Anda di halaman 1dari 52

Pemberantasan Tindak Pidana

KORUPSI
Follow/ Subscribe
Kelas A dan D
Pertemuan V - VII

T. Effendi
Te Education Podcast Te Edu
Kualifikasi Tindak Pidana
Korupsi
Perbenturan Gratifikasi (1) Korupsi dengan Kerugian
kepentingan dalam Keuangan Negara
Pengadaan (2)
(1)
Perbuatan Curang
(6)
30 Kualifikasi TIPIKOR
Suap
Pemerasan (12)
(3)

Penggelapan dalam Jabatan


(5)
Kualifikasi Pasal
Kerugian Keuangan Negara 2 dan 3
Suap Menyuap 5 ayat (1) huruf a, huruf b, 5 ayat (2), 6
ayat (1) huruf a, huruf b, 6 ayat (2), 11,
12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d
dan 13,
Penggelapan dalam jabatan 8, 9, 10 huruf a, huruf b, dan huruf c
Pemerasan 12 huruf e, huruf f, dan huruf g
Perbuatan curang 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, 7 ayat (2) dan 12 huruf h
Perbenturan kepentingan dalam 12 huruf i
pengadaan
Gratifikasi 12 b jo 12 c
Korupsi Kerugian Keuangan Negara
Pasal 2 ayat (1)

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit 200.000.000 dan paling banyak 1 miliar;
Makna Memperkaya Diri
Perolehan Kekayaan
Memperkaya adalah
Unsur Perolehan Kekayaan perbuatan menjadikan
bertambahnya kekayaan,
Memperkaya melampaui Sumber menjadikan yang belum
Kekayaan kaya menjadi kaya, atau
Terdapat kelebihan kekayaan orang yang sudah kaya
menjadi lebih kaya
bukan dari sumber kekayaan
secara melawan hukum
Memperkaya diri apakah
perbuatan formil atau
materiil?
“Dapat” Merugikan Keuangan Negara/
Perekonomian Negara
Kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 telah
dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi No.25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari
2017, sehingga setiap perbuatan memperkaya diri
harus mengakibatkan kerugian keuangan Negara/
perekonomian Negara.
Keuangan Negara/ Perekonomian Negara

Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam


bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan
Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, baik di
tingkat pusat maupun daerah, berada dalam penguasaan
BUMN/ BUMD, yang menyertakan modal Negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal dari pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Korupsi Kerugian Keuangan Negara
Pasal 2 ayat (2)

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan.
Makna Keadaan Tertentu menurut
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor 2001
1
Terhadap dana-dana
yang diperuntukkan 2
Terhadap dana-dana yang
bagi
diperuntukkan bagi
3
penanggulangan Terhadap dana-dana
penanggulangan bencana yang diperuntukkkan
keadaan bahaya
alam nasional akibat kerusuhan sosial
yang meluas

Terhadap dana-dana yang


diperuntukkan bagi
Pengulangan tindak 4 penanggulangan crisis ekonomi
pidana korupsi/ moneter
5 residive
Kriteria Keadaan Bahaya
Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya,
Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau
sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya
dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau
keadaan perang, apabila:
1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian
wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak
dapat diatasi oleh alat perlengkapan secara biasa;
2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan
wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan khusus
ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala yang dapat membahayakan
hidup Negara.
Kriteria Bencana Alam Nasional
Menurut Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, penetapan status bencana nasional ditentukan berdasarkan
indikator:
1. Jumlah korban;
2. Kerugian harta benda;
3. Kerusakan sarana dan prasarana;
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bendana; dan
5. Dampak social ekonomi yang ditimbulkan.
Kriteria Kerusuhan Sosial yang Meluas
Kerusuhan social merupakan salah satu bentuk bencana
dalam Pasal 1 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Bencana social adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik social antarkelompok atau antarkomunitas
masyarakat dan teror. Tidak ada ketentuan lanjutan
tentang kriteria meluas atau tidak meluas. Jika ditafsirkan,
makna meluas dapat diartikan secara nasional, sehingga
berlaku ketentuan yang sama dalam Pasal 7 ayat (2) UU
tersebut.
Kriteria Krisis Ekonomi dan Moneter
Menurut Sri Mulyani, terdapat 3 kriteria krisis
moneter, yaitu:
1. Kondisi Moneter;
2. Kontribusi Pajak;
3. Neraca Pembayaran.

Sumber: https://ekbis.sindonews.com/berita/1338362/33/tiga-kriteria-
sebuah-negara-disebut-krisis
Pandemi Covid19 termasuk
keadaan tertentu?
Korupsi Kerugian Keuangan Negara
Pasal 3

Setiap orang yang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Unsur Tindak Pidana dalam Pasal 3
Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana/ prasarana Perbedaan utama dalam
Pasal 2 dan Pasal 3 adalah
Wewenang tersebut melekat karena perbuatan yang dilarang,
kedudukan/ jabatannya Pasal 2 memperkaya diri,
Pasal 3 menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan
Bertujuan untuk menguntungkan diri atau sarana.
Merugikan keuangan/ perekonomian negara
Makna Menyalahgunakan Kewenangan
Memiliki kewenangan tetapi menggunakan
kewenangannya lain dari kewenangan yang ada.

Melakukan perbuatan atau tindakan dengan


menyalahi prosedur untuk mencapai tujuan tertentu

Kewenangan tersebut dipergunakan menyimpang


dari kewajiban hukum dari kewenangan tersebut.
Perbedaan dengan Penyalahgunaan
Kesempatan
Kesempatan diterjemahkan sebagai peluang atau
tersedianya waktu yang cukup dan sebaik-baiknya untuk
melakukan perbuatan tertentu. Perbedaan dengan
penyalahgunaan kewenangan adalah, kesempatan muncul
terkadang bukan karena kehendak dari pelaku, namun dari
keadaan yang mendukung, sedangkan penyalahgunaan
kewenangan, kehendak untuk melakukan perbuatan ada
pada diri pelaku, kewenangan ada pada dirinya, sehingga
keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
sepenuhnya ada pada dirinya, bukan tergantung keadaan di
luar dirinya.
Penyalahgunaan Sarana/ Prasarana

Sarana adalah segala sesuatu yang daapt dipergunakan


untuk mencapai maksud atau tujuan. Sarana dalam
pasal ini ditujukan pada fasilitas yang melekat pada
jabatan atau kedudukan. Sedangkan prasarana adalah
segala sesuatu yang merupakan penunjang utama
terselenggaranya suatu proses, dalam hal ini menunjang
maksud dan tujuan secara tidak langsung. Misal dalam
pasal ini yang dimaksud adalah mobil dinas untuk
sarana dan rumah dinas untuk prasarana.
Wewenang tersebut melekat
dalam jabatan/ kedudukan.
Apakah harus pejabat?
Silahkan simak video pengayaan ini.

https://www.youtube.com/watch?v=5XroblkZaGY
Silahkan simak video pengayaan ini.

https://www.youtube.com/watch?v=0dXS3qTb8J0
Suap
Suap adalah bentuk dengan varian paling banyak dan
paling membingungkan dalam tindak pidana korupsi,
dan merupakan bentuk utama dari korupsi menurut
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC
2003). Terdapat 12 bentuk suap dalam UU Tipikor
1999 jo 2001, yang sederhananya, seharusnya 12
bentuk tersebut adalah berpasang-pasangan, artinya 6
bentuk untuk pemberi suap dan 6 bentuk untuk
penerima suap. Namun, dalam pengaturannya tidak
demikian.
Pemberi Suap Penerima Suap
5 ayat (1) huruf a, Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai 5 ayat (2), Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima
negeri/ penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana yang
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kewajibannya;
5 ayat (1) huruf b, Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
Pasal 13, Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai Pasal 11, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp.
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000 pegawai negeri atau
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
150.000.000. kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungannya dengan jabatannya.
Pasal 12 huruf a, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;
Pasal 12 huruf b, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
Pemberi Suap Penerima Suap
Pasal 6 ayat (1) huruf a, Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim Pasal 6 ayat (2), Bagi hakim/ advokat yang menerima pemberian atau janji
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana yang sama sebagaimana
kepadanya untuk diadili; dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 12 huruf c, Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
Pasal 6 ayat (1) huruf b Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pasal 12 huruf d, Seseorang yang menurut ketentuan undang-undang
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangan ditentukan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
Subjek dan Objek Utama Tindak Pidana Suap
Pegawai Negeri
Dari 12 bentuk tersebut,
perbedaannya terletak pada
dua hal, yaitu subjek
Suap Penyelenggara Negara
penerimanya (Pegawai
Negeri, Penyelenggara
Negara, Hakim dan Advokat)
Hakim dan Advokat serta objeknya yaitu
sesuatu dan hadiah.
Sesuatu dan Hadiah
Pegawai Negeri
Menurut Pasal 1 UU Tipikor, Pegawai Negeri adalah:
1. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU
Kepegawaian;
2. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHPidana;
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara
atau daerah;
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi
yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah;
atau
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau
masyarakat.
Penyelenggara Negara
Menurut Pasal 2 UU 28/ 1999, penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada lembaga tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku;
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggara Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.
Hakim
Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP, hakim adalah pejabat peradilan
Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Sedangkan makna mengadili menurut Pasal 1 butir 9
KUHAP, adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan
menurut cara yang diatur di dalam KUHAP.
Advokat
Menurut penjelasan Pasal 12 huruf d UU Tipikor, yang dimaksud
advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk syarat advokat dapat dilihat dalam UU 18 Tahun 2003
tentang Advokat.
Sesuatu dan Hadiah
Sesuatu adalah segala hal baik benda maupun bukan
benda, yang mempunyai nilai, harga, kegunaan yang
menyenangkan si penerima suap.
Makna “sesuatu” tidak terbatas pada kekayaan, atau
harta atau fasilitas yang lainnya, akan tetapi juga
tentang segala hal yang bersifat menyenangkan bagi si
penerima.
Hadiah adalah segala bentuk pemberian dengan
maksud dan tujuan tertentu.
Penggelapan dalam Jabatan
Di dalam UU Tipikor 2001 penggelapan dalam jabatan tidak lagi
merujuk ketentuan di dalam KUHPidana, akan tetapi langsung
menyebutkan kualifikasi sebagai tindak pidana di dalam UU
Tipikor. Terdapat 5 macam kualifikasi penggelapan dalam
jabatan.
No Bentuk Perbuatan Pasal
1 Menggelapkan/ membiarkan orang lain menggelapkan uang/ Pasal 8
surat berharga
2 Memalsu buku-buku/ daftar-daftar Pasal 9

3 Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat Pasal 10 huruf a


tidak dapat dipakai akta, surat atau daftar
4 Membiarkan orang lain menggelapkan, menghancurkan, Pasal 10 huruf b
merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai akta, surat atau
daftar
5 Membantu orang lain menggelapkan, menghancurkan, Pasal 10 huruf c
merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai akta, surat atau
daftar
Makna Penggelapan dan Menggelapkan
Penggelapan merupakan kualifikasi tindak pidana,
sedangkan perbuatannya adalah memiliki, sedangkan
menggelapkan adalah perbuatan memiliki sebagaimana
diatur di dalam Pasal 372 KUHPidana. Unsur dari perbuatan
menggelapkan adalah:
1. Wujud menggelapkan adalah memiliki yang pada
umumnya membelanjakan kepentingan lain dari
maksud penguasaan atau titipan yang sebenarnya atas
uang/ barang tersebut;
2. Penguasaan atas uang/ barang tersebut bukan pada
orang lain melainkan pada diri si pelaku;
3. Penguasaan tersebut disebabkan karena jabatan yang
dimilikinya;
4. Penguasaan tersebut karena sebab yang sah bukan
karena sebab melawan hukum.
Makna Memalsu
Perbuatan memalsu yang dimaksudkan di dalam
rumusan pasal ini bisa berarti dua hal, yaitu:
1. Mengubah isi di dalam buku atau daftar sehingga
isinya tidak sesuai dengan aslinya;
2. Membuat buku atau daftar secara palsu, atau yang
sama sekali isinya palsu.
Dimana tujuan utama dari memalsu tersebut adalah
untuk kepentingan pemeriksaan administrasi.
Pemerasan
Pemerasan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri/ Penyelenggara
Negara yang diatur dalam UU Tipikor adalah apa yang selama
ini sering kita dengar sebagai Pungutan Liar (PUNGLI).
No Bentuk Perbuatan Pasal
1 Pegawai Negeri/ Penyelenggara Negara Memaksa orang lain Pasal 12 huruf e
memberikan seseuatu, membayar sesuatu yang
menguntungkan dirinya
2 Pegawai Negeri/ Penyelenggara Negara meminta, memotong Pasal 12 huruf f
pembayaran kepada Pegawai Negeri/ Penyelenggara Negara
lain atau kepada kas umum seolah-olah mempunyai hutang
padanya
3 Pegawai Negeri/ Penyelenggara Negara meminta atau Pasal 12 huruf g
menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan hutang
Perbuatan Curang
Perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi berbeda dengan
pengertian perbuatan curang dalam tindak pidana lainnya.
Perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi dikhususkan
kepada 5 subjek, yaitu 1) pemborong, 2) orang yang bertugas
dalam hal pengiriman atau penerimaan barang, 3) ahli
bangunan, 4) penjual bahan bangunan dan 5) Pegawai Negeri.
Terdapat 6 kualifikasi perbuatan curang sebagai tindak pidana
korupsi.
No Bentuk Perbuatan Pasal
1 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan Pasal 7 ayat (1) huruf
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang a
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan Negara dalam
keadaan perang.
2 Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, Pasal 7 ayat (1) huruf
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a b

3 Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI/ Kepolisian RI Pasal 7 ayat (1) huruf
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam c
keadaan perang
4 Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI/ Kepolisian RI Pasal 7 ayat (1) huruf
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaiaman dimaksud dalam huruf c d

5 Bagi orang yang menerima penyerahan barang dan membiarkan perbuatan curang Pasal 7 ayat (2)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c
6 Pegawai Negeri/ Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah Pasal 12 huruf h
menggunakan tanah Negara yang ada di atasnya terdapat hak pakai seolah-olah sesuai
peraturan perundang-undangan
Perbenturan Kepentingan dalam
Pengadaan
Hanya terdapat satu kualifikasi bentuk tindak pidana korupsi
yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan, yaitu diatur di dalam Pasal 12 huruf i yang
menyatakan,
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya”.
Gratifikasi
Gratifikasi pada prinsipnya merupakan perluasan makna
terhadap makna sesuatu yang ada di dalam pasal tentang suap.
Gratifikasi tidak terbatas pada benda dan materi belaka,
gratifikasi dapat berupa voucher, diskon, pinjaman tanpa
bunga, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
gratis dan fasilitas lainnya.
Pasal 12 b ayat (1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap menerima suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang bernilai Rp. 10.000.000 atau lebih pembuktian
gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 pembuktian
gratifikasi dilakukan oleh penuntut umum.
Korupsi di dalam UNCAC 2003
Indonesia meratifikasi UNCAC
berdasarkan UU Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan UNCAC,
2003.
Harmonisasi Perundangan
Indonesia pasca Ratifikasi UNCAC
2003
Di dalam UNCAC 2003 terdapat 5 perbuatan yang termasuk
dalam mandatory offences, dan 7 perbuatan yang termasuk ke
dalam non mandatory offences. Berikut table harmonisasi
peraturan perundangan dengan UNCAC 2003.
N Status Bentuk Perbuatan Ketersediaan
o
1 Suap kepada pejabat public Ada
nasional
2 Suap kepada pejabat public asing Belum diatur
dan pejabat dari organisasi
internasional publik
3 Mandatory offences Penggelapan, penyalahgunaan, Ada
penyimpangan harta oleh pejabat
publik
4 Pencucian hasil kejahatan Ada

5 Menghalangi proses peradilan Ada


No Status Bentuk Perbuatan Ketersediaan
1 Suap yang diterima pejabat public asing Belum diatur
dan pejabat dari organisasi internasional
publik
2 Perdagangan pengaruh Belum diatur

3 Penyalahgunaan kewenangan Ada


4 Non-Mandatory offences Memperkaya secara tidak sah Ada

5 Suap sector swasta Ada tapi bukan tindak pidana


korupsi
6 Penggelapan sector swasta Ada tapi bukan tindak pidana
korupsi
7 Penyembunyian Ada tapi bukan tindak pidana
korupsi
Silahkan simak video pengayaan ini.

https://youtu.be/-UORaC6yC60
Keadilan tidak ada
hubungannya dengan apa
yang terjadi di ruang sidang,
keadilan adalah apa yang
keluar dari ruang sidang

Clarence Darrow
Te Education Podcast Te Edu

Anda mungkin juga menyukai