Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS VEGETASI HUTAN ALAM


EKOLOGI HUTAN

Disusun Oleh:

WIDYA PUTRI FEBRIYANTI

(235040301111027)

Asisten Praktikum:

1. BARIQ FATHI YUSMAR (225040300111017)

2. DINDA CORINA (225040307111005)

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

DEPARTEMEN TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
1.1 Latar Belakang..........................................................................................5
1.2 Tujuan........................................................................................................5
1.3 Manfaat......................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
2.1 Pengertian Hutan Alam.............................................................................8
2.2 Kepentingan Anveg Hutan Alam..............................................................9
2.3 Ciri Khas Hutan Alam.............................................................................10
2.4 Pengunaan Plot........................................................................................11
2.5 Analisis Data...........................................................................................13
BAB III..................................................................................................................15
METODOLOGI.....................................................................................................15
3.1 Waktu dan Tempat..................................................................................16
3.2 Alat dan Bahan........................................................................................16
3.3 Prosedur Kerja.........................................................................................16
BAB IV..................................................................................................................18
HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................18
4.1 Hasil........................................................................................................18
4.2 Pembahasan...........................................................................................25
4.2.1 Pengaruh Plot terhadap data yang didapat.......................................25
4.2.2 Struktur dan distribusi pada tegakan................................................25
4.2.3 Kelimpahan dan dominasi pada tegakan..........................................25
4.2.4 Tingkat kepentingan setiap jenis pada tegakan................................25
BAB V....................................................................................................................26
PENUTUP..............................................................................................................26
5.1 Kesimpulan............................................................................................26
5.2 Saran.......................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
DAFTAR TABEL

Tabel 1…………………………………………………………………………14
Tabel 2…………………………………………………………………………16
Tabel 3…………………………………………………………………………17
Tabel 4…………………………………………………………………………18
Tabel 5…………………………………………………………………………20
Tabel 6…………………………………………………………………………21
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1…………………………………………………………………………31
Gambar 2…………..……………………………………………………………..31
Gambar 3…………………………………………………………………………31
Gambar 3…………………………………………………………………………31
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan yang
melimpah mulai dari kekayaan jenis flora sampai fauna. Hal ini disebabkan oleh
posisi Negara Indonesia yang terletak dikawasan tropis yang terletak diantara
garis khatulistiwa sehingga memiliki iklim yang stabil. Karena Negara Indonesia
memiliki iklim yang stabil maka hutan yang ada didalamnya memiliki keragaman
yang melimpah. Hutan memiliki peran penting dalam kehidupan yaitu dalam
perbaikan lingkungan, estetika, lanskap, mitigasi perubahan iklim, dan penentuan
anggaran energi ( Poorter et all. 2015). Seperti yang sudah dikemukakan oleh
Poorter hutan yang stabil merupakan hutan yang memiliki kapasitas untuk
memenuhi kebutuhan sosial maupun ekonomi selain dua factor tersebut ada factor
lain yang harus dipenuhi seperti faktor ekologi, budaya dan spiritual. Saat ini
Kawasan hutan alam semakin berkurang sedangkan luas perkebunan semakin
bertambah seiring waktu dalam skala global.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai struktur dan
komposisi vegetasi dalam hutan alam. Fokusnya adalah memberikan peserta
pengetahuan dalam menganalisis keanekaragaman vegetasi, mengidentifikasi
tumbuhan indikator lingkungan, serta memahami konsep penggunaan plot dalam
analisis vegetasi.

1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum analisis vegetasi hutan alam mencakup pemahaman
mendalam tentang kondisi vegetasi hutan, memungkinkan penentuan perlakuan
yang sesuai untuk suatu wilayah hutan. Dengan memahami struktur dan
komposisi tumbuhan, peserta dapat merancang strategi pengelolaan yang lebih
efektif untuk menjaga keberlanjutan ekosistem tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hutan Alam
Hutan alam merupakan hutan dengan vegetasi yang tumbuh tanpa adanya campur
tangan dari manusia. Hal ini sependapat dengan Milena (2019) yang menyatakan
bahwa hutan alam merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam yang tidak terpengaruh oleh ulah manusia. Hutan alam
sendiri memiliki berbagai vegetasi yang tumbuh didalamnya. Vegetasi yang ada
didalam hutan alam sendiri dimulai dari semai, pancang, tiang dan pohon.

Hutan alam pada dasarnya berbeda dengan hutan produksi atau hutan lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan alam
tidak hanya mencakup dimensi fisik, tetapi juga mencerminkan kompleksitas
hubungan antar unsur-unsur ekosistem. Konsep hutan alam dalam undang-undang
tersebut menggambarkannya sebagai suatu kesatuan ekosistem yang melibatkan
sebidang lahan dengan sumber daya alam hayati. Kesatuan ini membentuk suatu
keseimbangan hidup antara elemen alam hayati, seperti tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme, yang selaras dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam Undang-Undang tersebut, penekanan pada hutan alam menunjukkan


bahwa ekosistem ini memiliki dampak langsung terhadap keberadaan,
perkembangan, dan kelestarian sumber daya alam hayati di dalamnya. Ini
mengindikasikan bahwa hutan alam tidak hanya sebagai koleksi tumbuhan,
melainkan sebagai sistem dinamis yang berperan dalam mempertahankan
keseimbangan alam.

Dalam jurnal yang berjudul "Fostering natural forest regeneration on former


agricultural land through economic and policy interventions" (Robin L Chazdon,
2020), dijelaskan bahwa hutan alam muncul secara alami tanpa campur tangan
manusia setelah lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanian atau
peternakan dibiarkan tidak digunakan. Proses ini dikenal sebagai regenerasi alam
atau suksesi sekunder, yang sering menghasilkan pembentukan sistem hutan baru
yang perlahan memperoleh banyak karakteristik dari ekosistem hutan sebelumnya.
Selama proses ini, vegetasi asli dapat pulih melalui berbagai cara, termasuk
penyebaran biji sebagai respons terhadap pembakaran, biji di tanah, atau yang
dihembuskan oleh angin atau hewan, pertumbuhan akar yang kembali, atau
melalui alat vegetatif seperti tunas atau ranting.

Dalam jurnal "COLLABORATIVE MANAGEMENT FOR SUSTAINABLE


DEVELOPMENT OF NATURAL FORESTS IN SUDAN: CASE STUDY OF
ELRAWASHDA AND ELAIN NATURAL FORESTS RESERVES" (Kobbail,
2020), juga dijelaskan bahwa hutan alam dapat diartikan sebagai sistem
manajemen bersama antara masyarakat lokal, pemerintah, dan pihak terkait
lainnya untuk konservasi dan penggunaan berkelanjutan dari bagian-bagian besar
hutan di seluruh dunia.

2.2 Kepentingan Anveg Hutan Alam


Analisis vegetasi hutan alam memiliki signifikansi yang besar dalam pengelolaan
sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Berdasarkan temuan dari beberapa
jurnal, kepentingan analisis vegetasi hutan alam mencakup pemahaman struktur
dan komposisi hutan sebagai dasar untuk memetakan keanekaragaman hayati di
dalamnya. Analisis vegetasi juga berperan dalam pemantauan kesehatan hutan,
memungkinkan penilaian terhadap dampak perubahan lingkungan terhadap
struktur vegetasi, yang pada gilirannya mendukung upaya pemantauan dan
perlindungan hutan alam.

Hal ini didukung melalui studi kasus yang terdapat didalam jurnal berjudul
“Quantifying the impacts of defaunation on natural forest regeneration in a global
meta-analysis” oleh Charlie J. Gardner, Jake E. Bicknell, William Baldwin-
Cantello, Matthew J. Struebig, & Zoe G. Davies pada tahun 2019, jurnal tersebut
menjelaskan bahwa analisis vegetasi hutan alam sangat dibutuhkan terutama
untuk melihat beberapa dampak defaunasi terhadap regenerasi hutan. Penelitian
ini mengindikasikan bahwa defaunasi vertebrata memiliki dampak yang signifikan
pada regenerasi hutan, dengan arah dan magnitudo dampaknya bervariasi
tergantung pada berbagai faktor, seperti pendekatan metodologis, kategori
kelompok taksonomi, tipe interaksi antara vegetasi berbiji dan hewan yang
terganggu, wilayah geografis, dan sindrom penyebaran biji (Ruth Mitchell, 2016).
Dalam hal ini analisis vegetasi dapat menjadi sebuah landasan penelitian untuk
memahami mekanisme di balik kasus ini.

Temuan menunjukkan variasi dampak defaunasi tergantung pada kelompok


taksonomi yang diteliti, di mana defaunasi primata dan burung berdampak negatif
pada regenerasi hutan dalam studi yang diamati, sementara penurunan populasi
marsupial dan ungulata memberikan dampak positif dalam studi yang
dimanipulasi. Selain itu, studi ini menyoroti kekhawatiran terhadap perubahan
dalam dinamika karbon hutan (Colin A. Chapman, 2018). Defaunasi vertebrata
mengakibatkan perubahan dalam komposisi komunitas vegetasi berbiji,
khususnya penurunan regenerasi pohon dengan biji besar yang biasanya tersebar
oleh primata. Dampaknya mencakup penggantian spesies pohon oleh yang
tersebar abiotik atau oleh hewan yang lebih kecil, yang berpotensi mengurangi
penyimpanan karbon dalam komunitas pohon dewasa dan berdampak pada fungsi
ekosistem serta penyimpanan karbon global (Felipe Soares Bufalo, 2016).

Dalam kasus ini, analisis vegetasi berperan dalam mengetahui dan memahami
struktur serta komposisi hutan alam. Dengan memetakan keanekaragaman hayati
di dalamnya, analisis ini membantu mengidentifikasi perubahan yang terjadi
akibat defaunasi, khususnya dalam hal regenerasi hutan. Kemudian, hasil analisis
vegetasi memberikan gambaran yang jelas tentang struktur dan komposisi jenis
pohon di hutan alam. Informasi ini sangat bermanfaat untuk kepentingan
konservasi dan restorasi hutan alam. Dengan mengetahui jenis-jenis pohon yang
terkena dampak defaunasi, langkah-langkah konservasi yang lebih efektif dapat
dirancang dan diimplementasikan untuk memulihkan keberagaman hayati dan
mempertahankan ekosistem hutan.
2.3 Ciri Khas Hutan Alam
Analisis vegetasi pada hutan alam memiliki relevansi yang besar dalam
manajemen sumber daya alam dan upaya pelestarian lingkungan. Beberapa jurnal
menunjukkan bahwa pentingnya analisis vegetasi ini mencakup pemahaman
mengenai struktur dan komposisi hutan sebagai dasar untuk memetakan
keanekaragaman hayati di dalamnya. Peran analisis vegetasi juga terletak pada
pemantauan kesehatan hutan, memungkinkan evaluasi dampak perubahan
lingkungan terhadap struktur vegetasi, yang pada gilirannya mendukung upaya
pemantauan dan perlindungan hutan alam.

Sebagai contoh, dalam jurnal berjudul "Quantifying the impacts of defaunation on


natural forest regeneration in a global meta-analysis" oleh Charlie J. Gardner, Jake
E. Bicknell, William Baldwin-Cantello, Matthew J. Struebig, & Zoe G. Davies
tahun 2019, disebutkan bahwa analisis vegetasi hutan alam memiliki peranan
penting dalam melihat dampak defaunasi terhadap regenerasi hutan. Studi ini
menyoroti bahwa defaunasi vertebrata dapat memiliki dampak signifikan pada
regenerasi hutan, dengan arah dan magnitudo dampak bervariasi tergantung pada
faktor-faktor seperti metode penelitian, kelompok taksonomi, interaksi antara
tumbuhan berbiji dan hewan yang terganggu, lokasi geografis, dan sindrom
penyebaran biji (Ruth Mitchell, 2016).

Temuan dari penelitian tersebut menunjukkan variasi dampak defaunasi


bergantung pada kelompok taksonomi yang diobservasi. Defaunasi primata dan
burung cenderung berdampak negatif pada regenerasi hutan, sedangkan
penurunan populasi marsupial dan ungulata memberikan dampak positif. Selain
itu, perubahan dalam komposisi komunitas vegetasi berbiji akibat defaunasi
vertebrata dapat mengakibatkan penurunan regenerasi pohon dengan biji besar,
yang dapat berdampak pada fungsi ekosistem dan penyimpanan karbon global
(Felipe Soares Bufalo, 2016).

Oleh karena itu, analisis vegetasi berfungsi sebagai landasan penelitian untuk
memahami mekanisme di balik dampak defaunasi. Dengan memetakan
keanekaragaman hayati dan mengidentifikasi perubahan dalam struktur serta
komposisi hutan alam, analisis ini memberikan gambaran yang mendalam.
Informasi ini sangat penting untuk upaya konservasi dan restorasi hutan alam,
memungkinkan perancangan langkah-langkah yang lebih efektif dalam
memulihkan keberagaman hayati dan menjaga keberlanjutan ekosistem hutan.

2.4 Pengunaan Plot


Metode plot atau petak dalam pengumpulan data ekologi kuantitatif memberikan
kontribusi penting dalam memahami dan menganalisis vegetasi hutan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Paul et al. (2018), pendekatan ini telah terbukti
luas digunakan dan menjadi elemen integral dalam penelitian ekologi. Plot lahan
yang diambil sebagai contoh memberikan representasi yang signifikan dari
keanekaragaman vegetasi hutan. Data yang dikumpulkan dari plot tersebut tidak
hanya berguna sebagai sampel vegetasi, tetapi juga membantu dalam identifikasi
dan klasifikasi jenis-jenis tanaman, serta memahami struktur dan komposisi
vegetasi secara keseluruhan. Metode ini, yang juga dikenal sebagai metode
kuadrat, melibatkan observasi terhadap petak contoh dengan luas tertentu dalam
satuan kuadrat, seperti yang dijelaskan oleh Ufiza (2018). Pendekatan ini
memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk menganalisis distribusi,
kerapatan, dan karakteristik lainnya dari komunitas tumbuhan, memberikan
landasan yang kuat untuk penelitian ekologi yang lebih mendalam.

Ciri khas dari hutan alam dapat dijelaskan melalui sejumlah faktor yang
mencerminkan keaslian dan keberlanjutan ekosistem tersebut. Pertama, hutan
alam ditandai oleh tingginya keragaman hayati, dengan adanya spesies flora dan
fauna endemik yang mencerminkan keunikan ekosistemnya (Natalya Ivanova,
2022). Struktur dan komposisi vegetasi hutan alam bersifat alamiah tanpa adanya
campur tangan manusia, menciptakan lingkungan yang berkembang secara bebas.
Komponen ekologis utama, seperti siklus nutrisi dan dinamika tanah, hadir secara
alami untuk mendukung keberlanjutan pertumbuhan organisme dalam ekosistem
ini. Selain itu, hutan alam menunjukkan adaptasi organisme terhadap kondisi
iklim dan lingkungan lokal, menciptakan keseimbangan yang diperlukan untuk
kelangsungan hidupnya (Haryadi, 2019).

Keberadaan siklus alamiah dan dinamika populasi yang tidak terpengaruh secara
signifikan oleh campur tangan manusia menjadi ciri khas yang membedakan
hutan alam dari ekosistem lainnya. Hutan ini mempertahankan keseimbangan
alamiahnya dengan membiarkan berbagai proses seperti daur ulang nutrisi dan
dinamika populasi berlangsung tanpa gangguan yang dapat merusak.
Keistimewaan lainnya adalah kemampuan hutan alam untuk tetap minim
terpengaruh oleh aktivitas manusia, seperti penebangan liar, perubahan
penggunaan lahan, atau introduksi spesies invasif (MUSTAID SIREGAR, 2019).

Ekosistem hutan alam secara keseluruhan dapat dikenali melalui observasi


terhadap kondisi alamiah di dalamnya, struktur ekosistem yang dijaga dengan
baik, dan tingkat keberagaman hayati yang dipertahankan dalam lingkungan
tersebut. Dengan merujuk pada kriteria-kriteria ini, dapat disimpulkan bahwa
hutan alam memenuhi syarat untuk disebut sebagai "hutan alam." Dengan
memahami nilai dan keunikan hutan alam, kita memiliki tanggung jawab untuk
melindungi dan mempertahankan keberlanjutan ekosistem alam ini agar
manfaatnya dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang (Mo, 2022).

2.5 Analisis Data


Analisis data dalam penelitian analisis vegetasi alam adalah langkah kunci untuk
memahami struktur, frekuensi, kerapatan, dan dominasi vegetasi di suatu wilayah.
Struktur vegetasi mengacu pada susunan dan organisasi tumbuhan di dalam suatu
ruang yang membentuk kerangka atau tegakan, serta secara lebih luas membentuk
berbagai jenis vegetasi (Efendi et al., 2016).

INP dan Parameter yang Terlibat


Indeks Nilai Penting (INP) merupakan suatu parameter kuantitatif yang digunakan
untuk menilai dominansi spesies dalam komunitas tumbuhan dan berfungsi
sebagai alat evaluasi dominansi spesies. INP diperoleh dengan menggabungkan
beberapa parameter, termasuk kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan
dominansi relatif (DR) (Rawana, 2022). Dalam proses perhitungan INP, rumus
umum yang diterapkan adalah INP = KR + FR + DR. Pengukuran parameter
untuk menghitung INP mencakup informasi yang sangat rinci, seperti nama jenis,
jumlah individu setiap jenis, diameter batang, tinggi pohon, dan tinggi bebas
cabang. Dengan memasukkan variabel-variabel ini ke dalam rumus INP, kita
dapat memperoleh gambaran menyeluruh tentang kontribusi masing-masing
spesies terhadap struktur dan komposisi vegetasi dalam suatu hutan. INP tidak
hanya menjadi angka statistik semata, melainkan juga menjadi alat bermanfaat
untuk menentukan spesies mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
ekosistem hutan. Nilai INP yang signifikan menunjukkan dominansi suatu spesies
dalam komunitas vegetasi. Oleh karena itu, INP tidak hanya memberikan
informasi tentang distribusi spesies, tetapi juga menggambarkan sejauh mana
spesies tersebut berkontribusi terhadap keberagaman dan dinamika ekosistem
hutan alam. Dengan pemanfaatan INP, peneliti dan pengelola hutan dapat
mengambil keputusan yang lebih informasional dan berbasis data untuk
melindungi serta memelihara keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan yang
kompleks (Tiara Rahmawati, 2022).

Rumus Analisis Keanekaragaman dan Kegunaanya.


Rumus yang sering digunakan dalam analisis keanekaragaman tumbuhan adalah
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener. Rumus ini memberikan gambaran
tentang tingkat keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas tumbuhan,
dinyatakan sebagai:
s

H’= -∫ ¿ 1(ρi . 1n (ρi))


i
Di sini, H’ adalah Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, ρi adalah proporsi
luas relatif dari spesies ke-(i), dan s adalah jumlah total spesies dalam komunitas
(Rawana, 2022). Indeks keanekaragaman ini memberikan informasi kritis tentang
kekayaan spesies dan distribusi relatifnya dalam ekosistem tumbuhan. Dengan
memahami rumus ini, kita dapat memantau kesehatan ekosistem, membandingkan
keanekaragaman antar lokasi, dan mengevaluasi dampak perubahan lingkungan
terhadap komunitas tumbuhan. Penting untuk dicatat bahwa penggunaan indeks
keanekaragaman tidak hanya memberikan wawasan tentang jumlah spesies, tetapi
juga tentang sebaran dan relatifitas spesies dalam suatu wilayah. Oleh karena itu,
analisis menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener memungkinkan
peneliti dan ahli ekologi untuk menggambarkan keragaman biologis secara lebih
komprehensif. Dengan demikian, rumus ini bukan hanya alat matematis semata,
melainkan juga alat yang sangat berguna dalam memahami dan mengelola
keragaman hayati dalam konteks ekosistem tumbuhan (Arifin Budi Siswanto,
2021).

Indeks Kemerataan
Indeks Kemerataan digunakan untuk menilai keseimbangan jenis-jenis dalam
ekosistem dan dinyatakan sebagai:
H'
E1=
1n (S )
Dimana: E1=indeks Pielou; H’=Indeks Shannon; S= jumlah species. Besarnya
indeks kemerataan Pielou adalah sebagai berikut; jika E1=0-0,33 maka
kemerataan jenis dikategorikan rendah; E1=0,34-0,67 dikategorikan sedang dan
jika nilai E1=0,68-1 dikategorikan tinggi (Rawana, 2022).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 12 November 2023. Adapun seluruh
rangkaian praktikum ini bertempat di UB Forest Bontoro Desa Ngenep,
Kabupaten Malang, Jawa Timur.

3.2 Alat dan Bahan


No Alat dan Bahan Fungsi
1. Phi Band Mengukur diameter kayu.
2. Pasak Sebagai Penanda Plot
3. Pisau Lapang Memotong ranting dan tanaman yang
menggangu dalam pembuatan plot.
4. Gunting Memotong tali rafia yang akan
digunakan untuk membuat plot.
5. Alat Tulis Mencatat hasil Pengamatan
6. Kamera Mendokumentasikan hasil pengamatan.
7. Kompas Mencari sudut derajat dalam pembuatan
plot.
8. Aplikasi Plant Net Mencari spesies tanaman dari hasil
pengamatan.
9. Tali Rafia Membuat penanda plot.
10. Label Menandai pohon mana yang telah
diamati
3.3 Prosedur Kerja

1. Persiapkan peralatan dan material, termasuk patok, tali, rafia, phi band, dan
Kompas.
2. Tentukan lokasi observasi.
3. Tempatkan patok pertama.
4. Aktifkan kompas dan periksa angka yang ditunjukkan.
5. Sediakan tali rafia sepanjang 60 meter untuk membatasi area plot.
6. Jalankan lurus sepanjang 60 meter sesuai arah kompas tanpa pergeseran angka,
lalu ikat tali rafia pada patok awal dan ujungnya.
7. Tanam patok setiap 20 meter.
8. Putar sudut 90⃘, tambahkan tali sejauh 20 meter tanpa pergeseran angka, lalu
ikatkan pada patok awal dan ujungnya.
9. Putar sudut lagi 90⃘ dari patok dengan tali 20 meter, jalankan lurus sepanjang 60
meter dengan menancapkan patok setiap 20 meter dan ikat tali rafia pada
ujungnya.
10. Hubungkan tali dan ikat pada setiap plot, memperhatikan arah 90⃘ dengan
bantuan kompas.
11. Berikan penjelasan plot 1 hingga 3, dimulai dari penancapan patok awal.
12. Buat plot berukuran 10x10, 5x5, dan 2x2 meter pada plot pertama, dimulai
dari pojok kiri atas. Lanjutkan ke plot kedua di pojok kiri bawah dan plot ketiga di
pojok kiri atas.
13. Identifikasi vegetasi:
a. Pada plot 2x2 meter untuk tanaman (<1,5m), hitung jenis danjumlahnya.
b. Pada plot 5x5 meter untuk tiang (diameter <10cm), hitung jenis, jumlah, tinggi
total, dan diameter batang.
c. Pada plot 10x10 meter untuk tiang (diameter 10< x <20cm), hitung jenis,
jumlah, tinggi, dan diameter.
d. Pada plot 20x20 meter untuk pohon (diameter >20cm), hitung jenis, jumlah,
diameter, tinggi total, jarak antar pohon, dan kanopi pohon (LBDS).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 2 Diameter Batang Pohon


Nama Spesies
No Golongan Keliling (cm) DBH
Lokal Ilmiah
1 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 110 0.35
2 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 80 0.25
3 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 45 0.14
4 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 35 0.11
5 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 109 0.35
6 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 120 0.38
7 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 126 0.40
8 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 130 0.41
9 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 115 0.37
10 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 102 0.32
11 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 102 0.32
12 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 272 0.87
13 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 150 0.48
14 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 129 0.41
15 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 75 0.24
16 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 84 0.27
17 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 142 0.45
18 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 90 0.29
19 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 140 0.45
20 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 120 0.38
21 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 80 0.25
22 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 148 0.47
23 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 125 0.40
24 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 60 0.19
25 Mahoni Daun Besar Swietenia macrophylla Pohon 40 0.13
Tabel 3 Koordinat X dan Y
Koordin
N Nama Spesies
Keliling (cm) at
o
Lokal Ilmiah X Y
Mahoni Daun Swietenia
1 110 3 20
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
2 80 3 1
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
3 45 2 1
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
4 35 1 11
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
5 109 1 7
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
6 120 11 19
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
7 126 2 16
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
8 130 20 2
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
9 115 16 8
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
10 102 1 20
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
11 102 5 19
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
12 272 2 18
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
13 150 8 19
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
14 129 18 19
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
15 75 15 17
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
16 84 13 15
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
17 142 2 18
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
18 90 16 14
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
19 140 16 14
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
20 120 11 12
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
21 80 17 2
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
22 148 12 12
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
23 125 15 17
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
24 60 13 15
Besar macrophylla
Mahoni Daun Swietenia
25 40 2 18
Besar macrophylla

Tabel 4 Tinggi Tajuk Terbesar dan Terkecil


Nama Spesies Tinggi Tinggi
TT TBC
No Golongan Tajuk X Tajuk X
(m) (m)
Lokal Ilmiah terkecil terbesar
Mahoni
1 Daun Swietenia Pohon 20 7.4 20 20
Besar macrophylla
Mahoni
2 Daun Swietenia Pohon 16 10 16 16
Besar macrophylla
Mahoni
3 Daun Swietenia Pohon 9.5 2.4 9 9
Besar macrophylla
Mahoni
4 Daun Swietenia Pohon 15 8 15 15
Besar macrophylla
Mahoni
5 Daun Swietenia Pohon 10 2.4 10 10
Besar macrophylla
Mahoni
6 Daun Swietenia Pohon 25 8 25 25
Besar macrophylla
Mahoni
7 Daun Swietenia Pohon 15 3.8 15 15
Besar macrophylla
Mahoni
8 Daun Swietenia Pohon 18 6 18 18
Besar macrophylla
Mahoni
9 Daun Swietenia Pohon 14 4 14 14
Besar macrophylla
Mahoni
10 Daun Swietenia Pohon 18 6 18 18
Besar macrophylla
Mahoni
11 Daun Swietenia Pohon 20 7.4 20 20
Besar macrophylla
12 Mahoni Swietenia Pohon 19 7 19 19
Daun
Besar macrophylla
Mahoni
13 Daun Swietenia Pohon 12 2.4 12 12
Besar macrophylla
Mahoni
14 Daun Swietenia Pohon 16 4 18 18
Besar macrophylla
Mahoni
15 Daun Swietenia Pohon 14.8 5.4 6 8
Besar macrophylla
Mahoni
16 Daun Swietenia Pohon 14.7 4.3 4 6
Besar macrophylla
Mahoni
17 Daun Swietenia Pohon 15 7.6 6 7
Besar macrophylla
Mahoni
18 Daun Swietenia Pohon 17.4 4.6 4 7
Besar macrophylla
Mahoni
19 Daun Swietenia Pohon 17.4 5.8 7 19
Besar macrophylla
Mahoni
20 Daun Swietenia Pohon 11.7 5.1 3 8
Besar macrophylla
Mahoni
21 Daun Swietenia Pohon 18.8 10.4 11 13
Besar macrophylla
Mahoni
22 Daun Swietenia Pohon 17.7 4.3 6 13
Besar macrophylla
Mahoni
23 Daun Swietenia Pohon 16 5 19 19
Besar macrophylla
Mahoni
24 Daun Swietenia Pohon 16 4 16 16
Besar macrophylla
Mahoni
25 Daun Swietenia Pohon 14 5 14 14
Besar macrophylla

Tabel 5 Koordinat R1,R2,R3 dan R4


Koordin Koordin Koordin Koordin
N Nama Spesies Golong at R1 at R2 at R3 at R4
o an
Lokal Ilmiah X Y X Y X Y X Y
Maho
ni Swietenia
1 Pohon 3 6 2,3 5 2 20 5 5,8
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
2 Pohon 4 2,5 3,5 4 3 4,5 7 3
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
3 Pohon 11 1 1 5 1 2 1 9,8
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
4 Pohon 16 6,5 2 11 2 10 1 8
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
5 Pohon 17 10 4 10 14 6 12 4
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
6 Pohon 9,2 18 10 16 17 17 17 18
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
7 Pohon 13 15 1 15 1 15 1 15
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
8 Pohon 3 3 19 8 19 3 19 4
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
9 Pohon 9 7 15 3 15 7 15 7
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
10 Pohon 1 20 3 18 3 20 19 3
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
11 Pohon 16 13 1 5 2 13 6 3
Daun macrophy
Besar lla
12 Maho Swietenia Pohon 3 18 5 6 6 2 10 8
ni macrophy
Daun lla
Besar
Maho
ni Swietenia
13 Pohon 7,5 2 5 4 8,6 19 5 19
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia 18, 17,
14 Pohon 19 18 6,2 5 3 5
Daun macrophy 5 2
Besar lla
Maho
ni Swietenia
15 Pohon 6 3 6 3 5 15 3 15
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia 10, 16,
16 Pohon 4,2 10 4 17 8 17
Daun macrophy 1 2
Besar lla
Maho
ni Swietenia
17 Pohon 9 18 15 18 3 1 5 1
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia 17, 18,
18 Pohon 2 14 6 7 12 12
Daun macrophy 4 7
Besar lla
Maho
ni Swietenia 16, 16,
19 Pohon 14 14 11 6 10 3
Daun macrophy 1 1
Besar lla
Maho
ni Swietenia
20 Pohon 12 11 12 8 12 5 12 5
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
21 Pohon 2 17 2 10 9 16 15 18
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia
22 Pohon 12 15 12 1 6 9 15 6
Daun macrophy
Besar lla
Maho
ni Swietenia 16,
23 Pohon 17 15 7 16 10 5 18
Daun macrophy 2
Besar lla
24 Maho Swietenia Pohon 5 15 13 13 3 3 2 17
ni macrophy
Daun
Besar lla
Maho
ni Swietenia
25 Pohon 20 12 2 9 4 1 18 2
Daun macrophy
Besar lla

Tabel 6 LBDS
Nama Spesies Terlebar Tersempit
Golonga LBD
n Panjan Azimu Panjan Azimu S
Lokal Ilmiah
g t g t
Maho
ni Swietenia 320,14
Pohon (2,5) (1) 18 231,50 0.096
Daun macrophyl 5
Besar la
Maho
ni Swietenia 140,33 (0,5)
Pohon (3)(1) 65,225 0.051
Daun macrophyl 0 (0,5)
Besar la
Maho
ni Swietenia 350,14 (0,3) 240,18
Pohon (1)(0,5) 0.016
Daun macrophyl 5 (0,1) 0
Besar la
Maho
ni Swietenia 335,13
Pohon (3)(1) (1)(0,5) 245,45 0.010
Daun macrophyl 8
Besar la
Maho
ni Swietenia (0,5) 320,14
Pohon (1)(0,5) 50,227 0.095
Daun macrophyl (0,5) 8
Besar la
Maho
ni Swietenia (0,5) 340,18
Pohon (3)(1) 245,80 0.115
Daun macrophyl (0,3) 6
Besar la
Maho
ni Swietenia (0,4) 335,15
Pohon (1)(0,5) 245,80 0.126
Daun macrophyl (0,2) 6
Besar la
Maho
ni Swietenia 340,16
Pohon (4)(2) 248,76 (2)(0,5) 0.135
Daun macrophyl 0
Besar la
Maho Swietenia Pohon (3,5)(1) 135,33 (1,5) 70,20 0.105
ni macrophyl 5 (0,5)
Daun
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (2)(1,5) 85,44 (1,5)(1) 10,15 0.083
Daun macrophyl
Besar la
Maho
ni Swietenia (1,5)
Pohon (4)(3,2) 50,20 65,82 0.083
Daun macrophyl (1,3)
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (4)(2,5) 45,30 (2,5)(1) 42,75 0.589
Daun macrophyl
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (2)(1,2) 50,70 (1,3)(1) 20,5 0.179
Daun macrophyl
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (5)(2) 47,87 (4)(2) 41,5 0.132
Daun macrophyl
Besar la
Maho
ni Swietenia (0,5) 146,32 (0,2)
Pohon 230,5 0.045
Daun macrophyl (0,2) 0 (0,1)
Besar la
Maho
ni Swietenia (0,5) 320,13
Pohon (2)(1) 240,40 0.056
Daun macrophyl (0,5) 8
Besar la
Maho
ni Swietenia 310,14
Pohon (2)(1,5) (1)(1) 230,40 0.161
Daun macrophyl 8
Besar la
Maho
ni Swietenia 145,32
Pohon (1)(5) 45,230 (1)(0,5) 0.064
Daun macrophyl 5
Besar la
Maho
ni Swietenia 150,31
Pohon (4)(2,2) (1)(0,5) 50,230 0.156
Daun macrophyl 5
Besar la
Maho
ni Swietenia 142,32
Pohon (4)(2,2) 225,50 (1)(0,5) 0.115
Daun macrophyl 5
Besar la
Maho Swietenia Pohon (4)(2,2) 325,14 (1)(1) 235,55 0.051
ni
Daun macrophyl 8
Besar la
Maho
ni Swietenia (0,5) 145,30
Pohon (4)(2,2) 225,45 0.174
Daun macrophyl (0,5) 5
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (6)(3) 30,60 (3)(,1) 37,65 0.124
Daun macrophyl
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (4)(3,3) 40,56 (3,2)(2) 38,52 0.029
Daun macrophyl
Besar la
Maho
ni Swietenia
Pohon (4)(2,2) 45,50 (3,2)(2) 25,55 0.013
Daun macrophyl
Besar la

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Plot terhadap data yang didapat
Keeley dan Fotheringham (2005) menjelaskan bahwa data empiris dari
keanekaragaman hayati yang diperoleh dari inventarisasi
menggunakan desain sampling yang berbeda akan menghasilkan
keanekaragaman jenis yang berbeda. Laurance et al. (1998) juga
menjelaskan bahwa untuk menghindari terjadinya bias
keanekaragaman hayati dalam inventarisasi maka perlu dilakukan
modifikasi bentuk dan ukuran plot sampling. Plot yang digunakan
dalam penelitian ini memiliki bentuk persegi Panjang Analisis vegetasi
pada plot 60 kali 20 meter dapat memberikan pemahaman yang
mendalam tentang komposisi dan struktur vegetasi di suatu area.
Analisis vegetasi dilakukan dengan menggabungkan metode jalur dan
garis berpetak. Metode jalur digunakan untuk mengukur pohon dengan
lebar jalur 20 meter. Metode garis berpetak digunakan untuk mengukur
tingkat permudaan (tiang, pancang, semai). Berikut adalah ukuran
petak-petak contoh yang digunakan:
 Ukuran 2 m x 2 m digunakan untuk merisalah tingkat
permudaan semai dan tumbuhan bawah. Data yang
dikumpulkan berupa jumlah individu.
 Ukuran 5 m x 5 m digunakan untuk merisalah tingkat
permudaan pancang. Data yang dikumpulkan berupa jumlah
individu.
 Ukuran 10 m x 10 m digunakan untuk merisalah tingkat tiang.
Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter, dan
tinggi tiang.
 Ukuran 20 m x 20 m digunakan untuk merisalah tingkat pohon.
Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter, dan
tinggi pohon.
Dari data yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa
keanekaragaman vegetasi yang ada dalam hutan UB forest cukup
rendah karena baik dari tegakan maupun semai yang ada tidak
beervariasi jenisnya. Dominasi yang ada dalam plot adalah tanaman
MAhoni daun lebar (switennia machrophylla).

4.2.2 Struktur dan distribusi pada tegakan


Struktur tegakan merujuk pada distribusi jenis dan ukuran pohon
dalam suatu tegakan atau hutan yang mencerminkan komposisi jenis,
distribusi diameter, distribusi tinggi, dan kelas tajuk (Oliver dan
Larson 1996). Struktur tegakan yang ada dan mendominasi di UB
Forest adalah Mohoni daun besar (swittenia Machrophylla). Struktur
tegakan dapat dibagi menjadi struktur vertikal (stratifikasi tajuk) dan
struktur horizontal.

a. Stratifikasi tajuk bertujuan untuk memahami dimensi atau struktur


vertikal suatu vegetasi dalam hutan. Dalam melakukan analisis struktur
vertikal hutan, setiap pohon yang ditemui dalam petak ukur
dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi atau lapisan stratum. Menurut
Soerianegara dan Indrawan (1998), lapisan stratum terdiri dari stratum
A (> 30 meter), stratum B (20 − 30 meter), stratum C (4 − 20 meter),
stratum D (1 − 4 meter), dan stratum E (0 − 1 meter), di mana stratum
A, stratum B, dan stratum C mencerminkan stratifikasi tingkat
pertumbuhan pohon, sedangkan stratum D dan stratum E
mencerminkan stratifikasi tumbuhan penutup tanah, semak, dan perdu.

b. Struktur horizontal digunakan untuk mengetahui penyebaran


diameter pohon dalam hutan. Dalam analisis struktur horizontal, setiap
individu yang ditemui dalam petak ukur dikelompokkan berdasarkan
kelas diameter (Onrizal et al. 2005) dengan mempertimbangkan
kerapatan dan pola penyebaran individu jenis dalam suatu wilayah.
Pola penyebaran individu jenis di suatu wilayah pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon dievaluasi
menggunakan perhitungan Variance to Mean Ratio (Krebs 1978).

4.2.3 Kelimpahan dan dominasi pada tegakan


Potts et al. (2005) menjelaskan bahwa inventarisasi keanekaragaman
tumbuhan yang ideal harus meng-hasilkan data kekayaan spesies,
persentase spesies endemik dalam komunitas, dan kedekatan
biogeografi dari spesies dalam komunitas tumbuhan tersebut serta
hubungan sistematis flora termasuk kekayaan spesies di taksa yang
lebih tinggi. Keeley dan Fotheringham (2005) menjelaskan bahwa data
empiris dari keanekaragaman hayati yang diperoleh dari inventarisasi
menggunakan desain sampling yang berbeda akan menghasilkan
keanekaragaman jenis yang berbeda. Laurance et al. (1998) juga
menjelaskan bahwa untuk menghindari terjadinya bias
keanekaragaman hayati dalam inventarisasi maka perlu dilakukan
modifikasi bentuk dan ukuran plot sampling. Keanekaragaman jenis
merupakan karakteristik tingkatan dalam komunitas berdasarkan
organisasi biologisnya, yang dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitasnya. Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh
banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies sama dan hampir
sama. Sebaliknya jika suatu komunitas disusun oleh sedikit spesies dan
jika hanya sedikit spesies yang dominan maka keanekaragaman
jenisnya rendah (Umay, 2013). Berdasarakan pengamatan lapangan di
Hutan UB Forest dengan ukuran plot 60x20 m, maka diperoleh
keanekaragaman vegetasi yang ada cukup rendah karena baik dari
tegakan maupun semai yang ada tidak beervariasi jenisnya. Dominasi
yang ada dalam plot adalah tanaman adalah Mahoni daun lebar
(switennia machrophylla).

4.2.4 Tingkat kepentingan setiap jenis pada tegakan


Tingkat signifikansi tiap spesies dalam suatu hutan dapat diidentifikasi
melalui beberapa faktor. Kerapatan tegakan, yang mengukur jumlah
pohon, menjadi faktor kunci. Pada tegakan dengan kepadatan tinggi,
persaingan lebih intens, meningkatkan kepentingan spesies dominan.
Selanjutnya, faktor-faktor seperti ukuran pohon, peran ekologis, dan
jenis dominan di wilayah tersebut turut memainkan peran. Penilaian
tingkat kepentingan spesies didasarkan pada indeks nilai
kepentingannya (Mukhlisi dan Sidiyasa, 2014). Pentingnya masing-
masing spesies dalam hutan tidak selalu sejalan dengan indeks
asosiasi spesies dengan yang paling dominan. Dalam konteks
pengelolaan lahan, terutama terkait dengan perubahan lahan untuk
perkebunan, pentingnya suatu spesies dapat bervariasi (Sidayasa,
2012).

Dalam pengelolaan hutan, perhitungan tingkat kepentingan setiap


spesies menjadi krusial untuk menetapkan strategi pengelolaan yang
sesuai. Contohnya, untuk meningkatkan produksi kayu, penting untuk
melestarikan dan melindungi spesies dominan. Sementara untuk
meningkatkan keanekaragaman hayati, perlindungan spesies langka
menjadi prioritas. Penelitian terbaru, seperti yang dilaporkan oleh
Sobirin et al. (2022), menunjukkan keberagaman potensi tegakan
dalam suatu kawasan. Pengamatan tersebut mengungkap adanya
komunitas dengan beberapa spesies memiliki kepadatan tinggi dan
jumlah individu yang signifikan dibandingkan spesies lain di area
tersebut. Penggunaan indeks kepentingan spesies menjadi parameter
kunci untuk menilai peran suatu spesies atau komunitas. Jenis yang
memiliki peran besar atau dominan dalam masyarakat akan memiliki
nilai INP yang tinggi (Ednaluna 2022). Dalam model pengelolaan,
parameter tegakan dapat diambil dari inventarisasi hutan nasional di
banyak negara, memungkinkan penerapan model ini tanpa
memerlukan pengetahuan taksonomi khusus (Gao et al., 2014).

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalam pengamatan kali ini struktur tegakan yang mendominasi adalah Mahoni
daun lebar (Swietenia macrophylla). Dari Pengamatan yang dilakukan
menunjukkan keanekaragaman vegetasi yang rendah, terutama karena kurangnya
variasi jenis baik pada tegakan maupun semai. Stratifikasi tingkat pertumbuhan
pohon mencerminkan dominasi Mahoni daun lebar. Tingkat kepentingan setiap
spesies dalam hutan menjadi faktor penting dalam pengelolaan, di mana
pelestarian spesies dominan diperlukan untuk meningkatkan produksi kayu,
sementara perlindungan spesies langka mendukung keanekaragaman hayati. Hasil
penelitian juga menyoroti keberagaman potensi tegakan, di mana komunitas
dengan spesies berkepadatan tinggi menjadi fokus. Parameter seperti indeks nilai
kepentingan spesies dapat digunakan untuk menilai peran spesies dalam
masyarakat, sementara model pengelolaan dapat diterapkan dengan menggunakan
data dari inventarisasi hutan nasional.

5.2 Saran
Diharapkan untuk praktikum kedepannya agar praktikan lebih bijak lagi dalam
memnafaatkan waktu. Untuk asprak semoga bisa menjelaskan materi dengan lebih
jelas lagi agar praktikan tidak bingung tapi terimakasi untuk abang dan mbak yang
sudah sabar dalam membimbing praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Baran, J., Pielech, R., Kauzal, P., Kukla, W., & Bodziarczyk, J. (2020). Influence
of forest management on stand structure in ravine forests. Forest Ecology
and Management, 463(February), 18018.https://doi.org/
10.1016/j.foreco.2020.118018.

Charlie J. Gardner, J. E.-C. (2019). Quantifying the impacts of defaunation on


natural forest regeneration in a global meta-analysis. Nature
Communication, 1 - 7.

Colin A. Chapman, A. E. (2018). Primate Seed Dispersal and Forest


Restoration:An African Perspective for a Brighter Future. Int J Primatol ,
39:427–442.
Felipe Soares Bufalo, M. G. (2016). Seed Dispersal by Primates and Implications
for the Conservation of a Biodiversity Hotspot, the Atlantic Forest of
South America. Int J Primatol , 37:333–349.
Georgia Galidaki, D. Z.–S. (2017). Vegetation biomass estimation with remote
sensing: focus on forest and other wooded land over the Mediterranean
ecosystem. International Journal of Remote Sensing, VOL. 38, NO. 7,
1940–1966.
Haryadi, S. S. (2019). VEGETATION ANALYSIS OF THE SECONDARY
FOREST AREA IN CANGKRINGAN RESORT, MOUNT MERAPI
NATIONAL PARK. Jurnal Biodjati , 4(1):50-57.
Jactel, H., Bauhus, J., Boberg, J., Bonal, D., Castagneyrol, B., Gardiner, B.,
Gonzalez Olabarria, J.R., Koricheva, J., Meurisse, N., & Brockerhoff, E.G.
(2017). Tree Diversity Drives Forest Stand Resistance to Natural
Disturbances. Current Forestry Reports, 3(3), 223-243.
https://doi.org/10.1007/s40725-017-0064-1.

KBBI. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Kobbail, A. A. (2020). COLLABORATIVE MANAGEMENT FOR
SUSTAINABLE DEVELOPMENT OF NATURAL FORESTS IN
SUDAN: CASE STUDY OF ELRAWASHDA AND ELAIN NATURAL
FORESTS RESERVES . International Journal of Social Forestry (IJSF),
3(2):101-133.
KURNIAWATI PURWAKA PUTRI P, G. M. (2013). LAPORAN PRAKTIKUM
ANALISIS VEGETASI MATA KULIAH EKOLOGI TERAPAN.
LAPORAN PRAKTIKUM, i - 34.
M. Zulkifli Cani Ago, R. H. (2018). TINGKAT DOMINANSI DAN ASOSIASI
KELOMPOK KAYU INDAH DI AREAL IUPHHK-HTI PT. BHATARA
ALAM LESTARI KABUPATEN MEMPAWAH. JURNAL HUTAN
LESTARI, Vol. 6 (3) : 438 – 446.
Marsono, D. (2004). Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: BIGRAF Publishing Bekerjasama dengan Sekolah Tinggi
Teknik.

MAULIA, D. (2016). ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE di DESA


AIR PINANG SIMEULUE TIMUR SEBAGAI REFERENSI
TAMBAHAN MATA KULIAH EKOLOGI TUMBUHAN. Skripsi.
Mildrexler, D.J., Shaw, D.C., & Cohen, W.B. (2019). Short-term climate trends
and the Swiss needle cast epidemic in Oregon's public and private coastal
forestlands. Forest Ecology and Management, 432(July), 501-513.
https://doi.org/10.1016/i.foreco.2018.09.025.Newton, P.F. (2019). Wood
quality attribute models and their utility when integrated into density
management decision-support systems for boreal conifers. Forest Ecology
and Management, 438(November), 267-284.
https://doi.org/10.1016/j.foreco. 2019.01.053.

Mo, L. (2022). Integrated global assessment of the natural forest carbon potential.
Article Nature.
MUSTAID SIREGAR, H. H. (2019). Vegetation analysis of tree communities at
some forest patches in North Sulawesi, Indonesia. B IO D I V E R S IT A S,
Volume 20, Number 3, 643-655.
Natalya Ivanova, V. F. (2022). Experience of Forest Ecological Classification in
Assessment of Vegetation Dynamics. Sustainability, 1 - 11.
Portier, J., Gauthier, S., Cyr, G., & Bergeron, Y. (2018). Does time since fire
drive live aboveground biomass and stand structure in low fire activity
boreal forests? Impacts on their management.Journalof Environmental
Management, 225(August), 346-355. https://doi.org/
10.1016/j.jenvman.2018.07.100.

Pretzsch, H. (2020). Density and growth of forest stands revisited. Effect of the
temporal scale of observation, site quality, and thinning. Forest Ecology
and Management, 460(January),
117879.https://doi.org/10.1016/j.foreco.2020.117879.

Rawana, S. W. (2022). Indeks Nilai Penting dan Keanekaragaman Komunitas


Vegetasi Penyusun Hutan di Alas Burno SUBKPH Lumajang. Jurnal
Wana Tropika, Vol. 12, No. 02, 80 - 89.
Robin L Chazdon, D. L. (2020). Fostering natural forest regeneration on former
agricultural landthrough economic and policy interventions. Environ. Res.
Lett, 1 - 16.
Ruth Mitchell, e. a. (2016). Identifying the ecological and societal consequences
of a decline in Buxus forests in Europe and the Caucasus. Biol Invasions.
Sann, B., Kanzaki, M., Aung, M., & Htay, K.M. (2016). Assessment of the
recovery of a secondary Tropical Dry Forest after human disturbance in
Central Myanmar. Journal of Tropical Forest Science, 28(4), 479-489.
Sapkota, R.P., Stahl, P.D., & Norton, U. (2019). Anthropogenic
disturbances shift diameter distribution of woody plant species in Shorea
robusta Gaertn. (Sal) mixed forests of Nepal. Journal of Asia-Pacific
Biodiversity, 12(1),115-128. https://doi.org/10.1016/j.japb.2018.08.004.
Thomas S. H. Paul, M. O. (2019). Thinking outside the square: Evidence that plot
shape and layout in forest inventories can bias estimates of stand metrics.
Methods in Ecology and Evolution, 10:381–388.
Tiara Rahmawati, A. F. (2022). MONITORING KEANEKARAGAMAN
TUMBUHAN DI HUTAN KOTA RANGGAWULUNG. Jurnal Resolusi
Konflik, CSR, dan Pemberdayaan, Vol. 7 (1) : 88-98. (n.d.). Undang
Undang Republik Indonesia no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
LAMPIRAN

Gambar 1 Gambar 2
Semai Fauna yang ditemukan

Gambar 3 Gambar 4
Tajuk Pembuatan Plot

Anda mungkin juga menyukai