Anda di halaman 1dari 28

300-327 | ’Anil Islam Vol. 9.

Nomor 2, Desember 2016

DILEMA INTEGRASI
TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
DALAM KELANJUTAN ISLAMISASI PSIKOLOGI

THE DILEMMA OF INTEGRATION


BETWEEN SUFISM AND PSYCHOTHERAPY
IN THE CONTINUATION OF ISLAMIZATION
OF PSYCHOLOGY

Naufil Istikhari
UIN Sunan Kalijaga
naufilist@gmail.com

Abstrak
___________________

Ambisi untuk mengintegrasikan konsep dan praktik tasawuf ke dalam


psikoterapi modern tidak bisa dilepaskan dari pengaruh islamisasi
psikologi yang melanda dunia Muslim sejak paruh kedua abad ke-20.
Integrasi tersebut dalam beberapa aspek telah mencapai sukses yang
luar biasa. Namun buah integrasi tersebut cenderung eklektik dan belum
menemukan bentuk yang ajek. Di titik ini dilema itu muncul. Jalan sufi
atau metode tasawuf merupakan jalan yang sepenuhnya berorientasi
spiritual-transendental: mendekatkan diri kepada Allah, sementara
psikoterapi tidak mesti mengarah ke sana. Bahkan jika itu terjadi, ia
harus dilakukan dengan hati yang tulus, sementara dalam psikoterapi
sering ada unsur simulasi dan manipulasi. Pengalaman sufistik seringkali
tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata, dan karena itu, mustahil diukur
menggunakan skala. Tanpa proses asesmen melalui alat ukur, proses
konseling dan terapi tidak mungkin dilakukan. Sufisme bersifat eksklusif.
Tidak semua orang yang paham ajaran tasawuf otomatis menjadi sufi.
Eksklusivitas ini merupakan dilema tersendiri bagi psikoterapi. Studi ini
akan mengurai dilema-dilema tersebut yang terus berlanjut hingga saat
ini, saat islamisasi psikologi gagal meraih ambisi terbesarnya.
___________________

Kata kunci: sufi, psikoterapi, pengalaman mistik, islamisasi psikologi


Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 301-327

Abstract
___________________

An ambitious integration of Sufism concepts and practices into modern


psychotherapy is inseparably under influence from the second half 20th
century trend of the islamization of psychology in the Muslim world. To
some aspects, such integration has been highly successful. However,
such integration deals with an eclectic theoretical dilemma between
sufism and psychotherapy, since the former is regarded as spiritual-
transcendental oriented for getting total submission to God, while the
latter is not invariably ‘spiritual’ because it often involves manipulation
and simulation as psychotherapy procedures. The mystic experience of
Sufism is wordlessly unsaid, and it is almost impossible to be scientifically
measured. In other side, the counseling and therapy need certain
assessments, partly, in strict ways. Since having an ‘exclusive’ character
in its practical dimension, Sufism is dealing with a paradigmatic dilemma
in providing certain procedures for psychotherapy. This study is to
depict such dilemma and its influence on the modern islamization of
psychology.
___________________

Keywords: sufism, psyhoteraphy, mystical experience, islamization of


psyhology.
302-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

Pendahuluan
Pertanyaan “Apa tujuan hidup?” dan “Mengapa kita eksis?”
telah menghantui peradaban modern sejak lama. Namun
dalam kajian psikologi, pertanyaan demikian tidak ada artinya
sejak Wilhelm Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium
eksperimen psikologi pertama pada 1879 di Leipzig, Jerman.
Hingga nyaris satu abad setelahnya, jawaban atas pernyataan
tersebut tak pernah mendapat perhatian serius. Pertanyaan
tersebut dipandang sinis karena dianggap domain filsafat
dan psikologi tidak memiliki kewenangan apa pun untuk
menjawabnya. Padahal, kalau kita mau jujur, Fyodor Dostoevsky,
melalui sosok Mitya, sudah mengatakan bahwa peradaban
modern telah dihantui keraguan besar yang tak terpecahkan
(haunted by a great unsolved doubt).1
Keraguan itu semakin dipertebal oleh maklumat-maklumat
filosofis yang dengan sangar menggusur Tuhan dalam
kehidupan. Nietzsche, misalnya, memekik kredo “Tuhan telah
mati” dan kitalah yang membunuhnya. Sartre lain lagi. Katanya,
jika Tuhan tidak ada, semua yang dilarang menjadi boleh. Bagi
Sartre, Tuhan (baca: kepercayaan akan Tuhan) menjadi biang
ketidakbebasan eksistensi manusia di dunia. Pandangan ini
juga meresap ke dalam psikologi. Sigmund Freud, Sang Bapak
Psikoanalisis, menyebut agama dan kepercayaan kepada Tuhan
tak lebih merupakan simtom infantil yang bersifat ilusif dan

1
“Keraguan besar yang tak terpecahkan” merupakan istilah yang
dipakai Dostoevsky untuk menggambarkan kondisi psikologis tokohnya—
atau secara alegoris, masyarakat Eropa pada umumnya—yang telah jauh
dari kodrat kemanusiaannya karena dampak dari kemajuan teknologi yang
diciptakan sendiri oleh manusia. Masyarakat Eropa teralienasi dari hasil
pekerjaannya karena sistem kapitalisme; teralienasi dari spiritualitas karena
Tuhan telah dibunuh. Keraguan itu sebenarnya muncul setelah pertanyaan
“Apa sebenarnya yang engkau (manusia) inginkan?”. Dalam novel tersebut
disebutkan bahwa uang menjadi kebutuhan utama manusia modern. Namun
statemen itu disangkal bahwa “dia termasuk salah seorang yang tidak ingin
menjadi jutawan, tetapi ingin sebuah jawaban dari pernyataan besar yang ia
gelisahkan (he is of those who don’t want millions, but an answer to their questions)”
lih. Fyodor Dostoevsky, The Brother Karamazov (New York: Barnes and Noble
Classic, 2004), 50.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 303-327

menjadi sumber terbesar gejala neuroris manusia modern.2


Di dunia Muslim, gaung “kematian Tuhan” juga terdengar,
meski resonansinya tidak sekuat di Barat.3 Ini terjadi, kata
Abdurrahman Utsman, karena peradaban Islam dibangun
atas dasar sendi tauhid, dikukuhkan melalui politik kenabian,
dan dirawat dengan baik oleh tradisi sufisme. Kedudukan sufi
dalam Islam berperan sebagai benteng pertahanan dari serangan
brutal orang-orang yang antispiritual. Umat Islam sendiri tidak
bisa mengelak dari kenyataan bahwa fitrah mereka telah terisi
dengan ruh keilahian melalui perjanjian agung di dalam rahim
(wa nafakhtu fi>hi min ru>hy).4
Dengan demikian, hantu keraguan seperti yang melanda
masyarakat Barat menemukan pemecahannya di dalam Islam,
terutama melalui tasawuf. Term tasawuf sendiri dalam Islam
sangat familiar meski pada praktiknya, tasawuf merupakan
gerakan eksklusif—hanya orang-orang tertentu yang dapat
melakoninya. Belakangan, menurut Hasan Muhammad al-
2
Jonathan Lear, “The Illusion of a Future: The Rhetoric of Freud’s Critique
of Religious Belief”, dalam On Freud’s The Future of an Illusion, ed. Mary Kay
O’Neil & Salman Akhtar (London: Karnac Books, 2009), 84.
3
Kredo “death of God”-nya Nietzsche mendapat penafsiran yang bermacam-
macam. Keliru jika kita hanya menganggapnya sebagai maklumat bahwa
“Tuhan telah mati” dan karena itu “tidak ada Tuhan” lagi. Kredo tersebut lebih
merupakan kritik atas metafisika yang menurut Nietzsche telah teracuni oleh
nilai-nilai. Kecurigaan mendasar terhadap kepercayaan penuh pada nilai-nilai
mendapatkan saluran terbaiknya melalui “dekonstrusi” Derrida. Dekonstruksi
Derrida (yang pengaruhnya jelas berasal dari Nietzsche), kita tahu, menjadi
bagian dari perspektif hermeneutika modern yang dipakai Mohamed Arkoun
dalam menganalisis Alquran. Jangan lupa, kata Taylor, bahwa hermenetika
dekonstruktif berasal dari spirit “kematian Tuhan”. Arkoun adalah salah satu
contoh intelektual Muslim yang terpengaruh oleh gaung “kematian Tuhan”
dengan mengoperasikan hermeneutika dekonstruktif terhadap Alquran,
sehingga memungkinkan pemaknaan yang independen terhadap Alquran, tanpa
harus “menghadirkan” Tuhan. Nasr Hamid Abu-Zayd dan Mohamad Shahrour
juga berada di barisan ini. Ulasan lengkapnya lih. Roy Jackson, Nietzche
and Islam (New York: Routledge, 2007), 42-43. Dalam konteks yang lebih faktual,
kita dapat menyebut bahwa kegenitan berpikir mahasiswa dengan mengusung
jargon “Tuhan membusuk” yang pernah dilakukan mahasiswa Ushuluddin UIN
Sunan Ampel Surabaya, misalnya, tak lain adalah bias dari gaung “kematian
Tuhan” yang dimaklumatkan Nietzsche akhir abad ke-20 silam.
4
Abdurrahman Utsman, Al-Insān: al-Ru>h wa al-‘Aql wa al-Nafs (Mekah:
Maktabah al-Tsaqâfah, 1987), 13-14.
304-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

Syarqawi, tasawuf dielaborasi sebagai sumber-sumber orisinal


untuk menegakkan model-model terapi yang berkarakter Islam.5

Dampak Islamisasi Psikologi


Perkawinan silang antara tasawuf dan psikoterapi memasuki
babak baru pada medio abad ke-20, yakni ketika gaung islamisasi
psikologi mulai terdengar di dunia Muslim. Sebagai dampak
dari islamisasi psikologi, mau tidak mau, tasawuf yang lahir
dari tradisi obskurantisme Islam tehadap kehidupan duniawi
terpaksa didapuk dan dirujuk sebagai bagian integral dari model
atau pendekatan terapi.
Arthur J. Deikman, salah seorang pioner psikiater dari
University of California, mengungkapkan secara terang-
terangan bahwa psikologi modern telah lupa cara memahami
apa yang ia sebut “pengamatan diri” (observing self). Hanya
dengan mengetahui cara masuk ke dalam diri untuk melakukan
pengamatan kontemplatif atasnya, tulis Deikman, manusia dapat
mengerti dengan baik kodrat alamiah kedirian (perceive the nature
of the self). Pengamatan tersebut berbeda dari pengamatan dalam
prosedur psikologi modern yang sudah selalu mengarahkan
intensinya pada objek-objek kesadaran (object of awareness),
bukan pada kesadaran itu sendiri (not awareness itself).6
Tidak seperti aspek pengalaman lainnya—berpikir, emosi,
hasrat—pengamatan diri, sebut Deikman, dapat diketahui,
dirasakan, dan dikenali, tetapi tidak benar-benar dapat ditunjuk
tempat di mana ia meletak. Kesadaran semacam ini jarang bisa
5
Istilah psikoterapi Islam (al-‘ila>j al-nafs isla>my) dalam kajian psikologi
Islam sering disepadankan dengan psikoterapi model sufi (al-‘ila>j al-nafs bi al-
sulu>k al-su>fiyyah). Malik Badri, psikolog Muslim dari Sudan misalnya, membuat
konstrak psikologi evaluasi diri dengan istilah tafakkur yang jelas-jelas
meminjam term sufi. Secara umum pendekatan terapeutik dalam psikoterapi
Islam sumbernya, selain Alquran dan hadis, mengacu kepada ajaran-ajaran
dalam tradisi sufisme. Lih. Hasan Muhammad al-Syarqa>wi, Nahw ‘Ilm al-Nafs
al-Isla>my (Iskandariah: Al-Ja>miah al-Iskanda>riyyah, 1984), 35.
6
Arthur J Deikman, The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy (New
York: Beacon Press, 1982), 40. Lihat pula Fleur Nassery Bonnin, “The Relevance
of Sufism and Psychology”, dalam http://www.psychology.org.au/Assets/Files/the_
relevance_of_sufism_and_psychology.pdf. Diakses 2 Desember 2016.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 305-327

dimaklumatkan ke dalam bahasa atau sangat sulit diungkapkan


karena karakternya yang meletak jauh di kerak terdalam
pengalaman.7 Term sufi menyebutnya pengalaman mistis
(mystical experience) dengan pelbagai variannya.
Pengalaman mistis atau bisa juga disebut pengalaman
transenden pertama kali masuk ke dalam kajian psikologi modern
melalui pendekatan mazhab humanistik. Abraham Maslow
menggunakan istilah pengalaman puncak (peak experience)
sebagai titik paling agung dari seluruh usaha manusia dengan
pelbagai varian pengalamannya yang hierarkis berdasarkan
prinsip-prinsip kebutuhan yang disusun sendiri oleh Maslow.
Menurut Maslow, kebutuhan manusia bersifat hierarkis dan
memiliki model psikogram persis piramida, semakin ke puncak
semakin sedikit yang bisa meraihnya. Dimulai dari kebutuhan
fisiologis, rasa aman, penghargaan atau cinta, dan puncaknya
adalah aktualisasi diri (self actualization).8 Di luar yang dikenal
tersebut, Maslow memasukkan secara diam-diam apa yang
ia sebut “kebutuhan akan ada” (being need), kebutuhan akan
transendensi (need of transcendent), yang oleh para penafsirnya,
secara telak disebut kebutuhan akan spiritualitas. Singkatnya,
pengalaman ketuhanan. Hanya Maslow tak menyebutnya
demikian karena ia dikenal ateis sampai akhir hayatnya.
Orang yang sampai pada titik ajek aktualisasi diri (Maslow
menyebut diri yang teraktualisasi secara penuh) akan menonjol
sisi being need-nya. Kecuali dengan menerima secara positif
seluruh pengalaman dengan cara mengonversi kebencian,
kecemasan, kekecewaan dan emosi-emosi negatif lainnya ke
dalam perasaan yang dipenuhi oleh cinta, persepsi positif,
penghargaan tanpa syarat, dan optimisme yang kuat, mazhab

7
Deikman menulis ...the observing of self can be known but not located,
not seen...every consiousness contains a transcendent element that we seldom notice
because that element is the very ground of our experience. The word transcendent
is justified because if subjective consciousness—the observing self—cannot itself be
observed but remains forever apart from the contents of consciusness... Lih. Arthur J
Deikman, The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy (New York: Beacon
Press, 1982), 50.
8
CG. Boeree. Personality Theories (New York: Brooklyn, 1998), 304.
306-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

humanistik tak memiliki cara yang khas untuk membawa


perspektifnya ke dalam ranah psikoterapi secara holistik. Model-
model terapi humanistik sejauh ini lebih banyak merupakan
pengembangan yang lebih manusiawi dari model-model terapi
sebelumnya (mazhab psikoanlisis dan behaviorisme).
Baru pada mazhab transpersonal, mazhab keempat dalam
psikologi, terapi spiritual mendapat kedudukannya yang
terhormat, meskipun tokoh besar dalam aliran ini, Viktor Frankl,
selalu menghindari kata spiritual dengan mendisposisikannya
menjadi noetic.9 Di sinilah titik balik paling mendebarkan dalam
sejarah psikologi modern yang tentu saja disambut dengan
sukacita oleh psikolog-psikolog Muslim yang sudah lama
merasakan kejanggalan dan kekeliruan tak termaafkan dalam
memandang dan memahami teka-teki besar manusia.
Gelombang islamisasi sains merambat dengan cepat di
seluruh dunia Muslim, dan tak pelak juga menyapu psikologi.
Islamisasi psikologi, dalam pelbagai variannya, berambisi kuat
menghadirkan, salah satunya, pendekatan sufistik sebagai
model terapi yang bisa diterima dan diaplikasikan secara luas,
tidak hanya di dunia Muslim, tetapi juga di dunia non-Muslim
sekalipun. Gelombang tersebut akhirnya berhenti—atau paling
tidak melambat—di suatu titik saat islamisasi psikologi, sama
seperti islamisasi sains secara umum, kerepotan menyusun
epistemologi yang sahih dan bisa diterima secara universal
tanpa menceburkan diri ke kubangan metodologis yang telah
dibakukan oleh psikolog-psikolog Barat. Pembahasan lebih
lanjut soal ini akan dikemukakan kemudian.

Psikografi Manusia dalam Tasawuf


Salah satu poin kritik yang dilancarkan psikolog Muslim
terhadap teori-teori psikologi Barat kontemporer adalah
ketidakpercayaannya akan posisi ruh dalam diri manusia.
Ruh tidak diakui sebagai komponen penting dalam psikografi

9
Andrew Shorrock, The Transpersonal in Psychology, Psychotherapy, and
Counselling (New York: Pilgrave Macmillan, 2008), 155.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 307-327

manusia.10 Psikologi Barat berhenti di jiwa dan tak pernah


masuk ke dimensi yang lebih transendental lagi, yakni ruh.
Sementara dalam Islam, ruh dipahami sebagai elan vital yang
mengikat seluruh organisme serta jiwa yang ada di dalamnya
dengan operasi yang tak kasat mata. Ruh berkorespondensi
langsung dengan qalb, fu’a>d, lub, kabd dan sejenisnya, yang oleh
Al-Ghazali disebut sebagai organisme yang tersembunyi (al-a’d}
a>’ al-ba>t}inah)11 pada diri manusia. Melalui organisme ini manusia
dapat menerima limpahan cahaya ilahi, bahkan dalam derajat
tertentu dapat mengenal Allah (ma’rifa>tullah). Untuk memahami
psikografi manusia dalam konsep tasawuf, menurut Arvan
Harvat, kita perlu memami terlebih dahulu sistem kosmologi
sufi yang berjenjang sebanyak enam tingkat.12
Tingkat pertama (yang terendah) disebut alam Na>sut
(physical world). Di alam Na>sut ini organisme secara psikologis
bekerja (‘a>lam al-ajsa>m)—persepsi, indra, kesadaran, emosi, dlsb.
Yang kedua terdiri dari alam Malaku>t (subtle world), yakni tingkat
pertama dari alam metafisik di luar jangkauan organisme, tetapi
masih bisa dirasakan secara metapsikis. Alam ini oleh Henry
Corbin disebut “dunia imajinal” (world of imagination/‘a>lam al-
mitsa>l). Kemudian naik ke tingkat selanjutnya, yaitu alam Jabaru>t
(causal world), sebuah lapisan kosmos yang dihuni oleh ruh yang
sudah terangkat dari jasad. Alam ini disebut juga dengan ‘a>lam
al-arwa>h/the world of spirits. Dalam tradisi filsafat, alam ini sering
disejajarkan dengan dunia arketipal yang menampung Idea-nya
Plato. Yang keempat mencakup alam Tanazzula>t, alam metafisik
antara: yang lebih rendah di bawahnya dan alam yang lebih
tinggi di atasnya. Dalam teori emanasi, di dunia ini meletak
nous yang bergerak ke bawah (alam manusia) atau ke atas (alam
Yang Misteri, Yang Tak-Terjelaskan). Yang kelima adalah alam
La>hu>t (the “world” of God-ness), diderivasi dari kata Lah atau Al-
10
Muhammad Utsman Najati, Al-Qur’a>n wa al-Ilm al-Nafs (Kairo: Dâr
Syurûq, 1990), 5-8.
11
Abu Hamid Al-Ghazali, Asra>r al-Hikmah fî Makhlu>qatilla>h (Iskandariyah:
Da>r Mirza, 1994), 56.
12
Arvan Harvat, Sufi Cosmology, 2009, 2-5, dalam http://www.bahaistudies.
net/asma/sufi_cosmolosy_and_psychology.pdf. Diakses 2 Desember 2016.
308-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

Lah. Dimensi ini “diidentifikasi” sebagai “tempat” manifestasi


Tuhan (the manifest Absolute), yang dalam peristiwa mi’raj, Nabi
mengalami “perjumpaan” dengan Allah. Yang terakhir (dimensi
yang tertinggi) adalah alam Ha>hu>t, “alam” yang tak bisa didekati
dengan ruang dan waktu, alam yang penuh keentahan yang
paling entah (The Unmanifest Absolute). Okultisme Barat menyebut
the world of “He-ness”, atau dalam term tasawuf diistilahkan huwa
la huwa atau hiya la hiya—ke-Dia-an yang tidak seperti Dia, yang
hanya diketahui oleh Dia sendiri.13
Menurut Burckhardt14 dan Harvat15, enam tingkat kosmologi
sufi tersebut memiliki dimensi yang sejajar dengan psikografi
manusia dalam terminologi sufi. Keenam psikografi ini lebih
dikenal dengan sebutan lat}a>if. Tingkat pertama adalah nafs yang
berkorespondensi langsung dengan dunia fisik (Na>su>t), diikuti
qalb—hal ini berarti qalb al-ba>t}in seperti konsep Al-Ghazali—
yang memiliki akses ke alam di atasnya (Malaku>t), lalu ruh yang
memiliki keterkaitan dengan alam Jabaru>t, tempat berpulangnya
ruh setelah kematian manusia. Sementara tiga fakultas lat}a>if
yang menempati tangga tertinggi adalah sirr, khafi dan akhfa.16
Secara berurutan ketiga fakultas tersebut memiliki garis sumbu
yang sejajar dengan alam Tanazzula>t, La>hu>t dan Ha>hu>t. Psikografi
yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel berikut:

Lathâif Sufi Cosmology General Cosmology


Akhf Ha>hu>t The Unmanifest Absolute
Kha>fi La>hu>t The Manifest Absolute
Sirr Tanazzula>t Higher Self
Ru>h Jabaru>t/Arwa>h Causal/Noetic
Qalb Malaku>t/Mitsa>l Subtle/Imaginal
Nafs Na>su>t/Ajsa>m Lower Sublte/Mundane Physical
13
Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine (Indiana: World Wisdom,
2008), 14-15.
14
Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine, 20-24.
15
Arvan Harvat, Sufi Cosmology, 6-8.
16
Istilah ini oleh Harvat diambil dari istilah yang dipakai oleh Tarekat
Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Bahauddin al-Naqsyabandi (1318-1389).
Istilah tersebut sebenarnya sejajar dengan fu’a>d, lubb, dan lat}i>fah-nya Al-Gazali.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 309-327

Psikologi Barat hanya berhenti di tangga terbawah dari


psikografi sufi, terutama untuk dua mazhab pertama. Mazhab
ketiga mulai masuk ke dimensi metakognisi atau b-need
yang dalam pandangan penulis setara dengan qalb dalam
Islam, walaupun dalam beberapa aspek memiliki corak dan
ciri khas masing-masing. Pengakuan akan kedudukan ruh
baru muncul dalam mazhab transpersonal. Frankl menyebut
noetic sebagai dimensi tertinggi manusia yang berhubungan
dengan pemenuhan makna hidup (meaning of life). Kebutuhan
akan kebermaknaan (need of meaningfullness) dalam psikologi
transpersonal melampaui pemenuhan prinsip kenikmatan
(psikoanalisis), stimulus-respon fisiologis (behaviorisme)
maupun penghargaan dari orang lain (humanistik). Makna
sering datang dan muncul dari hal-hal yang tidak terpahami
secara fisiologis, karena itu Frank menggunakan istilah noetic
(untuk menghindari kata spiritual) sebagai dimensi terdalam
dari struktur kepribadian manusia yang dalam mazhab
sebelumnya tidak diakui. Tiga tangga pertama psikografi sufi,
melalui mazhab transpersonal, mendapat legitimasi ilmiahnya
di Barat, yang tentu saja jika diartikan secara ketat, spektrum
dimensionalnya tetap mengandung perbedaan.

Landasan Neurobiologi Pengalaman Mistik


Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan
bahwa pengalaman mistik—sama seperti pengalaman emosi
lainnya—memiliki landasan biopsikologi yang reliabel untuk
diukur. Penelitian terbaru dilakukan oleh Nizamie, Katshu, dan
Uvais dalam Sufism and Mental Health (2013). Penelitian tersebut
melaporkan bahwa pengalaman mistik dapat dijelaskan dengan
pendekatan neurobiologi, bahwa ketika seorang memasuki
kondisi trans (suprasadar) salah satu bagian otak yang bernama
lobus temporal (temporal lobe) dan korteks prefrontal (prefrontal
cortex) menunjukkan meningkatnya aktivitas neurotransmiter
berupa gelombang elektromagnetik yang jika dipindai melalui
310-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

alat pindai otak memiliki gradasi warna yang lebih mencolok.17


Neurotransmiter dopamin dan serotonin diasosiasikan dengan
religiositas dan pengalaman spiritual. Dopamin dan serotonin
merupakan neurotransmiter yang mengantarkan gelombang
elektromagnetik melalui sel-sel saraf yang ada di otak. Bahkan,
neurotransmiter ini memengaruhi dan berhubungan secara
resiprokal dengan tingkat religiositas seseorang. Nizamie,
Katshu, dan Uvais, menyebutkan: “The level of religiosity and the
positive emotional aspects of religious and spiritual experiencs may be
modulated by dopamine.”18
Landasan neurobiologi tersebut pada dasarnya sama
dengan penderita gangguan psikosis semacam halusinasi.
Kedua kasus tersebut (halusinasi dan pengalaman mistik)
sama-sama melibatkan dopamin yang bergerak aktif. Makanya
literatur psikologi Barat cenderung menarik kesimpulan dengan
menyamakan begitu saja pengalaman mistik dengan gangguan
kejiwaan pada umumnya. Penyamaan ini jelas keliru. Halusinasi
berbeda dari kondisi trans dalam pengalaman sufistik. Halusinasi
ditandai dengan disorganisasi diri yang tak terkendali, tiba-tiba,
dan tak bertujuan, sedangkan kondisi trans dalam pengalaman
sufistik didorong oleh rindu (‘isyq), cinta (hubb), dan hasrat
untuk meniadakan diri dan ingin merasakan kehadiran Tuhan
(fana’ billa>h).19
Pada abad ke-11, Ibn Sina (981-1037) telah memberikan
penjelasan mengenai landasan psikofisik terhadap pengalaman
pasien-pasiennya yang mengalami gangguan neurosis berupa love
sickness (a>lam al-‘isyq) yang dalam psikologi modern—terutama
dalam psikoanalis Freud—sama dengan gangguan neurosis
akibat represi libido yang terlampau kuat. Ibn Sina dengan tegas

17
Alat pindai otak yang digunakan oleh ahli neurosains adalah MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Temuan empiris yang mendukung terhadap hasil
kerja alat ini terangkum dalam buku Taufiq Pasiak, Tuhan dalam Otak Manusia
(Bandung: Mizan, 2012), 101-130.
18
S. Haque Hizami, Mohammad Zia Ul Haq Katshu, N.A. Uvais, “Sufism
and Mental Health”, Indian J Psychiatry, 55, January 2013, 215-224.
19
Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh, terj.
Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi, 2014), 48.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 311-327

membedakan antara ‘a>lam al-isyq yang disebabkan oleh represi


sosiopolitik dan ‘isyq min Allah yang biasa dirasakan oleh kaum
sufi pada masanya. Gejala keduanya sekilas tampak sama, tetapi
jika diteliti dengan seksama akan tampak perbedaannya. Al-
Zahrawi (936-1013) dari Cordoba, yang di Barat dikenal dengan
Albucasis, bahkan telah menghasilkan temuan-temuan penting
mengenai hubungan perilaku dengan saraf-saraf yang ada di
otak.20
Temuan-temuan mutakhir dalam kajian neurosains tersebut
ternyata mendukung penuh ke arah integrasi, tidak saja dalam
bidang tasawuf dan psikoterapi, tetapi juga mencakup konsep
spiritualitas secara umum. Namun demikian, di saat yang
sama, temuan ini akhirnya juga problematis terutama ketika
dihadapkan pada makna autentik tasawuf dan spiritualitas yang
bercorak esoteris, dengan demikian, metaempiris, daripada
dimensi kontemporernya yang telah terfragmen ke dalam logika
empirisme, dengan demikian, menjadi eksoteris. Problem ini
akan dibahas secara bergantian pada subbab berikut.

Dilema Integrasi Pasca-Badri


Pada 1979, Malik B. Badri, psikolog Sudan, menerbitkan buku
The Dilemma of Muslim Psychologist. Dalam buku tipis tersebut,
Badri berhasil memantik perdebatan panjang dengan melakukan
kritik keras terhadap otoritas teori psikologi Barat yang, dalam
pandangan Badri, memunculkan dilema bagi psikolog yang
notabene Muslim, namun secara akademik terus-terusan
dicekoki teori psikologi Barat dan nyaris tidak bisa keluar dari
jebakan teori tersebut yang bernapas sekular dan materialistik.
Dilema itu muncul karena Muslim sesungguhnya antisekular
dan tidak tunduk secara bulat kepada asas materialisme. Muslim
mengakui aspek immaterial di dalam kehidupan.21
20
Wael MY Mohamed, “History of Neuroscience: Arab and Muslim
Contributions to Modern Neuroscience”, Journal of Neuroscience, Desember
2012, 12-13.
21
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sepuluh tahun
kemudian. Lih. Dilema Psikolog Muslim (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), 10-30.
312-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

Di dunia internasional, Badri memberi andil besar dalam


meriuhkan wacana islamisasi psikologi. Yang menjadi titik
dilematis bagi Badri adalah kecenderungan psikolog Muslim
pada masanya yang tanpa reserve menerima begitu saja teori-
teori Barat tanpa melakukan peninjauan ulang menggunakan
perspektif Islam. Dilema itu—sejauh mengikuti proyeksi Badri—
saat ini sudah boleh dikatakan teratasi. Psikolog Muslim sudah
banyak yang melakukan integrasi konsep-konsep Islam (sufistik)
ke dalam model-model psikoterapi yang berasal dari Barat.
Namun bagi penulis, persis ketika dilema tersebut dianggap
selesai, sesungguhnya psikolog Muslim tengah memulai dilema
baru yang tak kalah serius dari yang sekadar dipikirkan oleh
Badri. Yang pertama berkaitan dengan persoalan mungkinkah
integrasi tanpa reduksi?; dan yang kedua, bagaimana proses
asesmen sufistik dilakukan?; dan bisakah ia menjadi universal?

Integrasi tanpa Reduksi, Mungkinkah?


Spiritualitas—termasuk di dalamnya ajaran-ajaran
tasawuf—ternyata memiliki dampak positif terhadap strategi
mengatasi stres (coping stress). Tegangan yang diakibatkan oleh
stres dapat direduksi dengan metode dan praktik tertentu yang
berasal ajaran pokok tradisi sufi, seperti menerima dengan
lapang (s}abr), pasrah (tawakkal), bersyukur (syukr), berpikir
positif (husn al-z\an) dan mengharap belas kasih Tuhan (raja>’).
Hubungan antara tasawuf dan psikoterapi, telah dibahas secara
mendalam oleh Mohammad Shafii dalam Freedom from the Self:
Sufism, Meditation, and Psychotherapy. Menurut William C. Chittick
yang melakukan review atas buku tersebut, Shafii dengan penuh
optimisme berupaya melakukan integrasi ajaran-ajaran tasawuf
ke dalam teori psikoterapi modern dengan cara yang lebih
aplikatif. Konsep z\ikr, misalnya, oleh Syafi’i dielaborasi sebagai
sejenis terapi kelompok untuk mencapai pengalaman emosional
yang stabil dan ajek (to achieve an intensive emotional experience).22

William C. Chittick, “Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and


22

Psychotherapy by Mohammad Shafii”, Iranian Studies. Vol 22, No. 2, 1989, 145-149.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 313-327

Integrasi antara tasawuf dan psikoterapi sangat mungkin


dilakukan jika memperhatikan kesejajaran konseptual dari
keduanya baik dari segi definisi maupun prosedurnya. Lewis R.
Worlberg (1997)23, mendefinisikan psikoterapi sebagai perawatan
dengan menggunakan prosedur psikologi terhadap masalah-
masalah kejiwaan. Pada proses perawatan tersebut, seorang
ahli dengan sengaja menciptakan hubungan profesional dengan
pasien untuk menghilangkan, mengubah, dan mendorong
pasien ke dalam bentuk suasana emosi yang lebih positif. Iin Tri
Rahayu (2009)24, mengartikannya sebagai bentuk pengobatan
alam pikiran atau pengobatan dan perawatan gangguan psikis
melalui metode psikologi. Istilah ini mencakup berbagai teknik
yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi
gangguan emosionalnya dengan cara memodifikasi perilaku,
pikiran, dan emosinya sehingga individu tersebut mampu
mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya.
James P. Chaplin, menurut Rahayu, bahkan memasukkan
dimensi agama di dalam psikoterapi, dengan asumsi kuat bahwa
keyakinan keagamaan dapat menyembuhkan.
Definisi psikoterapi di atas secara terminologis memiliki
kesejajaran dimensional dengan pengertian tasawuf. Menurut
William C. Chittick, tasawuf merupakan ajaran esoterisme
Islam yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan spiritual
melalui pengamalan total terhadap nilai-nilai esensial dalam
Islam. Tasawuf, dengan kata lain, adalah metode untuk
mencapai tingkat ihsa>n, dimensi spiritual yang paling autentik
dalam Islam.25 Bahkan dalam pandangan Robert Frager, dalam
pengertiannya yang universal, tasawuf mencakup dimensi
mistik dari seluruh agama.26
Tasawuf dan psikoterapi sekilas tampak mudah

23
Lewis R. Worlberg, The Technique of Psychotherapy, 4th edition (New York:
Jason Aronson, 1997), 10.
24
Iin Tri Rahayu, Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer
(Malang: UIN-Malang Press, 2013), 191-192.
25
William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am
(Bandung: Mizan, 2002), 40.
26
Robert Frager, Psikologi Sufi, 11
314-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

diintegrasikan karena memiliki kesamaan prinsip, antara lain 1)


bertujuan mengubah pikiran dan perilaku menjadi lebih positif,
2) melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan, 3) memiliki
pemandu yang bertanggung jawab terhadap proses tersebut
(mursyid/syaikh/darwish dalam praktik sufi dan psikoterapis atau
konselor dalam psikologi), 4) dilakukan secara autentik atau
kerelaan bersama (kongruen dalam istilah Carl Rogers). Namun
secara esensial dalam kesejajaran tersebut sesungguhnya
menyimpan beberapa perbedaan, yaitu 1) pikiran dan perilaku
yang hendak diubah dalam tasawuf diorientasikan penuh pada
pendekatan diri kepada Allah, sedangkan dalam psikoterapi
modern hanya sekadar modifikasi dari abnormal menjadi
normal kembali. Jadi, dalam tasawuf, prosesnya berlangsung
dua kali, pertama mengubah pikiran atau perilaku dari abnormal
menjadi normal, lalu disusul dengan penggiringan terhadap
pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Alla>h); 2) tahapan-
tahapan terapeutik dalam psikoterapi modern dilakukan melalui
serangkaian simulasi berdasarkan teori yang dipakai baik dalam
setting individual maupun kelompok, sementara dalam proses
sufistik, tahapan-tahapan yang harus dilalui memerlukan usaha
total melalui prosedur yang tidak gampang dilakukan dan
umumnya bersifat soliter; 3) sosok pembimbing dalam tradisi
sufi adalah sosok mursyid/syaikh/darwish yang telah mencapai
tingkat tertinggi dalam hal spiritualitas serta telah mengantongi
kualifikasi zuhud dan wara’, sedangkan dalam proses psikoterapi
yang terpenting adalah mengusai teknik-teknik terapi dan
mengantongi surat izin praktik terapi; 4) autentisitas dalam
tasawuf bersifat konsisten dan ajek, sementara dalam psikoterapi
modern dibatasi oleh relasi terapeutik yang biasanya singkat (brief
therapy) berdasarkan sesi-sesi yang telah disepakati bersama.27
Corak psikoterapi Barat yang tergambar di atas, tuduh Hasan
Muhammad As-Syarqawi, tidak sanggup menyelam ke ceruk
hakiki kejiwaan manusia. Atas alasan itu pula, As-Syarqawi
(dan banyak psikolog Muslim lainnya), berupaya membangun
epistemologi baru terhadap psikoterapi yang secara ambisius
27
Lewis R. Worlberg, The Technique of Psychotherapy, 50.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 315-327

mereka sebut “psikoterapi Islam” (al-ila>j al-nafs al-Isla>my).28


Semua psikolog Muslim yang berada di jajaran itu sepakat
untuk menggali Alquran dan hadis sebagai sumber acuan dalam
menegakkan terapi Islam. Terdapat prakonsepsi yang diamini
secara kolektif dan prakonsepsi tersebut mendahului prosedur
pembuktian ilmiah bahwa Alquran secara inheren mengandung
unsur penyembuh. Ayat ke-28 surat Al-Isra’ menyebutkan: “Dan
Kami turunkan dari Alquran sesuatu (yang dapat menjadi) penyembuh
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (percaya dan yakin)
dan Alquran itu tidak menambah kepada orang yang berbuat aniaya
melainkan kerugian” (QS. Al-Isra’ [17]: 82). Di lain ayat, tepatnya
di surat Yunus, disebutkan: “Wahai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh untuk
penyakit yang ada di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman (percaya dan yakin)” (QS. Yunus [10]: 57).
Muhammad Utsman Najati menulis dua buku khusus
yang secara detail membahas ayat-ayat psikoterapis dalam
Alquran serta hadis-hadis yang berkaitan dengan pengobatan
atau penyembuhan ala Nabi (al-t}ibb an-naba>wy).29 Beberapa
pendekatan tersebut telah berhasil dilakukan, misalnya, oleh
Aisha Utz di Arab Saudi dengan menggunakan metode ruqyah
terhadap gangguan kesurupan. Kesurupan (possession by jinn)
dalam psikologi Barat disamakan secara arbitrer dengan delusi,
waham, dan skizofrenia. Padahal kesurupan berbeda dari
kategori sakit mental seperti yang tertera di dalam DSM semua
edisi.30 Ini menunjukkan bahwa terdapat dimensi kejiwaan
manusia yang luput dari sentuhan psikologi Barat, dan Islam

28
Hasan Muhammad As-Syarqawi, Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Isla>my, 44.
29
Dua buku itu masing-masing berjudul Al-Qur’a>n wa Ilm al-Nafs (1990)
dan Al-Hadis\ wa Ilm al-Nafs (1995).
30
DSM atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder adalah
buku pedoman yang digunakan psikolog dan psikiater untuk menentukan
tipe gangguan kejiwaan. DSM terus mengalami penyempurnaan hingga yang
terbaru yaitu DSM-VTR. Di Indonesia, DSM diadaptasi menjadi Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) dengan mengacu pada
DSM-III yang dikeluarkan oleh American Psychological Association (APA). Lih.
Aisha Utz, Psychology from Islamic Perspective (Cairo: International Islamic
Publishing House, 2011), 264.
316-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

memiliki peranti yang cukup yang memecahkannya. Hanya


saja, jika ditelaah ulang, keberhasilan tersebut baru sampai
pada tataran “perspektif”, belum mampu menjangkau “teori”
yang dapat digunakan secara universal. Aisha Utz sendiri
menggunakan istilah Islamic perspective ketimbang Islamic
theory, sebab ia sadar bahwa islamisasi psikologi belum mampu
menjadi gerakan tersendiri yang dapat menandingi kebesaran
empat mazhab dalam psikologi modern. Aisha Utz hanya
menawarkan perspektif Islam dalam psikologi, yang dalam
kasus-kasus tertentu menunjukkan tanda-tanda keberhasilan,
namun masih problematis di sisi lain dikarenakan metodenya
tetap mengadopsi dari Barat. Karena itu, untuk sampai pada
tahap teoretisasi yang melahirkan konsep baku psikoterapi
dibutuhkan kriteria validitas dan reliabilitas tinggi. Mungkinkah,
misalnya, ajaran tasawuf ataupun praktik sufistik dibakukan
menjadi sebuah teori demi ambisi besar mewujudkan psikologi
Islam? Mungkin saja, tetapi itu berbahaya.
Henry Corbin (2002)31 menyebut pengalaman mistik sufi
berada di dunia imajinal (‘a>lam al-mis\a>l/Malaku>t) yang bergerak
di wilayah sadar dan suprasadar. Dinamika kepribadian sufi
merupakan konsistensi kesadaran akan Yang Ilahi melalui hati
(qalb) dan ruh dan cenderung menihilkan rasio. Dunia imajinal
dalam kosmologi sufi sering tak dapat digambarkan ketimbang
sebaliknya. Bahkan pendekatan syariah pun tidak mampu
menangkap dunia imajinal ini. Ini akan menyulitkan usaha-
usaha rasional-empiris (yang menjadi ciri khas psikologi Barat)
dalam mendekati pengalaman sufistik. Sementara psikoanalisis
Barat meyakini kepribadian terbentuk dari dinamika internal
yang penuh konflik antara alam sadar dan bawah sadar, yang
dalam cara-cara tertentu dapat didedah melalui percobaan-
percobaan empiris.
Pengalaman sufistik bersifat khas dan unik. William C.
Chittick, menulis:

31
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim
dan Suhadi (Yogyakarta: LKiS, 2002), 80.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 317-327

God in Himself in unknowable to any “others”, since He is


absolutely nondelimited and undefined. No finite thing can
perceive the Infinite. When God makes Himself known to
others through His self-disclosure, He limits and restricts
Himself, or else they could not know Him. His making
Himself known to them corresponds to His bestowal of
existence upon them. The self-disclosure through knowledge
is the same as the self-disclosure through existence. Through
His constricting Himself, He “ties Himself in a knot” and
fits Himself into the beliefs of the creatures. God’s “self-
transmutation” takes place within “beliefs”, since beliefs
are another name for the individual delimitations which
constitute the creature. “Belief” is the creature’s cognitive
perception of the self-disclosure. Each person’s belief is
unique, since it defines his unique selfhood.32

Keunikan yang sangat subjektif dalam sistem keyakinan sufi,


yang tentu saja berimplikasi pada pengalaman mistik yang juga
memiliki keunikan tersendiri, mustahil dapat diukur dengan
pendekatan skala psikologis. Jika pun itu mungkin, tingkat
validitas dan reliabilitasnya patut diragukan. Arthur Deikman,
seperti ditulis di muka, telah mengemukakan pengalaman sufi
yang seringkali sulit diungkapkan lewat kata-kata. Bahkan,
sosok sufi besar asal Maroko, pendiri Tarekat Syadziliyyah, Abu
al-Hasan As-Syadzili (1196-1258), melarang dengan tegas segala
bentuk pemberian informasi terkait pengalaman sufistik yang
dirasakan murid-muridnya. Pengalaman sufistik—yang dalam
pola tertentu termanifestasi dalam syat}aha>t—tidak akan bisa
dijelaskan dan tidak akan dapat tertampung oleh bahasa pada
umumnya. Ketika dijelaskan dengan bahasa biasa, ia mudah
sekali mendatangkan kesalahpahaman.33 Itulah mengapa
pengukuran terhadap pengalaman sufistik sulit sekali dilakukan
secara objektif.
El-Menouar dalam The Five Dimensions of Muslim Religiosity:

32
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics
of Imagination (New York: SUNY Press, 1989), 340 (cetak tebal dari penulis).
33
Ibid, 202.
318-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

Results of an Empirical Study, memasukkan pengalaman


keagamaan (religious experience) sebagai salah satu aspek yang
dapat diukur, tetapi hanya terbatas pada perasaan akan dekat
dengan Allah, merasa “diperhatikan” dengan adanya konsep
pahala, merasa “diabaikan” dengan adanya konsep siksa, serta
perasaan tertentu yang timbul karena berkomunikasi (berdoa)
dengan/kepada Allah.34 El-Menouar juga pesimistis hal itu dapat
berhasil untuk mengungkap pengalaman sufistik yang biasanya
jauh lebih dalam dari sekadar pengalaman keagamaan biasa.
Jika itu dipaksakan, dan katakanlah berhasil dilakukan,
maka nilai esoteris dalam tasawuf akan bercampur dengan
nilai eksoteris. Konsep-konsep seperti ikhla>s, s}abr, tawakkal, rid}
a>, qana>’ah dan lain sebagainya., akan tereduksi kedudukannya
dengan teknik-teknik manipulatif yang terkontrol dan tidak
lagi berjalan apa adanya. Pada gilirannya, derajat kesakralan
pengalaman mistik jatuh seketika menjadi profan, dan dengan
demikian, terjadi reduksi besar-besaran terhadap ajaran tasawuf.
Singkatnya, integrasi tasawuf ke dalam psikoterapi dalam artinya
yang positivistik, tidak mungkin dilakukan tanpa bebas dari
jebakan reduksi. Dan itu pada akhirnya akan membuat tasawuf
tidak lagi eksklusif, melainkan bergeser menjadi semacam
“jualan” yang patuh di bawah kode etik psikologi. Jika tidak
mau disebut berbahaya, sekurang-kurangnya reduksi semacam
ini akan mengebiri pelan-pelan esoterisme Islam.
Kendatipun demikian, kesulitan tersebut mungkin dapat
diturunkan tensinya apabila yang dimaksud dengan integrasi
tasawuf ke dalam psikoterapi hanya sebatas menggunakan
metode-metode permukaan dalam tradisi tasawuf. Tetapi
langkah ini pun tidak mudah. Sebab relasi terapeutik antara
terapis-klien berbeda dengan relasi sufi-murid, sekalipun relasi
yang dimaksud di sini adalah dalam konteks praktik psikoterapi.
Seorang psikoterapis, sejauh ia paham metode dan teknik terapi
dengan baik, ia boleh melakukan usaha modifikasi perilaku
34
Yasemin El-Menouar, “The Five Dimensions of Muslim Religiosity:
Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data, Analyses, Vol. 8, No. 1,
2014, 54-65.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 319-327

terhadap kliennya. Berbeda halnya dengan praktik sufi, seorang


tidak sah melakukan intervensi apa pun jika derajatnya hanya
sebatas tahu, sebab yang dibutuhkan dari sekadar tahu adalah
adanya laku: pengalaman langsung. Robert Frager, misalnya,
sukses melakukan terapi model-model sufi di Amerika
disebabkan kedudukan pribadinya sebagai seorang anggota
tarekat yang mengamalkan praktik-praktik sufistik tertentu yang
secara kebetulan latar belakang akademiknya adalah psikologi.
Salah satu terapi sufi yang dipraktikkan Frager adalah khalwat.
Frager memberi instruksi yang jelas:
...matikan telepon dan televisi. Singkirkan buku-buku,
majalah, ataupun gangguan lainnya. Tutuplah tirai jendela
sehingga Anda tidak dapat melihat keluar. Tutuplah juga
cermin sehingga Anda tidak terganggu oleh bayangan Anda.
Kurunglah diri Anda di dalam kamar. Bayangkan bahwa
tenaga dan kesadaran Anda tetap termuat dan terpusat
di dalam tempat Anda berkhalwat. Ucapkanlah sebuah
doa, dan secara formal nyatakanlah niat spiritual Anda
untuk berkhalwat. Pada akhir waktu, bebaskan diri Anda
dengan berdoa bahwa niat Anda telah terwujud dan Anda
telah mampu membawa berkah khalwat tersebut ke dalam
kehidupan keseharian Anda... Mandilah setiap pagi, dan
berdoalah, semoga Tuhan membantu Anda membersihkan
diri secara batiniah dan lahiriah. Makanlah secara sederhana
atau berpuasalah dari subuh hingga magrib. Anda dapat
mencoba khalwat sedikitnya selama dua puluh empat jam,
namun paling tidak selama tiga hari adalah lebih baik...35

Kutipan panjang tersebut sengaja ditampilkan untuk


menghadirkan gambaran mengenai integrasi konsep tasawuf ke
dalam psikoterapi. Frager menawarkan khalwat sebagai model
terapi yang aplikatif dengan dibumbui doa-doa tertentu. Namun
khalwat sendiri tidak benar-benar khas sufi. Istilah khalwat sejajar
dengan meditasi, yoga, dan dalam taraf tertentu, relaksasi. Yang
jadi pembeda terletak pada doa-doa yang diucapkan. Khalwat
tak lain adalah nama Islam—atau lebih tepatnya, nama Arab—
35
Frager, Psikologi Sufi, 269-270.
320-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

dari meditasi, yoga dan relaksasi. Lalu apa yang benar-benar


khas dan bisa disebut secara bulat-bulat sebagai psikoterapi
sufi? Hampir semua psikolog Muslim garda depan semisal
Malik Badri (Sudan) dan Muhammad Utsman Najati (Mesir)
menawarkan kosep tazkiyyah al-nafs dari Al-Ghazali.
Al-Ghazali memberikan perincian metodologis tentang
tazkiyyah al-nafs dalam Ihya>’ Ulu>m al-Di>n jilid tiga.36 Langkah
pertama untuk melakukan riya>d}ah al-nafs dengan memperbaiki
akhlak, baik itu akhlak kepada sesama maupun akhlak kepada
Allah. Sebelum memperbaiki dan menyucikan akhlak, seseorang
harus mampu mengidentifikasi kualitas akhlak dirinya. Kualitas
akhlak paling primer berkaitan dengan akhlak kepada Allah.
Akhlak kepada Allah ditandai dengan bebasnya jiwa dari
penyakit-penyakit hati (al-amra>dh al-qalb). Untuk mengetahui
penyakit dalam hati memerlukan tahapan-tahapan lain yang
lebih rigid lagi. Singkatnya, tazkiyyah al-nafs dalam jalan sufistik
Al-Ghazali tidak bisa dilakukan dengan cara-cara singkat
dan arbitrer sebagaimana yang sering terjadi dalam proses
psikoterapi. Apalagi, konsep ini berhubungan secara simetris
dengan dimensi ruhani yang dalam kosmologi sufi tersambung
langsung ke alam Malaku>t dan Jabaru>t.
Dalam prosedur ketat itu, kendatipun psikolog Muslim,
tidak akan mampu mendorong klien melakukan tazkiyyah al-
nafs selama dirinya sendiri belum sampai pada kualitas tersebut.
Inilah dilema serius yang jarang terpikirkan oleh psikolog
Muslim ketika mereka secara ambisius ingin memasukkan
ajaran tasawuf ke dalam psikoterapi modern. Dilema terus
berlanjut ketika berhadapan dengan benteng objektivitas yang
mengelilingi bangunan teoretis psikologi Barat. Tazkiyyah al-
nafs, misalnya, tidak mungkin terjadi di ruang-ruang konseling,
laboratorium dan klinik-klinik psikologi tanpa usaha reduktif
yang tentu saja keluar dari konsep asli tasawufnya. Jadi, jika
integrasi itu mungkin dilakukan pasti melalui serangkaian
reduksi terhadap konsepnya yang asli.
36
Abu Hamid Muhammad Al-Gazali, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, jilid 3 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971), 62-72.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 321-327

Problem Objektivitas dalam Psikosufistik


Psikologi Barat patuh pada logika objektivitas. Guna
mencapai tingkat objektivitas tinggi, penelitian psikologi harus
menggunakan prosedur pengumpulan data yang akurat dan
tepercaya, salah satunya melalui skala pengukuran psikologi.37
Sementara itu, tasawuf beroperasi di wilayah subjektivitas.
Objektivitas yang ketat dalam psikologi Barat memang sering
mendapat kritik dari psikolog Muslim karena asas tersebut
mudah sekali menjerembabkan praktik sufistik ke dalam jurang
pseudosains. Namun tuduhan tersebut tidak sepenuhnya
benar. Teori psikologi agama kontemporer sudah mengakui
secara sah spiritualitas seseorang berdasarkan pengalamannya
“berinteraksi” dengan Tuhan. Artinya, spiritualitas yang
selama ini dianggap sakral, subjektif dan tak tersentuh, melalui
pengamatan terhadap kualitas eksternal yang berupa perilaku
tertentu, akhirnya dapat didekati secara objektif.38
Produk objektivikasi tersebut dapat dilihat dari alat ukur
yang telah terstandardisasi dalam psikologi. Sebagai contoh,
skala religiositas dari teorinya Rodney Stark dan Charles Y. Glock
atau skala orientasi religius dari teorinya Gordon Allport benar-
benar dipercaya dapat mengungkap tingkat dan orientasi religius
seseorang. Skala religiositas dapat diberikan kepada semua
responden yang beragama, apa pun agamanya. Pengalaman
keagamaan (religious experience) yang secara empiris sudah
dapat diukur menggunakan skala religiositas, juga membawa
dampak pada mungkinnya menerapkan pengukuran psikologis
terhadap pengalaman sufistik dengan satu penekanan pada
aspek-aspek yang dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku.
Skala religiositas yang sering dipakai selama ini mengacu secara
hampir permanen pada teoretisasi yang dicetuskan oleh Stark
dan Glock dengan mengelaborasi paling tidak lima dimensi.39 El-
37
Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013), 1-2.
38
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan
Prinsip-prinsip Psikologi (Jakarta: RajaGrafindo, 2012), 9, 11.
39
Rodney Stark dan Charles Y. Glock, American Piety: The Nature of
Religious Commitment (USA: California University Press, 1970), 34-100.
322-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

Menouar (2014), memodifikasi temuan Stark dan Glock dengan


cara melakukan penyesuaian terhadap dinamika keagamaan
Muslim. Itu dikarenakan skala religiositas yang dibuat Stark dan
Glock lebih cocok digunakan untuk umat Kristiani dan kurang
tepat jika diterapkan kepada umat Islam.40
Pengukuran (measurement) merupakan asas ilmiah dalam
psikologi Barat yang menjadi prasyarat lolos tidaknya sebuah
variabel untuk menjadi konstrak psikologi. Pengalaman mistik dapat
menjadi garapan psikologi agama apabila dapat direpresentasikan
oleh indikator perilaku yang diturunkan dari dimensi yang
secara definitif menunjukkan ciri-ciri khusus pengalaman mistik.
Pengukuran diperlukan sebagai alat bantu diagnosis sebelum
intervensi terapeutik diberikan. Tingkat akurasi hasil pengukuran
sangat membantu tugas psikoterapis untuk menentukan prognosis
klien dalam menghadapi masalah yang dihadapinya. Sementara
kalau, katakanlah, permasalahan klien adalah ekstasi spiritual yang
tidak mampu ia tanggung, bagaimana cara menegakkan diagnosis
tanpa pengukuran yang akurat? Bagaimana pula melakukan
pengukuran jika subjek yang diukur benar-benar merupakan
pelaku tasawuf (sa>lik) yang dalam ajaran sejumlah besar tarekat
tidak diperbolehkan untuk menceritakan dan menyatakan secara
terang-terangan? Di sini pengukuran menjadi bungkam, dan
objektivitas tidak dapat ditegakkan. Kabut subjektivitas secara
persisten menyelimuti proses diagnosis sehingga akan menghambat
ditegakkannya prognosis dan pada gilirannya sulit menentukan
intervensi terapi yang tepat.
Koteksnya akan berbeda jika yang menangani adalah seorang
guru sufi. Melalui mata batin (bas}i>rah), syaikh/mursyid/darwish
dapat mengetahui kondisi kejiwaan sang murid tanpa prosedur

40
Ada lima aspek religiositas yang dikemukan El-Menouar. Aspek itu
meliputi 1) ajaran dasar keagamaan, 2) kewajiban keagamaan, 3) pengalaman
keagamaan, 4) pengetahuan keagamaan, 5) ortopraksis (kecenderungan
memilih hukum tertentu di dalam praktik keagamaan). Penulis tengah
menyusun Skala Religiositas Muslim (sebanyak 50 aitem) yang dikembangkan
dari teori ini. Lih. Yasemin El-Menouar, “The Five Dimensions of Muslim
Religiosity: Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data, Analyses, Vol.
8, No. 1, 2014, p. 54-65.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 323-327

pemeriksaan psikologis serta dapat menentukan metode yang


tepat untuk mengatasinya. Makanya dalam praktik sufistik,
masing-masing murid diberikan amalan khusus yang kadang-
kadang berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi kejiwaan
dan interval kematangan spiritualnya. Singkatnya, psikolog
tidak akan sanggup mendekati persoalan-persoalan kejiwaan
yang dihadapi kaum sufi tanpa terlebih dahulu menjadi sufi,
atau sekurang-kurangnya, memiliki guru sufi. Dalam kasus
ini, untuk konteks sekarang, sosok Robert Frager tidak dapat
diabaikan. Ia psikolog sekaligus pelaku tarekat.
Terlepas dari problem objektivitas, dalam anggapan
sebagian besar psikolog Muslim, Islam sebenarnya bisa masuk
sebagai perspektif alternatif bagi konsep relasi terapeutik
dalam psikologi modern. Misalnya dalam regulasi etis selama
proses konseling atau terapi. Abdolbaghy Rezaeitalarposthi
dan Abdolhady Rezaeitalarposhti (2013), menyatakan bahwa
konseling Islam (Islamic counselling) dapat ditegakkan dengan cara
mengacu kepada etika dan nilai-nilai pokok di dalam Alquran.
Relasi konselor dengan konseli atau terapis dengan klien perlu
diikat dengan nilai-nilai yang diturunkan dari Alquran dan
hadis. Usaha semacam ini merupakan tipikal psikolog Muslim
yang terbuai dengan isu islamisasi, bahwa seolah-olah kriteria
hubungan dalam proses konseling atau terapi dari Barat harus
“diislamkan” dulu agar sesuai dengan kepribadian Muslim.41
Bahkan yang agak ganjil, proses terapi yang ditawarkan
Abdurrahman Al-‘Isawy dalam Al-Islâm wa al-‘Ila>j al-Nafsy,
misalnya, harus patuh kepada hukum-hukum fikih. Sebagai
contoh, klien perempuan tidak boleh ditangani oleh terapis laki-
laki tanpa didampingi penuh oleh suami.42 Aturan ini, selain
meregresi spirit ilmiah, cenderung menihilkan profesionalitas
dalam relasi terapeutik. Mayoritas psikolog Muslim selalu
41
Abdolbaghy Rezaeitalarposthi dan Abdolhady Rezaeitalarposhti,
“Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Quran to Contemporary
Psychologists”, International Research Journal of Applied and Basic Sciences, Vol. 6,
No. 11, 2013, 1591-1594.
42
Abdurrahman Al-‘Isawy, Al-Isla>m wa al-‘Ila>j al-Nafsy (Iskandariyah: Dar
al-Fikr, 1987), 110.
324-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

bertolak dari Alquran dan hadis sebagai langkah awal. Pertama-


pertama mereka melakukan pemetaan terhadap konsep-kosep
kejiwaan di dalam Alquran dan hadis, yang dalam banyak kasus
bertendensi similarisasi dan paralelisasi dengan konsep yang
telah mapan dalam psikologi Barat.43 Baru setelah itu melakukan
uji coba dengan berpatok penuh pada Alquran dan hadis.
Padahal, spirit ini lebih sering membatasi daripada sebaliknya.
Dengan berasumsi bahwa Alquran absolut dan mengandung
kebenaran untuk menjelaskan segala persoalan, termasuk
kejiwaan, maka eksplorasi lebih jauh tidak mungkin dilakukan
karena itu akan berdampak pada temuan-temuan ganjil yang
mungkin akan bertentangan dengan Alquran.
Sebagian psikolog lainnya menerapkan apa yang oleh
Bastaman disebut “muslimisasi psikolog”, yaitu kajian psikologi
yang berangkat dari penelitian empiris kemudian diteoretisasi
melalui istilah-istilah yang banyak dipakai oleh kaum sufi. Di
sini penulis akan menyebut Reza Arasteh (1927-1992) sebagai
pioner.44 Arasteh merupakan psikolog kenamaan dari Iran
yang pada 1965 menulis laporan penelitiannya ke dalam buku
berjudul Final Integration in the Adult Personality. Arasteh sempat
menjadi profesor tamu di George Washington University dan
Princeton University. Metode yang dilakukan Arasteh cukup
unik dan memungkinkan untuk diterima secara universal.
Ia menggunakan metode psikologi Barat dalam prosedur
penelitiannya, tetapi bertolak dari realitas budaya umat Islam
sebagai lapangan risetnya. Istilah-istilah sufistik dipakai untuk
membantu menjelaskan dinamika kepribadian dan tidak secara
ambisius digunakan sebagai kerangka teoretis.
Bagi penulis, integrasi yang dilakukan Arasteh jauh lebih
dapat diandalkan untuk menghindari dilema-dilema yang telah
disebutkan di atas. Model yang dicontohkan Arasteh sebenarnya
tidak jauh beda dengan kajian psikologi lintas budaya dan
43
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 32, 40.
44
Joshua J. Knabb dan Robert K. Welsh, “Reconsidering A. Reza Arasteh:
Sufism and Psychotherapy”, The Journal of Transpersonal Psychology. Vol. 41. No.
1, 2009, 50-58
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 325-327

agama. Hanya saja, pendekatan Arasteh yang menggunakan


istilah-istilah sufistik, terutama sekali yang berasal dari
Jalaluddin Rumi, memberikan nuansa baru bagi integrasi yang
selama ini cenderung mereduksi salah satunya. Arasteh tidak
berambisi menggunakan ajaran autentik kaum sufi sebagai
model terapi, ia sebatas mencaplok yang esensial dari praktik
sufistik ke dalam bentuk terapinya. Esensi dalam ajaran tasawuf
pada dasarnya sejalan dengan terapi perilaku kognitif (cognitive
behaviour therapy) yaitu bagaimana mengubah perilaku dengan
cara mengubah cara berpikir. Untuk mengubah cara berpikir
banyak sekali metodenya. Di tangan Arasteh, tema-tema sufistik
dimasukkan ke dalam metode tersebut.

Kesimpulan
Di tengah kelanjutan proyek islamisasi psikologi—yang
sekarang dalam kondisi “mangkrak”—penting untuk memecahkan
dilema-dilema tersebut agar ambisi besar untuk menjadikan
Psikologi Islam diakui di dunia internasional tidak sepenuhnya
utopis. Dilema yang meliputi a) integrasi tanpa reduksi; b)
pengukuran yang valid atas pengalaman mistik; c) problem
objektivitas dalam psikosufistik; d) psikolog yang menggukan
model sufistik tapi bukan pelaku ajaran tasawuf, serta e) tantangan
universalitas harus dicarikan jalan keluarnya. Jalan keluar yang
paling aman ditempuh adalah dengan mengikuti prosedur yang
dilakukan Reza Arasteh. Hasilnya memang tidak akan berupa
“Psikologi Islam” melainkan “Psikolog yang Muslim” yang dengan
sendirinya akan mencerminkan karakter keislaman tanpa harus
bolak-balik meminta legitimasi agung terhadap Alquran dan hadis.
Integrasi tasawuf ke dalam psikoterapi akan selalu terjebak
pada dilema jika usaha tersebut terus dibayang-bayangi hasrat
kuat untuk melakukan islamisasi psikologi. Apa yang dilakukan
Ibn Sina dan Al-Zahrawi seribu tahun yang lalu tidak pernah
diembel-embeli dengan istilah islamisasi. Dua ilmuwan besar
Muslim itu bekerja atas prinsip kerja ilmiah sembari tidak
melupakan bahwa dirinya adalah Muslim.
326-327 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
Badri, B. Malik. Dilema Psikolog Muslim. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Bonnin, Fleur Nassery, “The Relevance of Sufism and Psychology”,
dalam http://www.psychology.org.au/Assets/Files/the_
relevance_of_sufism_and_psychology.pdf, t.t. Diakses 2
Desember 2016.
Boeree, CG. Personality Theories. New York: Brooklyn, 1998.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim
dan Suhadi. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics
of Imagination. New York: SUNY Press, 1989.
________________. “Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and
Psychotherapy by Mohammad Shafii”, Iranian Studies. Vol 22,
No. 2, 1989.
________________. Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am.
Bandung: Mizan, 2002.
Deikman, Arthur J. The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy.
New York: Beacon Press, 1982.
Dostoevsky, Fyodor. The Brother Karamazov. New York: Barnes and
Noble Classic, 2004.
El-Menouar, Yasemin. “The Five Dimensions of Muslim Religiosity:
Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data,
Analyses, Vol. 8, No. 1, 2014.
Frager, Robert. Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh, terj.
Hasmiyah Rauf. Jakarta: Serambi, 2014.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, jilid 3. Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971.
­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Asra>r al-Hikmah fi> Makhlu>qatilla>h.
Iskandariyah: Da>r Mirza, 1994.
Harvat, Arvan, Sufi Cosmology, dalam http://www.bahaistudies.net/
asma/sufi_cosmolosy_and_psychology.pdf. 2009. Diakses 2
Desember 2016.
Naufil Istikhari, Dilema Integrasi Tasawuf dan Psikoterapi | 327-327

Hizami, S. Haque, Mohammad Zia Ul Haq Katshu, N.A. Uvais. “Sufism


and Mental Health”, Indian J Psychiatry, 55, January 2013.
Jalaluddin. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan
Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo, 2012.
Jackson, Roy. Nietzche and Islam. New York: Routledge, 2007.
al-‘Isawy, Abdurrahman. Al-Isla>m wa al-‘Ila>j al-Nafsy. Iskandariyah: Dar
al-Fikr, 1987.
Knabb, Joshua J. & Robert K. Welsh. “Reconsidering A. Reza Arasteh:
Sufism and Psychotherapy”, The Journal of Transpersonal
Psychology. Vol. 41. No. 1, 2009.
Lear, Jonthan. “The Illusion of a Future: The Rhetoric of Freud’s
Critique of Religious Belief”, dalam On Freud’s The Future of
an Illusion, ed. Mary Kay O’Neil & Salman Akhtar. London:
Karnac Books, 2009.
Mohamed, Wael MY. “History of Neuroscience: Arab and Muslim
Contributions to Modern Neuroscience”, Journal of
Neuroscience, Desember 2012.
Pasiak, Taufiq. Tuhan dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan, 2012.
Rezaeitalarposthi, Abdolbaghy & Abdolhady Rezaeitalarposhti.
“Psychology from Islamic Perspective: Contributions of
Quran to Contemporary Psychologists”, International Research
Journal of Applied and Basic Sciences, Vol. 6, No. 11, 2013.
Rahayu, Iin Tri. Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer.
Malang: UIN-Malang Press, 2013.
Shorrock, Andrew. The Transpersonal in Psychology, Psychotherapy, and
Counselling. New York: Pilgrave Macmillan, 2008.
Stark, Rodney & Charles Y. Glock, American Piety: The Nature of Religious
Commitment. USA: California University Press, 1970.
Titus, Burckhardt. Introduction to Sufi Doctrine. Indiana: World Wisdom,
2008.
Utz, Aisha. Psychology from Islamic Perspective. Cairo: International
Islamic Publishing House, 2011.
Utsman, Abdurrahman. Al-Insān: al-Ru>h wa al-‘Aql wa al-Nafs. Mekah:
Maktabah al-Tsaqâfah, 1987.
Worlberg, Lewis R. The Technique of Psychotherapy, 4th edition. New York:
Jason Aronson, 1997.

Anda mungkin juga menyukai