Anda di halaman 1dari 19

KISI - KISI SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER

MAGISTER GIZI MASYARAKAT


1. Memahami pentingnya filsafat ilmu atas :
a. Pertimbangan kompetensi seorang Magister.
Pentingnya filsafat ilmu bagi seorang

magister

yang

berkompetensi akademik yaitu lebih digunakan sebagai dasar pola


pikir dan cara pemikiran dalam melakukan suatu kegiatan dan
pemikiran tertentu. Seorang magister adalah seseorang yang dianggap
sudah memiliki pengetahuan ilmu yang lebih luas mengenai suatu ilmu
dan seharusnya seorang magister harus memiliki sifat seperti tanaman
padi yang berarti semakin banyak pengetahuan/ilmu seseorang
seharusnya semakin menunduk dan lebih memperhatikan masyarakat
bawah serta lebih arif dalam mengambil suatu keputusan serta
kebijaksanaan,

oleh

karenanya

dalam

menyelesaikan

masalah

seorang magister harus dipertimbangkan dalam berbagai aspek dan


menempatkan diri sebagai pribadi yang professional (dalam konteks ini
berarti bersifat netral,tidak memihak satu sisi dan berani menyatakan
suatu kesalahan walaupun yang bersalah adalah anggota keluargaa
mereka).

Dalam

pencapaiannya

itu

seorang

magister

harus

mengetahui terlebih dahulu akar atau pokok permasalahan, bagaimana


permasalahan itu terjadi dan untuk apa/kemana arah masalah itu.
Pada kondisi yang demikian kemungkinan besar seorang magister
akan berlaku adil, arif dan bijak.
Selain hal di atas sebagai seorang pendidik peranan filsafat ilmu
bagi seorang magister yaitu memberikan gambaran yang penuh untuk
menganalisa suatu obyek, mulai dari segi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis serta seorang magister seharunya lebih terbuka dalam
berbagai bidang ilmu, mempelajari&memahami ilmu lain serta tidak
meremehkan ilmu lain walaupun pasti seorang magister tersebut
memiliki spesifikasi atau keahlian di

bidang tertentu tetapi kita

seharunya memberikan pandangan ilmu kepada mahasiswa dari


berbagai bidang ilmu dan menjelaskan bahwa ilmu tidak dapat berdiri
sendiri melainkan ada keterkaitan antara ilmu yang satu dengan yang
lain dan tidak dapat saling dipisahkan, dengan begitu tidak ada istilah

untuk meremehkan ilmu yang satu dengan yang lain tetapi yang ada
adalah kerjasama dari berbagai bidang ilmu jadi spesialisasi ilmu itu
tidak berdampak negatif tetapi sebaliknya yaitu berdampak positif bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi negara kita.
b. Tuntutan perkembangan ilmu.
- Ilmu bukan sesuatu (entity) yang tetap, abadi, ilmu sebenarnya sesuatu
yang tidak pernah selesai kendati ilmu itu didasarkan pada kerangka:
-

objektif, rasional, sistematis, logis dan empiris.


Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme
keterbukaan terhadap koreksi, itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari
alternatif-alternatif pengembangannya, baik mengenai aspek ontologis,

epistemologis dan aksiologisnya.


Karena itu setiap pengembangan ilmu paling tidak keabsahan (validity)
dan

kebenarannya

(reliability)

dapat

dipertanggungjawaban

baik

berdasarkan context of justification maupun context of discovery


Spiritualitas, moralitas dan norma etik menduduki peran sebagai dasar
dan arah pengembangan ilmu itu sendiri. sebaliknya tata nilai ilmu
pengetahuan harus mampu mengembangkan budaya dan pola pikir
manusia sehingga tidak terjebak dalam pengembangan ilmu yang

kering, hanya bersifat fisik saja.


Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini

sangat pesat, ditandai

semakin meruncingnya spesialisasi ilmu-ilmu empiris, yg membawa


konsekuensi semakin ragam bidang-bidang keilmuan, sikap ilmiah
ilmuwan semakin fokus dan intens dalam bidangnya. implikasi yang
ditimbulkannya, sikap apatisme,
membawa

dampak

negatif

bagi

egoisme keilmuan yang akan


kehidupan

manusia

sendiri:

dehumanisasi, demoralisasi, individualisme, anarkhisme keilmuan.


c. Sifat ilmu yang dinamis.
sifat dari ilmu pengetahuan yang selalu berkembang dan bersifat dinamis
(tidak ada yang statis) membuat kita harus selalu berpikir secara logis dan
dalam penerapan, pengembangan dan penemuan teori/ilmu tidak cukup
hanya mendasarkan pada kemampuan penguasaan konsep-konsep serta
teori-teori keilmuan dalam bidangnya masing-masing, akan tetapi juga
landasan pemahaman mengenai hakikat ilmu(dasar ontologis),metode
pengembangan ilmu (dasar epistemologis), dan kaidah-kaidah moral-etika

mengenai untuk apa teori/ilmu itu dikembangkan, diterapkan, atau


ditemukan (dasar aksiologis).
2. Masalah hubungan antara filsafat ilmu dan agama.
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental
dalam sejarah dan kehidupan manusia.
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara
agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh,
dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan
"tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi,
usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat
berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat
manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan,
kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan
tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama
bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsiasumsi

penting

sebagai

subyek

penelitian

dan

pengkajian

filsafat.

Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan


dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang
penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami
dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan
kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang
sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan
sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan
dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci
agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi
kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah
dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof
hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti
menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat
yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah
sangat

mungkin

terdapat

beberapa

ajaran

agama,

karena

ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat,


begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna

berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna. Karena asumsinya


adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan
mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat
dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek
pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi
keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak
dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada
masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa
dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk
memahami ajaran agama.
Mengenai dikotomi agama dan filsafat serta hubungan antara
keduanya para pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok pertama,
berpandangan bahwa antara keduanya terdapat hubungan keharmonisan dan
tidak ada pertentangan sama sekali. Kelompok kedua, memandang bahwa
filsafat itu bertolak belakang dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya
sama sekali. Kelompok ketiga, yang cenderung moderat ini, substansi
gagasannya adalah bahwa pada sebagian perkara dan persoalan terdapat
keharmonisan antara agama dan filsafat dimana kaidah-kaidah filsafat dapat
diaplikasikan untuk memahami, menafsirkan dan menakwilkan ajaran agama.
Hubungan Agama dan Filsafat Menurut Para Filosof
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imt' wa al-Munasah, berkata,
"Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat
terus sejalan, sesuai, dan harmonis". Sebagaimana hukum alam meliputi dan
mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang
mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara
kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan
memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan
ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial berada dalam
ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara substansial
mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa pesanpesan Tuhan."
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa
dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan
keburukan akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiranpikiran Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat

akal". Mereka mendefinisikan "syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu


syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada
seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut terjadi pada
dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya sebagaimana dia
juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan
secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka". Apaapa yang dipandang akal sebagai keburukan digolongkan sebagai hal yang
wajib dihindari dan tidak dikerjakan.
Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa hukumhukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber
dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan
'Amiri, dalam kitab al-Itmm lifadhil al-Anm, membahas hubungan antara
teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di
tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran
merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql).
Dalam sejarah filsafat Islam, Syeikh Syihabuddin Suhrawardi adalah
termasuk salah seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci
agama dan pemikiran filsafat, ia beranggapan bahwa keduanya terdapat
kesatuan hakikat. Ia kemudian membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak
pada asumsi adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di
antara agama-agama dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak
faktor dan salah satu faktor utamanya adalah perbedaan dalam istilah.
Tak diragukan lagi bahwa ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada
bashirah dan bukan taklid tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat burhan dan
argumentasi, maka kita tidak bisa menyatakan bahwa hal tersebut bertolak
belakang dengan hikmah dan filsafat. Perlu diperhatikan bahwa filsafat itu
jangan dipandang sebagai rangkaian dan kumpulan dari pemikiran,
perspektif, dan gagasan filosof-filosof Yunani yang di antara mereka terdapat
orang mukmin, kafir, yang benar, dan yang salah.
3. Dimensi-dimensi filosofis dalam ilmu.
DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan m
engenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari beberapa segi kajian, yaitu :

A.
Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.
Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek
yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana
hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan
meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu
perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas
dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari
kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk
hidup,

antara

jenis-jenis

dan

individu-individu.

Dari

pembahasannya

memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran


berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu
adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari
yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan
bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia
ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat
bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari
dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis,
yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula
tidak.
B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu
datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang
lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang
sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur
memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa
definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan

moral dan teori-teori moral.Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir,


yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh
dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan
manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja
akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada
metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik
tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang
mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi
pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang
dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori:
(1) baik dan buruk; serta
(2) indah dan jelek.
Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut
etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau
estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari
kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau
mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral
atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau
perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau
keburukan,

bermoral

atau

tidak

bermoral.

Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama.
Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan
moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul
dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara
etis.
Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.

a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan
kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa
baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan
bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai normanorma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika
buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana
untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia.
Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme
(utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 1832),
yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang
berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang
dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal
yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang
disebut

indak

atau

tidak

indah.

Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul
persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan
yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan
dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran.
Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan
dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.
.
4. Teori kebenaran ilmiah dan cara-cara memperolehnya.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan itu adalah suatu kebenaran
atau tidak dimana hal ini sangat berhubungan erat dengan sikap bagaimana
cara kita memperoleh pengetahuan, apakah kita hanya melakukan kegiatan
dan kemampuan akal pikir ataukah melalui nilai kebenaran karena semua
masih meragukan dan itulah yang merupakan kebenaran. Dan untuk
mengukur suatu kebenaran kita mempunyai teori teori kebenaran antara
lain :
1. Teori Coherence of Truth (Teori kebenaran saling berhubungan) :

Menurut teori ini sebuah kebenaran pengetahuan dapat diukur dari


proses atau hasil berpikir/pemikiran yang logis sehingga teori ini
mempersyaratkan seseorang untuk menjaga pikiran yaitu berpikir secara
konsisten yang akhir pemikiran dapat disebut dengan pemikiran logis.
Teori ini di bangun oleh para pemikir yang rasional.pembuktian teori
koherensi dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi
sejarah atau memakai logika apabila merupakan pernyataan yang
bersifat logis.
Contoh : untuk mengungkapkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa
lalu, hal ini

kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi

pengetahuan itu, melainkan hanya dapat membuktikan melalui hubungan


dengan proposisi yang terdahulu dengan cerita cerita yang masih
dipengaruhi oleh pikiran pikiran yang subyektifitas.
2. Teori Correspondence of Truth ( Teori kebenaran saling berkesesuaian)
Teori ini merupakan pengukur teori kebenaran ilmiah yang berdasarkan
apa yang dipikirkan sesuai teori dan fakta (kesesuaian) yang tidak
merasa puas apabila tidak melihat bukti untuk mengetahui suatu
kebenaran,jadi tidak mau hanya sekedar asumsi asumsi saja, atau
berteori teori saja tetapi perlu pembuktian yang nyata.
Teori korenponden ini merupakan teori yang paling awal, teori tersebut
berangkat dari teori pengetahuan aristoteles yang menyatakan segala
sesuatu yang diketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada
kenyataan oleh subyek.
Teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai benar apabila
saling

berkesesuaian

dengan

kenyataan

yang

ada

atau

harus

membuktikan sesuai kenyataan.


Contoh : ada produk makanan yang promosikan, dikatakan bahwa kalo
dikonsumsi dengan nasi akan terasa enak dan gurih. Pada teori ini harus
dibuktikan apakah enak dan gurih apabila dimakan bersama dengan nasi
kalau tidak berarti salah.
3. Teori Pragmatic of truth ( Teori kebenaran Inherensi)
Teori ini untuk melihat kegunaan atau manfaat yang tidak hanya sekedar
logika kalau tidak ada manfaatnya akan percuma tidak ada gunanya.
Teori ini mempunyai pandangan bahwa suatu proposisi bernilai benar
apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau
dimanfaatkan.

Teori ini menguraikanb tentang teori kebenaran yang meletakkan ukuran


kebenaran dalah salah satu macam konsekuensi sehingga proposisi ini
dapat membantu untuk dapay mengadakan penyesuaian yang dapat
memberikan kepuasan terhadap pengalaman yang menyatakan hal itu
benar.
Contoh : pengetahuan naik bis, dan kemudian akan turun dengan
berkata kiri pada kondektur kemudian bis berhenti di posisi kiri. Dengan
berhenti di posisi kiri penumpang bias turun dengan selamat, mengukur
kebenaran ini bukan melihat karena bis berhenti di posisi kiri tapi
penumpang bias turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
Dari ketiga teori ini masing masing mempunyai kelebihan dan
kekurangannya, teori koherensi mempunyai kelebihan dimana akurasi
pemikiran cepat . tepat tuntutan kebenarannya tercermin pada pemikiran
logisnya ini yang membedakan antara ilmuan dengan ilmiah. Teori
corenpondence mempunyai kelebihan dalam kebenaran didukung oleh
bukti bukti sehingga sulit untuk terbantahkan, akan tetapi sering tertipu
oleh fakta yang belum tentu itu suatu kebenaran.
Dan teori pragmatic juga mempunyai kelebihannya dimana teori ini
hanya dapat memenuhi kebutuhan temporary atau pada saat diperlukan
sangat acceptable (sangat menolong pada saat emergency) dan teori ini
hanya bersifat pemenuhan sementara (yang belum tentu perlu) dan
kelemahannya teori ini berorientasi praktis dan kurang memperhatikan
dasar empirisnya dan dasar rasionalnya. Sehingga dalam kesimpulan
dapat diambil bahwa kebenaran ilmiah harus memiliki dasar dasar baik
dasar coherence, correspondence maupun pragmatic karena ilmu harus
rasional, ilmu harus empiris dan ilmu harus pragmatic.
4. Teori Semantic of Truth (Teori kebenaran berdasarkan arti)
Teori kebenaran ini dapat ditinjau dari segi artinya atau maknanya,
apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai
referen yang jelas atau tidak, oleh sebab itu teori ini mempunyai tugas
untuk menguatkan kesalahan dari proposisi dalam referensinya. Teori
kebenaran semantic ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang
dikembangkan paska filsafat Berhand Russel yang semula sebagai tokoh
filsafat analitika bahasa.
Contoh : filsafat secara etiologi berasal dari bahasa yunani philosophia
yang artinya adalah cinta akan kebijaksanaan, pengetahuan tersebut

dinyatakan benar kalau ada refensinya yang jelas dan apabila tidak ada
referensinya maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah.
5. Teoei Kebenaran Sintaksis
Teori kebenaran ini para penganutnya berpangkal tolak pada keteraturan
yang sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau
tata bahasa yang melekatnya, dengan demikian suatu pernyataan
memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti atyuran aturan
sintaksis yang sudah baku dengan kata lain apabila proposisi itu tidak
mengikuti syarat atau aturan dan keluar dari hal yang sudah ditetapkan
maka proposisi akan tidak mempunyai arti. Teori ini sangat popular
diantara penganut

filsuf analisis bahasa terutama yang begitu ketat

terhadap pemakaian gramatika.


Contoh : dalam suatu kalimat standar ditetapkan harus ada subyek dan
predikat, dan apabila tidak lengkap karna tidak ada subyek maka kalimat
itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat, bukan kalimat standar
karena tidak punya subyek.
6. Teori Logical Superfluity of Truth (Teori kebenaran Logik yang berlebihan)
Teori kebenaran ini dikembangkan oleh para kaum positivistic yang
diawali dengan Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini,
masalah atau problema kebenaran hanya merupakan kekacauan dari
bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, yang dimana
pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki
derajat logis yang mana masing masing melingkupinya. Dengan
demikian setiap proposisi mempunyai sisi yang sama dalam memberikan
informasi dan semua bersepakat dan apabila kita ingin membuktikan lagi
kebenaran hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan.
Contoh : suatu lingkaran itu adalah bulat dan pernyataan ini sudah
sendirinya benar tanpa harus diterangkan lagi, karena pada dasarnya
lingkaran adalah suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama
yaitu berupa garis yang bulat.
5. Sumber-sumber pengetahuan

yang bersifat rasionalisme dan

empirisme.
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah yang mendasar
dalam epitemoligi, secara sederhana terjadinya pengatahuan dengan
sifatnya baik a priori maupun a pasteriori, dimana pengetahuan yang a

priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui


pengalaman baik pengalaman indera (penglihatan) maupun pengalaman
batin/jiwa, sedangkan pengetahuan a pasteriori adalah pengetahuan yang
terjadi berdasarkan karena adanya pengalaman.
Secara logika deduktif dan logika induktif dalam proses penalarannya
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang benar,
sehingga dapat diketahui (menurut Mundiri) bahwa pengetahuan adalah
hasil dari aktivitas mengetahui, dimana tersingkapnya suatu kenyataan
ked ala jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya.Ketidak raguan
merupakan syarat mutlak bagi jiwa untuk mengetahui.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benarpada dasarnya terdapat dua
cara pokok yang dilakukan oleh manusia : (!) berdasarkan rasio dan (2)
berdasarkan diri pada pengalaman. Pengetahuan yang benar yang
diperoleh

berdasarkan

kegiatan

rasio,

bagi

kaum

rasional

mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan nama Rasionalisme,


sedangkan

mereka

yang

mendasarkan

diri

pada

pengalaman

mengembangkan paham yang disebut Empirisme


Bagi kaum rasionalisme dalam memperoleh pengetahuan yang benar
mempergunakan penalaran dengan logika deduktif, premis yang dipakai
dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas
dan dapat diterima, prinsip ini sudah ada jauh sebelum manusia berusaha
berpikir, paham ini juga dikenal dengan nama idelisme. Dimana fungsi
pikiran manusia hanyalah suatu prinsip yang akhirnya menjadi suatu
pengetahuannya dan prinsip ini bersifat apriori dan dapat diketahui oleh
manusia melalui kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah
menumbuhkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya melalui mengetahui
prinsip yang diperoleh melalui penalaran rasional kita dapat mengetahui
kejadian kejadian disekitar kita, secara singkat bahwa ide dari kaum
rasionalis bersifat apriori dan prapengalaman yang didapatkan manusia
lewat penalaran nrasional.
Contoh : Masalah utama yang muncul dari cara berpikir ini adalah
mengenai criteria untuk mengetahui kebenaran dari suatu ide yang
menurut seseorang adalah benar dan dapat dipercaya,tetapi bagi orang
lain belum tentu jelas dan dapat dipercaya karena mungkin criteria cara
berpikir kita yang berbeda atau alain. Jadi permasalahan utama yang

dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis premis


yang dipakainya dalam penalaran dedutif, karena premis penalaran yang
dipakai bersumberkan pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan
terbebas dari pengalaman, Sehingga dapat dikatakan pengetahuan yang
berdasarkan dari pemikiran rasional semacam ini cenderung bersifat
solipsistic (hanya benar kerangka pemikiran tertentu yang berbeda dalam
benak orang yang berpikir tersebut) dan masih bersifat subyektif.
Bagi kaum empirisme mempunyai pendapat yang berbeda dengan kaum
rasionalisme terhadap sumber pengetahuan, dimana menurut kaum
empirisme bahwa pengetahuan manusia itu diperoleh bukan dari
penalaran rasional yang abstrak tapi melalui pengalaman yang kongkret
dengan gejala-gejala ilmiah yang bersifat kongkrit yang dianggap dapat
dinyatakan lewat tangkapan panca indera manusia. Hal ini memungkinkan
kita untuk melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang terjadi
dengan menggunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan
yang dilakukan secara pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual. Dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini
adalah pengetahuan yang dikumpulkan cenderung untuk menjadi
kumpulan fakta fakta tapi kumpulan fakta ini belum tentu bersifat
konsisten mungkin masih bersifat kontradiksi.
Kaum empirisme beranggapan bahwa dunia fisik adalah nyata karena
merupakan gejala yang tertangkap oelh panca indera (penglihatan)
manusia sehingga disini mempunyai dua hal penting : pertama, apabila
kita mengetahui ada dua fakta yang nyata, sekiranya kita mengatakan
tidak bagaimana penalaran induktif membuktikan sebaliknya? Ini
mengingatkan pada kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah
nyata sebagaimana yang diperkirakan. Oleh karena itu kita harus
mempunyai

suatu

kerangka

pemikiran

yang

dapat

memberikan

latarbelakang mengapa sesuatu mempunyai hubungan dengan yang lain,


sebab kalau tidak maka pada hakekatnya semua fakta didunia fisik dapat
saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.Kedua : mengenai masalah
hakikat pengalaman yang dijadikan suatu cara dalam menemukan
pengatahuan dan penginderaan sebagai alat untuk menangkapnya,
pernyataan ini dimaksud dengan pengalaman yang merupakan stimulus

pancaindera atau persepsi? Sehingga dari didasarkan diri kepada


pancaindera untuk menangkap gejala fisik yang nyata dan sebepara
dapat mengandalkan pancaindera tersebut, sehingga kaum empirisme
tidak mampu memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakikat
pengelaman itu sendiri karena pacaindera juga mempunyai kekurangan
dan kemampuan yang terbatas dan dapat juga membuat kesalahan.
6. Persoalan etis dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teknologi modern yang dihasilkan spesialisasi secara ekstensif telah
mempengaruhi berbagai bidang kehidupan manusia, dan secara intensif
mampu merubah pola kehidupan manusia (pola budaya) yaitu dapat :

menyebabkan kekeringan nilai-nilai : artinya teknologi mendorong


perkembangan pola pikir berorientasi praktis,

rasional, empiris. Dapat

terjebak ke arah pola kehidupan yg materialis, pragmatis, kering nilai etik


etik spiritual dan nilai-nilai kesejarahan. Gaya hidup konsumtif, materialistik,
hedonistik, dan demoralisasi, dehumanisasi, dll.

Kebebasan

bertindak

manusia

sebagai

nilai

diambang

kemusnahan.
Penemuan teknologi dynamic psychotheraphy mampu merangsang
secara baru bagian2 penting, shg kelakuan bisa diatur dan disusun.
Kemampuan perilaku seseorang diubah dg operasi dan manipulasi dalam
susunan syaraf otak melaluipsychosurgerys infuse kimiawi, obat bius
tertentu

munculnya

isu

abortus,

euthanasia,

penelitian

penelitian

percobaan pada manusia dan kloning (bank sperma, bayi tabung dengan
sperma/ovum bukan berasal dari suami-istri yang sah)
Namun Perkembangan IPTEK tak dpt dihindari,atau dihentikan,
sehingga IPTEK hanya memberi manfaat bagi kehidupan manusia jika
dikendalikan oleh sistem nilai etik moral - agama. Di luar kendali nilai,
IPTEK hanya akan merugikan kehidupan manusia. Beberapa pokok nilai yg
perlu diperhatikan dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan agar ilmu
pengetahun dan teknologi dikembangkan secara manusiawi, yaitu :

Penghormatan hak azasi : Individu perlu dilindungi dari pengaruh


penindasan ilmu pengetahuan.

Keadilan dalam bidang sosial,politik dan ekonomi

Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yg dikuasi teknologi harga


mns dinilai dari tempatnya sbg salah satu instrumen sistem administrasi
kantor tertentu. Mns dinilai bukan sbg pribadi ttp dari sudut kegunaannya.

Dalam melaksakan tugasnya, seorang petugas kesehatan harus berpegang


pada prinsip bahwa manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang luhur,
memiliki harkat dan bermartabat yang tinggi, mempunyai hak hak azasi
yang tidak boleh dilanggar serta menganggap nyawa manusia/manusia bukan
sekedar objek

7. Model-model Bioetik yang ideal dimasa depan ( memahami isu-isu


bioetik / isu-isu etis dalam perilaku pelayanan kesehatan).
Model etika dalam bioetika :
a. Model Liberal-Radikal
Model ini menitikberatkan unsur kebebasan mutlak pribadi manusia
yang dipandang sebagai nilai yang unik dan mutlak. Keabsahan suatu
tindakan secara etis tergantung pada kebebasan mutlak si pelaku,
namun model ini tidak dapat diterima karena kebebasan tiap pribadi
selalu terkait dan mempengaruhi kebebasan orang lain. Kebebasan ini
terbatas karena manusia memiliki keterbatasan dalam dirinya.
Tanggung jawab dari kebebasan dan peran akal sehat memberikan
penilaian etis.
b. Model Pragmatis
Model ini bermula dari tradisi filsafat empiris yang diperkuat oleh etika
sosialis yang berasaskan filsafat praktis dan pembenaran dari
utilitarianisme sosial. Sifat model ini adalah daya guna dan efesiensi.
Penilaian etis ini menganut prinsip untung-rugi atau kebaikan-kejahatan
dari sebuah tindakan medis. Dalam menanggapi mofdel ini, prinsip
konsekuensialisme dan proporsionalisme dalam dunia etis perlu
dipertimbangkan secara komprehensif. Dalam mengambil keputusan

perlu dipertimbangkan konsekuensi positif

dan negatifnya dengan

matang ditinjau dari berbnagai sudut seperti etis, religius dan ekonomis.
Intinya manusia tidak bisa mengambil keputusan hanya berdasar
pertimbangan

pragmatis

tanpa

memperhatikan

konsekuensi-

konsekuensi yang proporsional.


c.

Model Personalistis
Personalisme tidak identik dengan individualisme subyektif, sebab
personalisme memandang manusia sebagai suatu kesatuan badan, jiwa
dan roh yang menghadirkan nilai objektifnya. Rujukan model ini
bertujuan memelihara dan memajukan kebenaran utuh tentang manusia
dan model ini berpandangan bahwa manusia adalah nilai objektif,
normatif dan transenden. Manusia mesti dihargai sebagai subjek yang
memiliki harkat dan martabat yang luhur, maka tak heran, merupakan
tanggung jawab utama setiap manusia untuk menyelamatkan dan
melindungi siapapun yang sedang terancam, mengalaminkesulitan
hidup dan ditangani secara medis.

d. Model Keutamaan
Dalam

sejarah

teologi

moral,

Thomas

Aquinas

(1225-1274),

menempatkan etika tentang tubuh manusia dalam bingkai keadilan


sebagai salah satu keutamaan moral. Tubuhmanusia selalu berpaut dan
menyatu dengan seluruh hidup manusia, sehingga tubuh manusia harus
dihargai supaya tidak menimbulkan perendahan / pelecehan martabat
luhur manusia. Peran obat sering disalahgunakan oleh pihak tertentu
untuk mencari keuntungan pribadi, akibatnya seorang pasien sering
menerima berbagai jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan dalam
proses penyembuhannya. Pelayanan dalam bidang kemanusiaan yang
tanpa pandang bulu (diskriminasi sosial, ekonomi, rasial, politik maupun
religius) selalu didahulukan , yang diutamakan adalah kehidupan dan
keselamatan si pasien. Sebaiknya tenaga pelayan medis memiliki
keutamaan teologal (iman, harapan dan kasih) serta keutamaan moral
(adil, srif, berani dan ugahari). Yang diutamakan dan ditekankan dalam
pelayanan medis adalah penghargaan terhadap nilai dasar manusiawi
dalam diri tiap pasien. Tanggung jawab utama tenaga medis bertitik tolak

dari nilai dasar kemanusiaan yang bersifat universal dan merangkul


semua pihak.
Dari ke empat model etika yang ada, kita dapat melihat sejumlah nilai
positif yang seharusnya dianut dalam menghadapi hidup, kesehatan,
pengobatan, dan pengaruh teknologi modern yang dapat mengubah,
memperpanjang/

memperpendek

hidup

manusia.

Dalam

hal

ini

diperlukan kejelian dalam menerapkan teori/ prinsip-prinsip dasar hidup


manusia sambil mengasah ketajaman hati nurani. Dunia bioetika terkait
dengan peranhati nurani yang benar, sehat, bersih dan bertanggung
jawab terutama pada saat mengambil keputusan penting terkait dengan
hidup manusia.
8. Implementasi pilar-pilar filosofis dalam praktek dunia kesehatan
( latar belakang profesi).
Ilmuwan dan professional yang diharapkan mampu menerapkan dan
mengembangkan ilmunya, sebab dalam prakteknya di lapangan akan
dihadapi permasalahan yang mendasar. Dalam penerapan pengembangan
dan penemuan teori/ilmu tidak cukup hanya mendasarkan pada keterampilan
pengetahuan dan kemampuan penguasaan konsep-konsep serta teori
keilmuwan dalam bidangnya masing-msing, akan tetapi juga landasan
pemahaman mengenai hakikat ilmu (dasar ontologis), cara pengembangan
ilmu (dasar epistemologis) dan kaidah-kaidah moral etika agama sebagai
dasar

pertimbangan

mengenai

untuk

apa

teori/ilmu

itu

dikembangkan,diterapkan atau ditemukan (dasar aksiologis).


Ilmu sebenarnya tidak pernah selesai kendati ilmu itu didasarkan pada
kerangka:

objektif,

rasional,

sistematis,logis

dan

empiris.

Dalam

perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan


terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari altenatif-alternatif
pengembangannya, melalui kajian, penelitian, eksperimen baik mengenai
aspek ontologism, epistemologis dan aksiologisnya
Dengan menerapkan dasar-dasar pemikiran filsafat dalam bidang atau
pekerjaan sehari-hari kita dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :

Dengan memahami hakikat ilmu (ontologi), baik calon ilmuwan maupun


calon profesional memiliki pandangan luas dan komprehensif tentang
ilmu sehingga dapat menempatkan dan memposisikan ilmu secara
proporsional dalam kehidupan manusia.
Penerapan filsafat ilmu, individu akan memiliki ketajaman dalam
melakukan analisis ilmiah karena dalam melakukan riset, individu akan
selali dihadapkan pada berbagai metode ilmiah seperti induksi, deduksi,
sintesisme, dll. Semakin dalam individu mempelajari filsafat ilmu, maka
individu tersebut akan semakin mudah menemukan metode apa yang
cocok dengan riset yang akan dilakukannya.

Dengan memahami dasar dasar kebenaran dan cara kerja keilmuan


(epistemologi),

calon

ilmuwan

dan

calon

profesional

mampu

mengembangkan sikap mental, cara cara berpikir kritis dalam


kehidupan berbudaya keilmuan.
Dengan penerapan filsafat ilmu, individu akan memiliki akal yang kritis,
karena individu tersebut dihadapkan pada berbagai teori pengetahuan
ilmiah

(rasionalisme,

empirisisme,

materialisme,

positivisme,

dll).

Dengan memahami berbagai teori pengetahuan ilmiah, maka individu


tersebut mampu memilah dan memilih mana konsep atau teori yang
dirasakan paling tepat penggunaannya sesuai dengan konteksnya.

Dengan memahami aspek nilai dari kegunaan ilmu (Aksiologi) maka


calon ilmuwan dan calon profesional memiliki kesadaran dan tanggung
jawab moral, etika dan keagamaan, dengan demikian tidak akan
terjebak pada pengembangan ilmu yang bersifat fisik semata sehingga
setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas dan reliabilitasnya dapat
dipertanggungjawabkan baik berdasarkan context of justification dan
context of discovery.
Seorang individu yang menerapkan filsafat ilmu dalam bidangnya seharihari memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat
karena individu tersebut menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak

hanya dikembangkan untuk kepentingan ilmu semata, tetapi juga untuk


kepentingan masyarakat juga.

Anda mungkin juga menyukai