Anda di halaman 1dari 8

METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

MEMBACA SECARA KRITIS BUKU/ARTIKEL FILSAFAT

Oleh: J. Sudarminta

Kritis adalah salah satu sifat yang secara hakiki menandai ilmu filsafat.
Ilmu filsafat semestinya tidak hanya menyibukkan diri dengan pertanyaan-
pertanyaan yang bersifat deskriptif-faktual mengenai “apa?” (what), “siapa?”
(who), “kapan dan di mana”? (when and where), atau dengan kata lain, seperti
dalam kegiatan jurnalistik pemberitaan mencari jawaban atas 4W1H.
Pertanyaan-pertanyaan itu memang tetap penting untuk diajukan guna
memperoleh data yang diperlukan dalam membaca buku/artikel filsafat serta
melakukan kegiatan berfilsafat berdasarkan realitas yang ada dan dialami.
Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan deskriptif-faktual itu saja belum cukup
dalam membaca buku/artikel filsafat, apalagi untuk dapat berfilsafat.
Mengajukan pertanyaan filosofis perlu sampai ke pertanyaan “mengapa?”.
Dalam upaya mencari kearifan atau kebijaksanaan (Sophia), mereka yang
mempelajari ilmu filsafat, dan sendiri mau berfilsafat, diharapkan tidak
cepat puas dengan apa yang terdapat dalam permukaan atau menerima begitu
saja pernyataan-pernyataan yang sudah dipandang lumrah.

Berfilsafat berarti berusaha menggali sebab-sebab yang terdalam di


balik gejala-gejala yang tertangkap panca indera. Berfilsafat juga berarti
berusaha menemukan apa yang menjadi hakikat sesuatu atau apa yang hakiki
di balik gejala-gejala yang dapat diamati dan sampai batas tertentu juga
dapat diukur. Berfilsafat, kalau mau menemukan apa yang oleh Rhoy Bhaskar
dalam Realisme Kritisnya disebut dimensi ontologis atau ciri intransitive
realitas (dan tidak jatuh ke dalam apa yang ia sebut “reduksi epistemologis”
atau mereduksi realitas pada yang dapat diketahui manusia) objek kajian
ilmunya, juga perlu menggali di balik gejala aktual dan empirik yang dapat
diamati guna menemukan struktur dan mekanisme generative di balik gejala-
gejala tersebut. Dari segi bahasa, berfilsafat juga berarti berusaha
merumuskan atau mengeksplisitkan hal-hal yang masih bersifat implisit agar

1
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

makna yang ingin disampaikan dapat dengan jelas ditangkap. Upaya perumusan
itu tentu saja perlu dibarengi dengan kesadaran penuh akan ciri kebahasaan
realitas dan sekaligus keterbatasan ungkapan kebahasaan dalam
menyingkapkan kekayaan dan kompleksitas realitas. Tidak seluruh realitas
dengan segala kekayaan dan kompleksitasnya dapat kita amati dan alami
secara inderawi, dan tidak semua hal yang dapat kita amati serta alami dapat
kita katakan atau tuliskan dalam ungkapan kebahasaan yang sepenuhnya
memadai untuk mengungkapkannya.

Persoalan filosofis biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-


pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh dan mendasar. Kadang juga
pertanyaan yang bersifat imaginatif dan spekulatif. Dalam Filsafat Moral
atau Etika misalnya ada pertanyaan: “Mengapa sebagai manusia kita wajib
bertindak moral?“ . “Mengapa secara moral kita tidak dapat dibenarkan untuk
bertindak melawan suara hati?” Dalam Filsafat Manusia: “Mengapa definisi
Aristoteles tentang manusia sebagai makhluk rasional, walaupun tidak salah,
namun tidak dapat diklaim sebagai satu-satunya definisi tentang manusia?”
“Mengapa secara hakiki manusia bersifat menyejarah?” Dalam Kosmologi:
“Mengapa alam semesta ini tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri dan
secara logis menuntut adanya prinsip penjelas yang berasal dari luar dirinya
sendiri?” Dalam Filsafat Pengetahuan atau Epistemologi: “Mengapa saya harus
memercayai pendapat itu dan bukan yang lain? Mengapa penerapan cara kerja
yang berlaku dalam ilmu-ilmu alam begitu saja dalam mengkaji ilmu sosial-
budaya atau ilmu kemanusiaan tidak dapat dipertahankan?” Dalam Filsafat
Ketuhanan: “Mengapa adanya kejahatan di dunia ini tidak dengan sendirinya
bertentangan dengan kebaikan dan kemahakuasaan Tuhan?” Dalam
Metafisika: “Mengapa baik kesatuan maupun kemajemukan, baik sifat tetap
maupun sifat berubah, merupakan unsur hakiki yang menandai struktur
kenyataan secara keseluruhan?” Dalam Estetika: “Mengapa baik paham ‘seni
untuk seni” atau pun “seni untuk pendidikan moral” itu tidak dapat kita terima
begitu saja?” Dalam Filsafat Sosial-Politik: “Mengapa dalam negara demokrasi
modern, pemerintah wajib bertindak berdasarkan konstitusi atau undang-
undang dasar yang sudah ditetapkan?”

2
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang diawali dengan kata “mengapa”


bermaksud mencari jawaban berupa alasan yang dapat memberi penjelasan
rasional atas gejala yang diamati atau peristiwa yang terjadi. Bukan
sembarang alasan, tetapi alasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara
rasional dan itu berarti dapat diuji kebenarannya secara intersubyektif.
Sifat kritis ilmu filsafat juga terletak dalam kemauan dan keberaniannya
untuk mempertanyakan pendapat yang sampai sekarang sering sudah dianggap
lumrah dan dianggap mapan atau sudah menjadi pendapat umum yang
diandaikan kebenarannya begitu saja (taken for granted/self-evident truth).
Termasuk pendapat kita sendiri, kalau memang ada alasan yang masuk akal
untuk meragukannya, selalu tetap terbuka untuk digugat atau dikritik.

Mengingat kekritisan secara hakiki melekat pada filsafat, maka


membaca secara kritis buku maupun artikel dalam bidang filsafat haruslah
menjadi makanan sehari-hari bagi mereka yang mau belajar filsafat. Terlebih
lagi bagi mereka yang mau berfilsafat. Alasannya adalah karena berfilsafat
berarti mampu membaca situasi dan berefleksi secara kritis atas berbagai
pengalaman dan permasalahan hidup manusia di dunia ini, baik dalam hubungan
dengan alam, dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungan
dengan Tuhan atau Yang Ilahi, baik dalam kehidupan manusia secara individual
maupun secara sosial. Membaca secara kritis berarti berusaha “menukik lebih
dalam” ke dalam teks artikel atau buku yang sedang dibaca. Tidak hanya
membaca secara serampangan dan tergesa-gesa, tetapi membaca secara aktif
dengan teliti, hati-hati dan jeli. Tidak puas dengan apa yang langsung nampak
di permukaan dan yang hanya memberi pengertian dangkal sekilas pandang.
Membaca secara kritis juga berusaha menangkap bukan hanya pengertian
yang secara eksplisit terungkap dalam teks, tetapi juga yang implisit
disarankan oleh teks. Reading between the lines.

Mengikuti gagasan B. Lonergan dalam bukunya Insight (New York:


Harper & row, Publishers, 1978) yang bermaksud memaparkan dan
menjelaskan bagaimana pikiran manusia bekerja dalam proses kegiatan

3
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

manusia mengetahui, membaca secara kritis, pada tahap awal berarti


membaca dengan penuh perhatian (be attentive) terhadap apa yang ditulis
dan yang menjadi pesan pokok atau inti pendapat yang mau disampaikan oleh
pengarang lewat tulisannya. Kemudian, membaca dengan kritis berarti besikap
cerdas (be intelligent) terhadap teks yang dihadapi dengan mengajukan dan
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dapat membawa ke
pemahaman yang lebih dalam tentang perkara yang dipelajari. Apa sebenarnya
yang mau dikemukakan oleh pengarang? Apa masalah pokok yang dibahas oleh
pengarang dalam tulisan yang sedang saya baca? Apa latarbelakang pengarang
membahas masalah tersebut? Apa asumsi atau andaian yang mendasari
pemikiran pengarang sehingga ia berpendapat demikian? Apa saja
argumentasi pokok yang dikemukakan pengarang untuk mendukung
pendapatnya? Bagaimana alur pikirnya dalam menyajikan pendapat berikut
argumentasi yang dikemukakannya? Logis dan koherenkah jalan pikirannya?
Absahkah penyimpulan yang ditariknya? (Is it logically valid/sound?) Ketika
menyangkut implikasi pemikirannya dalam suatu tindakan, konsistenkah pilihan
tindakan yang diusulkan?

Membaca dengan kritis berarti juga membaca secara reflektif (be


reflective). Apakah kenyataan sendiri sebagaimana saya ketahui dan didukung
juga oleh pendapat orang lain yang punya autoritas di bidang yang sedang
saya pelajari ini memang demikian? (Is it so?). Mengapa demikian? Apa alasan
saya untuk setuju atau tidak setuju dengan pengarang? Apakah ada pendapat
yang berbeda dengan pendapat pengarang tentang perkara yang dibahas? Apa
argumen mereka yang berbeda pendapat? Kalau apa yang dibaca mau
ditempatkan dalam konteks kehidupan, sehingga akan mempengaruhi
pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam bertindak, pembaca yang
kritis juga lebih lanjut akan bertanya: Apa relevansi gagasan pengarang yang
tulisannya sedang dibaca dengan hidup kita sebagai manusia? Seorang pelaku
tindakan yang bertanggung jawab, sebelum mengambil keputusan melakukan
tindakan A atau B berdasarkan informasi baru yang diperoleh dari artikel
atau buku yang dibaca, selain membuat penilaian tentang benar-salahnya
informasi tersebut, juga akan membuat evaluasi tentang baik buruk akibat

4
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

tindakan yang akan ia ambil berdasarkan informasi tersebut. Maka sebelum


orang bertindak, ia mesti memiliki sikap tanggung jawab (be responsible). Apa
konsekuensi pribadi dan sosial dari tindakan yang akan saya ambil bagi
kehidupan saya sendiri dan orang lain di sekitar saya kalau saya akan
mengikuti pendapat pengarang yang tulisannya sekarang sedang saya baca?

Dalam ilmu filsafat, bukan hanya jawaban atas pertanyaan yang


dipandang penting untuk diperhatikan, melainkan juga pertanyaanya sendiri
penting untuk diperhatikan. Maka dalam memahami teks filsafat secara
kritis, seorang pembaca teks filsafat pertama-tama perlu memperhatikan apa
yang menjadi pertanyaan pokok atau problematik yang hendak coba dijawab
oleh pengarang. Mengapa persoalan (issues) itu dipandang penting oleh
pengarang? Apa yang menjadi konteks atau latar belakang pengarang untuk
mengajukan persoalan seperti itu? Apakah persoalan seperti itu dewasa ini
masih relevan untuk ditanggapi? Mengapa demikian?

Jawaban atas pertanyaanya memang juga penting, tetapi jawaban itu


bukan merupakan kata akhir. Dalam filsafat, jawaban yang satu dapat
memunculkan pertanyaan yang lain yang tidak kalah penting untuk ditanggapi.
Pertanyaan-pertanyaan asasi manusia, baik tentang alam & lingkungan hidup,
tentang diri manusia sendiri, tentang masyarakat, tentang negara, tentang
Tuhan maupun tentang agama, tentang pengetahuan, tentang moralitas suatu
tindakan, ternyata tidak pernah terjawab secara paripurna. Selalu saja,
sepanjang zaman, pertanyaan-pertanyaan asasi seperti tentang asal muasal
alam semesta, tentang apa dan siapa itu manusia, apa tujuan hidupnya, apa itu
kebenaran, manakah syarat-syarat yang secara niscaya diperlukan manusia
untuk dapat memperoleh pengetahuan yang secara objektif benar, mengapa
manusia wajib menaati hukum moral, apa hakikat, fungsi dan tujuan
didirikannya negara, dan sebagainya tetap menggelitik para pemikir sepanjang
zaman untuk dicari jawabannya.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis, sebagai pertanyaan asasi manusia,


memang tahan perubahan zaman. Pertanyaan Sokrates abad kelima sebelum

5
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

Masehi yang lalu tentang apakah itu keutamaan, apakah keutamaan itu
pengetahuan dan apakah keutamaan dapat diajarkan, sampai sekarang pun
masih penting untuk direfleksikan dan dicari jawabannya. Demikian juga
sampai sekarang apa yang dikatakan oleh Plato atau pun Aristoteles tentang
keutamaan moral, tentang hakikat persahabatan, atau pun tentang negara,
misalnya, masih relevan untuk direnungkan. Tetapi itu tidak berarti bahwa
konteks sosial politik, ekonomi, budaya dan sejarah masyarakat tempat
seorang filsuf berfilsafat lalu tidak perlu diperhatikan. Permasalahan filsafat
tidak jatuh dari langit atau muncul dari ruang hampa. Keprihatinan seorang
filsuf tidak dapat dilepaskan dari kerprihatinan manusia pada zamannya.
Berbeda dengan sains (ilmu pengatahuan empiric-eksperimental), mereka yang
mempelajarinya tidak selalu harus mempelajari sejarah perkembangan sains
tersebut, mempelajari filsafat dan kegiatan berfilsafat mengandaikan orang
juga mempelajari sejarah filsafat. Mempelajari sejarah filsafat menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari mempelajari ilmu filsafat, baik dalam
berbagai bidang sistematiknya (metafisika, filsafat manusia, epistemologi,
etika, estetika, filsafat ketuhanan dan agama, filsafat sosial politik), maupun
dalam bidang-bidang yang lebih khusus seperti etika teknologi, etika
medik/biomedik, etika bisnis, etika lingkungan hidup, dsb.

Guna memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu teks


filsafat yang sedang dibaca, sebagai bagian dari kegiatan membaca teks
filsafat secara kritis, mengenali konteks historis, sosiologis dan kultural
pengarang berikut arus pemikiran pokok yang kuat berpengaruh pada zaman
itu, akan sangat membantu. Demikian juga menyadari konteks historis,
sosiologis dan kultural sang pembaca sendiri dapat membantu untuk bersikap
kritis terhadap prapaham dan prasangka dirinya dalam membaca dan
menafsirkan teks yang dibaca.

Sebagai latihan membaca secara kritis teks filsafat, pertama-tama


coba baca dan jawab pertanyaan-pertanyaan penuntun yang ada dalam teks
“The Value of Philosophy” yang diambil dari buku buku James A. Gould (Ed.),
Classic Philosophical Questions (Columbus: Charles E. Merrill Publishing

6
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

Company, 1985), hlm. 31-38. Setelah anda selesai membaca dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan penuntun yang membantu menangkap isi pokok
gagasan penulis, coba anda berpikir sendiri tentang arti dan nilai filsafat bagi
kehidupan manusia. Setujukah anda dengan pendapat B. Russell sebagaimana
tercermin dalam teks yang anda baca? Apa alasan anda?

Sebagai latihan tambahan dalam bentuk pekerjaan rumah, bacalah


dengan saksama dua artikel yang mengambil posisi pendapat yang berbeda
tentang makna kehidupan. Keduanya diambil dari buku James A. Gould (Ed.),
Classic Philosophical Questions (Columbus: Charles E. Merrill Publishing
Company, 1985), hlm. 698-724. Yang satu karya Leo Tolstoy, berjudul “Faith
Provides Life’s Meaning” dan yang lain karya Albert Camus berjudul “Each
Person Gives His Own Life Meaning”. Apa isi pokok pendapat masing-masing
dan apa argumentasi yang dikemuakan untuk mendukung pendapat tersebut.
Berilah tanggapan kritis anda terhadap pendapat mereka masing-masing dan
apa yang dapat anda pelajari dari kedua pemikir tersebut tentang makna
kehidupan? Silakan anda menuliskan jawaban anda dalam sebuah kertas
supaya anda sungguh melatih diri membaca secara kritis.

Untuk Latihan yang lebih sederhana, silakan cari dan baca salah satu
Tajuk Rencana atau Editorial dalam salah satu Surat Kabar atau Majalah, lalu
jawablah secara tertulis pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apa topik permasalahan yang diangkat penulis dalam Tajuk
Rencana/Editorial yang and abaca?
2. Apa tanggapan penulis terhadap topik permasalahan tersebut?
3. Apa argumentasi yang dikemukakan penulis guna mendukung
pendapatnya?
4. Bagaimana proses penalaran yang digunakan oleh penulis dalam
membangun argumentasinya? Logiskah langkah-langkahnya dan
apakah kesimpulan yang ditarik secara logis valid/absah?
5. Setujukah anda dengan pendapatnya? Mengapa demikian?

7
METODOLOGI BELAJAR FILSAFAT – KULIAH REKANAN PROGRAM S-1 ILMU FILSAFAT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN DAN KERJASAMA ANDA


SELAMAT BELAJAR!

NON SCHOLAE SED VITAE DISCIMUS


[Kita belajar bukan hanya untuk kepentingan sekolah (mencari nilai
guna lulus ujian), tetapi untuk hidup]

DAFTAR BACAAN

Adler, Mortimer J. & Charles Van Doren, How to Read a Book: The Classical
Guide to Intelligent Reading. New York: Simon & Schuster, 1972. Edisi
Indonesia: How to Read a Book: Mencapai Puncak Tujuan Membaca.
Penerjemah: A. Santosa dan Ajeng A.P. Pengantar oleh Gus Dur & Arief
Rachman. Jakarta: IPublishing, 2012.
Andrew Hollochak, M. Critical Reasoning and Philosophy. A Concise Guide to
Reading, Evaluating, and Writing, Philosophical Works. Lanham,
Maryland: Rowman & Littlefiled Publishers & CO, 2011.
Edwards, Paul N. How to Read a Book. Michigan: University of Michigan
School of Information, 2008.
Gould, James A. Classic Philosophical Questions. Columbus. Toronto. London.
Sudney: Charles E. Merrill Pusblishing Company, 1985 [1971]
Manarin, Karen, Miriam Carey, et. Al. Critical Reading in Higher Education.
Academic Goals and Social Engagement. Bloomington, In: Indiana
University Press, 2015.
Wall, Emy and Regina Wall, Complete Idiot’s Guide to Critical Reading. New
York: Penguin Books, 2005.

Anda mungkin juga menyukai