Anda di halaman 1dari 2

FRIEDRICH ANDREAS SIMANGUNSONG

Mahasiswa Orientasi
RESENSI BUKU

Judul : Selagi Masih Siang

Penulis : Pdt. Dr. S.A.E. Nababan

Penerbit : BPK Gunung Mulia

Tahun Terbit : 2020

Jumlah Hlm. : 469 halaman.

1. Biografi
Soritua Albert Ernst Nababan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sae Nababan
adalah anak ketiga dari sebelas bersaudara. Lahir 24 Mei 1993 di Tarutung merupakan anak
dari pasangan Jonatan Nababan dan Erna Lumbantobing. Sejak kecil, Soritua sering
berpindah-pindah tempat tinggal sebab ayahnya berprofesi sebagai guru. Hidup pada masa
penjajahan dan persiapan kemerdekaan, pola kehidupan yang keras telah mengajarkan beliau
memiliki prinsip sebagai seorang pejuang. Semasa mudanya, beliau sendiri sudah aktif
mengikuti organisasi kepemudaan, baik internal gereja maupun eksternalnya. Sehingga,
beliau sangatlah berfokus dalam prospek pemuda dalam mengutamakan keadilan bagi bangsa
Pribumi (Indonesia).
Dalam benak cita-citanya, Soritua sangatlah mengharapkan menjadi seorang dokter.
Hanya saja, harapan orangtua agar beliau menjadi pendeta harus memutarbalikkan
perjuangannya dalam bidang kegerejaan. Pada tahun 1950, beliau mendaftar sekolah teologi
yang bernama Hoogere Theologishe School (sekarang bernama STFT Jakarta). Sebagai
angkatan pertama sekolah tersebut, Tua mendapat hasil memuaskan setelah menyelesaikan
pendidikannya. Kemudian, ditahbiskan menjadi pendeta di HKBP Pematangsiantar tahun
1956. Dalam jejak pelayanan pertamanya, Soritua aktif melakukan pelayanan-pelayanan bagi
pemuda HKBP, baik di pulau Sumatera maupun Jawa. Lebih dari itu, S.A.E. Nababan aktif
mengikuti pelayanan di Organisasi Gereja Asia maupun Dunia.

2. Sumbangan Teologi
Semasa menghidupi tahbisan sebagai pendeta, Soritua sangat berjuang dalam
menegakkan keadilan bagi kaum lemah dan terpinggirkan. Dengan menapaki jalan
oikumenis, Sae memperoleh suatu teologi selama mengikuti organisasi VEM, LWF hingga
DGI. Sae merumuskan bahwa pentingnya memperjuangkan teologi keseimbangan dalam
FRIEDRICH ANDREAS SIMANGUNSONG
Mahasiswa Orientasi
kehidupan bergereja. Fenomena yang terjadi menurutnya berada pada dua pandangan yang
berbeda, yakni: Pertama, mereka yang unggul akan bertahan hidup dan maju, sedangkan
kedua, menginginkan tidak adanya kesenjangan, melainkan hidup yang “sama rasa, sama
rata”. Meski bagi beliau sendiri kedua hal tersebut adalah seperti utopia (bayangan yang tidak
mungkin diwujudkan), Sae menawarkan tiga pandangan dalam mengelaborasi keduanya.
Pertama, Gereja tidak terlepas dari pangkuan masyarakat. Artinya, kemakmuran suatu
gereja dilihat dari kemakmuran masyarakatnya juga. Dengan begitu, jikalau masyarakat
mengalami kemiskinan, disitulah juga gereja termasuk dalam kemiskinan tersebut. Kedua,
Gereja turut campur tangan atas pengeksploitasian negara kaya terhadap negara miskin.
Sebab, negara kaya bukan hadir dari Allah yang memberikan berkat, melainkan kekayaan
negara miskin masih mengalir kepada negara-negara kaya tersebut. Ketiga, Allah mengasihi
semua manusia setara, tetapi keadilan menciptakan kesenjangan. Kesenjangan di dunia dan
masyarakat tercermin juga dalam kehidupan gereja-gereja. Oleh karena itu, adanya gereja
kaya maupun miskin bukanlah seolah menjadi kehendak Allah, melainkan cerminan atas
situasi masyarakat itu sendiri.
Dengan melihat situasi tersebut, gereja HKBP sebagai organisasi yang oikumenis harus
peka berbenah diri dalam penatalayanan masyarakatnya. Mulai dari pemutasian, manajemen
gereja, kemandirian hingga meningkatkan semangat oikumenisnya. Lebih dari itu, sangatlah
penting mengembangkan teologi bertetangga. Artinya, gereja HKBP tidak hanya menata
urusan internalnya saja. Tetapi juga menata kehidupan eksternal dalam berelasi dengan gereja
lain. Hal tersebut diperkuat demi mengikis kesenjangan antar gereja-gereja di Indonesia, Asia
maupun dunia. Sisi positifnya, HKBP akan semakin mampu diterima oleh gereja-gereja yang
tidak membawa suatu kesukuan dalam gerejanya. Dengan begitu, HKBP yang oikumenis
harus memperjuangkan hak-hak masyarakatnya dan juga umat tertindas secara global. Sebab,
hal tersebut merupakan jati diri HKBP menjadi berkat bagi dunia.

3. Tanggapan
Buku “Selagi Masih Siang”, karya Pdt. S.A.E. Nababan merupakan buku yang sangat
berkualitas untuk dijadikan bahan refleksi bagi para pelayan HKBP. Menurut saya, buku
tersebut memberikan sumbangsih yang sangat realistis dari segala sisi kehidupan para
pendeta. Perjalanan kehidupan setiap pendeta merupakan sisi spiritualitas yang bisa menjadi
teladan dalam hal kepemimpinan dalam gereja. Nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam
perjalanan kehidupan pendeta sebelumnya adalah kontribusi untuk pelayan gereja
selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai