Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KELOMPOK 8

PEMILIHAN KEPALA DAERAH


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Pemerintahan Daerah
Dosen Pengampu : Nur Habibi M.H.

Disusun Oleh :
AHMAD KHOIRY LUKMANUL HAKIM (11200453000009)
ADISTY FARIDA PUTRI (11200453000014)
ZULFIKAR PUTRA UTAMA (11200453000038)
ELFA ALMAGFIROH (11200453000041)
DONAN ABBAD ABDULLAH (11200480000046)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
ilmu – ilmu-Nya mengenai Al- Qur`an Yang Mulia untuk membantu dalam menafsirkan
tanda – tanda-Nya agar kita senantiasa bertambah keimanan serta kecintaan kepada-Nya.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi SAW, yang telah membantu dalam
menafsirkan ayat – ayat Al- Quran melalui Asbabun – Nuzul yang telah disusun oleh para
ulama sejak Nabi SAW wafat.

Kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata
kuliah Hukum Pemerintahan Daerah, Bapak Nur Habibi M.H. yang telah memberikan
tugas pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai tugas. Semoga ilmu yang telah Bapak
berikan bisa bermanfaat bagi kehidupan kami dikemudian hari dan juga bisa berguna bagi
orang – orang sekitar.

Ciputat,

Penulis

(Kelompok 8)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................2
C. Tujuan ....................................................................................................................3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemilihan Kepala Daerah Sebelum Reformasi .....................................................4


B. Pemilihan Kepala Daerah Pasca Reformasi ..........................................................8
C. Kepala Daerah dalam Konteks Unitary State ......................................................12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan ..........................................................................................................14
B. Saran ....................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hukum yang


demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.1 Dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial.

Kepala Daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin
Birokrasi dan menggerakkan jalannya roda Pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan
yang terbagi menjadi Perlindungan, Pelayanan publik dan Pembangunan (protective,
public services, dan development). Kepala Daerah menjalankan fungsi pengambilan
kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala
Daerah adalah Kepala eksekutif di daerah.2 Kepala Daerah merupakan unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan.3

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi fenomena yang cukup hangat menjadi
bahan pembicaraan ditengah masyarakat. Pilkada adalah sebuah bentuk kebijakan yang
diambil oleh pemerintah dan menjadi momentum politik besar untuk menuju
demokratisasi. Momentum ini ialah salah satu tujuan reformasi, untuk mewujudkan
Indonesia lebih demokratis yang hanya bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat.

Pada tataran implementasinya, penyelengaraan pemilihan umum khususnya


pemilihan Kepala Daerah yang diatur oleh undang-undang dalam sistem ketatanegaraan

1
Padmo Wahjono, Negara Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
hlm 7-32
2
Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung: Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia,
(Semarang: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 203
3
Republik Indonesia, Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,
dalam Pasal 1 angka 3.

1
Indonesia selalu berubah.4 Undang-Undang tentang pemerintahan daerah yang mengatur
pemilihan kepala daerah, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama
kali Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 dikenal dengan Komite Nasional Daerah, sampai
dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah No. 22 tahun 1999, dan berikutnya
Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004, yang diperbaharuhi
dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah No. 12 Tahun 2008.

Pelaksaaan pilkada di Indonesia pertama kali dilaksanakan sejak masa


pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang
menggunakan pola penunjukkan, pilkada melalui DPRD, dan pilkada secara langsung.5
Penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 2004 merupakan pemilihan umum yang
pertama merupakan pemilihan umum yang pertama, dan secara langsung telah
mengilhami dilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pilkada) dengan secara langsung. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)6. namun sejak berlakunya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni
2005.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pemilihan Kepala Daerah Sebelum Reformasi?
2. Bagaimana Pemilihan Kepala Daerah Pasca Reformasi?
3. Apa yang di maksud Kepala Dearah Dalam Konteks Unitary State?

4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta Dian Rakyat 1989
Hlm 2
5
Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung: Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia,
(Semarang: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 37
6
Republik Indonesia, Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
menyatakan pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat
Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD. Dalam
Pasal 39 ayat (1)

2
C. TUJUAN

Penulisan makalah ini bertujuan supaya para pembaca khususnya para mahasiswa
dapat lebih memahami mengenai Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia baik sebelum
maupun pasca Reformasi, sekaligus memahami konsep kepala daerah dalam konteks
Unitary State.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMILIHAN KEPALA DAERAH SEBELUM REFORMASI

Setiap daerah pasti memiliki seseorang untuk memipin kehidupan bermasyarakat.


Dalam buku Kartini Kartono, disana ia menjelaskan betapa pentingnya ketertiban.
Menurutnya, dalam kehidupan masyrakat yang sangat kompleks manusia harus hidup
bersama serta selalu bekerjasama dalam suasana yang tertib dan terbimbing oleh seorang
pemimpin, dan tidak individualis dalam menjalani kehidupan.7 Artinya, dalam kehidupan
sangat dibutuhkan adanya seorang pemimpin. Di Indonesia telah melewati berbagai fase
dalam menentukan pemimpin daerah atau yang biasa disebut Pilkada (pemilihan kepala
daerah). Dalam pembahasan ini penulis akan membahas pemilihan kepada daerah
sebelum reformasi serta penafsiran Undang-Undang terhadap pemilihan kepala daerah.

1. Penafsiran Melalui Konstitusi Terhadap Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Konstitusi secara tegas tidak mengharuskan kepala daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat atau mengharuskan dipilih melalui DPRD, melainkan hanya dipilih secara
demokratis. Rumusan "dipilih secara demokratis" lahir dari perdebatan panjang di Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tahun 2000, yaitu antara pendapat yang menghendaki
kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara
langsung oleh rakyat. Namun makna "demokratis" dapat berkonotasi dua yaitu pertama,
bisa dipilih secara langsung oleh rakyat dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat.

Pada saat pembahasan di Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan
perubahan UUD 1945 pada Tahun 2000, Partai Persatuan Pembangunan telah
mengusulkan Pilkada secara langsung, namun hal tersebut tidaklah menjadi keputusan
MPR dalam perubahan kedua UUD 1945, yang terbukti bahwa rumusan yang dipilih
adalah "dipilih secara demokratis", yang maksudnya adalah memberi kewenangan kepada
pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan cara yang tepat dalam Pilkada,
Pemilihan secara langsung telah ditetapkan untuk memilih Presiden sebagaimana

7
Kartono, K. (2011). Pemimpin dan kepemimpinan, Jakarta: PT. Rajawaligrafindo Persada.

4
dirumuskan dalam Pasal 6A UUD 1945, hal ini tidak dapat diartikan bahwa Pilkada
secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa "dipilih secara
demokratis" yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Sekiranya hal tersebut
menjadi maksud (intent) yang terkandung dalam perubahan pasal UUD 1945 yang
bersangkutan, tidaklah terdapat hambatan apapun untuk mengubah Pasal 18 ayat (4)
menjadi berbunyi "dipilih secara langsung" pada saat dilakukan perubahan ke-3 UUD
1945 pada tahun 2001, dan tiada satu bukti pun yang membuktikan bahwa pengubah
UUD 1945 telah alpa tidak melakukan perubahan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada
perubahan ke-3 tahun 2001.8 Oleh karena itu, rumusan "dipilih secara demokratis" dalam
Pasal 18 ayat (4) dibedakan dari rumusan lain yang berlaku untuk pemilihan Presiden,
yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat.

Jika mencermati rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka sebenarnya konstitusi
memberikan ruang terbuka kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur
bagaimana sistem pemilihan kepala daerah, yang pasti harus dilakukan secara demokratis
yaitu dapat dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat ataupun pemilihan melalui
DPRD. Namun demikian, secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh rakyat itu lebih demokratis. Karena Pemilu yang demokratis tidak semata
mata menentukan siapa yang akan duduk dilembaga pemerintahan, melainkan pemilihan
umum yang dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat. Perlu juga kita memahami
bagaimana bangsa Indonesia melewati fase pada pemilihan kepala daerah.

2. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah berlaku ketentuan Decentralisatie


1903 dan koninklijk Desluit9. Pemerintah Belanda membagi kedalam dua sistem
pemerintahan yaitu daerah administratif dalam rangka dekonsentrasi yang dikenal dengan
sebutan gewesten, afdelingan dan onderafdelingan yangb dipimpin oleh Gubernur,
Residen, Asisten Residen, Wedana, Asisten Wedana yang dipilih secara penunjukan oleh
Gubernur Jendral dengan kewajiban pribumi yang mendudukin jabatan memberikan
umpeti. Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh pemerintahan Jepang. Pada

8
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-11/2004 tentang Pengujian UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Terhadap UUD 1945.
9
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi dan problema penerapan di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005., hlm. 38.

5
Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang
mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 (tiga) osamu
sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27 tentang perubahan sistem pemerintahan
(tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-
8-2602) dan Undang-Undang Nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah
(tertanggal 1-9-2602). Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang
disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah karedisidenan terdapat dua
pembagian daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di
tingkat kawedana, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Ko sedangkan
kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana pengangkatannya
ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.

3. Setelah Kemerdekaan

Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam


sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan
mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 18
Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang- Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah10. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pemilihan kepala
daerah dilakukan oleh pemerintah pusat11. Sementara menurut Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri
di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Kepala
Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD12.

10
Suharizal, Pilkada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang , hlm.15
11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang peraturan mengenai kedudukan Komite Nasional
Daerah.
12
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang penetapan aturan-aturan pokok
mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri

6
DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah
pusat. Namun sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu mengikuti ketentuan
sebagai berikut13:

(1)Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;


(2)Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(3)Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan
otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan14

B. PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA REFORMASI

Hakekat pemilihan umum adalah suatu proses dimana rakyat mentransfer


kedaulatan kepada wakil-wakilnya. Ada dua aspek dalam pemilihan umum, yang pertama
adalah penggunaan kedaulatan rakyat secara langsung dan yang kedua adalah memilih
wakilnya sekaligus menstransferkan pelaksanaan kedaulatan itu mewakili perwakilan.15

Perkembangan politik di Indonesia pasca reformasi telah mengalami perubahan


yang cukup signifikan yaitu semangat rakyat untuk menghapuskan praktik-praktik politik
yang manipulative, tidak adil, dan penuh rekayasa dan menciptakan suasana politik yang
transparan, jujur dan adil. Hal tersebut direspon oleh pemerintah pada tahun 1999 dengan
melakukan penataan format pemilu yang lebih adil dan demokratis dengan dibentuknya
sebuah badan yang secara khusus bertugas menyelenggarakan pemilu yang bernama
Komisi Pemilihan Umum (KPU).16

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian


diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

13
Suharizal, “Pilkada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang”.,(Jakarta: Rajawali Pers,2012)
hlm.16
14
Dr. Wiredarme.S.Pd. MH., KONFIGURASI POLITIK PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DALAM DINAMIKA SISTEM DEMOKRASI DI Indonesia, (Mataram: Pustaka Bangsa,2019) Hal
69-70
15
Dr. harjono, S.H., M.C.C “Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa” Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, 2008, Hal. 107
16
https://www.indrasatrianis.com/2019/10/30/sistem-pemilu-dan-pemilukada-pasca-reformasi/
diakses pada Minggu, 24 September 2023 pukul 12.37

7
berserta perubahannya telah mengadaptasi Amandemen ke-4 (1999-2002) UUD 1945
khususnya Pasal 18 ayat 4 :

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah


provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”

Pada tahun inilah Pilkada untuk pertamakalinya diselenggarakan secara


demokratis oleh rakyat. Pemilu yang terjadi pada tahun ini sangat berbeda dengan masa
orde baru dimana kepala daerah dipilih oleh perwakilan dari partai, pemilu tahun ini
rakyat dapat memilih langsung siapa yang menjadi pemimpinnya. Peran aktif masyarakat
dalam pilkada ini sangat dibutuhkan karena melihat bahwa pemilu secara langsung tahun
2004 baik dari pusat hingga daerah pertama kali terjadi. Kesadaran masyarakat akan
berdemokrasi juga dapat dikatakan tinggi terlihat dari sedikitnya masyarakat yang tidak
menggunakan hak suaranya sehingga pelaksanaan pemilu tahun ini dapat dikatakan
sukses walaupun masih banyak ditemukan berbagai persoalan seperti masalah
administrasi bakal calon yang ditemukan praktik money politic.17

Presiden saat itu,Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan UU No. 12


Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, dalam UU ini mengatakan bahwa setiap orang yang mencalonkan
diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu.18 Seseorang boleh
mencalonkan diri berdasarkan Pasal 59 (1) huruf b :

a. Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
b. Pasangan calon perseorangan yang memiliki dukungan sejumlah orang.

Akan tetapi di tahun 2014 tepatnya pada tanggal 30 September, Presiden SBY
mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Hal tersebut mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat
dan proses pengambilan keputusannya pu ntelah menimbulkan persoalan. Atas penolakan
tersebut dengan mempertimbangkan syarat kegentingan yang memaksa sesuai Putusan

17
Muhammad Afied Hambali, Pemilukada Pasca Reformasi di Indonesia, Journal : RECHSTAAT
Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNSA, Vol. 8 no. 1 (Maret 2014)
18
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6303020/sejarah-pemilihan-kepala-daerah-di-indonesia-
dari-masa-penjajahan-sampai-reformasi diakses pada Minggu 24 September 2023 pukul 12.37

8
Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Presiden SBY pada tanggal 2 Oktober
2014 menetapkan Perppu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.19 Perppu tersebut sekaligus mencabut UU No. 22 Tahun 2014.

Dalam Perppu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, Presiden SBY secara rinci menyampaikan 10 perbaikan Pilkada yaitu:

1. Ada uji public calon daerah untuk mencegah calon dengan integritas dan kemampuan
rendah.
2. Penghematan dan pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan.
3. Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya lebih hemat, dan
mencegah benturan antar massa.
4. Akuntabilitas penggunaan danya kampanye termasuk dana sosial untuk mencegah
korupsi.
5. Melarang politik uang, termasuk serangan fajar.
6. Melarang fitnah dan kampanye hitam karena dapat menyesatkan public dan
merugikan calon yang difitnah, dapat diberikan sanksi hukum.
7. Melarang perlibatan apparat birokrasi, karena dapat merusak netralitas mereka.
8. Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena ada kemungkinan pasca
Pilkda calon yang terpilih merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi tersebut.
9. Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel dan tidak berlarut-larut agar
tidak terjadi korupsi atau penyuapan.
10. Mencegah kekerasan dan menuntut tanggungjawab calon atas kepatuhan
pendukungnya20

Sebagai konsekuensi dari penetapan Perppu tersebut, untuk menghilangkan


ketidakpastian hukum di masyarakat, Presiden SBY menerbitkan Perppu RI No. 2 Tahun

19
https://poso.bawaslu.go.id/sejarah-pengaturan-pemilihan-gubernur-bupati-dan-walikota-di-
indonesia-oleh-christian-adiputra-oruwos-h-m-
h/#:~:text=Pada%20tanggal%2030%20September%202014,melalui%20Dewan%20Perwakilan%20Raky
at%20Daerah. diakses pada Minggu 24 September 2023 pukul 12.54
20
https://setkab.go.id/tolak-pilkada-lewat-dprd-presiden-sby-terbitkan-2-perppu/ diakses pada
Minggu, 24 September 2023 pukul 12. 57

9
2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD
untuk memilih kepala daerah.21

Memperhatikan perkembangan dalam system pemilihan, Presiden terbaru saat itu,


Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-
Undang. Kemudian UU tersebut mengalami penyempurnaan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentnag Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang. UU inilah yang mengatur tentang Pilkada saat ini.22

Kemudian syarat-syarat atau batas yang harus dimiliki seorang calon itulah yang
menjadi landasan dapat tidaknya seseorang memimpin untuk menjalankan amanat orang
banyak. Syarat itu diatur dalam Peraturan perundang-undangan sebagai legitimasi untuk
terwujudnya kepemimpinan. Dalam perjalanan legitimasinya, Undang-undang yang
mengatur syarat pemilihan calon kepala daerah sudah banyak, namun terus mengalami
pergantian Undang-Undang dan perubahan terhadap Undang-Undang sebelumnya,
Sehingga syarat-syarat peraturan pemilihan dibahas berdasarkan Undang-Undang
kontemporer yang menjadi tumpuan legitimasi pemilihan kepala daerah. Hal ini menjadi
syarat calon kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Pasal 7 ayat (2).

C. KEPALA DAERAH DALAM KONTEKS UNITARY STATE

Ketentuan UUD 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1), dinyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan atau Unitary State yang berbentuk
republik.23 Negara Kesatuan merupakan sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh

21
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang
23
Jímly Asshiddiqie, "Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
1945", (Makalah disampaikan dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Departemen
Kehakiman dan HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hlm. 12

10
wilayah negara, tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum.24
Prinsip Negara Kesatuan ialah pemegang kekuasaan tertinggi atas seluruh urusan Negara
adalah pemerintah pusat tanpa ada suatu delegasi atau pelimpahan kewenangan kepada
pemerintahan daerah atau urusan pemerintahan tidak dibagi-bagi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, sehingga urusan-urusan Negara dalam Negara Kesatuan tetap
merupakan suatu kebulatan dan pemegang kekuasaan tertinggi di Negara adalah
pemerintah pusat25

Istilah negara kesatuan (unitary state, eenheidstaat) sebenarnya telah di cantumkan


dalam penjelasan umum UUD 1945, yaitu sebagai berikut: "Dalam pembukaan ini
diterima aliran pengertian negara persatuan... Istilah negara persatuan ini tidak
menunjukkan bentuk negara, melainkan dita-cita hukum dan cita-cita moral. Artinya ialah
negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Bentuk negara yang
paling cocok untuk mewujudkan cita-cita hukum dan cita- cita moral negara persatuan itu
ialah negara kesatuan. Dalam negara kesatuan tidak ada negara dalam negara, negara
dibagi dalam daerah-daerah, tidak terdiri dari negara- negara bagian"26.

Negara Unitaris terdiri dari 2 (dua) sistem, yaitu Negara Unitaris yang menerapkan
sistem Sentralisasi dan Negara Unitaris yang menerapkan sistem Desentralisasi. Di
Negara Unitaris yang menerapkan sistem sentralisasi, pemerintah pusat adalah sebagai
penyelenggara seluruh kegiatan pemerintahan dalam negara, sedangkan keberadaan
pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah pusat. Sedangkan untuk di Negara Unitaris yang menerapkan sistem
desentralisasi, kepada setiap daerah diberi hak otonomi, yaitu hak / wewenang bagi
pemerintah daerah untuk bisa mengatur dan mengurus daerahnya sendiri menurut
prakarsa/inisiatif sendiri. Sekalipun demikian pemerintah daerah tetap harus tunduk dan
patuh pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.27

24
Hendarmin Ranadireksa, (2007), Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm.
59.
25
Andryan, Harmonisasi Pemerintah Pusat Dengan Daerah Sebagai Efektifitas Sistem
Pemerintahan, Jurnal LEGISLASI Indonesia, Vol 16 No. 4 (Desember, 2019) Hal 422
26
Tedjo Sumarto, Bentuk Negara dan Implementasinya Menurut UUD 1945, dalam Ni'matul Huda,
Hukum Pemerintahan Daerah (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2010), hlm. 42.
27
Cecep Cahya Supena , Diwan Pramulya, Tinjauan Yuridis Tentang Persamaan Dan Perbedaan
Sistem Pemerintahan Daerah Otonom Dengan Sistem Pemerintahan Negara Bagian, Jurnal MODERAT,
Volume 8, Nomor 4 (November, 2022)

11
Prinsip pembagian kekuasaan/ kewenangan atau urusan pada Negara Kesatuan
adalah sebagai berikut: Pertama, kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya adalah milik
pemerintah pusat, daerah diberi kewenangan atau hak mengelola dan menyelenggarakan
sebagian kewenangan pemerintah yang dilimpahkan atau diserahkan. Jadi proses
penyerahan atau pelimpahan kewenangan. Kedua, Pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tetap mempunyai garis komando dan hubungan hierarkis. Hubungan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah
daerah dalam berbagai hal. Ketiga, kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau
diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, di mana daerah tidak mampu
menjalankan tugas dengan baik, maka kewenangan atau urusan yang dilimpahkan atau
diserahkan tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemilik
kekuasaan atau kewenangan tersebut.

Salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah adalah dianutnya
prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-
daerah. Salah satunya, kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.28

Pembagian urusan pemerintahan merupakan tindaklanjut dari desentralisasi, hal ini


dilakukan dengan penyerahan tugas atau urusan kepada pemerintah tingkat bawah
(overdracht van taken of bevoegdheid) yang lazimnya landasannya terdapat pada undang-
undang dasar dan penyerahannya dilakukan dengan undang-undang.29 Bagir Manan
menyatakan bahwa semua urusan rumah tangga daerah berasal dari penyerahan
(overdragen) urusan atau sebagian urusan pemerintahan dari pusat atau dari suatu daerah
tingkat lebih atas. Dengan kata lain, suatu daerah hanya dapat mengatur dan mengurus
urusan rumah tangga daerah kalau urusan itu diserahkan kepada daerah yang
bersangkutan.

28
Eko Parsojo, 2006, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di
Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap
FISIP UI, Depok, hlm. 25.
29
H.M. Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI,
(Jakarta : Jakarta Prestasi Pustaka, 2005), hal. 70

12
Dalam rangka implementasi dari negara kesatuan yang telah dipilih oleh Indonesia,
kemudian keberadaan daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
"Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi bagi atas daerah-daerah provinsi dan
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang." Selain itu,
UUD 1945 juga mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut
jelas mengatur otonomi terletak pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Merujuk pada
pendapatnya AF Leemans30, model yang diterapkan pada Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk provinsi menggunakan "fused
model" yang menempatkan Gubernur sebagai Kepala daerah dan juga sebagai Wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Sementara untuk Kabupaten/Kota, munggunakan "split
model" yang menempatkan Bupati/Wali Kota hanya berkedudukan sebagai Kepala
Daerah. Sementara dalam hal pengisian jabatan kepala daerah Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 menentukan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis".

30
Naskah Akademik Tentang Rancangan Undang-undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU
Pilkada).

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah berlaku ketentuan Decentralisatie


1903 dan koninklijk Desluit. Pemerintah Belanda membagi kedalam dua sistem
pemerintahan yaitu daerah administratif dalam rangka dekonsentrasi yang dikenal dengan
sebutan gewesten, afdelingan dan onderafdelingan yangb dipimpin oleh Gubernur,
Residen, Asisten Residen, Wedana, Asisten Wedana yang dipilih secara penunjukan oleh
Gubernur Jendral dengan kewajiban pribumi yang mendudukin jabatan memberikan
umpeti. Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu
dan residennya disebut syuutyoo. Setelah karedisidenan terdapat dua pembagian daerah
yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo.

Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam


sejumlah undang-undang sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu
mengikuti ketentuan sebagai berikut:

(1)Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;


(2)Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(3)Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan
otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan
Perkembangan politik di Indonesia pasca reformasi telah mengalami perubahan
yang cukup signifikan yaitu semangat rakyat untuk menghapuskan praktik-praktik politik
yang manipulative, tidak adil, dan penuh rekayasa dan menciptakan suasana politik yang
transparan, jujur dan adil. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah berserta perubahannya telah mengadaptasi Amandemen ke-4 (1999-2002) UUD
1945 khususnya Pasal 18 ayat 4 yaitu “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis” Pada tahun inilah Pilkada untuk pertamakalinya diselenggarakan secara
demokratis oleh rakyat. Dalam perjalanan legitimasinya, Undang-undang yang mengatur
syarat pemilihan calon kepala daerah sudah banyak, namun terus mengalami pergantian

14
Undang-Undang dan perubahan terhadap Undang-Undang sebelumnya, Sehingga syarat-
syarat peraturan pemilihan dibahas berdasarkan Undang-Undang kontemporer yang
menjadi tumpuan legitimasi pemilihan kepala daerah. Hal ini menjadi syarat calon kepala
daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (2).

Ketentuan UUD 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1), dinyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan atau Unitary State yang berbentuk
republik. Negara Kesatuan merupakan sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh
wilayah negara, tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum.
Dalam rangka implementasi dari negara kesatuan yang telah dipilih oleh Indonesia,
kemudian keberadaan daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
"Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi bagi atas daerah-daerah provinsi dan
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang." Selain itu,
UUD 1945 juga mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut
jelas mengatur otonomi terletak pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

B. SARAN

Tentu dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu bagi
para pembaca makalah ini diharapkan dapat lebih lanjut memahami terkait Pemilihan
Kepala Daerah di Indonesia.

15
DAFTAR PUSTAKA

SUMBER HUKUM
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 1
angka 3.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan
dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga
dari jumlah anggota DPRD. Dalam Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang peraturan mengenai kedudukan Komite
Nasional Daerah.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang penetapan aturan-aturan pokok
mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-11/2004 tentang Pengujian UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Terhadap UUD 1945.
Naskah Akademik Tentang Rancangan Undang-undang Tentang Pemilihan Kepala
Daerah (RUU Pilkada).
BUKU
Dr. Wiredarme.S.Pd. MH., KONFIGURASI POLITIK PENGATURAN PEMILIHAN
KEPALA DAERAH DALAM DINAMIKA SISTEM DEMOKRASI DI Indonesia,
(Mataram: Pustaka Bangsa,2019)
Dr. harjono, S.H., M.C.C “Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa” Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, 2008
H.M. Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan RI, (Jakarta : Jakarta Prestasi Pustaka, 2005)
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia
(2007)
Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung: Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di
Indonesia, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2005)
Kartono, K., Pemimpin dan kepemimpinan, Jakarta: PT. Rajawaligrafindo Persada.
(2011)
Padmo Wahjono, Negara Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982
Suharizal, “Pilkada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang”.,(Jakarta: Rajawali
Pers,2012)
Tedjo Sumarto, Bentuk Negara dan Implementasinya Menurut UUD 1945, dalam
Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Bandung: Penerbit Nusamedia,
2010)
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia,(Jakarta: Dian
Rakyat 1989)
JURNAL
Andryan, Harmonisasi Pemerintah Pusat Dengan Daerah Sebagai Efektifitas Sistem
Pemerintahan, Jurnal LEGISLASI Indonesia, Vol 16 No. 4 (Desember, 2019) Hal
422
Cecep Cahya Supena , Diwan Pramulya, Tinjauan Yuridis Tentang Persamaan Dan
Perbedaan Sistem Pemerintahan Daerah Otonom Dengan Sistem Pemerintahan
Negara Bagian, Jurnal MODERAT, Volume 8, Nomor 4 (November, 2022)
Jímly Asshiddiqie, "Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD 1945", (Makalah disampaikan dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003)
Muhammad Afied Hambali, Pemilukada Pasca Reformasi di Indonesia, Journal :
RECHSTAAT Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNSA, Vol. 8 no. 1 (Maret 2014)

PIDATO PENGUKUHAN
Eko Parsojo, 2006, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato
Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap FISIP UI, Depok.

1
ARTIKEL
https://www.indrasatrianis.com/2019/10/30/sistem-pemilu-dan-pemilukada-pasca-
reformasi/ diakses pada Minggu, 24 September 2023 pukul 12.37
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6303020/sejarah-pemilihan-kepala-daerah-di-
indonesia-dari-masa-penjajahan-sampai-reformasi diakses pada Minggu 24
September 2023 pukul 12.37
https://poso.bawaslu.go.id/sejarah-pengaturan-pemilihan-gubernur-bupati-dan-walikota-
di-indonesia-oleh-christian-adiputra-oruwos-h-m-
h/#:~:text=Pada%20tanggal%2030%20September%202014,melalui%20Dewan%
20Perwakilan%20Rakyat%20Daerah. diakses pada Minggu 24 September 2023
pukul 12.54
https://setkab.go.id/tolak-pilkada-lewat-dprd-presiden-sby-terbitkan-2-perppu/ diakses
pada Minggu, 24 September 2023 pukul 12. 57

Anda mungkin juga menyukai