Pdt. Dr Andreas Anangguru Yoewango, pernah menjadi Anggota dewan pengarah badan pembinaan
ideologi Pancasila pertahanan mulai menjabat pada 7 Juni 2017
Iya juga bekerja sebagai Pendeta, Dosen Ketua PGI untuk periode 1994-1999, 2004-2009.
Yewangoe dilahirkan dari suami-istri Lakimbaba dan Kuba Yowi, namun sejak usia 7 bulan, menurut
kebiasaan di daerahnya, ia sudah diasuh oleh orang tua angkatnya, yaitu Pdt. S.M. Yewangoe yang
melayani sebagai seorang pendeta di kampungnya, dan istrinya, Leda Kaka.
Kehidupan Pdt. Yewangoe ini sangat sederhana karena gaji pendeta di desa sangat kecil. Karna itu,
ayah angkatnya juga harus mencari nafkahnya sebagai seorang petani. Sebagai seorang anak tani,
Yewangoe terbiasa hidup menggembalakan kerbau bersama teman-temannya. Hidup di tengah
keluarga pendeta ternyata meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada dirinya. Dalam benaknya
muncul keinginan untuk juga menjadi seorang pendeta. Harapannya ini ternyata cocok dengan
harapan ayah angkatnya, sehingga ia pun didorong untuk mengembangkan karier itu. Karenanya
Yewangoe pun tertarik untul belajar teologi, meskipun saat itu ia sama sekali tidak tahu apa-apa
tentang studi teologi.
Demikianlah Yewangoe menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat
Masehi di Mamboru (1951-1957), yang dilanjutkannya dengan pendidikan menengahnya di sebuah
sekolah Kristen di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Setelah tamat dari SMA
pada 1963, ia pun meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta untuk belajar di Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta).
- Menjadi mahasiswa
Yewangoe berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal hewan. Setibanya di ibu kota, ia sangat
terkejut menyaksikan perbedaan yang sangat besar dengan kampung halamannya.
Studinya di STT Jakarta tidak berjalan mudah, apalagi ia harus belajar bahasa Ibrani, bahasa Yunani,
dan bahasa Inggris. Yewangoe mengaku ia bukanlah seorang mahasiswa yang sangat rajin belajar.
Meskipun dari sekitar 40 orang mahasiswa yang masuk bersamanya ke sekolah itu hanya 8 orang saja
yang lulus, Yewangoe bersyukur karena ia banyak tertolong karena ia sering belajar bersama dengan
teman-temannya di GMKI.
- Mengajar teologi
Pada 1969, Yewangoe menyelesaikan studinya di STT Jakarta, lalu kembali ke Waingapu, Sumba dan
melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Sumba (GKS). Pada 1971, ia dipanggil untuk
menjadi dosen untuk mata kuliah Teologi Sistematika di Akademi Theologia Kupang (kini telah
menjadi Universitas Kristen Artha Wacana) karena pendeta yang seharusnya mengajar di akademi itu
mengundurkan diri.
Setahun kemudian, pada 1972, ia mendapat kepercayaan untuk menjadi rektor di sekolah itu untuk
masa jabatan empat tahun, meskipun saat itu usianya baru 27.
- Studi lanjut
Setelah menyelesaikan satu periode masa jabatannya sebagai rektor, Yewangoe dikirim
ke Belanda untuk memperdalam studi teologinya di Universitas Vrije. Pada 1979 ia berhasil meraih
gelar doktorandus teologi dan kembali lagi Kupang. Sementara itu, Akademi Theologia Kupang telah
dikembangkan menjadi Sekolah Tinggi Teologi, dan Yewangoe pun kembali memperoleh
kepercayaan untuk menjabat sebagai rektornya untuk periode 1980-1984.
Setelah periode jabatannya sebagai rektor selesai, ia kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya
di universitas yang sama. Pada 1987 ia berhasil mempertahankan disertasinya yang
berjudul Theologia Crucis in Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming
Poverty and Multifaceted Religiosity in Asia Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh penerbit BPK
Gunung Mulia dalam bahasa Indonesia.
- Kehidupan Pribadi
Andreas Anangguru Yewangoe menikah dengan Petronella Lejloh, dan mempunyai dua orang anak
yang sudah dewasa: Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru (lahir 1972) dan Anna Theodore
Yewangoe (lahir 1980).
- Jabatan lain
Jabatan-jabatan lain yang pernah dipegang oleh Yewangoe antara lain adalah:
Sesuai dengan judul disertasi program doctor Teologinya, yaitu “Teologia Crucis di Asia” yang
memuat pandangan-pandangan orang Kristen Asia mengenai penderitaan dalam kemiskinan dan
keberagaman di Asia, berbicara tentang persoalan penderitaan dan bagaimana upaya-upaya untuk
mengatasinya. Disertasi Doctor A. A. Yewangoe ini bermaksud menelaah bagaimana orang-orang
Kristen Asia memahami penderitaan dalam suatu situasi yang dicirikan oleh kemiskinan yang
mencolok dan keberagaman yang multi-wajah. Meskipun kemiskinan dan orang miskin dapat
ditemukan di mana-mana di seluruh dunia, bahkan juga di Negara-negara yang disebut “Dunia
Pertama” (Eropa Barat dan Amerika Serikat), realitas kemiskinan di Asia jauh lebih mencolok. Lebih
dari tiga per empat kaum miskin di dunia hidup di Asia. Lebih dari itu, kemiskinan amat erat terjalin
dengan keberagaman dengan masyarakat.
Di samping itu, suatu fakta yang jelas bagi kita, bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang
religius, bukan semata-mata karena kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia:
hinduisme dan Buddhaisme di India, Kong Hu Cu dan Taoisme di Cina, Shinoisme di Jepang,
Yudaisme dan Kekristenan di Asia Barat, Islam di Arab; tetapi juga karena orang-orang di Asia, dalam
usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan. Biasanya mengaitkan kemiskinan itu
dengan keberagamannya. Inti masalah yang dibicarakan dalam disertasi ini adalah, bagaimanakah
orang-orang Kristen Asia memahami penderitaan dalam satu situasi yang dicirikan oleh kemiskinan
yang mencolok dan keberagaman yang Multi wajah?
Masalah yang akan dihadapkan pada disertasi ini ialah bagaimana gereja-gereja di Asia
sekarang ini menghadapi realitas-realitas ini. Apakah gereja memberi perhatian yang cukup pada
kedua realitas ini. Untuk mencari solusi atas realitas itu, maka dilakukan suatu pendekatan terhadap
usaha berteologi. Dr. A. A. Yewangoe mencoba memuat refleksi-refleksi teologis terhadapnya, yakni;
a. Peranan Allah dalam sejarah, khususnya dalam kaitan dengan masalah penderitaan, bagaimana kita
sebagai umat Kristen memahami cara dan campur tangan Allah dalam sejarah kehidupan di Asia. Hal
tersebut sering disebut dengan “Allah yang turut menderita”, Dia yang menegakkan kerajaannya di
tengah-tengah kehidupan yang terjadi di Asia, sebagai “Pemelihara kita”, Pemeliharaan
Allah (Providentia Dei).
b. Penampakan Yesus Kristus sebagai wajah Allah di dalam sejarah. Di mana Yesus yang dulunya hidup
di tengah-tengah kehidupan bangsa Yahudi, yang turut merasakan kehidupan sebagai orang miskin
yakni seorang anak tukang kayu. Oleh karena itu, Allah yang berinkarnasi dalam diri Yesus secara
tidak langsung telah memberi gambaran kepada orang Kristen di Asia, untuk memberikan solusi
terhadap permasalahan yang mereka hadapi.[2]
Pemikiran-pemikiran Dr. A. A. Yewangoe dalam bukunya “Agama dan Kerukunan” berbicara
tentang upaya-upaya untuk memelihara kerukunan hidup umat dari berbagai agama, di tengah
keberagamannya masalah yang mungkin mengancam kesatuan bangsa. Agama bersifat ambigu sebab
dapat sekaligus membebaskan dan memperbudak penganutnya. Dalam sejarahnya agama-agama telah
membuktikan hal itu. Di tengah konteks pluralisme dan kerukunan hidup beragama, sifat
“membebaskanlah” yang mesti diperioritaskan, yang merupakan salah satu upaya agar tercipta
suasana kondusif di antara pemeluk berbagai agama dalam melestarikan kehidupan bersama di bumi
ini. Buku “Agama dan Kerukunan” ini, dilihat dari sudut perspektif Kristen menggali berbagai sifat
positif agama dan ajaran-ajaran luhurnya dalam berinteraksi dengan sesama pemeluk berbagai agama.
Tujuan utamanya adalah membina kebaikan dan kerukunan antar umat beragama, khususnya bagi
bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila
Dalam karya tulis lainnya, Dr. A. A. Yewangoe juga banyak berbicara tentang dogma. Seperti
yang terdapat dalam salah satu tulisannya, yaitu; “Studi Dogmatika dari Masa ke Masa”.[3] Dalam
buku ini dipaparkan secara singkat bagaimana proses studi itu terjadi sejak istilah
“Dogma dan Dogmatika” diperkenalkan dalam gereja. Banyak sekali liku-likunya yang ikut di
tentukan oleh lingkungan pada waktu proses perkembangan studi itu, di mana studi dogmatika itu
mesti berdialog dengan berbagai aliran filsafat yang hidup pada zamanya. Dr. A. A. Yewangoe ingin
menekankan manfaat dan fungsi dari dogmatika sebagai sebuah metode untuk merespon firman Allah
di dalam konteksnya sendiri yang dikenal dengan nama kontekstualisasi.
Di mana ia berpendapat bahwa dogmatika tidak dapat dilepaskan dari dogma. Menurut
Herman Bavinck, istilah dogma berasal dari kata dokein, yang mengacu pada apa yang di tetapkan,
yang diputuskan dan karena itu pasti.[4] Menurutnya, pengertian dogma mengasumsikan bahwa
kekuasaan (kewibawaan) yang menghasilkannya mesti juga mampu untuk mengakui dan
mempertahankannya yang mengajarkan kepada kita bahwa ada senantiasa dua unsur yang terkait satu
sama lain, yaitu kewibawaan Allah dan pengakuan iman gereja. Tugas ahli Dogmatika adalah
menjamin bagaimana kedua unsur ini dikaitkan satu sama lainnya. Harus disadari bahwa dogma yang
diajarkan oleh gereja dan yang diperkembangkan oleh seorang ahli Dogmatika, tidaklah identik
dengan kebenaran ilahi yang mutlak itu.[5] Tapi melalui ajaran dogma ini yang pada akhirnya
membawa kita mengenal dan memahami hal tersebut.
Yang dikemukakan di atas adalah pemakaian istilah Dogmatika sebagaimana lazimnya
dipergunakan di daratan Eropa dengan sebutan “Kontinent”, yang sedikit banyaknya ikut
mempengaruhi pemakaiannya di Indonesia. Dalam tradisi lain, misalnya pendapat John Macquarric
yang menghindari pemakaian istilah Dogmatika melainkan, ia lebih suka dengan istilah “teologi
simbolika” dan “teologi terapan”,[6] yang kalau diambil secara bersama meliputi bidang yang selama
ini mengacu sebagai Teologi Dogmatika.
Aspek lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Dogmatika selalu dilihat sebagai yang
bersifat gerejawi. Dogmatika mesti bisa merefleksikan iman jemaat. Namun itu tidak berarti bahwa
Teologi Dogmatika menolak upaya-upaya penyelidikan, penelitian, pertanyaan-pertanyaan dan
pemikiran kritis maupun konstruktif. Dogmatika justru mendorong kearah itu.
Kalau kita memperhatikan buku-buku Dogmatika yang selama ini ditulis, terlihat bahwa ada
dialog antara iman yang selama ini diwarisi oleh orang-orang Kristen dengan filsafat. Teologi
Dogmatika berusaha menempatkan semua ini (baik warisan Kristen maupun pandangan-pandangan
falsafati) dalam suatu system yang bisa diteliti dan dipelajari.
Tanggapan Teologis
Tuhan kita adalah Allah semua umat bersifat universal. Tuhan yang turut hadir dalam liku-
liku kehidupan kita. Tuhan yang memperhatikan situasi dan kondisi kehidupan seluruh umat
ciptaanya. Secara sederhana kelompok juga ingin mengatakan bahwa di berbagai tempat di muka
bumi ini pasti terdapat yang dinamakan kemiskinan. Suatu situasi kehidupan yang pastinya hadir di
tengah kepelbagaian masyarakat, tingkat social masyarakat. Perbedaan tingkat sosial inilah pada
dasarnya yang menjadi pemicu atau yang melatarbelakangi terjadinya “konflik”.
Sebagai umat Kristen, konflik itu harus kita pahami sebagai karya Tuhan, yang telah terwujud
nyata dalam kehidupan seperti sekarang ini. Semua fenomena kehidupan ini adalah diluar batas akal
dan pikiran. Kita harus menyadari konflik itu sebagai suatu yang bias membuat kita dewasa di dalam
iman, seperti yang tertulis di dalam Flp. 4:7, “Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal
dan pikiran, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus…” Terdapat situasi kehidupan
yang dipenuhi kemiskinan ditengah-tengah kehidupan yang pluralis. Konflik yang disebabkan realita
itu merupakan salah satu jalan dari Tuhan agar umat dapat memahamiNya lebih jauh dan lebih dalam
lagi. Sehingga kita boleh mengambil suatu pandangan bahwa Tuhan adalah Allah semua umat yang
turut hadir dalam suasana kehidupan kita. Sesungguhnyalah demikian: kepercayaan bahwa Allah
memelihara dunia ini dan memerintah atasnya dan bahwa ia juga menuntun hidup umat ciptaannya.
Providentia yang berarti “disediakan”, Tuhan sebagai pemenuh akan segala yang ada dalam hidup
kita. Kepercayaan kepada providential itu tidaklah timbul dari sebab melihat kepada dunia, tetapi dari
sebab melihat kepada Kristus![7] Jika Kristus memasuki dan menguasai hidup kita, maka dengan
sukacita kita berseru: Allah yang tidak menyayangkan Anaknya sendiri, tetapi yang menyerahkannya
bagi kita semua dan yang telah mengaruniakan bagai “korban”, demi tempat kita di kerajaan sorga.
Allah yang turut menderita di mana berarti Allah yang berinkarnasi dalam diri Yesus Kritus,
yang sebenarnya telah berkarya dalam keselamatan umat manusia. Penderitaan Allah melalui Yesus
Kristus telah menyingkirkan segala halangan manusia. Penderitaan ini menjadi sebuah berkah bagi
umat sehingga umat menjadi bagian dari misteri keselamatan ilahi.[8] Kedalaman penderitaan Allah
haruslah menjadi tempat dimana orang-orang di dalam kehidupan yang terjadi di dunia ini yang
dinamakan realita kehidupan, terdapat berbagai agama, ras, suku yang mewakili posisi geografisnya
masing-masing. Dapat saling mengakui sebagai sesama umat “manusia” ciptaan, yang saling
berpengertian dalam satu konsep pemikiran yang membutuhkan kuasa penyelamatan Allah. Seperti
yang terdapat dalam isi Kitab Yunus, di mana Tuhan juga “Perhatian” kepada semua umat, termasuk
umat yang jahat. Di mana dahulunya kota Niniwe adalah kota yang menyembah kepada berhala, dan
segala tindak tanduk mereka tidak sesuai dengan kehendak Allah. Namun, Tuhan masih memberi
kesempatan kepada umat itu untuk bertobat, melalui kedatangan Yunus. Akhirnya mereka juga
berbalik kepada Tuhan dan memperoleh Kuasa keselamatan yang dari pada-Nya. Dalam Perjanjian
Baru, Kitab-kitab injil juga menyampaikan bahwa Yesus datang ke dunia untuk menebus manusia
dari dosa. Yesus yang merupakan inkarnasi Allah rela “melepaskan kedudukannya yang adalah
tinggi” dan merendahkan diri-Nya turun ke dunia hanya untuk masuk ke dalam pengalaman hidup
manusia.
Berbicara mengenai “Ajaran” yang dikemukakan A.A Yewangoe, secara singkat kelompok
ingin mengatakan dengan sederhana bahwa ketika orang memberi makna terhadap Dogmatika, satu
hal yang sangat pasti bahwa Allah tidak dapat dikatakan sebagai objek. Allah adalah sumber segala
sesuatunya, sebagai pusat konsep pemikiran. Bertolak dari sana, kemudian bergerak dan berbicara
mengenai dunia, manusia dan sakramen-sakramennya.
Menurut A. A. Yewangoe, Dogmatika berusaha menempatkan dialog antara iman dan filsafat
(baik warisan Kristen maupun pandangan-pandangan falsafati) dalam suatu system yang bisa diteliti
dan dipelajari. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Dr. G. C. van Niftrik & Dr.
B. J. Boland, dalam buku “Dogmatika Masa Kini”, Dogmatika dalam pemberitaan gereja memberi
kesaksian tentang kebenaran yang dari Allah. Kebenaran itu telah dinyatakan kepada kita di dalam
kedatangan Yesus Kristus. “Injil” adalah kabar baik tentang Yesus Kristus “didogmakan” oleh gereja
dengan berbagai jalan: khotbah di dalam kebaktian, katekisasi, penyebaran tulisan-tulisan, pekerjaan
sosial, seruan kepada pemerintah dan sebagainya. Di dalam segala pekerjaan gereja ini hanya itulah
yang menjadi tujuan, dan hanya itulah yang merupakan hak hidup berdirinya gereja, yakni memberi
kesaksian tentang kebenaran yang dari Allah.
Oleh karena gereja berkhotbah, memberitakan injil, memberikan kesaksian tentang Yesus
Kristus, maka itulah sebabnya diperlukan usaha yang disebut dogmatika. Melakukan dogmatika
adalah berusaha sungguh-sungguh supaya berlangsung pemberitaan yang benar siapa yang berusaha
untuk pemberitaan yang benar, ia berusaha untuk iman yang benar. Jadi, juga untuk kehidupan
Kristen yang benar. Jadi dogmatika bukanlah terdiri dari pandangan-pandangan yang abstrak, yang
teoritis, melainkan adalah usaha yang hangat sekali. Dogmatika itu sungguh ada sangkut pautnya
dengan masa kini. Dogmatika adalah usaha yang ditujukan kepada soal pemberitaan atau khotbah
Gereja. Oleh sebab itu, takkan pernah kita “selesai” melakukan dogmatika.[9] Hingga pada akhirnya
kita sebagai umat Kristen mampu berteologi kontekstual yang diwujudkan melalui dogma. Tidak
hanya pada “kalangan” umat Kristen saja, tetapi kepada semua umat yang tidak hanya berbeda agama
dengan kita tetapi juga melewati batas-batas ras, suku, bangsa dan letak geografi.