingga sedikit mem­butuhkan bantuan dari
lingkungan, namun terdapat juga anak yang gejalanya sangat berat dan
membutuhkan dukungan yang intens da­ri lingkungan. Bagi anak dengan
gangguan perkembangan sedikit dengan gejala yang ringan biasanya akan
menampilkan perilaku adap­tif yang lebih baik dibandingkan anak dengan
gejala gangguan yang berat, anak-anak dengan gejala berat sangat baik
untuk dilayani pada lembaga khusus agar kemampuan dasarnya terpenuhi.
Salah satu keunggulan mengikuti pendidikan inklusi akan ter­buka ke­
sempatan bagi anak untuk dapat bersosialisasi dengan teman-teman seba­
yanya, baik yang memiliki keterbatasan maupun teman-teman dengan
perkembangan normal. Anak berkebutuhan khusus juga akan terlatih un­
E

tuk mandiri, sedangkan bagi anak-anak perkem­bangan normal dengan


PL

memiliki teman berkebutuhan khusus akan memunculkan rasa empati


dan kesetiakawanan dalam dirinya, serta melatih diri untuk saling berbagi
M

dengan temannya yang mengalami keterbatasan.


SA

Namun demikian, bagi para orang tua yang berminat untuk mema­
sukkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah inklusi, terlebih
dahulu harus melakukan observasi ke sekolah. Hal utama yang harus di­
perhatikan adalah apakah kurikulum dan kebijakan di sekolah tersebut
telah sesuai untuk kondisi anak-anak berkebutuh­an terutama anak autis,
kemudian guru-guru di sekolah tersebut te­lah memiliki keahlian atau ti­
dak di dalam mengajar dan berinteraksi dengan anak autis. Hal ini pen­
ting untuk dipahami orang tua, agar anak-anak mendapatkan pendidikan
sesuai dengan kebutuhannya, selain itu orang tua juga mendapatkan in­
formasi penting terkait kon­disi anaknya selama di sekolah melalui guru
yang berkompeten di bidangnya, dan diharapkan terjalin kerja sama yang
baik antara guru dan orang tua.
Frieda Mangunsong (2009) menjelaskan bahwa anak-anak yang di­
tempatkan pada program inklusi akan menunjukkan perbaikan atau ke­
adaan yang sama dalam pengukuran kognitif dan emosional­nya dengan
anak normal daripada apabila anak berkebutuhan khu­sus ditempatkan di
sekolah khusus. Meskipun demikian, orang tua sebagai guru pertama bagi

208
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

anaknya tetap harus memperhatikan kelebihan dan keterbatasan yang


anak miliki setelah mengikuti pen­didikan inklusi. Kemampuan setiap anak
berbeda-beda, bisa jadi anak menjadi lebih baik namun tidak tertutup
kemungkinan kondisi anak malah mengalami kemunduran karena bebe­
rapa faktor yang meme­ngaruhinya. Oleh karenanya orang tua harus jeli
dalam mengob­servasi anak dan menciptakan kerja sama yang baik dengan
pihak sekolah.
Terdapat beberapa hal penting yang diperhatikan dalam pelak­sana­an
pendidikan inklusi (Suyanto & Mudjito, 2012):
1. Sekolah harus mengondisikan kelas menjadi kelas yang hangat, ra­
mah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan dengan
menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang interaktif.
2. Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya
manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
3. Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses
pendidikan.
4. Kepala sekolah dan guru yang nantinya akan menjadi Guru Pem­
bimbing Khusus (GPK) untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) harus
E

mendapatkan pelatihan tentang cara mengajar di sekolah inklusi.


PL

5. Guru Pendamping Khusus (GPK) harus mendapatkan pelatihan teknis


untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus.
M

6. Asesmen di sekolah dilakukan untuk memahami ABK dan pena­ngan­


SA

an yang diperlukan, misalnya mengadakan bimbingan khu­sus atas


kesepakatan dengan orang tua ABK.
7. Mengidentifikasi hambatan terkait dengan kelainan fisik, sosial, dan
masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran ABK.
8. Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan mo­nitoring
mutu pendidikan bagi semua anak.

Umumnya pada sekolah inklusi akan menyiapkan guru khusus yang


ditugaskan untuk mendampingi ABK selama mengenyam pen­didikan di
sekolah inklusi tersebut. Namun jika pihak sekolah tidak menyiapkan guru
khusus, maka orang tua diperbolehkan untuk men­cari guru khusus dan
disesuaikan dengan kriteria guru pendam­ping khusus. Guru-guru khusus
tersebut dikenal dengan sebutan guru bayangan (shadow teacher) dan bia­
sanya lulusan dari jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tugas guru bayangan
ini di antaranya mam­pu mengingatkan siswa berkebutuhan khusus untuk
tetap fokus dan bertanggung jawab selama mengikuti kegiatan belajar dan
membantu guru kelas mengatasi masalah emosi, sosial dan kemampuan

209
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

belajar ABK, serta merangkul siswa lainnya untuk mampu bertoleransi


dan saling bekerja sama menciptakan suasana belajar yang kondusif.
Berit dan Skjorten (2003) dalam bukunya Pengantar Pendidikan In­
klusif menjelaskan fungsi dari guru khusus tersebut adalah:
1. Mendampingi guru kelas dalam menyiapkan kegiatan yang ber­kaitan
dengan materi belajar.
2. Mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam menyelesaikan tugas­
nya dengan pemberian instruksi yang singkat dan jelas.
3. Memilih dan melibatkan teman seumuran untuk kegiatan so­sialisa­
sinya.
4. Menyusun kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kelas mau­pun di
luar kelas.
5. Mempersiapkan anak berkebutuhan khusus pada kondisi rutinitas
yang berbuah positif.
6. Menekankan keberhasilan anak berkebutuhan khusus dengan pem­
berian reward yang sesuai.
7. Meminimalisasi kegagalan anak berkebutuhan khusus.
8. Memberikan pengajaran yang menyenangkan kepada anak ber­kebu­
E

tuhan khusus.
PL

Pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat di­


M

lakukan degan berbagai model, yaitu (Ashman, 1994, dalam Elisa dan
Wras­tari, 2013):
SA

1. Kelas Reguler (Inklusi Penuh), ABK belajar bersama anak non berke­
butuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan mengguna­kan
kurikulum yang sama.
2. Kelas Reguler dengan Cluster, ABK belajar bersama anak non berke­
butuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas Reguler dengan Pull Out, ABK belajar bersama anak non ber­
kebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktu-waktu terten­
tu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
4. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out, ABK belajar bersama anak
non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelom­pok khusus,
dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas re­guler ke ruang
lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian, ABK belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang ter­
tentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas
reguler.

210
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

6. Kelas Khusus Penuh, ABK belajar di dalam kelas khusus pada seko­lah
reguler.

Supena, dkk. (2012) dalam bukunya tentang Pendidikan Anak Ber­


ke­butuhan Khusus mengungkapkan tentang manfaat pendidikan inklusi
khu­susnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu:
1. Membuka peluang yang luas kepada anak berkebutuhan khusus un­tuk
mendapatkan layanan pendidikan, karena anak berkebu­tuhan khu­sus
dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler yang dekat de­ngan
ru­mahnya. Dengan demikian pendidikan in­klusi akan mempercepat
penuntasan wajib belajar dan mewujud­kan gagasan education for all,
khususnya di kalangan anak ber­kebutuhan khusus.
2. Pendidikan inklusi memberikan pelajaran sosial yang berharga bagi
nak berkebutuhan khusus juga bagi masyarakat secara umum­nya. Anak
berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah reguler
akan berlatih untuk berinteraksi, berkomunikasi dan melakukan
penyesuaian sosial dengan masyarakat umum. Di sisi lain, masyarakat
umum juga akan belajar memahami dan menghargai perbedaan serta
E
menumbuhkan sifat empati dan membantu orang yang membutuhkan
PL

bantuan.
3. Pelaksanaan pendidikan khusus (pendidikan bagi anak berkebu­tuhan
M

khusus) akan lebih efisien karena tidak harus mendirikan sekolah


SA

khusus yang membutuhkan kelengkapan yang serba khusus dengan


biaya yang cukup besar.

Sebelum memasukkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah in­


klusi, ada baiknya orang tua harus mempertimbangkan terlebih dahu­lu
akan kelebihan dan kelemahan hingga memutuskan anak bergabung dan
berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang per­kem­bang­annya normal.
Ada baiknya orang tua juga berkonsultasi de­ngan para profesional (misal
psikolog, dokter) untuk mendapatkan informasi terkait pendidikan
inklusi, dan mengobservasi terlebih da­hulu sekolah inklusi yang hendak
dituju, terkait kurikulum, tenaga pengajar dan guru bayangan, sarana dan
prasarana yang disediakan khususnya untuk anak-anak berkebutuhan.
Berikut ini terdapat kelebihan dan kelemahan bagi ABK, terutama
autis yang mengikuti pendidikan inklusi. Hal ini diharapkan dapat menjadi
pertimbangan bagi para orang tua ketika hendak memasuk­kan anaknya ke
sekolah inklusi.

211
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

Kelebihan Kelemahan

Anak memiliki kesempatan untuk Anak berkebutuhan khusus, terutama autis akan
bersosialisasi dengan teman-teman berisiko mengalami kasus bullying.
sebayanya, guru, dan orang lain di Perlakuan yang kurang tepat dari orang lain dapat
lingkungan sekolah. menurunkan kepercayaan diri dan menghambat
Mendapatkan materi pelajaran yang proses penyesuaian diri ABK untuk berkembang secara
lebih bervariasi dibandingkan ketika optimal.
mengenyam pendidikan khusus. Anak berkebutuhan dengan kemampuan intelektual
Anak-anak berkesempatan untuk yang lebih rendah akan kesulitan dan ketinggalan
menunjukkan perbaikan, kemandirian, dan mengikuti pelajaran.
dilatih meningkatkan perkembangan yang Tenaga pendukung misalnya guru bayangan sebaiknya
maksimal. disesuaikan dengan kebutuhan ABK terutama anak
Untuk menghindari perasaan terasing atau autis, mengingat anak autis merupakan anak dengan
berbeda dalam diri ABK ketika berinteraksi gangguan perkembangan kompleks dan tingkat
pada lingkungan orang-orang dengan keparahannya bervariasi. Masih didapati guru kelas
perkembangan normal. yang belum siap mengimplementasikan pendidikan
Bagi anak-anak dengan perkembangan inklusi, seperti kesulitan dalam mengelola kelas,
normal dilatih untuk berempati dengan kurang sabar menghadapi siswa, pemahaman
menerima kehadiran ABK. yang kurang tentang pendidikan inklusi dan siswa
berkebutuhan khusus

Meskipun terdapat beberapa kelemahan ketika anak mengikuti pen­


didikan inklusi, kunci sukses utama terletak pada pengasuhan orang tua.
E
Orang tua yang senantiasa memotivasi, bersabar, mendu­kung usaha anak,
PL

dan terus mengobservasi kegiatan anak tentu ak­hirnya akan membuahkan


hasil yang memuaskan. Orang tua tidak ha­nya berfokus pada kekurangan
M

anak, tetapi juga mencermati ke­majuan yang dialami anak.


SA

Penelitian terkait peranan pendidikan inklusi bagi kebutuhan anak


autis, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wija­ yaptri
(2011) bertujuan untuk menggali bagaimana metode pembel­ajaran mem­
baca pada anak autistik di sekolah inklusi. Penelitiannya menggunakan
metode kualitatif dengan desain studi kasus tunggal. Hasil penelitiannya
menunjukkan: 1) tidak ada metode pembelajaran khusus yang diguna­
kan oleh sekolah inklusi dalam mengajarkan ke­mampuan membaca pa­
da siswa autistik; 2) sekolah mengembangkan pendidikan inklusi dengan
cara melakukan modifikasi kurikulum, menumbuhkan dukungan sosial
ba­gi siswa autistik dan orang tuanya di sekolah, menjaga komitmen tim,
dan mendorong orang tua untuk melakukan pendampingan belajar di luar
jam sekolah; 3) siswa autis­tik memperoleh dan meningkatkan kemampuan
membacanya mela­lui aktivitas belajar membaca di rumah.

212
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

C. PUSAT LAYANAN AUTIS INDONESIA


Dalam rangka memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana un­ tuk
layanan identifikasi dini, terapi dan pendidikan bagi anak penyan­dang
autis, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebu­ dayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembi­na­an Pendidikan
Khusus dan Layanan Khusus mulai tahun 2012 telah memberikan bantu­
an sosial untuk pembangunan Pusat Layanan Autis kepada pemerintah
provinsi/kabupaten/kota. Kegiatan tersebut meru­pakan bagian dari prog­
ram Kementerian Pendidikan dan Kebudaya­an dalam rangka memenu­hi
kebutuhan sarana dan prasarana untuk memberikan layanan bagi pe­nyan­
dang autis (Pembangunan Pusat Layanan Autis/PLA, 2014).
Pembangunan Pusat Layanan Autis di Indonesia berlandaskan pada
dua Landasan Filosofi, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Da­sar 1945.
Pancasila menegaskan bahwa pemerataan akses dan pe­ningkatan mutu
pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan
hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia
seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai
E
Pancasila. Demikian juga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa
PL

pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia; setiap


warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu
M

sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status
SA

sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender (Pembangunan


Pusat La­yanan Autis/PLA, 2014).
Selain Landasan Filosofi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
terdapat Landasan Hukum sebagai dasar kuat dalam pembangunan Pusat
Layanan Autis di Indonesia. Landasan Hukum Penyelenggaraan Pendidikan
Khusus dan Layanan Khusus terdiri dari lima dasar, yaitu:
1. Undang-Undang 1945 (amendemen)
Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) tentang hak pendidikan bagi warga
negara
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional
ƒƒ Pasal 3, tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
ƒƒ Pasal 5 ayat (1), (2), (3), dan (4) tentang Kesamaan Hak Pendi­
dikan tanpa memandang kondisi fisik, emosional, mental, kecer­
dasan, ekonomi, maupun kondisi geografis.
ƒƒ Pasal 32 ayat (1) dan (2) tentang Pendidikan Khusus dan La­yanan
Khusus
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

213
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

ƒƒ Pasal 51, tentang Kesamaan Kesempatan dan Aksesibilitas Pen­di­


dikan bagi Anak Cacat Fisik dan/atau Mental
ƒƒ Pasal 52, tentang Kesamaan Kesempatan dan Aksesibilitas Pendi­
dikan bagi Anak yang Memiliki Keunggulan
ƒƒ Pasal 53, tanggung Jawab Pemerintah dalam Membiayai Pen­di­
dikan Pelayanan Khusus bagi Anak dari Keluarga Kurang Mampu,
Anak Terlantar dan Anak yang Berada di Daerah Ter­pencil
4. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
5. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi
Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecer­das­
an dan/atau Bakat Istimewa
(Pembangunan Pusat Layanan Autis/PLA, 2014).

Pusat Layanan Autis merupakan institusi/lembaga yang dapat di­


bentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabu­
paten/kota, perguruan tinggi dan /atau masyarakat dalam rangka mem­
berikan layanan intervensi terpadu, layanan pendidikan tran­ sisi, dan
la­yanan pendukung lainnya bagi anak autis. Pusat Layanan Autis juga
E
da­pat dimanfaatkan oleh keluarga, sekolah, masyarakat dan pihak lain
PL

yang berkepentingan untuk memperoleh informasi dan/atau keterampil­


an berkaitan dengan layanan anak autis. Pusat Layanan Autis memiliki
M

tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu men­jamin terpenuhinya hak-hak


SA

anak agar dapat hidup, tumbuh, berkem­bang, dan berpartisipasi secara


optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera sebagai tuju­
an umum pembangunan Pusat Layanan Autis, sedangkan tujuan khusus
yaitu: 1) memberikan layanan intervensi terpadu anak autis dengan me­
libatkan berbagai profesi dan praktisi terkait untuk meminimalisasi peri­
laku autisitas anak; 2) memberikan layanan pendidikan transisi oleh
te­naga pen­didik yang kompeten agar mereka memiliki kesiapan untuk
meng­ikuti pendidikan pada sekolah-sekolah formal maupun nonformal;
3) memberikan layanan-layanan pendukung bagi orang tua, sekolah, dan
masyarakat agar memiliki kesiapan dan kemampuan dalam membim­
bing memberikan layanan bagi anak-anak autis di rumah maupun di ma­
syarakat (Mudjito dkk., 2014).
Berdasarkan data dan fakta dengan meningkatnya penyandang autis
serta perundangan yang telah ada tersebut, untuk memberikan hak-hak dan
fasilitas pelayanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus terutama

214
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

anak autis, Pemerintah melalui Direktorat Pembi­naan Pendidikan Khusus


dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar te­lah membangun Pusat Layanan
Autis (PLA) di 28 Provinsi seluruh Indonesia.
Lokasi Pusat Layanan Autis (PLA) di seluruh Indonesia terdapat di
PLA Kota Banda Aceh, PLA Provinsi Sumatra Utara, PLA Kota Padang, PLA
Provinsi Riau, PLA Kota Batam, PLA Provinsi Jambi, PLA Provinsi Bangka-
Belitung, PLA Kota Metro Lampung, PLA Pro­ vinsi DKI Jakarta, PLA
Kabupaten Kuningan, PLA Kota Surakarta, PLA Kabupaten Sragen, PLA
D.I. Yogyakarta, PLA Kota Malang, PLA Kota Blitar, PLA Kota Denpasar,
PLA Provinsi Nusa Tenggara Timur, PLA Kabupaten Singkawang, PLA
Kota Palangkaraya, PLA Kota Sa­marinda, PLA Kota Bontang, PLA Provinsi
Kalimantan Selatan, PLA Kota Gorontalo (2014), dan terdapat penambahan
Pusat Layanan Au­tis yaitu di PLA Sidoarjo (Jawa Timur),
Terdapat tiga jenis layanan yang disediakan oleh PLA (Mudjito, dkk.,
2014), yaitu:
1. Layanan intervensi terpadu:
a. Layanan intervensi psikologis dan sosial;
b. Layanan intervensi medis.
E

2. Layanan pendidikan transisi, bertujuan untuk mengenali potensi


PL

kemampuan anak, dan membekali anak dengan kemampuan-ke­


mampuan dasar yang diperlukan untuk menjalani proses pendi­dikan
M

lebih lanjut pada jenjang dan/atau lembaga pendidikan formal yang


SA

sesuai dengan perkembangan terbaiknya. Tujuan akhirnya adalah


untuk menyalurkan dan/atau menempatkan anak autis pada lembaga
pendidikan yang tepat supaya dapat me­ ngembangkan potensinya
secara optimal.
a. Layanan pendidikan pra akademik;
b. Layanan penempatan pada sekolah/lembaga formal maupun non­
formal.
3. Layanan pendukung
a. Layanan pendidikan dan pelatihan bagi keluarga, sekolah, dan
masyarakat;
b. Layanan konsultasi dan informasi;
c. Layanan identifikasi dan asesmen;
d. Layanan penelitian dan pengembangan.

Kebutuhan ruang dan fasilitas Pusat Layanan Autis terdiri dari fasilitas
utama dan fasilitas penunjang. Pada fasilitas utama didapa­ti ruang terapi
wicara, ruang terapi perilaku, ruang terapi okupasi, ruang terapi visual

215
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...

dan snoozelen, ruang terapi fisik, ruang terapist, ruang tenang, ruang
assessmen dan konsultasi, ruang bina diri, ruang kelas transisi, ruang sensor
integrasi, ruang bermain. Adapun pada fasilitas penunjang didapati ruang
tunggu, ruang resepsionis, ruang pantry, ruang toilet, ruang serbaguna,
ruang tamu, ruang dapur, ruang ibadah, ruang peralatan, ruang gudang,
ruang kepala, ruang staf, ruang pengembangan, kolam renang, ramp.

REFERENSI
Berit, J. & Skjorten, M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus: Se­buah
Pengantar. Bandung: Unipub Forlag.
Direktorat PLB. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Ter­ padu/
Inklusi. Jakarta: Diren PLB.
Elisa, S., & Wrastasri, A.T. (2013). Sikap guru terhadap inklusi ditinjau
dari faktor pembentuk sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pen­
didikan, 2(1), 1-10.
Frederickson, N., & Lambert, N. (2015). Inclusion for children with spe­
cial educational needs: How can psychology help?. In Educa­tional Psy­
E

chology (pp. 124-149). Routledge.


PL

Ginanjar. A.S. (2008). Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menja­di Orang
Tua Istimewa. Jakarta: Dian Rakyat.
M

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. (2016). Gam­baran Se­


SA

kolah Inklusif di Indonesia (Tinjauan Sekolah Menengah Pertama) Tahun


2016. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendi­dikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan Nasional, (Online), (http://dikdas.kemdik­nas.go.
id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%
20Tahun%202009.pdf).
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3). Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Mudjito, AK., Harizal., Supena, A., & Ramadhan, A. (2014). Layanan Pen­
di­dikan Transisi Anak Autis. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khu­sus
dan Layanan Khusus. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemen­
terian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembangunan Pusat Layanan Autis di Indonesia. (2014). Pembangun­an
Pusat Layanan Autis di indonesia. Direktorat Pembinaan Pen­didikan
Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar. Direk­to­rat Jenderal
Pen­didikan Dasar. Kementerian Pendidikan dan Ke­bu­dayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70

216
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN

Tahun 2009. Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang me­miliki


kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Jakarta.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011. Kebijakan pengem­
bangan kabupaten/kota layak anak. Jakarta.
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Ke­cerdasan dan/
atau Bakat Istimewa.
Sheehy, K., & Budiyanto. (2014). Teachers’ attitudes to signing for children
with severe learning disabilities in Indonesia. Interna­tional Journal of
Inclusive Education, 75(11), 1143-1161. https://doi.org/10.1080/136
03116.2013.879216.
Supena, A. (2012). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: 28 Jaya
Printing dan Publisher.
Suyanto & Mudjito, A.K. (2012). Masa Depan Pendidikan Inklusif. Ja­karta:
Kemendiknas.
Wijayaptri, N.W.P. (2011). Implementasi Pendidikan Inklusi dalam Me­
E

ning­katkan Kemampuan Membaca Anak Autistik. (Skripsi tidak dipu­


PL

blikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.


Zaitun, M.A. (2018). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
M
SA

217
SA
M
PL
E
TENTANG PENULIS

Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog lahir di Medan pada tanggal


9 Desember 1982. Memperoleh gelar Sarjana (S-1) dan Profesi Psikologi
(S-2) pada Fakultas Psikologi di Universitas Sumatra Utara. Selama tiga
tahun tiga bulan, penulis telah meram­pungkan studi Doktoral (S-3) di
E

Fakultas Psikologi Univer­ sitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun


PL

2009 telah ber­gabung sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sumatra Utara Medan. Selain mengajar, penulis juga sering
M

menjadi pemateri pada berbagai kegiatan parenting di berbagai sekolah


SA

dan madrasah.
Sejumlah karya ilmiah, baik jurnal terakreditasi nasional maupun
jurnal internasional bereputasi telah dipublikasikan, dapat diakses me­
la­­
lui http://orcid.org dengan ID 0000-0002-6223-8546 atau me­ la­
lui
googescholar. Selain pro­ duktif meng­hasilkan karya ilmiah, pe­nu­
lis ju­
ga aktif seba­ gai reviewer pada beberapa Jurnal Nasional Ter­ akreditasi
SINTA Indonesia, dan sebagai editor buku. Sejumlah karya ilmiah te­
lah dipublikasikan dalam bentuk buku berbasis penelitian, jurnal pe­
nelitian, book chapter, dan buku referensi yang sudah diterbitkan adalah
Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an ten­tang Psikologi (Kencana-
PrenadaMedia Group Jakarta), Psikologi Kecer­das­an Anak (Perdana Pub­
lishing Medan), Psikologi Pendidikan dan Per­ masalahan Umum Peserta
Didik (Perdana Publishing Medan), Buku Pan­ duan Bimbingan Konseling
“Pendidikan Madrasah pada Pandemi: Panduan Guru BK Melaksanakan
Pelayanan Melalui Online” (CV Pusdikra Mit­ra Jaya, Medan), dan Islam
Rahmatan Lil Alamin (CV ManHaji Medan).
SA
M
PL
E
TENTANG EDITOR

A de Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons., lahir di Pematangsiantar,


1 Maret 1991. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Sam­
sul Rivai Harahap, S.Pd.I dan Anari Salmiah, S.Pd.AUD. Menyelesaikan
Sarjana (S-1) pada tahun 2013 di UMSU, Magister (S-2) pada tahun 2017
E

dan Pendidikan Profesi Konselor (PPK) pada tahun 2016 di UNP. Mulai
PL

bertugas tahun 2019 sebagai Dosen di Universitas Islam Negeri Sumatra


M

Utara (UINSU) Medan.


Karya ilmiah yang sudah diterbitkan di Jurnal Nasional dan Pro­si­ding
SA

di antaranya adalah “Analisis Tingkat Stres Akademik Pada Mahasis­wa


Selama Pembelajaran Jarak Jauh Dimasa Covid-19”, “Im­pli­kasi Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam mencegah Peri­la­ku Body Sha­ming”, “Co­
vid-19: Self Regulated Learning Mahasiswa”, “Hu­bungan Self Efficacy dan
Dukungan Sosial Orang Tua dengan Self Regu­lated Learning Siswa”, dan
“Character Building”.
SA
M
PL
E

Anda mungkin juga menyukai