Anda di halaman 1dari 35

HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE 2

DENGAN KEJADIAN ISK PADA USIA DEWASA


DI WILAYAH CIPUTAT PADA TAHUN 2023

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk


memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :
Fathan Akbar Al Bahri
NIM: 11221330000030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M

1
Lembar Persetujuan Pembimbing
Judul Proposal Penelitian HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS
TIPE 2 DENGAN KEJADIAN ISK PADA USIA
DEWASA DI WILAYAH CIPUTAT PADA
TAHUN 2023
Nama Mahasiswa Fathan Akbar Al Bahri
NIM 11221330000030
Semester & Angkatan Masuk 3 & 2022
Pembimbing I dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph. D

2
Daftar Isi
Daftar Gambar.................................................................................................................................................4
Bab I Pendahuluan...........................................................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................................5
1.2 Pertanyaan Penelitian.............................................................................................................................6
1.3 Hipotesis................................................................................................................................................6
1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................................................................6
1.4.1 Tujuan Umum.................................................................................................................................6
1.4.2 Tujuan Khusus................................................................................................................................6
1.5. Manfaat Penelitian................................................................................................................................6
1.5.1 Bagi Peneliti....................................................................................................................................6
1.5.2 Bagi Institusi...................................................................................................................................7
1.5.3 Bagi Masyarakat.............................................................................................................................7
BAB II Tinjauan Pustaka.................................................................................................................................8
2.1 Kerangka/Landasan Teori......................................................................................................................8
2.1.1 Infeksi Saluran Kemih....................................................................................................................8
2.1.2 Diabetes Melitus...........................................................................................................................19
2.1.3 Hubungan Diabetes melitus terhadap infeksi...............................................................................24
2.2 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep................................................................................................26
2.2.1 Kerangka Teori.............................................................................................................................26
2.2.2 Kerangka Konsep..........................................................................................................................27
2.2.3 Definis Operasional......................................................................................................................27
BAB III Metode Penelitian...........................................................................................................................27
3.1 Desain Penelitian.................................................................................................................................27
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................................................................27
3.3 Populasi dan Sampel............................................................................................................................27
3.4 Cara Kerja Penelitian...........................................................................................................................28
3.5 Pengolahan dan Analisa Data..............................................................................................................28
3.6 Rencana Jadwal Penelitian..................................................................................................................29
Daftar Pustaka................................................................................................................................................30

3
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal 10


Gambar 2.2 Vesika Urinaria 10
Gambar 2.3 Diagnosis infeksi Saluran Kemih 17
Gambar 2.4 Diagnosis Diabetes Melitus 20
Gambar 2.5 Klasifikasi Indeks Masa Tubuh (IMT) Menurut Kriteria Indonesia 24

4
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih atau ISK adalah salah satu penyakit yang terjadi
dikarenakan oleh infeksi bakteri. Pada keadaan tubuh yang normal tidak terdapat
bakteri pada saluran kemih. Baik itu di ginjal, ureter, kandung kemih maupun
pada uretra. Saluran kemih adalah daerah yang steril, tidak terdapat bakteri.
Apabila terdapat bakteri pada saluran kemih, bakteri tersebut dapat menginfeksi
saluran kemih tergantung tempat bakteri tersebut,yakni ginjal, ureter, kandung
kemih, dan uretra. Secara umum infeksi saluran kemih terjadi dikarenakan bakteri
yang berada pada uretra kembali naik menuju kandung kemih. Infeksi saluran
kemih ini tergolong kedalam infeksi saluran kemih yang naik (ascending). Infeksi
saluran kemih ini juga dapat digolongkan kedalam infeksi saluran kemih bagian
bawah yang mana infeksi bakteri tersebut terjadi di uretra atau kandung kemih.
[7] Bakteri yang ada pada saluran kemih akan berkembang biak atau kolonisasi.
Tubuh akan menjalankan respon untuk membunuh bakteri tersebut, yakni
inflamasi.[4] Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala yang timbul, seperti
meningkatnya frekuensi buang air kecil, terasa nyeri pada saat buang air kecil,
atau bisa juga dapat terjadi demam dan menggigil pada beberapa kasus infeksi
saluran kemih.[1] Bakteri yang menjadi penyebab dominan terjadinya infeksi
saluran kemih adalah Escherichia coli.[2] Di indonesia, penderita infeksi saluran
kemih terjadi pada usia baik muda maupun tua.[7] Walaupun infeksi saluran
kemih dapat terjadi pada semua usia, terdapat peningkatan angka prevalensi. Pada
usia 70 tahun, terjadi peningkatan angka prevalensi Sebesar 5%-10%. Sedangkan,
pada usia 80 tahun terjadi peningkatan angka prevalensi sebesar 20%. Di
indonesia setiap tahunnya terjadi 180.000 kasus infeksi saluran kemih. [8] Infeksi
saluran kemih dapat berkembang semakin parah apabila tidak dilakukan atau
diberikan penanganan cepat dan tepat. Infeksi saluran kemih yang berkelanjutan
dapat memberikan kerusakan pada ginjal. Oleh sebab itu, diperlukan penanganan
yang tepat dan juga cepat.

Saah satu faktor resiko terjadinya infeksi saluran kemih adalah diabetes
melitus. Diabetes melitus adalah sebuah penyakit yang mana tubuh tidak ada
mengontrol kadar glukosa di dalam tubuh penderita. Tingginya kadar glukosa
pada tubuh dikarenakan asupan glukosa yang tinggi atau dapat juga terjadi
dikarenakan menurunnya sekresi hormon insulin pada tubuh.[5] Pada penderita
diabetes akan mengalami kondisi yang bernama hiperglikemia. Hiperglikemia
adalah sebuah kondisi dimana kadar glukosa pada darah dalam kondisi yang
tinggi dibandingkan kondisi normalnya. Hal ini dapat mengganggu proses
inflamasi. Proses inflamasi yang bertujuan untuk mempertahankan sistem tubuh
dari serangan patogen-patogen.[1] Apabila proses ini terganggu patogen yang
menyerang tubuh tidak dapat teratasi secara sempurna. Pada penderita diabetes
melitus, apabila terdapat infeksi bakteri di saluran kemih, proses inflamasi yang
seharusnya berjalan dengan normal menjadi terganggu. Hal ini menyebabkan
pembasmian bakteri yang menginfeksi saluran kemih menjadi tidak sempurna.
Bakteri masih dapat berkolonisasi dan dapat menyebabkan gejala infeksi saluran
5
kemih.

Terdapat beberapa penelitian yang membahas hal yang serupa. Sebuah


penelitian mendapatkan hasil bahwa pada penderita diabetes melitus selama 10
tahun dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih.[3] Penelitian
lain juga menjelaskan bahwa pengendalian gula darah yang kurang atau buruk
dapat meningkatkan terjadi komplikasi Infeksi saluran kemih. [3] Adapula sebuah
penelitian yang ada di indonesia mendapatkan hasil 47% yang menderita infeksi
saluran kemih dari penderita diabetes yang diujikan ada penelitian ini. [4]

Diabetes melitus memiliki peran terjadinya infeksi saluran kemih. Salah satu
jenis diabetes melitus, yakni diabetes melitus tipe 2. Salah satu jenis infeksi
saluran kemih, yakni infeksi saluran kemih komunitas. Infeksi saluran kemih
komunitas adalah infeksi bakteri yang terjadi pada lingkungan masyarakat.
Diabetes melitus tipe 2 dan infeksi saluran kemih komunita akan menjadi variabel
pada penelitian ini. Pada penelitian ini akan membahas lebih lanjut hubungan
antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran kemih. Penelitian
ini akan lebih berfokus pada wilayah Ciputat.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi


saluran kemih pada usia dewasa di wilayah Ciputat Pada 2023?

1.3 Hipotesis

Terdapat hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran
kemih pada usia dewasa di wilayah Ciputat pada 2023

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan


kejadian infeksi saluran kemih pada usia dewasa di wilayah Ciputat pada
tahun 2023

1.4.2 Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui gambaran prevalensi pasien diabetes melitus tipe 2


pada pasien dewasa di wilayah Ciputat
 Untuk mengetahui gambaran prevalensi pasien Infeksi saluran kemih
komunitas pada dewasa di wilayah Ciputat pada tahun 2023
 Untuk mengetahui hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan
kejadian infeksi saluran kemih komunitas pada usia dewasa di wilayah
Ciputat pada tahun 2023

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

6
 Meningkatkan kemampuan dalam bidang ilmiah
 Memperbaiki kemampuan dalam bidang penulisan
 Menambah ilmu serta wawasan penyakit infeksi saluran kemih
 Memenuhi syarat untuk kelulusan peneliti pada modul IRM

1.5.2 Bagi Institusi

 Menambah sumber literatur untuk penelitian yang berkaitan dengan


Infeksi Saluran Kemih

1.5.3 Bagi Masyarakat

 Memberikan pengetahuan tentang infeksi saluran kemih pada masyarakat

7
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Kerangka/Landasan Teori

2.1.1 Infeksi Saluran Kemih


2.1.1.1 Definisi
Bakteriuria adalah adanya bakteri dalam urin; bisa tanpa gejala atau
dengan gejala. Infeksi saluran kemih adalah keberadaan pertumbuhan murni
dari >10.000 organisme per mL air seni segar. ISK bagian bawah: uretra
(uretritis), kandung kemih (sistitis), prostat (prostatitis). ISK bagian atas:
pelvis ginjal (pielonefritis). Hingga sepertiga wanita dengan gejala memiliki
MSU negatif (= sistitis tanpa bakteri atau sindrom uretra). [oxford handbook]

ISK dapat tidak menimbulkan gejala (infeksi subklinis) atau


menimbulkan gejala (penyakit). Oleh karena itu, istilah infeksi saluran kemih
mencakup berbagai entitas klinis, termasuk bakteriuria tanpa gejala , sistitis,
prostatitis, dan pielonefritis. Perbedaan antara ISK dengan gejala dan ASB
memiliki implikasi klinis yang penting. Baik infeksi saluran kemih maupun
bakteriuria mengindikasikan adanya bakteri dalam saluran kemih, biasanya
disertai dengan sel darah putih dan sitokin peradangan dalam urin.

Namun, bakteriuria terjadi tanpa adanya gejala yang dapat dikaitkan


dengan bakteri di saluran kemih dan biasanya tidak memerlukan pengobatan,
sedangkan infeksi saluran kemih umumnya diasumsikan sebagai penyakit
yang menunjukkan gejala yang memerlukan terapi antimikroba. Sebagian
besar literatur mengenai infeksi saluran kemih, terutama infeksi terkait
kateter, tidak membedakan antara infeksi saluran kemih dan bakteriuria.
Istilah infeksi saluran kemih merujuk pada penyakit yang menunjukkan
gejala; sistitis, infeksi yang menunjukkan gejala pada kandung kemih; dan
pielonefritis, infeksi yang menunjukkan gejala pada ginjal. Infeksi saluran
kemih yang tidak rumit mengacu pada sistitis atau pielonefritis akut pada
wanita non hamil tanpa kelainan anatomi atau alat bantu pada saluran kemih;
istilah infeksi saluran kemih yang rumit mencakup semua jenis ITU lainnya.
Infeksi saluran kemih berulang tidak selalu rumit; episode individu dapat
dianggap tidak rumit dan diobati sebagai demikian. Bakteriuria terkait
kateter dapat berupa gejala atau tanpa gejala. [Harrison 20th]

2.1.1.2 Anatomi Saluran Kemih


Sistem saluran kemih penting dalam mengatur volume, komposisi
elektrolit, dan pH lingkungan internal; mengeluarkan zat sisa dan kelebihan
air, garam, asam, dan elektrolit lain dari plasma dan membuangnya ke dalam
urin. [Sherwood 8th] Sistem saluran kemih meliputi:
1. Ginjal (Renal)

8
Ginjal berperan penting dalam mempertahankan homeostasis dengan
mengatur konsentrasi berbagai konstituen plasma, khususnya elektrolit dan
air, dan dengan mengeliminasi semua sampah metabolik (kecuali
karbondioksida yang dikeluarkan oleh paru). Sewaktu plasma difiltrasi
secara cepat melalui ginjal, mereka memelihara konstituen yang bernilai bagi
tubuh dan mengeliminasi bahan yang berlebih dan yang tidak diinginkan di
dalam urine. Suatu hal yang penting adalah kemampuan ginjal untuk
mengatur volume dan osmolaritas (konsentrasi solut) lingkungan cairan
internal dengan mengontrol keseimbangan cairan dan garam. Hal yang juga
penting adalah kemampuan ginjal dalam mengatur pH dengan mengontrol
eliminasi asam dan basa di urine
Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar di
antaranya membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal:
1. Mempertahankan keseimbangan air
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H20. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-
fluks osmotik masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat
menyebabkan pembengkakan atau penciutan sel yang merugikan
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk
natrium (Na+ ), ldorida (C1- ), kallum (K+ ), kalsium (Ca2+), ion
hidrogen (H+ ), bikarbonat (HCO3 - ), fosfat (P04 3-), sulfat (S04 2-), dan
magnesium (Mg2+). Fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini
dalam CES bahkan dapat berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan
konsentrasi K+ CES dapat menyebabkan disfungsi jantung yang dapat
mematikan .
4. Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam
pengaturan jangka-panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan
melalui peran regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam (NaC1) dan
H20.
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat
dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3 - di urine.
6. Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme
tubuh, misalnya urea (dari protein), asam urat (dari asam nuldeat),
kreatinin (dari kreatin otot), bilirubin (dari hemoglobin), dan hormon
metabolit. Jika dibiarkan menumpuk, banyak bahan-bahan sisa ini bersifat
toksik, terutama bagi otak.
7. Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
8. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel
darah merah.
9. Menghasilkan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu suatu reaksi
berantai yang penting dalam konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

[Sherwood 8th]

9
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal

2. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke
vesika urinaria. Panjangnya ± 25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter
sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada
rongga pelvis. Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan
peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Lapisan
dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

3. Vesika urinaria (kandung kemih)


Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk
seperti buah pir (kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga
panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon
karet.

Gambar 2.2 Vesika Urinaria

4. Uretra
Uretra merupakan saluran yang berpangkal pada vesika urinaria yang
10
berfungsi menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-
kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:
a. Uretra pars prostatika
b. Uretra pars membranosa
c. Uretra pars spongiosa.
Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. Sphincter uretra
terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra disini
hanya sebagai saluran ekskresi.

2.1.1.3 Patofisiologi
infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah kondisi yang terjadi ketika bakteri
atau mikroorganisme lainnya menginfeksi salah satu bagian sistem kemih,
seperti uretra, kandung kemih, ureter, atau bahkan ginjal. Patofisiologi ISK
melibatkan beberapa tahap proses infeksi, dan berikut adalah gambaran
umum mengenai patofisiologi ISK:
 Kontaminasi: Infeksi saluran kemih biasanya dimulai dengan
kontaminasi bakteri atau mikroorganisme lainnya di sekitar daerah
uretra. Bakteri paling umum yang terlibat adalah Escherichia coli (E.
coli), tetapi infeksi juga dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri,
virus, atau jamur.
 Penempelan dan Penetrasi: Bakteri yang telah mencapai uretra dapat
menempel pada dinding uretra dan mulai berkembang biak. Mereka
memiliki kemampuan untuk menempel dan merambat ke atas saluran
kemih menuju kandung kemih. Faktor-faktor seperti adhesin pada
bakteri membantu mereka menempel pada epitel dinding saluran
kemih.
 Proliferasi Bakteri: Setelah menempel pada dinding saluran kemih,
bakteri berkembang biak dan mulai menghasilkan koloni yang lebih
besar. Proliferasi bakteri ini menyebabkan peningkatan jumlah
mikroorganisme dalam saluran kemih.
 Respon Inflamasi: Proliferasi bakteri dalam saluran kemih memicu
respon inflamasi oleh sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih
(leukosit) bergerak ke daerah yang terinfeksi untuk melawan bakteri.
Ini dapat menyebabkan gejala khas infeksi seperti peradangan, nyeri,
pembengkakan, dan produksi nanah.
 Gejala Klinis: Gejala klinis yang sering terkait dengan ISK meliputi
sering buang air kecil (urgensi), nyeri atau terbakar saat buang air kecil
(disuria), peningkatan frekuensi buang air kecil, dan perasaan tidak
selesai setelah buang air kecil. Infeksi yang melibatkan kandung kemih
(cystitis) juga dapat menyebabkan perasaan penuh atau tekanan di
perut bagian bawah.
 Penyebaran: Jika infeksi tidak diobati, bakteri dapat terus menyebar
lebih jauh ke saluran kemih bagian atas, seperti ureter dan ginjal,
menyebabkan infeksi yang lebih serius seperti pielonefritis.
Pielonefritis dapat menyebabkan demam, nyeri punggung, mual,
muntah, dan gejala sistemik lainnya.
ISK terjadi ketika terdapat mikroorganisme yang masuk dan tumbuh
didalam saluran kemih. Mikroorganisme dapat masuk kedalam saluran
kemih melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Ascending infection
Mikroorganisme masuk kedalam saluran kemih melalui jalur
11
ascending mulanya bisa disebabkan karena infeksi saluran
cerna.Mikroorganisme dapat memasuki traktus urinari melalui uretra yang
kemudian berlanjut menuju kandung kemih. Faktor predisposisi seperti
perempuan, pengguna spermisidal, dan pasien yang menggunakan kateter
dapat mempermudah mikroorganisme dalam melakukan ascending infection
pada saluran kemih. [9]
2. Hematogen
ISK yang terjadi secara hematogen dibatasi pada beberapa
mikroorganisme dan jarang terjadi seperti Staphylococcus aureus, Candida
sp. dan Mycobacterium tuberculosis yang biasa didapat dari infeksi primer di
tempat lain. [9]
3. Limfogen
Infeksi saluran kemih berasal dari infeksi organ sekitar seperti infeksi
usus atau abses retroperitoneal yang disebarkan dan sampai ke saluran kemih
melalui sistem limfogen. [9]

2.1.1.4 Patogenesis
Saluran kemih dapat dipahami sebagai sistem struktural yang
terhubung oleh aliran urine yang berkelanjutan yang membentang dari
uretra hingga ginjal. Pada sebagian besar infeksi saluran kemih (ISK),
bakteri memulai infeksi dengan bergerak ke atas dari uretra ke kandung
kemih. Jalur paling umum untuk infeksi parenkim ginjal melibatkan bakteri
naik lebih tinggi melalui ureter untuk mencapai ginjal. Namun, masuknya
bakteri ke dalam kandung kemih tidak selalu menghasilkan infeksi yang
persisten dan bergejala. Apakah invasi jaringan dan infeksi bergejala terjadi
bergantung pada interaksi antara faktor seperti pertahanan tubuh tuan
rumah, karakteristik patogen, dan kondisi lingkungan. Sebagai contoh,
bakteri sering memasuki kandung kemih setelah hubungan seksual, tetapi
pertahanan alami kandung kemih tubuh dan buang air kecil secara teratur
dapat menghilangkan mikroorganisme ini. Setiap benda asing dalam
saluran kemih, seperti kateter kemih atau batu, memberikan permukaan
bagi bakteri untuk berkembang biak. Pola buang air kecil yang tidak teratur
atau jumlah urine sisa yang signifikan juga dapat mempromosikan infeksi.
Dengan kata lain, segala hal yang meningkatkan kemungkinan bakteri
masuk ke dalam kandung kemih dan tinggal di sana meningkatkan risiko
ISK.

Bakteri juga dapat memasuki saluran kemih melalui aliran darah.


Namun, penyebaran hematogen hanya menyumbang kurang dari 2% dari
ISK yang tercatat dan biasanya disebabkan oleh bakteremia yang
disebabkan oleh patogen yang relatif agresif, seperti Salmonella dan
Staphylococcus aureus. Sebenarnya, ketika patogen-patogen ini diisolasi
dari pasien tanpa kateter atau alat medis lainnya, itu menunjukkan bahwa
sumber infeksi dalam aliran darah harus diselidiki. Infeksi hematogen dapat
menyebabkan abses lokal atau daerah pielonifritis dalam ginjal dan dapat
menghasilkan kultur urine positif. Patogenesis kandiduria berbeda dalam
hal rute hematogen sering terlibat. Menemukan Candida dalam urine pasien
imunokompeten yang tidak diinstrumen menunjukkan kemungkinan
candidiasis genitourinari atau sistemik Faktor Lingkungan
12
Ekologi vagina adalah faktor lingkungan penting yang
mempengaruhi risiko UTI pada wanita. Kolonisasi introitus vagina dan
area periurethral dengan organisme dari flora usus (biasanya E. coli) adalah
langkah awal kritis dalam patogenesis UTI. Hubungan seksual dikaitkan
dengan peningkatan risiko kolonisasi vagina dengan E. coli dan dengan
demikian meningkatkan risiko UTI. Nonoxynol-9 dalam spermisida
beracun bagi lactobacilli vagina normal dan dengan demikian juga
dikaitkan dengan peningkatan risiko kolonisasi E. coli vagina dan
bakteriuria. Pada wanita pascamenopause, lactobacilli vagina yang
sebelumnya dominan digantikan dengan bakteri gram-negatif kolonisasi.
Penggunaan estrogen topikal untuk mencegah UTI pada wanita
pascamenopause kontroversial; mengingat efek samping penggantian
hormon sistemik, estrogen oral tidak boleh digunakan untuk mencegah
UTI.

Setiap kondisi yang memungkinkan stasis urin atau obstruksi


membuat individu rentan terhadap UTI. Benda asing seperti batu atau
kateter urin menyediakan permukaan inert untuk kolonisasi bakteri dan
pembentukan biofilm persisten. Dengan demikian, refluks vesikoureteral,
obstruksi ureter sekunder terhadap hipertrofi prostatik, kandung kemih
neurogenik, dan operasi pengalihan urin menciptakan lingkungan yang
menguntungkan bagi UTI. Pada orang dengan kondisi tersebut, Suku E.
coli yang tidak memiliki faktor virulensi urin tipikal sering menjadi
penyebab infeksi. Inhibisi peristalsis ureter dan penurunan tonus ureter
yang mengarah ke refluks vesikoureteral penting dalam patogenesis
pielonefritis pada wanita hamil. Faktor anatomi—khususnya, jarak uretra
dari anus—dianggap sebagai alasan utama mengapa UTI terutama adalah
penyakit wanita muda daripada pria muda.

Latar belakang genetik inang mempengaruhi kerentanan individu


terhadap UTI berulang, setidaknya di antara wanita. Disposisi keluarga
terhadap UTI dan pielonefritis sudah terdokumentasi dengan baik. Wanita
dengan UTI berulang lebih mungkin mengalami UTI pertama mereka
sebelum usia 15 tahun dan memiliki riwayat maternal UTI. Komponen
patogenesis mendasar dari predisposisi keluarga ini terhadap UTI berulang
mungkin adalah kolonisasi vagina persisten dengan E. coli, bahkan selama
periode asimtomatik. Sel-sel mukosa vagina dan periurethral dari wanita
dengan UTI berulang mengikat tiga kali lebih banyak bakteri uropatogen
daripada sel-sel mukosa dari wanita tanpa infeksi berulang. Sel epitel dari
wanita yang bukan sekretor antigen golongan darah tertentu mungkin
memiliki jenis reseptor tertentu yang dapat diikat oleh E. coli, sehingga
memfasilitasi kolonisasi dan invasi. Mutasi dalam gen respons imun
bawaan inang (mis., Yang mengkode reseptor Toll-like dan reseptor
interleukin 8) juga telah dikaitkan dengan UTI berulang dan pielonefritis.
Pola genetik yang memprediksikan sifilis dan pielonefritis tampaknya
berbeda.

Saluran kemih yang normal secara anatomi memberikan hambatan


yang lebih kuat terhadap infeksi daripada saluran kemih yang terganggu.
Oleh karena itu, strain E. coli yang menyebabkan infeksi invasif saluran
13
kemih yang bersifat simtomatik pada inang normal seringkali memiliki dan
mengekspresikan faktor virulensi genetik, termasuk adhesin permukaan
yang memediasi pengikatan ke reseptor spesifik pada permukaan sel
uroepitel. Adhesin yang paling banyak dipelajari adalah P fimbriae,
struktur protein seperti rambut yang berinteraksi dengan reseptor spesifik
pada sel epitel ginjal. (Huruf P menunjukkan kemampuan fimbriae ini
untuk berikatan dengan antigen golongan darah P, yang mengandung
residu d-galaktosa-d-galaktosa.) P fimbriae penting dalam patogenesis
pielonefritis dan invasi aliran darah berikutnya dari ginjal.

Adhesin lainnya adalah pilus tipe 1 (fimbria), yang dimiliki oleh


semua strain E. coli tetapi tidak semua strain E. coli mengekspresikannya.
Pilus tipe 1 diyakini memainkan peran kunci dalam memulai infeksi
kandung kemih E. coli; mereka memediasi pengikatan ke mannosa pada
permukaan luminal sel uroepitel kandung kemih. Toksin, sistem perolehan
logam (besi), pembentukan biofilm, dan kapsul juga dapat berkontribusi
terhadap kemampuan E. coli patogen untuk berkembang biak di kandung
kemih.
[Harisson 20th]

2.1.1.5 Diagnosis

Diagnosis dari setiap sindrom infeksi saluran kemih dimulai dengan


riwayat yang detail. Riwayat yang diberikan oleh pasien memiliki nilai
prediktif yang tinggi dalam kasus sistitis yang tidak rumit. Sebuah meta-
analisis yang mengevaluasi probabilitas infeksi saluran kemih akut
berdasarkan riwayat dan temuan fisik menyimpulkan bahwa, pada wanita
yang menunjukkan setidaknya satu gejala infeksi saluran kemih (disuria,
frekuensi, hematuria, atau nyeri punggung) dan tanpa faktor komplikasi,
probabilitas sistitis akut atau pielonefritis adalah 50%. Tingkat akurasi
diagnosis diri yang lebih tinggi di antara wanita dengan infeksi saluran
kemih berulang mungkin menjelaskan keberhasilan pengobatan yang
diinisiasi pasien untuk sistitis berulang. Jika keputihan vagina dan faktor
komplikasi tidak ada dan faktor risiko untuk infeksi saluran kemih ada,
maka probabilitas infeksi saluran kemih mendekati 90%, dan tidak
diperlukan evaluasi laboratorium. Kombinasi disuria dan frekuensi buang
air kecil dalam ketiadaan keputihan vagina meningkatkan probabilitas
infeksi saluran kemih menjadi 96%. Evaluasi laboratorium lebih lanjut
dengan pengujian dipstick atau budaya urin tidak perlu pada pasien seperti
itu sebelum dimulainya terapi definitif.

Dalam menerapkan riwayat pasien sebagai alat diagnostik, dokter


harus ingat bahwa penelitian yang termasuk dalam meta-analisis di atas
tidak mendaftarkan anak-anak, remaja, wanita hamil, pria, atau pasien
dengan infeksi saluran kemih yang rumit. Satu kekhawatiran signifikan
adalah bahwa penyakit menular seksual—yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis khususnya—mungkin diobati secara tidak tepat sebagai infeksi
saluran kemih. Kekhawatiran ini sangat relevan untuk pasien perempuan di
bawah usia 25 tahun. Diagnosis diferensial yang harus dipertimbangkan
ketika wanita hadir dengan disuria termasuk servisitis (C. trachomatis,
Neisseria gonorrhoeae), vaginitis (Candida albicans, Trichomonas
14
vaginalis), uretritis herpetik, sistitis interstisial, dan iritasi vagina atau vulva
non-infeksius. Wanita dengan lebih dari satu pasangan seksual dan
penggunaan kondom yang tidak konsisten berisiko tinggi untuk infeksi
saluran kemih dan penyakit menular seksual, dan gejala saja tidak selalu
membedakan antara kondisi ini.

Tes batang urin, urinalisis, dan budaya urin adalah alat diagnostik
yang berguna, keduanya memberikan informasi perawatan titik, dan
budaya urin, yang dapat mengkonfirmasi diagnosis sebelumnya secara
retrospektif. Memahami parameter tes batang urin penting dalam
menafsirkan hasilnya. Hanya anggota keluarga Enterobacteriaceae yang
mengubah nitrat menjadi nitrit, dan nitrit harus cukup terakumulasi dalam
urin untuk mencapai ambang deteksi. Jika seorang wanita dengan sistitis
akut memaksa cairan dan buang air kecil dengan sering, tes batang urin
untuk nitrit kurang mungkin positif, bahkan ketika E. coli ada. Tes esterase
leukosit mendeteksi enzim ini dalam leukosit polimorfonuklear dalam urin
inang, apakah sel-sel itu utuh atau lisis. Banyak ulasan telah mencoba
untuk menggambarkan akurasi diagnostik pengujian batang urin. Intinya
bagi klinisi adalah bahwa tes batang urin dapat mengkonfirmasi diagnosis
sistitis yang tidak rumit pada pasien dengan probabilitas pra-uji yang cukup
tinggi dari penyakit ini; baik positivitas nitrit atau esterase leukosit dapat
ditafsirkan sebagai hasil positif. Darah dalam urin juga dapat menunjukkan
diagnosis infeksi saluran kemih. Tes batang urin negatif untuk kedua nitrit
dan esterase leukosit pada jenis pasien ini harus mendorong pertimbangan
penjelasan lain untuk gejala pasien dan pengumpulan urin untuk budaya.
Tes batang urin negatif tidak cukup sensitif untuk menyingkirkan
bakteriuria pada wanita hamil, di mana penting untuk mendeteksi semua
episode bakteriuria.

Mikroskop urine mengungkapkan piuria dalam hampir semua kasus


sistitis dan hematuria dalam ~ 30% kasus. Dalam praktik saat ini, sebagian
besar laboratorium rumah sakit menggunakan sistem otomatis daripada
pemeriksaan manual untuk mikroskop urine. Mesin menghisap sampel
urine dan kemudian mengklasifikasikan partikel-partikel dalam urine
berdasarkan ukuran, bentuk, kontras, penyebaran cahaya, volume, dan sifat
lainnya. Sistem otomatis ini bisa kewalahan oleh jumlah sel darah merah
dismorfik, sel darah putih, atau kristal yang tinggi; secara umum, hitungan
bakteri kurang akurat daripada hitungan sel darah merah dan putih.
Rekomendasi klinis penulis adalah bahwa gejala dan presentasi pasien
harus lebih berat daripada hasil urinalisis otomatis yang tidak sesuai.

Deteksi bakteri dalam budaya urine adalah standar emas diagnostik untuk infeksi salur

15
Pendekatan diagnostik dipengaruhi oleh sindrom infeksi saluran
kemih klinis yang dicurigai. Sistitis Tidak Rumit pada Wanita Sistitis tidak
rumit pada wanita dapat diobati berdasarkan riwayat saja. Namun, jika
gejalanya tidak spesifik atau jika riwayat yang dapat diandalkan tidak dapat
diperoleh, maka tes batang urin harus dilakukan. Hasil nitrit atau esterase
leukosit positif pada wanita dengan satu gejala infeksi saluran kemih
meningkatkan probabilitas UTI dari 50% menjadi ~80%, dan pengobatan
empiris dapat dipertimbangkan tanpa pengujian lebih lanjut. Dalam
pengaturan ini, hasil batang urin negatif tidak menyingkirkan infeksi
saluran kemih, dan budaya urin, tindak lanjut klinis yang ketat, dan
mungkin pemeriksaan panggul direkomendasikan. Pada wanita dengan
infeksi saluran kemih yang rumit (misalnya, karena kehamilan, resistensi
bakteri yang dicurigai, atau infeksi saluran kemih baru-baru ini), budaya
urin diperlukan untuk memandu terapi yang tepat.

Sistitis pada Pria Tanda dan gejala sistitis pada pria mirip dengan
wanita, tetapi penyakit ini berbeda dalam beberapa cara penting dalam
populasi pria. Pengumpulan urin untuk budaya sangat dianjurkan ketika
seorang pria memiliki gejala infeksi saluran kemih, karena dokumentasi
bakteriuria dapat membedakan sindrom prostatitis bakteri akut dan kronis
yang kurang umum dari entitas nyeri panggul kronis yang sangat umum,
yang tidak terkait dengan bakteriuria dan oleh karena itu biasanya tidak
responsif terhadap terapi antibakteri. Pria dengan infeksi saluran kemih
demam sering memiliki tingkat serum antigen spesifik prostat yang tinggi
serta prostat dan vesikula seminalis yang membesar pada ultrasound -
temuan menunjukkan keterlibatan prostat. Dalam sebuah studi tentang 85
pria dengan infeksi saluran kemih demam, gejala retensi urin, kekambuhan
infeksi saluran kemih awal, hematuria pada tindak lanjut, dan kesulitan
buang air kecil adalah prediktif gangguan yang dapat diperbaiki secara
bedah. Pria tanpa gejala ini memiliki saluran kemih atas dan bawah normal
pada pemeriksaan urologi. Secara umum, pria dengan infeksi saluran kemih
demam pertama harus melakukan pencitraan (CT atau ultrasound); jika
diagnosis tidak jelas atau jika infeksi saluran kemih berulang, rujukan
untuk konsultasi urologi dan evaluasi lebih lanjut - termasuk budaya
lokalisasi potensial menggunakan tes Meares-Stamey dua atau empat gelas
(pengumpulan urin setelah pijat prostat) - adalah tepat.

Bakteriuria Asimtomatik Diagnosis melibatkan kriteria mikrobiologis dan klinis. Krite

16
[Harrison 20th]
Gambar 2.3 Diagnosis Infeksi Saluran Kemih

2.1.1.6 Faktor Resiko


1. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus, bahkan ketika terkontrol dengan baik, dilaporkan
berkorelasi dengan frekuensi bakteriuria tanpa gejala yang lebih tinggi.
Satu RCT menunjukkan bahwa penghapusan bakteri urinaria tanpa gejala
tidak mengurangi risiko Infeksi saluran kemih simtomatik dan komplikasi
infeksi pada pasien dengan diabetes mellitus. Waktu hingga episode
simtomatik pertama juga serupa di kedua kelompok. Selain itu, bakteriuria
tanpa gejala yang tidak diobati tidak berkorelasi dengan nefropati diabetik.
Oleh karena itu, skrining dan pengobatan bakteriuria tanpa gejala pada
diabetes mellitus yang terkontrol dengan baik tidak dianjurkan. Namun,
diabetes yang tidak terkontrol adalah faktor risiko untuk infeksi saluran
kemih simtomatik dan komplikasi infeksi.[13]

2. Wanita Pasca-Menopause
Wanita lanjut usia memiliki peningkatan insiden bakteriuria tanpa
gejala. Empat RCT membandingkan pengobatan antibiotik bakteriuria
tanpa gejala dengan kontrol plasebo atau tanpa pengobatan, pada populasi
17
wanita pasca-menopause, dengan dosis dan regimen antibiotik yang
berbeda. Wanita dalam penelitian ini sebagian besar adalah penghuni
rumah perawatan, yang mungkin mempengaruhi hasil analisis ini. Tiga
RCT melaporkan tentang tingkat Infeksi saluran kemih simtomatik (RR
rata-rata 0,71, 95% CI 0,49 hingga 1,05; 208 wanita) dan resolusi
bakteriuria (RR rata-rata 1,28, 95% CI 0,50 hingga 3,24; 203 wanita),
tanpa manfaat signifikan dari pengobatan antibiotik. Oleh karena itu,
bakteriuria tanpa gejala pada wanita pasca-menopause tidak memerlukan
pengobatan, dan harus dikelola seperti pada wanita pra-menopause.[13]

3. Pasien Institusional Lanjut Usia


Tingkat bakteriuria tanpa gejala adalah 15-50% pada pasien
institusional lanjut usia. Diagnosis diferensial ABU dari UTI simtomatik
sulit pada pasien dengan banyak penyakit dan penurunan mental, dan
mungkin menjadi penyebab pengobatan antibiotik yang tidak perlu. Tujuh
RCT membandingkan pengobatan antibiotik ABU dengan kontrol plasebo
atau tanpa pengobatan pada pasien lanjut usia, dengan dosis dan regimen
antibiotik yang berbeda. Tiga RCT melaporkan tentang tingkat UTI
simtomatik. Pengobatan antibiotik tidak secara signifikan bermanfaat
dalam mengurangi tingkat UTI simtomatik dibandingkan dengan plasebo
atau tanpa pengobatan (RR rata-rata 0,68, 95% CI 0,46 hingga 1,00;
n=210). Enam RCT melaporkan tentang resolusi bakteriuria. Tidak ada
manfaat pengobatan antibiotik dibandingkan dengan plasebo dalam
resolusi ABU (RR rata-rata 1,33, 95% CI 0,63 hingga 2,79; n=328). Satu
RCT membandingkan tingkat inkontinensia pada kelompok pasien ini
sebelum dan setelah penghapusan ABU, dan tidak menemukan efek
pengobatan antibiotik. Oleh karena itu, skrining dan pengobatan ABU
tidak dianjurkan dalam kelompok pasien ini.[13]

4. Pasien dengan Transplantasi Ginjal


Dua RCT dan dua studi retrospektif membandingkan efek
pengobatan antibiotik dengan tanpa pengobatan pada pasien transplantasi
ginjal. Meta-analisis dari dua RCT tidak menemukan manfaat pengobatan
antibiotik dalam hal mengurangi UTI simtomatik (RR 0,86, 95% CI 0,51
hingga 1,45; n=200). Dua studi retrospektif mencapai kesimpulan yang
sama. Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat clearance
ABU, kehilangan graft atau perubahan fungsi ginjal selama tindak lanjut
jangka panjang hingga 24 bulan. Oleh karena itu, pengobatan ABU tidak
dianjurkan pada penerima transplantasi ginjal.[13]

5. Pasien dengan Disfungsi dan/atau Saluran Kemih yang Direkonstruksi


Pasien dengan disfungsi saluran kemih bagian bawah (LUTD)
(misalnya pasien kandung kemih neurogenik sekunder terhadap sklerosis
multipel, pasien cedera sumsum tulang belakang, pasien dengan
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, pasien dengan neo-
kandung kemih dan ileo-cystoplasty, pasien menggunakan kateterisasi
intermiten bersih (CIC), dan pasien dengan konduksi ileal, penggantian
kandung kemih ortotopik dan reservoir kontinen) sering menjadi
terkolonisasi. Studi telah menunjukkan tidak ada manfaat dalam
pengobatan ABU pada kelompok pasien ini. Selain itu, pada pasien LUTD
yang tidak secara spontan mengembangkan ABU, kolonisasi yang

18
disengaja dengan strain ABU (Escherichia coli 83972) telah menunjukkan
efek protektif terhadap kekambuhan simtomatik. Oleh karena itu, skrining
dan pengobatan ABU pada kelompok pasien ini tidak dianjurkan. Jika
kelompok pasien ini mengembangkan UTI simtomatik berulang efek
protektif ABU yang dikembangkan secara spontan terhadap UTI bagian
bawah harus dipertimbangkan sebelum pengobatan apa pun.[13]

6. Pasien dengan Kateter


Saluran Kemih Pasien dengan kateter permanen atau suprapubik dan
tabung nefrostomi pasti menjadi pembawa ABU, dengan pengobatan
antibiotik tidak menunjukkan manfaat. Ini juga berlaku untuk pasien
dengan ABU dan stent ureteral yang menetap. Pengobatan rutin
bakteriuria yang terkait dengan kateter tidak dianjurkan. [13]

7. Pasien dengan ABU yang Menjalani Penempatan/Penukaran Kateter


Pada pasien yang menjalani penempatan/penukaran kateter uretral
yang menetap tanpa komplikasi, ABU tidak dianggap sebagai faktor risiko
dan tidak harus diskrining atau diobati. Pada pasien yang menjalani
penempatan/penukaran tabung nefrostomi dan stent ureteral yang
menetap, ABU dianggap sebagai faktor risiko untuk komplikasi infeksi.
[13]
Pasien dengan Sistem Kekebalan Tubuh yang Lemah dan Pasien dengan

8. Penyakit Parah,
Pasien dengan Kandiduria Kelompok pasien ini harus
dipertimbangkan secara individual dan manfaat skrining dan pengobatan
ABU harus ditinjau dalam setiap kasus. Pasien dengan kandiduria
asimtomatik mungkin, meskipun tidak selalu, memiliki gangguan atau
cacat yang mendasarinya. Pengobatan kandiduria asimtomatik tidak
dianjurkan. [13]

2.1.2 Diabetes Melitus


2.1.2.1 Definisi
Diabetes melitus diambil dari bahasa yunani diabetes yang berarti
menyedot –melewati dan dari bahasa latin melitus artinya manis. Tinjauan
sejarah menunjukkan bahwa istilah “diabetes” pertama kali digunakan oleh
Apollonius dari Memphis sekitar tahun 250 hingga 300 SM. Peradaban Yunani
kuno, India, dan Mesir menemukan sifat manis urin dalam kondisi ini, dan
karenanya munculah penyebaran kata Diabetes Mellitus. Mering dan
Minkowski, pada tahun 1889, menemukan peran pankreas dalam patogenesis
diabetes. Pada tahun 1922 Banting, Best, dan Collip memurnikan hormon
insulin dari pankreas sapi di Universitas Toronto, yang mengarah pada
tersedianya pengobatan yang efektif untuk diabetes pada tahun 1922. Selama
bertahun-tahun, pekerjaan luar biasa telah dilakukan, dan berbagai penemuan,
serta strategi manajemen, telah diciptakan untuk mengatasi masalah yang
berkembang ini. Sayangnya, bahkan saat ini, diabetes adalah salah satu penyakit
kronis yang paling umum di negara ini dan di seluruh dunia. Di AS, penyakit ini

19
tetap menjadi penyebab kematian ketujuh terbesar.[5]

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang melibatkan


peningkatan kadar glukosa darah yang tidak tepat. DM memiliki beberapa
kategori, antara lain tipe 1, tipe 2, maturity-onset diabetes of the young
(MODY), diabetes gestasional, diabetes neonatal, dan penyebab sekunder akibat
endokrinopati, penggunaan steroid, dll. Subtipe utama DM adalah diabetes
melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2, yang secara klasik disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin (diabetes melitus tipe 1) dan/atau kerja insulin
(diabetes melitus tipe 2). Diabetes melitus tipe 1 terjadi pada anak-anak atau
remaja, sedangkan diabetes melitus tipe 2 diperkirakan menyerang orang
dewasa paruh baya dan lanjut usia yang mengalami hiperglikemia
berkepanjangan akibat gaya hidup dan pilihan pola makan yang buruk.
Patogenesis diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 sangat berbeda,
dan oleh karena itu masing-masing tipe memiliki etiologi, presentasi, dan
pengobatan yang berbeda. [5]

2.1.2.2 Diagnosis
Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma. Untuk
kriteria glukosa plasma, nilai glukosa plasma puasa atau nilai glukosa plasma 2
jam selama tes toleransi glukosa oral 75-g dapat digunakan. Tingkat glukosa
plasma 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau lebih tinggi pada pasien dengan gejala
klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik cukup untuk mendiagnosis
diabetes. Kriteria glukosa plasma juga dapat digunakan untuk diagnosis. Penting
untuk mengukur tingkat glukosa plasma untuk mengkonfirmasi gejala dan
menginformasikan keputusan manajemen. Kriteria untuk mendiagnosis diabetes
tercantum dalam table dibawah ini .[14]

20
Gambar 2.4 Diagnosis Diabetes Melitus

2.1.2.3 Komplikasi
Terlepas dari jenis diabetes tertentu, komplikasinya melibatkan masalah
mikrovaskuler, makrovaskular, dan neuropatik. Komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular bervariasi sesuai dengan derajat dan durasi diabetes yang tidak
terkontrol, termasuk nefropati, retinopati, neuropati, dan kejadian ASCVD,
terutama jika dikaitkan dengan penyakit penyerta lain seperti dislipidemia dan
hipertensi. Salah satu konsekuensi paling buruk dari DM adalah dampaknya
terhadap penyakit kardiovaskular (ASCVD). Sekitar dua pertiga penderita DM
akan meninggal karena infark miokard atau stroke. Pada DMT2, glukosa puasa
lebih dari 100 mg/dL secara signifikan berkontribusi terhadap risiko ASCVD,
dan risiko kardiovaskular dapat berkembang sebelum hiperglikemia nyata.
DM juga merupakan penyebab umum kebutaan pada orang dewasa berusia
20 hingga 74 tahun di Amerika Serikat. Retinopati diabetik berkontribusi
terhadap 12.000 hingga 24.000 kasus kebutaan baru setiap tahunnya, dan
pengobatan umumnya terdiri dari operasi laser dan kontrol glukosa.
Penyakit ginjal merupakan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas
pada pasien DM. Penyakit ini merupakan penyebab utama penyakit ginjal
stadium akhir (ESRD) di Amerika Serikat, dan banyak pasien dengan ESRD
perlu memulai dialisis atau menerima transplantasi ginjal. Jika albuminuria
menetap pada kisaran 30 hingga 300 mg/hari (mikroalbuminuria), hal ini
tampaknya merupakan penanda awal timbulnya neuropati diabetik yang dapat
diprediksi. Setelah makroalbuminuria (lebih besar dari 300 mg/24 jam) terjadi,
perkembangan menjadi ESRD semakin cepat. Spesimen urin spot acak untuk
pengukuran rasio albumin terhadap kreatinin adalah metode yang cepat, mudah,
dan dapat diprediksi serta merupakan metode yang paling banyak digunakan
dan disukai untuk mendeteksi mikroalbuminuria. Dua dari tiga tes, yang
dilakukan selama enam bulan menunjukkan tingkat kreatinin lebih dari 30
mcg/mg, menegaskan diagnosis mikroalbuminuria.
DM juga merupakan penyebab utama amputasi anggota tubuh di Amerika
Serikat; hal ini terutama disebabkan oleh vaskulopati dan neuropati yang
berhubungan dengan DM. Banyak pasien yang menderita neuropati perlu

21
menjalani pemeriksaan kaki secara teratur untuk mencegah infeksi dari luka
yang tidak diketahui.
Durasi menderita diabetes merupakan faktor risiko paling penting dalam
perkembangan retinopati diabetik. Pada penderita diabetes tipe 1, penyakit ini
biasanya terjadi sekitar 5 tahun setelah timbulnya penyakit. Oleh karena itu
dianjurkan untuk memulai pemeriksaan retina tahunan pada pasien ini sekitar
lima tahun setelah diagnosis. Di antara pasien diabetes tipe 2, banyak pasien
mungkin sudah mengalami perubahan retina pada saat diagnosis. Sekitar 10%
pada usia sepuluh tahun, 40% pada usia 15 tahun, dan 60% pada usia 20 tahun
akan menderita penyakit retina nonproliferatif. Pada pasien ini, rekomendasinya
adalah memulai skrining retina tahunan pada saat diagnosis. Penelitian demi
penelitian menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang wajar memiliki efek
menguntungkan pada permulaan dan perkembangan retinopati diabetik.
Tekanan darah yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko tambahan untuk
edema makula. Menurunkan tekanan darah pada pasien diabetes juga
mempengaruhi risiko perkembangan retinopati. Suntikan antibodi agen faktor
pertumbuhan endotel vaskular (anti-VEGF) umumnya digunakan sebagai terapi
awal pada kasus edema makula. Dalam kasus retinopati diabetik nonproliferatif,
fotokoagulasi pan-retina digunakan. Dalam kasus retinopati proliferatif diabetik,
modalitas kombinasi agen anti-VEGF dan fotokoagulasi pan-retina kini
digunakan. Hilangnya penglihatan secara tiba-tiba dapat terjadi karena beberapa
sebab pada pasien diabetes melitus, yang paling umum adalah perdarahan
vitreus. Penyebab kurang umum yang perlu dipertimbangkan termasuk oklusi
vaskular (oklusi vena retina sentral atau vena cabang yang melibatkan makula),
ablasi retina, glaukoma stadium akhir, dan neuropati optik iskemik.
Selain itu, bukti menunjukkan bahwa T2DM juga dapat berkontribusi
terhadap perkembangan kanker, khususnya kanker kandung kemih, pada mereka
yang menggunakan pioglitazone. Pasien yang menggunakan metformin telah
meningkatkan kelangsungan hidup spesifik kanker pada mereka yang menderita
kanker prostat, pankreas, payudara, dan kolorektal. Namun, tidak jelas
bagaimana metformin berperan dalam memodulasi kanker pada pasien diabetes.
Mereka yang menderita diabetes gestasional mempunyai risiko lebih tinggi
untuk melahirkan secara sesar dan hipertensi kronis. Pasien hamil dengan
DMT2 umumnya memiliki prognosis yang lebih baik dalam hal komplikasi
neonatal dan kehamilan dibandingkan dengan pasien T1DM. Umumnya
neonatus dari ibu penderita DM akan mengalami hipoglikemia dan makrosomia.
Komplikasi DM yang paling akut adalah ketoasidosis diabetik (DKA),
yang biasanya muncul pada T1DM. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh dosis
yang tidak memadai, dosis yang terlewat, atau infeksi yang sedang berlangsung.
Dalam kondisi ini, kekurangan insulin berarti jaringan tidak dapat memperoleh
glukosa dari aliran darah. Kompensasi untuk hal ini menyebabkan metabolisme
lipid menjadi keton sebagai sumber energi pengganti, yang menyebabkan
asidosis sistemik, dan dapat dihitung sebagai asidosis metabolik dengan
kesenjangan anion yang tinggi. Kombinasi hiperglikemia dan ketosis
menyebabkan diuresis, acidemia, dan muntah yang menyebabkan dehidrasi dan
kelainan elektrolit, yang dapat mengancam jiwa. Pada DMT2, sindrom
hiperglikemik hiperosmolar (HHS) menjadi perhatian baru. Gejalanya mirip
dengan DKA dengan rasa haus yang berlebihan, peningkatan glukosa darah,
mulut kering, poliuria, takipnea, dan takikardia. Namun, tidak seperti DKA,
HHS biasanya tidak muncul dengan keton urin yang berlebihan karena insulin
masih diproduksi oleh sel beta pankreas. Perawatan untuk DKA atau HHS
22
melibatkan pemberian insulin dan hidrasi intravena yang agresif. Pengelolaan
elektrolit yang hati-hati, khususnya kalium, sangat penting dalam pengelolaan
kondisi darurat ini.[5]

2.1.2.4 Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2


Faktor risiko DM tipe 2 dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi:

1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi yang mempengaruhi terjadinya diabetes melitus tipe 2. Pada
usia lanjut, terjadi penurunan fungsi alat tubuh, termasuk ancreas yang
menghasilkan insulin. Hal ini menyebabkan peningkatan risiko terkena
diabetes melitus tipe 2. Oleh karena itu, penting bagi seseorang yang
sudah berusia di atas 40 tahun untuk rutin memeriksa kadar gula darah,
mengatur pola makan, dan menjaga gaya hidup sehat guna menjaga kadar
gula darah tetap normal.

2. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian diabetes melitus tipe 2. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan aktivitas dan gaya hidup
sehari-hari antara perempuan dan laki-laki mempengaruhi kejadian
penyakit ini. Faktor-faktor seperti perubahan hormonal pada perempuan,
peningkatan indeks massa tubuh, dan kondisi seperti sindrom
premenstruasi dan pasca menopause dapat meningkatkan risiko terjadinya
diabetes melitus tipe 2 pada perempuan.

3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dapat menjadi faktor risiko dalam terjadinya
diabetes melitus tipe 2. Jika kedua orang tua menderita diabetes,
kemungkinan besar salah satu dari anaknya atau anak-anaknya dapat
terkena diabetes melitus. Risiko terbesar bagi anak terserang diabetes
terjadi jika salah satu atau kedua orang tua mengalami penyakit DM
sebelum berumur 40 tahun. Faktor genetik merupakan faktor penting pada
DM yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya
untuk mengenali sekretoris insulin.

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi:

1. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan
pengeluaran tenaga atau energi dan pembakaran energi. Aktivitas fisik
dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau
olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam
seminggu. Menurut WHO, aktivitas fisik dapat berupa aktivitas fisik
ringan, sedang, dan berat. Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek
menguntungkan bagi lemak tubuh, tekanan darah, berat badan, dan
sindroma metabolik kronik. Aktivitas fisik yang teratur juga dapat

23
mencegah penyakit diabetes melitus, kardiovaskuler, dan hipertensi.

2. Obesitas
Obesitas adalah peningkatan lemak tubuh yang berlebihan.Obesitas
disebabkan adanya keseimbangan energi positif sebagai akibat
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga
terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang diduga sebagian besar
disebabkan interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan antara
lain aktivitas fisik, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional.Obesitas
(kegemukan) adalah persentase abnormalitas lemak yangdinyatakan dalam
Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan berat badan dengan tinggi
badan kuadrat dalam meter. Obesitas berhubungan dengan peningkatan
risiko kejadian diabetes melitus. Kontrol berat badan penting dalam
manajemen diabetes dan pencegahan perkembangan prediabetes menjadi
DM. IMT merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan
dan kelebihan berat badan.
Obesitas didefinisikan sebagai berat badan lebih dari berat badan
normal atau Indeks Masa Tubuh (IMT), yang merupakan angka yang
didapat dari hasil berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam
meter kuadrat. IMT digunakan untuk mengetahui apakah berat badan
seseorang telah ideal atau belum. Berdasarkan kategori IMT menurut
Perkeni 2015, terdapat beberapa klasifikasi berdasarkan hasil IMT, seperti
BB Kurang, BB Normal, BB Lebih, dan BB dengan Risiko.

Gambar 2.5 Klasifikasi Indeks Masa Tubuh (IMT)


Menurut Kriteria Indonesia

Kepatuhan obat dapat menjadi faktor risiko yang dapat


dimodifikasikarena pengobatan yang tidak patuh dapat mempengaruhi
pengendalian kadar gula darah pada lansia penderita diabetes melitus tipe 2.
Ketika lansia tidak patuh dalam mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan,
hal ini dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah dalam tubuh. Oleh
karena itu, kepatuhan obat menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dengan memberikan pendampingan dan dukungan kepada lansia agar lebih
patuh dan rutin dalam mengkonsumsi obat diabetes serta menjalani gaya
hidup sehat.

Jadi, faktor risiko DM tipe 2 meliputi usia, jenis kelamin, riwayat


keluarga, aktivitas fisik, obesitas, dan kepatuhan pengobatan.

2.1.3 Hubungan Diabetes melitus terhadap infeksi


2.1.3.1 Sistem Imun terhadap Diabetes
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan

24
hiperglikemia, polidipsi, poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan.[16]
Diabetes melitus dibagi menjadi tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus tipe 1
terjadi ketika sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin karena
penyakit autoimun, sehingga sistem imun tubuh membuat antibodi yang
menyerang dan merusak sel beta pankreas.[16] Diabetes melitus tipe 1 ini
tidak bisa disembuhkan namun bisa dikontrol.[16] Diabetes melitus tipe 2
terjadi apabila sel beta pankreas tidak dapat memenuhi kebutuhan insulin
dalam tubuh.

Sistem imunitas tubuh memiliki peranan yang sangat penting dalam


menentukan kondisi tubuh penderita diabetes melitus. Jika imunitas tubuh
penderita mengalami penurunan karena suatu hal, maka bertambah pula
infeksi yang ditimbulkan dalam tubuh penderita diabetes melitus. [16]
Sistem imun yang menurun dan rentannya penderita terhadap terjadinya
kerusakan jaringan dianggap berperan penting dalam masalah infeksi pada
DM. [16]

Sel imun membantu tubuh dalam menyingkirkan patogen atau benda


asing yang akan masuk ke tubuh. Hal ini berarti apabila sistem imunitas
tubuh tidak dapat bekerja dengan semestinya, maka yang terjadi infeksi akan
menyebar bahkan ke seluruh tubuh penderita Diabetes Melitus. [16]
Penderita DM akut, jika terindikasi bahwa sistem imun tubuh sudah tidak
bisa bekerja dengan baik, hal tersebut dapat menyebabkan kematian dari
penderita. [16]

Penurunan sistem imun penderita dapat diakibatkan oleh beberapa


faktor dari dalam maupun luar tubuh. Contohnya faktor stres penderita
mengenai suatu hal atau bisa juga faktor lingkungan.[16] Otak akan
mengirimkan sinyal-sinyal ketidakmampuan tubuh dalam adaptasi faktor-
faktor tersebut. Sehingga keseimbangan tubuh akan terganggu dan
berdampak pula pada imunitas tubuh penderita.[16]

Oleh karena itu, penderita Diabetes Melitus wajib untuk


mempertahankan tubuhnya dalam kondisi yang dikatakan baik, baik dari segi
pikiran maupun fisiknya. Jika tidak demikian, maka penderita akan
mengalami infeksi lanjut dan berakibat pada timbulnya penyakit lain.

2.1.3.2 Mekanisme terjadi infeksi pada pasien diabetes melitus tipe 2


Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja
dan atau sekresi insulin. [17] Pada penderita diabetes melitus tipe 2, terjadi
peningkatan risiko infeksi. Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap
peningkatan risiko ini.

Pertama, hiperglikemia, atau tingkat glukosa darah yang tinggi, dapat


menghambat fungsi sistem imun tubuh, membuatnya lebih sulit bagi tubuh
untuk melawan infeksi. [18] Selain itu, tingkat glukosa darah yang tinggi
juga dapat menyebabkan dehidrasi, yang dapat mempengaruhi sirkulasi dan
proses penyembuhan tubuh. [18]

25
Kedua, diabetes melitus tipe 2 sering dikaitkan dengan penurunan aliran
darah. Aliran darah yang buruk dapat mempengaruhi kemampuan tubuh
untuk mengirim sel-sel sistem imun ke area yang terinfeksi, serta
menghambat proses penyembuhan. [18]

Ketiga, banyak penderita diabetes melitus tipe 2 juga memiliki


neuropati perifer, atau kerusakan saraf di kaki dan tangan. Neuropati ini
dapat mengurangi sensasi di area-area tersebut, membuat lebih sulit bagi
seseorang untuk merasakan luka atau iritasi yang bisa menjadi pintu masuk
bagi kuman. [18]

Keempat, beberapa komplikasi diabetes jangka panjang, seperti


penyakit ginjal dan penyakit jantung, juga dapat mempengaruhi respons
imun tubuh dan membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi.[18]

Oleh karena itu, penting bagi penderita diabetes melitus tipe 2 untuk
menjaga kadar gula darah mereka tetap terkontrol, menjaga hidrasi yang
baik, merawat kaki mereka dengan baik untuk mencegah luka dan infeksi,
dan mengelola komplikasi jangka panjang mereka untuk membantu
mencegah infeksi. [18]

2.2 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

2.2.1 Kerangka Teori

26
2.2.2 Kerangka Konsep

Variabel Bebas
Memengaruhi
Variabel Terikat

27
2.2.3 Definis Operasional

No Variabel Definisi Alar Ukur Hasil Skala


Operasional Ukur Pengukura
n

Variabel Dependent

1 Diabetes Suatu - Berdasark 0 = tidak Nominal


Melitus Tipe 2 penyakit an Diabetes
yang mana diagnosis melitus
tubuh tidak dari tipe 2
dapat tenaga
mengontrol medis 1=
kadar gula - Uji Diabetes
pada darah glukosa melitus
yang darah tipe 2
dikarenakan puasa
sel beta
pankreas
yang tidak
dapat
memenuhi
kebutuhan
hormon
insulin yang
seharusnya.

Variabel Independen

2 Infeksi Saluran Suatu infeksi - Berdasarka 0 = tidak Nominal


Kemih bakteri yang n Infeksi
umumnya diagnosis Saluran
disebabkan dari Kemih
oleh tenaga
Escherechia medis 1=
Coli pada - Uji kultur Infeksi
saluran urin Saluran
kemih. Kemih

28
BAB III
Metode Penelitian

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan studi analitik dengan pendekatan cross sectional
yang bertujuan untuk mengkaji hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan
infeksi saluran kemih pada usia dewasa di wilaya ciputat pada tahun 2023.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan data untuk penelitian hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan
infeksi saluran kemih dilakukan di wilayah Ciputat. Pengambilan data di wilayah
ciputat memiliki potensi sebagai representatif populasi. Pengambilan data untuk
penelitian diabetes melitus tipe 2 dengan infeksi dilakukan pada tanggal 20
September 2023 hingga 31 Oktober 2023.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien usia dewasa penderita
ISK. Kemudian untuk populasi terjangkau penelitian ini yakni pasien usia
dewasa penderita ISK yang terdaftar sebagai penduduk asli Ciputat

3.3.2 Sampel Penelitian


Sampel penelitian ini adalah pasien ISK pada usia dewasa di wilayah
Ciputat pada tahun 2023

3.3.3 Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu Consecutive
Sampling yang termasuk Teknik Non-Probability Sampling. Teknik
pengambilan sampel ini merupakan cara pengambilan sampel dimana setiap
subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dipilih sampai didapatkan
subjek terpilih (Eligible Subjects).

3.3.4 Besar Sampel


2
1.96 × 0.20×(1−0.20)
n= 2
=246.4
0.05

Jadi, besar sampel yang diperlukan adalah sekitar 246 orang untuk
memastikan sampel yang cukup besar untuk mendeteksi hubungan yang signifikan
antara diabetes melitus tipe 2 dan infeksi saluran kemih pada usia dewasa di
wilayah Ciputat.
29
3.3.5 Kriteria Inklusi
- Usia Dewasa
- Terdiagnosis dengan diabetes melitus tipe 2
- Terdiagnosis dengan infeksi saluran kemih
- Penduduk asli Ciputat.

3.3.6 Kriteria Eksklusi


- Pasien diabetes melitus tipe 2 yang sedang hamil.
- Pasien diabetes melitus tipe 2 yang meninggal dalam perawatan.
- Pasien diabetes melitus dengan penyakit penyerta imunodefisiensi

3.4 Cara Kerja Penelitian


1. Membuat proposal penelitian yang berisikan judul penelitian, desain
penelitian, populasi dan sampel yang dibutuhkan, metode pengambilan
sampel, dan rancangan anggaran yang dibutuhkan serta rencana jadwal
penelitian.
2. Mempersiapkan penelitian dan mengajukan permohonan izin etik
penelitian ke Komisi Etik FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Meminta izin kepada pihak Puskesmas untuk mengambil data sampel di
Puskesmas Ciputat.
4. Melakukan informed consent kepada subjek penelitian yang tergolong ke
dalam kriteria inklusi sampel.
5. Membantu responden untuk mengisi kuisioner.
6. Mengumpulkan data hasil kuisioner.
7. Mengolah dan menganalisis data menggunakan Microsoft Excel dan
SPSS.
8. Menarik kesimpulan penelitian.

3.5 Pengolahan dan Analisa Data


Data yang sudah didapatkan dari mengumpulkan data diagnosis diabetes
melitus tipe 2 dan ISK dari tenaga medis dan data uji glukosa darah puasa serta uji
kultur urin akan dimasukan dalam aplikasi Microsoft Excel. Tahapan pengolahan
data dilakukan sebagai berikut :
1. Entry data
Data dari mengumpulkan data diagnosis diabetes melitus tipe 2 dan
ISK dari tenaga medis dan data uji glukosa darah puasa serta uji kultur
urin dimasukkan ke dalam microsoft excel.
2. Cleaning data
Cleaning data adalah pengecekan ulang data yang telah di proses
untuk mencegah terjadinya kekeliruan data.
3. Coding data
Data yang sudah dilakukan pengecekan ulang agar tidak terjadi
kekeliruan data akan diberikan kode yang berupa angka yang sudah
disepakati

30
3.6 Rencana Jadwal Penelitian

Jadwal/ Bulan
No Kegiatan Penilitan September Oktober
15 16 27 30 10 16 25 30
1 Pencarian Data
2 Pembuatan Proposal
Pengajuan Proposal
3
Pada Pembimbing
Penyerahan Proposal
4
Pada Pembimbing
Melakukan
5
Pembimbingan
6 Seminar Proposal
7 Pengumpulan Data
8 Analisis Data
Penyusunan
9
Penelitian
10 Rancangan ujian

31
Dummy Table
Tabel Hubungan Diabetes Melitus dengan Kejadian ISK

Daftar Pustaka

1. Nitzan O, Elias M, Chazan B, Saliba W. Urinary tract infections in patients with type 2 diabetes
mellitus: review of prevalence, diagnosis, and management. Diabetes Metab Syndr Obes. 2015
Feb 26;8:129-36. doi: 10.2147/DMSO.S51792. PMID: 25759592; PMCID: PMC4346284.

2. Bono MJ, Leslie SW, Reygaert WC. Urinary Tract Infection. [Updated 2022 Nov 28]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470195/

3. Hardyati A. Infeksi Saluran Kemih Pada pasien diabetes mellitus  di RSUD budhi asih
Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 2019;10(2):199–204. doi:10.37012/jik.v10i2.55

4. Widiatmoko MT, Uwan WB, Mahyarudin M. Prevalensi infeksi Saluran Kemih Pada penderita
diabetes mellitus tipe 2  di RSUD sultan Syarif Mohammad Alkadrie pontianak. Jurnal
Cerebellum. 2019;5(4B):1559. doi:10.26418/jc.v5i4b.44822

5. Sapra A, Bhandari P. Diabetes. [Updated 2023 Jun 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551501/

6. Goyal R, Singhal M, Jialal I. Type 2 Diabetes. [Updated 2023 Jun 23]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513253/

7. Ni Made Susilawati, Marni Tangkelangi, Dorotia Masi Daen. Prevalensi infeksi Saluran Kemih
32
Pada penderita diabetes melitus di RSUD prof. dr. W. z Johannes kupang tahun 2021. Jurnal
Kesehatan dan Kedokteran. 2022;1(3):19–23. doi:10.56127/jukeke.v1i3.290

8. Irawan erna. Faktor-Faktor penyebab infeksi Saluran Kemih (ISK) (literature review). 2018;
doi:10.31227/osf.io/yt8nz

9. Sholihah AH. Analisis Faktor Resiko Infeksi Saluran Kemih (ISK) oleh bakteri Urotpatogen di
Puskesmas Ciputat dan Pamulang Pada Agustus-Oktober 2017 . 2017;

10. Jameson J, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison's
Principles of Internal Medicine. 20th ed. McGraw Hill; 2018. Tersedia dari:
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=2129&sectionid=159213747

11. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology, 14th Edition. Wiley;
2013.

12. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016:182-3

13. G. Bonkat (Chair), R. Bartoletti, F. Bruyère, W. Devlies, J. Horváth, G. Mantica, T. Mezei, B.


Pradere, Guidelines Office: E.J. Smith TC SE Geerlings, B Köves, S Schubert, A Pilatz, R
Veeratterapillay, F Wagenlehner. EAU Guidelines on Urological Infections. 2022;

14. ElSayed NA, Aleppo G, Aroda VR, Bannuru RR, Brown FM, Bruemmer D, et al. Introduction
and methodology: <I>standards of care in diabetes—2023</i>. Diabetes Care.
2022;46(Supplement_1). doi:10.2337/dc23-sint

15. Fara S. Hubungan Faktor perilaku pengendalian diabetes melitus tipe 2 dengan kadar Gula
Darah lansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Patihan [Internet]. STIKES Bhakti Husada
Mulia Madiun; 1970. Available from: http://repository.stikes-bhm.ac.id/324/

16. Imkasari PY PENGARUH IMUNITAS TERHADAP PENDERITA DIABETES MELITU;


2021 Available from: https://ners.unair.ac.id/site/lihat/read/1026/pengaruh-imunitas-terhadap-
penderita-diabetes-melitus

17. Noor Fatimah R. Diabetes melitus TIPE 2 - universitas lampung. 2015. Available from:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/615/619

18. Ririn Dwi Saputri. Komplikasi Sistemik Pada Pasien diabetes melitus tipe 2. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada. 2020;11(1):230–6. doi:10.35816/jiskh.v11i1.254

33
Lampiran 1 Lembar Informed Consent

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fathan Akbar Al Bahri


NIM : 11221330000030
Fakultas : Kedokteran
Institusi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dengan ini menyatakan bahwa saya telah memahami prosedur untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Kejadian ISK pada Usia Dewasa Di Wilaya
Ciputat pada Tahun 2023”. Penelitian ini dilakukan dengan wawancarai tenaga medis dan
pemeriksaan sampel urin pada pasien untuk menegakkan diagnosis Infeksi Saluran Kemih (ISK).
Segala informasi yang saudara berikan akan digunakan sepenuhnya hanya dalam penelitian ini.
Peneliti sepenuhnya akan menjaga kerahasiaan identitas saudara dan tidak dipublikasikan dalam
bentuk apapun. Jika terdapat informasi yang kurang jelas, saudara boleh bertanya kepada peneliti.
Jika saudara telah memahami penjelasan ini dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini,
saudara dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan yang akan dilampirkan.

Peneliti

Fathan Akbar Al Bahri

34
Lembar Persetujuan Responden (Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Menyatakan bersedia menjadi responden pada penelitian yang dilakukan oleh:
Nama : Fathan Akbar Al Bahri
NIM : 11221330000030
Fakultas : Kedokteran
Institusi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya bersedia untuk mengisi dan memberikan informasi dalam wawancara dan melakukan
pemeriksaan sampel urin demi kepentingan penelitian dengan ketentuan informasi dan hasil
pemeriksaan akan dirahasiakan dan semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian.
Demikian surat pernyataan ini saya sampaikan agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.

Ciputat, ....... 2023

(Nama Responden)

35

Anda mungkin juga menyukai