DILEMA INTEGRASI
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
DALAM KELANJUTAN ISLAMISASI PSIKOLOGI
Naufil Istikhari
UIN Sunan Kalijaga
naufilist@gmail.com
Abstrak
___________________
Abstract
___________________
Pendahuluan
Pertanyaan “Apa tujuan hidup?” dan “Mengapa kita eksis?”
telah menghantui peradaban modern sejak lama. Namun
dalam kajian psikologi, pertanyaan demikian tidak ada artinya
sejak Wilhelm Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium
eksperimen psikologi pertama pada 1879 di Leipzig, Jerman.
Hingga nyaris satu abad setelahnya, jawaban atas pernyataan
tersebut tak pernah mendapat perhatian serius. Pertanyaan
tersebut dipandang sinis karena dianggap domain filsafat
dan psikologi tidak memiliki kewenangan apa pun untuk
menjawabnya. Padahal, kalau kita mau jujur, Fyodor Dostoevsky,
melalui sosok Mitya, sudah mengatakan bahwa peradaban
modern telah dihantui keraguan besar yang tak terpecahkan
(haunted by a great unsolved doubt).1
Keraguan itu semakin dipertebal oleh maklumat-maklumat
filosofis yang dengan sangar menggusur Tuhan dalam
kehidupan. Nietzsche, misalnya, memekik kredo “Tuhan telah
mati” dan kitalah yang membunuhnya. Sartre lain lagi. Katanya,
jika Tuhan tidak ada, semua yang dilarang menjadi boleh. Bagi
Sartre, Tuhan (baca: kepercayaan akan Tuhan) menjadi biang
ketidakbebasan eksistensi manusia di dunia. Pandangan ini
juga meresap ke dalam psikologi. Sigmund Freud, Sang Bapak
Psikoanalisis, menyebut agama dan kepercayaan kepada Tuhan
tak lebih merupakan simtom infantil yang bersifat ilusif dan
1
“Keraguan besar yang tak terpecahkan” merupakan istilah yang
dipakai Dostoevsky untuk menggambarkan kondisi psikologis tokohnya—
atau secara alegoris, masyarakat Eropa pada umumnya—yang telah jauh
dari kodrat kemanusiaannya karena dampak dari kemajuan teknologi yang
diciptakan sendiri oleh manusia. Masyarakat Eropa teralienasi dari hasil
pekerjaannya karena sistem kapitalisme; teralienasi dari spiritualitas karena
Tuhan telah dibunuh. Keraguan itu sebenarnya muncul setelah pertanyaan
“Apa sebenarnya yang engkau (manusia) inginkan?”. Dalam novel tersebut
disebutkan bahwa uang menjadi kebutuhan utama manusia modern. Namun
statemen itu disangkal bahwa “dia termasuk salah seorang yang tidak ingin
menjadi jutawan, tetapi ingin sebuah jawaban dari pernyataan besar yang ia
gelisahkan (he is of those who don’t want millions, but an answer to their questions)”
lih. Fyodor Dostoevsky, The Brother Karamazov (New York: Barnes and Noble
Classic, 2004), 50.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 303-327
7
Deikman menulis ...the observing of self can be known but not located,
not seen...every consiousness contains a transcendent element that we seldom notice
because that element is the very ground of our experience. The word transcendent
is justified because if subjective consciousness—the observing self—cannot itself be
observed but remains forever apart from the contents of consciusness... Lih. Arthur J
Deikman, The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy (New York: Beacon
Press, 1982), 50.
8
CG. Boeree. Personality Theories (New York: Brooklyn, 1998), 304.
306-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
9
Andrew Shorrock, The Transpersonal in Psychology, Psychotherapy, and
Counselling (New York: Pilgrave Macmillan, 2008), 155.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 307-327
17
Alat pindai otak yang digunakan oleh ahli neurosains adalah MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Temuan empiris yang mendukung terhadap hasil
kerja alat ini terangkum dalam buku Taufiq Pasiak, Tuhan dalam Otak Manusia
(Bandung: Mizan, 2012), 101-130.
18
S. Haque Hizami, Mohammad Zia Ul Haq Katshu, N.A. Uvais, “Sufism
and Mental Health”, Indian J Psychiatry, 55, January 2013, 215-224.
19
Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh, terj.
Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi, 2014), 48.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 311-327
Psychotherapy by Mohammad Shafii”, Iranian Studies. Vol 22, No. 2, 1989, 145-149.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 313-327
23
Lewis R. Worlberg, The Technique of Psychotherapy, 4th edition (New York:
Jason Aronson, 1997), 10.
24
Iin Tri Rahayu, Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer
(Malang: UIN-Malang Press, 2013), 191-192.
25
William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am
(Bandung: Mizan, 2002), 40.
26
Robert Frager, Psikologi Sufi, 11
314-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
28
Hasan Muhammad As-Syarqawi, Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Isla>my, 44.
29
Dua buku itu masing-masing berjudul Al-Qur’a>n wa Ilm al-Nafs (1990)
dan Al-Hadis\ wa Ilm al-Nafs (1995).
30
DSM atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder adalah
buku pedoman yang digunakan psikolog dan psikiater untuk menentukan
tipe gangguan kejiwaan. DSM terus mengalami penyempurnaan hingga yang
terbaru yaitu DSM-VTR. Di Indonesia, DSM diadaptasi menjadi Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) dengan mengacu pada
DSM-III yang dikeluarkan oleh American Psychological Association (APA). Lih.
Aisha Utz, Psychology from Islamic Perspective (Cairo: International Islamic
Publishing House, 2011), 264.
316-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
31
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim
dan Suhadi (Yogyakarta: LKiS, 2002), 80.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 317-327
32
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics
of Imagination (New York: SUNY Press, 1989), 340 (cetak tebal dari penulis).
33
Ibid, 202.
318-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
40
Ada lima aspek religiositas yang dikemukan El-Menouar. Aspek itu
meliputi 1) ajaran dasar keagamaan, 2) kewajiban keagamaan, 3) pengalaman
keagamaan, 4) pengetahuan keagamaan, 5) ortopraksis (kecenderungan
memilih hukum tertentu di dalam praktik keagamaan). Penulis tengah
menyusun Skala Religiositas Muslim (sebanyak 50 aitem) yang dikembangkan
dari teori ini. Lih. Yasemin El-Menouar, “The Five Dimensions of Muslim
Religiosity: Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data, Analyses, Vol.
8, No. 1, 2014, p. 54-65.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 323-327
Kesimpulan
Di tengah kelanjutan proyek islamisasi psikologi—yang
sekarang dalam kondisi “mangkrak”—penting untuk memecahkan
dilema-dilema tersebut agar ambisi besar untuk menjadikan
Psikologi Islam diakui di dunia internasional tidak sepenuhnya
utopis. Dilema yang meliputi a) integrasi tanpa reduksi; b)
pengukuran yang valid atas pengalaman mistik; c) problem
objektivitas dalam psikosufistik; d) psikolog yang menggukan
model sufistik tapi bukan pelaku ajaran tasawuf, serta e) tantangan
universalitas harus dicarikan jalan keluarnya. Jalan keluar yang
paling aman ditempuh adalah dengan mengikuti prosedur yang
dilakukan Reza Arasteh. Hasilnya memang tidak akan berupa
“Psikologi Islam” melainkan “Psikolog yang Muslim” yang dengan
sendirinya akan mencerminkan karakter keislaman tanpa harus
bolak-balik meminta legitimasi agung terhadap Alquran dan hadis.
Integrasi tasawuf ke dalam psikoterapi akan selalu terjebak
pada dilema jika usaha tersebut terus dibayang-bayangi hasrat
kuat untuk melakukan islamisasi psikologi. Apa yang dilakukan
Ibn Sina dan Al-Zahrawi seribu tahun yang lalu tidak pernah
diembel-embeli dengan istilah islamisasi. Dua ilmuwan besar
Muslim itu bekerja atas prinsip kerja ilmiah sembari tidak
melupakan bahwa dirinya adalah Muslim.
326-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
Badri, B. Malik. Dilema Psikolog Muslim. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Bonnin, Fleur Nassery, “The Relevance of Sufism and Psychology”,
dalam http://www.psychology.org.au/Assets/Files/the_
relevance_of_sufism_and_psychology.pdf, t.t. Diakses 2
Desember 2016.
Boeree, CG. Personality Theories. New York: Brooklyn, 1998.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim
dan Suhadi. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics
of Imagination. New York: SUNY Press, 1989.
________________. “Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and
Psychotherapy by Mohammad Shafii”, Iranian Studies. Vol 22,
No. 2, 1989.
________________. Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am.
Bandung: Mizan, 2002.
Deikman, Arthur J. The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy.
New York: Beacon Press, 1982.
Dostoevsky, Fyodor. The Brother Karamazov. New York: Barnes and
Noble Classic, 2004.
El-Menouar, Yasemin. “The Five Dimensions of Muslim Religiosity:
Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data,
Analyses, Vol. 8, No. 1, 2014.
Frager, Robert. Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh, terj.
Hasmiyah Rauf. Jakarta: Serambi, 2014.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, jilid 3. Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Asra>r al-Hikmah fi> Makhlu>qatilla>h.
Iskandariyah: Da>r Mirza, 1994.
Harvat, Arvan, Sufi Cosmology, dalam http://www.bahaistudies.net/
asma/sufi_cosmolosy_and_psychology.pdf. 2009. Diakses 2
Desember 2016.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 327-327