Anda di halaman 1dari 35

Laporan Praktikum

Pengelolaan Kawasan Konservasi


Taman Nasiona Gunung Ciremai

Penyusun :
Ripal lubis (41205425118076)

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum pengelolaan
kawasan konservasi yang bertempat di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Terima kasih saya ucapkan kepada bapak DR. IR. Novianto dan bapak Dwi agus
sasongko , S.Hut., M.Si yang telah membantu kami baik secara moral maupun materi.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah
mendukung kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

ii
DAFTAR ISI

JUDUL……………….……………………….………….………………...i

KATA PENGANTAR……...…..……………………….………………...ii

DAFTAR ISI…………………....……………………….…….………….iii

DAFTAR TABEL..………………………..……..…..….………..………iv

DAFTAR GAMBAR…………...………………………..………….….....v

DAFTAR LAMPIRAN…………..………………..……………….……..1

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………………2

1.2 Tujuan praktikum…………………………………………………..…………2

II. TINJAUAN
2.1 Kawasan Konservasi.............................……....….............................................3

2.2 Taman Nasional ...........................................…….............................................4

2.3 Pengelolaan dan Pemanfaatan di Kawasan di Taman Nasional …..........…5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Keadaan Umum Kawasan.............................................................……............7

3.1.1 Letak dan Luas..............................................................................………..7

3.1.2 Sejarah Kawasan......................................................……….......................7

3.1.3 Kondisi Fisik Kawasan ......................................................………............9

3.1.4 Flora dan Fauna...........................................................................……….12

3.2 Kasus dan Penyelesaian………………...…………………………………...16

IV. PENUTUP
Kesimpulan……………………..………………………..………………………28

Saran…………………………..…………………………………….……………28

Daftar Pustaka …………………………………..………...…………….29

iii
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


1 Flora yang ada di Taman Nasional Gunung Ciremai…….…………..……………12

2 Fauna yang ada di Taman Nasional Gunung Ciremai…………………….……….12

3 Sejarah perubahan fungsi kawasan dan pengelolaan hutan TNGC…………...……19

4 Persepsi masyarakat dan pengelola TNGC………………………………………..21

iv
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1 Balai Taman Nasional Gunung Ciremai………………………………………….….7

2 Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Ciremai…………..…………….…………….7

3 Gambar salah satu flora TNGC……………………………………………………..13

4 Gambar salah satu faunaa TNGC……………………………………………….…..14

5 Peta konflik yang terjadi di TNGC……………………………..…………………...23

6 Sengketa pihak berkonflik di TNGC......................................…...………….............24

7 Gaya sengketa pihak berkonflik di TNGC………………………………………….25

8 Hasil kajian alur pegambilan keputusan penyelesaian konflik di TNGC……………26

1
Daftar Lampiran

No. Judul Halaman

1 Istirahat setelah berkrliling Taman Nasional Gunung Ciremai………………..……30

2 Kantor Balai Taman Nasional Gunung Ciremai………………………………...…..30

3 Kantor Balai Taman Nasional Gunung Ciremai………………………………...…..30

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya. Bahwa dalam melakukan konservasi sumberdaya alam hayati, pemerintah
menetapkan hutan konservasi. Undang-Undang Nomor 41 tahun 199 tentang Kehutanan
menjelaskan bahwa hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Selanjutnya, Hutan Konservasi terbagi menjadi Kawasan Pelestarian
Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA).
Hutan Konservasi merupakan benteng terakhir bagi kelestarian hutan. Kerusakan
Hutan Konservasi dapat memberi dampak sangat fatal terhadap penurunan daya dukung
lingkungan bagi kehidupan manusia. Pemahaman semua pihak terhadap pentingnya
hutan konservasi adalah mutlak. Sehingga dalam praktikum ini, mahasiswa diharapkan
mampu memahami secara mendalam menganai seluk-beluk hutan konservasi. Pada
kesempatan ini, fokus praktikum adalah Taman Nasional

1.2 Tujuan praktikum

Praktikum Pengelolaan Kawasan Konservasi bertujuan untuk memberikan


kesempatan bagi mahasiswa agar mampu :

1.Menganalisis pengelolaan Taman Nasional di Indonesia.

2.Menganalisis permasalahan kawasan dan,

3.Memberikan saran/rekomendasi kepada pengelola

3
BAB II

2.1 Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi adalah sumber berbagai hasil hutan baik kayu maupun buKan
kayu karena selama berabad-abad telah dilindungi. Kawasan konservasi mempunyai
peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan
konservasi juga merupakan pilar dari hampirsemua strategi konservasi nasional dan
internasional yang berfungsi sebagaipenyedia jasa ekosistem, melindungi spesies yang
terancam dan mitigasi perubahan iklim (Dudley, 2008).

Merujuk kategorisasi kawasan konservasi oleh IUCN, pengukuhan


kawasan konservasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Pengukuhan kawasan konservasi di Indonesia
merupakan upaya konservasi sumber daya alam hayati yang dilakukan melalui
kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam dan ekosistemnya. Kawasan Konservasi di Indonesia meliputi

Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Kawasan
Suaka Alam disini meliputi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dimana berperan
penting dalam usaha konservasi sumber daya alam hayati dan penyedia jasa
ekosistem yang tentunya bermanfaat luas bagi masyarakat (Dudley, 2008).

Sampai sekarang, Indonesia telah menetapkan 521 kawasan konservasi


meliputi total wilayah 27.108.486 ha, termasuk2 : 221 cagar alam (4,08 juta ha);
75 suaka alam (5,03 juta ha); 50 taman nasional (16,34 juta ha); 23 taman hutan
raya (0,35 juta ha); 115 taman wisata alam (0,75 juta ha); dan 13 taman buru (0,22
juta ha). Saat ini, pokok perhatian pengelolaan kawasan konservasi adalah pada
taman nasional dengan mengembangkan institusi khusus untuk mengelola
kawasan, yang disebut Balai Taman Nasional, yaitu unit pelaksana teknis
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan kawasan konservasi non
taman nasional masih belum dikelola dengan baik oleh Kantor Balai Konservasi 3
Sumber Daya Alam yang berada di tingkat provinsi. Meski dikelola oleh institusi
khusus, pengelolaan taman nasional dinilai masih belum sepenuhnya efektif,
seperti yang ditunjukkan oleh penilaian Perangkat Pemantau Efektivitas
Pengelolaan (METT). Pengelola menghadapi tantangan yang lebih besar lagi di
kawasan konservasi non-taman nasional. Situasi ini menyebabkan degradasi

4
ekosistem antara lain karena pembalakan liar, perambahan, perburuan liar,
penggembalaan ternak ilegal dan perubahan penggunaan lahan lainnya (Gusti, 2010).
2.2 Taman Nasional

Taman Nasional adalah Kawasan pelestarian alam yang mempunyai


ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi. Taman Nasional merupakan salah satu kawasan konservasi yang
mengandung aspek pelestarian dan aspek pemanfaatan sehingga kawasan ini dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan ekowisata dan minat khusus. Kedua bentuk
pariwisata tersebut yaitu ekowisata dan minat khusus, sangat prospektif dalam
penyelematan ekosistem hutan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28
tahun 2011). Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdapat tiga zona
yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998, yaitu:

2.2.1 Zona Inti


Kriteria dalam penetapan zona inti adalah bagian taman nasional yang
mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan
ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih
asli dan belum diganggu oleh manusia, mempunyai kondisi alam, baik biota
maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia,
mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk menjamin
kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif
dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami, mempunyai ciri khas
potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya 4
konservasi, mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta
ekosistemnya yang langka yang keberadaannya terancam punah, merupakan
habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik dan
merupakan tempat aktivitas satwa migran.

2.2.2 Zona Rimba


Kriteria dalam penetapan zona rimba adalah kawasan yang merupakan
habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya
perkembangbiakan dari jenis satwa liar, memiliki ekosistem dan atau
keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona
pemanfaatan serta merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.
Sedangkan fungsi dari zona ini adalah untuk kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian,
pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang
budidaya serta mendukung zona inti.

5
2.2.3 Zona Pemanfaatan
Kriteria dalam penetapan zona pemanfaatan adalah mempunyai daya
tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta
formasi geologinya yang indah dan unik, mempunyai luasan yang cukup untuk
menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata
dan rekreasi alam, kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa
lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan,
merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi
kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan
pendidikan dan tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Sedangkan fungsi
dari zona ini adalah untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa
lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang
pemanfaatan dan kegiatan penunjang budidaya.5

2.3 Pengelolaan dan Pemanfaatan di Kawasan di Taman Nasional


Tujuan pengelolaan Taman Nasional secara umum adalah untuk
memperoleh manfaat, baik manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat
tidak langsung (intangible benefit). Pencapaian tujuan ini berarti memaksimalkan nilai
total ekonomi dari kawasan konservasi, bukan hanya penerimaan financial
tetapi nilai lainnya sebagai habitat berbagai jenis makhluk hidup, sumber
keanekaragaman hayati, pengatur dan penyedia tata air, penyedia karbon,
pengendali erosi dan banjir, pengatur iklim, pengendali ekosistem alan dan lain
sebagainya.Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan
menghitung nilai ekonomi total (NET). Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai
ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun
nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan
pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan
dengan benar dan mengenai sasaran (Kementerian Kehutanan,2014).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Pengelolaan Taman Nasional


bervariasi menurut potensi dan pemanfaatnnya sampai saat ini potensi tersebut
belum dikelola secara optimum. Penelitian menunjukkan bahwa salah satu aspek
nilai pada lingkungan yang berasal dari sumber air ekosistem untuk keperluan air
minum, irigasi, tenaga listrik dan wisata, dapat mencapai 2,2 trilyun/tahun,
sedangkan nilai wisata dapat menca-pai 3,4 milyar/tahun. nilai untuk pertanian
didaerah taman penyangga taman saional ekositem pegungna dapat mencapai 1,7
milyar, kebut-uhan air masyarakat 11,9 milyar, dan untuk perikanan 3,9 milyar
sedangkan pengelolaan kawasan untuk mencegah banjir dan longsor dapat
bernilai 630 milyar/tahun. Penilaian ekonomi tidak saja ditujukan pada nilai yang
langsung dapat dihitung, tetapi termasuk juga yang tidak memiliki nilai pasar
(non-market value), nilai fungsi ekologis serta keuntungan yang tidak langsung
lainnya (Kementerian Kehutanan, 2014).

6
Pengelolaan Taman Nasional dilakukan berdasarkan Zonasi, dimanahasil penelitian
menunjukan kriteria penetapan zonasi belum sepenuhnya di sarkan pada aturan yang
ada. Hal ini disebabkan kondisi vegetasi dan keberadaan masyarakat yang ada sebelum
penetapan atau perluasan taman nasional. Seperti 6 adanya pemukiman penduduk dalam
zona inti, sehingga kriteria populasi dan indensitas fauna menjadi kriteria penting.Zona
rimba sebagai zona membatasi aktivitas masyarakat kedalam kawasan ditentukan oleh
fungsi ekosistem sebagai DAS, habitat satwa, vegetasi asli dan luasan yang cukup
(Kementerian Kehutanan,2014).

Pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologi ekosistem dilakukan dengan


mempertimbangkan.
1) Nilai biodiversitas, nilai kawasan, nilai jasa lingkungan dan nilai manfaat
langsung kepada masyarakat
2) Membangun kriteria dan indikator zonasi khususnya zonasi pemanfaatan, zona
rehabilitasi dan zona khusus yang memberikan nilai ekonomi dan kebutuhan
dasar masyarakat.
3) Keselarasan zona rimba dan zona inti dalam lanskap menurut letak geografi,
topografi, tutupan lahan dan luas kawasan
4) Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan kawasan.

Strategi pengelolaan taman nasional dalam jangka pendek yang utama adalah
membangun kelembagaan kolaboratif yang dapat meningkatkan pengamanan
kawasan, biodiversitas, restorasi kawasan dan pengelolaan daerah penyangga zona
pemanfaatan dan zona khusus melalui peningkatan manfaat jasa lingkungan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat daerah penyangga (KementerianKehutanan,2014).

7
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Umum Kawasan

3.1.1 Letak dan Luas

Gunung Ciremai adalah gunung soliter tertinggi di Jawa Barat dengan puncak
tertinggi memiliki ketinggian 3.078 mdpl membentuk kerucut di sisi sebelah Utara.
Secara geografis kawasan TNGC terletak pada 1080 19’ 18” – 1080 29’ 30” BT dan
60 46’ 57” – 60 58’ 57” LS. Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) masuk
di wilayah Kabupaten Kuningan seluas 8.792,21 Ha (59,24%), Kabupaten Majalengka
seluas 6.031,26 Ha (40,64%) dan Kabupaten Cirebon seluas 17,83 Ha (0,12%)  dengan
batas-batas wilayahnya secara administratif sebagai berikut :

Sebelah Utara  adalah Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon

Sebelah Timur adalah Kabupaten Kuningan

Sebelah Selatan adalah Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan

Sebelah Barat adalah Kabupaten Majalengka

3.1.2 Sejarah Kawasan

8
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi Jawa Barat, berdiri soliter dengan pun
cak tertinggi 3078 mdpl , berbatasan dengan tiga kabupaten yaitu kabupaten Kuningan,
kabupaten Cirebon dan kabupaten Majalengka. Perubahan kawasan hutan gunung Cire
mai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditunjuk oleh Menteri Kehutan
an pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004
tanggal 19 Oktober Tahun 2004, berdasarkan usulan dari Pemerintah Kabupaten Kabup
aten Kuningan dan Majalengka.

Dalam perjalanan sejarahnyanya tutupan hutan gunung Ciremai telah beberapa kali
mengalami perubahan fungsi dari mulai zaman kolonial Belanda hingga sekarang denga
n kronologis sebagai berikut :

 Zaman kolonial belanda kawasan hutan Gunung Ciremai pertama kali ditunjuk men
jadi Hutan Lindung berdasarkan surat keputusan (GB) tanggal 22 September 1930,
yang ditata batas dengan proses verbal pada tahun 1939 dan disahkan pada tanggal
28 Mei 1941.
 Kawasan hutan Gunung Ciremai ditunjuk menjadi Hutan Produksi wilayah kerja U
nit Produksi (Unit III) Perusahaan Umum Perhutani Jawa Barat melalui Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 143/Kpts/Um/3/1978 pada tanggal 10 Maret 1978
 Pada tahun 2003, sebagian Kelompok Hutan Produksi Gunung Ciremai di Kabupat
en Kuningan dan Kabupaten Majalengka yang pengelolaannya pada waktu itu oleh
Perum Perhutani melalui KPH Kuningan dan KPH Majalengka ditunjuk sebagai Ka
wasan Hutan Lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No :195/Kpts-II/
2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi J
awa Barat seluas ±603 ha.
 Pada tanggal 26 Juli 2004, Bupati Kuningan menyampaikan usulan melalui surat N
omor 522/1480/Dishutbun perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai seba
gai kawasan Pelestarian Alam”.
 Surat Bupati Kuningan kepada Ketua DPRD Kab. Kuningan melalui suratnya Nom
or 522.6/1653/Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Pengelolaan Kawasan
Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”.
 Surat DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 661/266/DPRD perihal dukungan atas us
ulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Ala
m.
 Bupati Majalengka memberikan usulan melalui surat Nomor 522/2394/Hutbun tang
gal 13 Agustus 2004 perihal “Usulan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian
Alam”.
 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 200
4, kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas ±15.500 h
ektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka telah ditunjuk menjadi
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).

9
 Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3684/Menhut-VII/KUH/2014 tenta
ng Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Ciremai Seluas 14.841,30
Hektar di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat

Struktur Organisasi

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dalam pengelolaannya dipimpin ol


eh seorang Kepala Balai selaku Administratur dan dibantu oleh tiga pejabat struktural se
laku pengawas diantaranya :

 Kepala Sub Bagian Tata Usaha


 Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Kuningan
 Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Majalengka

Pada tahun 2016 Balai TNGC melakukan terobosan perubahan struktur organisasi p
engelolaan kawasan khususnya pada resor wilayah berubah menjadi resor tematik melal
ui keputusan Kepala Balai TNGC Nomor SK.74/BTNGC/2016 tanggal 27 April 2016 te
ntang Pembentukan Nama Resor, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Resor Pengelolaan Ta
man Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan keputusan tersebut TNGC dibagi kewilaya
han secara tematik menjadi 3 resor, yaitu :

 Resor Perlindungan dan Pengamanan Hutan : beranggotakan Polisi Kehutanan (Pol


hut)
 Resor Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem : beranggotakan Pengendali Ekosiste
m Hutan (PEH)
 Resor Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam : beranggotakan Penyuluh K
ehutanan, Non Struktural, Polhut dan PEH yang memenuhi kriteria

Dalam hal pengelolaan kawasan, Balai TNGC selalu memperlakukan masyarakat se


bagai subyek sekaligus menjadi tuan rumah di desanya sendiri dengan berpedoman pada
tiga pilar pengelolaan yaitu kelola ekologi, kelola ekonomi dan kelola sosial budaya.

3.1.3 Kondisi Fisik Kawasan

A. Topografi

Topografi di kawasan TNGC secara umum didominasi oleh kelerengan agak curam
(16-25%) dan curam (26-40%) yaitu seluas 5.351,25 ha (36,06%) untuk kelerengan
agak curam dan 5.295,34 ha (35,68%) untuk kelerengan curam. Area dengan kelerengan
sangat curam (>40%) hanya sebagian kecil saja yaitu seluas 387,09 ha (2,61%).

B. Geologi

10
Batuan yang terdapat di kawasan TNGC adalah batuan endapan vulkanik yang
merupakan produk dari aktifitas vulkanik Gunung Ciremai. Merujuk pada data spasial
dari Badan Geologi Bandung, formasi batuan kawasan TNGC terdiri dari :

 Batuan Gunungapi Kuarter yang terdapat di Kabupaten Kuningan (Kecamatan


Kramatmulya, Darma, Cigugur, Cilimus, Jalaksana, Mandirancan dan Pasawahan),
Kabupaten Majalengka (Kecamatan Banjaran, talaga, Rajagaluh, Sindangwangi dan
Argapura), serta Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon dengan luas total
9.521,70 ha (64,16%)
 Batuan Gunungapi Plio–Plistosen yang terdapat di Kabupaten Kuningan
(Kecamatan Mandirancan, Cigugur, Jalaksana, Darma dan Pasawahan) dan di
Kabupaten Majalengka (Kabupaten Cikijing, Sindang, Talaga, Rajagaluh,
Sindangwangi, Banjaran dan Argapura)dengan luas total 5.176,37 ha (34,88%)
 Batuan Sedimen Neogen (Mio – Plio) yang hanya terdapat di Kecamatan Argapura
Kabupaten Majalengka dengan luas 143,23 ha (0,97%)

C. Iklim

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim kawasan TNGC termasuk


tipe iklim C dengan nilai Q sebesar 40,5%. Rata-rata curah hujan 2.500 hingga 4.500
mm/tahun dengan intensitas terendah 13,6 mm/hari hujan dan tertinggi 34,8 mm/hari
hujan.Temperatur bulanan kawasan Timur Ciremai (Kuningan) berkisar antara 18
hingga 22o C sedangkan kawasan Barat Ciremai (Majalengka) kisaran suhu antara 18,8
hingga 37,0°C dengan tekanan rata-rata udara sebesar 1.010 mb, dan kelembaban
sekitar 63-89%

D. Tanah

Merujuk pada data dari Balai Penelitian Tanah Bogor, jenis tanah di TNGC terdiri
dari aluvial, andosol, latosol, podsol merah kuning dan regosol yang deskripsinya
berikut ini dijelaskan oleh Junun (2012) dalam bukunya Pengantar Geografi Tanah dan
sebaran spasialnya ditunjukkan pada gambar 3.

 Aluvial, Satuan tanah Aluvial dikategorikan sebagai tanah muda karena belum
mengalami perkembangan lanjut dari bahan induknya. Tanah Aluvial
mempunyai sifat tekstur beraneka, belum terbentuk struktur, konsistensi dalam
keadaan basah lekat, pH beraneka, kesuburan umumnya sedang hingga tinggi.
Persebaran tanah Aluvium terdapat di daerah dataran aluvial sungai, dataran
aluvial pantai dan di daerah cekungan (depresi). Kawasan TNGC memiliki tanah
aluvial seluas ±16,38 ha (0,11%) di Kecamatan Pasawahan, Kuningan.

 Andosol, Satuan tanah Andosol merupakan tanah mineral yang telah


mempunyai perkembangan profil. Andosol mempunyai rentang sifat solum agak

11
tebal, warna cokelat keabuan hingga hitam, kandungan organik tinggi, tekstur
geluh berdebu, struktur remah, konsistensi gembur dan bersifat licin (smeary),
kadang-kadang berpadas lunak, agak asam, kejenuhan basa tinggi dan daya
adsorpsi sedang, kelembaban tinggi, bulk density 0,85 gr/cm3 (ringan), mineral
alofan menempati kompleks pertukaran paling menonjol, permeabilitas sedang
dan peka erosi, berasal dari bahan induk abu dan tuf gunungapi. Persebaran di
daerah beriklim sedang dengan curah hujan di atas 2500 mm/tahun tanpa bulan
kering. Umumnya dijumpai di daerah lereng atas dan sekitar kerucut gunung api
pada ketinggian di atas 900 meter. Kawasan TNGC memiliki tanah Andosol
seluas 4.272,58 ha (28,79%) di Kabupaten Kuningan, tersebar di Kecamatan
Cilimus, Mandirancan, Darma, Pasawahan, Jalaksana dan Cigugur serta seluas
±4.824,95 ha (32,51%) di Kabupaten Majalengka dengan penyebaran di
Kecamatan Cikijing, Sindang, Talaga, Rajagaluh, Sindangwangi, Banjaran dan
Argapura.

 Latosol, Satuan tanah Latosol merupakan tanah yang telah berkembang atau
terjadi deferensiasi horizon. Latosol mempunyai rentang sifat solum dalam,
tekstur lempung, struktur remah hingga gumpal, konsistensi gembur hingga
teguh, warna cokelat, merah hingga kuning. Latosol tersebar di daerah beriklim
basah dan elevasi antara 300-1000 meter. Latosol umumnya berasal dari bahan
induk abu gunung api yang menyelimuti batuan induk tuf, material vulkanis,
breksi atau batuan beku intrusi. Satuan tanah Latosol di Kawasan TNGC luasnya
sekitar 2.819,34 ha (19%) di Kabupaten Kuningan dengan penyebaran di
Kecamatan Cigugur, Darma, Cilimus, Mandirancan dan Pasawahan serta
Kecamatan Dukupuntang yang masuk wilayah administratif Kabupaten Cirebon.
Di Kabupaten Majalengka, satuan tanah Latosol seluas ±365,92 ha (2,47%)
dengan penyebaran di Kecamatan Banjaran, Talaga dan Sindangwangi.

 Podsol Merah-Kuning, Satuan tanah Podsol Merah-Kuning merupakan tanah


mineral yang telah berkembang. Satuan tanah Podsol Merah-Kuning mempunyai
rentang sifat solum tebal, tekstur lempung hingga lempung berpasir, struktur
gumpal, konsistensi lekat, bersifat agak asam (pH kurang dari 5,5), kesuburan
rendah hingga sedang, warna merah sampai kuning, kejenuhan basa rendah dan
peka erosi. Satuan tanah Podsol Merah-Kuning berasal dari bahan induk lapukan
batu pasir kwarsa, tuf, bersifat asam, tersebar di daerah beriklim basah tanpa
bulan kering, curah hujan lebih dari 2500 mm/tahun.Satuan tanah Podsol Merah-
Kuning ini ditemukan di wilayah Kabupaten Kuningan seluas ±18,09 ha (0,12%)
dengan penyebaran di Kecamatan Kramatmulya, Jalaksana dan Cigugur.

 Regosol, Satuan tanah Regosol dikategorikan sebagai tanah muda karena belum
menunjukkan adanya perkembangan horizon tanah. Tanah Regosol tersusun atas
bahan induk yang masih sangat sedikit mengalami alterasi baik mekanik maupun

12
khemik. Tanah Regosol mempunyai sifat tekstur pasir, struktur berbutir tunggal,
konsistensi lepas-lepas, pH umumnya netral, kesuburan sedang, berasal dari
bahan induk material vulkanis piroklastis atau pasir pantai. Persebaran tanah
Regosol adalah di daerah lereng gunung api muda dan pada daerah-daerah
beting dan gumuk pasir pantai. Di kawasan TNGC, satuan tanah Regosol
terdapat di Kabupaten Kuningan seluas ±1.707,53 ha (11,51%) yang tersebar di
Kecamatan Cigugur, Pasawahan, Mandirancan, Jalaksana dan Cilimus serta di
Kabupaten Majalengka seluas ±816,51 (5,5%) ha dengan penyebaran di
Kecamatan Argapura, Sindangwangi dan Rajagaluh.

3.1.4 Flora dan Fauna

Sebagai kawasan yang sebelumnya berstatus Hutan Lindung, wilayah yang dikelola


oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai ini sangat kaya akan keanekaragaman flora
dan fauna. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa langka dapat dijumpai di sepanjang area
taman nasional ini.

1. Flora

Beberapa jenis flora yang mendominasi di kawasan Taman Nasional Gunung


Ciremai, antara lain mara (Macaranga tanarius), mareme (Glochidin sp.), huru (Lisea
spp.), puspa (Schima wallichii), ki sapu (Eurya acuminate), dan saninten (Castonopss
argentea).

Flora yang hidup di wilayah taman nasional ini dibagi ke dalam dua zona, yaitu
zona pegunungan basah dan zona pegunungan kering. Beberapa jenis yang hidup di
zona pegunungan basah antara lain adalah berbagai jenis saninten, seperti Castanopsis
argentea, Castanopsis tungurrut, dan Castanopsis javanica.

Ada juga dari jenis pasang seperti Lithocarpus sundaicus dan Lithocarpus tungurrut.


Sementara tumbuhan dari beberapa suku lain yang hidup di kawasan ini adalah
suku Elaeocarpaceae yaitu kareumbi (Omalanthus populneus) dan mara (Macaranga
denticula), suku Fagaceae yaitu jenitri yang berasal dari tiga spesies (Elaecarpus
obtusus, Elaecarpus stipularis, dan Elaecarpus petiolatus).

13
Selain itu, ada pula dari suku Euphorbiaceae dalam hal ini beberapa spesies jirak,
yaitu Symplocos fasciculata, Symplocos spicata, Symplocus theaefolia, dan Symplocos
sessilifolia. Terdapat juga suku Symploceae adalah jenis ara, seperti Ficus
racemosa dan Ficus padana. Lalu dari suku Moraceae ada dua spesies yang juga
mendominasi di seluruh kawasan taman nasional, seperti puspa dan ki sapu.

Sementara untuk flora yang hidup di kawasan yang kering didominasi oleh jenis
medang atau huru (Litsea spp.), mara (Macaranga tanarius), bingbin (Pinaga javana),
dua spesies saninten, mareme (Glochidin sp.), serta pandan gunung (Pandanus sp.).

Semakin naik ke puncak yang disebut sebagai zona montana flora yang
mendominasi adalah jenis jamuju (Dacrycarpus imbricatus dan suku Podocarpaceae).
Flora ini juga membentuk suatu vegetasi yang khusus.

2. Fauna

Seperti yang telah disebutkan, bahwa Taman Nasional Gunung Ciremai  juga
menjadi habitat beberapa jenis satwa langka. Diantaranya adalah surili (Presbytis
comate), macan kumbang (Panthera pardus), dan elang jawa (Spyzaetus bartelsi).

Adapun untuk jenis satwa liar di kawasan ini yaitu ular sanca (Phyton molurus), engkek
kiling (Cissa thalassina), kijang (Muntiacus muntjak), kera ekor panjang (Macaca
fascicularis), dan sebagainya.

Jenis mamalia penting selain fauna langka dan liar yang ada di kawasan ini antara
lain lutung budeng (Trachypithecus auratus), kukang jawa atau yang biasa disebut muka
geni (Nycticebus javanicus), dan pelanduk jawa (Tragulus javanicus).

Selain itu, gunung ini juga merupakan wilayah yang sangat penting untuk berbagai
populasi jenis burung. Beberapa diantaranya adalah burung endemik, bahkan ada yang
keberlangsungannya rentan seperti ciung mungkal jawa (Cochoa azurea) dan celepuk
jawa (Otus angelinae).

Sementara itu, ada 18 spesies burung yang status persebarannya terbatas seperti
walik kepala ungu (Ptilinopus porphyreus), berkecet biru tua (Cinclidium diana), poksai
kuda (Garrulax rufifrons), puyuh gonggong jawa (Arborophila javanica), cica matahari
(Crocias albonotatus), kenari melayu (Serinus estherae), opior jawa (Lophozosterops
javanicus), dan lainnya.

14
Flora dan fauna di kawasan taman nasional gunung ciremai memiliki berbagai
macam spesies. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Beberapa Jenis
Flora di Kawasan TNGC.

famili Nama Ilmiah Nama Lokal


No

1 Arecaceae Pinanga coronata Bingbin

2 Bignoniaceae Radermachera glandulosa Kipait, Kipiit

3 Crypteroniaceae Crypteronia paniculata Ki Banen

4 Elaeocarpaceae Elaeocarpus grandiflora Ambit

6 Fagaceae Castanopsis argentea Saninten

7 Gramineae Eleusine indica Carulang

8 Hamamellidaceae Distilum stilare Aangritan

9 Icacinaceae Gomphandra javanica Ansan delok

10 Juglandaceae Engelhardia spicata Ki Keper

Beberapa Spesies Flora Yang Dilindungi

No Fanili Nama Latin Nama Jenis Keterangan

1 Accipitridae Nisaetus bartelsi Elang Jawa Endemik Jawa

2 Ciconidae Ciconia episcopus Bangau Sandang


Lawe

3 Alcedinidae Halycon Cekakak Jawa Endemik Jawa


cyanoventris

4 Chloropseidae Chloropsis sp Cica Daun Kecil

5 Hirundinidae Artamus Kekep babi


leucorhynchus

6 Pycnonotidae Alophoixus bres Empuloh Janggut

15
7 Nectariniidae Arachnothera afinis Pijantung Gunung

8 Sylvidae Crocias albonotatus Cica Matahari Endemik Jawa

9 Timaliidae Macronus flavicollis Ciung air Jawa Endemik Jawa

Beberapa Spesies Fauna Yang Dilindungi

3.2 Kasus dan penyelesan

TNGC merupakan salah satu hutan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
dengan karakteristik dominan ekosistem hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa. TNGC
ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, dengan luas 15.518,23 ha. Sebelum
ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan hutan Gunung Ciremai merupakan hutan
produksi dan hutan lindung yang telah mengalami deforestasi dan degradasi.
Deforestasi dan degradasi tersebut mengakibatkan menurunnya fungsi ekosistem seperti
fungsi ekologi sebagai habitat satwa, fungsi lindung sistem hidrologi, dan fungsi sosial
ekonomi bagi masyarakat. Dalam upaya pemulihan kembali fungsifungsi ekosistem
terdegradasi tersebut, diperlukan kegiatan restorasi di TNGC (Gunawan dan
Subiandono,2013). Perubahan status kawasan hutan lindung menjadi taman nasional
menyebabkan sistem pengelolaan kawasan juga berubah. Upaya penetapan ini
seringkali ditentang oleh masyarakat sekitar kawasan karena dianggap mengganggu
kepentingan dan hajat hidup masyarakat lokal, karena pemanfaatan kawasan pada hutan
lindung bisa dilakukan di semua kawasan, sementara pada taman nasional hanya dapat
dilakukan di zona pemanfaatan (Alviya, 2006). Kondisi inilah yang seringkali
menimbulkan konflik. Konflik perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju
perubahan masyarakat, untuk itu harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah
menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif. Awang (2007) berpendapat bahwa
dalam tata kelola sumberdaya alam (dalam hal ini hutan) terdapat beberapa hal yang
perlu dilakukan seperti: (1) mengelola konflik, yakni lebih memperjelas masalah-
masalah tenurial, jangan dihapus tetapi dikelola/dibangun solusinya; (2) Membuat
kejelasan kepastian hukum; zonasi, resort, komoditas, pembebasan lahan, dan
seterusnya; (3) Membuat perencanaan partisipatif dan pemanfaatan yang berkeadilan;
(4) Membangun dan memerkuat kelembagaan baru; (5) membangun program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM) Desa Konservasi; (6) Memastikan kebijakan harus
sesuai dengan penerapan di lapangan; serta (7) selalu melakukan monitoring, dan
evaluasi. Pasya & Sirait (2011) menjelaskan juga bahwa informasi yang penting
mencakup sejarah terjadinya sengketa, akar perbedaan kepentingan yang membuat
beberapa pihak bersengketa, serta gaya para pihak menghadapi sengketa (conflict style)
diperlukan guna penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif.

16
Desa Cisantana terbentuk pada tahun 1950. Pada tahun tersebut, kawasan hutan
Gunung Ciremai ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Pada
mulanya masyarakat desa tidak mempermasalahkannya, namun ketika terjadi peristiwa
DI/TII yang menyebabkan kebakaran besar di desa, masyarakat kehilangan lahan
garapannya. Hal tersebut menyebabkan masyarakat memasuki hutan untuk menggarap
lahan guna memenuhi hajat hidupnya.Walaupun tidak memiliki sertifikat/pengakuan
tanah secara tertulis, masyarakat lokal memahami bagaimana bentuk tradisional
pengelolaan sumberdaya hutan mereka. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang arif
dan berkelanjutan, mereka mampu berdikari atas penghidupan mereka. Namun
demikian, prilaku masyarakat desa tidak dapat didukung oleh pemerintah, maka dalam
kurun waktu yang tak lama kemudian, akses masyarakat terhadap lahan dan hutan pun
dibatasi.

Pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang
pengelolaannya diserahkan pada Perhutani. Perubahan fungsi kawasan dari hutan
lindung ke hutan produksi membawa dampak yang nyata terhadap perubahan ekologi
kawasan Gunung Ciremai dimana yang semula vegetasi hutan alam, berubah menjadi
vegetasi dengan tujuan produksi yang mayoritas ditanami pohon pinus. Dalam upaya
melibatkan masyarakat desa agar tidak terjadi konflik, Perhutani mengembangkan
beberapa program seperti kegiatan tumpang sari berupa tanaman sayuran dan beberapa
tanaman perkebunan disela-sela tegakan hutan pinus.

Kemudian, pada tahun 2003, sebagian kelompok hutan produksi yang dikelola oleh
Perhutani dialihfungsikan sebagai kawasan hutan lindung melalui SK Menteri
Kehutanan Nomor: 195/KptsII/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Sebagian
Kelompok Hutan Produksi. Maksud pengalihfungsian tersebut adalah untuk
mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai akibat kegiatan produksi. Setahun
kemudian, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok
hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas + 15.500 hektar yang
terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat.

Perubahan status kawasan tentunya mengakibatkan terjadinya pengalihan


pengelolaan kembali yaitu dari Perhutani kepada TNGC. Hal ini berdampak pada
aksesibilitas masyarakat Desa Cisantana yang sebelumnya dapat menggarap lahan di
wilayah hutan produksi, menjadi tidak dapat menggarap lahan dengan leluasa di dalam
hutan, karena berdasarkan aturan, pemanfaatan kawasan pada taman nasional hanya
dapat dilakukan di zona pemanfaatan saja. Disinilah dimulainya konflik antara
masyarakat desa dengan pengelola TNGC. Pihak TNGC kemudian melakukan upaya
untuk menyelesaikan konflik dengan memberi bantuan bibit domba kepada masyarakat
desa, sebagai kompensasi karena petani tidak dapat melakukan kegiatan bertani secara
intensif di dalam kawasan TNGC. Tidak berhenti disitu saja, pada tahun 2007,
masyarakat desa bersama-sama dengan pengelola TNGC melakukan survai untuk

17
mencari wilayah yang dapat dijadikan wisata alam. Dari hasil survei ditemukan air
terjun di daerah Ipukan yang kemudian dibangun wana wisata Ipukan oleh pengelola
TNGC bersama masyarakat

Pada tahun 2012, masyarakat desa tidak membuka lahan lagi di kawasan TNGC.
Mereka beralih mata pencaharian, dari petani menjadi pemberi jasa (guide) wisata.
Mereka menata kehidupan ekonominya dengan mencari alternatif selain menggarap
lahan diantaranya dalam pengelolaan potensi alam berupa air terjun dan wisata alam,
seperti bumi perkemahan (buper), jalur pendakian gunung, dan lainnya. Setahun
kemudian, pembukaan wana wisata Ipukan sebagai bentuk kemitraan masyarakat Desa
Cisantana dan TNGC dilakukan. Masyarakat resmi bermitra dengan pengelola TNGC
dalam mengelola wana wisata di blok Ipukan, dan sebagai bentuk keseriusan
masyarakat mengelola lahan, maka dibentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba
Alam Lestari. Kawasan TNGC juga memiliki potensi wisata dan masyarakat
menginginkan dapat dilibatkan mengelola wisata tersebut. Sejak tahun 2016 dengan
pengaturan resort tematik dari pihak TNGC kegiatan pengelolaan wisata sudah
dilakukan.

18
Sejarah perubahan fungsi kawasan dan pengelolaan hutan TNGC

Perbedaan Persepsi Masyarakat dan Pemerintah dalam Pengelolaan TNGC

19
Konflik tenurial di TNGC juga tak terlepas dari persepsi masyarakat dan
pemerintah. Umumnya persepsi yang dimiliki individu/suatu kelompok berbeda dengan
individu/kelompok lainnya karena pengaruh berbagai faktor, seperti pengalaman, latar
belakang, lingkungan tempat tinggal, motivasi, dan lainnya (Satriani, Golar & Ihsan,
2013). Dalam mengelola kawasan konservasi pemerintah seringkali menghadapi
perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai dan akuan hak dengan masyarakat
(Purwawangsa, 2017). Hakim, Aldianoveri, Bangsa, & Guntoro (2018) dalam kajiannya
mengenai konflik tenurial di Cagar Biosfer Bromo Jawa Timur, menjelaskan bahwa
terdapat beberapa aspek yang melatar belakangi terjadinya konflik, antara lain adalah
tuntutan ekonomi, tumpang tindih kebijakan, pemahaman yang salah akan status tanah,
misinformasi dan komunikasi, disharmonisasi hubungan komponen masyarakat,
penegakan hukum, dan kualitas pendidikan masyarakat. Pada Tabel 2 terlihat bahwa
terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat dan pemerintah yang mengelola TNGC
dalam menginterpretasikan TNGC. Persepsi ersebut meliputi status lahan, pengelolaan
lahan, Buper Ipukan dan juga mengenai aksesibilitas ekonomi dari TNGC. Masing-
masing pihak bertindak sesuai dengan persepsinya, sementara persepsi diantara pihak
tersebut bisa jadi berlawanan, sehingga menimbulkan konflik tenurial. Untuk itu
diperlukan pemahaman persepsi pada masing-masing pihak dalam penyelesaian konflik.

Terkait dengan status lahan dan pengelolaan, masyarakat merasa berhak turut
mengelola hutan dalam kawasan TNGC, sekalipun mereka mengetahui bahwa TNGC
adalah lahan milik negara. Mereka merasa sebagai warga negara Indonesia yang telah
lama bermukim di wilayah tersebut, berhak pula mencari rejeki dari hutan. Masyarakat
petani pernah mendapat izin kelola lahan seluas 0,3 ha/petani. Program ini dimulai sejak
tahun 1960-an dengan tumpangsari, berlanjut dengan pengembangan prosperity
approach di dalam kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial tahun 1984 dan di luar
kawasan hutan melalui Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) pada
tahun 1994, hingga penerapan Pengelolaan Hutan Bersama/Berbasis Masyarakat
(PHBM) dari tahun 2001 hingga kini. Ketika masyarakat desa mendapat izin kelola
lahan, mereka merasa mendapatkan peluang untuk semakin memperluas akses
pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan, sehingga membuka lahan lagi ke dalam
hutan. Terlebih masyarakat juga merasa sudah banyak mengeluarkan biaya dan tenaga
untuk mengelola lahan di TNGC. Hal ini memberikan dampak kerusakan hutan, dimana
lahan hutan semakin terbuka. Sementara itu, pemerintah merasa memiliki kewajiban
dan hak mengelola kawasan TNGC termasuk mengatur aksesibilitas masyarakat sekitar
kawasan agar terjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam lainnya. Dalam
upaya melaksanakan kewajibannya, pemerintah melakukan beberapa kali perubahan
peruntukan kawasan Gunung Ciremai.

Terkait dengan pengelolaan buper Ipukan juga ada perbedaan persepsi dimana
masyarakat merasa berhak mengelola karena secara adminitratif lokasinya berada di

20
Desa Cisantana, namun menurut pengelola TNGC buper ini sudah masuk ke dalam zona
pemanfaatan. Masyarakat juga ingin turut serta dalam pemanfaatan potensi jasa
lingkungan dan wisata, namun pihak TNGC menginginkan adanya aturan main yang
tidak bertentangan dengan perundangan yang sudah ditetapkan.

Persepsi masyarakat dan pengelola TNGC

Perbedaan persepsi masyarakat Desa Cisantana dan pemerintah selaku pengelola


TNGC menjadi sumber konflik yang terjadi di TNGC. Hal ini sejalan dengan yang
dijelaskan oleh Adiwibowo & Pandjaitan (2012) bahwa umumnya terjadinya konflik
yang melibatkan antara masyarakat dengan pemerintah dan/atau perusahaan disebabkan
oleh perspektif yang berbeda dalam memandang sumber daya alam. Disatu sisi
masyarakat berada di posisi lemah yang menuntut mereka dapat bertahan hidup dengan
bergantung pada sumberdaya alam, yang menurut mereka berlimpah dan berharap dapat
berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Masyarakat memandang
sumberdaya alam di wilayah TNGC sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan
fungsinya sebagai daya dukung lingkungan. Menurut Nurrani & Tabba (2013)
masyarakat yang memiliki persepsi tidak baik sampai dengan persepsi

sedang terkait kelestarian sumberdaya alam biasanya karena memandang hutan


sebagai sumber penghidupan dari sisi ekonomi sehingga pemanfaatan sebesar-besarnya
demi peningkatan penghasilan tanpa memikirkan keberlangsungannya.

Pemanfaatan lahan di wilayah TNGC dengan tanaman pertanian berakibat


menurunkan fungsi daya dukung lingkungan dan rusaknya keseimbangan keseluruhan
ekosistem hutan, dan akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat luas
terutama terkait dengan persediaan air. Sementara pemerintah melihat wilayah Gunung
Ciremai sebagai wilayah konservasi dan tangkapan air terbesar di Jawa Barat harus

21
dikelola dengan bijak. Melihat persepsi yang berbeda pada masing-masing pihak, maka
diperlukan upaya pemecahan masalah yang memberikan “win-win solution” bagi kedua
belah pihak dan atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Seperti yang erjadi pada
kasus konflik lahan antara masyarakat dan TNI AD di Setrojenar Kecamatan
Buluspesantren Kabupaten Kebumen atas kepemilikan lahan. Penyelesaian dilakukan
melalui pendekatan aspek legalitas, aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek legalitas
resolusinya adalah melalui putusan hakim secara legal, dari aspek sosial dilakukan
melalui rekonsiliasi dan mediasi antara TNI dan masyarakat, sementara dari aspek
ekonomi memberikan ganti rugi lahan pertanian agar masyarakat tetap bisa bertani dan
kepentingan TNI untuk keamanan tetap terwujud (Negara et al., 2019). Demikian pula
dengan konflik yang terjadi di TNGC, berbagai upaya penyelesaian konflik pun
dilakukan.

Obyek Konflik

Obyek yang menjadi konflik antara pengelola TNGC dengan masyarakat Desa
Cisantana yang terkoordinir dalam KTH Rimba Alam Lestari terletak di zona
pemanfaatan (eks PHBM), tepatnya di Bukit Ipukan. Areal tersebut termasuk pada
wilayah administrasi Desa Cisantana Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.

Luas wilayah Bukit Ipukan yang dikelola oleh KTH Rimba Alam Lestari adalah + 6
ha. Secara administrasi, di sebelah Utara, Bukit Ipukan berbatasan dengan TNGC, di
sebelah Timur berbatasan dengan lembah Citenggirang TNGC, di sebelah Selatan
berbatasan dengan Dusun Palutungan, dan di sebelah Barat dengan zona rehabilitasi
TNGC. Potensi wisata di blok Ipukan adalah bumi perkemahan, air terjun, pertemuan
satwa liar, obyek penelitian pemandangan landscape, dan lain-lain. Bukit Ipukan berada
di Zona Pemanfaatan, maka dapat dikatakan bahwa kemungkinan tidak akan
menimbulkan konflik baru. Namun, kini sedang dilakukan pembukaan objek baru di
Ipukan yaitu air terjun Cipayung yang lokasinya berada dalam Zona Rehabilitasi. Perlu
disadari hal ini merupakan bibit konflik yang kemungkinan dikemudian hari dapat
menjadi konflik. Sementara itu menurut Awang (2007) suatu konflik dalam tata kelola
sumberdaya alam, jangan diabaikan melainkan dikelola/dibangun solusinya.
Selanjutnya harus dipastikan bahwa kebijakan yang diputuskan harus sesuai dengan
penerapan di lapangan serta selalu melakukan monitoring dan evaluasi.

Aktor Konflik dan Gaya Sengketa Para Pihak

Jaya & Hatma (2011) menjelaskan bahwa dalam resolusi konflik perlu dilakukan
pemetaan terhadap semua aktor yang terlibat dalam konflik, yang selanjutnya
dideskripsikan posisi serta peran masingmasing aktor dalam hubungan/jaringan antar
aktor tersebut. Kemudian langkah berikutnya menentukan siapa yang menjadi aktor
kunci dan aktor pendukung.

22
Gunawan & Subiandono (2013) mengidentifikasi ada 13 pemangku kepentingan
dalam pengelolaan TNGC yang meliputi Balai TNGC, BAPPEDA, Dinas Kehutanan,
Dinas Pertanian, Perhutani, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perikanan, PDAM
(Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon), Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Masyarakat Desa yang
berbatasan dengan TNGC, Swasta (Pengguna air dan Pengusaha jasa wisata) serta
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para pemangku ini memiliki peran dan
kepentingan yang berbeda-beda. Sementara terkait dengan Objek dan Daya Tarik
Taman Wisata Alam (ODTWA) di Zona Pemanfatan TNGC diidentifikasi terdapat 15
pihak yang terlibat.

Berikut peta konflik yang terjadi di TNGC. Tampak hubungan pada masing-masing pihak yang berkepentingan terhadap TNGC.

23
Peta konflik pada zona pemanfaatan TNGC

Pemetaan Gaya Bersengketa

Sampai saat penelitian dilakukan, masyarakat sekitar TNGC mengakui dan


menerima bahwa keberadaan TNGC sebagai hutan negara dan Perhutani yang mewakili
negara untuk mengelola hutan. Kondisi ini merupakan suatu faktor pendukung dalam
penyelesaian konflik yang ada, sebagaimana juga dijelaskan oleh Ambarwati, Sasongko,
& Therik (2018) bahwa pengakuan masyarakat terhadap wilayah hutan menjadi faktor
pendukung dalam mencari upaya penyelesaian konflik dan diajak bekerjasama dalam
pengelolaan hutan.

Penyelesaian konflik memerlukan informasi pola/gaya sengketa masing-masing


aktor konflik. Ada beberapa model dalam manajemen konflik seperti integrasi,
kepatuhan/kewajiban, kompromi, dominasi, dan gaya menghindar. Gaya manajemen
konflik secara integrasi dinilai akan lebih baik dalam memperbaiki hubungan pihak-
pihak yang berkonflik.Walaupun selain melihat pihak yang terlibat pemilihan
manajemen konflik juga sangat tergantung pada tingkatan konflik itu sendiri (Lu &
Wang, 2017). Pasya & Sirait (2011) menjelaskan bahwa terdapat 5 macam gaya
bersengketa para pihak, yaitu menghindar, mengakomodasi, kompromi, kompetisi, dan
kolaborasi . Lebih lanjut Pasya & Sirait (2011) menerangkan bahwa dasar AGATA
adalah keseimbangan antara ketegasan (assertiveness) versus kerjasama
(cooperativeness). Pada assertiveness, yang dilihat adalah semakin tinggi (ditandai
dengan sikap agresif, egois, menekan pihak lain, dan berprilaku non kooperatif) atau

24
semakin rendahnya sikap mementingkan diri/kelompok sendiri tanpa melanggar hak
pihak lain (ditandai dengan sikap mengubah topik penyebab sengketa, menghindari
diskusi tentang sengketa, tidak ingin membangun komitmen, dan/atau berprilaku tidak
jelas). Sementarapada cooperativeness yang dilihat adalah semakin tinggi (ditandai
dengan sikap saling peduli terhadap masing-masing kepentingan pihak, terjalin
komunikasi yang empatik, saling menghargai dan berusaha memuaskan satu sama lain).

Gaya sengketa pihak berkonflik di TNGC, diadopsi dari Pasya & Sirait ( 2011)

Terlihat bahwa pihak TNGC dan KTH Rimba alam Lestari memilih untuk bergaya
kolaborasi, yaitu dicirikan dengan adanya saling memperhatikan kepentingan antar
pihak, komunikasinya empati, dan berusaha saling memuaskan satu sama lain, dengan
tidak diburu waktu (tersedia waktu dan energi yang cukup untuk menangani konflik
terpadu). Selain itu juga bergaya kompromi dengan pihak Perhutani dan CV Mustika
yang dicirikan dengan adanya tindakan bersama dalam mengambil jalan tengah saling
memberi walau sebenarnya para pihak enggan bekerjasama namun pada saat yang
bersamaan diperlukan segera jalan keluar. Sementara itu, pihak Dinas Pariwisata dan
Dinas Perhubungan bergaya sengketa menghindar, yaitu dicirikan dengan tidak mau
membicarakan topik sengketa yang ada dan lebih memilih berprilaku tidak jelas.
Pemerintah Desa tampak lebih banyak mengakomodir kepentingan masyarakat Desa
Cisantana (KTH Rimba Alam Lestari). Demikian pula dengan pihak Asuransi yang
berkepentingan mengakomodir kegiatan pengelolaan Ipukan melalui tiket pengunjung.

Mekanisme Penyelesaian Konflik

25
Pasya dan Sirait (2011) menjelaskan bahwa bilamana terdapat gaya pihak yang
menunjukkan gaya-gaya kompromi, akomodasi dan kolaborasi, maka modal sosial yang
dimiliki oleh pesengketa setidaknya cukup untuk memulai mediasi. Apabila gayanya
adalah kompetitif (bersaing) dan/atau agitatif (menyerang), maka perlu membangun
kepercayaan timbal balik (mutual trust) semua pihak yang bersengketa. Selain itu
diperlukan juga meyakinkan para pihak bahwa manfaat bersama yang diperoleh melalui
perundingan. Sementara, bila gaya para pihak adalah menghindar, maka perlu
melakukan intensifikasi sengketa secara konstruktif, yakni dalam kesempatan terpisah
ada pihak yang mengajak semua pihak untuk mau dan bersedia menyampaikan
pendapatnya atas ketidaksepahaman/perbedaan yang dimiliki. Selain itu, berupaya
meyakinkan para pihak bahwa perbedaan tersebut harus saling diutarakan dalam suatu
kesempatan bersama yang kondusif sehingga semua pihak mau hadir dan bertemu.

Hasil kajian alur pegambilan keputusan penyelesaian konflik di TNGC, diadopsi dariPasya & Sirait ( 2011)

Berdasarkan gaya bersengketa para pihak yang terkait dengan konflik tenurial yang
terjadi di kawasan TNGC (Gambar 5), maka dengan gaya akomodasinya, pemerintah
desa mengadakan pertemuan antara perhutani, pengelola TNGC, CV Mustika, serta

26
pesanggem dari Desa Cisantana yang masing-masing bergaya sengketa kolaborasi dan
kompromi. Hasil pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Isu konflik dalam hal ini adalah perubahan status yang menyebabkan terjadinya
pertentangan atau konflik tenurial antara petani penggarap (pesanggem) dengan
pengelola TNGC. Perubahan status Gunung Ciremai yang terjadi beberapa kali,
memberikan ruang transisi kepada masyarakat setempat, dimana pada saat Gunung
Ciremai masih sebagai hutan produksi, Perhutani sebagai pengelola membuat kebijakan
memberi peluang kepada masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam beberapa
kegiatan pengelolaan hutan. Diantaranya dengan program prosperity approach di dalam
kawasan hutan tahun 1984 dan di luar kawasan hutan melalui PMDHT pada tahun
1994, hingga penerapan program PHBM. Masyarakat penggarap/pesanggem meminta
tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun untuk menggarap lahan

2. Pihak TNGC memberikan peluang kepada masyarakat setempat untuk mengelola


Buper Palutungan. Namun, karena kemudian diserahkan pada pihak swasta (CV
Mustika) maka kedua belah pihak berkompromi agar KTH diperbolehkan mengelola
parkir di Buper Palutungan. Sebagai gantinya, pihak TNGC.memberikan lokasi wisatan
pukan untuk dikelola oleh KTH.

3. Pihak TNGC bersedia memberikan retribusi parkir kepada pemerintah daerah (dalam
hal ini Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan) dengan syarat pemerintah daerah turut
berkontribusi memfasilitasi ruang parkir di luar kawasan. Dalam hal ini pihak pemda
mengambil gaya sengketa menghindar; belum bereaksi/belum memberikan aturan yang
pasti perihal retribusi parkir di kawasan wisata alam TNGC.

4. Pembukaan objek wisata baru di Ipukan (air terjun Cipayung yang berada di zona
rehabilitasi) harus mendapatkan perhatian khusus dan segera ditangani agar kedepan
tidak menimbulkan konflik. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan revisi
terhadap zonasi yang sudah ada.

5. Izin kelola pada KTH masih bersifat perorangan, sehingga sifatnya secara hukum
lemah. Untuk itu KTH perlu dilegalkan dalam bentuk koperasi dan dapat bersinergi
dengan pemdes dalam pengembangannya.

27
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Konflik yang dominan terjadi di TNGC adalah berakar pada perubahan status fungsi
hutan dari produksi ke fungsi lindung dan kemudian fungsi konservasi, yang berakibat
pada perubahan pihak yang berwenang melakukan pengelolaan kawasan hutan. Sejarah
panjang pengelolaan hutan di kawasan tersebut pada akhirnya berdampak terhadap
kegiatan perekonomian masyarakat sekitar TNGC. Beberapa aktor dominan yang
terlibat adalah masyarakat petani Desa Cisantana (KTH), pemerintah desa, Perhutani,
TNGC, CV Mustika, Swasta dan Pemerintah Daerah (Dinas Perhubungan dan Dinas
Pariwisata). Masingmasing pihak mempersoalkan aksesibilitas mereka dalam mengelola
buper Palutungan. Masyarakat petani merasa yang paling dirugikan karena tidak diberi
kesempatan bertanam lagi di lahan TNGC dan tidak dilibatkan dalam pengelolaan B
super.

Sementara CV Mustika memiliki izin secara sah oleh pemerintah untuk mengelola
buper. Selain itu, pemerintah desa juga merasa berhak menerima pemasukan dari buper,
karena lokasi buper berada dalam administrasi desanya.

Dalam berkonflik, masing-masing pihak memiliki gaya sengketa yang berbeda.


Dengan gaya akomodasinya,

4.2 Saran

Pemerintah desa mengadakan pertemuan antara Perhutani, pengelola TNGC, CV


Mustika, dan pesanggem dari Desa Cisantana yang masing-masing bergaya sengketa
kolaborasi dan kompromi. Masing-masing pihak tersebut, difasilitasi dan dimediasi
untuk mengusulkan (1) izin kelola Patulungan di bagian kelola parkir, serta (2) izin
Kelola Ipukan, sebagai guide pariwisata, sehingga mendapatkan legalitas pengelolaan
sekaligus pengakuan. Dalam hal ini, peran pihak luar yang tidak ada hubungan konflik
seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), LSM lingkungan
atau pihak akademisi sangat diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik. Bagi pihak
yang bergaya sengketa menghindar, perlu melakukan komunikasi intensif antara kedua
belah pihak agar menyadari adanya konflik dan/atau merubah gaya sengketanya
menjadi berkompromi. Selain itu konflik yang belum muncul ke permukaan, seperti
lokasi wisata baru yang terletak di zonasi rehabilitasi dan izin KTH yang bersifat
individu, hendaknya segera ditangani, agar dikemudian hari tidak muncul menjadi
konflik besar.

28
DAFTAR PUSAKA

Awang,S; A.Kasim; B.Tular dan Nur Salam. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi

Taman Nasional: Kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. CARE

Bonsu, N. O., Dhubháin, Á. N., & O’Connor, D. (2019). Understanding forest resource

conflicts in Ireland: A case study approach. Land Use Policy, 80, 287–297.

Endah Ambarwati, M., Sasongko, G., & M.A Therik, W.(2018). Model dinamika

konflik tenurial pada kawasan huta (Case in BKPH Tanggung KPH

Semarang).Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2), 112-120

Gamin, G., Kartodihardjo, H., Kolopaking, L. M., & Boer,R. (2014). Menyelesaikan

konflik penguasaan kawasanhutan melalui pendekatan gaya sengketa para

pihak diKesatuan Pengelolaan Hutan Lakitan. Jurnal AnalisisKebijakan

Kehutanan, 11(1), 71–90.

Gamin. (2017). Bahan Ajar Pemetaan Konflik Tenurial:Rapid Land Tenure Assesment

(RaTA). Kadipaten:Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

29
Gunawan, H., & Subiandono, E. (2013). Kondisi biofisikdan sosial ekonomi dalam

konteks restorasi ekosistem Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.

JurnalRehabilitasi Hutan, 1(1),17–37

http://tngciremai.com/tentang-kami/

http://tngciremai.com/flora-fauna/

file:///C:/Users/USER/Downloads/509-989-1-SM.pdf

http://ejournal.fordamof.org/ejournallitbang/index.php/JWAS/article/download/5393/43

https://rimbakita.com/taman-nasional-gunung-ciremai/

LAMPIRAN

30
31

Anda mungkin juga menyukai