CA PARU
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
OLEH :
HENY TRIANY. NZ, S.ST
NIM. 891232011
MINGGU 2
A. Pengertian
Tumor adalah kondisi pertumbuhan sel yang tidak normal sehingga membentuk
suatu lesi atau dlam banyak kasus membenntuk benjolan dibagian tubuh (kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Tumor paru adalah tumor ganas paru primer yang
berasal dari saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan
pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang
normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker.
Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang
ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia (Slamet, 2015).
Tumor paru dalam arti luas adalah semua penyakit kaeganasan diparu, mencakup
keganasan yang berasal dari paru itu sendiri (primer) maupun keganasan dari luar paru
( metastase). Dalam penfertian klinis yang dimaksud dengan tumor paru adalah tumor
paru primer adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus (Zulkifli, 2014)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tumor paru
adalah penambahan sel yang abnormal yang berasal dari saluran pernafasan yang dapat
merusak jaringan yang normal.
B. Klasifikasi
1. Tumor paru sel kecil (small lung cancer/SLC) yang umumnya bersifat agresif dan
memiliki prognosis buruk
2. Tumor paru bukan sel kecil atau non-small lung cancer adalah tumor paru yang
sering dilaporkan termasuk Indonesia, yaitu 85% dari seluruh tumor paru (national
cancer Institute, 2019) yang berdasarkan jenis selnya terdiri dari: adenocarsinoma,
karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel besar.
C. Etiologi
Umumnya Tumor yang lain, penyebab yang pasti dari tumor paru belum
diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti
kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain. Dibawah ini akan diuraikan mengenai faktor
risiko penyebab terjadinya tumor paru (Deberty MG, 2015).
1. Merokok, menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling
penting, yaitu 85% dari seluruh kasus. Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan
kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan tumor. Kejadian tumor
paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang
diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok.
2. Perokok pasif, semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara
perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam
ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pada orang- orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap
dari orang lain, risiko mendapat tumor paru meningkat dua kali.
3. Polusi udara, kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian
akibat tumor paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa
penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial
ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih
tinggi. Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial
ekonomi yang lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan
mereka, tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu
karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok)
adalah 3,4 benzpiren.
4. Paparan zat karsinogen, beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon,
arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan
tumor paru. Risiko tumor paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira
sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko tumor paru baik akibat
kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga
merokok.
5. Diet, beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena
tumor paru.
6. Genetik, terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan
khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc) dan
menonaktifkan gen-gen penekan tumor.
7. Penyakit paru, seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga dapat
menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik
berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika efek dari
merokok dihilangkan
Hingga saat ini belum ada metode skrining yang sesuai bagi tumor paru secara
umum. Metode skrining yang telah direkomendasikan untuk deteksi tumor paru terbatas
pada kelompok pasien risiko tinggi. Kelompok pasien dengan risiko tinggi mencakup
pasien usia > 40 tahun dengan riwayat merokok ≥30 tahun dan berhenti merokok dalam
kurun waktu 15 tahun sebelum pemeriksaan, atau pasien ≥50 tahun dengan riwayat
merokok ≥20 tahun dan adanya minimal satu faktor risiko lainnya. Faktor risiko tumor
paru lainnya adalah pajanan radiasi, paparan okupasi terhadap bahan kimia karsinogenik,
riwayat tumor pada pasien atau keluarga pasien, dan riwayat penyakit paru seperti PPOK
atau fibrosis paru. Pada pasien berisiko tinggi, dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik
yang mendukung kecurigaan adanya keganasan pada paru-paru, dapat dilakukan
pemeriksaan low-dose CT scan untuk skrining tumor paru setiap tahun, selama 3 tahun,
namun tidak dilakukan pada pasien dengan komorbiditas berat lainnya. Pemeriksaan ini
dapat mengurangi mortalitas akibat tumor paru hingga 20%..
E. Patofisiologi
Etiologi yang menyebabkan tumor paru ada 2 jenis yaitu primer dan sekunder.
Primer yaitu berasal dari merokok, asap pabrik, zat karsinogen dll, dan sekunder
berasal dari metastase organ lain. Etiologi primer menyerang percabangan segemen sub
bronchus yang menyebabkan silia hilang. Fungsi dari silia inia adalah menggerakkan
lendir yang akan mengangkap kotoran kecil agar keluar dari paru paru. Jika silia hilang,
fungsi dari silia hilang maka akan terjadi deskuamasi sehingga timbul pengendapan
karsinogen. Adanya pengendapan karsinogen maka akan menimbulkan ulserasi
bronchus dan menyebabkan tumor paru (Nurarif & Kusuma, 2015)
Tumor paru ada beberapa jenis yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma,
karsinoma sel bronchoalveolar dan karsinoma sel besar. Setiap lokasi memiliki tanda
dan gejala khas masing masing. Pada karsinoma sel skuomosa, karsinoma bronchus
akan menjadi berkembang sehingga batuk akan lebih sering terjadi yang akan
menimbulkan iritasi, ulserasi dan pneumonia yang selanjutnya akan menimbulkan
himoptosis. Pada adenokarsinoma akan menyebabkan meningkatnya produksi mukus
yang dapat mengakibatkan penyumbatan jalan nafas. Sedangkan pada karsinoma sel sel
besar akan terjadi peneyebaran neoplastik ke mediastium sehingga timbul area pleuritik
dan menyebabkan nyeri akut. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya
menunujukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Tumor paru dapat bermetastase
ke struktur struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esophagus, pericardium,
otak, tulang rangka (Nurarif & Kusuma, 20015)
Pada tumor paru sekunder, paru paru menjadi tempat berakhirnya sel kanker yang
ganas. Meskipun stadium penyakitnya masih awal, seoah olah pasien menderita
penyakit tumor paru stadium akhir. Di bagian organ paru, sel tumor terus berkembang
dan bsa mematikan sel imnologi. Artinya sel tumor bersifat imortal dan bisa
menghancurkan sel yang sehat supaya tidak berfungsi. (Deberty, 2015)
F. MANIFESTASI KLINIS (guyton,Arthur 2003)
Menurut Tan (2017) manifestasi klinis tumor paru, yaitu
1) Adeno carsinoma dan bronchoalveolar: nafas dangkal, batuk, penurunan nafsu
makan, trasseau syndrom
2) Karsinoma sel skuamosa : batuk, dyspnea, nyeri dada, atelektasi, pneumonia post
obstruktif, mengi dan hemoptsis
3) Karsinoma sel kecil: SIADH, Sindrom chusing, hiperkalsemia, batuk, stridor, nafas
dangkal, sesak nafas dan anemia.
4) Karsinoma sel besar : batuk berkepanjangan, nyeri dada saat menghirup udara, suara
serak dan sesak nafas
G. Pathway
-Asap rokok
-Polusi Udara
-Pemajanan Okupasi
Peradangan Kronik
Karsinoma paru
Batuk
Penurunan ekspansi paru
Sesak nafas
Pola nafas
Bersihan jalan nafas tidak efektif
tidak efektif
Malaise
Intoleran aktivitas
1) Sitologi
2) Radiologi
3) Bronchoscopi
4) Biopsi tanstorakal
I. Pentalaksanaan
Penatalaksanaan Perawat:
1) PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbgai sumber data
untuk mengevaluasi danmengidentifikasi status kesehatan klien (Haryono, 2019)
a) Aktifitas/istirahat
Gejala : kelesuhan
b) Sirkulasi
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat keluarga. Faktor gen
menjadi salah satu penyebab kanker.
e. Pemeriksaan fisik
a) Nyeri tekan
c) Ekspansi pernapasan
d) Fremitus taktil
a) Bunyi napas
1. Diagnosa 1
b. RR normal (16-20x/m)
c. Observasi TTV
2. Diagnosa 2
b. BB kembali normal
c. Bab lancar
Intervensi
1. Identifikasi perubahan berat badan
terakhir Rasional :
Memantau perubahan berat badan
G. Pemeriksaan Diagnostik.
1. Radiologi.
a. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi
dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi
adanya kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi
lesi. Dapat menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse
pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap
karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi
kebutuhan ventilasi.
c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum
pada kanker paru).
3. Histopatologi.
a. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan
sitologi lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer
dengan ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
c. Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik
dengan cara torakoskopi.
d. Mediastinosopi.
Umtuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah
bening yang terlibat.
e. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila
bermacam – macam prosedur non invasif dan invasif
sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
4. Pencitraan.
a. CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan
pleura.
b. MRI, untuk menunjukkan keadaan
mediastinum. H. Penatalaksanaan.
1. Penatalaksanaan Keperawatan :
a. Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka
harapan hidup klien.
b. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
c. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada
pasien maupun keluarga.
d. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia
pemberian nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti
nyeri dan anti infeksi. (Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan
Doenges, rencana Asuhan Keperawatan, 2000)
2. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit
paru lain, untuk mengankat semua jaringan yang sakit sementara
mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru – paru yang
tidak terkena kanker.
b. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau
toraks khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsy.
c. Pneumonektomi pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua
lesi bisa diangkat.
d. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus,
bronkiaktesis bleb atau bula emfisematosa; abses paru; infeksi
jamur; tumor jinak tuberkulois.
e. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
f. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit
peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari
permukaan paru – paru berbentuk baji (potongan es).
g. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura
viscelaris)
h. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan
kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor
dengan komplikasi, seperti mengurangi efek obstruksi/
penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.
i. Kemoterafi.
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan
tumor, untuk menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau
dengan metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi
radiasi.
II.Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap pertama dalam proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sitematis dalam mengumpulkan data
dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
status kesehatan klien. Pengkajian keperawatan ditunjukan pada respon
klien terhadap masalah kesehatan yang berhubungan dengan kebutuhan
dasar manusia (Nursalam 2001).
1. Pengkajian
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat
2. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, hubungan keluarga, pekerjaan
a. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Umumnya keluhan yang dialami meliputi batuk produktif,
dahak bersifat mukoid atau purulen, batuk berdahak,
malaise, demam, anoreksia, berat badan menurun, suara
serak, sesak napas pada penyakit yang lanjut dengan
kerusakan paru yang makin luas, serta mengalami nyeri
dada yang dapat bersifat lokal atau pleuritik.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya memiliki riwayat terpapar asap rokok, industri
asbes, uranium, kromat, arsen (insektisida), besi dan oksida
besi, serta mengkonsumsi bahan pengawet.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ditemukan adanya riwayat keluarga yang pernah
menderita penyakit Kanker.
b. Kebutuhan dasar
1. Makanan dan cairan
Biasanya mengalami kehilangan nafsu makan,
mual/muntah, kesulitan menelan mengakibatkan kurangnya
nafsu makanan, kurus karena terjadi penurunan berat badan
dan mengalami rasa haus.
2. Eliminasi
Biasanya ditemukan adanya diare, serta mengalami
peningkatan frekuensi dan jumlah urine.
3. Hygiene/ pemeliharaan kesehatan
Biasanya memiliki kebiasaan merokok atau sering terpapar
oleh asap rokok, mengkonsumsi bahan pengawet, terjadi
penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas personal
hygiene.
4. Aktivitas/ istirahatBiasanya ditemukan adanya kesulitan
beraktivitas, mudah lelah, susah untuk beristirahat,
mengalami nyeri, sesak, kelesuan serta insomnia.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien Ca paru menurut Wijaya (2013):
1. Inspeksi
Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian
tubuh yang diperiksa melalui pengamatan.cahaya yang
adekuat diperlukan
2. Keadaan umum: biasanya ditemukan keadaan umum lemah,
sesak yang disertai dengan nyeri dada
3. Tingkat kesadaran : biasanya mengalami penurunan
kesadaran
4. TTV
RR : biasanya mengalami takipnea
N : biasanya mengalami takhikardi
S : biasanya mengalami hipertermi jika ada infeksi
TD : biasanya bisa hipotensi dan hipertensi
5. Kepala dan leher : Peningkatan tekanan vena jugularis,
devisiasi trakea.
6. Mata : biasanya ditemukan adanya pucat pada
konjungtiva sebagai akibat anemia atau gangguan nutrisi.
7. Kulit : biasanya ditemukan adanya pucat atau sianosis
sentral atau perifer, yang dapat dilihat pada bibir atau ujung
jari/ dasar kuku menandakan penurunan perfusi perifer.
8. Jari dan kuku : biasanya ditemukan adanya sianosis,
clubbing finger
9. Muka, hidung dan rongga mulut : biasanya ditemukan
adanya pucat atau sianosis bibir/ mukosa menandakan
penurunan perfusi, ketidakmampuan menelan dan suara
serak.
10. Vena leher : biasanya ditemukan adanya distensi atau
bendungan
11. Thorak
12. Paru : biasanya ditemukan adanya pernapasan takipnea,
napas dangkal, penggunaan otot aksesori pernapasan, batuk
kering/ nyaring/ non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan atau tanpa sputum, terjadi peningkatan
fremitus, krekels inspirasi atau ekspirasi. Terdengar
wheezing, stridor karena adanya obstruksi jalan nafas.
13. Jantung : biasanya ditemukan adanya frekuensi jantung
mungkin meningkat/ takikardia, bunyi gerakan perikardial
(pericardial effusion).
14. Abdomen, biasanya ditemukan adanya bising
usus meningkat/ menurun.
15. Sistem urogenital, biasanya adanya peningkatan frekuensi
atau jumlah urine.
16. Sistem muskuluskeletal, Piasanya ditemukan
adanya penurunan kekuatan otot.
17. Sistem persarafan : biasanya ditemukan adanya perubahan
status mental.
d. Data Psikologis
biasanya terjadi kegelisahan, pernyataan yang diulang ulang,
perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi yang labil serta kesulitan
berkonsentrasi.
e. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan non invasif
a) Sinar X (PA dan lateral), tomografi dada:
menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi.
Dapat menyatakan masa udara pada bagian hilus,
efusi pleura, dll.
b) Pemeriksaan sitologi: mengkaji tahapan karsinoma
c) Mediastinoskopi: digunakan untuk per tahapan
karsinoma
d) Scan Radioisotop: digunakan pada paru, hati, otak
,tulang dan organ lain untuk bukti metastasis.
e) Pemeriksaan fungsi paru dan GDA: dilakukan untuk
mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan
ventilasi pasca operasi.
2. Pemeriksaan invasif
a) Bronkoskopi dan biopsi dan penyikatan mukosa
bronkus serta pengambilan bilasan bronkus yang
kemudian diperika secara patologianatomik.
b) Biopsi transtorakal dengan bimbingan USG/CT Scan.
c) Biopsi dapat dilakukan pada nodus skalen, nodus
limfe hilus, dll.
d) Tes kulit, jumlah absolut limfosit untuk
mengevaluasi kompetensi imun pada kanker paru
B. Kemungkinan Diagnosa Yang Muncul
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi
jalan napas
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi
bronkus,deformitas dinding dada,keletihan otot pernapasan
3. Nyeri akut berhubungan dengan cidera (karsinoma), penekanan saraf
oleh tumor paru
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidak mampuan menelan
makanan,anoreksia,kelelahan dan dyspnea
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen (anemis)
6. Ansietas berhubungan dengan proses perkembangan penyakit
7. Defenisi pengetahuan berhubungan keterbatasan informasi proses
dan pengetahuan penyakit.
C. Rencana Tindakan Keperawatan
NO. DiagnosaKeperawatan NOC NIC
1 Ketidakefektifan pola nafas NOC 1) Bukajalan nafas, gunakan teknik chin lift
Berhubungan dengan - Respiratory status: gas exchange atau jaw thrus bila perlu
Hipoventilasi - Respiratory status : ventilation 2) Posisikan pasien untuk
- Vital sign status memaksimalkan ventilasi
3) Lakukan fisioterapi jika perlu
KriteriaHasil : 4) Auskultasi suara nafas, catat adanya
1. Mendemonstrasikan peningkatan suara tambahan
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat 5) Atur intake untuk cairan
2. Mendemonstrasikan batuk efektif dan mengoptimalkan keseimbangan
suara nafas yang paten 6) Monitor respirasi dan status
3. Tanda vital dalam rentang normal 7) Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan
8) Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
9) Monitor suaraparu
10) Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
2. Tidakefektif bersihan jalan nafas NOC 1. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal
berhubungan dengan peningkatan - Respiration status : ventilation suctioning
jumlah / viskositassekret, sekresi - Respiration status : airway patency 2. Monitor status oksigen pasie
Darah 3. Posisikan pasien untuk
Kriteriahasil : memaksilmalkan
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan ventilasi
4. Atur intake untuk cairan
suara nafas yang bersih mengoptimalkan keseimbangan
2. Menunjukkan jalan nafas paten, 5. Monitor respirasidan status
yang O2
tidak ada suara nafas abnormal 6. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
7. Auskultasi suara nafas, catat ada suara
Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor nafas tambahan
yang dapa tmenghambat jalan nafas 8. Keluarkan secret dengan
batuk atau section
Sudoyo Aru, dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta
Yogyakarta: B First Suyono, Slamet (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA TN. E DENGAN CA PARU
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DI RSUD dr. ABDUL AZIZ SINGKAWANG
OLEH :
HENY TRIANY. NZ, S.ST
NIM. 891232011
MINGGU 2
A. Identitas
1. Identitas Klien
Nama : Tn. E L/ P
Tempat/tgl lahir : Sambas, 10/071980
Golongan darah : A/O/B /AB
Pendidikan terakhir : SD/SMP/ SMA /DI /DII /DIII /DIV /S1 /S2 /S3
Agama :
Islam /Prostestan/Katolik/Hindu/Budha/Konghucu
Suku : Melayu
Status perkawinan :
kawin/ belum/janda/duda (cerai : hidup/mati)
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Teluk Keramat
B. Status Kesehatan
1. Status kesehatan saat ini
a. Alasan masuk rumah sakit/keluhan utama :
Klien datang ke RS melalui IGD pada tanggal 7 Oktober 2023 Jam
21:03 WIB dengan keluhan demam selama 1 minggu sebelum
masuk Rumah Sakit, sesak nafas, batuk berdahak, badan terasa
lemas, nafsu makan menurun sejak seminggu terkahir
b. Faktor pencetus :
Pasien beraktivitas di daerah yang berdebu sehingga
pasien mersa sesak.
c. Lamanya keluhan : pasien merasa sesak sudah satu minggu
d. Timbulnya keluhan: ( ) bertahap (√ ) mendadak
e. Factor yang memperberat : Pasien merupakan perokok aktif
2. Status kesehatan masa lalu
Penyakit yang pernah dialami (kaitkan dengan penyakit sekarang) :
Pasien sering mengalami sesak nafas dan memiliki riwayat asma
3. Pernah dirawat
Penyakit : Asma
Waktu : 1 Tahun lalu
C. Pengkajian pola fungsi dan pemeriksaan fisik
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
a. Persepsi tentang kesehatan diri
Sebelumya pasien merasa dirinya hanya sesak biasa karna penyakit
asma sebelum mengetahui diagnosa penyakitnya yang sekarang
b. Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakit dan perawatannya
Pasien mengetahui tentang penyakitnya dan bersedia mengikuti
proses pengobatannya
c. Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
1) Kebiasaan diit yang adekuat, diit yang tidak sehat ?
Pasien tidak memiliki kebiasaan diit
2) Pemeriksaan kesehatan berkala, perawatan kebersihan diri,
imunisasi
Pasien jarang melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala,
kecuali sakit
3) Kemampuan pasien untuk mengontrol kesehatan
a) Yang dilakukan bila sakit
b) Kemana pasien biasa berobat bila sakit ?
Puskesmas terdekat
c) Kebiasaanhidup(konsumsi
jamu/ocuss/rokok/kopi/kebiasaan olahraga)
Merokok : 2 Pak/hari, lama : 15 tahun
b. Tanda (obyektif)
0
1) Suhu tubuh : 36,8 C Diaphoresis : (√ ) tidak ada ( ) ada,
jelaskan ……………………………………………………………….
2) Berat badan : 58 kg, tinggi badan : 165 Cm Turgor kulit :
baik tonus otot : normal
3) Edema : (√ ) tidak ada ( ) ada, lokasi dan karakteristik
……………………………………………………………………
…..
4) Ascites : (√ ) tidak ada ( ) ada,
jelaskan
……………………………………………………………….
5) Integritas kulit perut tidak ada
6) Distensi vena jugularis : (√ ) tidak ada ( ) ada,
jelaskan
……………………………………………………………….
7) Hernia/masa : (√ ) tidak ada ( ) ada, lokasi dan karakteristik
……………………………………………………………………
…..
8) Bau mulut/halitosis : ( ) tidak ada (√ ) ada bau rokok
9) Kondisi mulut gigi/gusi/mukosa mulut dan lidah :
10)Kondisi mulut tidak bersih, banyak flak dan karang gigi
4. Pernafasan, aktivitas dan latihan pernapasan
a. Gejala (subyektif)
1) Dispnea : ( ) tidak ada (√ ) ada, jelaskan Pasien mengeluh sesak
1) Adanya nyeri
P = paliatif/provokatif (yang mengurangi/meningkatkan nyeri)
Ada nyeri saat batuk, dada terasa sakit dan sesak
Q = qualitas/quantitas (frekuensi dan lamanya keluhan dirasakan
serta deskripsi sifat nyeri yang dirasakan
Nyeri terasa ketika batuk saja
R = region/tempat (lokasi sumber & penyebarannya)
Nyeri pada area dada dan punggung serta tenggorokan
S = severity/tingkat berat nyeri (skala nyeri 1-10)
Skala nyeri 5
T = time (kapan keluhan dirasakan dan lamanya)
Nyeri dirasakan ketika batuk dan mulai reda sekitar 10 menit
2) Rasa ingin pingsan/pusing ( ) tidak ada (√ ) ada
Jelaskan
17. Sakit kepala : lokasi nyeri ada di bagian belakang kepala
1) Frekuensi Kadang kadang
2) Kesemutan/kebas/kelemahan (lokasi)
3) Kejang (√ ) tidak ada ( ) ada
4) Mata : penurunan penglihatan (√) tidak ada ( ) ada,
5) Pendengaran : penurunan pendengaran (√ ) tidak ada ( ) ada
6) Epistaksis : (√ ) tidak ada ( ) ada
Tanda (obyektif)
1) Status mental
Kesadaran : (√ ) composmentis, ( ) apatis. ( )somnolen, ( ) spoor, ( )
koma
2) Skala koma glasgow (gcs)
: respon membuka mata (e)
4 Respon motorik (m) 5
respon verbal 6
3) Terorientasi/disorientasi : tidak terjadi disorientasi
4) Persepsi sensori : tidak terdapat gangguan sensori
5) Alat bantu penglihatan/pendengaran (√ ) tidak ada () ada,
6) Reaksi pupil terhadap cahaya : ka/ki Normal, Ukuran pupil Normal
18. Penampilan umum tampak kesakitan : ( ) tidak ada (√ ) ada,
menjaga area sakit
19. Respon emosional adaftif
20. Keamanan
a. Gejala (subyektif)
1) Alergi : (catatan agen dan reaksi spesifik)
2) Obat-obatan : pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan
3) Makanan : pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan
4) Faktor lingkungan :
a) Riwayat penyakit hubungan seksual : (√ ) tidak ada ( )
ada,
b) Riwayat transfusi darah Tidak pernah
5) Kerusakan penglihatan, pendengaran : (√ ) tidak ada ( ) ada,
6) Riwayat cidera (√ ) tidak ada ( ) ada,
7) Riwayat kejang (√ ) tidak ada ( ) ada,
b. Tanda (objektif)
0
1) Suhu tubuh : 36,8 C
2) Diaphoresis : kadang ada di telapak tangan
2) Integritas jaringan : Normal
3) Jaringan parut : (√ ) tidak ada ( ) ada,
4) Kemerahan pucat (√ ) tidak ada ( ) ada,
5) Adanya luka : luas Tidak ada
6) Ekimosis/tanda perdarahan lain : Tidak ada
6) Faktor resiko : terpasang alat invasive ( ) tidak ada (√ ) ada,
Jelaskan : Infus
7) Gangguan keseimbangan (√ ) tidak ada ( ) ada,
8) Kekuatan umum : Rom Normal
9) tonus otot Normal
21. Seksual dan reproduksi
a. Gejala (subyektif)
1) Pemahaman terhadap fungsi seksual : Pemahaman pasien baik
2) Gangguan hubungan seksual karena berbagai kondisi ( fertilitas,
libido, ereksi, menstruasi, kehamilan, pemakaian alat kontrasepsi
atau kondisi sakit) : tidak terdapat gangguan
3) Permasalahan selama aktivitas seksual (√ ) tidak ada ( ) ada,
22. Persepsi diri, konsep diri dan mekanisme koping
a. Gejala (subyektif)
1) Faktor stress
Pasien mengatakan sempat merasa stres ketika mengetahui
penyakit yang dideritanya
2) Bagaimana pasien dalam mengambil keputusan (sendiri atau
dibantu) : Pasien mengambil keputusan di dampingi oleh
keluarga
3) Yang dilakukan jika menghadapi suatu masalah (misalnya
memecahkan masalah, mencari pertolongan/berbicara dengan
orang lain, makan, tidur, minum obat- obatan, marah, diam, dll)
:
Dalam upaya pemecahan masalah pasien selalu melibatkan
keluarganya
4) Upaya klien dalam menghadapi masalahnya sekarang :
Pasien optimis dan berupaya semaksimal mungkin dalam
proses penyembuhan
5) Perasaan cemas/takut : ( ) tidak ada (√ ) ada, jelaskan
Pasien mengatakan merasa takut akan kondisinya jika makin
memburuk
6) Perasaan ketidakberdayaan ( ) tidak ada (√) ada, jelaskan
Pasien merasa tidak berdaya ketika sakit, namun pasien tidak
merasa putus asa
7) Perasaan keputusasaan (√ ) tidak ada ( ) ada,
8) Konsep diri
23. Citra diri : pasien menyadari kondisi dirinya saat ini yang sedang sakit
24. Ideal diri : pasien menginginkan dirinya dapat segera sembuh dan
dapat beraktivitas normal kembali
25. Harga diri : pasien merasa tidak berharga ketika sakit karna merepotkan
orang lain
26. Ada/tidak perasaan akan perubahan identitas : Tidak ada
27. Konflik dalam peran : Tidak ada
Status emosional : ( ) tenang, ( ) gelisah, ( ) marah, (√ ) takut, ( )
mudah tersinggung
28. Interaksi social
Gejala (subyektif)
Orang terdekat & lebih berpengaruh
Orang tua pasien
Kepada siapa pasien meminta bantuan bila mempunyai masalah
Orang tua
Adakah kesulitan dalam keluarga hubungan dengan orang tua,
saudara, pasangan,
(√ ) tidak ada ( ) ada, sebutkan
Kesulitan berhubungan dengan tenaga kesehata, klien lain : (√ )
tidak ada ( ) ada
Tanda (obyektif)
Kemampuan berbicara : (√) jelas, ( ) tidak jelas
Pola bicara tidak biasa/kerusakan :Normal tidak ada kerusakan pola
bicara
Penggunaan alat bantu bicara : Tidak menggunakan alat bantu
bicara
Adanya jaringan laringaktomi/trakeostomi :Tidak terdapat jaringan
lain
Komunikasi non verbal/verbal dengan keluarga/orang lain :Baik
Perilaku menarik diri : (√ ) tidak ada ( ) ada
29. Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Gejala (subyektif)
Sumber kekuatan bagi pasien : Support dari keluarga
Perasaan menyalahkan tuhan : (√ ) tidak ada ( ) ada
Bagaimana klien menjalankan kegiatan agama atau
kepercayaan, macam :pasien beribadah dengan normal
Adakah keyakinan/kebudayaan yang dianut pasien yang
bertentangan dengan kesehatan (√ ) tidak ada ( ) ada , jelaskan
Pertengtangan nilai/keyakinan/kebudayaan terhadap pengobatan
yang dijalani : (√) tidak ada ( ) ada , jelaskan
D. Psikososial
Genogram :
Keterangan :
Jelaskan: Klien tinggal serumah dengan orang tua dan saudaranya. Dalam
berkomunikasi klien lebih dekat dengan ibunya.
E. Data penunjang
1. Laboratorium
2. Radiologi
3. USG
4. CT Scan
Kesan: gambaran grond glass opcity di segmen 6 pulmo dekstra dan segmen ½ pulmo
sinistra DD/tumor paru
F. Analisa Data
No Data Masalah
1. DS: Ketidakefektifan
Klien mengatakan batuk dan susah bersihan jalan nafas
mengeluarkanya
Klien mengatakan sakit
kerongkongan saat batuk
Klien mengatakan nyeri dada saat batuk
Keluarga mengatakan klien sulit
tidur
DO:
Klien tampak batuk berdahak
Klien tampak gelisah
Klien tampak meringis
Klien tampak sulit tidur dan sering
terbangun
2 DS : Nyeri akut
Klien mengatakan sakit kepala
Klien mengatakan pusing
Klien mengatakan skala nyeri klien 4-5
(sedang)
DO :
Klien tampak meringis
Klien tampak memegang kepala yang sakit
G. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhungan dengan secret dalam
bronkialis
Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan asupan oral
H. Rencana Keperawatan
P:
• Lanjutkan intervensi
• Ajar kan pasien cara
batuk efektif
• Lakukan fisioterapi
dada bila
perlu
09/10/23 02 • Lakukan pengkajian nyeri S:
secara komprehensif
11.30 • observasi reaksi non • Dada saya sakit saat
wib verb l dari Batuk
a
ketidaknyamanan • Sakitnya muncul
• Monitor TTV pasien kadang- saat
kadang
(tekanan darah nadi, Batuk atau bersin
,
pernafasan, suhu) Saja
• Kolaborasi dengan dokter • Sakitnya timbul di
Dada dan
dalam terapi anti nyeri tenggorokan
O:
• Skala Nyeri 5
• TTV :
TD : 110/80 MmHg
N : 80x/Menit
R : 28x/menit
o
S : 36,8 C
A:
Nyeri
P:
• Lanjutkan intervensi
• Ajar kan pasien cara
batuk efektif
• Ajarkan pasie
n
teknik relaksasi
09/10/23 03 Kaji adanya alergi pada S :
makan
12.30 Pantau adanya penurunan • Saya tidak ada alergi
Wib BB makanan dan obat
Monitor mual muntah • Selama sakit saya
Anjurkan klien makan turun 2 kg
sedikit tapi sering • Kadang saya merasa
Monitor tugor kulit Mual saat mau
Berikan motivasi pada Makan
klien tentang pentingnya • Lidah terasa pahit
nutrisi • Kemarin ada muntah
1 kali
O:
• BB :58kg
• Pasien makan
sedikit tidak habis
• Turgor kulit kering
A:
Nutrisi kurang adekuat
P:
• Lanjutkan intervensi
• Anjurka pasien
n
Makan sediki tapi
t
sering
• Edukas pasien
i
untuk
mempertahanka
n
asupan nurtisi
10/10/23 01 • Kaji pola nafas pasien S:
• Atur posisi pasien ke
08.30 posisi semi fowler • Saya masih merasa
wib • Ajarkan pasien batuk sesak amun tidak
n
efektif seperti kemarin
• Monitor pernafasan klien • Kadan sesa saat
g k
• Kolaborasi dengan Setelah batuk atau
dokter dalam terapi sebelum tidur
• Bantu pasien • Setelah bergant
i
mengeluarkan sekret posisi duduk nafa
s
dengan fisioterapi dada saya agak lega
O:
• Pola nafas kadang
cepat 26x/menit
• Pasien tampak
meringis saat batuk
• Terdapat sekret saat
batuk dan dapat
dikeluarkan
A:
Bersihan Nafas
Jalan
tidak efektif
P:
• Lanjutkan intervensi
• Ajar kan pasien cara
batuk efektif
• Lakukan fisioterapi
dada bila perlu
Abstrak
Penderita kanker paru mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Gejala dan masalah terkait
kanker paru-paru seperti dispnea, kelelahan, nyeri, dan cachexia yang dimulai pada fase awal kemudian
mengakibatkan buruknya fungsi fisik, psikososial, dan status kualitas hidup. Selain itu, bertambahnya usia
dikaitkan dengan penyakit penyerta yang signifikan. Pasien-pasien ini dapat memperoleh manfaat dari terapi
multidisiplin untuk mengurangi keparahan dispnea dan kelelahan yang dirasakan serta meningkatkan fungsi
fisik dan kualitas hidup. Berdasarkan penanganan gejala dan masalah seperti dispnea, kurangnya aktivitas fisik,
kelelahan akibat kanker, sekresi pernapasan, nyeri, dan kecemasan-depresi pada pasien-pasien ini, teknik
fisioterapi diperkirakan dapat digunakan pada pasien kanker paru stadium lanjut setelah dilakukan evaluasi
komprehensif. . Namun, uji coba yang dirancang dengan baik, prospektif, dan terkontrol secara acak diperlukan
untuk membuktikan kemanjuran fisioterapi dan rehabilitasi paru secara umum pada pasien dengan kanker paru
stadium lanjut.
Perkenalan
Kanker paru-paru adalah jenis kanker yang paling umum. Penyakit ini bertanggung jawab atas lebih banyak
kematian terkait kanker dibandingkan total kanker umum lainnya seperti kanker payudara, prostat, dan
kolorektal. 1 Pasien kanker paru mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pada sebagian besar
pasien, gejala yang berhubungan dengan kanker terlihat. Pasien-pasien ini menghadapi masalah seperti
dispnea, kelelahan, nyeri, dan cachexia terutama pada fase
akhir. Gejala dan masalah yang dimulai pada fase awal ini mengganggu kepatuhan terhadap pengobatan yang
menyebabkan kondisi fungsional fisik yang buruk disertai gangguan psikososial dan secara singkat berdampak
negatif pada kualitas hidup pasien kanker paru stadium lanjut yang memiliki harapan hidup terbatas. 2 , 3
Terapi farmakologis dan nonfarmakologis berfokus pada peningkatan fungsi fisik dan peningkatan kualitas
hidup. 4 Rehabilitasi paru menurunkan gejala pernafasan dan meningkatkan kapasitas latihan fungsional serta
meningkatkan kualitas hidup, terutama pada penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). 5 Pasien kanker paru-paru, seperti PPOK, sering kali mengalami gejala seperti dispnea, kelelahan,
penurunan kondisi tubuh, intoleransi olahraga, malnutrisi, gangguan status dan kualitas hidup. Telah
ditemukan bahwa PPOK terjadi pada 73% pasien pria dan 53% pasien wanita yang menderita kanker paru-
paru. 6 Jelas bahwa ketika PPOK menyertai penyakit ini, efek sistemik dari PPOK (disfungsi otot perifer,
osteoporosis, hilangnya massa tubuh tanpa lemak, kecemasan, dan depresi) akan memperparah gejala dan
masalah kanker paru-paru. 7
Nilai rehabilitasi telah dijelaskan dalam konteks bedah toraks termasuk reseksi paru-paru, bedah pengurangan
volume, dan transplantasi paru-paru. 5 , 8 Namun, sehubungan dengan pasien dengan kanker paru stadium lanjut,
hanya ada sejumlah penelitian terbatas yang mengeksplorasi efektivitas rehabilitasi paru. Adaptasi dan
pelaksanaan rehabilitasi paru dianggap mungkin dan
efektif. 2 , 6 , 7 , 9 – 12 Pada artikel ini hanya akan dibahas aspek fisioterapi rehabilitasi paru yang diterapkan pada
kanker paru.
Dispnea
Dispnea adalah salah satu gejala yang paling menyusahkan pada kanker paru stadium lanjut, dan pengobatan
gejala ini mungkin sulit dan rumit. 3 Meskipun tingkat keparahan dispnea pada kanker paru bervariasi sesuai
dengan stadium dan perkembangan penyakit, diperkirakan 78% pasien kanker paru stadium lanjut mengalami
dispnea. 13 Setelah didiagnosis menderita kanker paru-paru, kelelahan, nyeri, anoreksia, batuk, dan insomnia
adalah masalah yang paling sering terjadi. Pada fase selanjutnya, dispnea, nyeri, pernapasan berisik, dan stres
psikologis sering kali menimbulkan masalah. 14 , 15 Telah ditentukan bahwa dispnea terlihat pada setiap stadium
kanker paru-paru dan berhubungan dengan kualitas hidup pasien. 16 – 18 Dispnea pada pasien kanker
disebabkan oleh kondisi dan penyakit terkait seperti kanker itu sendiri, pengobatan, PPOK, gagal jantung,
kecemasan, dan respons perilaku pasien terhadap gejala penyakit lainnya. 19
Pendekatan nonfarmakologis lebih disukai daripada pendekatan farmakologis seperti opioid
atau obat ansiolitik, yang digunakan untuk mengurangi dispnea yang disebabkan oleh
depresi pernapasan. 20 Terdapat berbagai metode dan strategi untuk mengurangi dispnea pada
pasien PPOK yang terbukti efektif. 14 , 21 Mendidik pasien dan keluarganya tentang mengatur
kelembapan dan suhu kamar pasien, mencegah kebisingan, dan menciptakan lingkungan
yang menenangkan dengan musik merupakan saran yang berguna. 14 , 21 , 22
Kecemasan, depresi, dan faktor psikologis lainnya sering terjadi pada pasien penyakit paru
stadium lanjut dan mempengaruhi sesak napas. 22 Oleh karena itu, kontrol pernapasan dan
terapi relaksasi mungkin bermanfaat bagi individu dan keluarga. 23 , 24 Telah terbukti bahwa
posisi condong ke depan merupakan strategi yang efektif untuk mengurangi dispnea.
Condong ke depan dikaitkan dengan penurunan signifikan aktivitas elektromiografi otot
skalen dan sternomastoid, peningkatan tekanan transdiafragmatik dan tekanan mulut
inspirasi, dan peningkatan signifikan dalam gerakan torakoabdominal. Posisi ini telah
terbukti meningkatkan fungsi diafragma dan karenanya meningkatkan semua pergerakan
dada dan mengurangi rekrutmen otot aksesori dan dispnea. 25
Telah terbukti bahwa mengipasi udara dingin di hidung, mulut, dan dagu mengurangi
persepsi dispnea. Sirkulasi udara dingin diperkirakan mengubah persepsi dispnea pasien
dengan menstimulasi mekanoreseptor ekstratoraks di wajah atau di saluran hidung. 26
Penggunaan kipas angin yang kecil, portabel, dan murah dapat mengurangi sesak napas
bahkan pada pasien kanker paru stadium lanjut. 26 – 28 Akupunktur mungkin merupakan
pendekatan alternatif untuk mengurangi sesak napas, namun datanya terbatas dan beragam. 28 ,
29
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa teknik pernapasan bibir sangat membantu dalam
mengurangi atau mengatasi dispnea. 20 , 25 , 30 , 31 Penelitian lain tentang pelatihan pernapasan
mengamati bahwa ketika pelatihan pernapasan diterapkan pada pasien (manajemen panik,
pernapasan bibir mengerucut, dan pernapasan diafragma), laju pernapasan dispnea mereka
menurun drastis dan kapasitas fungsional mereka meningkat. 21 , 28 , 31 , 32
Saat ini belum ada informasi mengenai penerapan dan efek pelatihan otot inspirasi pada
pasien kanker paru dengan penyakit paru kronis. Jika kelebihan dan manfaat teknik ini
dipertimbangkan, diasumsikan bahwa teknik ini dapat digunakan dengan program latihan
pada pasien kanker paru stadium lanjut. 33 Pelatihan resistif inspirasi hanya digunakan dalam
satu penelitian pada program rehabilitasi paru untuk pasien kanker paru-paru bukan sel kecil
(NSCLC) yang telah menjalani reseksi paru, namun efek dari penerapannya saja tidak
disebutkan. 34
Telah dinyatakan bahwa pasien kanker paru-paru menerapkan strategi penghindaran aktivitas untuk
mencegah dispnea dan situasi ini menyebabkan gaya hidup yang tidak banyak bergerak dan dekondisi. 35 Oleh
karena itu, akan bermanfaat untuk menginformasikan pasien tentang teknik konservasi energi untuk
meningkatkan kondisi fisik mereka. 20 , 36 Merekomendasikan dukungan oksigen portabel dan/atau alat bantu
untuk berjalan (pejalan kaki, kursi roda, rollator, dll.) bila diperlukan dan memberikan pelatihan kontrol
pernapasan pada pasien selama aktivitas merupakan strategi bantu lainnya untuk mengurangi
dispnea. 23 , 37 Telah ditemukan bahwa pernapasan bibir yang diajarkan selama aktivitas berjalan mengurangi
keparahan dispnea pada pasien PPOK dan meningkatkan jarak berjalan. 38
Ketidakaktifan fisik
Khusus pada stadium lanjut, kemampuan fisik pasien kanker paru-paru berkurang akibat gejala penyakit dan
masalah akibat pengobatan. 39 Telah ditentukan sebelumnya bahwa tingkat aktivitas fisik relevan dengan
kualitas hidup. 4 , 15 , 17 , 39
Diperkirakan bahwa disfungsi otot rangka pada pasien ini disebabkan oleh miopati rangka (akibat penggunaan
kortikosteroid oral), penurunan kondisi (akibat kurangnya aktivitas fisik), dan peradangan sistemik tingkat
tinggi (akibat penyakit dan terapi yang mendasarinya). 40 Oleh karena itu, latihan olah raga harus diterapkan
pada setiap stadium penyakit. Telah terbukti bahwa latihan olah raga yang sering diterapkan pada periode
sebelum dan sesudah operasi mengurangi gejala pasien kanker paru- paru dan meningkatkan kapasitas olah raga
dan kualitas hidup. 41 , 42 Namun, secara umum belum ada informasi yang jelas mengenai isi program olahraga
yang sebaiknya diterapkan pada pasien kanker paru stadium lanjut. Ketika pengaruh otot rangka pada pasien
disarankan, latihan resistensi juga harus diterapkan. Kombinasi latihan aerobik dan ketahanan diperkirakan
merupakan bentuk latihan olahraga yang paling efektif untuk meningkatkan konsumsi oksigen puncak secara
optimal pada pasien kanker paru-paru. Program komprehensif yang disarankan diyakini akan meningkatkan
kapasitas oksidatif, juga meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot, mengurangi kelelahan, dan meningkatkan
toleransi latihan. 43 , 44 Ditentukan bahwa latihan aerobik dan ketahanan dengan latihan olahraga yang sering
digunakan pada pasien kanker payudara meningkatkan kapasitas kardiopulmoner dan kualitas hidup,
mengurangi kelelahan, meningkatkan tingkat fungsional fisik, dan menyembuhkan masalah psikologis
(menghasilkan pola tidur yang teratur, baik secara umum - keberadaan, kepercayaan diri, energi, dan
sebagainya). 45 Meskipun terdapat perbedaan dalam intensitas dan frekuensi dalam studi pelatihan olahraga,
perlu dicatat bahwa olahraga yang diterapkan pada pasien kanker tidak boleh menyebabkan kelelahan
berlebihan dan harus diprogram secara individual sesuai dengan toleransi pasien. 10 , 11 , 43 – 47 Sesuai dengan
tujuan ini, program latihan interval diperkirakan lebih cocok dan bermanfaat bagi pasien kanker paru-paru
daripada olahraga terus menerus. 47 Telah diidentifikasi bahwa program latihan interval yang dapat diterapkan
bahkan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan kualitas hidup serta aman dan
bermanfaat. 48 Selain itu, ditemukan bahwa latihan olahraga satu kaki, yang merupakan strategi olahraga baru
yang digunakan pada pasien PPOK berat, menghasilkan tekanan ventilasi yang lebih rendah dibandingkan
bersepeda bipedal konvensional dan juga meningkatkan kapasitas aerobik lebih banyak. 49 Selain itu, strategi
latihan ini cocok terutama untuk pasien kanker paru stadium lanjut. Ada kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut
mengenai subjek ini.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa program olahraga multidimensi cocok untuk pasien kanker
paru-paru, kepatuhan berolahraga masih sangat rendah (19-44%). 50 , 51 Meskipun program olahraga rawat jalan
yang diawasi lebih disukai untuk pasien dengan penyakit komorbiditas dan kesehatan yang buruk, program
berbasis komunitas dianggap lebih dapat diterima dan layak untuk pasien yang menjalani kemoterapi. Untuk
itu, diperlukan peningkatan program dengan intensitas rendah dan lebih tepat, terutama bagi pasien kanker paru
stadium lanjut yang sedang menjalani kemoterapi. Tidak ada informasi tentang pelatihan olahraga di rumah
untuk pasien
ini. Namun, program olahraga di rumah telah terbukti layak dan meningkatkan status fungsional dan kualitas
hidup pasien kanker payudara serta mengurangi disfungsi jantung. 2 , 52 , 53
Beberapa penelitian menggambarkan efektivitas olahraga pada pasien kanker paru stadium
lanjut. 8 Spruit dkk. 54 meneliti efek program rehabilitasi rawat inap multidisiplin pada pasien NSCLC dengan
penyakit penyerta seperti COPD, hipertensi arteri, dan serangan iskemik transien. Latihan olah raga terdiri dari
ergometri siklus harian, jalan treadmill, latihan beban, dan senam. Penurunan fungsi paru tidak berubah,
sementara perbaikan signifikan ditemukan pada jarak berjalan kaki 6 menit dan keluaran tenaga puncak
bersepeda. 54 Jones dkk. 55 menerapkan program latihan aerobik pada 19 pasien kanker paru-paru (I-III B
NSCLC). Peningkatan signifikan dalam kualitas hidup, kinerja olahraga, dan tingkat keparahan kelelahan
pasien dilaporkan. 55 Cesario dkk. 34 menerapkan program rehabilitasi paru rawat inap multidisiplin pada 25
pasien NSCLC yang telah menjalani reseksi
paru. Ditemukan bahwa jarak berjalan kaki meningkat secara signifikan meskipun tidak ada perubahan pada
fungsi paru. 34 Ozalevli dkk. 11 mendaftarkan 18 pasien dengan kanker paru stadium IIIA-B dan IV stadium
lanjut yang tidak memiliki indikasi bedah dan menerima kemoterapi dan radioterapi intensif dalam program
fisioterapi dada rawat inap. Meskipun tidak ada perubahan pada fungsi paru di akhir program, penurunan
signifikan dalam tingkat kelelahan dan sesak napas dirasakan oleh pasien, dan peningkatan signifikan dalam
kualitas hidup dan kapasitas olahraga ditentukan. 11 Riesenberg dan Lübbe 56 menerapkan program latihan
aerobik pada 45 pasien kanker paru multimorbid yang telah menjalani pembedahan dan/atau radioterapi
dan/atau
kemoterapi. Ditentukan bahwa setelah peningkatan performa kerja dengan ergometri sepeda dan tes jalan kaki
6 menit (status fungsional), detak jantung saat istirahat menurun, kualitas hidup meningkat,
dan kelelahan berkurang. 56 Temel dkk. 50 mendaftarkan 25 pasien dengan kanker paru stadium lanjut (NSCLC
stadium lanjut, stadium IIIB dengan efusi pleura atau perikardial atau stadium IV), yang menerima kemoterapi,
dalam program latihan aerobik dan latihan kekuatan. Penulis telah menyatakan bahwa program ini berlaku pada
pasien dengan kanker paru stadium lanjut. 50 Menariknya, penelitian mengamati bahwa ergometer siklus lebih
disukai daripada berjalan di treadmill. Intensitas latihan dapat diatur lebih akurat dan pemantauan terhadap
pasien lebih
mudah. Selain itu, cycle ergometer merupakan alat olah raga yang lebih tepat dibandingkan treadmill karena
sebagian besar pasien kanker paru sudah berusia lanjut dan kemungkinan besar mengalami gangguan
keseimbangan. 43 Tidak ada cukup informasi mengenai pendekatan olahraga dan fisioterapi untuk pasien kanker
paru stadium lanjut, terutama selama kemoterapi. Namun dikatakan bahwa untuk melindungi kinerja fisik,
meskipun terkait kemoterapi karena kelelahan dan kelelahan, latihan aerobik mungkin tepat dan efektif pada
periode ini. 57 , 58 Telah dinyatakan melalui penelitian bahwa latihan aerobik, pijat, relaksasi, dan pelatihan
kesadaran tubuh pada pasien kanker paru stadium lanjut yang menjalani kemoterapi terutama mengurangi gejala
kelelahan dan membantu mengatasi gejala. 2 , 57 Umumnya pada periode ini disarankan melakukan latihan
kontraksi ritmis tanpa menambah kelelahan dan ritme rendah dengan relaksasi pada program latihan aerobik
yang diterapkan. 58
Pada pasien dengan kanker paru stadium lanjut, mobilisasi, dengan atau tanpa oksigen, pada pasien yang
menderita dekondisi parah sangat berguna. Dinyatakan bahwa penerapan latihan bantu pasif atau aktif yang
digunakan untuk mencegah atrofi otot dapat bermanfaat bagi pasien kanker paru-paru parah yang tidak dapat
melakukan kontraksi otot aktif secara efektif. Dalam kasus ini, stimulasi listrik neuromuskular (NMES) juga
terbukti efektif. 59 Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa intervensi NMES dapat ditoleransi dengan baik
dan efektif jika digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan olahraga, menghasilkan peningkatan kekuatan,
massa otot, kapasitas olahraga, dan rasa dispnea selama aktivitas sehari-hari pada pasien dengan PPOK yang
sangat parah, gagal jantung kronis. , dan pasien unit perawatan intensif dengan ventilasi mekanis yang
mengalami gejala yang tidak dapat ditoleransi selama atau setelah pelatihan aktif karena perkembangan
penyakit yang
mendasarinya. 12 , 22 , 60 , 61 Telah disarankan bahwa penerapan NMES sebagai program NMES berbasis rumah
dapat mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot paha depan femoris pada pasien dengan kanker paru-
paru. 62 , 63 Uji coba terkontrol secara acak diperlukan untuk mempelajari kemanjuran dan keamanan NMES
untuk pasien kanker paru-paru dengan disabilitas berat.
Sejumlah kecil penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi paru mengurangi risiko perioperatif dan
meningkatkan kapasitas fungsional pada pasien kanker paru. Rehabilitasi paru disarankan sebagai pengobatan
terapeutik yang layak dan aman pada pasien kanker paru. 8 Namun, tidak banyak literatur mengenai efektivitas
dan isi rehabilitasi paru pada pasien kanker paru stadium
lanjut. Dirancang dengan baik, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperluas peran rehabilitasi paru dan
program olahraga khusus pada pasien kanker paru stadium lanjut.
Kelelahan terkait kanker
Salah satu dampak kanker yang paling umum dan menyusahkan adalah kelelahan. Kelelahan yang
berhubungan dengan kanker didefinisikan sebagai “perasaan lelah subjektif yang tidak biasa dan terus-
menerus” yang timbul secara langsung dan/atau tidak langsung akibat kanker atau pengobatannya. 53 Gejala
ini terjadi sejak tahap awal penyakit dan berdampak negatif pada
pasien. 64 Sebuah penelitian menetapkan bahwa 57% pasien dengan NSCLC stadium 1A-1B mengalami
kelelahan berdasarkan Brief Fatigue Inventory. Dikatakan bahwa tingkat kelelahan yang tinggi meskipun
penyakit masih dalam tahap awal menyebabkan gangguan status fungsional pasien. 65
Telah ditemukan bahwa fungsi fisik pasien karsinoma paru stadium lanjut menurun karena kelelahan.
Kelelahan tersebut bukan disebabkan oleh penurunan berat badan dan anemia, namun berkaitan dengan faktor
psikologis. 66 Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien rawat jalan dengan kanker paru stadium
lanjut, stadium lllA–B, IV mengalami 81,5% kelelahan dan disertai 74,5% dispnea dan 65% gejala nyeri.
Ditemukan bahwa sekitar sepertiga pasien dengan kelelahan memiliki aktivitas kehidupan sehari-hari yang
terbatas seperti berjalan karena kelelahan, yang juga mempengaruhi keadaan emosional pasien secara negatif.
15
Selain disebabkan oleh kanker itu sendiri, ada banyak penyebab kelelahan yang berhubungan dengan kanker
seperti anemia, obat-obatan, perubahan metabolisme, infeksi, dehidrasi, kehilangan kekuatan dan koordinasi
otot, penurunan kondisi fisik, tekanan emosional, kesulitan tidur. , ketidakaktifan, nyeri, gizi buruk, dan
penyakit penyerta atau kondisi medis lainnya selain
kanker. 67 Kelelahan yang berhubungan dengan kanker adalah masalah kompleks yang mempunyai pengaruh
fisik dan psikososial. Oleh karena itu, terapi dan strategi yang akan digunakan untuk mengurangi kelelahan
harus dipertimbangkan secara multiarah dan komprehensif.
Untuk memerangi kelelahan yang berhubungan dengan kanker, stadium penyakit, cara pengobatan, faktor usia,
dispnea yang memperparah kelelahan, nyeri, muntah dan masalah serupa, tingkat keparahan masalah ini, dan
kualitas hidup individu harus dinilai secara komprehensif. Berdasarkan penilaian ini, pelatihan olah raga, terapi
diet, terapi tidur, terapi kognitif, dan terapi farmakologis dapat disesuaikan dan diterapkan secara individual
untuk mengurangi kelelahan terkait kanker. 68
Intervensi nonfarmakologis untuk kelelahan terdiri dari pendidikan, konseling, dan kelompok dukungan untuk
pengurangan stres dan konservasi energi, nutrisi, dan olahraga. Dipercaya bahwa olahraga mengubah pengaruh
negatif neuromuskular yang disebabkan oleh penyakit ini. Dengan demikian, rasa lelah bisa dikurangi dengan
rutin berolahraga. Telah terbukti pada pasien PPOK bahwa latihan olahraga selama minimal 4 minggu, dengan
atau tanpa pendidikan dan/atau dukungan psikologis, menghasilkan penurunan kelelahan yang signifikan secara
klinis, serta peningkatan dispnea, fungsi emosional, dan rasa kontrol pasien. . 69 Terdapat beberapa bukti yang
mendukung penggunaan olahraga untuk mengatasi kelelahan yang berhubungan dengan kanker, meskipun peran
olahraga pada pasien kanker paru-paru secara spesifik belum diteliti. Olahraga kemungkinan besar akan
memberikan manfaat bagi populasi pasien ini, meskipun data tambahan diperlukan untuk mendukung hal ini. 12 ,
57 , 67 , 70 , 71
Kelelahan akibat kemoterapi menyebabkan ketidaknyamanan dan kelelahan fisik, yang menyebabkan
berkurangnya tingkat aktivitas dan penghindaran upaya fisik. 2 Terlepas dari gejala ini, ditemukan bahwa latihan
aerobik yang diterapkan selama periode kemoterapi mengurangi stres psikologis dan tingkat keparahan
kelelahan yang dirasakan. 57 Selain itu, latihan jalan kaki moderat sebagai program di rumah mengurangi
kelelahan. 53 Program olahraga untuk mengurangi kelelahan mungkin tidak sesuai untuk penyakit paru-paru
stadium lanjut, namun diasumsikan bahwa kelelahan dapat dikurangi dengan mengatasi gejala dispnea, depresi,
dan insomnia yang berhubungan dengan
kelelahan. 72 , 73 Selain itu, memahami mekanisme yang mendasari kehilangan dan perolehan energi, serta
hubungan antara jumlah dan jenis aktivitas dan tidur yang tepat, adalah penting dan dapat menghasilkan
program terapi yang lebih efektif. Diketahui bahwa pelatihan teknik konservasi energi mengurangi kelelahan
dan meningkatkan kapasitas fungsional, sehingga mempertahankan pengendalian gejala. 9 , 28 , 68 , 74 Strategi
konservasi energi juga dapat digunakan untuk pasien kanker paru stadium lanjut.
Batuk dan sekret pernafasan
Batuk dan keluarnya cairan berlebih merupakan gejala yang umum dan menyusahkan pada pasien kanker paru-
paru. Kedua gejala tersebut terlihat terutama pada pasien kanker paru stadium akhir dengan angka perkiraan
40%. Pasien kanker paru-paru yang menderita PPOK dapat menderita batuk yang lebih parah disertai sekresi
bronkus. 75
Batuk pada pasien kanker paru disebabkan oleh kelainan paru (infeksi saluran pernafasan atas dan bawah,
PPOK, asma atau edema paru, dll), penyakit refluks gastroesofageal, aspirasi, dan obat- obatan tertentu
(penghambat enzim pengonversi angiotensin dan obat antiinflamasi nonsteroid, dll.
.). 14 Batuk kronis dan parah meningkatkan nyeri kanker pada pasien kanker paru-paru, menyebabkan kurang
tidur, dispnea, dan kelelahan atau meningkatkan keparahannya dan menyebabkan kecemasan. 14 , 75 Meskipun
pada kanker paru-paru, batuk dapat dibantu dengan obat-obatan, telah dinyatakan bahwa hidrasi, pengisapan
lembut, drainase postural, fisioterapi dada, dan aplikasi osilasi eksternal dapat bermanfaat bagi pasien dengan
kanker paru-paru, PPOK yang mendasari, dan bronkiektasis yang menderita kanker paru-paru. refleks batuk
yang buruk untuk menjaga kebersihan bronkus. 5 , 7 , 9 , 14 , 23 , 25 , 61 Sayangnya, belum ada penelitian di bidang ini.
Karena risiko metastasis tinggi pada pasien dengan kanker paru stadium lanjut, maka masuk akal untuk
menghindari aplikasi perkusi pada dinding dada (perkusi, getaran, dll.). 76 Meskipun tidak ada bukti terkait,
interpretasi dapat dibuat untuk pasien kanker paru-paru berdasarkan penerapan teknik menjaga kebersihan
bronkus pada penyakit yang berisiko dan kompleks. Misalnya, latihan perluasan dada dan kontrol pernapasan
mungkin berguna untuk membantu memobilisasi sekresi ke pohon bronkial. Teknik ekspirasi paksa dan batuk
dapat digunakan untuk membantu pasien memobilisasi sekret. Teknik ekspirasi paksa terdiri dari satu atau dua
huff yang dipadukan dengan kontrol pernapasan. Teknik ini dapat digunakan dalam posisi apa pun sesuai
dengan kebutuhan individu, dan penelitian menunjukkan bahwa tidak ada efek terhadap hipoksemia. Selain itu,
telah dinyatakan bahwa teknik ini digunakan dan terbukti efektif pada periode eksaserbasi akut pasien PPOK. 76 ,
77 Selain itu, flutter, sebuah alat yang sederhana, mudah digunakan, dan dapat digunakan sendiri, meningkatkan
pengeluaran dahak selama pengobatan dan mengurangi resistensi saluran napas total dan perifer pada pasien
hipersekresi. 78
Nyeri
Telah diamati bahwa 56% pasien PPOK stadium lanjut dan pasien kanker menderita nyeri yang mengganggu.
13 Selain itu, ditemukan bahwa 28% pasien kanker paru-paru mengalami nyeri hebat. 79 Penyebab nyeri pada
Konflik kepentingan
Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.
Pendanaan
Penelitian ini tidak menerima hibah khusus dari lembaga pendanaan mana pun di sektor publik, komersial, atau
nirlaba.
Referensi
1. Moss M. Tahun klinis dalam tinjauan I: kanker paru-paru, penyakit pleura, tes olahraga dan rehabilitasi
paru, dan obat tidur. Proc Am Thorac Soc 2008; 15: 739–744.
2. Benzo Rp. Rehabilitasi paru pada kanker paru-paru: sebuah peluang ilmiah. J Rehabilitasi
Kardiopulm Sebelumnya 2007; 27: 61–64.
3. Temel JS, Pirl WF, Lynch TJ. Manajemen gejala komprehensif pada pasien kanker paru non-sel kecil
stadium lanjut. Klinik Kanker Paru-Paru 2006; 7: 241–249.
4. Ripamonti C, Fusco F. Masalah pernafasan pada kanker stadium lanjut. Dukungan Perawatan Canc 2002;
10: 204–216.
5. Nici L. Peran rehabilitasi paru pada pasien kanker paru. Semin Respira Crit Care Med 2009; 30: 670–674.
6. Loganathan RS, Stover DE, Shi W, Venkatraman E. Prevalensi PPOK pada wanita dibandingkan pria
pada sekitar waktu diagnosis kanker paru primer. Dada 2006; 129: 1305–1312.
7. Solà I, Thompson E, Subirana M, López C, Pascual A. Intervensi noninvasif untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup pasien kanker paru-paru. Basis Data Cochrane dari Syst Rev 2004; 18:
CD004282.
8. Shannon VR. Peran rehabilitasi paru dalam penatalaksanaan pasien kanker paru. Curr Opin
Pulmon Med 2010; 16: 334–339.
9. Ries AL, Bauldoff GS, Carlin BW, Casaburi R, Emery CF, Mahler DA, dkk. Pedoman praktik klinis
berbasis bukti sendi rehabilitasi paru ACCP/AACVPR. Dada 2007; 131: 4S–42S.
10. Spruit MA, Mansour K, Wouters EFM, Hochstenbag MM. Rehabilitasi berbasis olahraga pada pasien
kanker paru-paru. Dalam: Saxton J, Daley A (eds) Latihan dan Ketahanan Kanker . New York, NY:
Springer, 2010, hlm.173–187.
11. Ozalevli S, Ilgin D, Kul Karaali H, Bulac S, Akkoclu A. Pengaruh fisioterapi dada rawat inap pada
pasien kanker paru-paru. Dukungan Perawatan Canc 2010; 18: 351–358.
12. Sachs S, Weinberg RL. Rehabilitasi paru untuk dispnea dalam rangkaian perawatan paliatif. Curr
Opin Mendukung Perawatan Palliat 2009; 3: 112–119.
13. Edmonds P, Karlsen S, Khan S, Addington-Hall J. Perbandingan kebutuhan perawatan paliatif pasien
yang meninggal akibat penyakit pernapasan kronis dan kanker paru-paru. Palliat Med 2001; 15: 287–295.
14. Shamieh O, Jazieh AR. Perawatan paliatif dan manajemen gejala untuk kanker paru-paru. Ann
Thorac Med 2010; 5: 66–69.
15. Tanaka K, Akechi T, Okuyama T, Nishiwaki Y, Uchitomi Y. Faktor yang berhubungan dengan dispnea
pada pasien kanker paru stadium lanjut: penyebab organik dan apa lagi? J Penanganan Gejala Nyeri 2002; 23:
490– 500.
16. Ripamonti C. Penatalaksanaan dispnea pada pasien kanker stadium lanjut. Dukungan
Perawatan Canc 1999; 7: 233–243.
17. Smith EL, Hann DM, Ahles TA, Furstenberg CT, Mitchell TA, Meyer L, dkk. Dispnea, kecemasan,
kesadaran tubuh, dan kualitas hidup pada pasien kanker paru. J Penanganan Gejala Nyeri 2001; 21: 323–
329.
18. Hopwood P, Stephens RJ. Depresi pada pasien kanker paru-paru: prevalensi dan faktor risiko berasal
dari data kualitas hidup. J Klinik Oncol 2000; 18: 893–903.
19.Manning HL, Schwartzstein RM. Patofisiologi dispnea. N Engl J Med 1995; 333: 1547–1553.
20. Spathis A, Booth S. Perawatan akhir hidup pada penyakit paru obstruktif kronik: mencari kematian
yang baik. PPOK Int J 2008: 3; 11–29.
21. Mahler DA, Selecky PA, Harrod CG, Benditt JO, Carrieri-Kohlman V, Curtis JR, dkk. Pernyataan
konsensus dokter dada di American College tentang pengelolaan dispnea pada pasien dengan penyakit paru
atau jantung stadium lanjut. Dada 2010; 137: 674–691.
22. McCormick JR. Rehabilitasi paru dan perawatan paliatif. Semin Respira Crit Care Med 2009; 30: 684–699.
23. Fisher S, Lowrie D. Manajemen sesak. Dalam: Rankin J, Murtagh N, Cooper J, Lewis S (eds)
Rehabilitasi dalam Perawatan Kanker . AS: Wiley-Blackwell, 2008, hlm.302–308.
24. Corner J, Plant H, A'Hern R, Bailey C. Intervensi non-farmakologis untuk sesak napas pada kanker paru-
paru. Palliat Med 1996; 10: 299–305.
25. Gosselink R. Teknik pernafasan pada PPOK. Chron Respir Dis 2004; 1: 163–172.
26. Schwartzstein RM, Lahive K, Paus A, Weinberger SE, Weiss JW. Stimulasi wajah dingin mengurangi
sesak napas yang terjadi pada subjek normal. Am Rev Respir Dis 1987; 136: 58–61.
27. Booth S, Farquhar M, Gysels M, Bausewein C, Higginson IJ. The impact of a breathlessness
intervention service (BIS) on the lives of patients with intractable dyspnea: a qualitative phase 1 study.
Palliat Support Care 2006; 4: 287–293.
28. Bausewein C, Booth S, Gysels M, Higginson I. Non-pharmacological interventions for breathlessness in
advanced stages of malignant and non-malignant diseases. Cochrane Database Syst Rev 2008; 2:
CD005623.
29. Filshie J, Penn K, Ashley S, Davis CL. Acupuncture for the relief of cancer-related breathlessness. Palliat
Med 1996; 10: 145–150.
30. Tiep BL, Burns M, Kao D, Madison R, Herrera J. Pursed lips breathing training using
ear oximetry. Chest 1986; 90: 218–221.
31. Breslin EH. Dyspnea-limited response in chronic obstructive pulmonary disease: reduced unsupported
arm activities. Rehabil Nurs 1992; 17: 12–20.
32. Nield MA, Soo Hoo GW, Roper JM, Santiago S. Efficacy of pursed-lips breathing: a breathing pattern
retraining strategy for dyspnea reduction. J Cardiopulm Rehabil Prev 2007; 27: 237–244.
33. Gilman SA, Banzett RB. Physiologic changes and clinical correlates of advanced dyspnea. Curr
Opin Support Palliat Care 2009; 3: 93–97.
34. Cesario A, Ferri L, Galetta D, Pasqua F, Bonassi S, Clini E, et al. Postoperative respiratory
rehabilitation after lung resection for nonsmall cell lung cancer. Lung Canc 2007; 57: 175–180.
35. Maltais F, LeBlanc P, Jobin J, Casaburi R. Peripheral muscle dysfunction in chronic obstructive
pulmonary disease. Clin Chest Med 2000; 21: 665–677.
36. Stulbarg MS, Carrieri-Kohlman V, Demir-Deviren S, Nguyen HQ, Adams L, Tsang AH, et al. Exercise
training improves outcomes of a dyspnea self-management program. J Cardiopulm Rehabil 2002; 22: 109–121.
37. Hill K, Goldstein R, Gartner EJ, Brooks D. Daily utility and satisfaction with rollators among persons
with chronic obstructive pulmonary disease. Arch Phys Med Rehabil 2008; 89: 1108–1113.
38. Thomas MJ, Simpson J, Riley R, Grant E. The impact of home-based physiotherapy interventions on
breathlessness during activities of daily living in severe COPD: a systematic review. Physiotherapy 2010; 96:
108–119.
39. Clarka MM, Novotnyb PJ, Pattenc CA, Rauscha SM, Garcesd YI, Jatoie A, et al. Motivational readiness
for physical activity and quality of life in long-term lung cancer survivors. Lung Canc 2008; 61: 117–122.
40. Wagner PD. Skeletal muscles in chronic obstructive pulmonary disease: deconditioning,
or myopathy? Respirology 2006; 11: 681–686.
41. Grangera CL, McDonaldb CF, Berneyc S, Chaoc C, Denehy L. Exercise intervention to improve
exercise capacity and health related quality of life for patients with Non-small cell lung cancer: a systematic
review. Lung Canc 2011; 72: 139–153.
42. Rueda JR, Solà1 I, Pascual A, Casacuberta MS. Non-invasive interventions for improving well-being and
quality of life in patients with lung cancer. Cochrane Database Syst Rev 2011; 7: CD004282.
43. Jones LW, Eves ND, Kraus WE, Potti A, Crawford J, Blumenthal JA, et al. The lung cancer exercise
training study: a randomized trial of aerobic training, resistance training, or both in postsurgical lung
cancer patients: rationale and design. BMC Canc 2010; 10: 155.
44. Deschenes MR, Kraemer WJ. Performance and physiologic adaptations to resistance training. Am J
Phys Med Rehabil 2002; 81: S3–S16.
45. Oldervolla LM, Kaasaa S, Hjermstadc MJ, Lundb JA, Loge HJ. Physical exercise results in the improved
subjective well-being of a few or is effective rehabilitation for all cancer patients? Eur J Canc 2004; 40: 951–
996.
46. Troosters T, Probst VS, Crul T, Pitta F, Gayan-Ramirez G, Decramer M, et al. Resistance training
prevents deterioration in quadriceps muscle function during acute exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2010; 81: 1072–1077.
47. Kortianou EA, Nasis IG, Spetsioti ST, Daskalakis AM, Vogiatzis I. Effectiveness of interval
exercise training in patients with COPD. Cardiopulm Phys Ther J 2010; 21: 12–19.
48. Puhan MA, Schünemann HJ, Buesching G, vanOort E, Spaar A, Frey M. COPD patients' ability to
follow exercise influences short-term outcomes of rehabilitation. Eur Respir J 2008; 31: 304–310.
49. Dolmage TE, Goldstein RS. Effects of one-legged exercise training of patients with COPD. Chest 2008;
133: 370–376.
50. Temel JS, Greer JA, Goldberg S, Vogel PD, Sullivan M, Pirl WF, et al. A structured exercise program
for patients with advanced non-small cell lung cancer. J Thorac Oncol 2009; 4: 595–601.
51. Adamsen L, Quist M, Midtgaard J, Andersen C, Møller T, Knutsen L, et al. The effect of a
multidimensional exercise intervention on physical capacity, well-being and quality of life in cancer patients
undergoing chemotherapy. Support Care Canc 2006; 14: 116–127.
52. Dracup K, Evangelista LS, Hamilton MA, Erickson V, Hage A, Moriguchi J, et al. Effects of a home-
based exercise program on clinical outcomes in heart failure. Am Heart J 2007; 154: 877–883.
53. Mock V, Pickett M, Ropka ME, Muscari Lin E, Stewart KJ, Rhodes VA, et al. Fatigue and quality of
life outcomes of exercise during cancer treatment. Canc Pract 2001; 9: 119–127.
54. Spruit MA, Janssen PP, Willemsen SC, Hochstenbag MM, Wouters EF. Exercise capacity before and
after an 8-week multidisciplinary inpatient rehabilitation program in lung cancer patients: a pilot study. Lung
Canc 2006; 52: 257–260.
55. Jones LW, Eves ND, Peterson BL, Garst J, Crawford J, West MJ, et al. Safety and feasibility of aerobic
training on cardiopulmonary function and quality of life in postsurgical nonsmall cell lung cancer patients:
a pilot study. Cancer 2008; 113: 3430–3439.
56. Riesenberg H, Lübbe AS. In-patient rehabilitation of lung cancer patients-a prospective study. Support
Care Canc 2010; 18: 877–882.
57. Dimeo FC. Effects of exercise on cancer-related fatigue. Cancer 2001; 92: 1689–1693.
58. Adamsen L, Midtgaard J, Andersen C, Quist M, Moeller T, Roerth M. Transforming the nature of
fatigue through exercise: qualitative findings from a multidimensional exercise programme in cancer
patients undergoing chemotherapy. Eur J Canc Care (Engl). 2004; 13: 362–370.
59. Gosselink R. Physiotherapy in respiratory disease. Breathe 2006; 3: 31–39.
60. Sillen MJ, Speksnijder CM, Eterman RM, Janssen PP, Wagers SS, Wouters EF, et al. Effects of
neuromuscular electrical stimulation of muscles of ambulation in patients with chronic heart failure or COPD:
a systematic review of the English-language literature. Chest 2009; 136: 44–61.
61. Burtin C, Decramer M, Gosselink R, Janssens W, Troosters T. Rehabilitation and acute exacerbations.
Eur Respir J 2011; 38: 702–712.
62. Crevenna R, Marosi C, Schmidinger M, Fialka-Moser V. Neuromuscular electrical stimulation for a
patient with metastatic lung cancer: a case report. Support Care Canc 2006; 14: 970–973.
63. Maddocks M, Mockett S, Wilcock A. The effect of a physical exercise program in palliative care: a phase
II study. J Pain Symptom Manage 2006; 32: 513–513.
64. Ahlberg K, Ekman T, Gaston-Johansson F, Mock V. Assessment and management of cancer-related
fatigue in adults. Lancet 2003; 362: 640–650.
65. Hung R, Krebs P, Coups EJ, Feinstein MB, Park BJ, Burkhalter J, et al. Fatigue and functional
ımpairment in early-stage non-small cell lung cancer survivors. J Pain Symptom Manage 2011; 41: 426–435.
66. Brown DJ, McMillan DC, Milroy R. The correlation between fatigue, physical function, the systemic
ınflammatory response, and psychological distress in patients with advanced lung cancer. Cancer 2005; 103:
377–382.
67. Curtis EB, Krech R, Walsh TD. Common symptoms in patients with advanced cancer. J Palliat Care
1991; 7: 25–29.
68. Winningham ML. Strategies for managing cancer-related fatigue syndrome: a
rehabilitation approach. Cancer 2001; 92: 988–997.
69. Lacasse Y, Goldstein R, Lasserson TJ, Martin S. Pulmonary rehabilitation for chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev 2006; 18: CD003793.
70. Okuyama T, Tanaka K, Akechi T, Kugaya A, Okamura H, Nishiwaki Y, et al. Fatigue in
ambulatory patients with advanced lung cancer: prevalence, correlated factors, and screening. J Pain
Symptom Manage 2001; 22: 554–564.
71. Cramp F, Daniel J. Exercise for the management of cancer-related fatigue in adults. Cochrane Database
Syst Rev 2012; 11: CD006145.
72. Woo K. Physical activity as a mediator between dyspnea and fatigue in patients with chronic
obstructive pulmonary disease. Can J Nurs Res 2000; 32: 85–98.
73. Dimeo FC, Thomas F, Raabe-Menssen C, Pröpper F, Mathias M. Effect of aerobic exercise and
relaxation training on fatigue and physical performance of cancer patients after surgery. A randomised
controlled
trial. Support Care Canc 2004; 12: 774–779.
74. Mock V, Atkinson A, Barsevick AM, Berger AM, Cimprich B, Eisenberger MA, et al. Cancer-related
fatigue. Clinical practice guidelines in oncology. J Natl Compr Canc Netw 2007; 5: 1054–1078.
75. Hopwood P, Stephens RJ. Symptoms at presentation for treatment in patients with lung cancer:
implications for the evaluation of palliative treatment. The medical research council (MRC) lung cancer
working party. Br J Canc 1995; 71: 633–636.
76. Conway M, Macbeth F. Lung cancer and other thoracic tumours. In: Smith M, Ball V (eds)
Cardiovascular respiratory physiotherapy. UK: Mosby Inter Lim, 1998, pp. 145–153.
77. Hill K, Patman S, Brooks D. Effect of airway clearance techniques in patients experiencing an acute
exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease: a systematic review. Chron Respir Dis 2010; 7: 9–17.
78. Ambrosino N, Callegari G, Galloni C, Brega S, Pinna G: Clinical evaluation of oscillating positive
expiratory pressure for enhancing expectoration in diseases other than cystic fibrosis. Monaldi Arch
Chest Dis 1995; 50: 269–275.
79. Claessens MT, Lynn J, Zhong Z, Desbiens NA, Phillips RS, Wu AW, et al. Dying with lung cancer or
chronic obstructive pulmonary disease: insights from SUPPORT: Study to understand prognoses and
preferences for outcomes and risks of treatments. J Am Geriatr Soc 2000; 48: S146–S153.
80. Hurlow A, Bennett MI, Robb KA, Johnson MI, Simpson KH, Oxberry SG. Transcutaneous electric
nerve stimulation (TENS) for cancer pain in adults. Cochrane Database Syst Rev 2012;14: CD006276.
81. Smith MC, Yamashita TE, Bryant LL, Hemphill L, Kutner JS. Providing massage therapy for people
with advanced cancer: what to expect. J Altern Complem Med 2009; 15: 367–371.
82. Kutner JS, Smith MC, Corbin L, Hemphill L, Benton K, Yamashita TE. Massage therapy vs. Simple
touch to improve pain and mood in patients with advanced cancer: a randomized trial. Ann Intern Med 2008;
149: 369–379.
83. Bailey C. Palliative care breathlessness. NT Learn Curve 1997; 1: 5–8.
84. Renfroe KL. Pengaruh relaksasi progresif terhadap dispnea dan keadaan kecemasan pada pasien
penyakit paru obstruktif kronik. Jantung Paru 1988; 17: 408–413.
85. Kunik ME, Braun U, Stanley MA, Wristers K, Molinari V, Stoebner D, dkk. Terapi perilaku kognitif
satu sesi untuk pasien lanjut usia dengan penyakit paru obstruktif kronik. Psikologi Med 2001; 31: 717–723.
86. Taylor NF, Dodd KJ, Damiano DL. Latihan resistensi progresif dalam terapi fisik: ringkasan
tinjauan sistematis. Fisika Ada 2005; 85: 1208–1223.
87. Paz-Díaz H, Montes de Oca M, López JM, Celli BR. Rehabilitasi paru memperbaiki depresi,
kecemasan, dispnea dan status kesehatan pada pasien PPOK. Am J Phys Med Rehabilitasi 2007; 86: 30–36.
88. Barbour KA, Edenfield TM, Blumenthal JA. Latihan sebagai pengobatan untuk depresi dan
gangguan kejiwaan lainnya: review. J Rehabilitasi Kardiopulm Sebelumnya 2007; 27: 359–367.
89. Emery CF, Schein RL, Hauck ER, MacIntyre NR. Hasil psikologis dan kognitif dari uji coba olahraga
secara acak di antara pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Psikologi Kesehatan 1998; 17: 232–240.
90. Wulff CN, Thygesen M, Søndergaard J, Vedsted P. Manajemen kasus yang digunakan untuk
mengoptimalkan jalur perawatan kanker: tinjauan sistematis. Pelayanan Kesehatan BMC Res 2008; 8: 227.
Link Dampak fisioterapi pada pasien kanker paru stadium lanjut - Sevgi Ozalevli, 2013 (journals-sagepub-
com.translate.goog)
SOP FISIOTERAPI DADA
A. PENGERTIAN
Tindakan untuk melepaskan sekret dari saluran nafas bagian bawah
B. TUJUAN
1. Membebaskan jalan nafas dari akumulasi secret
2. Mengurangi sesak nafas akibat akumulasi secret
C. PETUGA
S Perawat
D. PERALATAN
1. Kertas tissue
2. Bengkok
3. Perlak/alas
4. Sputum pot berisi desinfektan
5. Air minum hangat
E. PROSEDUR PELAKSANAAN
1. Tahap PraInteraksi
a. Mengecek program terapi
b. Mencuci tangan
c. Menyiapkan alat
2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam dan sapa nama pasien
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
c. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
3. Tahap Kerja
a. Menjaga privacy pasien
b. Mengatur posisi sesuai daerah gangguan paru
c. Memasang perlak/alas dan bengkok (di pangkuan pasien bila duduk atau di
dekat mulut bila tidur miring)
d. Melakukan clapping dengan cara tangan perawat menepuk punggung
pasien secara bergantian
e. Menganjurkan pasien inspirasi dalam, tahan sebentar, kedua tangan perawat
di punggung pasien
f. Meminta pasien untuk melakukan ekspirasi, pada saat yang bersamaan
tangan perawat melakukan vibrasi
g. Meminta pasien menarik nafas, menahan nafas, dan membatukkan dengan kuat
h. Menampung lender dalam sputum pot
i. Melakukan auskultasi paru
j. Menunjukkan sikap hati-hati dan memperhatikan respon pasien
4. Tahap Terminasi
a. Melakukan evaluasi tindakan
b. Berpamitan dengan klie
c. Membereskan alat
d. Mencuci tangan
e. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP )
A. Pengertian :
Merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien yang mengalami
nyerikronis. Rileks sempurna yang dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh,
kecemasansehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri. Ada tiga hal yang
utama dalam teknik relaksasi
C. Prosedur pelaksanaan :
1. Tahap prainteraksi
a. Membaca status pasien
b. Mencuci tangan
c. Menyiapkan alat
2. Tahap orintasi
a. Memberikan salam teraupetik
b. Validasi kondisi pasien
c. Menjaga privacy pasien
d. Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien dan
keluarga
3. Tahap kerja
a. Memberi kesempatan kepada pasien untuk bertanya bila ada sesuatu yang kurang
dipahami/jelas
b. Atus posisi pasien agar rileks tanpa adanya beban fisik
c. Instruksikan pasien untuk melakukan tarik napas dalam sehingga rongga
paru berisi udara, intruksikan pasien dengan cara perlahan.
d. Menghembuskan udara membiarkannya keluar dari setiap anggota tabuh, pada
saat bersamaan minta pasien untuk memusatkan perhataiannya pada sesuatu hal
yang indah dan merasakan betapa nikmatnya rasanya
e. Instruksikan pasien buat bernafas dengan irama normal beberapa saat (1-2) menit
f. Instruksikan pasien untuk kembali menarik nafas dalam, kemudian
menghembuskannya dengan cara perlahan
g. Merasakan saat ini udara mulai mengalir dari tangan, kaki menuju keparu-paru
seterusnya rasakan udara mengalir keseluruh bagian anggota tubuh
h. Minta pasien untuk memusatkan perhatian pad kaki dan tangan dan merasakan
keluar dari ujung-ujung jari tangan dan kaki dan rasakan kehangatannya
i. Minta pasien untuk memusatkan perhatian pada kaki dan tangan, udara yang
mengalir dan merasakan keluar dari ujung-ujung jari tangan dan kai dan rasakan
kehangatanya
j. Instruksiakan pasien untuk mengulani teknik-teknik ini apa bila rasa nyeri
kembali lagi
k. Setelah pasien merasakan ketenangan, minta pasien untuk melakukan secara
mandiri
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi hasil kegiatan
b. Lakukan kontrak untuk kegistsn selanjutnya
c. Akhiri kegiatan dengan baik
d. Cuci tangan
5. Dokumentasi
a. Catat waktu pelaksaan tindakan
b. Catat respon pasien
c. Paraf dan nama perawat juga (Sumber: Murni, 2014)
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BATUK EFEKTIF
BATUK EFEKTIF
STANDAR
OPERASIONAL
PROSEDUR
PENGERTIAN Latihan mengeluarkan secret yang terakumulasikan dan
mengganggu di saluran nafas dengan cara dibatukkan
TUJUAN 1. membebaskan jalan nafas dari akumulasi secret
2. mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan diagnostic
Laboraturium
3. mengurangi sesak nafas akibat akumulasi sekret
KEBIJAKAN 1. klien dengan gangguan saluran nafas akibat akumulasi
sekret
2. pemeriksaan diagnostic sputum di laboraturium
PETUGAS Perawat
PERALATAN a. tempat sputum
b. Tissu
c. Stestoskop
d. Hanscoon
e. Masker
f. Air putih hangat dalam gelas
PROSEDUR Tahap prainteraksi
PERALATAN 1. Mengecek program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
Tahap orientasi
1. Memberikan salam dan nama klien
2. Menjelaskan tujuan dan sapa nama klien
Tahap kerja
1. Menjaga privasi klien
2. Mempersiapkan klien
3. Meminta klien meletakkan satu tangan di dada
dan satu tangan di perut
4. Melatih klien tuberkulosis melakukan napas
perut (menarik napas dalam melalui hidung
hingga 3 hitungan, jaga mulut tetap tertutup)
5. Meminta klien tuberkulosis
merasakan mengembangnya perut
6. Meminta klien tuberkulosis menahan napas hingga
3 hitungan
7. Meminta klien tuberkulosis menghembuskan napas
perlahan dalam 3 hitungan (lewat mulut, bibir
seperti meniup)
8. Meminta klien tuberkulosis merasakan
mengempisnya perut
9. Memasang perlak/alas dan bengkok (di pangkuan
penderita tuberkulosis bila duduk atau di dekat mulut
bila tidur miring)
10. Meminta penderita tuberkulosis untuk melakukan
napas dalam 2 kali, pada inspirasi yang ketiga
tahan napas dan batukkan dengan kuat
11. Menampung lendir ditempat pot yang telah disediakan
tadi
LINK VIDEO
Link Video Fisio Terapi Dada
https://youtu.be/BMtigRxmw_E
Link Video Teknik Relaksasi Nafas Dalam
https://youtu.be/AayrX_MysQs
Link Video Batuk Efektif
https://youtu.be/LEx5zI4lDtw
KUMPULAN LOGBOOK
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
MINGGU KE 2
DISUSUN OLEH:
Skor penilaian
Komponen yang dinilai
1 2 3 4
A Laporan pendahuluan (20%)
1. Kesesuaian sistematika penulisan
2. Kesesuaian LP dengan masalah klien
3. Ketepatan rumusan mekanisme terjadinya masalah
4. Kebenaran rumusan pathway
5. Kelengkapan diagnosa keperawatan
6. Ketepatan rumusan tujuan dan kriteria hasil
7. Ketepatan rumusan tindakan keperawatan dan rasionalnya
8. Rujukan daftar pustaka mutakhir
Total skor
Keterangan :
1 = Kurang
2 = Cukup
3 = Baik
4 = Sangat Baik
FORMAT PENILAIAN
KINERJA KLINIK (SIKAP) PRAKTIK PROFESI KMB
Nama : Heny Triany. NZ NIM: 891232011
Range
No Komponen yang dinilai Nilai Keterangan
nilai
A Komunikasi
1 Membina hubungan kepercayaan dengan klien di 0–4
gambarkan di dalam rencana intervensi askep
2 Responsif terhadap klien di gambarkan di dalam 0–4
intervensi
askep
3 Melakukan pendokumentasian dan pelaporan
0–4
Askep
B Keterampilan dasar
1 Melakukan pengkajian (anamnesa, pemeriksaan
fisik dan studi dokumenter) di gambarkan di dalam 0–4
pengkajian askep
2 Memberikan askep pada klien dan keluarga
dengan baik di gambarkan di dalam intervensi 0–4
askep
3 Melakukan tindakan pencegahan infeksi di 0–4
gambarkan di dalam intervensi askep
4 Menciptakan keamanan dan kenyamanan di 0–4
gambarkan di dalam intervensi askep
5 Menggunakan alat secara tepat guna di gambarkan 0–4
di dalam intervensi askep
6 Bereaksi cepat dan tepat sesuai kondisi klien di 0–4
gambarkan di dalam intervensi askep
C Perilaku profesional
1 Bersikap sopan dan santun yang di gambarkan di 0–4
dalam intervensi askep
2 Melakukan komunikasi pada klien dan keluarga
secara terapeutik di gambarkan di dalam intervensi 0–4
askep
3 Melakukan sikap tanggung jawab dan tanggung
0–4
Gugat di gambarkan di dalam intervensi askep
4 Mempertahankan etika keperwatan di gambarkan 0–4
di dalam intervensi askep
5 Menghargai hak asasi dan keunikan klien di 0–4
gambarkan di dalam intervensi askep
6 Mampu bekerjasama dan berpartisipasi dalam
0-4
kegiatan daring
Total skor
Total skor
Nilai = x 100% =
60