Ada tiga unsur besar yang meniadi komponen dalam yadnya, yakni Sraddha,
Jnana dan karma. Adapun Artinya yaitu Sraddha berarti keyakinan atau kepercayaan,
Jnana berarti ilmu pengetahuan, Karma berarti perbuatan, laksana. Yadnya berarti
korban, persembahan suci.
Secara etimologis, sraddha berasal dari kata sradh yang berarti keyakinan.
Kata sradh juga berarti keikhlasan (selalu merasa bahwa apa yang dilakukan hanya
untuk tuhan), pengharapan (berharap akan adanya keberkahan dari than atas amal
perbuatan yang dilakukan manusia) dan penerimaan (menerima apa adanya). dalam
arti ini, sraddha mengandung mana keyakinan kepada tuhan. Sraddha juga kadangkala
mempunyai makna iman, agama, kerohanian dan lain-lain yang berkaitan dengan
keyakinan tersebut. Jadi Sraddha adalah kesadaran dari keberadaan brahman,
kesadaran atas pengetahuan yang dalam mengenai hakikat kehidupan dan kematian.
Jnana sendiri berarti ilmu pengetahuan. Tujuan ilmu pengetahuan adalah
kebijaksanaan hidup yang memberikan kebebasan dari kegiatan kerja dan kelepasan
dari belenggu kerja.
“Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan;
orang-orang bijaksana telah melihat kebenaran mengajarmu dalam ilmu pengetahuan.”
(Bhagawadgita: IV.34)
“Walaupun seandainya engkau paling berdosa diantara orang yang berdosa, engkau
akan dapat menyeberangi segala kejahatan dengan perahu kebijaksanaan ini saja.”
(Bhagawadgita: IV.35)
“Orang yang kurang dalam harta benda bukanlah orang yang miskin.
Sebaliknya orang yang kaya adalah dia yang memiliki ilmu pengetahuan. Dia yang
kurang dalam ilmu pengetahuan sesungguhnya dalam segala keadaan ia disebut orang
miskin.” (X.1)
Karma merupakan perbuatan yang kita lakukan haris ikhlas dan tulus tanpa
mengharapkan imbalan.
Dalam kitab Bhagavadgita dijelaskan:
“Tugasmu kini hanyalah berbuat dan jangan sekali-kali mengharapkan akan hasilnya;
jangan sekali-kali hasil yang menjadi motifmu ataupun samasekali terikat dengan
tanpa hasil kegiatan.” (Bhagavadgita II.47)
dan Yadnya dalam hal ini merupakan persembahan suci yang dilaksanakan dengan
ikhlas berdasarkan dharma, sesuai ajaran Veda.
“Orang-orang yang baik yang makan sisa persembahan akan terlepas dari segala dosa,
tetapi orang-orang yang jahat yang mempersiapkan makanan hanya bagi dirinya
sendiri sesungguhnya mereka
itu makan dosa.” (Bhagavadgita III.13)
Dengan merenungkan ungkapan Veda tersebut, maka jelaslah manusia
wajib memiliki Sraddha yang kuat, baik kepada Tuhan, maupun kepada diri
sendiri. Sebagai seorang Brahmacari, hendaknya rajin serta berusah keras untuk
memiliki ilmu pengetahuan, terutama mengenai ketuhanan. Selanjutnya, bekerja
dan amalkanlah ilmu itu sebagai yadnya maupun bhakti kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Ajaran dari agama hindu yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menolak
Perkembangan teknologi itu adalah.
a. Konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali
konsep tri semaya dibagi menjadi tiga yaitu penyesuaian dengan masa lampau (athita),
penyesuaian dengan masa yang akan datang (anaghata) dan penyesuaian dengan
masa sekarang (warthamana). Tri semaya merupakan suatu rangkaian waktu yang
tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini
ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan
kehidupan di masa yang akan datang.
b. Tri Pramana mempunyai arti tiga cara umat hindu meyakini adanya Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Dimana cara-cara tersebut adalah Pratyaksa Pramana
(berdasarkan penglihatan langsung), Anumana Pramana (berdasarkan kesimpulan
yang logis) dan Agama Pramana (berdasarkan kesimpulan yang logis). Tri Pramana
diperlukan agar para umat yang beragama hindu yang mengaplikasikan nilai-nilai
agama pada teknologi tetap bisa perca ya dengan adanya Tuhan.
c. Rasa, utsaha, dan lokika (akal). Tri Samaya, Tri Pramana, rasa, utsaha dan lokika
semua itu hal itu harus disesuaikan dengan Desa (penyesuaian dengan tempat), Kala
(penyesuaian dengan waktu) dan Patra (penyesuaian dengan keadaan) daerah
setempat. Karena di Bali mempunyai desa, kala, patra yang berbeda-beda. Maka dari
itulah perkembangan teknologi harus disesuaikan dengan desa, kala, dan patra yang
juga didukung dengan nilai-nilai dari ajaran agama. Perlu ditetapkan masalah aspek-
aspek agama dalam kaitannya dengan teknologi agar masyarakat dapat dituntun dan
dibina guna menjaga kemantapan beragama dan melestarikan kebudayaan.