Anda di halaman 1dari 14

A.

Konsep Teori Tuberkulosis (TBC)


1. Pengertian

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh
lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. (Somantri, 2007).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksimenular langsung yang disebabkan oleh


Mycobacteriumtuberculosis.Kuman ini paling sering menyerangorgan paru dengan sumber
penularan adalah pasienTB BTA positif.(Bagiada &Putri, 2010).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri ini
dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada
kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi
bakteri tersebut.(Price dalam Nurarif & Kusuma, 2015).

2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru


a. Anatomi
Menurut Somantri dalam Setianto (2017), paru-paru terletak dalam rongga dada
(mediastinum), dilindungi oleh struktur tulang selangka. Rongga dada dan perut dibatasi
oleh suatu skat yang disebut diafragma.Berat paru-paru kanan sekitar 620 gram,
sedangkan paru-paru kiri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru dipisahkan satu
sama lain oleh jantung dan pembuluh besar serta struktur-struktur lain di dalam rongga
dada. Selaput yang membungkus yang disebut pleura.Paru-paru terbenam bebas dalam
rongga pleura itu sendiri. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga
paru-paru kembang kempis, dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna
untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding
dada sewaktu ada gerakan napas.
Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan terdiri atas tiga
gambar (lobus) yaitu gelambir atas (lobus superior), gelambir tengah (lobus medius), dan
gelambir bawah (lobus inverior).Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua gelambir yaitu
gelambir atas (lobus superior) dan gelambir bawah (lobus inverior).Tiap-tiap lobus terdiri
dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen
yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada lobus inverior.
Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada superior, 2 buah
segmen pada lobus medial, dan 3 buah segmen pada lobus inverior. Tiap-tiap segmen
terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.Diantara lobulus satu dan
lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan syaraf
dalam pada tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.Di dalam lobulus, bronkiolus ini
bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus.Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0.2 sampai 0.3 mm.
b. Fisiologis
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis.Dalam keadaan normal
terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru
dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan antara paru-paru dan
dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007).
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer.Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagijaringan dan
mengeluarkan karbondioksida.Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus
berubahsesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernafasan harus
tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida tersebut (West, 2004).
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi
dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paruparu utama (trachea).Pipa tersebut
berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara
terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah
mengalir.Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat
elastis.Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia
surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis
(McArdle,2006).
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat
mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan atmosfer
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari
sel
4. Pengaturan ventilasi (Guyton, 2007)

Pada waktu menarik nafasdalam, maka otot berkontraksi, tetapi


pengeluaran pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup
dalam, penarikan nafasmelalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-
paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup
ke posisi semula.Aktivitas bernafasmerupakan dasar yang meliputi gerak
tulang rusuk sewaktu bernafasdalam dan volume udara bertambah
(Syaifuddin, 2001).
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan
volume intratoraks.Selama bernafastenang, tekanan intrapleura kira-kira
2,5mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi
menurun sampai 6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih
mengembang dan tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif
dan udara mengalir ke dalam paru-paru.Pada akhir inspirasi, recoil menarik
dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding
dada seimbang.Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang menjadi sedikit
positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru (Syaifuddin, 2001).
3. Patofisiologis
Infeksi diawali karena seseorang menghirupbasil M. tuberculosis. Bakteri
menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat
tertumpuk. Perkembangan M. tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke arah
lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan
aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain
dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh memberikan
respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neurotrofl dan makrofag melakukan
aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberculosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal.Reaksi jaringan ini
mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan
bronkopneumonia.Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah
terpapar bakteri (Soemantri, 2007).
Bila bakteri Tuberkulosis terhirup dari udara melalui saluran pernapasan
dan mencapai alveoli atau bagaian terminal saluran pernapasan. Jika pada proses
ini, bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang
biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari
proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit (makrofag) dari
aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancur bakteri, makrofag harus
diaktifkan terlebih dahulu oleh limfoksin yang dihasilkan limfosit T. Bakteri
Tuberkulosis menyebar melalui saluran pernapasan ke kelenjar getah bening
regional (hilus) membentuk epiteloid granuloma .Granuloma mengalami nekrosis
sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitivitas seluler terhadap bakteri
Tuberkulosis. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes
tuberkulin. Hipersensitivitas seluler terlihat sebagai akumulasi lokal dari limfosit
dan makrofag.(Muttaqin, 2008).
Peradangan terjadi di dalam alveoli (parenkim) paru, dan pertahanan tubuh
alami berusaha melawan infeksi itu. Makrofag menangkap organism itu, lalu
dibawa ke sel T. proses radang dan reaksi sel menghasilkan sebuah nodul pucat
kecil yang disebut tuberkel primer. Dibagian tengah nodul terdapat basil tuberkel.
Bagian luarnya mengalami fibrosis, bagian tengahnya kekurangan makanan,
mengalami nekrosis. Proses terakhir ini dikenal sebagai perkijuan. Bagian
nekrotik tengah ini dapat mengapur atau mencair.(Tambayong, 2000).
Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat
infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif.Pada
kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing
caseosa di dalam bronchus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh
dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,
mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya.Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan
10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang
dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons berbeda,
kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh
tuberkel. (Somantri, 2007).

B. Konsep HIV/AIDS
1. Pengertian
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi
tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga
sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain yang disebut dengan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Perkembangan HIV/AIDS pertama kali dikenal pada tahun 1981, namun kasus
HIV/AIDS secara retrospektif telah muncul selama tahun 1970-an di Amerika Serikat
dan di beberapa bagian di dunia seperti Haiti, afrika, dan eropa. (Dinas Kesehatan,
2014). UNAIDS (2017) menunjukkan terjadi peningkatan jumlah orang yang
menderita HIV dari 36,1 millyar di tahun 2015 menjadi 36,7 millyar di tahun 2016.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat prevalensi
HIV/AIDS yang cukup tinggi. Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi
Bali pada tahun 1987. Kasus HIV/AIDS telah menyebar di 407 dari 507
kabupaten/kota (80%) di seluruh provinsi di Indonesia hingga saat ini (Ditjen P2P,
2016).
Human Immunodeficienty Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh yaitu sel limfosit T, CD4 (T helper) yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan sejumlah fungsi sistem pertahanan tubuh yang penting (Hamzi,
MZ, 2012).
HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reversetransciptase, yaitu enzim
yang memungkinkan virus mengubah informasi genetik dari bentuk RNA ke DNA
dan diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Akibatnya
HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi diri menjadi virus
baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Departermen kesehatan RI, 2003).
HIV mempunyai kemampuan untuk melekat dan membunuh limfosit CD4.
Jumlah CD4 dalam tubuh pasien HIV akan menurun secara bertahap dalam beberapa
tahun dengan tingkat penurunan yang lebih cepat dalam jangka waktu 1,5 sampai 2,5
tahun sebelum pasien masuk dalam keadaan AIDS (Suryono dan nasronudin, 2014).
2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.2 Anatomi dan Fisiologi HIV/AIDS


Siklus hidup HIV pada sel inang dimulai dengan penempelan virus pada sel
limfosit T helper dan sel-sel yang mempunyai reseptor CD4+ pada permukaan. Hal
ini terjadi karena adanya gp 120 yang diikuti dengan fusi selubung virus dan
masuknya virion ke dalam sel inang dibantu dengan enzim reserve transcriptase
kemudian disintesis DNA untai ganda dari RNA genom virus yang dikenal sebagai
DNA”intermediate”, DNA ini kemudian masuk ke dalam inti sel dan berikatan
dengan DNA sel inang dengan bantuan enzim integrase membentuk provirus. DNA
virus ini melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polymerase II sel inang yang
menjadi mRN dan selanjutnya mengadakan translasi dengan protein-protein struktural
sampai terbentuk protein, kemudian virus akan melekat pada membran sel inang dan
virion akan menyatu. Melalui proses budding pada permukaan membrane sel virion
akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang (Haase, 1990).
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit Th yang
mengandung marker CD4 (sel-T).limfosit-T merupakan pusat dan sel utama yang
telibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menjalankan fungsi imunologik
(Siregar, 2004). Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh akan mengikat sel-sel dari
sistem imun seperti monosit, makrofag, dan sel T-limfosit (CD4, sel T) untuk
memperbanyak diri, hal inilah dapat menyebabkan orang yang terinfeksi HIV rentan
terhadap berbagai penyakit dan dapat menyebabkan kematian (Dumond dan Kashuba,
2009). Partikel virus HIV akan melalui proses infeksi yang biasanya terdapat dalam
darah, sperma atau cairan tubuh lain. Cara penularan paling umum adalah transmisi
seksual melalui mukosa genital (Suhaimi dkk, 2003).Transmisi virus HIV tergantung
pada viral load individu yang trinfeksi. Viral load adalah perkiraan jumlah copy RNA
per mililiter serum atau plasma penderita. Orang yang terinfeksi HIV didalam tubuh
mengadung partikel virus, dimana sebagian pasien akan memperlihatkan gejala tidak
khas seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk 3-6 minggu setelah terinfeksi (Nursalam, 2007 :45).
3. Patofisiologis
HIV termasuk dalam famili retrovirus dimana virus tersebut membawa materi
genetik dalam asam ribonukleat (RNA) bukan dalam asam deoksiribo nukleat (DNA).
Virus HIV yang masuk kedalam tubuh akan menyerang sel CD4+ yang meliputi
monosit, makrofag dan limfosit T4 helper dengan cara berikatan dengan limfosit T4
helper yang akan memprogram ulang materi genetik sel untuk membuat double-
stranded DNA (DNA utas-ganda) dengan bantuan enzim revers transcriptase. DNA
akan disatukan dengan nucleus T4 sebagai provirus sehingga terjadi infeksi permanen
(Brunner dan Suddarth, 2001). Sel T4 yang sudah terinfeksi akan diaktifkan, sehingga
HIV dapat menghancurkan sel T4 kemudian HIV dilepas melalui plasma darah dan
akan menginfeksi sel-sel CD4+ lain (Brunner dan Suddarth, 2001).
Siklus replikasi HIV belum aktif sampai sel yang terinfeksi diaktifkan oleh
antigen, mitogen, hepatitis, herpes simplek dan sitokin. Infeksi HIV tidak langsung
memperlihatkan tanda atau gejala tertentu, namun gejala tidak khas pada HIV akut
muncul 3-6 minggu setelah terinfeksi. Virus HIV yang inaktif dalam sel tubuh
dianggap infeksius karena dapat ditularkan selama penderita masih hidup (Djoerban
Z, 2006). Produksi Virus HIV dalam tubuh tergantung pada kesehatan seseorang yang
terinfeksi. Produksi akan berjalan lambat bila sistem imun tidak terpengaruhi oleh
infeksi lain dan berjalan cepat bila sistem imun terpengaruhi dengan infeksi lain
(Brunner dan suddarth, 2001).
Seseorang yang terinfeksi HIV dianjurkan untuk melakukan pengobatan dengan
terapi antiretroviral (ARV), yang berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa
obat.Pengobatan ini tidak membunuh virus, namun hanya dapat memperlambat laju
pertumbuhan virus sehingga seseorang yang terinfeksi harus melakukan pengobatan
seumur hidup dan tepat waktu (spiritia, 2006; 204).Kebanyakan obat-obatan, obat
antiretrovirus juga dapat menimbulkan efek samping seperti sakit kepala, sampai
kerusakan pada organ dalam tubuh seperti kerusakan hati (spiritia, 2008).Efek
samping inilah menyebabkan menurunnya kepatuhan pasien sehingga terapi yang
dihasilkan tidak optimal.
Selain efek samping obat, infeksi oportunistik (IO) juga dapat mempengaruhi
organ hati.Kasus IO biasanya terjadi pada seseorang yang belum mengetahui bahwa
dirinya sudah terinfeksi HIV, malnutrisi atau kegagalan dalam terapi pengobatan.
Adanya virus, bakteri dan jamur yang masuk kedalam tubuh akanmenginfeksi melalui
aliran darah yang terbawa sampai ke hati. Virus akan melekat pada reseptor spesifik
dimembran sel hati dan melepaskan nukleokapsid sehinga mengalami perkembangan
dalam sitoplasma. Nukleokapsid akan menembus dinding sel hati yang kemudian
akan mengeluarkan asam nukleat dari inti virus pada DNA hospes. DNA virus akan
membentuk protein yang kemudian akan terbentuk virus baru. Hal ini dapat
mengakibatkangangguan pada sel-sel dan peradangan hati karena fungsi hati
terganggu,seperti gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hati yang
menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hati (Baraderu, 2008).
Gangguan fungsi hati dapat memicu peningkatan bilirubin karena terjadi kesulitan
dalam pengangkutan bilirubin akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui
duktus hepaikus karena terjadi retenasi, dengan demikian pemeriksaan bilirubin dapat
digunakan sebagai tolak ukur adanya gangguan pada organ hati (Smeltzer dan Bare,
2002).
C. Konsep Teori COVID-19
1. Pengertian
Corona virus atau yang dikenal dengan Covid-19 merupakan kasus pneumonia
baru yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Dalam waktu satu
bulan, penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand,
Jepang, dan Korea Selatan. Dalam waktu beberapa bulan, sudah menyebar ke seluruh
dunia. (Kemenkes RI, 2020).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-
CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi
sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19 antara lain gejala gangguan pernapasan
akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan
masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus Covid-19 yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. (Kemenkes RI, 2020)
Transmisi SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak tidak
langsung, atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi seperti air
liur dan sekresi saluran pernapasan atau droplet saluran napas yang ke luar saat orang
yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau menyanyi. (WHO, 2020). Penularan
Covid-19 dapat terjadi dimana saja terutama tempat yang terdapat banyak orang
berinteraksi sosial, seperti ditempat kerja, tempat ibadah, pusat perbelanjaan dan
tempat wisata juga lingkungan sekolah yang banyak terdapat anak-anak. (Morawska
& Cao, 2020). Anak- 2 anak merupakan kelompok berisiko tinggi atau rentan
terserang penyakit. Selain itu, anak-anak juga sering melakukan bermain dan
berkumpul bersama serta belum mendapatkan informasi tentang protokol kesehatan
pencegahan penularan Covid-19. (Erlin et al., 2020). Pada anak-anak yang terinfeksi
Covid-19 hanya menunjukkan gejala infeksi virus musiman seperti flu, batuk, dan
demam hingga sering diabaikan oleh orangtua. Namun gejala tersebut merupakan
ancaman, jika sampai terjadi infeksi pada anak-anak maka peluang paparan virus
akan lebih besar ke komunitas yang lebih luas.
2. Anatomi dan Fisiologis
Sistem respirasi merupakan sistem fisiologis yang spesifik sebagai pertukaran gas
oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) melalui tindakan pernapasan (Rao &
Srinivas, 2012). Oksigen (O2) yang berasal dari luar tubuh dihirup melalui organ
pernapasan dan tubuh akan mengeluarkan karbondioksida (CO2) dengan
menghembuskan napas sehinggan dalam tubuh terdapat keseimbangan antara oksigen
(O2) dan karbondioksida (CO2) (Tortora & Derrickson, 2014).

Gambar 2.3 Anatomi dan Fisiologis Sistem Pernafasan


Sistem respirasi manusia terdiri dari sistem pernapasan bagian atas yang terdiri
dari hidung, faring dan laring serta sistem pernapasan bagian bawah yang terdiri dari
trakea, bronkus, dan paru-paru.
a. Hidung
Hidung dan rongga hidung dibagi menjadi dua bagian oleh septum hidung.
Bagian eksternal hidung terbuat dari tulang rawan dan kulit. Rongga hidung
memiliki selaput lendir dan rambut halus yang memiliki fungsi untuk
menangkap benda asing yang akan masuk ke saluran pernapasan dan kapiler
darah berfungsi untuk menghangatkan udara yang masuk (Hillegass, 2017;
Wibowo, 2015).
b. Faring
Faring merupakan saluran seperti tabung yang menghubungkan rongga
hidung posterior dan mulut ke laring dan kerongkongan. Faring memiliki
bentuk seperti corong dengan panjang 13 cm. Dinding faring terususn oleh
otot rangka yang dibatasi oleh membran mukosa. Faring berada di posisi
tetap apa bila otot rangka mengalami relaksasi dan berada dalam proses
menelan saat otot rangka mengalami kontraksi.
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dang laringofaring. Faring
memiliki fungsi sebagai saluran udara yang masuk dan keluar, saluran
makanan yang ditelan, serta menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk
suara percakapan (Tortora & Derrickson, 2014; Wibowo, 2015).
c. Laring
Laring merupakan kumpulan serabut otot yang tersusun 9 dari 9 bagian
jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian berpasangan. Bagian yang
berpasangan tersebut ialah kartilago arytoneid, cuneiform, dan corniculate.
Kartilago arytenoid merupakan bagian yang sangat signifikan, jaringan ini
memberikan pengaruh terhadap pergerakan membran mukosa dalam
menghasilkan suara. Bagian yang tunggal ialah tiroid, epiglotis, dan cricoid.
Tiroid dan cricoid memiliki fungsi untuk melindungi pita suara. Epiglotis
memiliki fungsi sebagai pelindung saluran udara dan membantu dalam proses
peralihan makanan dan minuman untuk dapat melewati esofagus (Hillegass,
2017; Wibowo, 2015).
d. Trakea
Trakea berbentuk tabung yang memiliki panjang kira-kira 4-4,5 inci dan
diameter sekitar 1 inci serta memanjang ke bawah sepanjang garis tengah
leher, ventral ke kerongkongan. Trakea memiliki 16 hingga 22 tulang rawan
yang menyerupai pita tapal kuda (berbentuk c). Dinding trakea posterior tidak
memiliki tulang rawan dan ditopang oleh otot trakea. Trakea dilapisi oleh
epitel kolumnar bersilia yang bekerja untuk menjebak zat selain udara yang
masuk sehingga akan di dorong ke atas melintasi esofagus yang nantinya
akan ditelan atau di keluarkan melalui dahak (Hillegass, 2017; Patwa & Shah,
2015).
e. Bronkus
Tenggorokan bercabang menjadi dua bagian yaitu, bronkus 10 kanan dan
bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea. Tulang
rawan pada bronkus memiliki bentuk yang tidak teratur dan pada bagian
bronkus yang lebih besar, cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan
sempurna. Kedua bronkus menuju paru-paru yang akan bercabang lagi
menjadi bronkiolus. Bronkus kanan memiliki 3 percabangan yaitu superior,
medialis, dan inferior. Sedangkan bronkus kiri memiliki 2 percabangan yaitu
superior dan inferior (Hillegass, 2017; Wibowo, 2015).
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan organ tubuh yang berbentuk seperti piramid dan saling
berpasangan serta terhubung dengan trakea melalui bronkus kanan dan kiri.
Paru-paru berada pada rongga dada (mediastinum) dan dilindungi oleh
struktur clavicula (Somantri, 2012). Paru-paru kanan dan kiri dipisakan oleh
mediastinum, di mana jantung, pembuluh darah besar, bronkus,
kerongkongan dan organ lainnya berada. Setiap paru-paru terdiri dari saluran
pernapasan dan alveolus. Paru-paru yang sehat memiliki tekstur yang lembut
dan ringan. Stroma paru-paru terdiri dari fibrosa elastis jaringan ikat yang
dapat membantu paru-paru untuk mengempis saat ekspirasi. Paru-paru
dilapisi oleh pleura visceral sedangkan rongga dada dilapisi oleh pleura
parietal (Aung et al., 2019; Hillegass, 2017).
3. Patofisiologis
Patofisiologis terkait infeksi COVID-19 belum diketahui sepenuhnya. Virus ini
diduga memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS-CoV pada mulanya sebelum
didapatkan hasil evaluasi genomik isolasi dari 10 pasien yang menunjukkan adanya
virus baru yang memiliki kesamaan atau identik sebesar 88% dengan bat-derived
severe acute respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses, bastSL-CoVZC45 dan
bat-SL-CoVZXC21 yang telah ditemukan pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina bagian
Timur. Kemiripan dengan 16 SARS-CoV sebesar 79% dan dengan MERS-CoV
sebesar 50% (R. Lu et al., 2020).
Virus ini dapat melewati selaput lendir atau membran mukosa, terutama mukosa
hidung dan laring yang kemudian akan masuk ke paru-paru melewati saluran
pernapasan. Kemudian virus ini nantinya akan menyerang organ target yang
mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-paru,
jantung, sistem renal dan traktus gastrointestinal (C. Chen et al., 2020; John, 2018).
Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel
target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan
ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel, dan
bergantung pada priming protein S ke protease selular, yaitu TMPRSS2 (Handayani
et al., 2019; Lingeswaran et al., 2020; Suresh et al., 2020).
Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang
hampir identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki
afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut,
ditemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2
pada manusia dibandingkan dengan SARS-CoV (Zhang et al., 2020).
Periode inkubasi untuk COVID-19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan kadar
leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta pasien belum
merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah, terutama
menuju ke organ yang 17 mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan gejala
ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk
dengan ditandai oleh timbulnya sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di
paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARSD), sepsis, dan komplikasi lain. Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan
usia (di atas 70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), hipertensi, dan obesitas (Gennaro et al., 2020; Susilo et al., 2020)
Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah melalui
droplet. Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui fekal-oral.
Penelitian oleh Xiao et al., (2020) menunjukkan bahwa dari 73 pasien yang dirawat
karena COVID-19, terdapat 53,42% pasien yang diteliti positif RNA SARS- CoV-2
pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA
SARS- CoV-2 pada fesesnya meskipun pada sampel pernafasan sudah menunjukkan
hasil negatif. Lebih lanjut, penelitian juga membuktikan bahwa terdapat ekspresi
ACE2 yang berlimpah pada sel glandular gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta
ditemukan protein nukleokapsid virus pada epitel gaster, duodenum, dan rektum. Hal
ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga dapat menginfeksi saluran pencernaan
dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi melalui fekaloral (Suresh et al., 2020;
Xiao et al., 2020).

Anda mungkin juga menyukai