Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

“ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TB PARU”

Oleh :

NAMA : M.ILYAS

NIM : 0323053B

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS STIKES


DIAN HUSADA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
TB PARU

A. Definisi
Tuberculosis (TBC atau TB) adalah penyakit infeksi pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis.
Sebagian besar penyakit TBC menyerang paru-paru tapi dapat juga
menyerang organ lain pada tubuh (Rafflesia, 2014).
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam berukuran 0,5-3
µm. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet udara yang
disebut sebagai droplet nuclei yang dihasilkan oleh penderita TB paru ataupun
TB laring pada saat batuk, bersin, berbicara ataupun menyanyi. Droplet ini
akan tetap berada diudara selama beberap menit sampai jam setelah proses
ekspektorasi (Amanda, 2018).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri TB yang menyerang berbagai organ terutama pada paru-paru. Bakteri
ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan
Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan
menginfeksi parenkim parudan menyebabkan TB paru. Penyakit ini apabila
tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas bisa menimbulkan komplikasi
hingga kematian (KemenKes, 2019).
B. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sianr
ultraviolet. Setelah organisme terinhalasi dan masuk ke paru-paru, bakteri
dapat bertahan hidup dan menyebar ke nodus limfatikus lokal. Penyebaran
melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana
infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun (Nurarif & Kusuma,
2015).
Penularan penyakit TB disebabkan oleh kuman mycobacterium
tuberkulosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seseorang pasien
tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh
orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru
BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan
dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru
orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah
pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat (Rahmadhani, 2020).
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu
yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan
tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun
individu. Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan
berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi
penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan
setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua
tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok
dengan risiko tinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan
lansia (KemenKes, 2019).
Faktor risiko TB, Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah:
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
infeksius.
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh:
lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan
C. Anatomi dan Fisiologi

Paru adalah struktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan
tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan
dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian
meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada
meningkat, udara masuk melalui trakea (inspirasi), karena penurunanan
tekanan di dalam, dan mengembangkan paru. Ketika dinding dada dan
diafragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi), paru-paru yang elastis
tersebut mengempis dan mendorong udara keluar melalui bronkus dan trakea.
Fase inspirasi dari pernapasan normalnya membutuhkan energi; fase ekspirasi
normalnya pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan,
ekspirasi menempati dua pertiganya. (Syaifudin, 2011)
a. Pleura
Bagian terluar dari paru-paru dikelilingi oleh membrane halus,
licin, yaitu pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior
toraks dan permukaan superior diafragma. Pleura parietalis melapisi
toraks, dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antar kedua pleura ini
terdapat ruang, yang disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah
kecil cairan yang melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya
bergeser dengan bebas selama ventilasi. (Syaifudin, 2011)

Gambar2

b. Mediastinum
Mediatinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi
dua bagian membagi rongga toraks menjadi dua bagian. Mediastinum
terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktuk toraks kecuali paru-paru
terletak antara kedua lapisan pleura. (Syaifudin, 2011)
c. Lobus
Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus
bawah dan atas, sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah, dan
bawah. Setiap lobus lebih jauh dibagi lagi menjadi dua segmen yang
dipisahkan oleh fisura, yang merupakan perluasaan pleura.
d. Bronkus dan Bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru.
Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru
kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru
kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika
memilih posisi drainage postural yang paling efektif untuk pasien tertentu.
Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental.
Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik,
dan saraf. (Syaifudin, 2011)
Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi
bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi
bronkiolus seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos
sekelilinginya dan pada tekanan alveolar. Brokiolus mengandung kelenjar
submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak
terputus untuk lapisan bagian dalam jalan napas. Bronkus dan bronkiolus
juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh “rambut”
pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan menyapu yang
konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing
menjauhi paru menuju laring. (Syaifudin, 2011)
Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus
terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus
terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap
menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara
pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan udara konduksi mengandung
sekitar 150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial yang tidak ikut
serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik.
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida
terjadi dalam alveoli. (Syaifudin, 2011)
e. Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam
kluster anatara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini
sehingga jika mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan
menutupi area 70 meter persegi (seukuran lapangan tennis). Terdapat tiga
jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang
membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif
secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi
permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli
tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang
memakan benda asing (mis., lender, bakteri) dan bekerja sebagai
mekanisme pertahanan yang penting. (Syaifudin, 2011)
Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam trakea,
bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani rute
yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang mengatur aliran
udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut sebagai
mekanisme ventilasi dan mencakup varians tekanan udara, resistensi terhadap
aliran udara, dan kompliens paru. Varians tekanan udara, udara mengalir dari
region yang tekanannya tinggi ke region dengan tekanan lebih rendah. Selama
inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot pernapasan lain memperbesar
rongga toraks dan dengan demikian menurunkan tekanan dalam toraks sampai
tingkat di bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik melalui trakea dan
bronkus ke dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma rileks, dan paru
mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks. Tekanan
alveolar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari paru-
paru ke dalam atmosfir. (Syaifudin, 2011)

D. Patofisiologi dan Patoflow


Infeksi M. Tb dimulai dengan terinhalasinya droplet yang mengandung
kuman M. Tb ke saluran napas. Sebagian besar kuman biasanya akan
terperangkap di saluran napas atas melalui mukus yang dihasilakn oleh sel
goblet dan dengan gerakan silia akan menyebabkan mukus yang mengandung
kuman tersebut keluar dari saluran napas. Droplet mengandung M. Tb yang
berhasil melewati sistem mukosilier akan mencapai alveoli dan kemudia akan
dikelilingi dan ditelan oleh makrofag yang merupakan sistem imunitas innate
di alveoli. Sistem komplemen juga berperan pada proses fagositosis M.
Tuberculosis. Protein komplemen C3 akan berikatan pada dinding sel bakteri
dan pada makrofag, kemudian menyebabkan opsonisasi (Amanda, 2018).
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang
terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan
jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk
menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi
pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan
mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian
akan menstimulasi respon imun (KemenKes, 2019).
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran
darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui
memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan
limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria.
Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak,
di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri
Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat
sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat membatasi
multiplikasinya.
1. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel
basili. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering
diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia
berapapun pada individu yang belum pernah terpapar M.TB sebelumnya.
Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan menempati
alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus
superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian mengalami
terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat
kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri
dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain
bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus
infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian
disebut sebagai Ghon focus.
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus
melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk
kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran
tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan
membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk
menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini
mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan
replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan
jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang
mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host
adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi
primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil
tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa
kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik
ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB
aktif dalam beberapa bulan. TB primer progresif pada parenkim paru
menyebabkan membesarnya fokus primer, sehingga dapat ditemukan
banyak area menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB
post primer.
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host
yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode
laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer.
Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya
sistem imun host oleh karena infeksi HIV.
Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi
primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi
penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian
dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi
pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat
memperlihatkan gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada
lapang paru. TB post-primer biasanya mempengaruhi parenkim paru
namun dapat juga melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB
post primer adalah ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan
kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan
hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal.
Patoflow
Sirkulasi udara Di hirup oleh Droplet Masuk ke Menempel pada
terkontaminasi individu infection saluran paru-paru
Mycobacterium tuberculosis rentan pernapasan

TB Paru Terjadi proses Menetap dijaringan


inflmasi/peradangan Tumbuh dan paru-paru
berkembang di
sitoplasma makrofag

Menyebar ke organ lain


Pertahanan primer Terjadi kerusakan membran
(paru, sistem
tidak adekuat alveolar
pencernaan)

Berkembang menghancurkan
jaringan ikat disekitarnya
Penumpukan eksudat dalam Menurunkan efek permukaan
alveoli paru
Penyebaran hematogen Produksi sekret Alveolus mengalami eksudasi
dan limfogen /sputumberlebih
Sekret susah Gangguan Pertukaran Gas
dikeluarkan
Sakit padadada Respon batuk produktif terus
(daerah paru) menerus

Nyeri akut Batuk berat, distensi otot


abdomen
Bersihan Jalan
Napas Tidak
Refleks asam lambung Efektif
meningkat

Intake nutrisi kurang (mual


muntah, anoreksia)

Defisit Nutrisi
E. Manifestasi klinik
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinis (Werdhani, 2014), yaitu:
a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan
d. Perasaan tidak enak/malas (malaise) dan lemah
Tuberkulosis tidak hanya menyerang paru-paru melainkan organ lain juga,
termasuk di antaranya tulang, otak, saluran pencernaan dan sebagainya
sehingga gejala yang ditimbulakn cukup beragam tergantung organ yang
terinfeksi (Rahmadhani, 2020). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) tanda
dan gejala tuberkulosis adalah:
a. Demam 40-410C serta batuk atau batuk berdarah
b. Sesak napas dan nyeri dada
c. Malaise, keringat malam
d. Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada
e. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit.
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang TB secara teoritis diantaranya:
1. Tes tuberkulin
Tes Mantoux atau tuberculin skin test (TST) adalah pemeriksaan
yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kuman penyebab
penyakit tuberkulosis pada tubuh. Tes ini sangat disarankan bagi Anda
yang kerap melakukan kontak langsung dengan penderita tuberkulosis.
Tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat yang mencerminkan potensi sistem imun seseorang khususnya
terhadap bakteri M. tuberculosis. Pada seseorang yang belum terinfeksi,
sistem imunitas seluler tentunya belum terangsang untuk melawan M. tb,
makates tuberkulin hasilnya negatif. Sebaliknya bila seseorang pernah
terinfeksi M. tuberculosis dalam keadaan normal sistem imun ini sudah
terangsang secara efektif 3-8 minggu setelah infeksi primer dan tes
tuberkulin menjadi positif.
2. Foto rontgen paru
Foto rontgen paru memegang peranan penting karena berdasarkna
letak, bentuk, luas dan konsistensi kelainan dapat diduga adanya lesi TB.
Foto rontgen paru dapat menggambarkan secara objektif kelainan
anatomic paru dan kelainan-kelainan bervariasi mulai dari bintik kapur,
garis fibrotik, bercak infiltrat, penarikan trakea dan cavitas. Kelainan ini
dapat berdiri sendiri atau ditemukan bersama-sama.
3. Pemeriksaan serologi
Berbeda dengan tes tuberkulin, tes serologi menilai sistem imunitas
humoral (SIH) khususnya kemampuan produksi antibodi dari kelas IgG
terhadap sebuah antigen dalam M. tuberculosis. Bila seseorang belum
pernah terinfeksi M. tb, SIH-nya belum diaktifkan maka tes serologi
negatif. Sebaliknya bila seseorang sudah pernah terinfeksi M. tuberculosis,
SIH-nya sudah membentuk IgG tertentu sehingga hasil tes akan positif.
4. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi meliputi pemeriksaan dahak, sekret
bronkus dan bahan aspirasi cairan pleura. Pemeriksaan dahak antara lain
pemeriksaan mikroskopis, kultur dan tes resistensi. Tentunya nilai
tertinggi pemeriksaan dahak adalah hasil kultur yang positif, yakni yang
tumbuh adalah M. tuberculosis yang sesungguhnya. Namun kultur ini
tidak dapat dilakukan di semua laboratorium di Indonesia dan pemeriksaan
ini cukup mahal dan memakan waktu yang lama sekitar 3 minggu. Oleh
sebab itu pemeriksaan dahak secara mikroskopis sudah dianggap cukup
untuk menentukan diagnosis TB dan sudah dibenarkan pemberian
pengobatan dalam rangka penyembuhan penderita TB (Danusantoso,
2012).
Pemeriksaan dahak bertujuan untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan untuk menentukan potensi
penularan. Pemeriksaan dahak dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak
yang dikumpulkan 2 hari kunjungan yaitu dahak sewaktu,dahak pagi dan
dahak sewaktu (SPS).
a. Dahak sewaktu ( S ) adalah dahak yang dikeluarkan oleh penderita
suspek TB saat pertama berkunjung ke fasyankes. Pada saat pulang,
penderita membawa pot pagi untuk mengeluarkan dahak pagi ( P )
setelah bangun tidur.
b. Dahak pagi ( P ) adalah dahak yang dikeluarkan di rumah setelah
bangun tidur kemudian pot dibawa dan diserahkan kepada petugas
laboratorium fasyankes.
c. Dahak sewaktu ( S ) adalah dahak yang dikeluarkan setelah penderita
menyerahkan dahak pagi kepada petugas laboratorium (KemenKes,
2019).
G. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut WHO, Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase,
yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan ( 4 atau 7 bulan). Panduan
obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.
a. obat anti tuberkulosis (OAT) beserta mekanisme kerjanya.
1) Isoniazid (INH/H) dosis tinggi, bersifat bakterisidal (untuk bakteri
yang membelah cepat)
2) Rifampisin (R) dosis tinggi, bersifat bakterisidal (untuk bakteri
yang membelah cepat)
3) Pirazinamid (Z) dosis rendah, bersifat bakterisidal (untuk bakteri
yang membelah cepat)
4) Streptomisin (S) dosis rendah, bersifat bakterisidal (untuk bakteri
yang membelah cepat)
5) Etambutol (E) dosis rendah, bersifat bakteriostatik (obat-obatan
yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan
asam)
b. Kombinasi dosis obat tetap yang terdiri dari:
1) Empat obat anti tuberkulosis dalam 1 tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.
2) Tiga obat antituberkulosis dalam 1 tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg.
3) Kombinasi dosis tetap yaitu untuk kombinasi dosis penderita hanya
minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase
lanjut dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis
seperti yang selama ini digunakan sesuai dengan pedoman
pengobatan
c. Jenis obat tambahan lainnya
1) Kanamisin
2) Kuinolon
3) Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin, asam
klavulant
4) Derivat rifampisin dan INH
d. Pengobatan suportif/simtomatik
Pengobatan yang diberikan pada penderita TB paru perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan
tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatan daya tahan
tubuh atau mengatasi gejala/keluhan (Nurarif & Kusuma, 2015).
1) Penderita rawat jalan
a) Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat
diberikan vitamin tambahan (pada prinsip ini tidak ada
larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbid)
b) Bila demam dapat diberikan obat penurun panas
c) Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,
sesak napas atau keluhan lain.
2) Penderita rawat inap
a) TB paru disertai keadaan atau komplikasi
b) TB paru diluar oaru yang mengancam jiwa
e. Terapi pembedahan
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Berikut tindakan perawat terhadap pasien TB paru:
a. Atur posisi semi fowler atau fowler
b. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
c. Buang sekret pada tempat sputum
d. Monitor frekuensi, irama kedalaman dan upaya napas
e. Monitor pola napas
f. Monitor kemampuan batuk efektif
g. Monitor adanya produksi sputum
h. Auskultasi bunyi napas
i. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
j. Monitor nilai AGD
k. Monitor hasil x-ray toraks
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Teoritis (Andriani, 2020)
a. Identitas
Identitas meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan.
Umur klien dapat menunjukkan tahap perkembangan klien baik secra
fisik maupun psikologi, jenis kelamin dan pekerjaan juga berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit yang diderita klien dan tingkat
pengetahuan klien terhadap penyakit yang dideritanya.
b. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang paling mengganggu klien.
Keluhan utama digunakan untuk menentukan prioritas intervensi dan
mengkaji pengetahuan klien terhadap penyakitnya. Keluhan utama
yang biasa timbul ialah:
1) Batuk: batuk bisa menunjukkan adanya penyakit paru yang serius.
Tipe batuk juga sangat penting untuk diketahui. Batuk yang kering,
iritatif menandakan infeksi saluran napas atas menyebabkan batuk
dengan puncak bunyi kering, hacking, brassy, mengi, ringan, berat
dan waktu batuk dicatat. Perawat harus menanyakan apakah batuk
bersifat produktif/nonproduktif, jika produktif apakah sputum
bercampur darah.
2) Peningkatan produksi sputum, sputum adalah substansi yang keluar
bersama dengan batuk dan bersin dari tenggorokan. Tanyakan
klien tentang warna dari sputum yang dikeluarkanya (jernih,
kuning, hijau, kemerahan), bau, kualitas (berair, berserabut,
berbusa, kental) dan tanyakan juga apakah sputum hanya dibentuk
setelah klien berbaring.
3) Dispnea adalah suatu persepsi kesulitan bernapas/napas pendek
dan merupakan perasaan subjektif klien. Perawat melakukan
pengkajian tentang bagaimana kemampuan klien dalam melakukan
aktifitas. Menurut Muttaqin dalam Farista (2018) hal yang perlu
dikaji adalah apa faktor penyebab dipsnea, seperti apa rasanya saat
terjadi dipsnea, dibagian mana yang dirasakan berat saat bernapas,
seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan dan berapa lama dipsnea
dirasakan.
4) Hemoptysis adalah batuk yang bercampur darah. Perawat mengkaji
apakah berasal dari paru-paru, perdarahan hidung atau perut. Farah
dari paru biasanya berwarna merah terang. Lakukan juga
pengkajian tentang awitan, durasi, jumlah dan warna.
5) Mengi, ini terjadi karena udara mengalir melalui jalan napas yang
sebagian tersumbat atau menyempit pada saat inspirasi dan
ekspirasi. Mengi hanya terdengar menggunakan stetoskop.
Identifikasi kapan mengi terjadi dan apakah mengi hilang sendiri
atau hilang dengan obat-obatan.
6) Chest pain, pada chest pain yang perlu dikaji ialah informasi
tentang lokasi, durasi dan intensitas nyeri.
c. Riwayat kesehatan saat ini
Pengkajian yang dilakukan dimulai dengan perawat menanyakan
tentang perjalanan penyakit sejak timbul keluhan hingga alasan dibawa
ke rumah sakit, seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan
berapa kali keluhan dirasakan, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan
yang dirasakan, dimana pertama kalia keluhan dirasakan, apa yang
dilakukan ketika keluhan tersebut timbul, keadaan apa yang
memperberat atau memperingan keluhan, usaha apa yang dilakukan
untuk mengurangi keluhan tersebut dan apakah usaha yang dilakukan
berhasil.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan klien tentang pengobatan masalah pernapas sebelumnya.
Kaji pula kapan peenyakit terjadi dan waktu perawatannya. Tanyakan
apakah klien pernah melakukan pemeriksaan rontgen dan kapan
terakhir dilakukan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dicari apakah riwayat keluarga memberikan faktor predisposisi
seperti adanya riwayat sesak napas, batuk lama, batuk darah dari
anggota keluarga yang lain. Adanya penyakit darah tinggi dan kencing
manis dapat memperberat keluhan penderita.
f. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Perawat harus menanyakan bagaimana lingkungan kerja klien dan juga
kebiasaan sosial yang dilakukanya. Seperti menanyakan kebiasaan
merokok, menanyakan apakah pekerjaan penuh stress, apakah
lingkungan dipenuhi dengan polusi udara dan lain sebagainya.
g. Pengkajian pola fungsional
1) Pola persepsi-manajemen kesehatan
Menggambarkan penjelasan pribadi klien mengenai kesehatan dan
kesejahteraa, bagaimana klien mengelola kesehatannya (seperti
frekuensi kunjungan ke penyedia layanan kesehtan dan kepatuhan
terapi di rumah), pengetahuan tentang praktik pencegahan.
2) Pola metabolisme-nutrisi
Menggambarkan bagaimana pola mkan dan minum klien seperti
nafsu makan, porsi, pilihan makanan, diet tertentu, hilang
ataubertambahnya berat badan.
3) Pola eliminasi
Menggambarkan bagaimana pola BAB dan BAK klien, seperti
frekuensi sehari, banyaknya, warna, bau dan lain sebagainya.
4) Pola aktivitas-latihan
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, hiburan dan rekreasi,
kemampuan untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari.
5) Pola istirahat-tidur
Menggambarkan bagaimana pola tidur klien, istirahat dan juga
relaksasi.
6) Pola kognitif-persepsi
Menggambarkan pola persepsi sensorik, kemampuan berbahasa,
ingatan dan pembuatan keputusan.
7) Pola persepsi diri-konsep diri
Menggambarkan pola konsep dan persepsi diri klien (seperti
konsep diri/penghargaan, pola emosional, gambaran).
8) Pola aturan-hubungan
Menggambarkan pola klien yang berhubungan dengan ikatan atau
hubungan.
9) Pola seksual-reproduksi
Menggambarkan pola kepuasan dan ketidakpuasan seksual klien,
pola reproduksi klien, masalah pre dan post menoupause.
10) Pola koping-toleransi
Menggambarkan pola koping klien dalam menangani stress,
sumber dukungan, efektifitas pola koping yang klien miliki dalam
menoleransi stress.
11) Pola nilai kepercayaan
Menggambarkan pola nilai, kepercayaan dan tujuan yang
mempengaruhi pilihan dan keputusan klien.
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien TB Paru, meliputi:
1) Keadaan umum dan TTV
Kesadaran klien perlu dinilai dari apakah klien dalam keadaan
composmentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma atau koma.
Seorang perawat juga harus mempunyai pengetahuan untuk
menilai keadaan umum klien, kesadaran dan pengukuran GCS.
Untuk tanda-tanda vital seperti peningkatan suhu tubuh yang
signifikan, frekuensi napas meningkat disertai sesak napas, denyut
nadi meningkat atau melemah, tekanan darah biasanya sesuai
dengan adanya penyakit penyerta hipertensi.
2) B1 (Breathing)
a) Inspeksi: bentuk dada dan gerakan pernapasan. Tampak kurus
sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk
dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral,
adanya ketidakseimbangan rongga dada, pelebaran intercotal
space karena adanya efusi pleura masif atau penyempitan
intercostal space karena atelektasis paru. Mengalami sesak
napas, peningkatan frekuensi napas, menggunakan otot bantu
napas dan juga gerakan pernapasan menjadi tidak simetris.
b) Palpasi: adanya pergeseran trakea, adanya penurunan gerakan
dinding pernapasan, adanya penurunan taktif fremitus pada
klien dengan TB paru, biasanya ditemukan pada klien yang
disertai komplikasi efusi pleura masif.
c) Perkusi: TB paru tanpa komplikasi diteukan bunyi resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru, sedangkan TB paru dengan
komplikasi didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi
yang sakit dan apabila disertai pneumothoraks didapatkan
bunyi hipersonan.
d) Auskultasi: akan didapatkan bunyi paru tambahan (ronkhi)
pada sisi yang sakit. Apabila dengan komplikasi akan
ditemukan penurunan resonan vokal pada sisi yang sakit.
3) B2 (Blood)
a) Inspeksi: inspeksi tentang adanya parut (menandakan bahwa
klien pernah menjalani operasi jantung sebelumnya) dan
keluhan kelemahan fisik.
b) Palpasi: denyut nadi melemah
c) Perkusi: batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru
dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat.
d) Auskultasi: tekanan darah biasanya normal. Tidak didapatkan
bunyi jantung tambahan.
4) B3 (Brain)
Pada penderita TB paru biasanya ditemui kesadaran composmentis,
adanya sianosis perifer apabila klien mengalami gangguan perfusi
jaringan yang berat. Klien biasanya tampak dengan wajah
meringis, menangis, merintih, mengerang dan mengeliat. Pada
mata biasanya nampak konjungtiva anemis pada penderita dengan
hemptoe masif dan kronis, sklera ikterik apabila klien mengalami
gangguan fungsi hati.
5) B4 (Bladder)
Perawat perlu mengkaji adanya oliguria karena ini bisa
berhubungan dengan tanda syok. Urine klien akan berwarna jingga
pekat dan berbau karena meminum OAT terutama rifampisin.
6) B5 (Bowel)
Klien mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan.
7) B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB
paru.gejala yang muncul biasanya kelemahan, kelelahan, insomnia,
pola hidup menetap dan jadwal olahraga menjadi tidak teratur.
2. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien TB Paru, yaitu:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan ditandai dengan sputum berlebih dan batuk tidak efektif.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus-kapiler ditandai dengan bunyi napas tambahan dan pola napas
abnormal.
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien ditandai dengan berat badan menurun minimal 10% dibawah
rentang ideal dan nafsu makan menurun
3. Nursing Care Plan
No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Indonesia
1 Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Latihan Batuk Efektif
berhubungan dengan sekresi yang ...x... jam, diharapkan bersihan jalan napas Observasi:
tertahan ditandai dengan sputum membaik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi kemampuan batuk
berlebih dan batuk tidak efektif. 2. Monitor adanya retensi sputum
Definisi: ketidakmampuan Bersihan Jalan Napas 3. Monitor tanda dan gejala infeksi
membersihkan sekret atau obstruksi No Kriteria hasil Tujuan saluran pernapasan
jalan napas untuk mempertahankan 1 Batuk efektif Meningkat Terapeutik:
jalan napas tetap paten 2 Produksi sputum Menurun 1. Atur posisi semi fowler atau fowler
3 Dispnea menurun 2. Pasang perlak dan bengkok di
4 Mengi Menurun pangkuan pasien
5 Wheezing menurun 3. Buang sekret pada tempat sputum
6 Gelisah menurun Edukasi:
7 Pola napas membaik 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
2. Anjurkan tarik napas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan
melalui mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik napas
dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik napas dalam
yang ke 3.
Kolaborasi:
1. Kolaborasikan pemberian mukolitik
atau ekspektorat, jika perlu.
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan perubahan ...x... jam, diharapkan pertukaran gas membaik Observasi:
membran alveolus-kapiler ditandai dengan kriteria hasil: 1. Monitor frekuensi, irama
dengan bunyi napas tambahan dan kedalaman dan upaya napas
pola napas abnormal. Pertukaran gas 2. Monitor pola napas
Definisi: kelebihan atau No Kriteria hasil Tujuan 3. Monitor kemampuan batuk efektif
kekurangan oksigenisasi dan/atau 1 Tingkat kesadaran Meningkat 4. Monitor adanya produksi sputum
eleminasi karbondioksida pada 2 Dipsnea Menurun 5. Auskultasi bunyi napas
membran alveolus-kapiler 3 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Bunyi napas
tambahan Menurun 7. Monitor nilai AGD
4 Gelisah Menurun 8. Monitor hasil x-ray toraks
5 Terapeutik:
Napas cuping
hidung menurun Menurun
1. Dokumentasikan hasil pemantauan
6 Pola napas membaik Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu.
3 Defisit nutrisi berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen Nutrisi
dengan ketidakmampuan ...x... jam, diharapkan status nutrisi membaik Observasi:
mengabsorbsi nutrien ditandai dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi status nutrisi
dengan berat badan menurun 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan
minimal 10% dibawah rentang jenis nutrien
ideal dan nafsu makan menurun 3. Monitor asupan makanan
Definisi: asupan nutrisi tidak cukup Status nutrisi 4. Monitor berat badan
untuk memenuhi kebutuhan No Kriteria hasil Tujuan 5. Monitor hasil pemeriksaan
metabolisme. Verbalisasi laboratorium
1 keinginan untuk Meningkat Kolaborasi:
meningkatkan 1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
nutrisi menentukan jumlah kalori dan jenis
Sikap terhadap nutrien yang dibutuhkan, jika perlu.
makanan/minuman
2 Meningkat
sesuai dengan tujuan
kesehatan
3 Berat badan/IMT Membaik
4 Frekuensi makan Membaik
5 Nafsu makan Membaik
6 Membran mukosa Membaik
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, G. (2018). Peran Aerosol M . tuberculosis pada Penyebaran Infeksi


Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran, 45(1), 62–65.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/157/104

Andriani, E. (2020). TB PARU. Universitas Tanjungpura Pontianak.

Danusantoso, H. (2012). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, (Y. J. Suyono, Ed) (2nd
ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

KemenKes. (2019). PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN


TATA LAKSANA TUBERKULOSIS. In Kementerian Kesehatan (Vol. 8,
Issue 5).

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis Dan Nanda NIC NOC. Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Rafflesia, U. (2014). Model Penyebaran Penyakit Tuberkulosis (TBC). Gradien,


10(Vol 10, No 2 (2014): Juli 2014), 983–986.
http://ejournal.unib.ac.id/index.php/gradien/article/view/225

Rahmadhani, N. (2020). Kewaspadaan Perawat Dalam Penularan Penyakit


Tuberkulosis ( Tb ) Paru Saat Melaksanakan Tugas Di Rumah Sakit. Osf,
10(10.31219).
Werdhani, R. A. (2014). PATOFISIOLOGI, DIAGNOSA, DAN KLASIFIKASI
TUBERKULOSIS. FKUI.
Syaifuddin, H. (2011). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai