Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Low Back Pain

1. Definisi

Low Back Pain (LBP) adalah suatu sindrom nyeri yang terjadi pada

daerah punggung bawah. Low back pain adalah gangguan muskuloskeletal

pada daerah punggung bawah yang disebabkan oleh berbagai penyakit dan

aktivitas tubuh yang kurang baik (Black J.M, 2014). Low Back Pain (LBP)

atau nyeri punggung bawah dapat didefinisikan sebagai rasa nyeri dan

ketidaknyamanan di area punggung bawah atau bawah tulang rusuk dan di

atas lipatan gluteal.

Low back pain adalah nyeri kronik atau akut di dalam lumbal yang

biasanya di sebabkan trauma atau terdesaknya otot para vertebra atau tekanan,

herniasi dan degenerasi dari nukleus pulposus, kelemahan otot, osteoartritis di

lumbal sacral pada tulang belakang (Smelzer & Sudart, 2009).

Gangguan yang terjadi akibat LBP adanya nyeri tekan pada regio

lumbal, spasme otot-otot punggung, keterbatasan gerak punggung dan

penurunan kekuatan otot punggung dan ekstremitas inferior, sehingga

dapat menimbulkan keterbatasan fungsi yaitu gangguan saat bangun dari

keadaan duduk, saat membungkuk, saat duduk atau berdiri lama dan

berjalan. LBP tidak hanya dapat mengakibatkan nyeri atau

ketidaknyamanan yang berkepanjangan, tetapi juga dapat mengakibatkan

9
10

cacat seumur hidup bila tidak ditangani terlebih dahulu (Candra, 2011;

Mujianto, 2013).

2. Etiologi

Menurut Black J.M, 2014 bahwa penyebab dari nyeri low back pain

adalah:

a. Berasal secara mekanik dan destruktif, misalnya kompresi diskus

invertebralis, herniasi diskus vertebralis, dan Infeksi.

Daerah regio lumbar merupakan motion segment (dibentuk oleh

separuh ruas vertebra di atas dan separuh ruas vertebra di bawahnya)

bisa menimbulkan prolaps dari diskus invertebralis ke arah

posterolateral akan menjepit radix saraf dan dapat mendorong radix

saraf baik ke medial ataupun lateral. Radix saraf dapat menjadi gepeng,

serta membengkak atau rtadang. Hal ini dsebabkan karena adanya

kompresi saraf (radix). Pada usia anak remaja nukleus pulposus jelly

like di kelilingi oleh anulus fibrosus yang lebih kuat. Pada lansia

normal, nukleus mulai mirip anulus. Pada usia pertengahan atau

produktif dapat terjadi fisura atau robekan, sehingga terjadi prostusi

atau mungkin prolaps. Beberapa gerakan yang dapat menimbulkan

kondisi tersebut adalah gerakan fleksirotasi, posisi bungkuk, atau rotasi

ke lateral yang mendadak.


11

b. Sprain dan strain

Sprain (keseleo) pada area punggung bawah dapat terjadi apabila

ligament bergerak terlalu kuat atau mendadak. Sedangkan strain

(ketegangan) otot dapat terjadi akibat otot dipaksakan atau terjadi

pengerahan tenaga yang berlebihan. Sprain atau strain dapat terjadi

pada saat seseorang sedang melakukan aktifitas sehari-sehari.

c. Permasalahan degeneratif antara lain osteoporosis, dan diabetes

mielitus

Osteoporosis dapat mempermudah terjadinya fraktur disebabkan

karena adanya penurunan dari matrik atau masa tulang sehingga proses

mineralisasi dan kekokohan tulang menurun. Hal ini bisa

mempermudah terjadinya fraktur vertebra terutama vertebra thorakalis,

vertebra lumbalis. Fraktur vertebra dapat menyebabkan stenosis spinal,

skoliosis dan kifosis.

Masalah metabolik lain adalah penyakit diabetes mielitus, dapat

menimbulkan degenerasi jaringan ikat, tulang dan saraf sehingga

menimbulkan gejala dari jaringan yang bersangkutan.

d. Stenosis spinal

Terjadi akibat diskus kehilangan kekenyalan dan volume, sehingga

celah diskus menyempit. Dapat juga di sebabkan adanya penurunan

kualitas hidroskopis nukleus pulposus yang mempercepat pula degerasi

anulus fibrosus.
12

e. Psikologis

Nyeri kronik sering dipicu oleh perilaku repetitip, seperti marah,

frustasi, penyalahgunaan alkohol, dan faktor sosial (pekerjaan yang

membosankan, dukungan keluarga, besar gaji, tingkat gaji, tingkat

pendidikan dan jaminan asuransi). Sindrom nyeri depresif dapat terjadi

pada LBP kronik, dengan tanda dan gejala merasa depresi atau

tertekan, tegang, merasa takut mengalami cedera berulang, perubahan

prilaku gelisah, pola tidur berubah sampai dengan adanya anorexia.

yang memuncak pada 6 bulan sampai 3 tahun setelah onset (Casey,

2010).

3. Tanda dan Gejala Low Back Pain

Menurut Pricilla LeMone, 2012, Joyce. M. Black, (2014 Keluhan yang

khas pada Low Back Pain adalah:

a. Nyeri

Rasa nyeri pada low back pain dibedakan menjadi:

1) Nyeri Miofasial

Ditandai nyeri tekan pada seluruh daerah yang bersangkutan (trigger

poins) sehingga menyebabkan kehilangan ruang gerak kelompok

otot tersebut. Keluhan nyeri ini akan hilang apabila kelompok otot

tersebut di regangkan.

2) Nyeri Fibromialgia

Nyeri fibromialgia menyebabkan nyeri tekan daerah punggung


13

bawah, kekakuan otot sehingga menimbulkan rasa capai.

3) Nyeri diskogenik

Nyeri diskogenik terjadi karena adanya peningkatan tekanan

intraabdominal dan intratorakal akibat dari terjadinya eksaserbasi

daerah lumbar yang diperparah oleh kondisi batuk, bersin atau

mengejan, rasa nyeri akan bertambah saat posisi membungkuk,

duduk di kursi malas, atau saat bangun dari keadaan duduk. Nyeri

diskogenik terjadi akibat herniasi dari lumbal 4 – lumbal 5 sampai

sacrum 1

4) Nyeri redikuler

Nyeri redikuler ini berasal dari radik saraf yang bergeser

(impingement) dengan hernia pulposus (HNP) Terjadi karena

adanya inflamasi sendi sakroiliaka dengan gambaran nyeri: di

rasakan daerah pantat menjalar ke anterior dan posterior paha, rasa

nyeri semakin meningkat pada malam hari sifat nyeri tajam, mudah

dilokalisir, di sertai parestesi, laseque’s positip serta adanya defisit

neurologi..

b. Kesemutan atau baal yang di akibatkan karena adanya hipovaskularisasi

dari pembuluh darah

c. Cemas dapat terjadi akibat dari adanya nyeri depresip dan nyeri kronis
14

4. Faktor-faktor resiko terjadinya Low Back Pain

Faktor resiko yang berperan pada kejadian Low Back Pain diantaranya :

a. Usia

Peregangan tulang punggung sering terjadi pada orang yang berumur di

atas 40 tahun. Semakin bertambahnya usia seseorang, akan terjadi

degenerasi pada tulang, kepadatan tulang semakin menurun, sehingga

mudah mengalami keluhan musculoskeletal, hingga menimbulkan nyeri.

Pada usia 30 tahun, degenerasi terjadi pada kerusakan jaringan,

penggantian jaringan menjadi jaringan ikat, serta pengurangan cairan,

sehingga stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang hingga

mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang menyebabkan

terjadinya LBP. Kekuatan otot berkurang 25% pada usia 50-60 tahun

(Umami, 2014; Andini, 2015).

Penyebab low back pain berdasarkan usia telah di buktikan oleh peneliti

Hesti, dkk: 2009 yang mengatakan bahwa usia tertinggi penderita low

back pain lebih dari 50 tahun sebesar 60% dan kurang dari 50 tahun 40%.

Hasil yang sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Desita

Herawati: 2017, yang mengatakan bahwa penderita low back pain di

alami oleh 75% dengan usia > 30 tahun dan 25% kurang dari 30 tahun.

b. Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya LBP lebih banyak pada wanita dari pada laki-laki.

Secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria.

Selain itu, wanita dengan usia kisaran 41-50 yang mulai memasuki masa
15

menopause terjadi penurunan hormon estrogen yang mengakibatkan

kepadatan tulang berkurang sehingga beresiko terjadinya Low Back Pain

(Alhalabi et al, 2015; Andini, 2015).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Desita Herawati,

(2017) bahwa wanita mengalami low back pain 75% lebih besar di

bandingkan dengan laki-laki yang hanya 25%. Dalam penelitiannya yang

berjudul “Pengaruh core stability dan William exercise terhadap

penurunan nyeri low back pain.” Demikian juga berdasarkan penelitian

Syafitry,:2016 yang mengatakan bahwa jumlah penderita low back pain

pada wanita 66,7% lebih tinggi jika di bandingkan dengan penderita loo

back pain laki-laki 33,3%.

c. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Seseorang yang memiliki IMT ≥ 30 akan lebih rentan terkena LBP. IMT

berkaitan erat dengan berat badan. Semakin meningkat berat badan, maka

beban tubuh juga semakin bertambah. Tulang belakang akan semakin

tertekan sehingga mudah terjadi kerusakan pada struktur tulang belakang,

dan lebih berisiko untuk terjadinya trauma dan rasa nyeri (Septadina,

2014; Andini, 2015; Alhalabi et al, 2015)

Tabel 2.1
Nilai Indek Masa Tubuh

No Nilai IMT Artinya


1 18,5 Berat Badan Kurang
2 18,5 – 22,9 Berat Badan Normal
3 23 – 29,9 Berat Badan Berlebih
16

No Nilai IMT Artinya


4 > 30 Obesitas
5 30,0 – 34,9 Obesitas sedang
6 35,0 – 39,9 Obesitas tinggi
7 . 40,0 Obesitas sangat tinggi
Sumber: Jim Mann : 2012

Berdasarkan penelitian Leo M Dachlan (2009) bahwa penderita low back

pain dialami oleh penderita sebanyak 60% dengan berat badan 56 – 65

kg, dan sisanya 40 % memiliki berat badan antara 45 – 55 kg. Semua

penderita tersebut memiliki index masa tubuh > 30.

d. Olah Raga

Kesegaran jasmani dengan berolahraga dapat mencegah terjadinya

osteoporosis, mencegah penyakit musculoskeletal, serta memperbaiki

kualitas hidup seseorang. Olahraga akan memperkuat otot-otot sekitar

tulang belakang, membantu untuk mengurangi tekanan dari tulang dan

struktur statis lainnya di punggung. Olahraga juga akan membantu

mempertahankan fleksibilitas, yang akan membantu mencegah otot-otot

tegang di sekitar tulang belakang. Olahraga yang dapat membantu

mengurangi nyeri tulang belakang adalah berenang. Berenang

memperkuat otot dan tulang punggung selain itu dapat mencegah dari

stress yang berlebihan. Kurangnya olahraga akan mengakibatkan tulang

kaku dan berkurangnya massa tulang, sehingga beresiko terjadinya LBP

(Widjayanti Y., 2016).


17

e. Jenis pekerjaan

Selain sikap tubuh yang salah yang seringkali menjadi kebiasaan.

Beberapa aktifitas berat seperti melakukan aktifitas dengan posisi berdiri

lebih dari 1 jam dalam sehari, naik turun anak tangga lebih dari 10 anak

tangga dalam sehari, melakukan aktifitas dengan duduk yang monoton

lebih dari 2 jam dalam sehari, berjalan lebih dari 3,2 km dalam sehari,

pekerjaan dengan kegiatan membungkuk lebih dari 3 jam dalam sehari,

Pekerjaan dengan memikul beban berat setiap hari, (Septadina, 2014).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syapitri diperoleh hasil

bahwa penderita low back pain di alami oleh penderita dengan jenis

pekerjaan tidak beresiko sebanyak 40%, dan 60% nya dialami oleh

penderita low back pain dengan jenis pekerjaan yang beresiko.

5. Klasifikasi Low Back Pain

Low Back Pain berdasarkan durasi gejala penyakit dan perjalanan

penyakitnya di bagi menjadi 3 katagori yaitu:

a. LBP akut

Keluhan pada fase akut awal terjadi < 2 minggu dan pada fase akut

akhir terjadi antara 2-6 minggu, rasa nyeri yang menyerang secara tiba-

tiba namun dapat hilang sesaat kemudian.

b. LBP sub akut

Keluhan pada fase sub akut berlangsung antara 6-12 minggu


18

c. LBP kronik

Keluhan pada fase kronik terjadi > 12 minggu atau rasa nyeri yang

berulang. Gejala yang muncul cukup signifikan untuk mempengaruhi

kualitas hidup penderitanya dan sembuh pada waktu yang lama.

Seseorang yang mengalami low back pain kronik, otot ekstensor

lumbar lebih lemah di banding otot fleksor, sehingga tidak kuat

mengangkat beban.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh SinHo Chung: 2013

mengatakan bahwa latihan dengan menggunakan bola swiss efektif

untuk penderita dengan low back pain kronis dengan alasan bahwa bola

swiss dapat lebih leluasa untuk menggerakan otot-otot pinggang, otot-

otot perut serta otot panggul sehingga kestabilan tubuh lebih mudah di

peroleh dan pada akhirnya dapat mengurangi nyeri yang terjadi pada

area tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh

Angela Searie: 2015 yang mengatakan bahwa penderita low back pain

yang mengalami nyeri lebih dari 12 minggu atau yang di sebut nyeri

kronis lebih cepat dapat di sembuhkan terbukti dalam penelitiannya

sebanyak 90% latihan exercise di lakukan oleh penderita low back pain

dengan nyeri kronis dan sisanya sebanyak 10% dialami oleh penderita

low back pain akut.

Untuk mengetahui sejauh mana tingkatan nyeri yang di alami

oleh penderita low back pain, dapat di ukur dengan menggunakan

berbagai alat ukur diantaranya: dengan Visual Analog Scale (VAS)


19

Peneliti Balakhrishnan, et all: (2016) mengukur tingkat nyeri

penderita low back pain dengan menggunakan alat ukur Visual Analog

Scale. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumith

Raghav, et all (2017) Chung SinHo, (2013) yang mengidentifikasi

nyeri low back pain dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS).

Penelitian lain SinHo Chung, et all (2013), Balakhrishnan, et all:

(2016), mengukur efek low back pain tidak hanya pada nyeri akan

tetapi pada pembatasan aktifitas yaitu dengan skala ukur Oswestry

Disability Index (ODI). Sehingga dapat di simpulkan bahwa skala ukur

VAS merupakan alat ukur yang lebih spesifik terhadap nyeri

sedangkan skala ukur ODI dapat memberikan informasi seberapa besar

tingkat disabilitas penderita low back pain dalam melakukan aktifitas

sehari-hari.

6. Patofisiologi nyeri penderita low back pain

Rangsangan nyeri pada low back pain berasal dari tekanan, tarikan pada

ligament longitudinal anterior atau posterior atau bisa juga rasa nyeri yang

berasal dari sendi faset, tulang, otot. serta adanya kerusakan dari beberapa

jaringan. Rangsangan nyeri atau dikenal dengan nosiseptor

mentransmisikan stimulus nyeri di sepanjang serat Aб bermielin ke medula

spinalis, yaitu nosiseptor berjalan melalui saluran nespinotalamus ke

talamus. Dari talamus stimulus didistribusikan ke korteks somatosensori

(persepsi dan interpretasi) sistem limbik. (untuk nyeri yang bersifat


20

terlokalisisr, nyeri tajam). Sedangkan untuk nyeri menyebar, tumpul dan

redikuler transmisi stimulus nosiseptor di sepanjang serat C tidak bermielin

ke medula spinalis dan kemudian menuju ke talamus melalui alur

paleospinotalamus. Stimulus didistribusikan dari talamus ke kortek

somatosensori, sistem limbik dan pusat batang otak. (Priscilla

LeMone:2016). Sehingga akibat dari nyeri yang terjadi pada kasus low

back pain dapat menyebabkan terjadinya beberapa gangguan keperawatan

diantaranya gangguan personal hygiene, gangguan mobilitas fisik,

gangguan kebutuhan istirahat dan tidur, serta gangguan body image

(sdki:2013)

7. Penilaian Intensitas nyeri pada Low Back Pain

Skala yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri menurut Potter & Perry

(2005) :

a. Verbal Descriptor Scale (VDS)

VDS merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata yang

dapat dipilih yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. VDS

ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan

nyeri. Perawat menunjukkan skala tersebut dan meminta klien untuk

mendeskripsikan intensitas nyeri terbaru yang dirasakan, mulai dari “tidak

nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.


21

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Nyeri yg


Nyeri Terkontrol tidak ter
tahankan

b. Numeric Rating Scale (NRS)

NRS merupakan skala yang lebih sederhana dan mudah dimengerti, sensitif

terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Kekurangan dari NRS

adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak

memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan

dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek

analgesik. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-

10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum

dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai

nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Sangat
Nyeri Nyeri

c. Visual Analog Scale (VAS)

VAS merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena

klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian titik yang ada,

memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri

daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (McGuire, 1984 dalam

Potter & Perry, 2005). Rentang nyeri diwakili dengan garis 10 cm, dengan
22

atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini

dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif (tidak nyeri dan nyeri sangat

hebat). Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Kelemahan dari alat

ukur VAS adalah tidak disarankan pada pasien lansia karena memiliki

gangguan kognitif dan motorik akan mengalami kesulitan untuk merespon

grafik VAS serta untuk periode pascabedah, VAS memerlukan koordinasi

visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi (Yudiyanta, 2015).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri
Nyeri Sangat hebat

d. Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak > 3 tahun yang tidak dapat

menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.

Penderita low back pain di masyarakat sebagian besar terjadi karena

adanya kesalahan dari gerakan akibatnya terjadi kerusakan jaringan serta

kelelahan otot, hal ini dapat menyebabkan adanya aktifasi terhadap serabut

saraf pembawa rangsang nyeri (nosiseptor). Rangsangan nyeri pada daerah

punggung akan mengakibatkan kontraksi otot punggung. Makin sering dan


23

kuat nosiseptor terstimulasi makin kuat aktifitas reflek terhadap otot-otot

tersebut sehingga dpat menyebabkan hipertonus. Kondisi ini akan di

perburuk dengan adanya iskemia lokal.

Masalah keperawatan yang terjadi pada pasien dengan low back

pain yang tidak tertangani adalah: kelumpuhan akibat adanya kerusakan

sistem saraf sekitar, dan ketidakstabilan otot-otot punggung, otot pinggang

atau otot perut. (Smelzer & Sudart,2009):

Untuk mengatasi masalah-masalah keperawatan berbagaii

intervensi keperawatan di lakukan diantaranya dengan mendengarkan

keluhan pasien secara seksama, memperhatikan prilaku pasien dengan

cermat, memotivasi pasien agar tidak merasa takut, menghilangkan

pikiran-pikiran yang dapat merusak, mengerti kondisi sosial ekonomi

pasien, memperbaiki kesalahpahaman yang mungkin terjadi dalam

konsultasi pasien dengan dokter serta pemberian latihan atau exercise.

Latihan atau exercise mempunyai manfaat untuk memperkuat

otot-otot perut dan otot-otot punggung sehingga tubuh dalam keadaan

tegak secara fisiologis, mengurangi ketegangan pada otot, Memperkuat

otot-otot fleksor lumbosacral terutama otot dinding abdomen dan otot

glutea, Latihan atau exercise yang dilakukan secara baik dan benar dalam

waktu yang relatif lama akan meningkatkan kekuatan otot secara aktif

lebih jauh lagi dapat meningkatkan fungsi peredaran darah sehingga dapat

mengatasi terjadinya pembengkakan yang dapat mengganggu gerakan dan

fungsi sendi.
24

Latihan atau exercise tersebut telah dilakukan para peneliti di

antaranya adalah: Penelitian yang di lakukan oleh Leo M Dahlan, 2009 yang

mengatakan, setelah di berikan latihan william dan Mc Kenzie bahwa pada

kedua kelompok terjadi pengurangan nyeri yang signifikan pada pasien

dengan nyeri punggung bawah.

Hal ini setara dengan penelitian yang di lakukan oleh Sumit Raghav, et all:

2017 Dalam penelitiannya mengatakan bahwa swiss ball exercise terbukti

efektif untuk menurunkan nyeri punggung bawah serta dapat meningkatkan

kekuatan otot perut dan otot punggung.

Perbedaan antara latihan William, McKenzie dan swiss ball adalah

bahwa latihan william dan Mc Kenzie tidak menggunakan media, sedangkan

swiss ball menggunakan media bola. Keuntungan menggunakan media adalah

selain menggerakan seluruh otot-otot punggung, pinggang dan otot-otot

perut juga dapat mencegah terjadinya cedera seperti terjatuh. Beberapa

penelitian ini mengatakan bahwa swiss ball merupakan salah satu exercise

yang efektif untuk mengurangi nyeri bagian punggung belakang.

B. Swiss Ball Exercise

Swiss halls adalah suatu alat yang terbuat dari bola karet yang ukuran

diameternya antara 45 sentimeter sampai dengan 120 sentimeter dan bola ini

sifamya lentur dan kenyal dan penggunaannya disesuaikan dengan keadaan

postur tubuh. Bola antipecah yang dibuat dari krylon (seperti karet) tidak akan

robek akibat tertusuk sesuatu. Bola dengan bentuk bulat bisa digunakan
25

untuk tujuan yang sama dan biasanya berguna bagi pemula karena bola

tersebut hanya berputar maju dan mundur (Edi Purnomo;2006)

1. Tujuan atau manfaat Swiss Ball Exercise:

a. Mengurangi ketegangan pada otot. Swiss ball memiliki bahan yang

lentur dan ringan sehingga dapat mengakibatkan kontraksi-kontraksi

kecil area punggung sehingga akan berdampak pada fleksibilitas tulang

punggung (Edi Purnomo: 2006)

b. Memperkuat otot-otot fleksor lumbosacral terutama otot dinding

abdomen dan otot glutea

c. Mengurangi gaya yang bekerja pada tulang punggung dengan cara

mengurangi beban badan dan koreksi postur

d. Meregangkan otot-otot yang memendek terutama otot-otot ekstensor

punggung, otot hamstring serta otot quadratus lumborum

2. Mekanisme kerja swiss ball terhadap penurunan nyeri pasien LBP

Gerakan-gerakan swiss ball exercise pada umumnya dapat mengakibatkan

kontraksi yang ringan pada otot-otot punggung, otot-otot lumbosacral,

persendian synovialis, serta discus intervertebralis (DIV). Pada akhirnya

kontraksi ringan yang di akibatkan oleh swiss ball tersebut dapat

meningkatkat fleksibilitas tulang punggung.

Latihan dengan bola swiss akan menggunakan seluruh wilayah tubuh

sehingga tubuh memiliki aktifitas yang lebih luas, daripada latihan tanpa

menggunakan bola atau di atas lantai (Raghav S::2017)


26

3. Prosedur/langkah-langkah Swiss Ball Exercise

a. Pemanasan (warming up)

Tahap untuk mempersiapkan tubuh yang akan melakukan aktifitas

dengan melakukan gerakan latihan yang ringan sesuai dengan jenis

latihan yang akan di lakukan. Pemanasan di awali dengan jalan di

tempat atau bergerak dengan menggunakan otot-otot tubuh yang besar.

Pemanasan sangat berguna untuk mencegah terjadinya cedera ketika

latihan berlamsung.

b. Latihan inti (conditioning)

1) Gerakan pertama

Dalam Posisi terlentang, subjek menempatkan bola di bawah leher,

menekuk lutut, dan menyilangkan dan membengkokkan 90° lengan

sehingga lengan yang bersilangan datang ke mata. tingkat. Sambil

bernafas, subjek perlahan mengangkat setiap ekstremitas bawah

secara bergantian. Subjek melakukan gerakan membengkokkan

sendi panggul dan sendi lutut 90 ° selama 5 hitungan (5 detik),

dengan 4 kali pengulangan

Gambar 2.1 Gerakan posisi tidur, Gerakan 1


Sumber: SinHo-Chung, (2013)
27

2) Gerakan ke dua

Dalam posisi terlentang, subjek menempatkan bola di bawah

panggul, menekuk lutut, dan menyilangkan dan membengkokkan

90° lengan sehingga lengan menyilang sampai ke tingkat mata.

Subjek melakukan gerakan menekan bola di bawah panggul secara

perlahan dengan pelvis lima hitungan (5 detik), dengan 4 kali

pengulangan

Gambar 2.2 Gerakan posisi tidur, Gerakan 2


Sumber: SinHo-Chung, (2013)
3) Gerakan ke tiga

Dalam posisi merangkak, subjek menempatkan bola di bawah satu

lutut dan menjaga jari kaki menjauh dari kontak dengan lantai.

Subjek seimbang pertama untuk menstabilkan postur dan perlahan

mengangkat ekstremitas bawah lainnya. Latihan ini dilakukan secara

bergantian untuk dua ekstremitas bawah. Dilakukan selama 10

hitungan (10 detik) dengan 4 kali pengulangan.

Gambar 2.3 Gerakan posisi tidur, Gerakan 3


Sumber: SinHo-Chung, (2013)
28

2. Gerakan ke empat

Setelah posisi tengkurap, subjek menempatkan bola di depan


panggul dan mengangkat kedua ekstremitas bawah. Seakan
menendang, subjek berulang kali mengangkat dan menurunkan
kedua tungkai bawah secara bergantian. Dilakukan selama 10 kali
(10 detik) dengan 4 kali pengulangan. selama lima set, mengambil
istirahat setidaknya 15 detik antara setiap set.

Gambar 2.4 Gerakan posisi tidur, Gerakan 4


Sumber: SinHo-Chung, (2013)

c. Pendinginan (cooling down)

Pendinginan dilakukan setiap selesai melakukan latihan. Hal ini

dilakukan untuk mencegah terjadinya penumpukan darah pada otot-otot

yang aktif. Cara pendinginan bervariasi: Jalan pelan, lari-lari santai,

latihan dengan intensitas ringan. Dilanjutkan dengan peregangan yang

bertujuan untuk melenturkan otot-otot yang masih teregang, elastis dan

hangat.

Penelitian Balakrishnan, et all, (2016) dalam penelitiannya yang

berjudul ”Efektifitas of the core stabilisation exercise on floor and swiss

ball on individual with non- spesific low back pain” Penurunan nyeri

terjadi pada penderit low back pain non spesifik setelah di berikan
29

intervensi swiss ball exercise selama 4 minggu atau satu bulan dengan

frekuensi latihan tiga kali dalam satu minggu.

Kemandirian pasien dalam mengatasi masalah kesehatan merupakan

bagian yang penting dilakukan karena perawatan kesehatan harus diupayakan

oleh pasien sendiri, bagaimana pasien melakukan perawatan terhadap diri

sendiri itulah yang di sebut self care. Teori self care telah di kembangkan oleh

Dorothea E. Orem.

C. Konsep Teori Self Care Dorothea Orem

2. Definisi Teori Self Care

Teori self care terdiri dari:

a) Self Care/Perawatan Diri

Merupakan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan

hidup, melanjutkan pengembangan pribadi, memfungsikan kesehatan

serta kesejakteraan.

b) Self Care Agency

Merupakan kemampuan dari induividu untuk mengetahui dan memenuhi

kebutuhan, untuk melakukan fungsi dari perkembangan tubuh.

c) Theurapeutik Self Care Demands

Merupakan perawatan diri secara total yang dilakukan dalam jangka

waktu tertentu untuk memenuhi seluruh kebutuhan perawatan diri

individu melalui cara-cara tertentu untuk memenuhi kecukupan udara, air

dan makan.
30

3. Sistem Keperawatan menurut Orem

Menurut Orem dalam teori self care merupakan hubungan antara

theurapeutic self care demands dengan kekuatan self care agency yang tidak

adekuat. Kemampuan self care agency lebih kecil dibandingkan dengan self

care demands sehingga self care tidak terpenuhi. Self care defisit terjadi

apabila self care agency lebih kecil dari self care demands, atau kemampuan

lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan. Kondisi ini menentukan adanya

kebutuhan perawat (nursing agency) melalui sistem keperawatan. Sesuai

dengan kerangka konsepnya yang di gambarkan sebagai berikut:

a. Sistem bantuan penuh (Wholly Compensantory Nursing System)

Sistem bantuan penuh adalah suatu situasi dimana individu tidak dapat

melakukan tindakan self care, seperti halnya pada pasien low back pain

yang mengalami hernia nukleus pulposus, fraktur lumbo sacral yang

dapat mengakibatkan kelumpuhan akibat dari terputusnya vascularisasi

dari pembuluh darah maupun rusaknya inervasi sistem persyarafan.

Sehingga dapat di pastikan bahwa penderita tersebut membutuhkan

theurapeutik self care demand, dari nursing agency

b. Sistem bantuan sebagian (Partially compensatory Nursing System)

Perawat mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan

oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care

c. Sistem Pendukung/pendidik (Supportive-Educative Nursing System)

Perawat dapat membentuk internal maupun ekternal self care dengan

memberikan pendidikan kesehatan serta memberikan motivasi kepada


31

pasien sehingga pasien dapat melakukan self care sendiri yang di

tunjukan untuk terapi.

4. Aplikasi Teori Orem pada Penderita LBP

Pengkajian self care mengacu pada universally self care requisites,

developmental self care requisites dan health deviation self requisites. Pada

universally self care requisites penderita low back pain akan bermasalah

pada masalah aktivitas dan istirahat karena nyeri yang di rasakan akan

menyebabkan terganggunya aktivitas dan istirahat tersebut, pada akhirnya

akan bermasalah terhadap hubungan interaksi sosial di masyarakat.

Dan lingkungan yang aman bagi penderita low back pain yang mengalami

nyeri adalah adanya dukungan dari keluarga terdekat terhadap

perkembangan perawatan diri, terlibat langsung dalam pengembangan diri

serta dapat mengatasi akibat dampak yang terjadi dari masalah self care.

Pada penderita low back pain maka akan mengalami defisit perawatan diri

sehingga ada upaya-upaya terhadap pengobatan (theurapetik self care

demands) dan perawatan, perawat sebagai nursing agency akan memenhuhi

sesuai kebutuhan penderita low back pain.

Pada penderita low back pain kronis yang menjalani rawat jalan sistem

keperawatan menurut Dorothea Orem yang paling sangat di butuhkan

adalah sistem pendukung/pendidik (Supportive-Educative Nursing System)

dimana sistem tersebut dapat memberikan pendidikan kesehatan, tentang

swiss ball exercise dan juga motivasi dalam melakukan self care.. Sesuai

dengan kerangka teori di bawah ini:


32

Skema 2.1
Konsep Model Orem
33

D. Kerangka Teori

Skema 2.2
Kerangka teori

Low Back Pain Self Care

Universal self care


requisites
Faktor yang
Nyeri, kesemutan
mempengaruhi LBP:
cemas (gg. Aktifitas &
1. Usia
istirahat)
2. Jenis Kelamin
3. IMT
Developmental selp 4. Jenis pekerjaan
care requisites 5. Olah raga

Health deviation self


Self Care < Self Care
care requuisites
Agency Demands

Self Care Defisit

Nursing Sistem
Supportive-Educative
“Swiss Ball Exercise”

1. Meningkatkan kekuatan otot


fleksor lumbosacral
2. Melancarkan peredaran
darah
3. Mengurangi ketegangan
pada otot
4. Meregangkan otot-otot yang
memendek terutama otot
ekstensor

Sumber : Joyce M Bobak, 2014, Navaristami, 2015, Tommy & Alligood,2006

Anda mungkin juga menyukai