Anda di halaman 1dari 31

Merancang

Policy Brief
Bahan Ajar Diklatpim Tingkat I

Disusun Oleh:
Tri Widodo W. Utomo

DIREKTORAT PEMBINAAN DIKLAT


APARATUR | LAN-RI
Daftar Isi

Pengantar

 Policy Brief dan Kurikulum Diklatpim I 1


 Policy Science, Policy Paper, dan Policy Brief 1
 Kondisi Kebijakan Saat Ini 4

Konsepsi Policy Paper dan Policy Brief

 Apa Itu Policy Paper dan Policy Brief? 6


 Mengapa Policy Brief Penting? 8
 Kelebihan Policy Brief 11
 Karakter Policy Brief 11

Struktur dan Komponen Policy Brief

 Struktur (Sistematika) Penulisan Policy Brief 13


 Policy Brief Diklatpim I LAN 17
 Sisi Lain Policy Brief 20
 Penutup 21

Contoh Policy Brief

i
Pengantar

Policy Brief dan Kurikulum Diklatpim I

Berdasarkan diklat pola baru sebagaimana diatur oleh Peraturan Kepala


LAN Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I, policy brief adalah
salah satu produk pembelajaran yang paing utama disamping proyek
perubahan. Policy brief merupakan produk kolektif yang dihasilkan dalam
mekanisme kelompok, dengan tujuan untuk menghasilkan kecerdasan
kolektif (collective intelligence).

Policy brief ini berisi analisis terhadap issu aktual dan permasalahan yang
dihadapi bangsa Indonesia, serta usulan/rekomendasi yang inovatif untuk
mengatasi masalah yang ada sekaligus untuk mencegah agar
permasalahan yang sama tidak muncul di kemudian hari.

Analisis Kebijakan Policy Science, Policy Paper, dan Policy Brief


adalah aktivitas
menciptakan
Antara policy science, policy paper, dan policy brief, memiliki keterkaitan
pengetahuan
tentang dan dalam yang sangat erat. Menurut Young and Quinn (2002), disiplin ilmu
proses pembuatan kebijakan (policy science) terbagi kedalam 2 (dua) bagian, yakni studi
kebijakan
kebijakan (policy study) dan analisis kebijakan (policy analysis). Mereka
(William N. Dunn) menyatakan bahwa policy study bertujuan untuk memahami atau

1
menghasilkan informasi tentang proses pembuatan kebijakan melalui
pelaksanaan riset primer kedalam issu-issu kebijakan yang spesifik.
Sedangkan policy analysis lebih bermotif politik dan mencari pengaruh
langsung outcomes kebijakan melalui perumusan atau desain kebijakan
instansi pemerintah.

Meskipun Young and Quinn membedakan antara policy study dengan


policy analysis, namun dalam modul ini keduanya tidak dibedakan secara
tajam, sehingga dapat dimaknakan secara bersama-sama. Dalam definisi
Dunn (2003: 1) baik policy study maupun policy analysis diartikan sebagai
aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan
kebijakan. Modul ini juga tidak membedakan antara policy study dan policy
analysis dengan policy research (riset kebijakan), yang oleh Majchrzak
(1984: 3) didefinisikan sebagai:

“a special type of research that can provide communities and


decision-makers with useful recommendations and possible
actions for resolving fundamental problems. It provides policy-
makers with pragmatic, action-oriented recommendations for
addressing an issue, question, or problem. The primary focus of
policy research is linked to the public policy.”

Pada umumnya, hasil analisis terhadap sebuah kebijakan dituangkan


dalam sebuah dokumen yang disebut policy paper atau makalah
kebijakan. Atau dengan kata lain, policy paper adalah sebuah dokumen
yang dihasilkan dari sebuah proses dan/atau menciptakan pengetahuan
tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan.

Policy paper sendiri memiliki kelemahan utama yakni kurang mampu


menjadi media komunikasi dengan policy makers, sehingga banyak sekali
hasil riset kebijakan dan makalah kebijakan yang tidak dipertimbangkan

2
dalam pembuatan kebijakan (policy making). Ini berarti pula bahwa antara
peneliti kebijakan dengan pembuat kebijakan terdapat kesenjangan
komunikasi yang sangat lebar, sebagaimana disinyalir oleh UNCTAD
(2006) sebagai berikut:

“There tends to be a lack of communication between researchers


and policy makers. Policy makers are not always informed about
ongoing research and researchers often lack knowledge of the
most pressing policy questions that they would need to make their
research more relevant.”

Bahasa yang lebih gamblang tentang gap antara peneliti dengan pengambil
kebijakan dikemukakan dalam ODI Briefing Paper (2004), sebagai berikut:

“Researchers cannot understand why there is resistance to policy


change despite clear and convincing evidence. Policymakers
bemoan the inability of many researchers to make their findings
accessible and digestible in time for policy decisions.” (Para
peneliti tidak bisa mengerti mengapa ada penolakan terhadap
perubahan kebijakan meskipun ada bukti yang jelas dan
meyakinkan. Sebaliknya, para pembuat kebijakan meratapi
ketidakmampuan para peneliti untuk membuat temuan dan hasil
kajian mereka dapat diakses dan dicerna pada saat pengambilan
keputusan).

Maka, untuk menjembatani situasi gap tersebut, dibutuhkan media


komunikasi yang lebih ringkas namun padat dengan informasi-informasi
yang relevan dengan kebijakan (policy relevant information). Media yang
dimaksud disini adalah policy brief atau sering dikenal dengan istilah risalah
kebijakan. Dengan demikian, keberadaan policy brief tidak dapat
dipisahkan dari policy paper dan policy science atau policy analysis.
Lazimnya, policy paper disusun terlebih dahulu, baru dilengkapi dengan

3
policy brief sebagai strategi komunikasi agar utilisasi policy paper lebih
besar dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.

Kondisi Kebijakan Saat ini

Secara faktual-empirik, proses dan output kebijakan saat ini kurang


bermutu dan tidak mampu mencapai tujuannya sebagai instrumen negara
untuk melayani dan membangun kesejahteraan publik. Kasus-kasus
penolakan publik (policy veto) seperti aksi demonstrasi hingga langkah
hukum berupa gugatan judicial review, menyiratkan banyak permasalahan
dalam proses perumusan kebijakan, konten kebijakan, hingga
implementasinya. Kondisi ini berkembang karena adanya indikasi
pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan
mencari cara instan terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji
efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan
tingkat probabilitas keberhasilan suatu kebijakan.

Selain itu, para policy makers kurang mentradisikan atau kurang


menghargai policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy
making. Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal
(implementation failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu secara tidak berimbang. Situasi seperti inilah yang
kemudian banyak melahirkan symbolic policy.

Hal ini sejalan dengan survei yang diadakan oleh Overseas Development
Institute/SciDev.Net (dalam Jones and Walsh, 2008) terhadap para

4
pembuat kebijakan dalam bidang ilmu, teknologi dan inovasi yang
menemukan bahwa:

 50% pembuat kebijakan dan 65% peneliti beranggapan bahwa


diseminasi temuan riset untuk pengambilan keputusan masih kurang;
 79% responden menempatkan policy brief sebagai alat komunikasi yg
bermanfaat.

5
Konsepsi Policy Paper dan Policy Brief

POLICY BRIEF Apa Itu Policy Paper dan Policy Brief?


versus RESEARCH
PAPER
Meskipun antara policy paper (makalah kebijakan) dan policy brief (risalah
Some might say
kebijakan) memiliki banyak kesamaan, terutama dalam elemen-elemen
that a policy brief is
more yang harus terkandung didalamnya, namun para pakar memberi definisi
“professional” yang bervariasi.
because it is geared
towards readers Menurut Scotten (2011), makalah kebijakan adalah “a research piece
who have a limited
amount of time to focusing on a specific policy issue that provides clear recommendations for
make a practical policy makers.” Sementara itu, Young and Quinn (2002) memberi definisi
decision, while a
research paper is makalah kebijakan sebagai:
more “academic”
because it pays “Policy paper is a problem-oriented and value-driven
more attention to communication tool. As such, whether targeting other policy
the scholarly roots specialists or decision-makers, the purpose of the policy paper is:
to provide a comprehensive and persuasive argument justifying the
of particular
policy recommendations presented in the paper and therefore, to
arguments and
act as a decision-making tool and a call to action for the target
judges their merit audience.”
on intellectual and
logical criteria.
Jika dicermati, maka esensi policy paper sesungguhnya mirip sekali
(Tsai, 2006) dengan policy brief. Keduanya sama-sama harus fokus pada issu spesifik
tertentu, berorientasi pada pemecahan masalah, dan mengandung
rekomendasi yang jelas. Hal ini nampak dari definisi policy brief yang
bersumber dari pendapat berbagai pakar dibawah ini.

6
1. Eisele (2006): a short, neutral summary of what is known about
a particular issue or problem. Policy briefs are a form of report
designed to facilitate policy-making (dokumen ringkas dan
netral yg fokus pada isu tertentu yg membutuhkan perhatian
pengambil kebijakan.

2. Young & Quinn (2002): A document that outlines the rationale


for choosing a particular policy alternative or course of action in
a current policy debate (dokumen yg memaparkan
alasan/rasional pemilihan alternatif kebijakan tertentu yg ada
pada tataran perdebatan kebijakan):
 Menjelaskan dan meyakinkan urgensi isu terkait;
 Menyajikan rekomendasi kebijakan;
 Memberikan bukti yg mendukung rekomendasi tsb.

Sementara itu, IDRC (International Development Research Center, tanpa


tahun) di Kanada mendefinisikan policy brief sebagai berikut:

 A short document that presents the findings and


recommendations of a research project to a non-specialized
audience;
 A medium for exploring an issue and distilling lessons learned
from the research;
 A vehicle for providing policy advice.

Dari definisi diatas maka tidak ada urgensi untuk mempertentangkan antara
policy brief dengan policy paper atau research paper. Sebagaimana
dikemukakan oleh Tsai (2006), policy brief lebih bersifat professional
karena diperuntukkan bagi pembaca yang tidak memiliki waktu banyak
namun membutuhkannya untuk dapat mengambil keputusan secara
praktis, sedangkan policy paper lebih bersifat akademik dan sangat
dibutuhkan oleh kalangan ilmiah yang sangat mementingkan soal logika

7
dan argumentasi akademik. Dengan karakter tersebut, maka policy brief
pada umumnya lebih singkat dan disajikan dengan bahasa yang lebih
umum dibandingkan policy paper yang lebih komprehensif.

Mengapa Policy Brief Penting?

Sebagaimana disebutkan diatas, policy brief berfungsi sebagai jembatan


antara peneliti kebijakan atau analis kebijakan, dengan pengambil
kebijakan. Aktivitas yang dilakukan seorang analis kebijakan seperti
melakukan analisis stakeholder, analisis lingkungan kebijakan, analisis
kinerja kebijakan dan seterusnya hingga menghasilkan alternatif kebijakan
dan mengajukan rekomendasi, menjadi sia-sia jika tidak ditindaklanjuti oleh
pengambil kebijakan sebagai agenda kebijakan.

Jika gap tadi dapat dihilangkan, maka akan terwujud kebijakan publik yang
dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based
policy) dan/atau dihasilkan atas dasar hasil kajian (research-based policy).
Dan jika hal ini dapat dilakukan, maka kemungkinan terjadinya kegagalan
kebijakan (policy failure) baik pada tahap perumusan maupun implementasi
dapat dikurangi secara signifikan.

Gambar 1 dibawah ini menggambarkan hubungan antara peneliti atau


policy analyst dengan policy makers serta kebutuhan komunikasi diantara
keduanya.

8
Gambar 1. Policy Brief sebagai Jembatan Komunikasi Antara Policy Analyst
dengan Policy Maker.

Menurut Dwiyanto (2012), gap antara riset dan pembuatan kebijakan itu
sendiri terjadi karena berbagai faktor, antara lain:

 Aktor yang terlibat, bahasa, logika yang dipakai berbeda;


 Pembuat kebijakan tidak terbiasa membaca laporan dan buku;
 Pembuat kebijakan “biasanya sok sibuk”, tidak suka laporan
yang panjang dan lama;
 Bahasa yang dipergunakan terlalu teknis dan sulit dimengerti
oleh aktor kebijakan;
 Informasi dan rekomendasi terlalu umum tidak “tidak directive
dan kontekstual” dengan posisi pengambil kebijakan. Peneliti
sering tidak mengidentifikasi kliennya dengan jelas.

Ilustrasi dibawah ini menggambarkan adanya tradisi para pengambil


kebijakan yang tidak terbiasa dengan dokumen kajian yang panjang, detil,
dan “terlalu” akademik.

9
Gambar 2. Ilustrasi Urgensi Policy Brief Bagi Policy Maker

Selain itu, dilihat dari waktu pelaksanaan dan publikasinya, hasil riset
kebijakan juga mengandung masalah yang menjadikan utilisasi riset dalam
pembuatan kebijakan sangat kecil. Masalah yang berhubungan dengan
timing ini menurut Dwiyanto (2012) mencakup:

 Hasil riset datang ketika pesta sudah selesai. Birokrasi bekerja


dengan siklus anggaran yang jelas (siklus kebijakan). Siklus
penelitian berbeda dengan siklus kebijakan;
 Hasil riset gagal memberi inspirasi pada birokrat dan politisi
untuk membuat program dan kebijakan yang menghasilkan
anggaran yang besar. Implikasi kebijakan tidak teridentifikasi
dengan baik;
 Hasil riset sering tidak mampu memberi pencerahan pada
birokrat dan politisi mengenai keterkaitan antara kepentingan
mereka dengan policy reforms.

10
Kelebihan Policy Brief

Sebagaimana dikatakan oleh Young and Quinn (2002), policy brief


bertujuan meyakinkan audiens (cq. pengambil kebijakan) tentang urgensi
dari sebuah permasalahan dan untuk menentukan pilihan untuk mengatasi
masalah tersebut melalui aksi nyata (to convince the target audience of the
urgency of the current problem and the need to adopt the preferred
alternative or course of action outlined and therefore, serve as an impetus
for action).

Untuk dapat memenuhi tujuan tersebut, maka policy brief yang baik harus
memenuhi karakter khas yang menjadi unggulannya. Dalam hal ini,
Dwiyanto (2012) mengemukakan beberapa keuntungan policy brief
sebagai berikut:

 Ringkas, sederhana, tampilan menarik, banyak gambar


sehingga tidak perlu berpikir, handy, dsb;
 Bisa segera dibuat tanpa menunggu hasil riset selesai
sehingga bisa disampaikan pada saat yang tepat;
 Dirancang secara spesifik memenuhi kebutuhan informasi dari
policy-makers tertentu. Orientasi pada pengguna sangat kuat;
 Bisa menggambarkan logika kebijakan secara mudah (masalah
kebijakan, sebab munculnya masalah, dan pilihan tindakan
yang tersedia).

Karakter Policy Brief

Sesuai dengan kelebihan yang dimiliki, sebuah policy brief yang baik
mengandung karakter sebagai berikut:

11
1. Focused, artinya seluruh aspek dalam policy brief harus fokus pada
pencapaian tujuan untuk memuaskan target audiens.
2. Professional, not academic. Artinya, audiens policy brief lebih
berkepentingan terhadap perspektif penulis tentang masalah dan solusi
yang berbasis pada bukti-bukti baru, dari pada terhadap prosedur ilmiah
yang diterapkan dalam proses pengupulan data-data.
3. Evidenced-based, artinya bahwa yang diharapkan audiens dari policy
brief, selain argumen yang rasional, juga dukungan bukti adanya
permasalahan dan konsekuensi dari pemilihan terhadap solusi tertentu
4. Limited. Karena faktor ruang yang terbatas, policy brief mesti difokuskan
hanya pada satu masalah tertentu saja.
5. Succinct, artinya policy brief tidak memerlukan banyak halaman, cukup
6-8 halaman yang memuat sekitar 3000 kata.
6. Understandable. Artinya, policy brief mesti mudah difahami, baik dari
segi kejelasan dan kesederhanaan bahasa, maupun dari penjelasan
dan alasan yang dikembangkan di dalamnya.
7. Accessible. Artinya, dokumen policy brief mesti mudah digunakan oleh
target audiens.
8. Promotional, artinya tampilan dokumen policy brief harus mengesankan
dan menarik minat target audiens untuk membacanya.
9. Practical and feasible, artinya argumen yang dikembangkan dalam
policy brief harus didasarkan pada hal-hal yang benar-benar terjadi.
Selain itu, rekomendasi yang ditawarkan juga mudah diterapkan oleh
target audiens (Young and Quinn, 2002).

Kriteria yang sama juga dipakai oleh the Center for European Policy Studies
(CEPS, tanpa tahun).

12
Struktur dan Komponen Policy Brief

A policy brief can be Para pakar memiliki pendapat beragam tentang bagaimana struktur policy
flexible in its design
brief disusun, serta elemen / komponen apa saja yang harus ada di
and content.
dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Helms (2012) bahwa a policy
(Michael Helms,
brief can be flexible in its design and content. ntuk itu, peserta Diklatpim I
2002)
juga memiliki keleluasaan untuk menentukan struktur maupun komponen
sebuah policy brief. Yang terpenting adalah bahwa sebuah policy brief
harus memenuhi logika berpikir yang analitis dan sistematis, yang
berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving oriented). Dengan
demikian, uraian pada modul ini lebih merupakan petunjuk (hint) secara
umum untuk mengarahkan penulisan policy brief sesuai logika yang
diinginkan.

Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa mengingat sifat dan tujuannya yang
sama-sama berorientasi pada pemecahan masalah, maka struktur maupun
komponen policy brief dan policy paper tidak perlu dibedakan secara
mendasar. Perbedaan dan hubungan antara keduanya telah disinggung
pada bagian awal modul ini.

Struktur (Sistematika) Penulisan Policy Brief

Sebagaimana dikemukakan diatas, struktur policy brief tidak bersifat kaku


sehingga harus dibakukan dalam format yang seragam. Dibawah ini

13
dikemukakan beberapa pandangan pakar tentang sistematika dan
kandungan sebuah policy brief ataupun policy paper.

Menurut Scotten (2011), policy paper memuat 4 (empat) unsur utama, yakni
ringkasan eksekutif, batang tubuh, kesimpulan dan lampiran. Batang tubuh
sebagai bagian utama policy paper sendiri berisi latar belakang, analisis,
pilihan kebijakan, serta rekomendasi. Selengkapnya struktur policy paper
menurut Scotten adalah sebagai berikut:

• Executive Summary / Purpose Statement


• Body
o Background (What is the current policy? Why is it being
conducted this way?);
o Analysis (Why is the policy not working? Why is it necessary
to find an alternative?);
o Policy options (Discuss a few alternatives and their
implications);
o Recommendation (Provide your recommendation and how it
can be implemented).
• Conclusion (Summarize analysis and recommendation)
• Appendix (Relevant figures, maps, graphics).

Sementara itu, Tsai (2003) memberi uraian yang cukup detil terhadap
struktur dan komponen sebuah policy brief. Dalam hal ini, ada 9 (sembilan)
elemen pokok yang harus dipenuhi, yakni:

1. Executive Summary: This should be a short summary (approx.


150 words) of the purpose of the brief and its recommendations.
2. Statement of the Issue / Problem: Phrase the topic as a
question that requires a decision. This can be as short as one
question. Here are a few examples:
o What role can the {any political, social, religious organization
of your choice} play in enhancing the {political / economic /
social} status of {any disadvantaged group of your choice}?

14
o Should {any organization/government of your choice} provide
humanitarian assistance to people in the {any war
zone/natural disaster situation of your choice}?
o How should {any country or region of your choice} respond
to the investment interest of {any multinational corporation or
financial institution of your choice}?
o Who should take the responsibility for {fixing any
development problem of your choice}?
o When should {any country/organization of your choice}
decide to intervene in {any development problem/crisis of
your choice}?
If you are interested in a particular topic and find yourself
wanting to ask a why question, then it is probably better suited
for an academic research paper rather than a policy brief.

3. Background (of the problem): Include only the essential facts


that a decision maker “needs to know” to understand the
context of the problem. Assume that you have been hired to
filter through reams of information on behalf of a very busy and
sleep-deprived person. Be clear, precise, and succinct.
4. Statement of your organization’s interests in the issue: This
is meant to remind the reader of why the issue matters for the
country/group/organization that you are advising. If, for
example, you were the National Security Advisor for the US,
then it would be appropriate to review the US’s geostrategic,
economic, or humanitarian interest in the problem at hand.
5. Pre-existing Policies: This summarizes what has been done
(by others and the entity that you represent) about the problem
thus far. Depending on your topic, some of the information may
have already been presented in #3 (e.g., perhaps the problem
itself stems from some other country or organization’s
intervention). The objective of this section is to inform the reader
of policy options that have already been pursued. Note that the
absence of action may be considered a policy decision.
6. Policy Options: This section delineates the possible courses
of action or inaction that your organization may pursue. Please
provide the decision maker with at least three potential courses
of action. Some of them may be wildly unrealistic in your

15
opinion, but please pose them as policy options nonetheless. At
the same time, it would not be prudent to overwhelm the
decision maker with too many choices.
7. Advantages and Disadvantages of Each Policy Option:
Write this section from the perspective of the entity that you
represent. For clarity, you may present the pros and cons of the
options in bullet points or outline format. This may seem like
stacking the deck since some options may have only one
advantage and several downsides, but it isn’t always that
obvious.
8. Your Recommendation: After prioritizing the relative pros and
cons of the above options, please recommend one option to
your employer. Yes, this may require going out on a limb on an
extremely complex issue that challenges your ethical instincts.
But if you have agreed to advise a particular country /
organization / person, then you will be asked to make a
recommendation on their behalf.
9. Sources consulted or recommended: This is essentially an
annotated bibliography in the event that the decision maker has
the interest and time to read up on a specific issue. Please
provide a one to three sentence description and evaluation of
each source listed in this section. Aside from standard books
and articles, on-line sources and personal interviews may be
cited.

Pendapat Tsai diatas diadopsi dengan sedikit modifikasi oleh Center for
European Policy Studies (CEPS, tanpa tahun), yang menentukan
adanya 7 (tujuh) elemen dalam sebuah policy brief sebagai berikut:

1. Title of the paper: descriptive and punchy.


2. Summary (circa 200 words):
• A description of the problem addressed;
• A statement on why the current approach/policy option is
inadequate;
• Your policy recommendations for change or action.

16
3. Context and importance of the issue:
• A clear statement of the issue in focus that establishes its
current importance and policy relevance,
• A short overview of the root causes of the problem;
background.
• Include only the essential facts that a decision-maker ‘needs
to know’ to understand the context of the problem.
4. Critique of policy option(s).
The aim of this element is to detail the shortcomings of
the current approach or options being implemented and thus
illustrate both the need for change and focus on where change
needs to occur. It is important for the sake of credibility to
recognize all opinions in the debate of the issue.
5. Policy recommendations.
The aim of the policy recommendations element is to provide a
detailed and convincing proposal of how the failings of the
current policy approach need to be addressed. It sometimes
also includes a closing paragraph re-emphasizing the
importance of action.
6. Appendices (only if necessary);
Authors sometimes decide that their argument needs further
support and include an appendix, but they should only be used
when absolutely necessary.
7. Sources consulted or recommended.

Policy Brief Diklatpim I LAN

Sejalan dengan beberapa model tentang struktur dan komponen policy


paper dan/atau policy brief diatas, maka penulisan policy brief di Diklat
Kepemimpinan Tingkat I LAN pun juga tidak didesain secara kaku dan
seragam. Sistematika penulisan dapat fleksibel, namun komponen pokok

17
dari sebuah policy brief diharapkan tetap dipenuhi, diantaranya adalah
sebagai berikut:

1. Kenali dan temukan policy issue(s) dan policy problem(s)-nya.


Policy issue(s) dapat diidentifikasikan dari beberapa cara, misalnya: a)
ceramah issu aktual skala nasional, b) diagnostic reading atas situasi
dan kondisi tertentu, atau c) pengalaman dan pendalaman secara
mandiri oleh peserta. Dalam hal ini, policy problem oleh Dunn (2003)
diartikan sebagai unrealized needs, values, opportunities, however we
identified, the solution require public actions.
Dari masalah kebijakan yang telah dirumuskan, peserta dapat
mengembangkan dalam bentuk policy questions, yakni pertanyaan-
pertanyaan yang lebih rinci yang dimaksudkan untuk lebih membatasi
ruang lingkup dari permasalahan yang mungkin sangat luas.

2. Elaborasikan policy issue(s) dan policy problem(s) yang telah


dirumuskan. Beberapa hal yang dapat diintegrasikan pada bagian ini
antara lain:
 Apa konteks dari issu terpilih dan masalah yang dihadapi? Untuk
menjawab pertanyaan ini, penyusun perlu dilengkapi dengan data
pendukung yang berfungsi untuk memberi deskripsi masalah;
menjelaskan kebijakan yang terkait; tujuan dari pemecahan
masalah; policy actors (individual maupun institusional) yang terlibat;
pihak-pihak (policy stakeholders) yang mempengaruhi / dipengaruhi
masalah tersebut, dan seterusnya.
 Kausalitas issu atau hubungan antar peristiwa dan antar variabel.
Dalam kaitan ini, penyusun policy brief perlu menggali faktor apa

18
saja yang menyebabkan masalah muncul, dan apa dampak /
implikasi (policy consequences) dari masalah tadi?
 Lebih disukai jika policy brief juga memiliki kerangka pikir yang logis
dan sistematis (logical framework of thinking).

3. Lakukan kritik dan evaluasi terhadap kebijakan yang tengah


berlaku (current policies critique). Bagian ini bertujuan untuk melihat
sejauhmana efektivitas policy implementation selama ini. Beberapa hal
yang bisa dikembangkan dalam melakukan kritik ini adalah:
 Mengidentifikasi sejauhmana kinerja kebijakan (policy performance)
yang dihasilkan: masalah apa yang sudah / belum terselesaikan,
berapa persen target tercapai, dampak positif/negatif apa saja yang
timbul, dan seterusnya.
 Mengidentifikasi kendala apa yang ditemui dalam implementasi
kebijakan: sumber daya, kolaborasi antar aktor, political will,
efektivitas fungsi-fungsi manajemen, dan sebagainya.
 Mengidentifikasi upaya-upaya yang telah dilakukan para aktor terkait
untuk mengatasi kendala yang dihadapi.

4. Kembangkan alternatif kebijakan dan lakukan evaluasi terhadap


alternatif yang ada. Pada tahap ini, penyusun sudah harus memiliki
atau menghasilkan beberapa alternatif kebijakan yang prospektif untuk
mengatasi masalah. Selanjutnya, dari beberapa alternatif tadi dilakukan
pembobotan untuk kelebihan dan kekurangan masing-masing alternatif.
Dari hasil evaluasi ini akan dihasilkan alternatif terbaik yang akan
direkomendasikan sebagai kebijakan. Sangat disarankan alternatif yang
dikembangkan ini memiliki nilai novelty (kebaruan) dan inovatif, yang
belum pernah dilakukan selama ini.

19
5. Ajukan rekomendasi kebijakan (policy recommendation).
Rekomendasi kebijakan ini berisi pemilihan alternatif kebijakan terbaik
(best policy chosen), serta langkah-langkah konkrit (policy actions)
untuk merealisasikan kebijakan terpilih tersebut. Langkah konkrit disini
lazimnya berisi SIABIDIBA, yakni siapa, apa, bilamana, dimana, dan
bagaimana mengimplementasikan pilihan kebijakan tadi.

Singkatnya, struktur dan komponen policy brief untuk Diklatpim I paling


tidak memenuhi unsur sebagai berikut:

 Judul;
 Executive summary;
 Latar belakang dan masalah kebijakan (policy problem, policy question);
 Kritik terhadap kebijakan (critique on existing policies);
 Alternatif dan rekomendasi kebijakan (policy alternative and
recommendation);
 Referensi.

Sisi Lain Policy Brief

Selain aspek substantif sebagaimana diuraikan diatas, ada beberapa hal


yang perlu diperhatikan dalam perancangan policy brief dalam Diklatpim I,
misalnya:

 Desainlah tampilan Policy Brief semenarik mungkin: sisipkan gambar,


foto, grafik, table, text-box, quotation, dan lain-lain yang bisa
memperkuat content atau memahami substansi dengan lebih mudah.

20
 Jangan lupa pula perhatikan pewajahan (cover), termasuk pilihan huruf
(font), kombinasi warna, dan sebagainya. Beberapa contoh lay-out atau
desain policy brief dapat dilihat pada lampiran dibawah ini,

Penutup

Selamat merancang policy brief. Semoga rekomendasi yang diajukan


benar-benar menjadi sebuah breakthrough dalam reformasi kebijakan
publik di Indonesia.

21
Contoh-contoh Policy Brief

The Center for European Policy Studies http://www.ceps.be/category/book-


series/ceps-policy-briefs

22
Contoh-contoh Policy Brief

Governance Brief No. 11, Juni 2005, Policy Brief, September 2008, Tim
Center for International Forestry Pemantauan dan Evaluasi Kinerja
Research (CIFOR). Transportasi Nasional (TPEKTN),
Kementerian Perekonomian.

23
Contoh-contoh Policy Brief

24
25
26
27
Daftar Pustaka

CBMS (Community-Based Monitoring System) Network Coordinating Team,


tanpa tahun, Guidelines for Writing a Policy Brief. Manila.
CEPS (The Center for European Policy Studies), tanpa tahun, A Guide to
Writing a CEPS Policy Brief, Brussels.
Dunn, William N., 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua.
Terjemahan oleh Samudra Wibawa dkk., Penyunting Muhadjir Darwin,
Cet. Kelima Maret 2003. Yogyakarta: Gadjah Mada UP.
Dwiyanto, Agus, 2012, Riset Kebijakan dan Cara Presentasi, bahan paparan.
Jakarta: LAN.
Helms, Michael, 2002, Observations on Writing Policy Papers. Stanford
University, MS&E 290.
IDRC (International Development Research Center), tanpa tahun, How to
Write a Policy Brief: Toolkit for Researchers. Training materials.
Canada.
Jones, Nicola and Cora Walsh, 2008, “Policy briefs as a communication tool
for development research”, dalam ODI Background Note. London:
Overseas Development Institute.
Majchrzak, 1984, “Technical Analysis”, in Methods for Policy Research,
Sage: Beverly Hills.

ODI, 2004, “Bridging Research and Policy in International Development: An


analytical and practical framework”, dalam ODI Briefing Paper.
London: Overseas Development Institute.
Scotten, Ali G., 2011, Writing Effective Policy Papers: Translating Academic
Knowledge into Policy Solutions.
Given that this is a seminar on international development, please do not
choose a topic of
Tsai, 2003, Writing a Policy Brief, internet source available at
http://jhunix.hcf.jhu.edu/~ktsai/policybrief.html

28
Young, Eóin and Lisa Quinn, 2002, Writing Effective Public Policy Papers: A
Guide for Policy Advisers in Central and Eastern Europe, Budapest:
Open Society Institute and Local Government Public Service Reform.
UNCTAD, 2006, Research-Based Policy Making: Bridging the Gap between
Researchers and Policy Makers. Recommendations for researchers
and policy makers arising from the joint UNCTAD-WTO-ITC workshop
on trade policy analysis, Geneva, 11 - 15 September 2006.

29

Anda mungkin juga menyukai