Anda di halaman 1dari 15

CRIME AND PUNISHMENT

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Filsafat
Yang diampu Oleh Dr. Dra. Sri Sudarsih, M.Hum.

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Mu’tamir Helmi Mujtaba 13030122130063
Oktavio Rizki Nur Barokah 13030122140073
Nazwa Azzahra Irawan 13030122140099
Revalina Ela Putri Koswara 13030122140100
Nesya Hanan Hunges Azzahra 13030122140125

DEPARTEMEN SEJARAH
PROGRAM STUDI S1 SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rahmat
dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas diskusi kelompok dan menghasilkan
penulisan makalah kelompok yang berjudul “Crime and Punishment” dengan baik dan tanpa
kendala apapun. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
terlibat dan telah membantu sekaligus memberi dukungan dalam penyusunan makalah ini,
terutama dosen pengampu mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat, Dr. Dra. Sri Sudarsih, M.Hum.
Penulis memohon maaf bila masih terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik pada
teknis penulisan maupun materi maupun materi yang penulis bahas, mengingat akan kemampuan
yang dimiliki penyusun. Penyusun juga menerima kritik serta saran dari pembaca agar dapat
membuat makalah dengan lebih baik di kesempatan berikutnya.

Semarang, 26 April 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………..…………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………..……………………………………ii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………...……………..……….1
A. Latar Belakang…………………………………………...……………..……….1
B. Rumusan Masalah……………………………………...…………………..……2
C. Tujuan……………………………………………….…………………….……..3
BAB II. PEMBAHASAN……………………………………………………………….……3
A. Pendekatan Utilitarian……………………………………………….…….……..3
B. Pendekatan Retributivis…………………………………………………..………4
C. Hukuman Mati………………………………………………….………………...4
a. Argumen Utilitarian………………………………………….……………….5
b. Argumen Retributivis………………………………………….……………..6
D. Hukuman Mati dalam Teori dan Praktik………………………………………...10
BAB III. PENUTUP……...……………………………………………………………………11
Kesimpulan…………………………………………………………………………..11
Referensi…………………………………………………………………………….12
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan perilaku sosial yang dianggap menyimpang dan dianggap sebagai
masalah sosial yang besar. Pada umumnya sebagian besar masyarakat menghadapinya dengan
beberapa bentuk hukuman resmi yang telah disepakati secara sadar seperti pengenaan denda,
mengurung orang dalam penjara, dan bahkan mengeksekusi seseorang maupun hukuman yang
dianggap sebagai adat istiadat disuatu tempat.
Sekarang mungkin terlihat aneh untuk meminta agar hukuman atas kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang diberikan pembenaran umum. Tampak jelas bagi kebanyakan orang
bahwa melakukan kejahatan, merupakan perbuatan salah atau menyakiti atau merugikan orang
lain pantas dan membutuhkan hukuman dan satu-satunya pertanyaan adalah tingkat
hukumannya. Namun para filsuf mulai curiga setiap kali ada yang mengklaim bahwa ada
sesuatu yang sangat jelas.
Jika kita mendefinisikan kejahatan dengan cara yang ringkas, kita dapat mendefinisikan
bahwa kejahatan adalah apa yang dianggap ilegal oleh masyarakat kita dan jika mungkin bisa
dikatakan bahwa kejahatan adalah penderitaan yang disengaja untuk suatu kepuasan tertentu
bagi pelakunya.
Dalam definisi hukuman bisa dikatakan bahwa menghukum orang dengan merampas
hartanya (denda), membuat mereka bekerja tanpa kompensasi (pelayanan masyarakat),
merampas kebebasan hidup mereka (penjara), atau membunuh mereka (eksekusi). Tapi apa
bedanya dengan kejahatan pencurian, kerja paksa, penculikan atau pembunuhan? Apakah
hanya karena pejabat negara melaksanakannya?
Dengan demikian kita dapat melihat mengapa hukuman membutuhkan pembenaran dan
suatu sanggahan, karena jika tidak ada pembenaran maka kita tidak dapat benar-benar
membedakan antara hal-hal yang dianggap sebagai kejahatan dan hal-hal yang dianggap
sebagai respons sosial (balasan yang setimpal) yang sah terhadap kejahatan. Jika hukuman
tidak memiliki pembenaran maka satu-satunya perbedaan antara kejahatan dan hukuman
adalah identitas orang atau orang yang melakukannya – disebut kejahatan ketika dilakukan
oleh orang lain selain perwakilan resmi negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Pendekatan Utilitarian?
2. Apa definisi dari Pendekatan Retributivis?
3. Apa definisi dari Hukuman Mati?
4. Apakah hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang sah dan masih relevan saat ini?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Pendekatan Utilitarian
2. Mengetahui apa itu Pendekatan Retributivis
3. Mengetahui definisi Hukuman Mati
4. Mengetahui relevansi Hukuman Mati pada saat ini
BAB II
Pembahasan
A. Pendekatan Utilitarian
Pendekatan utilitarian adalah salah satu pendekatan dalam etika yang menekankan pada
konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan atau keputusan. Pendekatan ini berfokus pada
upaya untuk memaksimalkan kebahagiaan atau kepuasan (utility) bagi sebanyak mungkin
orang, atau meminimalkan penderitaan dan kerugian bagi sebanyak mungkin orang.
Pendekatan utilitarian dikenal memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
Memungkinkan pemilihan tindakan atau keputusan yang dapat memberikan manfaat bagi
sebanyak mungkin orang, Mendorong pengambilan keputusan yang lebih objektif dan rasional,
karena berfokus pada hasil atau konsekuensi yang dihasilkan oleh tindakan tersebut, Mampu
mengatasi dilema moral dengan cara mempertimbangkan manfaat dan kerugian dari berbagai
pilihan Tindakan.
Namun, pendekatan utilitarian juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
Mengabaikan hak-hak individu dan kebebasan dalam mempertimbangkan tindakan yang
diambil, Dapat mengabaikan nilai-nilai moral dan etika dalam memaksimalkan keuntungan
atau kepuasan, Sulit untuk mengukur dan memperhitungkan nilai atau kepuasan yang
diperoleh oleh berbagai pihak yang terlibat.
Dalam konteks hukuman mati pendekatan utilitarian sebagai pertimbangan atas manfaat
dan kerugian dari pemberian hukuman mati bagi masyarakat secara umum. Pendekatan ini
berfokus pada pertimbangan apakah hukuman mati dapat memberikan manfaat atau
memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan masyarakat luas.
Beberapa pendukung hukuman mati menganggap bahwa hukuman mati dapat
meminimalkan kejahatan dengan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan masyarakat
luas. Namun, beberapa kritikus hukuman mati menganggap bahwa hukuman mati tidak hanya
tidak efektif dalam mencegah kejahatan, tetapi juga melanggar hak asasi manusia dan moral
yang mendasar.
B. Pendekatan Retributivis
Pendekatan retributivisme adalah seorang retributivis biasanya lebih memperhatikan
latar belakang seseorang karena prinsip utamanya adalah kesalahan dan tanggung jawab moral
pelaku. Ini adalah masalah kompleks yang membingungkan para filsuf dan ahli hukum selama
ribuan tahun.
Retributivisme yaitu teori atau filosofi hukuman pidana yang berpendapat bahwa pelaku
kesalahan pantas dihukum sebagai masalah keadilan atau hak. n pandangan retributivisme,
keadilan restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum
pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian
terhadap korban (viktimisasi). Dengan kata lain, keadilan restoratif memandang tindak pidana
atau kejahatan sebagai konflik antara pelaku dan korbannya. Persepsi tentang kejahatan
menurut keadilan restoratif tersebut mengandung konsekuensi harus dipertimbangkannya juga
aspek korban dalam penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan
kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna
bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban. Keadilan restoratif juga memandang penting
dilibatkannya korban dalam proses penyelesaian perkara.
Penerapan sanksi pidana yang lebih memperhatikan asas keseimbangan kepentingan
pelaku, korban dan masyarakat tersebut diharapkan tidak saja dapat mengembalikan ketertiban
dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga dapat mengembalikan ketentraman, karena
konflik dapat diselesaikan secara lebih substansial.

C. Hukuman Mati
Hukuman mati memiliki sejarah yang panjang dan rumit di Amerika Serikat serta terus
menimbulkan banyak perdebatan. Beberapa individu menyatakan bahwa hukuman tersebut
sebaiknya dihapuskan, sedangkan yang lain dengan tegas mendukungnya dan
memperjuangkan agar hukuman tersebut lebih sering diterapkan daripada sebelumnya.
a) Argumen Utilitarian
Seorang pengguna utilitarian mempertimbangkan hukuman mati dengan cara
yang serupa dengan yang telah kita lihat dalam kasus-kasus sebelumnya. Konsep
utilitarianisme tidak memungkinkan kita untuk menetapkan benar atau salah secara
umum, namun memerlukan kita untuk mengevaluasi kasus tertentu dan menentukan
apakah satu pilihan atau yang lain akan menghasilkan "kebaikan yang lebih besar"
daripada alternatif yang tersedia. Namun, kita dapat mengatasi masalah ini dengan
mengikuti prinsip-prinsip "aturan utilitarianisme" yang telah diabaikan sejauh ini.
"Aturan utilitarianisme" berusaha untuk mengatasi masalah "kelebihan informasi"
yang dihadapi oleh utilitarianisme biasa.
Dalam situasi hukuman mati, selama kita menerapkan prinsip utilitarianisme,
tampaknya kita bisa menemukan penjelasan umum mengenai moralitas di balik
hukuman mati. Jika hukuman mati cenderung memaksimalkan kegunaan secara
keseluruhan, maka hukuman tersebut dapat dianggap sebagai hukuman yang
diperbolehkan untuk dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu. Namun, jika
hukuman mati tidak cenderung memaksimalkan kegunaan, maka seharusnya kita
menghapus hukuman tersebut. Dalam dasarnya, argumen ini mengubah perdebatan
moralitas terkait hukuman mati menjadi perdebatan kebijakan terkait apakah hukuman
mati layak untuk diterapkan sebagai imbalan atas kerugian yang ditimbulkannya.
Ada dua argumen yang sering dibahas dalam perdebatan tentang relevansi
hukuman mati: pertama, pandangan bahwa hukuman mati memberikan rasa "closure"
bagi korban dan oleh karena itu dapat dibenarkan; kedua, pandangan bahwa hukuman
mati memiliki nilai pencegahan yang signifikan yang dapat menyeimbangkan kerugian
yang ditimbulkannya. Argumen utilitarian pertama tentang hukuman mati bergantung
pada gagasan bahwa mengeksekusi seseorang yang telah melukai orang secara serius
dapat melakukan hal-hal tertentu bagi korban yang tidak dapat dilakukan oleh mereka
yang tidak dieksekusi. Argumen kedua yang berlandaskan utilitarianisme mengenai
hukuman mati, yakni efek jera yang mungkin dihasilkan untuk kebaikan yang lebih
besar. Untuk mengetahui apakah hukuman mati benar-benar mempengaruhi tingkat
pembunuhan, dibutuhkan analisis data yang cermat dan ekstensif mengenai kejahatan
dan hukuman. Ernest Van den Haag, seorang filsuf yang mendukung hukuman mati,
berpendapat bahwa jika dapat dibuktikan bahwa "beberapa" calon pembunuh terhalang
oleh pemikiran mengenai hukuman "tertinggi", maka hukuman mati layak untuk
dijatuhkan. Kebijakan yang tepat harus didasarkan pada fakta empiris, bukan asumsi
umum mengenai apa yang seharusnya terjadi.
Bagaimanapun, argumen seorang utilitarian adalah bahwa konsekuensi nyata
dari melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tertentu harus
dipertimbangkan dengan serius. Namun, kaum utilitarian harus membuktikan secara
faktual bahwa kebijakan tertentu benar-benar berdampak seperti yang mereka klaim,
karena itu menjadi beban pembuktian mereka yang mendasar.
b) Argumen Retributivis
Dalam Retributivitis ini memiliki istilah yang paling sederhana, yaitu keadilan
melibatkan individu untuk mendapatkan secara pantas apa yang mereka terima atau
diperlakukan secara adil. Ke dalam beberapa konteks, mengharuskan untuk tidak
mendiskriminasikan orang dengan cara memberi mereka gaji lebih rendah atau
kesempatan lebih sedikit tanpa alasan yang baik, dalam kasus seperti itu individu tidak
mendapatkan manfaat yang layak diterima. kasus di mana keadilan distributif tidak
dilakukan dalam arti bahwa beberapa orang secara tidak adil dikecualikan dari
pertimbangan yang sama dalam pembagian keuntungan dan kesempatan masyarakat
Namun, ada cara di mana orang mungkin atau mungkin tidak mendapatkan
yang pantas mereka dapatkan ketika seseorang dengan sengaja dan sadar berbuat salah
kepada orang lain, orang yang dianiaya tidak mendapatkan apa yang pantas mereka
dapat, perlakukan hormat orang yang telah menganiaya mereka. Selanjutnya, jika
orang yang melakukan penjambretan gagal dihukum dengan cara tertentu bahkan jika
mereka ditangkap oleh polisi, sepertinya mereka tidak mendapatkan apa yang pantas
mereka terima - penghinaan. Satu hal yang perlu diperhatikan tentang keadilan
retributif adalah bahwa pada dasarnya melihat ke belakang- mencari tahu apa yang
pantas diterima seseorang dalam retribusi hanya berfokus pada apa yang telah mereka
lakukan. Pendekatan terhadap hukuman ini sangat berbeda dari pendekatan kaum
utilitarian yang di atas segalanya memperhatikan konsekuensi hukuman di masa depan,
kebaikan. yang bisa keluar dari sengaja merugikan seseorang dalam tahanan hukuman.
Ada tiga pendekatan dasar untuk Retributivisme, yaitu :
a) Retributivisme Sederhana
Retributivisme sederhana paling baik ditangkap dalam slogan alkitabiah
yang terkenal, Mata ganti mata dan gigi ganti gigi." Iris di balik pendekatan
untuk membenarkan hukuman ini adalah untuk menarik gagasan perlakuan adil.
Orang harus diperlakukan dengan cara yang sama seperti itu. mereka
memperlakukan orang lain. Terlepas dari daya tarik dan popularitas pendekatan
ini untuk membenarkan hukuman, bagaimanapun, itu gagal untuk memberikan
panduan apapun.
b) Teori Kontrak Sosial
Salah satu upaya untuk menebus kegagalan retributivisme sederhana untuk
mengatasi masalah membenarkan retribusi disarankan oleh Teori Kontrak
Sosial. Kami melihat sebagai Teori Kontrak Sosial sebelumnya sebagai upaya
untuk memberikan landasan bagi aturan etika dan sosial secara umum. Di sini
lebih relevan sebagai teori asal- usul dan pembenaran otoritas politik. Ia
mencoba mengakarkan kewibawaan dan legitimasi institusi politik dalam
perjanjian nyata atau fiktif antara warga negara yang hidup di bawah kekuasaan
negara. Gagasan yang relevan di sini adalah bahwa masyarakat dapat dilihat
sebagai semacam permainan, ada aturan permainan tertentu untuk hidup dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Setelah aturan ini ditetapkan, kita semua akan
dikabulkan tertentu "hak, dan hak istimewa sambil diharapkan untuk
mengambil "tanggung jawab" tertentu. Jika seseorang melanggar aturan yang
ditetapkan ini, maka mereka akan diminta untuk tidak bermain untuk sementara
waktu dan jika pelanggaran aturan ini cukup parah mereka benar- benar
kehilangan hak untuk memainkan permainan sosial sama sekali Kita tidak akan
berbicara terlalu banyak tentang pendekatan kontrak sosial di sini, kecuali
untuk menunjukkan beberapa masalah yang membuatnya tidak bisa dijalankan
sebagai teori pembenaran hukuman.
Masalah pertama di sini menyangkut aturan main yang seharusnya kita
langgar saat kita melakukan kejahatan. pada modifikasi - undang- undang baru
terus dibuat dan undang- undang lama terus- menerus dicabut Jika hak untuk
memainkan permainan sosial didasarkan pada undang- undang yang kebetulan
ada pada saat tertentu dan undang- undang ini berubah, sepertinya hak- hak
dasar kita dapat berubah tergantung pada mood legislatif suatu masyarakat. jauh
kurang solid daripada pembicaraan biasa tentang anggapan hak.
Kedua, dan yang lebih penting, jika hukuman diberikan kepada seseorang
karena melanggar aturan, maka ini tampaknya membalikkan keadaan - apakah
saya benar- benar pantas dihukum karena saya melanggar aturan, atau apakah
aturannya seperti itu karena entah bagaimana mencerminkan masyarakat kita.
teori kontrak sosial membuat hak relatif terhadap seperangkat norma sosial dan
mengklaim bahwa mereka tidak mutlak. Lagi pula, jika saya bersikeras bahwa
hak saya dilanggar, seperti yang dilakukan orang kulit hitam Amerika selama
era hak- hak sipil, saya mengajukan banding ke konsep yang melampaui aturan
tertentu masyarakat pada saat itu. Saya memohon sesuatu yang universal yang
tidak dapat diambil oleh masyarakat tertentu, bahkan jika masyarakat itu gagal
untuk menghormatinya. Jadi jika hak adalah hal- hal yang dapat diambil oleh
masyarakat tertentu, itu sama sekali bukan hak.
c) Retributivisme Kant
Pembahasan tentang karakter absolut dari hak ini tampaknya membuat kita
terikat. Jika hak itu mutlak maka bagaimana kita bisa dibenarkan dalam
menghukum siapa pun! Lagi pula, hukuman melibatkan tindakan yang
disengaja untuk menyakiti seseorang dan itu jelas merupakan pelanggaran hak.
Kami sepertinya punya pilihan, menghormati hak setiap orang atau
menghukum beberapa orang. Seorang filsuf, teman lama kita Kant, mengklaim
bahwa ini adalah dikotomi yang salah, yaitu, dia mencoba menunjukkan
bagaimana, jika kita memahami konsep tanggung jawab dengan benar, kita
akan melihat bahwa dalam kasus di mana orang bertanggung jawab untuk
memperlakukan orang lain dengan cara yang berbeda. mammer kriminal,
mereka berdua pantas dihukum dan terus memiliki hak. Faktanya, meskipun
terdengar paradoks, menurut pandangan Kant, penjahat harus dihukum karena
mereka memiliki hak dan merupakan pelanggaran terhadap hak penjahat untuk
tidak dihukum. Karena hukuman adalah, menurut pandangan yang sedang kita
pertimbangkan, semua tentang keadilan retributif, sangat penting bahwa
hukuman hanya diberikan kepada orang- orang yang benar- benar telah
melakukan apa yang dituduhkan kepada mereka.
Menurut Kant kita semua berutang hormat kepada orang lain tidak peduli
apa dan ini tampaknya jelas tidak sesuai dengan klaim beberapa orang pantas
untuk dikurung atau bahkan dieksekusi. Kunci pembenaran hukuman Kant
terletak pada konsepsinya tentang otonomi. Ketika kita memperlakukan orang
lain dengan hormat, ini berarti membiarkan mereka mengambil keputusan
sendiri tentang apa yang berharga bagi mereka, dengan harapan penuh, tentu
saja, bahwa mereka juga akan melihat bahwa orang lain juga pantas dihormati.
Namun, ada risiko dalam mempercayai seseorang seperti ini, dalam
membiarkan mereka memutuskan sendiri bagaimana mereka harus bersikap.
Misalnya, seseorang mungkin berpikir bahwa Anda tidak layak dihormati jika
Anda memiliki sesuatu yang mereka inginkan.
Katakanlah saya memutuskan untuk membunuh seseorang yang tidak saya
sukai, jadi saya dengan sengaja merencanakan cara untuk membunuh mereka
dan ketika saya mendapat kesempatan, saya melakukan pembunuhan. Jika saya
benar- benar melakukan ini, saya berasumsi bahwa tidak apa- apa membunuh
seseorang yang tidak saya sukai. Tetapi perhatikan apa artinya ini jika saya
membunuh seseorang dengan keyakinan bahwa tidak apa- apa bagi saya untuk
melakukannya, bukankah saya juga mengasumsikan poin yang lebih umum,
bahwa kehidupan manusia tidak memiliki nilai. layak dan orang berhak
diperlakukan sesuai dengan standar yang mereka tentukan sendiri dengan
bebas, maka tampaknya mengikuti seseorang yang standarnya memungkinkan
penghentian hidup orang lain secara sengaja hanya dapat dihormati dengan
diperlakukan sesuai keinginan mereka untuk memperlakukan orang lain.
Gagasan ini tidak hanya terbatas pada kasus- kasus yang sepenuhnya tidak
menghormati kehidupan orang lain, tetapi dalam kasus- kasus yang sebagian
tidak menghormati orang lain di mana seseorang dengan sengaja menyakiti
orang lain tanpa benar- benar membunuhnya.
Ada beberapa poin yang harus diperhatikan, antara lain:
a) Hukuman hanya dapat diterima jika orang yang dihukum benar-
benar bersalah atas kehendak dengan sengaja dan sadar merugikan
orang
b) Punishment hanya melayani kepentingan keadilan, tidak sah sebagai
cara mempertahankanmenjaga ketertiban dalam masyarakat, atau
mengoreksi pelaku secara paksa, dengan memaksa mereka untuk
bertindak lebih bertanggung jawab. Ini hanya karena keduanya akan
melanggar otonomi orang yang dihukum.
c) Hukuman harus sebanding dengan tingkat ketidakhormatan yang
diperlihatkan dalam perbuatan itusedang dihukum.

Argumen ini juga berlaku untuk kasus kejahatan yang sangat mengerikan,
di mana beberapa orang mungkin berpendapat bahwa hukuman mati diperlukan.
Ambil contoh genosida, di mana tindakan tersebut melibatkan pembunuhan
individu yang disengaja untuk alasan egois dan bahkan mencoba untuk
menghancurkan seluruh kelompok masyarakat. Berdasarkan penalaran Kant,
hukuman mati mungkin dibenarkan dan bahkan diperlukan dalam kasus seperti itu.
Bagaimana lagi kita bisa menanggapi seseorang yang telah dengan bebas
memutuskan untuk memperlakukan orang lain dengan rasa tidak hormat.
Namun, mungkin ada pertanyaan mengenai apakah pendekatan ini
seharusnya didukung pada akhirnya. Terlihat mengkhawatirkan bahwa pelaku
genosida dapat dengan sengaja memutuskan untuk melakukan tindakan mereka
dengan kejelasan pikiran yang diperlukan seperti yang ditegaskan oleh argumen
Kant. Hal ini mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa orang sebagai
alasan lain mengapa mereka harus dipertahankan sebagai tindakan pembelaan diri
kolektif. Pertanyaan ini sangat penting karena saat ini sebagian besar negara di
seluruh dunia telah menentukan bahwa pendekatan ini tidak tepat. Di bagian
berikutnya, kita akan melihat mengapa hal ini terjadi.

D. Hukuman Mati dalam Teori dan Praktek


Mari kita asumsikan untuk argumen bahwa penghukuman mati dapat dibenarkan
secara moral dalam beberapa kasus. Dalam situasi-situasi seperti yang telah dibahas
sebelumnya, seperti genosida, tampaknya tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan
secara moral. Namun, di banyak negara, bahkan mereka yang telah berjuang untuk
mencapai perdamaian setelah genosida dan bentuk lain dari penindasan dan kekerasan
politik, penggunaan hukuman mati telah dihapuskan sepenuhnya atau dibatasi secara
signifikan. Mengapa hal ini terjadi? Ada dua alasan utama untuk ini. Yang pertama terkait
dengan pengakuan akan kesalahan manusia, dan yang kedua terkait dengan
ketidakpercayaan pada kekuatan politik.
Tidak ada sistem peradilan pidana yang sempurna. Tidak hanya para pengambil
keputusan, penyelidik kejahatan, penangkap tersangka, pengadilan, dan lain-lain yang
dapat melakukan kesalahan, tetapi dalam banyak kasus, sulit untuk mendapatkan bukti
yang kuat dan sulit untuk melindungi bukti dari kecurangan. Selain itu, sistem peradilan
pidana selalu terkait dengan masyarakat yang memiliki sejarah panjang konflik antar
kelompok, yang dapat menyebabkan bias yang tersembunyi atau tidak tersembunyi di
setiap tahap proses pidana.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Crime and Punishment adalah isu yang yang memerlukan pemeriksaan atas
berbagai hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan. Hukuman mati adalah topik
yang kontroversial dan terus menimbulkan banyak perdebatan. Dua argumen yang sering
dibahas dalam perdebatan tersebut adalah argumen utilitarian dan retributivis. Argumen
utilitarian mencoba memperhitungkan dampak hukuman mati terhadap kebaikan yang
lebih besar secara keseluruhan, sedangkan argumen retributivis berfokus pada keadilan dan
memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Kedua argumen ini harus
dibuktikan secara faktual agar dapat dijadikan dasar kebijakan yang tepat.
Secara ringkas, isu crime and punishment ini memerlukan keseimbangan yang hati-
hati antara pendekatan utilitarian dan retributivist. Keduanya memiliki keuntungan dan
kerugian, dan penting untuk mempertimbangkan keadaan kejahatan, latar belakang pelaku,
dan dampak hukuman pada masyarakat secara keseluruhan. Mengenai relevansi dari
hukuman mati masih menjadi bahan perdebatan. Pihak yang setuju beranggapan bahwa
hukuman mati layak diberikan apabila kejahatan yang dilakukan telah mengancam hak
hidup orang lain. Sementara itu, bagi pihak yang menolak beranggapan bahwa pelaksanaan
hukuman mati bertentangan dengan hak hidup setiap orang.

REFERENSI
Matthews W, George. 2020. Philosophical Ethics: a guidebook for beginners. Britania Raya:
Plymouth State University, hal 143-156.

Anda mungkin juga menyukai