Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING NON FORMAL

PADA PENDIDIKAN KESETARAAN


oleh
Destanika Dhiffa Ralianti, Dian Junita Anggarini, Ilma Ainu Sofa
Santi Widiasari, Dinny Hidayatur Rahman

Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu


Pendidikan, Universitas Negeri Malang

Abstrak
Karakteristik perkembangan warga belajar di satuan pendidikan nonformal sangat
bervariasi pada aspek usia, maka tahapan perkembangan dan tugas yang harus
dikuasai berbeda dari peserta didik. Pendidikan nonformal khususnya pendidikan
kesetaraan lahir untuk membantu mereka yang tidak mampu mengenyam pendidikan
formal. Dengan demikian, siswa yang biasa disebut sebagai warga belajar pada
pendidikan nonformal yang menempuh pendidikan kesetaraan, bisa dikatakan
sebagai orang yang kurang beruntung dalam mendapatkankan pendidikan dan juga
mempunyai permasalahan yang bermacam-macam. Hal ini menjadi masalah baru
karena anak putus sekolah dini sulit mendapatkan pekerjaan sehingga menimbulkan
masalah baru seperti kemiskinan dan kriminalitas. Oleh sebab itu, layanan
bimbingan dan konseling juga sangat penting di lembaga pendidikan kesetaraan
karena ada berbagai permasalahan yang pasti muncul yang dapat menghambat
perkembangan siswa pendidikan kesetaraan seperti dalam bidang pribadi, sosial,
belajar maupun karir siswa. Bimbingan dan konseling merupakan metode alternatif
untuk menangani permasalahan siswa dalam pendidikan kesetaraan. Selama ini
program layanan bimbingan dan konseling khususnya dalam setting pendidikan non
formal belum banyak dikembangkan.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menjelaskan pentingnya layanan bimbingan dan konseling serta mengidentifikasi
permasalahan yang ada pada pendidikan nonformal khususnya pada pendidikan
kesetaraan.

Kata Kunci : BK Non Formal, Pendidikan Kesetaraan

PENDAHULUAN
Ada tiga jalur pendidikan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 13 ayat (1) menyatakan
bahwa sektor pendidikan terdiri atas sektor pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan
pendidikan informal yang masing-masing memiliki fokus serta pelaksanaan yang berbeda
dalam penyelenggaraan pendidikan yang ada di Indonesia. Keterkaitan antara ketiga sektor
pendidikan tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan proses pendidikan yang ada secara
menyeluruh dan berkesinambungan dalam proses pendidikan Indonesia (Nuryanti, 2020).
Namun dalam prakteknya pendidikan nonformal khususnya pada jenis pendidikan kesetaraan
bahwa paket A setara dengan jenjang Sekolah Dasar (SD), paket B setara dengan jenjang SMP,
dan paket C setara dengan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah menurut Pasal 1 ayat 2 berfungsi
sebagai pengganti, penambah dan juga sebagai pelengkap dari pendidikan formal. Hal
ini sejalan dengan pendapat Asran (2011) yang menyatakan bahwa jalan alternatif untuk
memecahkan permasalahan angka putus sekolah adalah salah satunya pendidikan
nonformal baik yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui sanggar kegiatan belajar
(SKB) ataupun yang diselenggarakan oleh perseorangan atau kelompok seperti pusat
kegiatan belajar masyarakat (PKBM) guna menjalankan program pemerintah wajib belajar
dua belas tahun yang artinya setiap individu wajib mengikuti pendidikan hingga setara
sekolah menengah atas (SMA) seperti yang tercantum dalam peraturan menteri
pendidikan dan kebudayaan republik indonesia nomor 19 tahun 2016 tentang program
indonesia pintar pasal 2.
Pendidikan nonformal dikatakan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal,
tetapi tetap diselenggarakan secara terstruktur dan bertingkat. Mengingat pentingnya fungsi
pendidikan nonformal menurut UU SISDIKAS No 20 pasal (1) ayat (2) Tahun 2003, maka
fungsinya sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal yang tidak boleh
diremehkan dari semua aspek dan mendapat perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah dan
pemangku kepentingan terkait. Pendidikan nonformal adalah program pembelajaran yang
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik atau warga
belajar. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nonformal sebagai wadah mendidik individu
dan masyarakat untuk berpikir, bertindak, dan mengontrol secara mandiri (Suryana, 2010).
Layanan bimbingan dan konseling, di sisi lain, adalah proses yang membantu siswa mencapai
perkembangan yang optimal (Santoso, 2013).
Selanjutnya Ace Suryadi (2008) menyatakan bahwa program pendidikan kesetaraan
memiliki posisi strategis untuk mengatasi paling tidak tiga hal tantangan penting, yakni
pertama, membantu penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan
mengambil kembali anak-anak-anak yang putus sekolah di pendidikan dasar dan mengajak
anak-anak yang tidak/ belum bersekolah di pendidikan formal karena miskin, hambatan
geografis, atau atasan lain untuk mengikuti program kesetaraan. Kedua, memberikan dorongan
dan bantuan kepada anak-anak lulusan pendidikan dasar yang tidak melanjutkan dan menarik
kembali anak-anak yang putus sekolah di pendidikan menengah, untuk mengikuti kesetaraan
paket C. Ketiga, memberikan muatan pendidikan kecakapan hidup dengan ketrampilan praktis
yang relevan dan dibutuhkan oleh dunia kerja, dan kemampuan merintis dan mengembangkan
usaha mandiri.
Namun, seiring berjalannya program, masalah individu muncul dan segalanya tidak
berjalan mulus. Melihat pentingnya persyaratan administrasi saat mencari pekerjaan, setiap
perusahaan mengidentifikasi pencari kerja dengan pendidikan SMA atau sederajat. Hal ini
menjadi masalah baru karena anak putus sekolah dini sulit mendapatkan pekerjaan sehingga
menimbulkan masalah baru seperti kemiskinan dan kriminalitas.
Direktur Pusat Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (P2PNFI) Harris
Iskandar Region I Jayagiri Lembang dalam seminar bimbingan dan konseling di Pendidikan
Nonformal yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana UPI Bandung pada akhir
paparannya mengatakan bahwa bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan di dunia
pendidikan nonformal. Bimbingan dan konseling merupakan cara alternatif untuk mengatasi
masalah siswa di pendidikan kesetaraan. Hal ini memerlukan perhatian khusus untuk
menciptakan situasi belajar yang kondusif dan terfokus bagi siswa, dan hal ini dapat dilakukan
jika permasalahan siswa dapat diselesaikan terlebih dahulu. Salah satu yang dibutuhkan siswa
adalah adanya layanan bimbingan konseling pada saat mereka kembali merasakan pendidikan.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling masih kurang di pendidikan non formal, karena
pendidikan yang dikenal masyarakat luas adalah pendidikan formal seperti SD, SMP/MTs,
SMA/MA/SMK, dan lain-lain. Sedangkan pendidikan nonformal dianggap sebagai pendidikan
yang hanya minoritas. Seperti program kesetaraan Paket B dan program kesetaraan Paket C,
dan lain-lain. Hal ini menyebabkan pendidikan nonformal semakin dipandang sebagai “anak
tiri” bahkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pun belum merancang dan
menerbitkan sebuah buku tentang rambu-rambu pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling
di pendidikan kesetaraan serta pelaksanaan kegiatan-kegiatan seminar, lokakarya, semiloka
dan work shop masih dominan permasalahan yang diangkat pada layanan bimbingan dan
konseling di pendidikan formal. Faktor lain yang mempengaruhi layanan bimbingan dan
konseling belum memasuki ranah pendidikan nonformal adalah kurangnya penelitian tentang
pentingnya bimbingan dan konseling dalam pendidikan nonformal. Khususnya pendidikan
kesetaraan. Menurut Gibson & Mitchell, layanan bimbingan dan konseling diberikan untuk
semua orang yang membutuhkannya, jadi dalam hal ini siswa yang membutuhkan layanan
bimbingan dan konseling termasuk siswa pendidikan kesetaraan di pendidikan nonformal.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka (library research). Kajian pustaka
merupakan penelitian terhadap beberapa literatur yang dapat berupa buku, majalah, buletin,
surat kabar, internet, hasil seminar dan sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang
dirumuskan (Kartono, 1996). Data yang dikumpulkan berupa kualitatif, yaitu pernyataan
kalimat maupun hasil penelitian yang ditulis oleh pengarang untuk dijadikan data penelitian.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, display data, dan
penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2015). Reduksi data yaitu memilah - milah data yang penting
untuk lanjut dianalisis ke tahap display data. Selanjutnya data disajikan berupa uraian singkat,
dan dilakukan dengan penarikan kesimpulan.

PEMBAHASAN
Pendidikan Kesetaraan
Dalam Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan
kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum
setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket
C. dengan memberikan penekanan pada peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengembangan sikap kepribadian kepada peserta didik. Pendidikan kesetaraan
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat melalui lembaga-lembaga seperti
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), PKBM,
Lembaga Pelatihan Kursus (LPK), Organisasi Sosial (Orsos), Organisasi Masyarakat (Ormas)
atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Pondok Pesantren. Bahkan, mulai tahun 2008
telah dibuka kesempatan lembaga kursus/pelatihan dapat turut serta menyelenggarakan
pendidikan kesetaraan khususnya untuk percepatan peningkatan keterampilan peserta didik.
Sesuai dengan kebijakan Menteri Pendidikan Nasional lulusan pendidikan kesetaraan
mempunyai hak eligibilitas untuk meneruskan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik
di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, serta memiliki pengakuan yang sama ketika
mereka memasuki dunia kerja (Direktorat Pendidikan Kesetaraan, 2010).
Adapun pendidikan kesetaraan memiliki tujuan umum yaitu sebagai berikut (Depdiknas,
2006: 1-2):
1. Memfasilitasi pendidikan bagi kelompok masyarakat yang karena keterbatasan sosial,
ekonomi, waktu, kesempatan dan geografi, tidak dapat bersekolah pada usia sekolah SD,
SMP, atau SMA dan/atau yang sederajat.
2. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengelola sumber daya yang ada
dilingkungannya untuk meningkatkan taraf hidupnya.
3. Memberikan kesetaraan akademik yang setara dengan pendidikan formal yang dapat
dipergunakan untuk melanjutkan pendidikan ataupun memasuki dunia kerja.
Tantangan pendidikan kesetaraan ke depan adalah semakin besarnya kebutuhan
masyarakat akan pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan orientasi
pendidikan di masyarakat, tuntutan kualitas penyelenggaraan dan membangun citra pendidikan
kesetaraan sebagai pendidikan alternatif. Selain kondisi tersebut, jumlah pengangguran yang
besar, kemiskinan masyarakat, masih rendahnya pendidikan penduduk, dan perlunya
pengembangan keterampilan masyarakat menjadi fokus untuk layanan pendidikan kesetaraan
di masa depan. Untuk menangkap kebutuhan masyarakat tersebut maka program pendidikan
kesetaraan diarahkan untuk menuju pada tiga spektrum pendidikan, yaitu 1) akademik murni,
2) vokasi terintegrasi dan 3) vokasi murni. Dengan ketiga spektrum ini diharapkan kebutuhan
peserta didik untuk membekali dirinya dengan pendidikan dan keterampilan tercapai dan pada
akhirnya masyarakat yang berpendidikan dapat terwujud (Direktorat Pendidikan Kesetaraan,
2010).

Karakteristik Warga Belajar Pada Pendidikan Kesetaraan


Menurut Knowles (2003) terdapat beberapa karakteristik warga belajar pada pendidikan
kesetaraan, diantaranya: usia atau umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, lingkungan geografi.
Sedangkan Riski (2020) menyatakan bahwa terbentuknya warga belajar pada pendidikan
kesetaraan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan. Kondisi
lingkungan dapat mempengaruhi keputusan individu untuk memilih pendidikan kesetaraan.
Faktor dari keluarga ditimbulkan dari pola asuh orang tua, hubungan orang tua dan anak,
keadaan ekonomi keluarga, keharmonisan keluarga, dan kondisi rumah. Sedangkan faktor
lingkungan masyarakat dapat melalui lingkungan sosial yang kumuh, banyak pengangguran,
dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Mulyawan (2020) bahwa diketahui
penyebab siswa mengalami putus sekolah antara lain faktor ekonomi ( 30%), gagal disiplin
(20%), broken home/ permasalahan keluarga (40%), dan penyebab lainnya (10%) seperti: sakit,
kecelakaan, orang tua sering pindah – pindah tempat kerja. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Hermawan (2021) bahwa karakteristik siswa Paket B memiliki latar belakang putus
sekolah disebabkan antara lain faktor ekonomi (15%), letak geografis (55%), broken home/
permasalahan keluarga (20%), dan penyebab lainnya (10%). Sedangkan hasil penelitian oleh
Eka (2021) bahwa latar belakang putus sekolah siswa Paket C disebabkan faktor ekonomi
(20%), drop out (25%), broken home/ permasalahan keluarga (45%) dan lainnya (10%). dari
beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik warga belajar pada pendidikan
kesetaraan cenderung berasal dari faktor eksternal yaitu adanya broken home.

Permasalahan Pada Pendidikan Kesetaraan Kaitannya dengan Bidang BK


1. Permasalahan dalam Bidang Pribadi dan Sosial
Siswa pada pendidikan kesetaraan saat ini berbeda kondisinya dengan pendidikan
kesetaraan dimasa lalu. Pada penelitian Yustiani, dkk (2019) dikatakan bahwa pendidikan
kesetaraan didominasi oleh siswa dengan usia 17-20 tahun, yang artinya kondisi saat ini
lebih homogen dalam segi usia dibandingkan keadaan pendidikan kesetaraan dimasa lalu
dimana kondisinya lebih heterogen dalam segi umur. Jika kita melihat pendidikan
kesetaraan saat ini dengan rentang usia yang bisa dikatakan remaja adalah usia dimana
mereka seharusnya berada pada sekolah formal (SMA/MA/SMK).
Dengan permasalahan yang melekat pada setiap individu menyebabkan mereka tidak
berada pada sekolah formal. Jika kita melihat angka putus sekolah yang sangat tinggi hal
itu disebabkan dari berbagai macam faktor. Selain kemiskinan yang menjadi faktor utama
dan letak geografis, tingginya angka putus sekolah juga dikarenakan oleh sanksi yang
diberikan sekolah kepada siswanya berupa D.O (droup out) pada siswanya. Pada tahun
2018 angka D.O SMP/MTs di Indonesia mencapai 85.000 orang di seluruh Provinsi
berdasarkan data dari Pusat Data Statistik Pendidikan (PDSP) Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Sedangkan data angka D.O (droup out) SLTA setiap tahun pelajaran
mengalami peningkatan. Hasil pendataan pada tahun pelajaran 2017/2018 sebanyak
68.219 peserta didik (Ditjen PAUD dan Dikmas, 2018).
Angka kasus droup out yang bisa dibilang tidak sedikit hal tersebut dipengaruhi
dengan berbagai macam faktor, salah satunya adalah kenakalan remaja. Menurut Santrock
(1998) bahwa kenakalan adalah suatu rentang perilaku yang tidak dapat diterima secara
sosial seperti bertindak berlebihan di sekolah, pelanggaran (melarikan diri dari rumah)
hingga tindakan kriminal. Pelanggaran dimaksud adalah tindakan yang termasuk dalam
status offenses seperti lari dari rumah, membolos, minum minuman beralkohol, dan lain-
laini. Bentuk kenakalan siswa tesebut meliputi kenakalan yang menimbulkan adanya
korban fisik pada orang lain.
Data UNICEF pada tahun 2016 kekerasan pada sesama remaja di Indonesia
diperkirakan mencapai 50%, hal ini sering dikaitkan dengan perilaku bullying yang sering
terjadi diantara sesama remaja dan tidak jarang bullying juga berujung dengan kekerasan
yang mengakibatkan adanya korban luka, kenakalan yang menimbulkan korban materi,
dan lain-lain. Banyak faktor penyebab kenakalan siswa selain disebabkan oleh faktor
internal akibat perubahan dalam diri remaja, juga disebabkan oleh kombinasi dari beberapa
faktor. Faktor penyebab tersebut seperti yang dikemukakan oleh Philip Graham dalam
Sarwono (2017), dibagi kedalam dua golongan yaitu faktor lingkungan dan faktor pribadi.
Siswa yang di drop out kemudian menempuh pendidikan kesetaraan memiliki
permasalahan baik secara pribadi maupun sosial. Oleh karena itu bimbingan konseling
sangat diperlukan untuk memberikan layanan baik berupa bimbingan maupun konseling
pada siswa yang memiliki permasalahan tersebut.
2. Permasalahan dalam Bidang Belajar
Permasalahan selanjutnya dalam pendidikan kesetaraan adalah permasalahan belajar.
Menurut Husain (2018) hasil belajar pada pendidikan kesataraan paket C memiliki hasil
yang rendah, hal ini dapat berdampak pada output warga belajar pada pendidikan
kesetaraan yang menjadi kurang baik. Permasalahan ini disebabkan oleh faktor eksternal
yaitu salah satunya adalah keterbatasan waktu pembelajaran dikelas dan juga keterbatasan
sarana dan prasarana yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian Putra (2015) yang
menyatakan bahwa permasalahan yang timbul dari diri pribadi warga belajar yang
mengikuti pendidikan kesetaraan tersebut dapat berupa motivasi belajar yang
rendah.Penyebab rendahnya keberhasilan belajar terletak pada motivasi belajar. Motivasi
erat kaitannya dengan pembelajaran karena sebagai modal kesiapan warga belajar dalam
melakukan pembelajaran. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah ditandai
dengan tidak antusias dalam pembelajaran, lebih senang diluar kelas (membolos), cepat
merasa bosan, mengantuk, serta pasif (Darsano, 2013).
Sejalan hasil penelitian Nofita (2013) pada pendidikan kesetaraan paket C di SKB
Kota serang, angka ketidak hadiran siswa mencapai lebih dari 60%. Kehadiran siswa yang
rendah mengakibatkan proses pembelajaran yang kurang baik dan berdampak pada
penguasaan materi yang relatif rendah dan secara langsung berdampak pada hasil belajar
yang rendah. Keadaan ini perlu diantisipasi dengan pemberian layanan bimbingan
konseling dalam mengupayaan untuk mengurangi dampak buruk bagi siswa dibidang
pembelajaran. Selanjutnya hasil penelitian Sofiah (2021) bahwa dari 36 warga belajar yang
terdaftar hanya sekitar 15 sampai 20 atau sekitar 42% sampai 56% yang aktif mengikuti
kegiatan pembelajaran. Hal ini disebabkan kesibukan warga belajar yang sambil bekerja
sehingga tidak bisa aktif mengikuti kegiatan pembelajaran. Berdasarkan data tersebut
bahwa kurang memahami materi yang telah disampaikan sehingga berdampak terhadap
prestasi belajarnya.
3. Permasalahan dalam Bidang Karir
Kurangnya pengetahuan dan informasi tentang karier membuat siswa merasa
kebingungan dalam perencanaan kariernya ditambah siswa yang berasal dari kelas
ekonomi menengah kebawah mengalami permasalahan dalam menentukan karier,
Pramudi, (2015) menyatakan faktor ekonomi keluarga menyebabkan pilihan karir
siswa menjadi terhambat yaitu siswa kebanyakan tidak bisa memutuskan pilihan karirnya
dengan memasuki pendidikan yang lebih tinggi, hal ini lah yang mempengaruhi siswa
pada kemauan kerja (work volition) yang akan mereka hadapi. Kesulitan-kesulitan untuk
mengambil keputusan karir dapat dihindari ketika siswa memiliki sejumlah informasi yang
memadai tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia karirnya. Karena itu mereka
perlu mendapatkan bimbingan dan pendampingan guna memperoleh pemahaman yang
memadai tentang berbagai kondisi dan karakteristik dirinya, baik tentang bakat, minat, cita
cita, berbagai kekuatan serta kelemahan yang ada dalam dirinya, Hidayati (2018) layanan
bimbingan karir juga penting bagi siswa pendidikan kesetaraan yang ingin melanjutkan
pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Minimnya informasi yang mereka peroleh
dapat berdampak pada rendahnya minat siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang
yang lebih tinggi. Melihat pentingnya layanan bimbingan karir, baik berupa informasi
sangatlah dibutuhkan bagi siswa pendidikan kesetaraan namun hal ini belum terlaksana
karena layanan bimbingan konseling belum masuk dalam ranah pendidikan nonformal
khususnya pendidikan kesetaraan hal ini menjadi perhatian khusus baik para konselor
maupun para peneliti untuk masuk dalam pendidikan nonformal.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Galuh Mulyawan dengan judul
Program Bimbingan Karir Untuk Meningkatkan Kemauan Kerja Siswa Kesetaraan Paket
C di Kota Serang, peneliti melakukan pengisian AUM dengan hasil 10 item pernyataan
terdapat 3 item yang tertinggi yaitu permasalahan yang paling tinggi adalah karir
dan pekerjaan (KDP) 84 % selanjutnya adalah permasalahan diri pribadi (DPI)
sebesar 35% dan pendidikan dan pelajaran (PDP) sebesar 38%, hal ini terdapat
kesamaan permasalahan yang terjadi pada siswa pendidikan formal menurut (Yuliansyah
& Jarkawi, 2019) terdapat permasalah pribadi, sosial, belajar maupun karir pada siswa.
Program bimbingan karir bagi siswa kesetaraan paket C berdampak positive bagi
peningkatan kemauan kerja siswa hal ini dapat dilihat dengan terjadi peningkatan
skor pada sebelum dan sesudah dilaksanakannya program

Layanan Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Kesetaraan


Pendidikan nonformal memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan formal.
Diukur dari karakteristik warga belajar, usia mereka sangat bervariasi dan biasanya tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan mereka. Kegiatan pembelajarannya juga lebih fleksibel
dibandingkan pendidikan formal dalam hal waktu pelaksanaan dan proses pembelajaran.
Karakteristik tersebut menunjukkan kecenderungan permasalahan yang dihadapi warga belajar
pada pendidikan nonformal lebih bermacam-macam. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan
konseling diperlukan di satuan pendidikan kesetaraan.
Bowers (2000) menyatakan bahwa dalam mengembangkan program Bimbingan dan
Konseling pada pendidikan kesetaraan menggunakan a comprehensive school guidance and
counseling sebagai kerangka kerja utuh yang harus dipahami oleh konselor. Hal ini konselor
perlunya untuk berkolaborasi antar staff (team-building approach). Adapun Hatch (2012)
menyatakan bahwa program bimbingan dan konseling tidak hanya bersifat komprehensif
dalam pendidikan kesetaraan, akan tetapi juga harus bersifat preventif dan bersifat
pengembangan dalam tujuannya (comprehensive in scope preventive in design, and
development in nature). Pertama, bersifat komprehensif berarti layanan bimbingan dan
konseling ditujukan untuk seluruh peserta didik tanpa syarat apapun. Dengan harapan, setiap
peserta didik dapat menggapai sukses di pendidikan kesetaraan dan menunjukkan kontribusi
nyata dalam masyarakat. Kedua, bersifat preventif dengan implementasi layanan bimbingan
dan konseling yang disesuaikan pada kurikulum pendidikan kesetaraan yaitu melalui layanan
bimbingan klasikal.
Pada hasil penelitian terdahulu tentang program bimbingan dan konseling di sanggar
kegiatan belajar (SKB) Kasih Bundo yang ditulis oleh Eka pasca Surya Bayu (2020)
menunjukkan bahwa layanan bimbingan dan konseling dilakukan secara individual karena
melihat perkembangan siswanya berbeda dari segi usia dan latar belakang. Teknik yang banyak
digunakan adalah eclectic counseling dengan mengkolaborasikan beberapa teknik yang ada
sesuai masalah agar hasil yang diperoleh tepat dan berhasil. Sedangkan beberapa kasus tertentu
menggunakan teknik home room yang biasanya dilakukan di luar jam pelajaran untuk
membicarakan hal –hal yang berhubungan dengan siswa secara lebih pribadi.
Akan tetapi pada realitanya dari hasil penelitian Erawati (2020) bahwa warga belajar
pada pendidikan kesetaraan kejar paket C di SKB Kota Malang memiliki kebutuhan terhadap
layanan bimbingan dan konseling. Sebesar 82.5% (33 warga belajar) sangat membutuhkan
layanan dasar, dan 65% (26 warga belajar) membutuhkan layanan responsif, serta 77.5% (31
warga belajar) sangat membutuhkan layanan perencanaan individual. Sedangkan jika dilihat
dari kompetensi dan keahlian konselor bahwa hasil penelitian Sutima (2020) menunjukkan
bahwa dari pengumpulan data dan pengelolaan data tergambar jika pelaksanaan bimbingan dan
konseling bagi peserta program pendidikan kesetaraan belum optimal dilaksanakan oleh
penyelenggara pendidikan kesetaraan. Hal ini dari hasil studi pendahuluan bahwa hampir
setengahnya penyelenggara belum memiliki landasan filosofi, sistem penyelenggaraan, dan
pertanggung jawaban penyelenggaraan.

KESIMPULAN
Pelayanan bimbingan dan konseling pada pendidikan kesetaraan penting untuk dilakukan
agar membantu warga belajar dalam mengoptimalkan potensinya serta memecahkan masalah
yang dihadapinya. Karakteristik perkembangan warga belajar yang salah satunya bervariasi
untuk rentang usia, sehingga tahap dan tugas perkembangan yang harus dicapai untuk masing-
masing warga belajar satu sama lain adalah berbeda.
Bimbingan dan konseling sebagai alternatif dalam mengupayakan pemecahan
permasalahan yang ada dalam pendidikan kesetaraan, namun realitanya hanya sedikit sekali
pengaplikasian layanan bimbingan konseling dalam pendidikan kesetaraan. Padahal melihat
permasalahan yang di alami oleh warga belajar tidak bisa dianggap ringan sehingga hal ini
menjadi perhatian penting agar permasalahan tersebut dapat teratasi.

DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi (2008). Pendidikan Kesetaraan Mencerdaskan Anak Bangsa. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal PLS Depdiknas.
Asran. (2011). Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Bowers. (2000). Developing & Managing Your Scholl Guidance and Counseling Program.
Alexandrian: American Counseling Association.
Darsono.(2013). Teori Andragogi dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
Pedagogiana Press.
Departemen Pendidikan Nasional (2004). Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan Program Paket
B. Jakarta : Direktorat Pendidikan Masyarakat Dirjen PLS dan Pemuda.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009a. Ikhtisar Pendidikan Nasional 2008/2009, Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional. 2009b. Statistik Pendidikan Nonformal 2008/2009,
Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2009c. Permerdiknas Nomor 77, Tahun tentang Ujian
Nasional Program Paket A dan Paket B. Jakarta.
Depdiknas.(2008). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Dirjen PMPTK Depdiknas.
Direktorat Pendididikan Kesetaraan. 2010. Profil Pendidikan Kesetaraan dalam Fakta dan
Angka. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Eka.(2021). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Karakter Dan Motivasi
Belajar Anak Melalui Pendidikan Non Formal. Jurnal Pendidikan Nonformal, 13(2),
85-91.
Erawati. 2021. Identifikasi kebutuhan layanan bimbingan dan konseling pada warga belajar
pendidikan kesetaraan kejar paket C di sanggar kegiatan belajar (SKB) Kota Malang,
Jurnal Cendekia, 1(2): 35-67.
Gibson, R. L., & Mitchell, H. M. (2011). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Hatch. (2012). Quality Improvement and Management System Development of School
Guidance and Counseling Services. New York: Wiley.
Hermawan, I.K.D. 2020. Pendayagunaan Program Kesetaran Pendidikan Nonformal: Kasus
Provinsi Sulawesi Barat,. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 16, Nomor 4.
Hermawan.(2021). Menegaskan Karakter Pendidikan Nonformal. EMPOWERMENT: Jurnal
Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, 1(1).
Hidayati, R. (2015). Layanan Informasi Karir Membantu Peserta Didik Dalam Meningkatkan
Pemahaman Karir. Jurnal Konseling GUSJIGANG, 1(1).
Husain. (2018). Acuan Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B, dan
Paket C. Jakarta: Kencana.
Kartono. (1996). Metodologi Research Social. Bandung: Gramedia.
Kemendikbud. (2016). Statistik Pendidikan Nonformal Tahun 2015. Jakarta: Setjen,
Kemdikbud.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Profil Pendidikan Nonformal. Jakarta: Pusat
Statistik Pendidikan.
Knowles, M. (2003). Self-Directed Learning: A guide for learners and teachers. New York:
Association Press.
Mulyawan, dkk. 2020. Program Bimbingan Karir Untuk Meningkatkan Kemauan Kerja
Siswa Kesetaraan Paket C di Kota Serang. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,
4(2), 250-264.
Mulyawan. 2020. Implikasi Pendidikan Nonformal Pada Remaja. Equilibrium: Jurnal
Pendidikan, 4(2).
Nofita. (2019). Pola Interaksi Warga Belajar Pendidikan Kesetaraan Paket C di PKBM Ulul
Albab Kecamatan Sirampog Kabupaten Serang. Journal of Personality and Social
Psychology 1(1):127–39.
Nuryanti. (2020). Pendidikan Non Formal. Bandung: Alfabeta.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 Tentang
Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor.
Pramudi, H. (2015). Kemampuan pengambilan keputusan karier siswa kelas XI di SMA
kutasari purbalingga. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling.
Putra. (2015). Petunjuk Teknis Program Pendidikan Kesetaraan Paket C. Jakarta: Eresco.
Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal,
Jakarta : Ditjen PMPTK, Depdiknas, 2007.
Riski. 2020. Pendidikan Nonformal: Pengembangan melalui Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar (PKBM) di Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Santoso, D. B. (2013). Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling. Malang: Tanpa Penerbit.
Santrock.(1998). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono. (2017). Emotional Quality Management. Jakarta : HR Excellency
Sofiah. (2021). Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Kesetaraan
Paket C. Center Of Education Journal (CEJou), 2(02), 12-22.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Suryana. (2010). Pendidikan Non Formal, Wawasan Sejarah Perkembanga. Bandung: Falah
Production.
Sutima. 2020. Model Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling bagi Peserta Didik
Program Pendidikan Kesetaraan. Skripsi diterbitkan, Bandung: UPI.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta :
Sistem Pendidikan Nasional.
Yustiana, dkk. (2019). Kinerja Pendidikan Kesetaraan sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan
Nonformal. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 18(1), 65-84.

Anda mungkin juga menyukai