Anda di halaman 1dari 8

Sang Pemimpi

Kreator: Arif Alfi Syahri

Waktu mengalir semakin deras

Getaran guncangan kian keras

Hidup makin hari makin tak jelas

Senada dengan mimpi yang kian bias

Hampa di raut wajahku terlukis jelas

Tak kunjung selesai merajut benang mimpi yang cuma seutas

Lama waktu berlalu namun rasanya baru sekilas

Oh Tuhan kapan skenario indah-Mu kurasakan lekas

Selalu saja merasa cemas

Bisakah ku gapai masa depan emas

Takut semua mimpiku akan terbang lepas

Membiarkanku sendirian terjun bebas

Wahai diri tetaplah kuat dan beringas

Tantangan hidup akan semakin berat dan ganas

Perjalanan akan semakin panjang dan luas

Raih mimpi dengan tekad tak berbatas


Kepada Yang Menamai Diri Sang Pemimpi
Oleh Rani Oktapiani

Kepada yang terhormat, duhai yang menamai diri sebagai sang pemimpi
Ku harap semilir angin ini dapat membawa kau kembali ke tempat dimana mimpi-
mimpimu dulu kau tumpuk rapi.
Lihatlah kini, mereka begitu mengenaskan sejak kau menghilang entah kemana.
Tiada tersentuh hingga nyaris usang termakan waktu,
tertutup oleh tumpukan keraguan,
dinding-dindingnya telah rapuh termakan keputusasaan,
atapnya bocor sana-ini, penyanggahnya nyaris patah.
Tapi aku tau pasti, mereka masih disitu bertahan dengan harapan yang nyaris pudar

Terkutuklah !
Bagaimana mungkin kau begitu lupa ?

Dimana tekad bulat yang dulu kau gaumkan ?


Kemana dada ponggah yang dulu kau busungkan ?
Dimana hati kau tinggikan ketika itu ?,
Masih lekat di ingatan bagaimana mulut congkakmu berkata besar
"Aku akan menaklukan dunia, lihatlah mimpi-mimpi ini akan kuubah menjadi nyata"
Bahwa kau akan menghiasi setiap penjuru ruang itu dengan harum nama mu

Kembalilah !
Bangun, pertanggung jawabkan mimpi-mimpi yang kau bangun
Mulailah dengan menyapu debu yang telah bertumpuk itu
Hiasilah dinding-dindingnya dengan warna baru
Gantilah tiang penyanggahnya dengan yang lebih kuat

Puisi ini kukirimkan bersama dengan segepok asa baru


Semoga sampai kepadamu agar segera kembali
Bangkit duhai yang menamai diri "Sang Pemimpi"
Puisi 2: Harap di Sepertiga Malam
Pada kelamnya sepertiga malam, kuterbangun dari lelapnya mimpi.
Terlangkah kaki membasuh air suci ke permukaan kulit dingin. Dengan
lentera sebagai penerangan seadanya.

Pada kelamnya sepertiga malam. Kukenakan perhiasan paling indah


menurutku. Perhiasan yang kukenakan saat hendak menemui Sang
Pencipta.

Perhiasan yang menjadi andalanku saat kulantunkan pujian untuk-Nya.

Pada kelamnya sepertiga malam. Kuselanjarkan sajadah sebagai tempat


kumemuji Tuhan yang Kuasa. Kulontarkan niat tanda kuberserah diri
kepada-Nya.

Kutundukkan kepala dalam sujudku memuji keindahan nama-Nya.


Kulantunkan ayat-ayat indah-Nya, sebagai nyanyian merdu di malam sunyi.

Pada kelamnya sepertiga malam. Kuangkat kedua tanganku. Meminta


ampunan akan kekhilafan dan kesalahan yang tiada tara.

Sembari berurai air mata meminta perlindungan dari kejahatan dunia,


mengharap rida dan surga di kehidupan kekal nanti.

Pada kelamnya sepertiga malam. Kulantunkan indah sholawat menjunjung


kekasih Allah. Terpejam mata mengharap syafaat dan pertemuan di akhir
kehidupan nanti.

Pada kelamnya sepertiga malam, kuakhiri pertemuanku kepada Sang


Pencipta dengan 'Lailahailallah' sebagai tanda akan selesai tangisan
malamku.

Dan 'Alhamdulillah' sebagai penutup akan teringatnya diriku akan Allah yang
Maha Besar.

Karya: Khairia Nurlita


Puisi 3: Pertempuran Mimpi dengan Langit
Sinar rembulan indah menghiasi malam ini. Merenungkan hati di tengah
kelip nya bintang Cassiopeia. Terlamun tentang taman Dandelion di pucuk
senja. Tempat di mana ditaruhnya hati insan penakluk mimpi.

Terlelap di keheningan fajar. Sibuk bergelut di galaksi bertajuk Andromeda.


Memperebutkan tahta kemenangan dari surya yang akan menyapa.

Cuitan pipit pertanda mentari menyapa. Tetesan embun yang menyemangati


raga untuk memulai menghilangkan mimpi. Dihilangkan sang mimpi untuk
menciptakan sebuah hal baru, kejayaan namanya.

Terik matahari menyambut istirahatnya sang pejuang. Kembali membawa


diri tersandar di beringin tua, dengan sinar pelik memancar menyilaukan
mata.

Terpikir tentang pertempuran yang masih belum terselesaikan, di mana


merajut cita-cita di atas mimpi yang nyata.

Hingga sampai senja menanti. Sudah berada diri di ujung senja ini.
Membawa mahkota Aphrodite sebagai tanda kemenangan. Dan tongkat
Acacia sebagai keberhasilan dalam perjuangan menciptakan nyatanya
impian dan harapan.

Karya: Khairia Nurlita


Puisi 4: Pemimpi Kecil
Pagi berkabut asap saat pertama membuka mata. Terjaga sepanjang malam
menjadi pemimpi kecil. Hanya mimpi yang dimiliki, Harapan yang
mendominasi, Perjuangan yang tiada henti.

Apa yang kau pikirkan, tentang pemimpi kecil sepertiku?

Gubuk kecil sebagai penopang, tanggapmu. Sebutir dua butir harapan yang
tak akan terjadi benarnya menurutmu. Perjuanganku yang kau anggap sia -
sia. Tawamu mendominasi mencerca mimpiku.

Banyak hal negatif, terputar kenangan buruk tentang begitu banyak duri
yang tertancap.

Akankah tetap bertahan dengan tubuh menggigil di dinginnya musim?

Nama yang selalu ditertawakan. Dengan berani, kuhantam mereka yang


meremehkan.

Bahkan, jika surga pun tak dapat berpihak. Akan kubuat semua menjadi jalan
dan milikku.

Lemparkan lagi!
Batu?
Ranjau?
Duri?
Besi panas sekali pun, tak lagi kutakut jika menghantam wajahku.

Karena keyakinan memantapkan batin, jiwa, raga dan hatiku. Hingga selalu
terputar di kepalaku

"Semua berawal dari mimpi kecil di kota bintang. Cercaan menghantam


menguatkan mimpi menjadi besar. Tak ada mimpi yang nyata tanpa harapan
yang dikobarkan. Dan tak ada harapan yang terwujudkan tanpa doa, ikhtiar
dan tawakal."
Karya: Khairia Nurlita

Anda mungkin juga menyukai