KLIMATOLOGI
Disusun oleh:
Kelompok IVC
i
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui,
Fasya Ananda
Septrial Arafat S.P.,M.P.
NIM. 23020221140101
NIP. 19900209 202204 1 001
RINGKASAN
Materi yang digunakan berupa alat dan bahan penunjang praktikum. Bahan
yang digunakan adalah awan, suhu, kelembaban, data kecepatan angin, serta lokasi
pengamatan. Alat yang digunakan adalah alat tulis, alat - alat klimatologi, dan kamera,
dan thermohigrograf digital. Metode yang digunakan pada acara alat-alat klimatologi
adalah dengan mencatat penjelasan pemaparan dari pegawai BMKG, pengamatan alat-
alat, menganalisis fungsi serta prinsip kerja dan mendokumentasikan alat dengan
kamera. Metode yang digunakan pada acara pengamatan perawanan yaitu mengamati
awan, suhu dan kelembaban pada pagi, siang dan sore sesuai dengan tempat yang telah
ditentukan.
Hasil praktikum Klimatologi pada acara Alat - alat klimatologi adalah gunn-
bellani, actinograph bimetal, solarimeter, automatic solar radiation system, campbell
stoke, psikometer standar, thermohigrograf, thermometer tanah bervegetasi,
thermometer tanah gundul, barometer, barograf, anemometer, wind force, ombrometer
observatorium, ombrometer tipe hellmann, automatic rain sampler, automatic rain
gauge, open pan evaporimeter, high volume sampler.Hasil praktikum Klimatologi pada
acara Pengamatan Perawanan adalah jenis awan dapat mempengaruhi indikator cuaca dan iklim
yang terjadi pada lokasi pengamatan. Berdasarkan data pengamatan dapat diketahui bahwa, jenis
awan yang sering muncul pada pengamatan perawaanan minggu I adalah jenis awan cirrus.
Rata-rata suhu dan kelembaban di lingkungan pengamatan adalah 31,9oC dan 47,4%, dan jenis
awan yang lebih sering muncul pada pengamatan perawanan minggu II adalah awan cumulus
dengan rata-rata suhu dan kelembaban 32,9oC dan 47,4%. Suhu pada siklus pengamatan awan
ini cenderung rendah dan kelembaban cenderung tinggi, menunjukkan bahwa cuaca cenderung
basah.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Klimatologi acara Alat-alat Klimatologi dan Pengamatan Perawanan ini
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Septrial Arafat S.P.,M.P selaku dosen mata kuliah
klimatologi, serta Fasya Ananda selaku asisten pembimbing klimatologi, yang
telah membimbing penulis selama praktikum berlangsung dan dalam pembuatan
Laporan Praktikum Klimatologi, serta kepada semua pihak yang telah mendukung
dan membantu sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan laporan ini masih dari
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan
dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan
laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
2.5.2. Barograf............................................................................................. 9
4.5.2 Barograf........................................................................................... 31
Nomor Halaman
Nomor Halaman
1. Gunn-Bellani............................................................................... 17
3. Solarimeter.................................................................................. 21
5. Campbell Stokes.......................................................................... 24
7. Termohigograf ............................................................................ 27
10. Barometer.................................................................................... 32
12. Anemometer................................................................................ 35
Nomor Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Gunn-Bellani
2.1.3. Solarimeter
Automatic solar radiation system adalah alat klimatologi yang digunakan untuk
mengukur radiasi matahari secara otomatis. Automatic solar radiation system salah satu
alat pengukur radiasi matahari yang masuk ke atmosfer yag berguna untuk pemantauan
cuaca luar angkasa (Qu et al., 2013). Automatic solar radiation memiliki 3 bagian utama
yakni sebagai berikut pyranometer untuk pengukur radiasi matahari, panel surya untuk
pengolah energi sel surya, dan solar tracker untuk menghitung besarnya suatu radiasi
(Normanyo dan Awingot, 2016).
Prinsip kerja Automatic solar radiation system adalah menangkap radiasi surya
yang dihubungkan dengan sistem. Cara kerja Automatic solar radiation menggunakan
jaringan network yang terhubung dengan alat di lapangan dengan menangkap radiasi
matahari untuk dihitung dan sebagian ditangkap oleh sel surya sebagai sebuah sumber
energi (Rahma et al., 2013). Keuntungan alat ini yakni lebih praktis dan hemat energi,
sedangkan kekurangan yaitu harganya yang terlalu tinggi tiap unitnya. Automatic solar
radiation lebih praktis karena posisinya yang tetap atau tidak mengikuti pergerakan
matahari daa memiliki efisiensi tertinggi dibanding alat lain, namun alat ini sulit
diperoleh sehingga memiliki harga yang jauh lebih mahal (Hamid et al., 2017).
2.3.2 Thermohigrograf
Thermometer tanah gundul merupakan salah satu alat BMKG untuk mengukur
suhu pada tanah yang tidak bervegetasi. Tanah yang tidak ditumbuh vegetasi atau tidak
berumput dapat diukur suhu dan kelembapannya menggunakan
Thermometer ini (Lestariningsih et al., 2018). ). Kedalaman tanah yang diukur
menggunakan Thermometer tanah gundul yaitu 50 sampai 100 cm. Thermometer tanah
gundul alat yangberfungsi mengukur suhu di dalam tanah agar dapat diketahui apakah
tanah bagian dalam masih mengandung air atau tidak(Widyaningsih et al., 2015).
Prinsip kerja dari Thermometer tanah gundul tidak jauh berbeda dengan
Thermometer tanah bervegetasi. Cara mengukur suhu tanah gundul dilakukan dengan
menggunakan Thermometer tanah gundul yang biasanya digunakan dengan cara, alat
diletakkan di atas permukaan tanah gundul, panas yang diserap tanah otomatis akan
terukur (Wibowo dan Slamet, 2017). Bagian sensor pada Thermometer memiliki
peranan yang sangat penting karena sifat sensitifitas dan akurasi menjadi prioritas
utama pada pengukuran. Prinsip kerja Thermometer tanah gundul sama seperti tanah
bervegetasi dengan menggunakan skala derajat celcius pada pengukurannya. Suhu udara
pada tanah gundul memiliki kesebandingan dengan kolom air raksa pada alat
Thermometer tanah gandul (Maharani et al., 2013).
2.5.1. Barometer
Barometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tekanan udara yang
memiliki satuan yang dinyatakan hetorpacal. Satuan yang digunakan untuk mengukur
besarnya tekanan udara adalah hetorpacal (Anshari, 2013). Terdapat beberapa macam
barometer diantaranya Barometer raksa, barometer air, serta barometer aneroid.
Barometer terdiri atas pipa gelas panjang yang sudah diisi dengan raksa. Pipa gelas pada
Barometer air raksa diisi dengan raksa lalu dibalik dan dimasukkan ke dalam bejana
berisi raksa pula (Indarto, 2015).
Cara mengoprasikan alat barometer dengan meletakkan barometer di lapangan
maka secara otomatis barometer akan bekerja. Kemudian Barometer air raksa bekerja
dengan sistem menyeimbangkan berat merkuri yang terdapat di
dalam tabung terhadap tekanan atmosfer (Sumarmo, 2016). Barometer air raksa
memiliki kelebihan dalam ukuran, hasil data diperoleh lebih efisien, dan efektifitas
dalam penggunaannya. Kelemahan Barometer ini yaitu pengguna akan mengalami
kesulitan dalam memperbaikinya jika terjadi kerusakan disebabkan karena tidak
diketahui rangkaian dasar pembangun sistemnya dan Barometer ini memiliki harga yang
cukup mahal (Yulkifli et al., 2014).
2.5.2. Barograf
2.6.1. Anemometer
Wind Force adalah sebuah alat yang digunakan dalam pengamatan klimatologi
untuk mengukur kecepatan dan tekanan angin sesaat sementara serta menunjukkan ke
arah angin itu berhembus. Kecepatan angin sesaat dapat dilihat dari gerakan lempeng
logam. Semakin cepat angin berhembus maka semakin cepat Wind Force itu akan
bergerak (As’ari, 2013). Alat ini memiliki tiga bagian utama yaitu lembar logam
indikator kecepatan, skala kecepatan dan penentu arah utara. Skala
kecepatannya menunjukkan besarnya penyimpanan lembar logam yang mengindikasikan
terjadinya kecepatan angin (Premadi dan Putra, 2014).
Prinsip kerja alat ini yaitu lempeng logam yang akan bergerak ketika angin
berhembus yang dapat menunjukkan kecepatan angin sesaat. Kecepatan angin sesaat dapat
dilihat dari gerakan lempeng logam, dimana semakin cepat angin berhembus maka
gerakan wind force sendiri akan semakin cepat (Azwar dan Kholiq, 2013). Wind force
yang terembus angin akan bergerak dan menunjuk arah angin datang seperti halnya panah
angin pada anemometer. Wind force akan bergerak menunjuk arah datangnya angin saat
angin berhembus (Luqman, 2011). Wind force bekerja dengan cara memutar ketiga
lempeng mangkok logam saat terkena angin, serta pada panah angin akan menunjuk ke
arah datangnya angin saat bagian lempeng logam belakangnya tertiup angin karena bagian
tersebut memiliki luas permukaan yang lebih besar daripada bagian ujung panah. Wind
force menggunakan plakat atau lempeng logam yang berfungsi sebagai indikator arah
gerakan angin dengan petunjuk arah utara dan memiliki tiang penyangga sehingga dapat
diletakkan pada tempat yang tinggi (Gunadhi et al, 2019).
Automatic Rain Sampler adalah alat yang digunakan untuk mengambil sampel
air hujan dengan menggunakan metode wet and dry dopsition dengan bantuan Acid
Precipitation Sampler (APS). Automatic Rain Sampler yaitu alat yang berfungsi sebagai
penakar hujan untuk mengambil sampel air hujan yang dianalisis konsentrasi kimia
seperti pH (Bunganaen et al., 2013). Prinsip kerja Automatic Rain Sampler yaitu jika
terkena sensor saat hujan maka akan membuka tutup sebagai tempat penampungan air.
Sistem kerja Automatic Rain Sampler adalah ketika terjadi hujan maka sensor akan
memberikan trigger kepada sistem kontrol untuk membuka tutup tempat
penampungan air yang digerakkan oleh
motor listrik, selama hujan penutup tersebut tetap terbuka kemudian setelah hujan
berhenti maka penutup tersebut akan bergerak ke posisi semula (Nugroho, 2012).
Komponen-komponen pada alat Automatic Rain Sampler yang didalamnya
terdapat bebapa bagian yang akan digunakan untuk menentukan curah hujan dan nilai
pH air hujan. Susunan dari komponen Automatic Rain Sampler yang didalamnya
terdapat fitting, wiring, pulnger coil, board, computer, lid release, opyical sensors,
distribution valve, collection funnel, sample bottle, measuring valve, filter atau vent,
battery tube (Muliantara et al., 2015). Automatic Rain Sampler bekerja dengan cara
otomatis sehingga meminimalisir kesalahan pada manusia dan lebih efisien dengan
kekurangan pada alat Automatic Rain Sampler dalam penggunaannya. Kelebihan alat ini
dapat menambah akurasi dan presisi dalam pengukuran karena mengurangi kesalahan
manusia saat mengukur sampel dan kekurangan Automatic Rain Sampler harga mahal
dan tidak terlalu mengurangi evaporasi sebelum pengambilan sampel (Michelsen et al.,
2019).
Open Pan Evaporimeter yaitu alat BMKG untuk mencatat jumlah penguapan
yang terjadi selama 24 jam. Open Pan Evaporimeter merupakan suatu alat yang
berfungsi untuk mengukur suatu evaporasi atau penguapan yang dilengkapi dengan
thermometer apung dan cup counter anemometer (Siswanti., 2011). Open Pan
Evaporimeter memiliki bentuk yang berbeda di setiap tempat dan dibedakan menjadi
dua bentuk umum, yaitu United State Class A dengan bentuk seperti panci Evaporation
Pan dan Sunken Colorado Pan dengan bentuk kubus tanpa penutup di atasnya memiliki
bentuk yang berbeda dan sedikit perbedaan dalam metode namun memiliki fungsi yang
sama yaitu meniliai tingkat evaporasi air (Effendi et al., 2015).
Prinsip kerja Open Pan Evaporimeter adalah dengan mengamati perubahan
ketinggian air pada alat tersebut, dan dihitung dengan koefisien panci berdasarkan
ketentuan dari FAO, kelembaban udara, penempatan panci, dan kecepatan angin. Nilai
evaporasi panci dihitung dengan mengamati perubahan tinggi muka air pada panci
tersebut, sedangkan nilai koefisien panci (kpan) didapat dari FAO Irrigation and
Drainage Paper No. 56 dengan menduganya melalui daerah penempatan panci,
kelembaban udara, dan kecepatan angin (Adha et al., 2016). Open Pan Evaporimeter
memiliki beberapa alat didalamnya. Bagian- bagian alat yang ada di dalam Open Pan
Evaporimeter yaitu, hook gause, still well, cup counter anemometer, floating
thermometer, dan penakar air hujan jenis obs (Bangunaen, 2013).
2.9. Pengukur Tingkat Kualitas Udara
3.1. Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum acara ini terdiri dari komponen alat
dan bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengenalan alat-alat Klimatologi
yaitu alat-alat Klimatologi. Alat yang digunakan dalam praktikum pengenalan alat-alat
klimatologi yaitu alat tulis berfungsi sebagai alat dan media untuk mencatat hasil
pengamatan dan kamera berfungsi sebagai pengambilangambar dari objek yang diamati.
3.2. Metode
4.1.1. Gun-Bellani
Ilustrasi 1. Gunn-Bellani
4.1.3. Solarimeter
Ilustrasi 3. Solarimeter
Ilustrasi 7. Thermohigrograf
Thermometer tanah gundul merupakan alat pengukur suhu tanah yang tidak
bervegetasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Lestariningsih et al. (2018) bahwa tanah
yang tidak ditumbuh vegetasi dapat diukur suhu dan kelembapannya menggunakan
Thermometer tanah gundul. Kedalaman tanah yang biasa diukur ialah pada kedalaman 5
cm, 20 cm, 50 cm, dan 100 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Widyaningsih et al.
(2015) bahwa pengukuran suhu pada kedalaman tanah tertentu berfungsi untuk
mengetahui apakah bagian tanah tersebut masih mengandung air atau tidak.
Thermometer tanah gundul memiliki prinsip kerja dengan melalui proses
pemuaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo dan Slamet (2017) bahwa
penggunaan thermometer tanah gundul dengan meletakkan di atas permukaan tanah yang
gundul, kemudian panas akan diserap secara otomatis dan akan terukur. Suhu udara
pada tanah gundul memiki kesebandingan dengan kolom air raksa pada alat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Maharani et al. (2013) bahwa suhu udara pada tanah gundul
berbanding lurus dengan kolom air raksa pada alat.
4.5. Pengukur Tekanan Udara
4.5.1 Barometer
4.5.2 Barograf
4.6.1 Anemometer
5.1. Simpulan
5.2. Saran
Adha, F., Manik, T. K., & Rosadi, R. A. B. 2016. Evaluasi Penggunaan Lysimeter
Untuk Menduga Evapotranspirasi Standar Dan Evapotranspirasi Tanaman
Kedelai (Glycine Max (L) Merril). Jurnal Teknotan. 10(2) : 71-79.
Aprianti, D., A. Ardhitama dan Y. Fitri. 2015. Interpretasi citra radar (radio
detection and ranging) doppler BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika) Pekanbaru dalam memprediksi curah hujan di Kota
Pekanbaru. Jurnal Photon. 5(2) : 29-36.
Aprianti, D., Hermawati, O. Ombasta, dan Z. Mediawaty. 2010. High Volume Air
Sampler dengan Metode Gavimetri. Jakarta : Universitas Indonesia.
Budianto. M.B., Saidah. H., dan Hanifah. L. 2017. Perubahan Iklim dan
Pergeseran Awal Tanam di Pulau Lombok. J. Spektrum Sipi. 1(2) : 190-
201.
Deddi. 2010. Agroklimatologi alat ukur radiasi matahari dan suhu, Universitas
Mataram, Makassar. (Skripsi).
Derek. O., Elia. K.A., Novia. M.T. 2016. Rancang Bangun Alat Monitoring
Kecepatan Angin dengan Koneksi Wireless Menggunakan Arduino Uno. J.
Teknik Elektro dan Komputer. 5(4) : 1-7.
Dewi. S.R., Izza. N., Agustiningrum. D.A., Indriani. D.W., Sugiarto. Y.,
Maharani. D.M., dan Yulianingsih. R. 2014. Pengaruh Suhu Pemasakan
Nira dan Kecepatan Pengadukan Terhadap Kualitas Gula Merah Tebu. J.
Teknologi Pertanian. 15(3) : 149-158.
Djumat, Juni La. 2010. Pengaruh serbuk tiga jenis kayu terhadap pertumbuhan
tiga jenis jamur konsumsi (aricularia auricula (hook). underw)., pleurotus
ostreatus (jacq.) kumm dan letinus eedodes (berk.) sing). Jurnal Mipa,
Kependidikan, Dan Terapan. 2(1) : 172-177.
Ferawaty, dan J. Kusuma. 2019. Pengembangan alat ukur suhu udara digitas
berbasis mikrokontroler Atmegaa32 menggunakan sensor SHT75.
Journal Of Informatics Engineerin., 1(1) : 16-25.
Kendarto. D.R., Fauziah. A., Nurpilihan. B., Sophia. D.N.P., dan Totok. H. 2018.
Kajian Penambahan Guar Gum dan Benih Rumpur Bermuda dalam
Aplikasi Hydroseeding terhadap Laju Erosi. J. Rekayasa Lingkungan.
11(1) : 25-30.
Lestariningsih. N., Fitri. H., dan Salasiah. 2018. Karakteristik Tanah Gambut dan
Keanekaragaman Tumbuhan Tinggi di Taman Nasional Sebangau
Kalimantan Tengah. J. Tadris Biologis. 9(1) : 114-139.
Lutfiyana., Noor. H., dan Agus. S. 2017. Rancang Bangun Alat Ukur Suhu Tanah,
Kelembapan Tanah, dan Resistansi. J. Teknik Elektro. 9(2) : 80-86.
Newsom, G. H. 2014. Byrd’s dead reckoning on his 1926 North Pole flight. Polar
Record Journal. 51(260) : 560-565.
Normanyo, E., dan A. R. Awingot. 2016. A solar radiation tracker for solar
energyoptimisation. Current Journal of Applied Science and Technology.
2(1) : 1–12.
Nuraini. P., dan Ali. M. 2014. Studi tentang Komparasi Data Tekanan Udara pada
Barometer Digital dan Automatic Weatjer System (AWS) di Stasiun
Meteorologi Hasanuddin Makassar. J. Sains dan Pendidikan. 8(3) : 297-
302.
Ramadhani. R., Komariah., Sumani., dan Dwi. P.A. 2018. Implementasi Sekolah
Lapang Iklim dan Dosis Pupuk Terhadap Karakter Kimia Tanah Serta
Hasil Jagung. J. Agrosains. 20(2) : 50-55.
Prabowo, R., A. Muid, dan R. Adriat. 2018. Rancang Bangun Alat Pengukur
Kecepatan Angin Berbasis Mikrokontroler Atmega 328p. J. Prisma
Fisika. 6(2) : 94 – 100.
Prasasti, I., Sambodo, K. A., & Carolita, I. (2010). Pengkajian pemanfaatan data
terra-modis untuk ekstraksi data suhu permukaan lahan (spl) berdasarkan
beberapa algoritma. J. Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra
Digital. 4(1) : 1-8.
Prayogo, B. 2019. Rancang Bangun Prototipe Sistem Monitoring Mini Stasiun
Cuaca Pada Bmkg Provinsi Lampung. (Skripsi)
Pujiastuti, Asih. 2019. The analysis of comparison results using erosion and
opening on the pias card segmentation process (case study : st.
Barongan). J. Klimatologi. 11(1) : 43 –53.
Putera, A. P., dan K. L. Toruan. 2016. Rancang bangun alat pengukur suhu,
kelembaban dan tekanan udara portable berbasis mikrokontroler
ATMEGA16. J. Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 3(2) : 42-50.
Putro, R. H., Jumino. 2019. Upaya Pelestarian Arsip Audio Visual Dalam
Penyelamatan Nilai Guna Arsip Sejarah di Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. J. Ilmu Perpustakaan. 1(2) : 1 – 11.
Qu, M., F. Y. Shih, J. Jing, dan H. Wang. (2013). Automatic solar flare detection
using MLP, RBF, and SVM. Journal Solar Physics. 217(1) : 157–172.
Sari, M. B., Yulkifli dan Z. Kamus. 2015. Sistem pengukuran intensitas dan durasi
penyinaran matahari realtime pc berbasis ldr dan motor stepper. Jurnal
Oto.Ktrl.Inst. 7 (1) : 37 - 52.
Setiono. D.A. 2016. Studi Pengaruh Kandungan Air Tanah Terhadap Tahanan
Jenis Tanah Lempung (clay). J. Ilmiah Teknik Elektro. 2(1) : 1-9.
Syah, H., R. Agustina, dan R. Moulana. (2016). Rancang Bangun Pengering Surya
Tipe Bak Untuk Biji Kopi. J. Rona Teknik Pertania. 9(1) : 25– 39.
Syahbeni, M., Budiman, A., Syelly, R., Laksmana, I., dan Hendra. 2018. Rancang
bangun pendeteksi curah hujan menggunakan Tipping Bucket Rain
Sensor dan Arduino Uno. J. Agroteknika. 1(2) : 51-62.
Wahdianty, R., I. Ridwan dan Nurlina. 2016. Verifikasi data curah hujan dari
satelit TRMM dengan pengamatan curah hujan BMKG di Provinsi
Kalimantan Selatan. J. Fisika FLUX. 13(2) : 139-147.
Yuwono, A. S. 2012. Rancang Bangun Dan Uji Kinerja High Volume Air
Sampler Untuk Mengukur Total Suspended Particulate. J. Purifikasi.
13(1) : 65 – 75.
Wibowo. C.. dam Slamet. S.A. 2017. Keanekaragaman Makrofauna Tanah pada
Berbagai Tipe Tegakan di Areal Bekas Tambang Silika di Holcim
Educational Forest, Sukabumi, Jawa Barat. J. Silvikultural Tropika 8(1)
: 26-34.
PENGAMATAN PERAWANAN
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Sekitar tahun 1894, para ilmuwan dari Komisi Cuaca Internasional telah
menyetujui untuk mengelompokkan awan menjadi empat kelompok, diantaranya
kelompok awan tinggi, awan sedang, awan rendah, dan awan dengan fase
perkembangan vertical. Hal ini akan sangat berguna untuk mendeteksi cuaca yng
akan terjadi kedepannya, mengingat awan memiliki hubungan yang erat dengan
pergantian cuaca. Kelompok jenis awan yang menempati urutan pertama adalah
kelompok jenis awan tinggi. Dikatakan sebagai jenis awan tinggi, sebab sebuah
awan yang dikatakan sebagai kelompok awan tinggi apabila awan itu terbentuk
pada ketinggian lebih dari 20.000 kaki diatas permukaan laut. Dalam kelompok
awan tinggi itu sendiri, masih dibagi lagi menjadi tiga jenis yang berbeda
(Fadholi, 2013). Kelompok awan tersebut diantaranya awan tinggi yang berada
pada ketinggian lebih dari 6000 meter, awan sedang yang berada pada ketinggian
2000-6000 meter, dan awan rendah yang berada pada ketinggian 2000 meter.
Awan tinggi terdiri dari Awan Cirrus, Awan Cirrocumulus, Awan Cirrostratus.
Awan sedang terdiri dari Awan Alto cumulus dan Awan Alto stratus. Sedangkan
awan rendah terdiri dari Awan Strato cumulus, Awan Stratus, Awan Nimbostratus
(Dewi, 2015).
Altocumulus Altostartus
Sumber : (Houze, 2014)
Awan juga merupakan faktor terpenting dalam menentukan keadaan cuaca dan
iklim. Perubahan cuaca dan iklim pada suatu wilayah dapat dilihat dari bentuk awan.
Awan menajdi indikator perkiraan perubahan cuaca dan iklim sebab awan merupakan
elemen yang dapat menyusun cuaca dan iklim pada suatu wilayah tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu (Suryanto dan Luthfian, 2019).Perubahan bentuk dan ketebalan
pada awan dapat merubah keadaan cuaca dan iklim suatu wilayah. Ketebalan puncak
dan perubahan bentuk awan berpengaruh terhadap curah hujan karena semakin tebal
awan yang terbentuk maka suhu menjadi semakin dingin sehingga akan menimbulkan
turunnya hujan (Niyati
et al., 2018). Awan juga memiliki hubungan dengan curah hujan yang turun. Semakin
besar curah hujan maka semakin rendah suhu serta semakin gelap warna awan (Habibie
et al., 2015).
Cuaca dan Iklim dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembapan dan
kecepatan angin. Unsur-unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim di suatu
daerah atau wilayah yaitu suhu, angin, tekanan udara, kelembapan udara, awan, curah
hujan, dan jarak pandang (Asynuzar, 2014). Pengaruh awan terhadap suhu yaitu dapat
mendukung proses pertumbuhan awan. Awan sangat berpengaruh terhadap suhu, dari
profil suhu dapat diketahui dinamika serta dapat mendukung proses pembentukan dan
pertumbuhan awan yang terjadi (Syaifullah, 2015). Kelembapan sangat dibutuhkan
dalam proses pembentukan awan yaitu semakin tinggi kelembapan udara makan semakin
baik pula kondisi atmosfer untuk mendukung pertumbuhan awan. Kelembapan udara
merupakan uap air yang berada di dalam atmosfer yang sangat berkaitan dengan suhu
udara (Oktavianingsih et al., 2018).
Awan terbentuk jika volume udara sampai dibawah temperature titik dinginnya.
Awan terbentuk jika volume udara lembap mengalami pendinginan sampai dibawah
temperatur titik embunnya (Kristanto et al., 2017). Awan dapat terbentuk jika terjadi
proses kondensasi uap air di atas permukaan bumi. Proses terbentuknya awan
merupakan proses kondensasi, dimana kondenssai adalah uap air akan naik karena
radiasi matahari dan akan terkondensasi di udara (Loupatty, 2015). Proses terjadinya
awan juga dapat disebabkan oleh proses evaporasi air yang mengalami kondensasi dan
juga partikel air yang dibekukan. Proses terbentuknya awan yang pertama yaitu proses
evaporasi kemudian uap air yang terangkat ke langit mengalami kondensasi dan yang
terakhir terjadi pembentuakan awan karena partikel-partikel air yang ada dilangit
dibekukan (Winarmo et al., 2017).
Awan mengalami siklus yang terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap cumulus,
tahap matang, dan tahap disipasi. Siklus awan dapat digambarkan melalui beberapa
tahap diantaranya tahap cumulus, tahap matang, dan tahap disipasi atau tahap
jatuhnya sebagai hujan (Anggoro dan Pramujo, 2017). Hubungan suhu dan kelembapan
sangat berpengaruh antara satu sama lainnya. Suhu dan kelembapan memiliki
perbandingan terbalik yaitu apabila suhu tinggi maka kelembapan rendah dan sebaliknya
jika suhu rendah maka kelembapan tinggi (Miftahuddin, 2018).
Awan muncul pada waktu yang berbeda-beda dan biasanya bentuknya juga
berbeda. Awan cirrus merupakan salah satu contoh awan tinggi yang memiliki
ketinggian yang berkisar antara 6 km sampai 18 km yang biasanya muncul pada waktu
pagi hari (Avia dan Haryanto, 2013). Pada waktu siang hari biasanya awan yang muncul
yaitu awan cumulus. Awan cumulus adalah awan tebal dengan puncak-puncak yang
tinggi, terbentuk di siang hari karena udara naik yang berbentuk seperti sebuah kubah
(Nasir et al., 2017).
BAB III
3.1. Materi
3.2. Metode
1 53,3 30,6
Berdasarkan pengelompokan data pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa rata-
rata suhu dan kelembapan minggu ke-1 di lingkungan pengamatan adalah 31,9°C dan
47,4%, dan jenis awan yang paling sering muncul dalam pengamatan satu minggu
adalah awan jenis cirrus. Berdasarkan analisis terhadap pengaruh tipe awan terhadap
tingkat suhu dan kelembapan, dapat dikatakan bahwa jenis awan cirrus yang paling
sering muncul pada pengamatan satu minggu mempengaruhi rata-rata suhu dan
kelembaban yang dicatat. Awan cirrus ini ciri-cirinya terlihat tipis, pendek, dan halus
sehingga awan ini akan penampakan langit yang terlihat cerah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Dewi (2014) bahwa Awan cirrus memiliki ciri-ciri antara lain optik yang kecil,
komposisi yang terkandung yang tebal, serta penanda cuaca cerah. Awan cirrus
ditiupkan dari angin timur dan berwarna putih dengan pinggiran tidak jelas. Hal tersebut
didukung oleh pendapat Andria et al. (2017) yang menyatakan bahwa awan cirrus
muncul pada ketinggian 18000 – 40000 kaki dari permukaan tanah.
Awan cirrus tidak mendatangkan hujan karena termasuk awan tinggi, sehingga
air hujan yang turun dari awan cirrus tidak sampai kepermukaan bumi
karena air tersebut sudah terlebih dahulu menguap sebelum mencapai permukaan bumi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nugroho (2021) yang menyatakan bahwa awan
cirrus ini halus dengan struktur seperti serat dan melengkung di langit serta bukan
tipe awan yang menimbulkan hujan. Awan cirrus berperan penting pada proses dehidrasi
di lapisan bumi bagian stratosfer. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Saipul dan Sri
(2012) bahwa awan cirrus terletak dilapisan stratosfer atas.
41 32,6
55,3 34,1
10
53,7 31,8
12
43,7 32,8
13
50,7 32,6
14
36,3 34,6
Cirrostratus Nimbostratus Nimbostratus
Rata-rata minggu ke-2 47,4 32,9
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2022.
Berdasarkan pengelompokkan data pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa
rata rata suhu dan kelembaban minggu kedua di lingkungan pengamatan, yaitu awan
yang sering muncul adalah awan Cumulus. Awan Cumulus merupakan awan yang
berbentuk kapuk putih dengan pertumbuhan ke arah lebih ke vertikal. Hal ini sesuai
dengan pendapat Damanik et al. (2016) yang menyatakan bahwa Awan Cumulus adalah
Awan dengan pertumbuhan vertikal dan berbentuk kapuk putih yang melayang di udara
dan berkelompok – kelompok sendiri. Awan Cumulus (Cu) adalah awan tebal dengan
puncak yang tinggi, terbentuk di siang hari. Bayangan yang berwarna kelabu terbentuk
apabila berhadapan dengan matahari terlihat terang dan memperoleh sinar hanya sebelah
saja. Awan cumulus dihasilkan akibat dari pemanasan radiasi surya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pradana (2021) yang
menyatakan bahwa awan cumulus adalah awan yang dihasilkan oleh proses konveksi
akibat pemanasan radiasi surya.
Berdasarkan pengamatan, jenis awan yang paling sering muncul adalah awan
Cumulus yang paling sering muncul pada minggu ke II dan berpengaruh pada rata-rata
suhu dan kelembaban. Terbentuknya awan Cumulus pada lapisan angin 850 mb. Hal ini
sesuai dengan pendapat Handayani (2016) yang menyatakan bahwa Angin pada lapisan
850 mb atau setara dengan 1,4 km merupakan tempat terbentuknya kumpulan awan
Cumulus. Awan Cumulus tergolong ke dalam awan rendah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Seto et al. (2013) yang menyatakan bahwa awan yang masuk dalam awan
rendah yaitu awan cumulus, stratocumulus, stratus, nimbostratus, dan cumulonimbus.
4.3. Perbandingan Pengamatan Minggu I dan II
36,1 29,3
10
37,5 26,7
15
35,3 39,3
20
36,5 25
25
37,6 24,6
30
5.1. Simpulan
5.2. Saran
Saran yang diberikan untuk menunjang praktikum agar lebih baik adalah
perhatikan ketepatan waktu serta pemilihan tempat yang teduh agar data yang
dihasilkan lebih akurat, sehingga dapat meminimalkan kesalahan dan alat yang
digunakan tidak cepat rusak.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, M. D., dan B. Pramujo. 2017. Kajian waktu hidup dan pergerakan awan
konvektif berbasis citra radar dan model ECMWF. J. Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, 4 (3) : 24 - 31.
Asynuzar, N. 2014. Pengembangan aplikasi pengolahan data cuaca pada stasiun
meteorologi maritim Pontianak.J.Sistem dan Teknologi Informasi, 2 (3) :
178-183.
Avia, L. Q dan A. Haryanto.2013. Penentuan suhu threshold awan hujan di
wilayah Indonesia berdasarkan data satelit MTSAT dan TRMM.J. Sains
Dirgantara, 10(2) : 82-89.
Damanik, K. B., Fitri, Y., & Gautami, S. 2016. Analisis Perubahan Suhu Dan
Tekanan Udara Permukaan Terhadap Pertumbuhan Awan Cumulonimbus
(Cb) Di Bandar Udara (Bandara) Sultan Syarif Kasim Ii
Pekanbaru. Photon: J. Sain dan Kesehatan, 6 (2), 131-138.
Dewi, S. 2014. Penentuan Distribusi Tipe Awan di Provinsi Riau Menggunakan
Citra Satelit MTSAT IR1. J. Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, 16 (1)
:8 – 13.
Fadholi, A. 2012. Analisa pola angin permukaan di Bandar Udara Depati Amir
Pangkalpinang periode Januari 2000 – Desember 2011. J. Statistika, 12(1) :
19-28.
Habibie, M. N., A. Sasmito, dan R. Kurniawan.2015. Kajian potensi energi angin
di wilayah Sulawesi dan Maluku.J. Meteorologi dan Geofisika. 12(2) : 181
– 187.