Anda di halaman 1dari 47

PEMANFAATAN LIMBAH IKAN CAKALANG DALAM MENINGKATKAN

KEMANDIRIAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DI DESA PAMBUSUANG

Utilization of Skipjack Tuna Waste for Increasing the Economic Independence of Fisherman
Communities in Pambusuang Village
Indrastuti1), Magfirah2), Sri Sukmawati3), Andi Marlisa Bossa Samang4) 1,4 Program Studi Teknologi Hasil
Pertanian, Universitas Sulawesi Barat 2Program Studi Manajemen, Universitas Sulawesi Barat
3
Program Studi Agroeoteknologi, Universitas Sulawesi Barat Email: indrastuti@unsulbar.ac.id1),
sri.sukmawati@unsulbar.ac.id3) andimarlisa.bossasamang@unsulbar.ac.id4)

ABSTRAK

Strategi diversifikasi merupakan salah satu strategi yang paling banyak dilakukan dalam mengembangkan
potensi suatu komoditas unggulan. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis L) sebagai komoditas unggulan
sektor perikanan di Polewali Mandar memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan karena mengandung
sumber gizi yang sangat dibutuhkan seperti protein, lemak. Kegiatan pengabdian masyarakat ini bertujuan
untuk menginisiasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang strategi mengoptimalkan potensi
komoditas lokal dalam menopang pertumbuhan ekonomi masyarakat, manfaat dan potensi hasil perikanan
baik dari tinjauan ekonominya maupun kesehatan. Metode pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui
penyuluhan dan pelatihan tentang pemanfaatan hasil perikanan khususnya limbah ikan cakalang.
Pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali
Mandar. Kegiatan pengabdian yang dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat memperoleh informasi,
pengetahuan, dan motivasi tentang pemanfaatan dan pengolahan limbah seperti tulang, kepala dan kulit
ikan cakalang sebagai komoditas unggulan dengan beragam produk olahan yaitu kerupuk, kaldu, dan
tepung tulang ikan sehingga bermanfaat baik dari segi kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.

Kata kunci: Katsuwonus pelamis, perikanan, pengabdian, kemandirian

ABSTRACT

The diversification strategy is one of the most widely used strategies in developing the
potential of a leading commodity. One of the leading commodities in the fisheries sector in
Polewali Mandar is skipjack tuna (Katsuwonus pelamis L) which contains protein, and fat, which
are needed as a source of nutrition and have promised economic potential. This community
service activity aims to increase understanding of how local commodities can optimally support
the economic life of the community, and the benefits and potential of fishery products both
from the economy and health. The method of implementing the activities is carried out through
counseling and training on the utilization of fishery products, especially skipjack tuna. This
community service activity was carried out in Pambusuang Village, Balanipa District, Polewali
Mandar Regency. From these community service activities, the community obtains information,
knowledge, and motivation about the utilization and processing of skipjack tuna waste as a
superior commodity that can be
processed into various products, so that it is beneficial in terms of health, economy, and the
environment.

Keywords: Katsuwonus pelamis. fisheries, dedication, autonomy


PENDAHULUAN
Potensi sektor perikanan di Sulawesi Barat cukup besar, Sebagai kabupaten dengan garis
pantai yang cukup panjang ± 89,07 km2 dan dengan luas perairan 86.921 km2, Kabupaten
Polewali Mandar yang merupakan kawasan maritim di Tahun 2014 produksi 38 sektor
perikanannya mencapai 24.988,25 ton (BPS, 2015), potensi ini terus meningkat dari tahun ke
tahun, sehingga dibutuhkan berbagai upaya dan strategi pemanfaatan hasil perikanan sehingga
keuntungan ekonomi sektor perikanan dapat optimal, ada beberapa jenis ikan yang menjadi
komoditas unggulan yang dapat dikembangkan dalam menambah nilai ekonomi hasil perikanan.
Berdasarkan hasil penelitian Ridwan (2019), menunjukkan bahwa komoditas perikanan tangkap
Kabupaten Polewali Mandar unggulan utama adalah ikan teri, ikan madidihang, ikan cakalang
dan ikan biji nangka.
Ikan cakalang sebagai komoditas unggulan Polewali Mandar di sektor perikanan perlu
mengimplementasikan strategi diversifikasi untuk menunjang dan mengoptimalkan potensi dari
komoditas. Suatu komoditas lokal yang melimpah dan memiliki kekhasan dapat memberi
kontribusi optimal bagi pendapatan daerah dan masyarakat, menjaga keberlangsungan dan
kelestarian sumber daya dan meningkatkan aktivitas perdagangan sehingga memberi
kesejahteraan bagi masyarakat.
Ikan cakalang adalah nama dagang lokal, untuk perdagangan internasional dipakai
Skipjack, dan nama ilmiahnya
Katsuwonus pelamis L. berasal dari bahasa Jepang yang artinya ikan keras (Lumi, 2013).
Cakalang menjadi komoditas yang banyak ditangkap para nelayan di
Polewali Mandar salah satunya di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, dengan produksi ikan
cakalang tahun 2019 mencapai 46 ton. Menurut Tumonda et al (2017), salah satu sumberdaya hayati laut
di Indonesia adalah perikanan cakalang yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, baik untuk
konsumsi lokal maupun untuk ekspor. Masyarakat nelayan Pambusuang umumnya hanya menangkap
ikan kemudian menjualnya dalam kondisi segar, dan sebagian dari ikan yang kurang segar hanya diolah
menjadi ikan asin, di sisi lain terdapat bagian-bagian dari ikan bisa dimanfaatkan namun, dibuang dan
tidak diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi.
Dalam kehidupan sehari-hari, wanita memasak dan membersihkan ikan cakalang dengan
membuang bagian-bagian dari ikan seperti, bagian kepala, tulang, dan jeroan, padahal bagian-
bagian tersebut masih dapat diolah dan dimanfaatkan. Contohnya tulang ikan dapat diolah
menjadi tepung ikan dan sebagai bahan substitusi pangan sehingga kaya kalsium, kulit ikan
dapat diolah menjadi keripik yang renyah dan nikmat, kepala ikan dapat diolah menjadi kaldu
yang gurih dan nikmat yang melengkapi menu-menu harian keluarga. Bagian-bagian dari
limbah ikan juga kaya akan berbagai kandungan gizi, misalnya protein, lemak, vitamin, dan
mineral yang mendukung pemenuhan gizi keluarga.

METODE PELAKSANAAN
Kegiatan pengabdian dilaksanakan di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa,
Kabupaten Polewali Mandar. Pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui dua tahap yang dilakukan
secara berkesinambungan untuk mencapai target kegiatan, yaitu:

Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan dengan membahas potensi dan pentingnya optimalisasi pengelolaan
hasil perikanan, strategi diversifikasi produk unggulan lokal, dan pengetahuan terkait potensi
wirausaha di sektor perikanan. Penyuluhan merupakan salah satu tahapan yang penting untuk
memberi pengetahuan dan membuka wawasan masyarakat. menumbuhkan kesadaran tentang
potensi lokal, dan mengajak masyarakat untuk berperan dalam menumbuhkan iklim wirausaha
di daerahnya
Selanjutkan dijelaskan pula tentang nilai ekonomi dan gizi dari ikan cakalang, bagaimana
memanfaatkan dan cara pengolahan bagian-bagian dari ikan dan limbahnya. cara pengemasan
dan bagaimana memasarkan produk-produk lokal tersebut melalui media sosial dan media
informasi digital.

Pelatihan Pengolahan Produk Berbasis Limbah Ikan Cakalang


Pada kegiatan ini dilakukan pembuatan produk dari limbah ikan dengan, menjelaskan bahan
dan juga alat yang dibutuhkan, terdapat peralatan yang nantinya akan diberikan kepada
kelompok masyarakat terkait sehingga kegiatan ini tetap berlangsung meskipun pelatihan telah
selesai dilaksanakan. pembuatan produk meliputi pembuatan tepung tulang ikan, tepung ikan
cakalang merupakan hasil olahan dari produk sampingan ikan cakalang yang umumnya berasal
dari campuran kepala ikan, tulang ikan, ikan- ikan yang kurang ekonomis, dan sisa-sisa
pengolahan ikan, selain itu pembuatan keripik kulit ikan cakalang. keripik merupakan jenis
pangan yang digemari masyarakat dan memiliki potensi pemasaran yang luas, keripik kulit ikan
tentunya kaya akan gizi seperti protein dan lemak, yang bermanfaat bagi Kesehatan. Proses
pengolahan produk yang berasal dari limbah ikan cakalang sebagai bentuk dari pengurangan
limbah ikan yang biasanya dibuang tanpa diolah kembali, mengurangi pencemaran pada
penumpukan limbah yang dibuang serta tidak diolah dan menambah hasil pendapatan nelayan
dan masyarakat.

Monitoring dan Evaluasi Kegiatan


Kegiatan Monitoring dan evaluasi ini dilakukan baik sebelum, ketika dan sesudah
pelaksanaan setiap agenda pengabdian. Hal ini dilakukan untuk menjadi bahan perbaikan di
masa yang akan datang. kegiatan monitoring tersebut melibatkan masyarakat agar mereka dapat
memberikan masukan untuk perbaikan kegiatan berikutnya

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKMS) yang dilaksanakan oleh Tim
Pengabdian Universitas Sulawesi Barat, yaitu Pelatihan Pemanfaatan limbah ikan cakalang
dengan melakukan Seminar Desa, kegiatan tersebut meliputi pembuatan kaldu bubuk
dari limbah kepala ikan. dan menjelaskan proses pengolahan serta manfaat dan nilai
ekonominya. Pada praktiknya pelatihan pemanfaatan limbah ikan cakalang telah dilaksanakan
pada tanggal 1 Oktober 2022, namun untuk pengolahan seluruh limbah ikan cakalang belum
terlaksana karena adanya kondisi kendala teknis di lapangan.
Pelaksanaan pelatihan dan pengolahan produk limbah ikan cakalang yaitu pemanfaatan
limbah kepala ikan untuk pembuatan kaldu bubuk, terdiri dari bahan seperti kepala ikan,
daging, dan tulangnya. adapun alat yang digunakan yaitu alat kompor dan wajan untuk
menyangrai serta, grinder untuk menghaluskan kaldu bubuk Pada pelaksanaan di perlihatkan
gambar alat dan bahan yang digunakan serta tahapan proses pengolahan.

Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk memberikan informasi, pengetahuan, membuka
wawasan, dan menumbuhkan kesadaran tentang potensi pengelolaan hasil perikanan di
daerahnya (Dotulong, 2019). Pada kegiatan ini dijelaskan untuk pengembangan potensi hasil
perikanan perlunya dilakukan strategi diversifikasi serta, dimana salah satu komoditas unggulan
sektor perikanan di Kabupaten Polewali Mandar yaitu ikan cakalang.
Ikan cakalang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, yaitu protein 7,38 %, lemak 22,94 %,
Karbohidrat 0,22 % dan kalsium 0,29 % (Daeng, 2019). juga menjadi komoditas yang banyak
ditangkap para nelayan di Desa Pambusuang. Namun, sampai saat ini masyarakat hanya
menjual dalam kondisi segar, sebagian yang kurang segar diolah menjadi ikan asin, serta
limbah dari bagian-bagian ikan dibuang yang semestinya memiliki nilai ekonomi yang tinggi
apabila limbah tersebut diolah lebih lanjut. Misalnya limbah seperti tulang dan kepala ikan
dapat dijadikan tepung yang menjadi bahan substitusi produk dalam industri pangan yang
memiliki nilai jual yang tinggi (Pundoko et al, 2014). Dari kegiatan penyuluhan tersebut
masyarakat memperoleh informasi, pengetahuan, dan motivasi tentang pemanfaatan dan
pengolahan limbah ikan cakalang yang bermanfaat baik dari segi kesehatan, ekonomi, dan
lingkungan.

Gambar 1. Pelaksanaan penyuluhan

Pelatihan Pengolahan Limbah Ikan Cakalang


Pelaksanaan pelatihan pengolahan limbah ikan cakalang merupakan upaya tindak lanjut
berdasarkan hasil kegiatan penyuluhan tentang potensi pemanfaatan limbah ikan cakalang baik
dari segi kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Pelatihan pengolahan limbah ikan cakalang
terdiri atas pemaparan materi dan penjelasan tentang pemanfaatan limbah, peluang dan
potensinya, nilai gizi, pengolahan (termasuk bahan, alat, dan prosedur pembuatan kaldu),
pengemasan, dan manajemen usaha. Selain itu pemahaman tentang pentingnya manajemen
usaha kepada masyarakat juga dijelaskan agar mampu dalam hal menetapkan strategi
pemasaran, penggunaan teknologi, dan mencari investor pendanaan. Pemahaman tentang
mencari investor pendanaan sangat diperlukan disebabkan belum optimalnya peran Badan
Usaha Milik Desa (BUMDES) dalam pengelolaan potensi lokal di Desa.
Pentingnya pelaksanaan pelatihan pengolahan limbah cakalang merupakan salah satu
upaya untuk membangun kesadaran tentang pentingnya pemenuhan gizi, memanfaatkan potensi
dan peluang yang ada. Khususnya bagi kaum perempuan yang ada di Desa Pambusuang, karena
mereka memiliki peran penting dalam memenuhi asupan gizi, sebagai tokoh utama keluarga,
serta dengan keterampilannya yang mampu melakukan pengolahan makanan dapat
dimanfaatkan untuk membuka usaha pengolahan limbah ikan cakalang.
Target yang ingin dicapai pada tahap kegiatan ini adalah menumbuhkan kesadaran dan
motivasi masyarakat untuk melakukan kegiatan wirausaha melalui pengolahan limbah ikan
cakalang, khususnya limbah kepala ikan diolah menjadi kaldu. Pengolahan ikan cakalang dapat
dilihat pada Gambar 2.

(a) (b)
Gambar 2. Kegiatan pengolahan cakalang: (a) ikan cakalang yang telah dipotong-potong dan (b) olahan ikan yang telah dihaluskan

Gambar 3. Olahan ikan cakalang yang telah dikemas dan rancangan label kemasan olahan ikan cakalang yang bernilai

Upaya untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan melalui kegiatan alih teknologi
pengolahan pangan lokal yang bersifat partisipatif dan didukung oleh pendampingan ke arah
pengembangan usaha produk unggulan desa. pengetahuan mengenai pemanfaatan limbah
sebagai produk olahan perlu diperkenalkan sebagai bentuk penanganan pangan berkelanjutan,
hal ini menjadi potensi ekonomi yang menjanjikan bagi masyarakat untuk mengandalkan sektor
pangan lokal baik dari perikanan maupun hasil perkebunan sebagai sumber pendapatan mereka.
Pengembangan usaha produk unggulan desa yang meliputi perencanaan dan penganggaran
yaitu mengenai proyeksi tentang pendapatan dan belanja di masa yang akan datang yang
menitikberatkan pada pengembangan unit usaha desa yang belum memiliki konsep yang jelas,
manajemen pengelolaan, selain itu dalam pengembangan potensi pangan lokal dukungan alih
teknologi masih minim. Kondisi berikutnya adalah minimnya pengetahuan dan keterampilan
atas manajemen dan penyusunan laporan keuangan.
Atas permasalahan tersebut, penyampaian dan diskusi mengenai peran penting dan vitalnya
perencanaan sebagai unsur dan dasar panduan dalam menentukan aktivitas usaha ke depan
yang lebih banyak pada sektor pengembangan hasil perikanan karena dianggap lebih
menguntungkan. Perencanaan dan penganggaran BUMDES harus disusun secara sistematis,
meliputi seluruh kegiatan organisasi, dinyatakan dalam satuan keuangan (unit moneter), dan
berlaku untuk jangka waktu yang akan datang. Tahap penganggaran menjadi sangat penting
karena anggaran harus berorientasi pada kinerja organisasi sehingga perencanaan yang sudah
disusun dapat tercapai. Anggaran merupakan managerial plan for action untuk memfasilitasi
tercapainya tujuan organisasi. BUMDES dapat dicapai secara efektif dan efisien. Pada dasarnya
rencana usaha menggambarkan aktivitas usaha yang akan dijalankan pada periode mendatang.

KESIMPULAN DAN SARAN


Sosialisasi dan edukasi tentang produk unggulan desa potensi dan alih teknologi yang
dapat diadopsi oleh masyarakat, dan menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat dalam
pengolahan limbah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) baik dari aspek kesehatan maupun
ekonomi.
Masyarakat mendapatkan pemahaman atas potensi usaha yang tepat bagi komoditi lokal
yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Desa Pambusuang perlu pendampingan secara
langsung dan bersifat luring terkait penetapan komponen dan indikator perencanaan dan
penganggaran BUMDES dengan mengedepankan adanya diversifikasi bisnis atas unit usaha
sebagai dasar penetapan perencanaan dan penganggaran yang kompatibel dan sistematis
berbasis potensi lokal.
DOI: http://dx.doi.org/10.15578/psnp.11943

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGOLAHAN IKAN CAKALANG


(Katsuwonus pelamis) ASAP CAIR DI POKMAS X KOTA AMBON

Kresna E. Renjaan1*, Tatty Yuniarti2) , Ita Junita Puspa Dewi2)


1)
SUPM Waiheru Ambon
2)
Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta
Jl. Laksdya Wattimena KM. 16 Waiheru
E-mail: kresnarenjaan672@gmail.com

ABSTRAK
Berdasarkan data statistik Kota Ambon, ikan cakalang merupakan salah satu dari hasil
tangkapan yang bernilai ekonomis tertinggi. Di Kota Ambon ikan cakalang tidak hanya
dikonsumsi dalam bentuk segar tetapi juga diolah menjadi ikan asar atau ikan asap (smoked
fish) dengan daerah pemasaran di pulau Ambon dan di luar pulau Ambon. Internship
dilaksanakan di POKMAS X di Kota Ambon dari tanggal 4 Januari sampai 4 Februari 2021.
Internship ini bertujuan melihat kemungkinan adanya masalah yang terjadi selama selama
pengolahan ikan asap cair serta mencari solusi yang terbaik sehingga permasalah tersebut
dapat diatasi dan diupayakan tidak terjadi lagi. Metode penelitian yang dipakai deskriptif.
Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Metode yang dipakai dalam
pengumpulan data yaitu metode observasi dan melakukan proses pengolahan langsung di unit
produksi. Permasalahan utama yang ditemui pada proses pengolahan ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) asap cair di POKMAS X yaitu belum diterapkannya standar sanitasi
dengan baik.
Kata kunci: asap cair, ikan cakalang, sanitasi

ABSTRACT
Based on Ambon City statistical data, skipjack tuna is one of the catches with the highest
economic value. In the city of Ambon skipjack tuna is not only consumed in fresh form but
also processed into asar fish orsmoked fishwith marketing areas on the island of Ambon and
outside the island of Ambon. The internship was held at POKMAS X in Ambon City from
January 4 to February 4, 2021. This internship aims to see the possibility of problems that
occur during the processing of liquid smoked fish and to find the best solution so that these
problems can be overcome and strived not to happen again. The research method used is
descriptive. The data obtained in the form of primary data and secondary data. The method
used in data collection is the method of observation and direct processing in the production
unit. The main problem encountered in the processing of liquid smoked skipjack tuna
(Katsuwonus pelamis) at POKMAS X is that sanitation standards have not been implemented
properly.
Keywords: skipjack tuna, liquid smoke, sanitation

PENDAHULUAN
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan jenis ikan dari kelompok pelagis
besar yang banyak terdapat di perairan Maluku. Berdasarkan data statistik Kota Ambon,
ikan
cakalang merupakan salah satu hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Dari
aspek pemasaran, jenis ikan ini merupakan jenis sumberdaya perikanan yang penting bagi
Indonesia karena menjadi komoditi ekspor dan menjadi salah satu bahan konsumsi (Luhur &
Yusuf, 2017). Ikan cakalang tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi juga diolah
menjadi ikan asar atau ikan asap (smoked fish) dengan daerah pemasaran di pulau Ambon dan
di luar pulau Ambon.
Ikan asap adalah salah satu pengolahan ikan dengan memberikan senyawa asap
melalui proses pembakaran kayu atau tempurung kelapa ke dalam daging ikan sehingga
dihasilkan produk ikan asap yang memiliki aroma, rasa dan warna yang khas (Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2008 dalam Sirait, J., & Saputra, S. H.,
2020). Penggunaan asap cair (liquid smoke) merupakan salah satu cara pengasapan modern.
Kelebihan liquid smoke dibandingkan dengan pengasapan tradisional yaitu dapat
menghasilkan produk yang seragam, rasa yang dihasilkan dapat dikontrol, memberikan cita
rasa dan aroma yang konsisten, hemat dalam penggunaan kayu, dapat mengurangi polusi dan
dapat mencegah deposit senyawa tar (Ardianto, C et al, 2014). Saat ini asap cair telah banyak
diproduksi sebagai bahan pengganti asap konvensional dalam proses pengasapan ikan.
Asap cair merupakan cairan kondensat uap asap yang dihasilkan dari proses pirolisis
kayu. Beberapa senyawa yang terdapat dalam asap yang berperan penting dalam proses
pengawetan ikan yaitu fenol, karbonil dan asam-asam organik. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa metode pengasapan dengan asap cair lebih aman bila dibandingkan dengan
pengasapan dengan cara tradisional. Penggunaan asap cair pada proses pengolahan ikan dapat
memperpanjang umur simpan ikan asap dibandingkan dengan pengasapan tradisional
(Hardianto & Yunianta, 2015).
Penerapan sanitasi sangat penting dalam pengolahan ikan asap. Penerapan yang
dilakukan bukan hanya sebatas proses pengolahan saja tetapi juga pada semua karyawan,
peralatan utama, peralatan penunjang serta lingkungan di sekitar unit produksi. Hal ini sangat
diperlukan agar mutu dan keamanan produk tetap terjaga saat diterima konsumen. Kegiatan
internship ini bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya permasalahan yang terjadi selama
proses pengolahan ikan asap cair serta mencari solusi yang terbaik sehingga permasalah
tersebut dapat diatasi dan diupayakan tidak terjadi lagi.
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam pengolahan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
asap cair antara lain ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), garam, air bersih, asap cair, plastik
PE, plastik vakum dan label. Alat-alat yang dipakai yaitu timbangan digital, gelas ukur, pisau,
spatula stainless steel, talenan, keranjang penirisan, baskom besar, baskom sedang, oven,
kompor, perlengkapan kerja (apron, masker, hair net, sarung tangan karet/plastik) dan mesin
vakum.
Metode yang dipakai untuk pengumpulan data yaitu metode observasi dengan
melakukan proses pengolahan langsung di unit produksi. Data yang diperoleh berupa data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung
terhadap proses pengolahan ikan asap cair mulai dari proses pengadaan bahan baku, proses
produksi, proses pengemasan hingga penerapan sanitasi dan higien serta segala kebutuhan
yang terkait dengan produksi dan pemasaran produk. Pengumpulan data juga dilakukan
melalui wawancara langsung dengan anggota kelompok usaha dan penilaian tingkat
penerimaan masyarakat terhadap produk ikan asap cair dengan menggunakan score sheet
pengujian sensori. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan dari beberapa sumber
atau pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan ikan asap cair. Data yang telah
didapat kemudian diolah dan disajikan secara deskriptif. Metode fish bone dipakai untuk
menganalisa permasalahan yang ada.
Tingkat kesukaan masyarakat pada produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
cair dilakukan dengan Uji Skor sesuai dengan SNI 2725-2013. Hasil kompilasi uji skor
dilanjutkan dengan penghitungan interval nilai mutu rerata dari masing-masing panelis
dengan menggunakan rumus berikut.
∑𝑛𝑖=1 (𝑥𝑖 − 𝑥̅)2
𝑠2 =
𝑛

dimana 𝑠2 = varian
s = standar deviasi
𝑥𝑖 = nilai x ke – i
𝑥̅ = rata – rata
𝑛 = ukuran sampel
Penelitian berlokasi di UMKM X di Ambon propinsi
Maluku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Proses pengolahan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap cair secara berurutan
yaitu: Pengadaan Bahan Baku, Pencucian I, Penyiangan, Pencucian II, Penirisan, Perendaman
(dalam larutan asap cair), Penirisan II, Pemanggangan dan Pengemasan. Alur proses
pembuatan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap cair disajikan pada gambar 1.

Ikan Pengadaan Bahan Baku

Air bersih Limbah air pencucian I


Pencucian I
Kepala, isi perut
Penyiangan

Air bersih Pencucian II Limbah air pencucian II

Penirisan I Sisa air pencucian II

Air, asap cair, garam Sisa larutan asap cair


Perendaman
Sisa larutan asap cair

Penirisan II

Pemangganga

Panas n Drip yang mengering

Plastik kemasan, label


Pengemasan Potongan plastik & label

Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)


Asap Cair

Hasil uji organoleptik tingkat kesukaan panelis pada ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis) asap cair disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Kompilasi Uji Skor Ikan Cakalang (K. pelamis) Asap Cair
Nilai Spesifikasi
Panelis Warna Bau Rasa Tekst Rerata
ur
1 9 9 9 9 9
2 9 9 9 7 8.5
3 9 9 9 9 9
4 9 9 7 9 8.5
5 9 9 9 9 9
6 9 9 9 9 9
7 7 9 9 9 8.5
8 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9
10 9 9 9 9 9
Jumlah 8.85

Permasalahan dan akar penyebab dari permasalahan dapat dilihat pada diagram
sebab- akibat (causeand effect diagram) seperti tertera pada gambar
2 berikut.

Man Material

Tidak tersedia
Tidak memakai bahan sanitasi
perlengkapan kerja
Air belum
memenuhi standar
Tidak
Menerapkan
SSOP
Tidak ada protap sanitasi Tidak ada
alat sanitasi
Layout proses produksi
tidak sesuai standar Peralatan belum
memenuhii
standar
Method

Machine

Gambar 2. Diagram Fish Bone (cause and effect diagram)

Diagram fish bone selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi penyebab dan


akibat dari permasalahan yang ada seperti tertuang pada Tabel 2.
Tabel 2. Identifikasi Sebab dan Akibat Permasalahan
Masalah: "Tidak menerapkan SSOP dengan baik dan benar"
Faktor Utama Penyebab Akibat
Man
1 Tidak memakai Persediaan terbatas Berpotensi mengandung
perlengkapan kerja bakteri
(masker, hairnet,
sarung tangan)
berulang
Material
Tidak ada bahan Persediaan terbatas/tidak
1 Kontaminasi bakteri
sanitasi ada
Air yang digunakan
Belum dilakukan Kontaminasi bakteri dan
2 belum memenuhi
standarisasi air polutan
standar air minum
Machine
Tidak disediakan dana Penerapan sanitasi tidak
1 Tidak ada alat sanitasi
khusus maksimal
Peralatan yang
Alat prosesing ada yang Berpotensi mengandung
2 digunakan belum
terbuat dari bahan kayu bakteri
memenuhi standar
Metode
Tidak ada protap Tidak melibatkan Penerapan sanitasi tidak
1
sanitasi penyuluh kesehatan maksimal
Layout proses produksi Mempengaruhi lamanya
2 Ruang produksi kecil
tidak sesuai standar waktu produksi

Dari permasalahan yang ada, beberapa solusi yang dapat diberikan guna
pemecahan masalah tersebut seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Usulan Solusi Pemecahan Masalah Di UMKM X


Masalah: "Tidak menerapkan SSOP dengan baik dan benar"
Faktor Utama Usulan Perbaikan
Man
1 Tidak memakai - Penyediaan perlengkapan kerja dalam
perlengkapan kerja jumlah yang
(masker, hairnet, cukup
sarung tangan) - Memberikan pemahaman tentang standar
pemakaian perlengkapan kerja yang baik
Material
1 Tidak ada sanitizer Pengadaan sanitizer dalam jumlah yang cukup
2 Air yang digunakan Lakukan standarisasi air atau pengecekan
belum memenuhi kualitas air oleh petugas kesehatan pad periode
standar air minum tertentu (per 6 bulan)

Machine
1 Tidak ada alat sanitasi Penyediaan peralatan sanitasi
2 Peralatan yang Pengadaan peralatan prosesing yang sesuai
digunakan belum standar. Hindari peralatan yang terbuat dari
sesuai standar bahan kayu.
Metode
1 Tidak ada protap Penyusunan protap dibantu instansi/dinas
sanitasi terkait
2 Layout proses Penempatan peralatan disesuaikan dengan
produksi prosedur pengolahan.

Pembahasan
Proses Pengolahan
Tahapan proses pengolahan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap cair yaitu:
1. Pengadaan Bahan Baku
Ikan yang dipakai adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) segar yang dibeli
langsung dari para penjual ikan dari Desa Latuhalat Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon.
Umumnya ikan-ikan yang didatangkan dari desa Latuhalat memiliki kualitas kesegaran yang
bagus. Ini disebabkan karena air laut yang digunakan untuk merendam dan mencuci ikan
dibawa langsung dari laut di sekitar desa Latuhalat yang mana air lautnya masih memenuhi
standar sanitasi dan higiene.
Sesuai Peraturan Ditjen P2HP (2005) dalam (Jefri A. Mandeno, 2016) menyatakan
bahwa air yang terdapat di dekat pantai, air di pelabuhan serta air bekas pendinginan tidak
boleh digunakan untuk mencuci ikan, papan bak, geladak kapal dan ruangan palka.
Selanjutnya menurut Ditjenkan Tangkap (2003) dalam (Sipahutar, Purwandari dan Sitorus,
2019), pencucian ikan dapat pula dilakukan dengan menggunakan air laut bersih dalam
jumlah cukup serta bertekanan 1,4 kg/cm2 atau lebih misalnya dengan pemakaia pompa air.
2. Pencucian I
Ikan dicuci dengan air bersih yang mengalir. Tujuan dari Pencucian I untuk
menghilangkan sisa bahan pengganggu yang masih melekat pada saat ikan didatangkan dari
pasar. Sisa-sisa kotoran ini merupakan kontaminan yang dapat menyebabkan ikan mengalami
pembusukan. Penyebab utama pembusukan ikan yaitu adanya aktifitas mikroorganisme
pembusuk yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri seperti bakteri dan enzim serta faktordari
luar seperti kontaminasi dan oksidasi yang dapat terjadi secara bersamaan (Deni, 2015).
3. Penyiangan
Penyiangan dilakukan untuk membuang bagian ikan yang tidak dimanfaatkan seperti
kepala, insang, isi perut dan tulang. Daging ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dipotong
memanjang berbentuk fillet dan dibuang tulangnya. Proses penyiangan dapat dilakukan
dengan pendarahan (Bleeding) dengan tujuan agar sebagian darah dari tubuh ikan akan keluar
sehingga sisa darah yang terdapat di saluran darah ikan menurun. Dengan demikian tidak
dapat digunakan lagi oleh bakteri pembusuk (Liviawaty dan Afrianto, 2010 dalam Jefri A.
Mandeno, 2016).
4. Pencucian II
Proses pencucian menggunakan air bersih dan mengalir dengan tujuan untuk
menghilangkan sisa-sisa darah dari daging ikan pada saat penyiangan.
5. Penirisan I
Penirisan I bertujuan mengurangi sisa air yang masih terdapat pada daging ikan saat
Pencucian II.
6. Perendaman
Dalam proses perendaman, daging ikan direndam dalam larutan asap cair. Larutan ini
terdiri dari air, asap cair dan garam. Untuk setiap 1 kg daging ikan, perbandingan air, asap
cair dan garam adalah 1000 ml : 25 ml : 10 gr. Lama waktu perendaman adalah 20 - 30 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh (Katiandagho, Berhimpon dan Reo, 2017) menunjukkan
bahwa hasil dari uji mutu organoleptik ikan kayu asap cair dengan metode duo trio ikan kayu
asap cair berbeda sangat nyata (P<1) dan lebih enak dari ikan kayu konvensional adalah ikan
kayu asap cair yang direndam pada konsentrasi 2% selama 30 menit dan 3% selama 10 menit.
7. Penirisan II
Ikan yang direndam dalam larutan asap cair selanjutnya diangkat dan ditiriskan.
Tujuannya yaitu untuk mengurangi sisa-sisa cairan yang masih melekat pada daging ikan.
Dalam proses penirisan tidak terdapat adanya perlindungan terhadap produk karena pada saat
penirisan ikan ditempatkan di area terbuka. Kemungkinan bahaya yang dapat ditimbul berupa
adanya residu formaldehida seperti metanal atau formalin sebagai hasil sisa dari pencucian,
adanya kandungan histamin sebagai akibat meningkatnya jumlah histamin serta pertumbuhan
mikroba (Maryeni & Sya’bandi, 2020).
8. Pemanggangan
Tujuan pemanggangan adalah untuk mematangkan ikan dan juga untuk
menghilangkan sebagian besar air dari daging ikan. Waktu pemanggangan yang diperlukan
adalah 30 – 60 menit. Suhu dan lama pengasapan merupakan faktor penting dalam
menentukan kualitas ikan yang diasapi (Prasetyo, 2015). Proses pemanasan diketahui dapat
meningkatkan atau menurunkan fungsi serta karakter dari protein. Hal ini tergantung dari cara
pengolahannya. Proses manggangan dapat menurunkan asam amino essensial khususnya
lisin. Pengasapan juga menyebabkan terjadinya perubahan warna, kenampakan dan konsisten
daging ikan yang menarik akan tetapi dapat menyebabkan menurunnya komponen protein
secara signifikan.
9. Pengemasan
Ikan yang telah matang dikeluarkan dari oven, diamkan beberapa saat hingga dingin
kemudian dikemas dengan menggunakan kemasan plastik PE dan dimasukkan lagi ke dalam
plastik vakum. Masukkan ke dalam mesin vakum untuk proses pemvakuman. Tujuan
pemvakuman untuk mengeluarkan udara dari dalam plastik kemasan sehingga masa simpan
produk akan lebih panjang.
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan penjualan hasil produksi adalah kemasan.
Kemasan yang kreatif dengan warna dan bentuk yang menarik mampu menjadikan konsumen
tertarik pada produknya. Selain itu kemasan juga berfungsi sebagai pembungkus yang mampu
melindungi produk pada saat pengiriman dan penyimpanan serta dapat mengidentifikasi dan
membedakan sebuah produk di pasar (Izzhati et al., 2017).

Tingkat penerimaan konsumen


Warna sangat penting pada suatu produk karena merupakan parameter organoleptik
serta menjadi parameter utama bagi kenampakan produk secara keseluruhan (Darmadji, 2000
dalam Husni, 2019).
Bau merupakan parameter pertama yang turut menentukan tingkat penerimaan indra
penciuman. Bau juga dapat menyebabkan ketertarikan seseorang terhadap suatu produk.
Salah satu faktor penentu tingkat kesukaan seseorang terhadap suatu produk pangan
yaitu rasa. Rasa merupakan mekanisme reseptor dan menentukan sifat bahan makanan bagi
orang yang makan makanan. Rasa yaitu sesuatu yang dirasakan yang dihasilkan setelah
dimasukan ke mulut (Husni, 2019) sedangkan tekstur dapat berupa kerenyahan maupun
kekerasan dari produk yang dihasilkan (Husen, 2018).
Dari hasil kompilasi uji skor pada tabel 1 dan dilanjutkan dengan menghitung interval
nilai mutu rerata dari setiap panelis. Dari hasil perhitungan, diperoleh interval nilai
organoleptik dari ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap cair adalah 8.71 – 8.99. Sehingga
nilai akhir organoleptik ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap cair adalah 8. Dengan
demikian, secara organoleptik mutu ikan asap cair yang diproduksi oleh UMKM X ini dapat
diterima oleh konsumen.

Permasalahan
Selama melaksanakan intership ditemui bahwa penerapan sanitasi belum sepenuhnya
diterapkan dengan baik dan benar. Sesuai diagram fish bone (cause and effect diagram),
faktor utama penyebab masalah berasal dari personel (man), bahan (material), peralatan
(machine) dan metode (method) yang diterapkan. Penyebabnya beraneka-macam, antara lain
persediaan perlengkapan kerja (hair net, masker dan sarung tangan) sangat terbatas, air yang
digunakan masih dalam jumlah terbatas dan belum pernah dilakukan pengujian, beberapa alat
yang kontak langsung dengan bahan makanan masih berbahan kayu, belum ada keterlibatan
tenaga pendamping atau penyuluh baik dari Dinas Perikanan maupun Dinas Kesehatan serta
belum tersedianya ruang produksi dengan ukuran yang memadai. Penyebab masalah ini
tentunya akan mempengaruhi kualitas ikan asap cair yang dihasilkan.
Dari permasalahan yang ada, beberapa solusi yang dapat diberikan guna pemecahan
masalah tersebut antara lain:
- Penyediaan perlengkapan kerja dalam jumlah yang cukup
- Pengadaan bahan sanitasi dalam jumlah yang cukup
- Penyediaan peralatan sanitasi sesuai kebutuhan
- Memberikan pemahaman tentang standar pemakaian perlengkapan kerja yang baik
dan benar
- Lakukan standarisasi air atau pengecekan kualitas air oleh petugas kesehatan pada
periode tertentu (per 6 bulan)
- Pengadaan peralatan pengolahan ikan yang sesuai standar. Hindari peralatan yang
terbuat dari bahan kayu
- Lakukan pencucian alat sebelum dan sesudah proses pengolahan
- Penyusunan protap sanitas dibantu instansi terkait
- Penempatan peralatan disesuaikan dengan prosedur pengolahan
SIMPULAN
Permasalahan utama yang ditemui pada proses pengolahan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
asap cair di POKMAS X yaitu belum diterapkannya standar sanitasi dengan baik dan benar secara
menyeluruh. Hal ini disebabkan terutama oleh kurangnya pemahaman personil atau anggota dari kelompok
usaha akan pentingnya sanitasi dan higien terhadap kualitas produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
asap cair.
Pengolahan Ikan Kakap Asin dengan Metode Penggaraman Kering
di Kampung Pasi Distrik Aimando

Processing of Salted Snapper with Dry Salting Method in


Pasi Village, Aimando District

Desener Ongge1, Yulianti Rumbiak2


1, 2Akademi Perikanan Kamasan Biak
, Indonesia
Email: d.ongge@gmail.com

ABSTRAK INFO ARTIKEL

Penggaraman merupakan suatu cara pengolahan ikan dengan hasil produk Paper Type:
berupa ikan asin. Cara ini telah umum dilakukan dengan tujuan agar ikan Research Article
lebih awet atau tahan lama. Penggaraman adalah suatu proses pengolahan
ikan dengan cara memberikan garam kemudian dikeringkan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk melakukan dan mengetahui proses pengolahan
ikan kakap asin, mengetahui nilai uji Sensori ikan kakap asin dan mengetahui
nilai uji Kadar Air ikan kakap asin. Metode Praktik yang digunakan adalah
eksperimen (percobaan) sedangkan data penunjang adalah mengumpulkan
data dan informasi terkait proses dan hasil kemudian di kaji dan di
bandingkan dengan standar SNI 8273:2016. Hasil yang diperoleh setelah Article History:
melakukan Praktik pengolahan ikan kakap asin melalui lima tahapan yaitu Received 10/01/2022
pembersihan dan penyiangan ikan, penggaraman, penjemuran, pengujian Revised 15/02/2022
sensori, dan pengujian kadar air ikan kakap asin, yakni produk ikan asin Published 5/9/2022
kering memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk ikan asin kering,
yaitu diperoleh nilai uji sensori 8,0 (minimal 7,0 berdasarkan SNI 8273:2016)
dan nilai uji kadar air 27,5 % (maksimal 40,0 % berdasarkan SNI Kata Kunci:
8273:2016).  Pengolahan
 Ikan Kakap
 Penggaraman
ABSTRACT

Salting is a way of processing fish with the product in the form of salted fish.
This method has generally been done with the aim of making fish more
durable or long-lasting. Salting is a fish processing process by adding salt and
then drying it. The purpose of this study was to conduct and determine the Key Words:
process of processing salted snapper, knowing the value of the Sensory test of  Processing
salted snapper and knowing the value of the water content of salted  Snapper Fish
snapper. The practical method used is an  Salting
experiment (experimental) while the supporting data is to collect data and
information related to the process and results, which are then
reviewed and compared with the SNI 8273:2016 standard. The results obtained
after carrying out the practice of processing salted snapper through five stages,
namely cleaning and weeding fish, salting, drying, sensory testing, and testing
the water content of salted snapper, namely dried salted fish products meet the
quality and safety requirements of dried salted fish products, namely The
sensory test value was 8.0 (minimum 7.0 based on SNI 8273:2016) and the
water content test value was 27.5% (maximum 40.0% based on SNI
8273:2016).

PENDAHULUAN

Salah satu potensi perikanan kampung Pasi adalah ikan demersal dan pelagis. Jenis
ikan ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana sebagian nelayan melakukan
penangkapan ikan demersal dan pelagis dengan menggunakan jaring insang (Gill Net),
Pattiasina, et all (2021). Ikan kakap hasil tangkapan, umumnya langsung di jual ke pasar.
Kegiatan penangkapan ikan di Pulau Pasi telah cukup lama dilakukan, tetapi masih belum
banyak dikenal mengenai proses pembuatannya, terutama bagaimana prospeknya dilihat
dari sudut pandang ekonomi.
Penggaraman merupakan suatu cara pengolahan ikan dengan hasil produk berupa
ikan asin. Cara ini telah umum dilakukan dengan tujuan agar ikan lebih awet atau tahan
lama. Penggaraman adalah suatu proses pengolahan ikan dengan cara memberikan garam
sehingga mempunyai kandungan garam sangat tinggi (NaCl yang jenuh pada fase masih
mengandung air) yang kemudian dikeringkan. Cara pengolahan tersebut telah lama
dilakukan untuk beraneka ragam species ikan, (Budiman syarif, 2004).
Salah satu species ikan sering dibuat menjadi ikan asin adalah ikan kakap. Ikan
kakap (Lutjanus analis.) adalah ikan yang termasuk kedalam kelompok ikan yang
merupakan salah satu sumberdaya perikanan paling melimpah di perairan Indonesia.
Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebarannya terutama adalah di
perairan dekat pantai. Pada wilayah dimana terjadi proses penaikkan massa air.
Pembuatan ikan asin jenis kakap, telah cukup lama berlangsung, yang sampai
sekarang masih dilakukan secara tradisional. Cara pengolahan ikan asin ini merupakan
suatu cara yang relatif mudah untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Hal ini terutama
karena masih belum diketahui bagaimana sebetulnya kelayakan usaha dari penggaraman
ikan kakap. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan selain ingin mengetahui proses
pembuatan ikan asin kakap, juga untuk mengetahui bagaimana mutu dari ikan asin
tersebut.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 dan bertempat di Kampung Pasi
Distrik Aimando Kabupaten Biak Numfor.
Lokasi PKL

Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

Alat dan Bahan


Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan ikan asin adalah ikan kakap,garam
sebanyak 10-30 %, jeruk nipis 10 buah. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah pisau,
parang, ember, baskom, timbangan, dan papan pemotong.

Prosedur Pengolahan Ikan Asin


Pembuatan ikan asin pada daerah ini merupakan industri skala rumah tangga.
Berdasarkan data dari Bagian Lingkungan Hidup Kabupaten Biak Numfor (2000), di daerah
Kampung Pasi nelayan pembuat ikan asin masih kurang/minim, sebagian masyarakat
memilih untuk membawa hasil tangkapannya untuk dipasarkan.
Dalam pembuatan ikan asin, yang merupakan pekerjaan pokok adalah penggaraman
dan pengeringan, meskipun demikian ada beberapa tahapan kegiatan yang sebetulnya
dilakukan oleh nelayan Kampung Pasi, yaitu:
1. Pembersihan
Pada tahap ini, pembersihan yang dilakukan adalah pembersihan sisik dan insan ikan,
pencucian dengan menggunakan air asin sampai bersih, Setelah bersih bahan baku ikan
kakap tersebut dimasukan pada tempat yang disediakan yaitu berupa ember / loyang yang
sudah disiapkan.
2. Penggaraman
Penggaraman atau pemberian garam dilakukan setelah tahap 1 selesai. Garam yang
diberikan adalah garam murni yang biasanya kandungan NaCl nya tinggi (>90%).
Perbandingan antara bahan baku garam dengan ikan kakap adalah 10:3, jadi untuk 300g
ikan kakap dibutuhkan 300 g garam.
3. Penjemuran(Pengeringan)
Ikan kakap yang telah diproses dalam penggaraman, kemudian dicuci bersih dan
langsung dijemur di atas para-para. Tempat penjemuran bebas dari naungan dengan
tujuan agar sinar matahari dapat digunakan seluruhnya. Para- para dibuat dari kayu
buah, Para-para ini umumnya mempunyai panjang sekitar empat meter, lebar tiga meter
dan tingginya sekitar duameter.Aktivitas penjemuran yang bertujuan untuk
mengeringkan ikan ini harus dibarengi dengan proses pembalikan yang minimum
dilakukan 2-3 kali setiap harinya. Sebelum ikan betul-betul kering, setiap sore ikan-ikan
tersebut dimasukkan dalam tempat yang beratap dengan tujuan tidak tersiram air hujan.
Lamanya penjemuran tergantung dari keadaan cuaca tetapi umumnya dibutuhkan waktu
3-5 hari. Untuk mengetahui apakah ikan kakap ini sudah betul-betul kering atau tidak,
biasanya dipegang atau sedikit ditekan dengan jari tangan.Pengeringan yang dilakukan
oleh nelayan kampung Pasi hanya dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari.
Masalah utama dalam proses pengeringan ikan dengan cara penjemuran adalah sangat
tergantung pada intensitas sinar matahari.

Prosedur Uji Sensori


Siapkan contoh / sampel yang akan diuji pada tempat yang telah tersedia dan score
sheet yang akan digunakan oleh panelis. Kemudian panelis melakukan pengujian sesuai
dengan nilai-nilai yang tertera dalam score sheet. Selanjutnya lakukan analisa menentukan
nilai produk dengan rata-rata pada selang kepercayaan 95 % ( Anonimous, 2005) sebagai
berikut:
Nilai rata-rata (X) = 𝛴 𝑋𝑖 𝑛
𝑖=1
Keragaman Nilai Mutu S² = 𝑛 𝛴 𝑋𝑖 (𝑋𝑖 – 𝑋)² 𝑛
𝑖=1

Simpangan baku (s) = √𝑆²


Estimasi interval rata-rata = { X – (1,96 . s / √ n ) ≤ μ ≤ (X + 1,96 . s / √ n)}

Dimana:
s = Simpangan baku nilai
mutu S² = Keragaman nilai
mutu
1,96 = Koefisien standar deviasi pada taraf
95% n= Banyaknya panelis
X = Nilai mutu rata-rata
HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Umum Lokasi


Kampung Pasi merupakan salah satu kampung Distrik Aimando dengan luas
wilayah 3,5 km2 yang terdiri dari 2 RT yakni RT I dan RT II. Kampung Pasi berada dalam
wilayah Distrik Aimando Kabupaten Biak Numfor Profinsi Papua. Secara geografis
kampung Pasi sebelah Utara berbatasan dengan selat kampung Mbromsi sebelah Timur
berbatasan dengan selat kampung Yenmanaina, sebelah selatan berbatasan dengan
kampung Samberpasi dan sebelah barat berbatasan dengan laut Pakreki.
Luas wilayah Kampung Pasi adalah 3,5 km2 yang berada dalam kawasan Kepulauan
Padaido Distrik Aimando Kabupaten Biak Numfor. Kampung Pasi terletak disebelah
Timur pulau dengan jarak 36,8 mil laut atau 56 km dari kota Biak Numfor. Bentuk
tofografi kampung Pasi relative datar yang didominasi oleh tanah berpasir dengan vegetasi
peluang utama kelapa, hutan hujan tropis, dan populasi mangrove yang tumbuh di pantai
bagian Selatan. Pattiasina, et all (2021).

Pengolahan Ikan Asin


Proses pembuatan ikan asin, yang merupakan pekerjaan pokok adalah penggaraman
dan pengeringan, meskipun demikian ada beberapa tahapan kegiatan yang sebetulnya
dilakukan oleh nelayan Kampung Pasi, yaitu:
 Pembersihan
Pada tahap ini, pembersihan yang dilakukan adalah pembersihan sisik dan insan ikan,
pencucian dengan menggunakan air asin sampai bersih, Setelah bersih bahan baku ikan
kakap tersebut dimasukan pada tempat yang disediakan yaitu berupa ember / loyang
yang sudah disiapkan.
 Penggaraman
Penggaraman atau pemberian garam dilakukan setela tahap B selesai. Garam yang
diberikan adalah garam murni yang biasanya kandungan NaCl nya tinggi (>90%).
Perbandingan antara bahan baku ikan kakap dengan garam adalah 10 : 3, jadi untuk
1000 gramikan, garam yang dibutuhkan sekitar tiga kwintal atau 300 gram garam.
 Penjemuran(Pengeringan)
Ikan kakap yang telah diproses dalam penggaraman, kemudian dicuci bersih dan
langsung dijemur di atas para-para. Tempat penjemuran bebas dari naungan dengan
tujuan agar sinar matahari dapat digunakan seluruhnya. Para-para dibuat dari
kayubuah, Para-para ini umumnya mempunyai panjang sekitar 4 meter, lebar 3 meter
dan tingginya sekitar 2 meter.
Aktivitas penjemuran yang bertujuan untuk mengeringkan ikan ini harus dibarengi
dengan proses pembalikan yang minimum dilakukan 2-3 kali setiap harinya. Sebelum ikan
betul-betul kering, setiap sore ikan-ikan tersebut dimasukkan dalam tempat yang beratap
dengan tujuan tidak tersiram air hujan. Lamanya penjemuran tergantung dari keadaan cuaca
tetapi umumnya dibutuhkan waktu 3-5 hari. Untuk mengetahui apakah ikan kakap ini
sudah betul-betul kering atau tidak, biasanya dipegang atau sedikit ditekan dengan jari
tangan.
Pengeringan yang dilakukan oleh nelayan kampung Pasi hanya dilakukan dengan
memanfaatkan sinar matahari. Masalah utama dalam proses pengeringan ikan dengan cara
penjemuran sangat tergantung pada intensitas sinar matahari, Pengeringan dengan cara ini
membutuhkan waktu yang lama pada musim hujan.

Uji Sensori
Pengujuan yang digunakan pada sampel ikan kakap asin saat melakukan penelitian
adalah uji Sensori.
Tabel 1. Perhitungan Uji Sensori

Panelis Spesifikasi Jumlah


Kenampakan Bau Rasa Tekstur Jamur
A 9 9 9 9 9 9,0
B 9 9 9 9 9 9,0
C 6 8 6 8 9 7,4
D 9 9 6 9 9 8,4
E 8 8 9 8 9 8,4
F 6 8 6 8 9 7,4
JUMLAH 49,6
RATA-RATA 8,2
Sampel yang akan diuji pada tempat yang telah tersedia dan score sheet yang akan
digunakan oleh panelis. Kemudian panelis melakukan pengujian sesuai dengan nilai-nilai
yang tertera dalam score sheet. Selanjutnya lakukan analisa menentukan nilai produk
dengan rata-rata pada selang kepercayaan 95 % (Anonimous, 2005).

Uji Kadar Air


Untuk memenuhi mutu ikan kakap asin maka dilakukan uji kimia, maka dilakukan uji
kimia. Uji kimia merupakan cara pengujian yang menggunakan peralatan-peralatan yang
tersedia di laboratorium. Maka untuk mengetahui mutu kimia ikan kakap asin maka
dilakukan pengujian kadar air yang dilakukan di UPTD Pembinaan Mutu Hasil Perikanan
Kabupaten Biak Numfor.
Tabel 2. Hasil Uji Kadar Air Ikan Asin
No CONTOH/ BERAT CAWAN BERAT CAWAN BERAT CAWAN
PRODUK KOSONG (A g) KOSONG + CONTOH
+ CONTOH AWAL (B g) KERING
(C g)
1. Ikan Asin 1 59,51 61,51 60,98
2. Ikan Asin 2 58,30 60,30 59,74
Tabel 3. Hasil Uji Sensori dan Uji Kadar Air
No Parameter Hasil Uji SNI 8273:2016
1 Sensori 8,0 Minimal 7,0
2 Kadar Air 27,5 % Maksimal 40,0 %

Berdasarkan tabel di atas bahwa hasil uji Sensori terhadap Ikan Kakap Asin yaitu 8,0
hal ini menunjukan bahwa produk ikan kakap asin telah memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan produk berdasarkan SNI 8273:2016 dimana minimal 7,0. Dan juga berdasarkan
tabel di atas bahwa hasil uji Kadar Air terhadap Ikan Kakap Asin yaitu 27,5 %hal ini
menunjukan bahwa kadar air produk ikan kakap asin telah memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan produk berdasarkan SNI 8273:2016 dimana maksimal 40,0 %.

KESIMPULAN

Teknik pengolahan Ikan kakap asin yang dilaksanakan menggunakan metode pengolahan
tradisional dengan masih sederhananya peralatan dan metode yang digunakan. Produk ikan
asin kering yang dihasilkan berdasarkan parameter uji sensori dan uji kadar air telah
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan ikan asin kering, yaitu diperoleh nilai uji sensori
8,0 (minimal 7,0 berdasarkan SNI 8273:2016) dan nilai uji kadar air 27,5 % (maksimal 40,0
% berdasarkan SNI 8273:2016).
ANALISIS EFEKTIVITAS PENGERING KONVEKTIF RUMPUT LAUT
TERINTEGRASI DENGAN PENUKAR KALOR TUBE BANK BARE IN-LINE
PADA MASUKAN PANAS BERBEDA

Ridolf Richard Kermite1, Abdul Hadi2, Jandri Louhenapessy3, Jainal Ulath4)*


1)
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Ambon, 97234
1,
ridolf77@gmail.com
2,3)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon 97234
3,
jandrileonora@yahoo.com
4)
S1 Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon 97234
4,
jainalulathenal@gmail.com

Abstrak Fokus utama penelitian ini yakni penerapan penukar kalor tube bank bare in-line
sebagai pemulihan limbah panas guna memanfaatkan limbah panas dari pengering konvektif.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan masukan panas yang efektif, dimana efektivitas
maksimal guna mempersingkat waktu pengeringan dan menghemat pemakaian daya listrik.
Metode penelitian secara eksperimen dilakukan dengan memvariasikan nilai masukan panas
dari 300 hingga 700 W pada kecepatan udara 2 m/s, temperatur media pengering 50 C dan
kelembaban relatif 40% konstan pada kondisi operasi sebelum dan sesudah penerapan
pemulihan limbah panas. Pengambilan data berupa temperatur, kecepatan udara, kelembaban
relatif dan masukan panas setelah tercapai keadaan tunak. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
efektivitas menurun seiring meningkatnya masukan panas, dimana efektivitas maksimal pada
masukan panas 300 W sebesar 93.94% dan 93.68% untuk kondisi operasi sebelum dan sesudah
penerapan pemulihan limbah panas. Waktu pengeringan rumput laut minimal pada masukan
panas 700 W untuk kondisi sebelum dan sesudah menerapkan pemulihan limbah panas masing-
masing sebesar 660 dan 570 menit. Penghematan daya listrik maksimal pada masukan panas
300 W sebesar 7497.1 W atau 87.90% dan minimal pada masukan panas 700 W sebesar 5436.6
atay 85.96%. Disimpulkan bahwa pengering konvektif dengan pemulihan limbah panas dapat
digunakan untuk pengeringan rumput laut pada kondisi operasi masukan panas 500 W,
efektivtas 91.00%, waktu pengeringan 780 menit dan menghemat daya listrik sebesar 86.24%.

Kata kunci: Efektivitas, Masukan panas, Pemulihan limbah panas, Pengering konvektif,
Penukar kalor
tube bank bare in-line.

Abstract The main focus of this research is the application of a bare in-line tube bank heat
exchanger as waste heat recovery in order to utilize waste heat from convective dryers. This
research aims to obtain effective heat input, where effectiveness is maximum in order to shorten
drying time and save electricity consumption. The experimental research method was carried
out by varying the heat input value from 300 to 700 W at an air speed of 2 m/s, drying media
temperature of 50 C, and constant relative humidity of 40% under operating conditions before
and after the application of waste heat recovery. Retrieval of data in the form of temperature,
airspeed, relative humidity, and heat input after reaching a steady state. The experimental
results show that the effectiveness decreases as the heat input increases, where the maximum
effectiveness at a heat input of 300 W is 93.94% and 93.68% for operating conditions before
and after the application of waste heat recovery. The minimum seaweed drying time at a heat
input of 700 W for conditions before and after applying waste heat recovery is 660 and 570
minutes respectively. The maximum electrical power savings at a heat input of 300 W is 7497.1
W or 87.90% and the minimum at a heat input of 700 W is 5436.6 or 85.96%. It was concluded
that a convective dryer with waste heat recovery can be used for drying seaweed under
operating conditions of 500 W heat input, 91.00% effectiveness, 780 minutes drying time, and
86.24% electrical power savings.

Keywords: Effectiveness, Heat input, Waste heat recovery, Convective dryer, Bare in-line tube
bank heat exchanger.
1. PENDAHULUAN
Pengeringan merupakan proses pengolahan pascapanen hasil produksi yang paling kritis
sebelum dapat diaplikasikan dalam industri pengolahan [1], dimana pengeringan umumnya
menggambarkan suatu proses memisahkan zat volatile (uap air) dari produk basah dengan
introduksi panas untuk menghasilkan produk padat [2]. Pengeringan merupakan proses yang
kompleks karena melibatkan perpindahan kalor dan massa secara simultan [3]. Energi kalor
dipindahkan secara konveksi dari media pengering (udara atau gas) ke produk basah untuk
menaikkan suhu dan kelembaban, sedangkan perpindahan massa terjadi saat uap air bermigrasi
ke permukaan produk yang menguap dan kemudian ke media pengering yang bersirkulasi
sebagai uap air [4]. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan aktivitas air yang akhirnya
menghambat pertumbuhan mikroorganisme, reaksi anzimatik, reaksi deterioratif, meningkatkan
kualitas, mengurangi berat dan volume yang berdampak positif pada biaya penyimpanan dan
trasnportasi [5]–[7]. Salah satu komoditas hasil perikanan, khususnya rumput laut segar
mengandung kadar air 93% [8], sedangkan kadar air rumput laut kering yang distandarkan oleh
SNI maksimum 30% [9]. Tingginya kadar air rumput laut segar sehingga mudah rusak dan
membusuk, maka pengeringan merupakan langkah penting sebelum rumput laut diaplikasikan
dalam industri pengolahan [10]. Namun, menghilangkan molekul air selama proses pengeringan
membutuhkan substansial jumlah energi termal sebagai panas laten yang tinggi dalam
penguapan air [11]. Teknik pengeringan konvektif yang ada mengkonsumsi 20–25% dari total
energi yang disuplai [11]–[13], sementara sekitar 30-40% energinya terbuang sia-sia ke
lingkungan sebagai limbah panas [14]–[16] dimana suhu limbah kalor dari pengering konvektif
biasa < 55 C [17]. Berbagai upaya penelitian yang telah dilakukan untuk mengoptimalkan
pengering konvektif yang telah dilakukan diantaranya; mengkaji pengaruh masukan panas pada
pengering konvektif secara konveksi paksa untuk produk bunga cengkeh [18]. Kajian
eksperimen pengaruh beban panas (Q*) = 400 – 600 W terhadap perpindahan kalor konveksi
bebas [19]. Kajian eksperimen pengeringan konvektif buah kiwi dengan memvariasikan suhu
pengering 40- 60˚C [20], kajian eksperimen pengeringan udara konvektif labu dengan
memvariasikan kecepatan udara 6,7 dan 13,6 m/s dengan ukuran slice labu 15 cm dan suhu
udara 50 ˚C tetap konstan [21]. Kajian waktu pengeringan dan suhu kadar air sampel rumput
laut, laju pengeringan, efisiensi energi dan sifat fisiologis sampel produk kering menggunakan
pengering konvektif [22]. Kajian karakteristik dan model matematika kurva pegeringan dengan
menggunakan pengering konvektif [8], [23]–[27], kajian efek laju kondensasi pengering
konvektif terhadap pengeringan pati sagu [28], kajian karakteristik pengering konvektif
mekanik guna mengeringkan rumput laut [29]–[31], kajian pengering konvektif memanfaatkan
limbah panas untuk pengeringan berbagai produk secara numerik maupun eksperimental [11],
[32]–[38], serta kajian dan prediksi model matematika kinematika pengeringan rumput laut
menggunakan pengering microwave [39].
Meskipun banyak peneltian tentang pengering konvektif untuk berbagai produk pengering
berkorelasi dengan perpindahan panas konveksi bebas dan konveksi paksa serta efektivitas,
namun belum banyak informasi mengenai efektivitas pengering konvektif limbah panas rumput
laut, dimana limbah panas dari pengering konvektif dimanfaatkan sebagai pemanas awal udara
pengering. Inovasi baru yang diterapkan dalam penelitian ini adalah introduksi penukar kalor
bare tube bank susunan in-line sebagai sistem pemulihan limbah panas pada kondisi operasi
sebelum dan sesudah untuk menghemat pemakain daya listrik, karena semakin meningkat suhu
udara pengering yang keluar penukar kalor bare tube bank maka semakin sedikit pemakaian
daya listrik untuk tercapainya suhu media pengering.
Untuk itu, fokus utama dalam penelitian ini yakni introduksi penukar kalor bare tube banks
susunan in-line sebagai sistem pemulihan limbah panas dengan memvariasikan masukan panas
(Q*) 300 hingga 700 W pada kecepatan media pengering 2 m/s [40], suhu media pengering
50C [25], [41] dan kelembaban relatif 30% konstan. Selanjutnya, data hasil pengukuran secara
eksperimen akan dikaji secara teoritis untuk mendapatkan koefisien perpindahan panas
menyeluruh dan akan bermuara pada perhitungan efektivitas. Koefisien konveksi paksa yang
dianggap sebagai kondisi batas untuk permukaan dalam pengering konvektif, sedangkan
konveksi natural yang dianggap sebagai kondisi batas permukaan luar pengering konvektif.

2. BAHAN DAN METODE


2.1. Peralatan dan pengaturan eksperimen
Gambar 1 menampilkan pengering konvektif limbah panas, yang terdiri dari dua bagian utama,
yakni pengering konvektif dan penukar kalor bare tube bank sebagai sistem pemulihan limbah
panas. Komponen pengering konvektif limbah panas terbuat dari bahan stainless steel G.304
(pengering dan casing tube bank), sedangkan bare tube bank terbuat dari material tembaga.

Gambar 1. Skema pengering konvektif limbah panas.


Saluran udara masuk terbuat dari stainless steel berukuran 0.0508 m dan saluran udara keluar
menggunakan aluminium flexible metalize ducting berukuran 0.3048 m. Setelah fabrikasi,
saluran udara masuk dan keluar diisolasi sempurna, untuk mencegah kehilangan panas dari
permukaan luar saluran udara ke lingkungan. Isolasi menggunakan busa poliyurethane (PUF)
sebagai lapisan pertama dan pita asbes sebagai lapisan kedua. Bagian bawah dalam pengering
konvektif dilapisi pelat perforated bergelombang, sehingga diharapkan distribusi media udara
pengering dapat berlangsung secara merata dalam ruang pengering. Dinding ruang pengering
dilapisi isolator asbes dengan ketebalan 0.3 m pada semua sisi (samping kiri, samping kanan,
belakang, bawah dan atas) sehingga dianggap sebagai dinding adiabatis, sedangkan sisi depan
tidak dilapisi dan dianggap sebagai dinding isotermal. Sisi depan pengering konvektif
dilengkapi dengan kaca untuk mengontrol kondisi dalam ruang pengering. Tabel 1 menyajikan
karakteritik geometri pengering konvektif yang digunakan dalam penelitian ini.
Komponen pendukung untuk mengeoperasikan pengering konvektif limbah panas berupa; heater sauna
sebagai pemanas media pengering (udara) berdaya 1000 W. Penentuan daya heater menggunakan PWM
(Pulse Width Modulator) yang terkoneksi dengan temperature control TX4S-14s.
Tabel 1. Karakteristik geometri pengering konvektif.
Parameter Nilai
Panjang (Pcd) 0,59 m
Lebar (Lcd) 0,59 m
Tinggi (Hcd) 0,62 m
Jumlah rak 3 buah
Kapasitas pengering 3 kg
Jarak rak (b) 0,125 m
Diameter saluran masuk 0,0508 m

Diameter saluran keluar 0,0508 m


)
Mini centrifugal blower tipe MC.DE.125 untuk mensirkulasikan media pengering. Untuk
mengatur putaran blower menggunakan PWM dan pembacaan putaran (rpm) menggunakan
tachometer. Data logger termokopel 16 channel dengan toleransi ± 1 C, untuk mengukur suhu
media pengering pada; saluran masuk, saluran keluar, ruang pengering, dinding adiabatis dan
dinding isothermal. Semua pengukuran suhu menggunakan termocoupel tipe-K yang terhubung
dengan data logger suhu 16 channels. Kalibrasi termokopel pada suhu air 100 C. Hot wire
anemometer tipe GM8903 dengan toleransi
± 3% ± 0.1 digit, untuk mengukur kecepatan media pengering yang masuk dan keluar
pengering. Pencatatan data terukur berupa suhu, kecepatan, kelembaban dan masukan panas
dimulai ketika kondisi operasi mencapai kondisi tunak.
1.1. Prosedur percobaan
Percobaan diawali dengan mengatur suhu pengering pada 50 C, kelembaban (RH) 30%,
kecepatan media pengering (v) 2 m/s konstan dan memvariasikan masukan kalor (Q*) 300
hingga 700 W. Sementara menunggu suhu pengering dan kelembaban mencapai stedi, akan
disiapkan slice rumput laut untuk ketiga rak dimana masing-masing rak berkapasitas 1 kg.
Setelah suhu pengering tercapai, maka produk rumput laut dimasukan kedalam ruang pengering
dan proses pengambilan data dimulai, dimana semua parameter terukur secara otomatis datanya
akan terbaca pada PC desktop. Data terukur antara lain; suhu, kecepatan, kelembaban, masukan
kalor, waktu pengeringan dan kadar air akan

Persamaan (1) ditulis dalam neraca kalor [43]:

Dimana 𝑄x adalah perpindahan panas konduksi,


𝑄c adalah perpindahan panas konveksi, dan 𝑄r
adalah perpindahan panas radiasi.
Jika pada pengering konvektif selama proses mekanisme perpindahan panas radiasi diabaikan,
maka persamaan (2) dapat ditulis sebagai:
𝑄h = 𝑄x + 𝑄c (3)

Memperhatikan Gambar 2, selama proses kehilangan panas melalui media pengering (udara)
yang keluar ruang pengering dan kehilangan panas media pengering (udara) ke sekeliling
melalui dinding pengering.

Gambar 2. Skema neraca kalor pengering konvektif slice rumput laut.

Kehilangan panas ini dikatakan sebagai kehilangan panas gabungan (mixture) karena melalui
dua mekanisme perpindahan panas yakni konveksi dan konduksi, dimana perpindahan panas
yang terjadi melalui konveksi paksa dan konveksi natural. selain itu, panas juga di butuhkan
untuk menguapkan air dari rumut laut. disebut kehilangan panas evaporasi. Dengan demikian,
maka persamaan (3) diuraikan berikut ini:
𝑄h = 𝑄ud + (𝑄𝑢𝑑,ℎ + 𝑄𝑥,𝑤 + 𝑄𝑢𝑑,𝑐) + 𝑄eva (4)
Jika 𝑄𝑢𝑑,ℎ + 𝑄𝑥,𝑤 + 𝑄𝑢𝑑,𝑐 = 𝑄𝑚𝑖𝑥,
maka diperoleh persamaan (5):
𝑄h = 𝑄ud + 𝑄mix + 𝑄eva (5)

2.1.1. Perpindahan kalor heater


Masukan panas (heat input) dari heater merupakan bersarnya pemakaian daya listrik oleh
heater dan dihitung menggunakan persamaan (6), yang diperoleh dari [44], [45]:
𝑄h = 𝑉 ∙ 𝐼 (6)
Dimana: 𝑉 adalah tegangan listrik (voltage), dan
𝐼 adalah arus listrik (ampere).
1.1.1. Perpindahan kalor konveksi
Untuk menghitung kehilangan kalor melalui udara panas yang keluar meninggalkan pengering
konvektif menggunakan persamaan (7) yang diperoleh dari [46]:
𝑄ud = 𝑚̇ ud ∙ 𝑐p,ud(𝑇ud,i − 𝑇ud,o) (7)
1.1.2 Perpindahan Panas Gabungan
Perpindahan kalor gabungan ini dianalisis berdasarkan Gambar 3 yang terkait dengan
distribusi temperature pada dinding komposit susunan seri dan konsep tahanan termal

A. Perpindahan Konveksi Paksa


Temperatur film yang terjadi di antara media pengering yang bersuhu (𝑇∞,𝑖) dengan dinding
bagian dalam yang bersuhu (𝑇𝑠,𝑖) dihitung menggunakan persamaan (8), yang diperoleh dari

Sifat termo-fisika materi yang bekerja pada ruang pengering konvektif ditentukan berdasarkan
temperatur film persamaan (8), diperoleh dari [48] antara lain; viskositas kinematik (𝜈),
bilangan Prandtl (𝑃𝑟), konduktivitas termal (𝑘).
Gambar 3. Skema distribusi temperatur dan tahanan termal dinding komposit pengering
konvektif

Laju aliran massa fluida media pengering dihitung menggunakan persamaan (9), yang diperoleh dari
[49], [50]: dimana: 𝜌 adalah densitas fluida (𝑘𝑔⁄𝑚3), 𝑉 adalah kecepatan fluida media pengering (𝑚⁄𝑠), 𝐴 adalah
luas penampang perpindahan kalor (𝑚2).
Fluida media pengering didisirkulasikan oleh blower sehingga perpindahan kalor konveksi
paksa yang terjadi dalam pengering konvektif dihitung menggunakan persamaan (10), yang
diperoleh dari [51]–[53]:

Dimana 𝜈 adalah viskositas kinematik fluida


(𝑚2⁄𝑠), 𝐷ℎ adalah diameter hidrolik pengering konvektif (𝑚) [54], [55]:

Dimana: a dan b adalah panjang sisi penampang persegi panjang (m) pengering konvektif.
Bilangan Nusselt merupakan fungsi medan aliran yaitu parameter aliran yakni bilangan
(Reynold ) [56] dan parameter (ReD ) bilangan Prandtl (Pr) [51]. Hubungan dari ketiga variable
tersebut tergantung dari pola aliran dan lintasannya, sehingga bilangan Nusselt dari fluida media
pengering dapat dihitung menggunakan persamaan (12) yang di peroleh dari [57]:

Koefisien konveksi paksa dari fluida media pengering dalam ruang pengering dapat dihitung
menggunakan persamaan (13), yang diperoleh dari [58]–[60]:

Dimana: k adalah konduktivitas termal fluida (𝑊⁄𝑚. 𝐾).


B. Perpindahan panas konveksi natural
Perpindahan kalor konveksi natural yang terjadi diantara dinding bagian luar dengan fluida
sekeliling, dimana proses ini dikenai mekanisme perpindahan kalor konveksi natural.
Temperatur film yang terjadi diantara dinding bagian luar pengering konvektif yang bersuhu
(𝑇𝑠,𝑜) dengan fluida sekeliling yang bersuhu (𝑇∞,𝑜) dihitung menggunakan persamaan (14), yang
diperoleh dari [47]:
KESIMPULAN
Hasil analisis efektivitas pengering konvektif rumput laut terintegrasi dengan penukar kalor
tube bank bare in-line pada masukan panas berbeda dengan kondisi operasi sebelum dan
sesudah menerapkan pemulihan limbah panas, disimpukan sebagai berikut:
1.Semakin meningkat masukan panas maka semakin minimal efektivitas pengering konvektif.
Efektivitas maksimal pada masukan panas 300 W sebesar 93.94% dan 93.68% untuk kondisi operasi
sebelum dan sesudah menerapkan pemulihan limbah panas yang berarti bahwa masukan panas lebih
besar dari 300 W tidak berpengaruh signifikan terhadap efektivitas pengering konvektif rumput laut.
2.Waktu pengeringan rumput laut minimal pada masukan panas 700 W untuk sebelum dan sesudah
menerapkan pemulihan limbah panas masing-masing sebesar 660 dan 570 menit.
3.Penghematan daya listrik maksimal pada masukan panas 300 W sebesar 7497.1 W atau 87.90% dan
minimal pada masukan panas 700 W sebesar 5436.6 W atau 85.98%.
PENGARUH SUHUPENGERINGANOVEN TERHADAPMUTUKATSUOBUSHI IKAN
CAKALANG (Katsuwonus
pelamis)

Oleh:
Elisa Sakinah1), Sukirno Mus2), Tjipto Leksono2)
Email: elisasakinah@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mutu katsuobushiikan cakalang (katsuwonus


pelamis) berdasarkan nilai sensoris, mikrobiologi dan kimia.Suhu pengeringan oven yang
dipakai yaitu 40-50oC, 65-75oC dan 90- 100oC.Katsuobushi yang dihasilkan dari proses
pengolahan kemudian dilakukan pengujian organoleptik meliputi kenampakan, aroma, rasa dan
tekstur katsuobushi. Serta uji fisik dan kimiawi meliputi kadar air, abu, fenol dan pH. Uji
mikrobiolgi terhadap katsubushi meliputi TPC (total plate count) dan identifikasi jamur.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaruh suhu pengeringan oven berpengaruh sangat nyata
terhadap kenampakan, rasa, tekstur, kadar fenol, kadar air dan nilai TPCpada katsuobushi ikan
cakalang.Mutu katsuobushi ikan cakalang terbaik dihasilkan dengan suhu pengeringan oven 40-
50oC dengan nilai rasa 7,72, aroma 7,41, kenampakan 7,32, tekstur 7,41, kadar air 11,56, kadar
abu 12,79, pH 7,91, fenol 2,82, nilai TPC 7,2 x 10 2koloni/gram dan jamur yang tumbuh pada
semua perlakuan adalah jamur Aspergillus sp.

EFFECT OF DRYING TEMPERATURE ON THE QUALITY OF


SKIPJACK TUNA KATSUOBUSHI(Katsuwonus pelamis)

By:
Elisa sakinah1), Sukirno Mus2), Tjipto Leksono2)
Email: elisasakinah@gmail.com

ABSTRACT

The aim of the study was to determine the different temperature of drying process on the
quality skipjack tuna katsuobushi(Katsuwonus pelamis). The method used was experimental,
composed as CRD, andevaluated for the characteristic of it’s sensory(appearance, aroma, taste
and texture), microbiological (TPC and fungal identification), and chemical values ( the content
of water, ash, phenol and pH value). The drying process was using the oven set on the
temperature at 40-50oC, 65-75oC and 90-100oC.The results showed that the different drying
temperature was affected significantly to the value of appearance, taste, texture, phenol content,
moisture content and TPC value on the skipjackkatsuobushi. The best quality of skipjack tuna
was produced by drying the fish by using oven at the temperature of 40-50 oC. It was indicated
by the highest value of taste value at 7.7, aroma at 7.4, appearance at 7.3, and texture at 7.4. The
best product had the moisture content 11.56 %, ash content 12.79%, pH 7.91, total phenol
content 2.82 ppm, TPC 7.2 x 102coloni/gramand the molds identified grown in all products were
Aspergillus sp.

Keywords: Drying, Katsuobushi, Skipjack Tuna, Temperature.


1)
Student of the Faculty of Marine and Fisheries, Universitas Riau
2)
Lecturer of the Faculty ofMarine and Fisheries, Universitas Riau

PENDAHULUAN
Ikan cakalang adalah nama dagang lokal. Untuk wilayah pasar yang lebih luas dipakai skipjack
tuna sebagai nama dagang internasional. Nama ini diambil dari bahasa inggris, sedangkan nama
ilmiah disebut Katsuwonus pelamis diambil dari bahasa Jepang yang artinya ikan keras
(Limu,2013). Di Indonesia ikan cakalang sudah digunakan sebagai bahan baku oleh industri
pengolahan seperti pengolahan ikan kaleng dan abon ikan cakalang. Di negara asia timur seperti
Jepang ikan cakalang biasanya diolah menjadi sebuah produk yang dinamakan Katsuobushi.
Katsuobushi diserut menjadi seperti serutan kayu untuk diambil kaldunya yang merupakan
bahan dasar masakan Jepang, ditaburkan di atas makanan sebagai penyedap rasa, atau dimakan
begitu saja sebagai teman makan nasi. Sebagai bahan penyedap masakan, mutu katsuobushi
sangat ditentukan oleh cita rasa spesifik yang dimilikinya yaitu dengan cara fermentasi untuk
menumbuhkan kapang yang dapat menghasilakn cita rasa khas pada katsuobushi.
Katsuobushi adalah sejenis ikan kayu yang telah lama dikenal memiliki mutu flavor yang baik,
yang biasa digunakan dalam masakan tradisional jepang. Flavor ini terbentuk melalui tahapan
proses yang cukup unik dan menghasilakan daging ikan yang menjadi keras seperti ikan kayu
sehingga arabushi sering disebut ikan kayu (Ardianto et al, 2014). Ikan kayu (arabushi) berbeda
dengan katsuobushi.
Menurut Alim (2004), proses pengeringan ikan dapat dilakukan dengan penjemuran dibawah
matahari atau dengan oven. Dari penelitian sebelumnya, kelemahan dari pengeringan dengan
sinar matahari berjalan sangat lambat sehingga terjadi pembususkan sebelum ikan kering, hasil
pengeringan tidak merata dan pelaksanaannya tergantung oleh alam. Intensitas sinar matahari
mempengaruhi kecepatan penguapan, penguapan berjalan lambat jika tidak ada sinar
matahari. Pada musim hujan, pengeringan ikan biasanya menghabiskan waktu sangat lama, apalagi tidak ada angin.
Pengeringan dengan menggunakan oven memiliki keuntungan yaitu suhu dan waktu
pemanasan dapat diatur.Pengaturan suhu dan lamanya waktu pengeringan dilakukan dengan
memperhatikan kontak antara alat pengeringan dengan alat pemanas (baik berupa udara panas
yang di alirkan maupun alat pemanas lainnya(Alim (2004).
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh suhu
pengeringan oven terhadap mutu katsuobushi ikan cakalang (katsuwonus pelamis)”.

METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Bahan dasar yang akan digunakan pada penelitian ini adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis)
dengan berat rata-rata 20 Kg/ekor yang diperoleh dari Pelabuhan Samudra Bungus, Sumatra
Barat dan asap cair dari hasil pirolisis tempurung kelapa.Bahan untuk analisis kimiaterdiri dari
Na2CO3 (Natrium Kabonat), asam galat, reagen folin-Ciocalteaudan NaCl (Natrium Cholrida).
Bahan untuk analisis mikrobiologi terdiri dari PDA (Potato Dextrose Agar), PCA (Plate Count
Agar)aquades.

Alat yang akan digunakan dalam proses pembuatan katsuobushi ini adalah timbangan, pisau,
spatula, baskom, talenan, kompor, dandang, pinset, oven, toples fermentasi, cawan poselin,
timbangan analitik, desikator, tabung reaksi, gelas ukur, botolsprayer, sikat, mesin gerinda, hot
plate, PH meter, autoclave, tabung reaksi beserta rak, cawan petri, drroper, mikropipet,
erlenmeyer, beakerglass, tabung erlenmeyer, autoclave, stomacher,gelas ukur, jarum ose,
incubator, dan mikroskop.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen yaitu melakukan pengeringan ikan
dengan suhupengeringan oven yang berbeda kemudian diaplikasikan pada fillet ikan cakalang
untuk mengetahui karakteristik mutu katsuobushi dengan konsentrasi asap cair 6% lama
perendaman 60 menit. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial yang menggunakan tiga macam perlakuan yaitu Suhu(S) S1= 40-50oC,
S2= 65-75oC, S3= 90-
100oC dengan tiga kali pengulangan untuk masing-masing perlakuan sehingga didapatkan 9
unit percobaan.

Prosedur Penelitian
Menurut Giyatmi (2000), proses pembuatan katsuobushi yang sudah dimodifikasi terdiri dari
penyiangan ikan, pengukusan, pengasapan, pengeringan, dan fermentasi jamur.
1. Tahap penyiangan ikan yaitu kepala danisi perut ikan dibuang, selanjutnya ikan difillet dan
dicuci dengan air yang mengalir lalu ditiriskan. Selanjutnya dilakukan tahap pengukusan.
2. Tahap pengukusan dilakukan di dalam dandang dengan suhu 90-95oC selama 1 jam.
Kemudian ikan dikeluarkan dan ditiriskan selama 15menit. Setelah dingin, duri-duri kecil ikan
yang masih menempel pada daging dibersihkan dengan menggunakan pinset kemudian
dilakukan pengasapan.
3. Tahap pengasapan cair, ikan direndam kedalam larutan asap cair dengan konsentrasi 6% 1
liter air selama 60 menit. Kemudian ikan ditiriskan selama 15 dan disusun diatas rak pengering
oven.
4. Tahap pengeringan dilakukan menggunakanovendengan
suhu40- 50oC,65-75oC dan 90-100oC.
5. Selanjutnya ikan dikikis atau diserut untuk menghilangkan bagian yang hitam agar
permukaan halus, sehingga dihasilkan produk arabushi. Selanjutnya arabushi dimasukan dalam
toples dan ditutup rapat rapat yang masing-masing perlakuan terdiri 3 toples
berdasarkan lama pengeringan. Toples A, B dan C disimpan selama 21 hari pada suhu ±30ºC
untuk dilakukan proses fermentasi dengan menyemprotkan starter Aspergillus oryzae pada
permukaan fillet tersebut, maka diharapkan tumbuh kapang (terutama Aspergillus dan
Penecilium).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai organoleptik
Berdasarkan hasil penilaian organoleptik yang dilakukan 25 orang panelis y ang agak
terlatih, panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap kenampakan, aroma, tekstur, dan
rasa.

Kenampakan
Nilai kenampakan katsuobushi ikan cakalangdapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai kenampakan katsuobushi
Suhu Ulangan Rata- rata
pengeringan 1 2 3
O
40-50 C (S1) 7,48 7,40 7,08 7,32b
65-75OC (S2) 6,76 6,44 6,68 6,63a
90-100OC (S3) 6,84 6,52 6,44 6,60a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat
kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kenampakan pada perlakuan S 1
mempunyai nilai rata-rata tertinggi yaitu 7,32, perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata 6,63,
perlakuan S3 mempunyai nilai rata-rata terendah yaitu 6,60.
Uji BNJ (BedaNyataJujur) menunjukkan bahwa nilai kenampakan perlakuan S1berbeda nyata
terhadap perlakuan S2 dan S3, namun demikian antara perlakuan S2 dan S3 tidak berbeda nyata
pada tingkat kepercayaan 95%.
Hal ini diduga karena tinginya suhu pengeringan dan konsentrasi asap cair yang digunakan
mampu menurunkan kadar dari katsuobushi tersebut sehingga panelis lebih menyukai hasil dari
perlakuan pengeringan 40- 50OC dengan nilai rerata 7,32% dimana nilai tersebut telah
memenuhi standar mutu ikan kayu yaitu minimal 7,3% yang mengacu pada SNI 2691-2017
dengan kriteria warna bagian dalam cokelat kemerahan, bersih mengkilap dan hasil serutan
panjang melingkar.
Warna coklat yang terdapat pada katsuobushi ikan cakalang ini disebabkan kandungan
karbonil dan fenol yang memberikan kontribusi dalam pewarna daging ikan (Girard,
1992).Namun warna merah daging dapat disebabkan oleh kandungan protein yang tinggi
(Sulaiman, 2014).

Aroma
Nilai aroma katsuobushi ikan cakalangdapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai aroma katsuobushi
Suhu pengeringan Ulangan Rata- rata
1 2 3
O
40-50 C (S1) 5,48 3,64 3,56 7,41
65-75OC (S2) 6,20 5,16 5,40 6,75
90-100OC (S3) 3,64 4,60 4,20 7,07
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat
kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata aroma pada perlakuan S1 mempunyai nilai
rata-rata tertinggi yaitu 7,41, perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata terendah 6,75, perlakuan S3
mempunyai nilai rata-rata yaitu 7,07. Adapun spesifikasi aroma produk yaitu spesifik
katsuobushi, tanpa bau tambahan. Hasil analisis variansibahwa pengaruh suhu pengeringan
oven tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai aroma katsuobushi.
Katsuobushi ikan cakalang memiliki spesifikasi nilai rerata aroma tertinggi pada perlakuan
pengeringan 40-50OC yaitu 7,41% dimana nilai tersebut telah memenuhi standar mutu ikan
kayu yaitu minimal 7,3 yang mengacu pada SNI 2691-2017.Hal ini diduga karena dengan
menyemprotkan starter A.oryzae berperan aktif dalam menghasilkan aroma dan cita rasa yang
khas selama fermentasi diduga menjadi salah satu penyebab panelis menyukai aroma dari
katsuobushi ini. .
Sesuai yang dikatakan oleh Girrard (1992), aroma yang terbentuk pada katsuobusi ikan
cakalang sebagian besar dipengaruhi oleh adanya senyawa fenol dan karbonil serta sebagian
kecil juga dipengaruhi oleh asam.

Rasa
Nilairasakatsuobushi ikan cakalangdapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rasa katsuobushi
Suhu Ulangan Rata- rata
pengeringan 1 2 3
O
40-50 C (S1) 7,64 7,96 7,56 7,72c
65-75OC (S2) 7,00 7,16 6,84 7,00b
90-100OC (S3) 6,84 6,84 6,68 6,79a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat
kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata rasa pada perlakuan S1 mempunyai nilai
rata-rata tertinggi yaitu 7,72, perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata 7,00, perlakuan S3
mempunyai nilai rata-rata terendah yaitu 6,79.
Uji BNJ(Beda Nyata Jujur) menunjukkan bahwa nilai rasa perlakuan S1berbeda nyata terhadap
perlakuan S2 dan S3,pada tingkat kepercayaan 95%.
Hal ini diduga karena penguraian kadar protein dan lemak dari reaksi enzimatik, rasa khas pada
katsuobushi sangat dipengaruhi oleh proses fermentasi selain itu juga sangat diperangaruhi oleh
lama dan tingginya konsentrasi asap cair, semakin rendah kadar air daging ikan maka
penyerapan asap yang masuk kedalam daging semakin besar, sehingga menjadikan katsuobushi
memiliki rasa lebih baik. Sehingga panelis lebih menyukai hasil dari perlakuan pengeringan 40-
50OC dengan nilai rerata tertinggi 7,72% dimana nilai tersebut telah memenuhi standar mutu
ikan kayu yaitu minimal 7,3% yang mengacu pada SNI 2691-2017 dengan kriteria rasa yang
sangat enak dan gurih.
Pernyataan ini dikuatkan oleh Martinez et al., (2007), menyatakan bahwa senyawa fenol dan
karbonil berperan untuk memberikan rasa pada ikan asap. Hadiwiyoto (1993), menyatakan
bahwa perubahan cita rasa bahan pangan disebabkan oleh penguraian protein, lemak,
karbohidrat melalui proses kimiawi yang terjadi akibat reaksi enzimatik.

Tekstur
Nilaitekstur katsuobushi ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai tekstur katsuobushi
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang

Suhu Ulangan Rata- rata


pengeringan 1 2 3
40-50OC (S1) 7,60 7,32 7,32 7,41c
65-75OC (S2) 6,80 6,64 6,80 6,75b
90-100OC (S3) 6,44 6,36 6,36 6,39a
sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat
kepercayaan 99%.

Pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata tekstur pada perlakuan S1 mempunyai nilai
rata-rata tertinggi yaitu 7,41, perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata 6,75, perlakuan S3
mempunyai nilai rata-rata terendah yaitu 6,39.
Uji BNJ (Beda Nyata Jujur) menunjukkan bahwa nilai kenampakan perlakuan S1berbeda nyata
terhadap perlakuan S2 dan S3 pada tingkat kepercayaan 95%.
Nilai tersebut telah memenuhi standar mutu ikan kayu yaitu minimal 7,3 yang mengacu pada
SNI 2691-2017 dengan kriteria spesifik keras dan tidak mudah patah.Hal ini diduga karena
karena tingkat kekeringan daging dari masing-masing perlakuan sangat berbeda nyata yang
disebabkan oleh lama waktu pengeringan dan lama pengasapan asap cair menyebabkan
rendahnya kadar air, sehingga produk katsuobushi menjadi keras, mudah patah dan rapuh saat
diserut.
Menurut Enampato (2011),menyatakan perbedaan nilai tekstur untuk setiap perlakuan
berkaitan erat dengan jumlah kadar air pada produk tersebut karena semakin rendah nilai kadar
air pada produk maka tesktur akan semakin keras, semakin padat atau keras seiring
menurunnya kadar air dari tubuh ikan.

Nilai kimia Kadar air


Nilaikadar kimia katsuobushi ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai kadar airkatsuobushi
Suhu Ulangan Rata- rata
pengeringan 1 2 3
O
40-50 C (S1) 11,10 11,72 11,86 11,56b
65-75OC (S2) 10,34 9,35 9,23 9,64a
90-100OC (S3) 11,07 8,29 7,56 8,97a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat
kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Pada Tabel 5, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar air (%) pada perlakuan S1
mempunyai nilai rata-rata tertinggi yaitu 11,56, perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata 9,64,
perlakuan S3 mempunyai nilai rata-rata terendah yaitu 8,97.
Uji BNJ (BedaNyataJujur) menunjukkan bahwa nilai kadar air perlakuan S1berbeda nyata
terhadap perlakuan S2 dan S3, namun demikian antara perlakuan S2 dan S3 tidak berbeda nyata
pada tingkat kepercayaan 95%.
Katsuobushi ikan cakalang yang diproses dengan menggunakan lama pengeringan yang
berbeda menghasilkan nilai rata-rata 8,97- 11,56%. Hal ini membuktikan bahwa produk
katsuobushi ini memenuhi standar mutu ikan kayu <20% berdasakan SNI 01-2691-2017.
Rendahnya kadar air katsuobushi ini diduga disebabkan tingginya suhu pengeringan (±100°C)
dan larutan asap cair (6% selama 60 menit) yang digunakan untuk merendam berkurang.
Sandra (2008), menyatakan bahwa bahan pangan yang kadar airnya rendah maka
mikroorganisme yang dapat tumbuh adalah jamur.Batas kadar air ikan secara umum yang
diperlukan kira - kira 30% atau setidak - tidaknya 40%, supaya perkembangan jasad - jasad
bakteri pembusuk dan jamur dapat terhenti (Moeljanto, 1992)dan menurut Emeliza (2017)
lamanya pengeringan membuat pertumbuhan mikroba semakin turun. Semakin sering
pengeringan yang dilakukan maka tingkat pertumbuhan mikroba semakin rendah.

Kadar abu
Nilaikadar abu katsuobushi ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai kadar abu katsuobushi
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada berhubungan
dengan mineral suatu bahan. Mineral yangterdapat dalam bahan dapat merupakan dua macam
garam, yaitu garam organik dan anorganik. Komponen mineral dalam bahan dapat ditentukan
jumlahnya dengan cara menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal
dengan pengabuan.

pH
Nilai pH katsuobushiikan cakalangdapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai pH katsuobushi
Suhu pengeringan Ulangan Rata- rata
1 2 3
40-50OC (S1) 7,75 7,95 8,03 7,91
65-75OC (S2) 6,38 7,56 7,22 7,05
90-100OC (S3) 7,39 6,32 7,27 6,99

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan
95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.
Pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pHpada perlakuan S1 mempunyai
Suhu Ulangan Rata-
pengeringan 1 2 3 rata
40-50OC (S1) 13,88 12,98 11,51 12,79
O
65-75 C (S2) 11,81 11,56 11,30 11,56
90-100 C (S3) 12,50
O 11,42 10,18 11,37
Pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar abu (%) pada perlakuan S1
mempunyai nilai rata-rata tertinggi yaitu 12,79, perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata 11,56,
perlakuan S3 mempunyai nilai rata-rata terendah yaitu 11,37.Hasil analisis variansimenujukan
bahwapengaruh suhu pengeringan oven tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai aroma
katsuobushi.
Sesuai pernyatan Astawan et al., (2001) bahwa kandungan kadar abu tidak selalu ekuivalen
dengan bahan mineral, karena ada beberapa mineral yang hilang selama pembakaran dan
penguapan.Menurut Sudarmadji et al., (2003), kadar abu nilai rata-rata tertinggi yaitu 7,91,
perlakuan S2 mempunyai nilai rata-rata 7,05, perlakuan S3 mempunyai nilai rata-rata terendah
yaitu 6,99. Hasil analisis variansi menujukan bahwa pengaruh suhu pengeringan oven tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai aroma katsuobushi.
Nilai pH rendah secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk
asap karena pada pH yang rendah mikroba atau bakteri tidak dapat hidup dan berkembang biak
dengan baik Perbedaan nilai pH juga dipengaruhi oleh kadar fenol, semakin tinggi kadar fenol
dari asap cair maka semakin rendah pula nilai pH dari asap tersebut. Menurut Fardiaz (1982),
pH yang baik untuk ikan yang diawetkan pH antara 6,0- 8,0 merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme.Hal ini sesuai pendapat Liviawati dan Afrianto (2010), bahwa
umumnya saat setelah ikan mati pH ikan mendekati netral

Kadar fenol
Nilai kadar fenol katsuobushi ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai kadar fenol katsuobushi
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada

Suhu pengeringanUlangan Rata- rata


1 2 3
O
40-50 C (S1) 2,77 2,83 2,87 2,82c
O
65-75 C (S2) 1,38 1,46 1,48 1,44b
90-100 C (S3) 1,21 1,32
O
1,44 1,32a
tingkat kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Pada Tabel 10, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata fenol (%) pada perlakuan S1 mempunyai
nilai rata-rata yaitu 2,82, umumnya saat setelah ikan mati pH ikan mendekati netral

Kadar fenol
Nilai kadar fenol katsuobushi ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai kadar fenol katsuobushi
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada

Suhu Ulangan Rata- rata


pengeringan 1 2 3
40-50OC (S1) 2,77 2,83 2,87 2,82c
65-75OC (S2) 1,38 1,46 1,48 1,44b
90-100OC (S3) 1,21 1,32 1,44 1,32a
tingkat kepercayaan 95% dan tidak berbeda sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Pada Tabel 10, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata fenol (%) pada perlakuan S1 mempunyai
nilai rata-rata yaitu 2,82,

Pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa jumlah total koloni bakteri katsuobushi ikan cakalang dengan
pengaruh suhu pengeringan oven yang berbeda, nilai tertinggi terlihat pada perlakuan S1 yaitu
7,2 x 102 koloni/gram, diikuti dengan perlakuan S2yaitu 3,8 x 102 koloni/gram dan nilai terendah
pada perlakuan S3yaitu 2,2 x 103 koloni/gram.
Besarnya jumlah angka lempeng total pada produk katsuobushi diduga disebabkan oleh produk
yang terkontaminasi pada saat pengolahan maupun penyimpanan. Nilai angka lempeng total
(ALT) diatas menunjukan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan pengeringan 40-50OC
yaitu 7,2 x 102 koloni/gram, dibandingkan dengan SNI 2691- 2017 menyatakan bahwa batas
toleransi untuk keamanan ikan kayu adalah 1 x 105koloni/gram, sehingga nilai tersebut berada
dibawah nilai batas toleransi. Hal ini diduga karena tingginya konsentrasi asap cair (6%) dan
lama waktu pengeringan menyebabkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Pernyataan ini didukung oleh Hadiwiyoto (1993), yang mengatakan bahwa tiap jenis mikroba
mempunyai toleransi yang berbeda- beda terhadap suhu, semakin tinggi suhu maka akan
semakin sukar mikroba tumbuh dan pada suhu tertentu mikroba akhirnya mati. Menurut
Hadiwiyanto (1993) cepat lambatnya kerusakan hasil perikanan secara mikrobiologis tergantung
pada kecepatan pertumbuhan mikroba yang ada pada produk terutama bakteri pembusuk.

Identifikasi Jamur
Identifikasi jamur dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesar 40x,
kenampakan makroskopis dan mikroskopis kapang yang telah diamati,

Gambar 1. (a) Makroskopis Aspergillus sp

Gambar 2. Mikroskopis Aspergilus sp

Gambardiatas, menunjukan bahwa warna koloni awal pertumbuhan adalah yang hijau dan
warna coklat.Kemudian berubah warna menjadi warna coklat kehitaman atau ada yang menjadi
hitam.Hal ini dipertegas oleh Sudarmadji (1989), koloni biasanya tumbuh dengan cepat,
berwarna putih kuning, kuning kehijauan, coklat, coklat kehitaman atau hitam.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, jenis jamur yang ditemukan pada katsuobushi
ikan cakalang ialah Aspergillus sp yang ditandai dengan ciri-ciri memiliki spora dan batang
tubuh, hijau kebiruan, area kuning sulfur pada permukaannya.Aspergilus sp. adalah salah satu
jenis mikroorganisme yang termasuk jamur, dan termasuk dalam mikroorganisme eukariotik
aspergillus sp. Secara mikroskopis dicirikan sebagai hifa bersepta dan bercabang, konodifora
muncul dari foot cell (miselium yang bengkak dan berdinding tebal) membawa stigmata dan
akan tumbuh konodia yang membentuk rantai berwarna hijau, coklat dan hitam (fardiaz,1992).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh suhu pengeringan
oven berpengaruh sangat nyata terhadap kenampakan, rasa, tekstur, kadar fenol, kadar air dan
nilai TPC namun tidak berpengaruh nyata terhadap aroma, kadar abu dan pH pada katsuobushi
ikan cakalang.
Mutu katsuobushi ikan cakalang terbaik dihasilkan dengan suhu pengeringan oven 40- 50oC
dengan nilai rasa 7,72, aroma 7,41, kenampakan 7,32, tekstur 7,41, kadar air 11,56,
kadar abu 12,79, pH 7,91, fenol 2,82, nilai TPC 7,2 x 102 dan jamur yang tumbuh pada semua
perlakuan adalah jamur Aspergillus sp.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan untuk dalam pembuatan katsuobushi ikan
cakalang menggunakan suhu pengeringan 40-50OC untuk mendapatkan mutu katsuobushi yang
baik. Perlu pengembangan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan lama pengeringan pada
proses pembuatan katsuobushi ikan cakalang.
VOL. 18, TIDAK. 14 JULI 2023 ISSN 1819-6608

Jurnal ARPN Teknik dan Ilmu Terapan


©2006-2023 Jaringan Penerbitan Riset Asia (ARPN). Seluruh hak cipta.

www.arpnjournals.com

PREDIKSI PEPTIDA BIOAKTIF TUNA SKIPJACK (KATSUWONUS


PELAMIS) HIDROLISATMENGGUNAKAN DALAM SILIKON

Putut H. Riyadi1, Eko Susanto1, Tri W. Agustini1, Muhammad H.Arifin1dan Dwi YB


Prasetyo2
1Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah,


Indonesia

2Program Studi Ilmu Perikanan Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto, Fakultas Sains

dan Teknologi, J. l. Sultan Agung,


Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia Email:putut.riyadi@live.undip.ac.id

ABSTRAK
Katsuwonus pelamisatau secara lokal disebut cakalang telah digunakan sebagai makanan selama berabad-abad oleh populasi yang berbeda. Dia merupakan salah
satu sumber protein yang penting bagi kesehatan manusia. Hidrolisat merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan fungsi utama protein
sebagai sumber protein alami. Hidrolisat diketahui memiliki banyak bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan manusia seperti imunodulator,
antikanker, antihipertensi, antioksidan dan antiinflamasi. Kajian kali ini bertujuan untuk menggali potensiKatsuwonus pelamishidrolisat
sebagai agen bioaktivitas potensial. Bank gen dariKatsuwonus pelamisdiperoleh dari NCBI kemudian dianalisis menggunakan BIOPEP.
Perangkat lunak ini dapat memprediksi potensi biopeptida sebagai agen bioaktif. Selain itu, BIOPEP juga mampu memprediksi kontribusi rasa
sensorik berdasarkan peptida dari Katsuwonus pelamis.Toksisitas peptida yang menjanjikan kemudian dianalisis menggunakan ProTox II untuk
menentukan LD50 yang tepat dari setiap peptida potensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioaktivitas yang paling dominan
adalahKatsuwonus pelamisadalah penghambat ACE diikuti oleh penghambat DPP IV. Analisis sensorik menunjukkan bahwa rasa paling
berkontribusi padaKatsuwonus pelamispeptidanya pahit diikuti rasa asam. Peptida potensial tersebut
didominasi oleh tingkat toksisitas kelas V dengan nilai LD50 2000<LD50≤5000mg/kg.Penelitian menunjukkan hal ituKatsuwonus pelamis
hidrolisat terbukti berpotensi menjadi agen bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan
manusia.

Kata kunci:katsuwonus pelamis, hidrolisat, peptida, dalam silico.

Naskah Diterima 28 Februari 2023; Revisi 14 September 2023; Diterbitkan 30 September


2023

Anda mungkin juga menyukai